PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.95/Pid/B/2010/PN.TK)

(1)

Eko Purnamawijaya

ABSTRAK

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN DENGAN RENCANA

(Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No.95/Pid/B/2010/PN.TK)

Oleh

Eko Purnamawijaya

Setiap warga negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan dan kejahatan sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, Oleh karena itu segala bentuk kejahatan terutama dalam kasus tindak pidana pembunuhana dengan rencana merupakan bentuk kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus.. Tindak pidana pembunuhan dengan rencana yamg telah memenuhi unsur-unsur sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan Kitap Undang-Undang Hukum Pidana maka perbuatan tersebut dipertanggungjawabkan kepada terdakwa dengan dilimpahkan ke pengadilan agar memeriksa dan mengadili terdakwa yang telah melakukan pembunuhan dengan rencana. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk mengangkat permasalahan dalam penulisan skripsi ini yaitu bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pembunuhan dengan rencana? Dan apakah yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana pembunuhan dengan rencana?.

Penulis menggunakan pendekatan masalah yang digunakan yaitu secara teoritis yuridis hal ini dimaksudkan untuk memperoleh jawaban dan gambaran yang jelas terhadap permasalahan dalam skripsi ini. Data yang digunakan dalam penelitian adalah data primer dan data sekunder dengan metode pengambilan sampel secara purposive sampling. Populasi dalam penelitian ini adalah 2 orang Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 2 orang Jaksa pada Kejaksaan Negeri Tanjung Karang, dan 2 orang Dosen bagian hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung.


(2)

Eko Purnamawijaya Hasil penelitian dan pembahasan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pembunuhan dengan rencana adalah didalam memutuskan perkara pidana Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang brnar-benar sesuai dengan perbuatan pelaku saja tetapi Majelis Hakim juga mempertimbangkan beberapa faktor lain selain fakta-fakta yang ada dipersidangan. Berdasarkan hasil penelitian didalam memutuskan perkara seorang hakim tidak hanya menerapkan ketentuan dari Pasal-Pasal yang terdapat di dalam Undang-Undang saja tetapi juga didasarkan oleh beberapa pertimbangan/faktor, antara lain yaitu latar belakang dan motifasi dilakukannya tindak pidana, motif kekerasan yang dilakukan terdakwa, ada atau tidaknya unsur pemaaf dalam diri terdakwa maupun perbuatannya, pengaruh pidana yang dijatuhkan terhadap pelaku, sikap terdakwa setelah melakukan tindak pidana, sikap terdakwa selama persidangan berlangsung, dan akibat dari pidana yang dijatuhkan terhadap keluarga pelaku. Didalam memutuskan perkara majelis hakim mempunyai pertimbangan tertentu dalam memilih pidana atau berat ringannya pidana, maka sering terjadi perbedaan pendapat diantara hakim dalam memutuskan berat ringannya pidana.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasaan dapat ditarik kesimpulan bahwa pertanggungjawaban pidana dan dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana perkara No. 95/Pid/B/2010/PN.TK, telah sesuai dengan ketentuaan yang berlaku. Kemudian penulis menyarankan bahwa putusan hakim dalam menjatuhkan pidana haruslah menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan menghantar terdakwa menuju masa depan yang lebih baik agar dapat mengembangkan diri sebagai warga yang bertanggungjawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.


(3)

56

V. PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam bab-bab sebelumnya dan setelah melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dalam penelitian sekripsi ini, maka dalam bab V ini dapat ditarik keismpulan sebagai berikut :

1. Pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana pembunuhan dengan rencana dalam perkara Nomor : 95/Pid/B/2010/PN.TK yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim telah sesuai dengan perbuatan terdakwa. Namun didalam menjatuhkan putusan Majelis Hakim tidak hanya mempertimbangkan dakwaan Jaksa Penuntut Umum yang benar-benar sesuai dengan perbuatan pelaku saja, yaitu dakwaan kesatu Subsidair melanggar Pasal 340 KUHP Subsidair melanggar Pasal 339 tetapi Majelis Hakim masih mempertimbangkan beberapa faktor lain selain fakta-fakta yang ada di persidangan. Serta unsur-unsur tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku. Pelaku melakukan tindak pidana pembunuhan berencana oleh karena itu pelaku diancam dengan pidana penjara seumur hidup. Melawan hukum, karena pelaku berbuat dengan direncanakan, mengetahui dan sadar sebelumnya oleh karena itu perbuatan pelaku dapat diancam dengan pidana. Orang yang mampu bertanggung jawab, karena saat melakukan perbuatannya pelaku dalam keadaan sadar dan tidak sedang terganggu keadaan jiwanya maka dari itu pelaku dapat diminta pertanggungjawabannya didepan hukum. Oleh karena perbuatannya Majelis Hakim menjatuhkan pidana penjara selama seumur hidup.


(4)

57

2. Dasar-dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi pidana kepada pelaku tindak pidana Pembunuhan dengan rencana Nomor : 95/Pid/B/2010/PN.TK yaitu : Latar belakang dilakukannya tidak pidana, dalam hal ini pelaku mepersiapkan peralatan dari rumah dan telah memilih lokasi rumah korban, jarak waktu antara terdakwa mempersiapkan perbuatanya tersebut adalah cukup longgar untuk terus melaksanakan atua untuk membatalkan, demikian pula fakta memperlihatkan bahwa dengan tenang terdakwa masuk rumah korban berpura-pura bertamu dan menawarkan dagangan sepatu, sehingga korban Ratu Putri juga sempat memberikan air kepada terdakwa kemudian langsung membacok kedua korban , dimana akibat perbuatan terdakwa tersebut para korban telah meninggal dunia dengan luka sebagaimana telah diuraikan diatas, maka dapat dikonstituir bahwa terdakwa telah menghendaki perbuatannya untuk menghilangkan nyawa korban , terdakwa juga telah mengerti akibat dari perbuatannya tersebut dapat manghilangkan nyawa orang, dasar hakim menjatuhkan pidana penjara seumur hidup bahwa terdakwa telah melanggar Pasal 340 KUHP.

B. Saran

Pertanggungjawaban pidana terhadap terdakwa harus mengacu kepada undang-undang yang berlaku yaitu KUHP , KUHAP ,Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang pemberlakuan kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Seorang Hakim harus benar-benar mempertinbangkan secara hati-hati pidana yang akan dijatuhkan kepada terdakwa. Putusan hakim akan mempengaruhi kehidupan selanjutnya bagi terdakwa yang bersangkutan, oleh sebab itu hakim hurus yakin benar, bahwa putusan yang diambil akan menjadi salah satu dasar yang kuat untuk mengembalikan dan mengantar terdakwa menuju masa depan yang baik untuk mengembangkan dirinya sebagai warga yang bertanggungjawab bagi kehidupan keluarga, bangsa dan negara.


(5)

I. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Dan Unsur-Unsur Tindak Pidana

Pidana pada umumnya sering diartikan sebagai hukuman, tetapi dalam penulisan skripsi ini perlu dibedakan pengertiannya. Hukuman adalah pengertian yang bersifat umum, sedangkan pidana merupakan suatu pengertian yang bersifat khusus sebagai sanksi atau nestapa yang menderitakan.

Pengertian pidana yang bersifat khusus ini akan menunjukan ciri-ciri dan sifatnya yang khas sehingga sangat berbeda sekali dengan pengertian pidana yang sering dipersepsikan masyarakat kita sebagai suatu hukuman tanpa memberikan batasan yang jelas tentang arti dari hukuman itu sendiri.

Agar didapat suatu gambaran yang lebih luas, berikut ini dikemukakan beberapa pendapat atau definisi oleh para sarjana hukum sebagai berkut :

1. Sudarto

Pidana adalah penderitaan yang sengaja di bebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang memenuhi syarat-syarat tertentu (Sudarto, 1981: 36).

2. Roeslan Saleh

Pidana adalah reaksi atas delik dan ini berwujud suatu nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara kepada pembuat delik itu ( Muladi dan Barda Namawi Arief, 1984: 4).

Definisi tersebut di dapat bahwa pidana itu mengandung unsur-unsur atau ciri-ciri sebagai berikut:


(6)

1. Pidana itu pada hakekatnya merupakan suatu pengenaan penderitaan nestapa atau akibat-akibat lain yang tidak menyenangkan.

2. Pidana itu diberikan dengan sengaja oleh orang atau badan yang mempunyai kekuasaan (oleh yang berwenang)

3. Pidana itu dikenakan pada seseorang yang telah melakukan tindak pidana menurut undang-undang .

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana

Pertanggungjawaban Pidana adalah suatu perbuatan yang tercela oeh masyarakat dan itu harus dipertanggungjawabkan kepada si pembuat pidananya atas perbuatan yang telah dilakukannya. Pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang adalah untuk menentukan kesalahan dari tindak pidana yang ia lakukan itu (Roeslan Saleh, 1981 : 80).

Pertanggung jawaban dalam hukum pidana (Criminal Responsibiliti) artinya :

“Orang yang telah melakukan suatu tindak pidana disitu belum berarti ia harus dipidana, ia

harus mempertanggungjawabkan atas perbuatannya yang telah dilakukan” (R.M. Suharto,

1996 : 106).

Pertanggungjawaban menurut hukum pidana adalah kemampuan bertanggung jawab seseorang terhadap kesalahan. Seseorang telah melakukan atau tidak meakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh udang-undang dan tidak dibenarkan oleh masyarakat. Untuk adanya pertanggungjawaban pidana harus jelas terlebih dahulu siapa yang dapat dipertanggungjawabkan . ini berarti harus dipastikan dahulu yan dinyatakan sebagai pembuat suatu tindak pidana. Perbuatan yang telah memenuhi rumusan delik/tindak pidana dalam undang-undang, belum tentu


(7)

dapat dipidana, karena harus dilihat dulu si orang/pelaku tindak pidana tersebut (Tri Andrisman, 2006 : 103).

Orang yang dapat dituntut di muka pengadilan dan dijatuhkan pidana, harusla melakukan tindak

pidana dengan: “KESALAHAN”. Kesalahan ini dapat dilihat menjadi dua yaitu :

1. Kemampuan Bertanggung Jawab (KBJ).

2. Sengaja (Dolus/Opzet) dan Lalai (Culpa/Alpa) (Tri Andrisman, 2006 : 80).

sebelum membahas apa yang diamaksud dengan KBJ dan Sengaja atau Alpa, maka terlebih dahulu akan membahas tentang kesalahan.

1. Kesalahan

Konsep KUHP 2004 merumuskan asas kesalahan ini secara tertulis dalam Pasal 35-nya sebagai berikut :

a. Tidak seorangpun dapat dipidana tanpa kesalahan.

b. Bagi tindak pidana tertentu, undang-undang dapat menentukan bahwaseseorang dapat dipidana semata-mata karena telah dipenuhinya unsur-unsur tindak pidana tersebut tanpa memperhatikan adanya kesalahan.

c. Dalam hal tertentu, setiap orang dapat dipertanggung jawabkan atas tindak pidana yang dilakukan oleh orang lain, jika ditentukan dalam suatu undang-undang.

Berdasarkan ketentuan Pasal 35 Ayat (1) diatas, maka asas kesalahan yang semula merupakan asas tidak tertulis yang berlaku sebagai asas yang paling dasar ilmu hukum pidana oleh konsep KUHP diadopsi dan dipakai sebagai suatu asas yang tertulis (Tri Andrisman, 2006 : 104).


(8)

Pengertian kesalahan sebagai pengertian hukum dapat diketahui dari beberapa pendapat para sarjana berikut ini :

a. Mezger

Kesalahan adalah keseluruhan syarat yang memberi dasar untuk adanya pencelaan peribadi terhadap si pembuat tindak pidana (Tri Andrisman, 2006 : 105).

b. Simons

Sebagai dasar untuk bertanggung jawab dalam hukum pidana, ia berupa keadaan psychisch dari si pembuat dan hubungannya terhadap perbuatannya, dan dalam arti bahwa berdasarkan keadaanpychischitu perbuatannya dapat dicelakan kepada si pembuat (Tri Andrisman, 2006 : 105).

c. Pompe

Pada pelanggaran norma yang dilakukan karena kesalahannya, biasanya sifat melawan hukum itu merupakan segi luarnya. Yang bersifat melawan hukum itu adalah perbuatannya. Segi dlamnya, yang bertalian dengan kehendak si pembuat adalah kesalahan (Tri Andrisman, 2006 : 105).

Berdasarkan pendapat para ahli diatas dapatlah dikatakan, bahwa kesalahan itu mengandung unsur pencelaan terhadap seseorang yang telah melakukan tindak pidana. Pencelaan disini bukannya pencelaan berdasarkan kesusilaan, melainkan pencelaan berdasarkan hukum yang berlaku.


(9)

a. Adanya kemampuan bertanggung jawab pada si pembuat artinya keadaan jiwa si pembuat harus normal.

b. Adanya hubungan batin antara si pembuat dengan perbuatannya, yang berupa kesenjangan (dolus) atau kealpaan (culpa). Ini disebut bentuk-bentuk kesalahan.

c. Tidak adanya alasan yang menghapus kesalahan atau tidak ada alasan pemaaf (Tri Andrisman, 2006 : 106).

Apabila ketiga unsur itu ada, maka orang yang bersangkutan dapat dinyatakan bersalah atau mempunyai pertanggung jawaban pidana, sehingga dia dapat dipidana. Disamping itu harus diingat pula bahwa untuk adanya kesalahan dalam arti seluas-luasnya (pertanggung jawab pidana), orang yang bersangkutan harus dinyatakan lebih dulu bahwa perbuatannya bersifat melawan hukum. Oleh kerena itu sangat penting untuk selalu menyadari dalam dua hal dalam syarat-syarat pemidanaan, yaitu :

a. Dapat dipidananya perbuatan (strafbaarheid van het feit).

b. Dapat dipidananya orang atau pembuatnya (strafbaarheid van de persoon) (Tri Andrisman, 2006 : 107).

C. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana 1. Pengertian Tindak Pidana


(10)

Tindak pidana merupakan istilah yang berhubungan dengan perbuatan yang melanggar hukum pidana. Istilah tindak pidana dalam konsep hukum Indonesia oleh beberapa sarjana hukum digunakan istilah yang berbeda-beda. Ada yang memakai istilah tindak pidana tersebut sebagai peristiwa pidana, perbuatan pidana, dan delik sedangkan bahasa Belanda istilah tindak pidana tersebut disebut denganstrafbaarfeitataudelict.

Beberapa macam istilah tindak pidana yang dipergunakan dalam buku-buku hukum yang diserap

dari bahasa belanda “strafbaarfeit” yang dapat diartikan :

a. Perbuatan yang dilarang hukum b. Perbuatan yang dapat dihukum c. Perbuatan pidana

d. Tindak pidana e. Peristiwa pidana f. Delik.

Menurut simons, strefbaarfeit adalah tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak dengan sengaja oleh seseorang yang dipertanggungjawabkan atas tidakannya dan oleh undang-undang telah dinyatakan suatu tindakan yang dapat dihukum(Lamintang, 1984: 176).

Vos memandang strafbaarfeit adalah suatu kelakuan manusia yang diancam pidana oleh peraturan undang-undang, jadi suatu kelakuan yang pada umumnya dilarang dengan ancaman pidana (Bambang Poernomo, 1978: 86).


(11)

Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang mempunyai dua unsur dan dua sifat yang berkaitan, unsur-unsur yang ada pada dasarnya dapat dibagi dua macam yakni unsur-unsur subjektif dan unsur-unsur objektif:

1. Subjektif, berhubungan dengan diri pelaku, dan termasuk kedalamnya yaitu segala sesuatu yang terkandung didalam hatinya.

2. Objektif, adalah unsur-unsur yang melekat pada diri pelaku atau yang, adalah unsur-unsur yang ada hubungan dengan keadaan-keadaan, yaitu di dalam keadaan-keadaan mana tindakan si pelaku itu harus diklakukan (Lamintang, 1984: 184).

2. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang merupakan pedoman dalam penegakan hukum, membagi jenis tindak pidana (kejahatan) terhadap nyawa dalam 5 bagian yaitu:

a. Pembunuhan biasa (ketentuan Pasal 338 KUHP) b. Pembunuhan kwalifikasi(ketentuan Pasal 339 KUHP) c. Pembunuhan berencana (ketentuan Pasal 340 KUHP) d. Pembunuhan terhadap anak(ketentuan Pasal 341 KUHP)

e. Pembunuhan atas permintaan korban(ketentuan Pasal 344 KUHP)

Pembunuhan sebagaimana diancam dengan Pasal 338 KUHP lazim disebut “pembunuhan biasa”, untuk dibedakan dengan pembunuhan yang direncanakan sebagaimana pada Pasal 340 KUHP. Pembunuhan biasa dalam bahasa asing dinamakan doodslag dan pembunuhan yang di rencanakan lebih dahulu dalam bahasa asing disebutmoord.

Unsur yang dilaksanakan dengan rencana terlebih dahulu, pada dasarnya mengandung 3 syarat/unsur yaitu: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, ada tersedia waktu yang cukup


(12)

sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksana kehendak, dan pelaksanaan kehendak (perbuatan) dalam suasana tenang. Tiga unsur/syarat dengan rencana terlebih dahulu sebagaimana yang diterangkan diatas yang bersifat kumulatif dan saling berhubungan, suatu kebulatan yang tidak terpisahkan. Sebab bila sudah terpisah maka sudah tidak ada lagi dengan rencana terlebih dahulu. Dalam hal ini syarat ketiga dapat dipandang sebagai syarat untuk membuktikan telah adanya pembunuhan berencana, karena itu dalam praktik sebagai syarat ketiga yang dianggap penting diantara 3 syarat di atas adalah syarat dalam hal untuk membuktikan adanya pembunuhan rencana, dan bukan membuktikan adanya rencana (Adami Chazawi, 2001 : 54).

Berdasarkan ketentuan KUHP, pelaku tindak pidana pembunuhan bisa dijatuhi hukuman penjara paling lama 15 (lima belas) tahun. Hukuman dapat diperberat apabila pembunuhan direncanakan terlebih dahulu maka pelaku dapat dihukum dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau selama kurun waktu tertentu paling lama 20 (dua puluh) tahun.

Pidana penjara sangat perlu mendapatkan perhatian, selain karena tingginya pemberian pidana penjara yang dijatuhkan oleh hakim pengadilan, juga dalam hal ini terkait pula hak asasi manusia yang melekat pada diri terpidana. Oleh karena itu dalam hal pemberian dan pelaksanaan pidananya serta dalam memperlakukan mereka sebagai pelanggar hukum harus senantiasa dilandasi oleh prinsip-prnsip hak-hak kemanusiaan.

Pengaturan dalam KUHP mengenai stelsel pidana, telah disebutkan jenis-jenis pidana yang tercantum dalam Pasal 10 KUHP sebagai berikut :

Pidana terdiri atas : a. Pidana pokok


(13)

1. Pidana mati 2. Pidana penjara 3. Pidana kurungan 4. Pidana denda 5. Pidana tutupan b. Pidana tambahan

1. Pencabutan hak-hak tertentu lembaga 2. Perampasan barang-barang tertentu 3. Pengumuman putusan hakim

Selanjutnya dalam Pasal 12 KUHP sebagai berikut:

1. Pidana penjara ialah seumur hidup atau selama waktu tertentu

2. Pidana penjara selama waktu tertentu paling pendek satu hari dan paling lama lima belas tahun berturut-turut.

3. Pidana penjara selama waktu tertentu boleh dijatuhkan untuk dua puluh tahun

berturut-turut dalam hal kejahatan yang pidananya hakim boleh memilih antara pidana mati,pidana penjara seumur hidup,dan pidana penjara selama waktu tertentu,begitu juga dalam hal batas lima belas tahun dilampaui sebab tambahan pidana karena gabungan,pengulangan-pengulangan atas karena ditentukan Pasal 52 dan 52a KUHP.

4. Pidana penjara selama waktu tertentu sekali-kali tidak boleh melebihi dua puluh tahun.

Pasal 12 KUHP maka jelas bahwa pidana penjara seumur hidup masih dipertahankan dalam Hukum Pidana Indonesia. Apabila pidana penjara seumur hidup dikaitkan dengan tujuan pemidanaan,yang mengndung filsafat pembinaan terhadap terpidana maka (Roeslan saleh,1977 : 22) menyatakan sebagai berikut:

’’Bahwa dengan dijatuhkannya pidana seumur hidup itu terpidana tidak lagi mempunyai

harapan lagi kembali kemasyarakat tetapi di kaitkan pula bahwa harapan tersebut dapat dipulihksan dengan adanya lembaga grasi yang dapat merubah pidana seumur hidup dengan


(14)

pidana beberapa tahun. biasanya dengan grasi pidana penjara seumur hidup dirubah menjadi duapuluh tahun . kemudian apabila terpidana berkelakuan baik terus menerus maka setiap tanggal 17 Agustus tiap-tiap tahun terpidana dapat memperoleh remisi. jadi pesimisme terhadap

pidana penjara seumur hidup tidak beralasan karena masih ada lembaga grasi dan remisi’’.

Pemikiran tersebut diatas mengatakan bahwa pidana penjara seumur hidup masih perlu dipertahankan . hal tersebut merupakan pertimbangan untuk terpidana dan pengayoman masyrakat. Sebagai salah satu sarana untuk merealisasikan tujuan pemidanaan,dan perundang-undang Republik Indonesia masih dikenal lembaga grasi dan remisi, sehingga terpidana masih dapat kembali lagi ke masyarakat.

Mengenai pembunuhan P.A.F Lamintang (1984 : 56) menyatakan bahwa unsur menghilangkan nyawa orang lain itu seorang pelaku harus melakukan sesuatu atau rangkaian tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwaopzetdari pelakunya itu harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain tersebut.

Pengertian “dengan rencana terlebih dahulu” menurut M.v.T. pembentukan pasal 340 KUHP

diutarakan yaitu “dengan rencana terlebih dahulu” diperlukan. Saat pemikiran dengan tenang dan

berpikir dengan tenang. Untuk itu sudah cukup jika sipelaku berpikir sebentar saja sebelum atau pada ia akan melakukan kejahatan sehingga ia menyadari apa yang dilakukannya. Sedangkan

M.H Tirtamidjaja mengutarakan “direncanakan lebih dahulu” yaitu bahwa ada suatu Jangka waktu, bagaimana pendeknya untuk pertimbangan , untuk berpikir dengan tenang”.

Pembunuhan biasa (doodslag) ancaman hukuman dapat diperberat menjadi seumur hidup atau hukuman penjara dua puluh tahun, bilamana perbuatan itu diikuti disertai atau didahului dengan peristiwa pidana lain. Ancaman itu dapat dilihat dalam Pasal 339 KUHP. Pembunuhan tidak di khususkan ditujukan pada nyawa orang lain, melainkan diarahkan pada peristiwa pidana lain


(15)

dengan melalui suatu tindakan yaitu pembunuhan. Sedangkan Pasal 340 KUHP sebenarnya boleh dikatakan pembunuhan biasa diperberat karena dalam pelaksanaannya dilakukan dengan perencanaan terlebih dahulu.

Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana dapat dijabarkan dari pembunuhan dalam arti Pasal 338 KUHP ditambahkan dengan adanya unsur rencana terlebih dahulu lebih berat ancam pidana pada pembunuhan berencana, jika dibandingkan dengan pembunuhan pada Pasal 388 KUHP maupun Pasal 399 KUHP. Pasal 340 KUHP dirumuskan dengan cara mengulang kembali

unsur dalam Pasal 388 KUHP, kemudian ditambah dengan satu unsure lagi aitu”dengan rencana terlebih dahulu”.

Maka pembunuhan berencana berencana dianggap sebagai pembunuhan yang berdiri sendiri dan berbeda dengan pembunuhan biasa dalam bentuk pokok Pasal 338 KUHP apalagi pembunuhan berecana dimaksud pembuat undang-undang sebagai pembunuhan betuk khusus yang memberatkan. Maksud undang-undang memberatkan ancaman pasal 340 KUHP itu bukan saja terletak padaperbuatan berencana, tetapi masa yang dipergunakan menyusun rencana, sebab kesempatan untuk mengurangi niat tidak dijalankan.Mengacu pada isi ketentuan yang terdapat dalam Pasal 340 KUHP terlebih dahulu ditentukan adanya unsure-unsur dari kejahatan yang dilakukan dengan sengaja dan berencana yaitu:

1. Terdapat kesengajaan ataudolus premiditusyaitu kesengajaan yang harus disertai dengan suatu perencanaaan terlebih dahulu.

2. Yang bersalah dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan pembunuhan itu dan kemudian melakukan maksudnya.


(16)

3. Diantara saat timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukuan pembunuhan berpikir tanpa mempersoalkan lamanya.

Untuk menghindari adanya kesulitan dan salah satu pengertian tentang unsur kesengajaan dan

berencana menurut Wirjono Prodjodikoro (1986 : 44) berpendapat bahwa “unsur perencanaan“

dalam Pasal 340 KUHP tidak perlu ada tenggang waktu lama antara tenggang waktu merencanakan dan melaksanakan perbuatan pembunuhan. Jadi Pasal 340 KUHP adalah Pasal pembunuhan dengan pemberatan pidana dimana pembunuhan sebelum dilaksanakan telah direncanakan terlebih dahulu, bahwa perbuatan itu telah berfikir dengan tenang, kapan, dengan alat apa dan bagaimana pembunuhan akan dilakuka. Unsur delik Pasal 340 KUHP yang dibuktikan adalah unsur subjektif dimana pembuktiannya lebih sulit dari pada membuktikan unsur objektif dari suatu delik, karena membuktikan isi hati seseorang.


(17)

DAFTAR PUSTAKA

Andrisman, tri SH. MH. 2006. Asas-asas dan dasar aturan umum Hukum Pidana Indonesia. Bandar Lampung.

Arief, Barda Nawawi. 2001. Masalah Penegakan Hukum Dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan.Bandung Citra Aditya Bakti.

Hamzah, Andi. 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Bandung Rineka Cipta. Muladi. 1985.Lembaga pidana bersyarat.Bandung Alumni.

……..dan Barda Nawawi Arif. 1984. Teori-teori dan kebijakan hukum pidana. Bandung Alumni.

Moeljatno. 1985.Fungsi dan tujuan hukum pidana di Indonesia.Jakarta Bina Aksara. Sudarto. 1981.Hukum dan Hukum pidana. Bandung Alumni.


(18)

(19)

1

III .METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan secara yuridis normatif dan yuridis empiris. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekataan penelitian keperpustakaan untuk memperoleh data skunder dengan cara menghubungkan peraturan-peraturan tertulis atau buku-buku hukum yang membuat bahan erat hubungannya dengan penegakan hukum pidana terhadap anak sebagai pelak tindak pidana pembunuhan berencana.

Pendekatan empiris dilakukan untuk memperoleh data primer yang dilakukan dengan wawancara dilokasi penelitian melalui wawancara dengan responden yakni petugas yang berwenang dalam masalah yang berhubungan dengan penegakan hukum pidana terhadap pelaku sebagai tindak pidana pembunuhan berencana. Sifat penelitian ini adalah eksplorasi dengan dasar pemikiran mengumpulkan bahan data untuk dapat memecahkan permasalahan hukum yang ada.

B. Sumber dan jenis data


(20)

2 1. Data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari penelitian di lapangan dalam hal ini melihat pendapat responden tentang penegakan hukum pidana terhadap pelaku pembunuhan berencana dengan hukuman seumur hidup. 2. Data sekunder yaitu data yang diperoleh dari studi keperpustakaan terhadap

bahan-bahan hukum :

a. Bahan hukum primer yang terdiri atas

-Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 Jo Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 tentang Pemberlakuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. -Undang-Undang No.8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang

Hukum Acara Pidana (KUHAP).

b. Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang erat hubungannya denganbahan hukum primer, terdiri dari peraturan pemerintah, rancangan Undang-Undang, keppres, keputusan mentri, putusan hakim, hasil penelitian dan sebagainya.

c. Bahan hukum tersier

yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum skunder yang dapat berupa pendapat para sarjana dan ahli hukum, surat kabar, website internet dan kamus bahasa Indonesia.


(21)

3 C. Penentuan Populasi dan Sampel

1. Penentuan populasi

Populasi adalah jumlah dari keseluruhan dari unit yang cirri-ciri nya akan di tasir dan objeknya di teliti, ( Masri Singarimbun, 1987 : 152 ). Sedangkan menurut kartinii kartono ( 1983 : 116) populadi adalah semua jumlah individu-indivu dari mana di ambil sampel. Sampel adalah sebagian sampel yang dijadikan objek penelitian. Digunakan apabila ukuran populasinya relatif besar, sampel representant adalah sampel yang memiliki karakteristik yang sama atau relatif sama denagn populadinya, atau wakil dari satu populasinya, atau wakil dari satu populasi yang cukup besar jumlahnya ( Kartini Kartono, 1983 : 15).

Penelitian ini yang menjadi populasi adalah aparat penegak hukum yaitu Hakim di Pengadilan Negeri Kelas I. A Tanjung Karang yang pernah memutus perkara tindak pidana pembunuhan berencana dengan hukuman seumur hidup, dan untuk mendapatkan gambaran lebih propesional terhadap pertimbngan hakim maka data primer bersifat tanbahan (supplement) penulis menggunakan responden Hakim Pengadilan Negeri Kelas I.A Tanjung karang.

Metode pengambilan sampel secara “purposive sampling” yang berarti bahwa dalam penentuan sampel disesuaikan dengan tujuan yang hendak dicapai, dan telah di anggap mewakili populasi terhadap masalah yang hendak dicapai.

Adapun Responden yang dijadikan sebagai sampel dalam penelitian ini hakim yang memutus perkara Nomor : 95/pid/B/2010/PN.TK. tentang tindak Pidana Pembuhunan Berencana dengan Hukuman Seumur Hidup.


(22)

4 3. Penentuan Sampel

Sampel adalah bagian yang diambil dari popualasia dengan menggunakan cara-cara tertentu (Hadari Nawawi, 1987:141).

Maka dalam penelitian ini di ambil Responden sebanyak 6 (enam) orang :

1. Jaksa pada Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 2(dua) orang 2. Hakim pada Pengadilan Negeri kelas IA Tanjung Karang : 2 (dua) orang 3. Dosen bagian Hukum Pidana Universitas Lampung : 2 dua) orang

6 (enam) orang

A. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Metode Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam pembuatan skripsi ini akan ditentukan dengan cara-cara sebagai berikut:

a. Data sekunder

Rangkain didapatkan melalui studi-studi keperpustakaan dengan cara membaca, mencatat dan mengutip serta menelaah peraturan perundang-undangan dan informasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian yang di lakukan.

b. Data primer

Studi diperoleh dengan mengadaka penelitian dilingkungan wilayah Bandar lampung, adapun metode yang digunakan adalah wawancara yang dilakukan dengan tujuan mendapatkan informasi dengan cara bertanya langsung dengan responden.


(23)

5 2. Metode pengolahan data

Mengenai pelaksanaan Pengolahan data yang telah diperoleh, penulis mengadakan kegiatan sebagai berikut :

a. Editing, yaitu memeriksa kembali mengenai kelengkapan jaawban yang diterima kejelasanya dan relevasinya bagi penelitian.

b. Tabulating, yaitu data yang telah diklarifikasikan tersebut akan disajikan dalam bentuk tabel.

c. Sistematisasi data, yaitu melakukan penyusunan data dan istematis dan konsisten.

B. Analisis Data

Data yang di peroleh kemudian di analisis secara kualitatif dengan mendeskripsikan data yang dihasilkan dari penelitian dilapangan kedalam bentuk penjelasan. Dari hasil analisis tersebut dapat diketahui dan diperoleh kesimpulan secara induktif, yaitu suatu car berfikir dalam mengambil kesimpulan secara umum yang didasarkan atas fakta-fakta yang bersifat khusus dan selanjutnya dari beberapa kesimpulan tersebut dapat diajukan saran-saran.


(24)

6

DAFTAR PUSTAKA

Soekanto, Soejono. 1996.Pengantar Penelitian Hukum.Jakarta: UI Pres. ………dan Sri Mamuji. .1994.Pengantar Penelitian Hukum Normatif

Suatu Tinjauan Praktis.Jakarta: Rajawali Pers.


(25)

(26)

(27)

(28)

(29)

(30)

(31)

(32)

(33)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana ... 15

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana .... ... 17

C. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ... 20

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 33 DAFTAR PUSTAKA


(34)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 35 B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana

Pembunuhan dengan Rencana……… 36 C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan

Pidana Kepada Pelaku Pembunuhan dengan Rencana…... 49 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 56 B. Saran... 57


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

DAFTAR ISI

Halaman I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ... 1

B. Permasalahan dan Ruang Lingkup ... 7

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 7

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 8

E. Sistematika Penulisan ... 12

DAFTAR PUSTAKA II. TINJAUAN PUSTAKA A. Pengertian dan Tujuan Hukum Pidana ... 15

B. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana .... ... 17

C. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana ... 20

DAFTAR PUSTAKA III. METODE PENELITIAN A. Pendekatan Masalah ... 29

B. Sumber dan Jenis Data ... 30

C. Penentuan Populasi dan Sampel ... 31

D. Metode Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 32

E. Analisis Data ... 33 DAFTAR PUSTAKA


(6)

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Karakteristik Responden ... 35 B. Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana

Pembunuhan dengan Rencana……… 36 C. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan

Pidana Kepada Pelaku Pembunuhan dengan Rencana…... 49 DAFTAR PUSTAKA

V. PENUTUP

A. Kesimpulan... 56 B. Saran... 57


Dokumen yang terkait

Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

5 92 87

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

0 64 103

Pertanggungjawaban Pidana Bagi Terdakwa Anak Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan Sesuai Dengan PASAL 340 KUHP(Studi Kasus Putusan No. 3.682 / Pid.B / 2009 / PN. Mdn)

5 97 123

Pertanggungjawaban Pelaku Tindak Pidana Paedofilia Ditinjau Dari UU No. 23/2002 Tentang Perlindungan Anak dan KUHP (Studi Kasus Pengadilan Negeri Medan

3 83 90

Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Pelaku Tindak Pidana Perusakan dan Pencemaran Lingkungan (Studi Putusan MA RI No. 755K/PID.SUS/2007)

1 50 100

Analisis Putusan Pengadilan Terkait Penerapan Pidana Bersyarat Terhadap Anak Sebagai Pelaku Tindak Pidana Pembunuhan (Studi Kasus Putusan Nomor 227/Pid.Sus/2013/Pn.Bi)

3 82 103

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK PIDANA PENGGELAPAN UANG PERUSAHAAN (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Perkara Nomor: 167/Pid.B/2011/PN.TK)

4 14 77

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PEMBUNUHAN BERENCANA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang No. 508/ PID/B 2011/PN.TK)

3 17 55

ANALISIS PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Kasus Putusan Pengadilan Negeri No.06/PID.TPK/2011/PN.TK )

0 9 60

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA TERHADAP JAKSA SEBAGAI PELAKU PENYALAHGUNAAN NARKOTIKA (Studi Putusan Pengadilan Negeri Tanjung Karang Nomor 154/Pid.B/2012/PN.TK)

0 8 37