commit to user
10
Penggunaan aliterasi s menimbulkan bunyi yang berirama dan menimbulkan kesan keindahan.
2.6. Aliterasi
Purwakanthi Guru Sastra
t
Bunyi konsonan t merupakan konsonan hambat letup
apiko-dental
, yaitu konsonan keras tak bersuara. Bunyi konsonan t berfungsi memberikan tekanan
struktur ritmis pada sebuah kata. Berikut data yang memanfaatkan bunyi konsonan t.
19
katur ratunipun
STB2L7 ‘mempersembahkan kepada rajanya’
Data tersebut menunjukkan aliterasi t yang berdistribusi di tengah kata. Data
katur
‘dipersembahkan’ berealisasi sebagai
ultima
, karena konsonan t terletak di akhir suku kata. Data
ratunipun
‘rajanya’ merupakan
antepaenultima
, karena konsonan t terletak di suku kata ketiga dari belakang. Penggunaan aliterasi
t tersebut bertujuan untuk mempertegas arti lirik tembang. Aliterasi t tersebut juga menimbulkan kesan keindahan, karena setelah konsonan t pada kedua kata
di atas diikuti dengan bunyi vokal u. 2.7.
Aliterasi
Purwakanthi Guru Sastra
ng atau konsonan n sanding g
Adanya variasi aliterasi
G
pada setiap kata ataupun suku kata menonjolkan unsur estetis bunyi sengau.
20
aprang tandhing lan ditya Ngalêngka aji
STB2L10 ‘Perang tanding melawan raja raksasa Ngalêngka’
Data di atas menunjukkan variasi aliterasi
G
yang berfungsi untuk memberikan irama bunyi sengau yang ritmis pada setiap katanya. Aliterasi
G
pada kata
aprang
‘perang’ dan kata
tandhing
‘tanding’ terletak di suku kata terakhir
ultima
yang memiliki kedekatan makna kata, sedangkan aliterasi
G
pada kata
Ng alêngka
‘Ngalêngka’ terletak di suku kata pertama dan suku kata kedua dari belakang
paenultima
menegaskan bahwa perang terjadi di negeri Ngalêngka.
3.
Purwakanthi Lumaksita Purwakanthi Basa
Purwakanthi lumaksita
disebut juga
purwakanthi basa,
yaitu pengulangan satuan lingual yang berupa suku kata, kata, frasa, klausa atau kalimat pada satuan
lingual berikutnya. Contoh: 21
guna bisa saniskarèng karya
STB2L2 ‘pandai dalam segala hal pekerjaan’
Data tersebut menunjukkan adanya
Purwakanthi Lumaksita
yaitu berupa perulangan suku kata
kar
pada kata
saniskarèng
‘segala hal’ dan pada kata
kar ya
‘pekerjaan’. Perulangan suku kata
kar
menciptakan kesan ritmis dan berfungsi menimbulkan keindahan bunyi.
B. Pemanfaatan Aspek Penanda Morfologis dan Diksi dalam
Sêrat Tripama
Karya KGPAA Mangkunegara IV 1.
Morfologi Literer
Aspek penanda morofologis yang terdapat dalam
Sêrat Tripama
yaitu berupa afiksasi dan reduplikasi. Afiksasi tersebut meliputi prefiks
atêr-atêr
, sufiks
panambang
, infiks
sêsêlan
, konfiks
imbuhan bêbarêngan rumakêt
, dan simulfiks
imbuhan bêbarêngan rênggang
. Reduplikasi dalam
Sêrat Tripama
berupa
dwilingga
. Adapun uraiannya sebagai berikut. 1.1.
Afiksasi Imbuhan a.
Prefiks Awalan
Atêr-atêr
commit to user
11
Prefiks awalan dalam bahasa Jawa disebut sebagai
atêr-atêr
. Prefiks lazimnya berdistribusi di sebelah kiri atau di depan kata dasar. Adapun penulisan
prefiks dirangkai dengan kata dasarnya. Prefiks yang ditemukan dalam
Sêrat Tripama
meliputi prefiks {
pi-
}, prefiks {
ka-
}, dan prefiks {
pra-
}. Adapun data- data yang menunjukkan penggunaan prefiks tersebut akan dijelaskan sebagai
berikut. 22
déné sira pikantuk
STB6L5 ‘demikian ia mendapat
Kata
pi kantuk
‘mendapat’ berasal dari kata dasar
antuk
‘dapat’, mendapat imbuhan berupa prefiks {
pi-
}. Munculnya konsonan k di antara prefiks {
pi
-} dan kata dasar
antuk
‘dapat’ berfungsi untuk mempermudah pengucapannya. Hadirnya imbuhan {
pi-
} pada kata
pi kantuk
‘mendapat’ tidak mengubah kelas katanya. 23
ka tri mangka sudarsanèng Jawi
STB7L1 ‘ketiganya sebagai teladan orang Jawa’
Data tersebut menunjukkan penggunaan prefiks {
ka-
} pada kata
ka tri
‘ketiga’. Prefiks {
ka-
} pada kata tersebut berfungsi sebagai penunjuk urutan bilangan, yakni menunjuk urutan bilangan yang ketiga.
24
tan prabéda budi panduming dumadi
STB7 L9 ‘tidaklah berbeda usaha menurut takdrinya sebagai makhluk’
Data tersebut menunjukkan adanya prefiks {
pra-
} yang melekat pada kata
béda
‘beda’, sehingga menjadi kata
pra béda
‘berbeda’. Prefiks {
pra-
} tersebut berfungsi sebagai penegas kata dasar.
b. Sufiks Akhiran
Panambang
Sufiksakhiran dalam bahasa Jawa disebut dengan
panambang
, yaitu imbuhan yang berada di belakang kata dasar. Penulisan sufiks akhiran
panambang
harus dirangkai dengan kata dasarnya. Berikut akan diuraikan sufiks akhiran
panambang
yang terdapat dalam
Sêrat Tripama
, yaitu sufiks {
-ira
}, sufiks {
-ipun
}, sufiks {
-nya
}, dan sufiks {
-ing}
. 25
yogyanira kang para prajurit
STB1L1 ‘seyogyanya para rajurit’
Kata
yogyanira
‘seyogyanya’ pada data di atas berasal dari kata dasar
yogya
‘harus’ yang memilki vokal akhir a terbuka. Kata
yogya
mendapatkan sufiks
ira
, sehingga menjadi
yogyanira
‘seyogyanya’. Timbulnya konsonan n pada kata
yogyanira
‘seyogyanya’ berfungsi sebagai pelancar bunyi untuk memudahkan dalam pengucapannya. Pemanfaatan sufiks {
-ira
} terkesan lebih indah dibandingkan dengan sufiks {
-é
}. 26
lêlabuhanipun
STB1L7 ‘jasa-jasanya’
Pemanfaatan sufiks {
-ipun
} pada data tersebut ditunjukkan oleh kata
lêlabuhanipun
‘jasa-jasanya’ yang berasal dari kata dasar
lêlabuhan
+
ipun
. Sufiks {
-ipun
} merupakan imbuhan yang memiliki ragam krama. Kata
lêlabuhan
‘jasa- jasa’ memiliki kata dasar yang berakhiran konsonan, sehingga dalam penulisan
sufiks {
-ipun
} ditulis tetap. Penggunaan sufiks {
-ipun
} memberikan kesan lebih halus dibandingkan dengan penggunaan sufiks {
-é
}. 27
dènnya darbé atur
STB3L7 ‘dia memiliki permintaan’
Data di atas menunjukkan adanya pemanfatan sufiks {
-nya
} pada kata
dènnya
‘olehnya’. Adanya sufiks {
-nya
} tersebut mengacu kepada pronomina
commit to user
12
persona ketiga tunggal, sehingga penulisannya harus dirangkai dengan kata dasar yang melekat di sebelah kirinya.
28
manggala golonganing prang
STB5L8 ‘panglima di dalam golongan perang’
Kata
golonganing
‘golongannya’ pada data di atas berasal dari kata dasar
golongan+ing
. Data tersebut menunjukkan pemanfaatan sufiks {
-ing
}. Kata
golonganing
‘di dalam golongan’ memiliki kata dasar yang huruf akhirnya berupa konsonan, sehingga penulisan sufiks {
-ing
} tidak mengalami perubahan. c.
Infiks Sisipan
sêsêlan
Infiks sisipan dalam bahasa Jawa disebut dengan
sêsêlan
. Infiks merupakan imbuhan yang terdapat di tengah kata dasar. Dalam
Sêrat Tripama
ditemukan afiksasi berupa infiks atau
sêsêlan
{
in-
} dan
um-
}. Berikut uraian terkait data-data yang menunjukkan infiks {
in-
} dan {
um-
. 29
kang ginêlung tri prakara
STB1L8 ‘yang dimuat dalam tiga hal’
Pemanfatan infiks atau
sêsêlan
{-
in-
} pada data di atas terdapat pada kata
ginêlung
‘dimuat’. Kata
ginêlung
‘dimuat’ berasal dari kata dasar
gêlung
‘muat’ yang mendapat infiks {
in-
}. Pemanfaatan infiks {
-in-
} dalam tuturan di atas terasa lebih indah jika dibandingkan dengan prefiks {
di-
}. 30
Tan prabêda budi panduming dumadi
STB7L9 ‘tidaklah berbeda usaha menurut takdrinya sebagai makhluk’
Adapun data tersebut menunjukkan adanya pemanfaatan infiks {
um-
} pada kata
dumadi
‘makhluk’. Penggunaan infiks {
um-
} tersebut memberikan kesan arkhais pada kata dasarnya.
d. Konfiks Imbuhan secara Serentak
Imbuhan Bêbarêngan Rumakêt
Konfiks dalam bahasa Jawa disebut dengan
imbuhan bêbarêngan rumakêt
. Konfiks merupakan suatu proses afiksasi yang menggabungkan antara prefiks
atêr-atêr
dan sufiks
panambang
pada kata dasar secara serentak. Konfiks yang terdapat dalam
Sêrat Tripama
yaitu {
dèn-i
}, {
in-ké
}, dan {
ka-an
}. Berikut uraiannya.
31
guna kaya puruné kang dènantêpi
STB1L9 ‘pandai dan kemampuannya itulah yang ditekuni’
Data di atas menunjukkan simulfiks, yaitu kata
dènantêpi
‘ditekuni’ mengalami proses afiksasi yaitu
dèn-i + antêp = dènantêpi
. Pemanfaatan simulfiks {
dèn-i
} lebih menonjolkan aspek keindahan dan arkhais dalam suatu karya sastra
dibandingkan dengan simulfiks {
di-i
}. 32
bratayuda ingadêgkên sénapati
STB5L9 ‘diangkat sebagai senapati di perang baratayuda’
Konfiks {
in- -aké
} yakni pada kata
ingadêgkên
‘diangkat’. Prefiks {
-in-
} dan sufiks {
-aké
} bergabung secara serentak. Adapun sufiks {
-akên
} berasal dari sufiks {
-akê
} yang beragam ngoko, namun sufiks tersebut disesuaikan dengan konteks tuturan yang lebih halus, sehingga mengalami perubahan menjadi sufiks {
- akên
}. Data
ingadêgkên
‘diangkat’ mengalami pengurangan suara a di tengah kata.
e. Simulfiks Imbuhan secara Bertahap
Imbuhan Bêbarêngan Rênggang
Simulfiks dalam bahasa Jawa disebut dengan
imbuhan bêbarêngan rênggang
. Simulfiks merupakan suatu proses afiksasi yang menggabungkan antara prefiks
atêr-atêr
dan sufiks
panambang
pada kata dasar secara bertahap. Simulfiks yang
commit to user
13
terdapat dalam
Sêrat Tripama
yaitu {
sa- -ipun
}, {
ka-né
}, dan {
in-aké
}. Berikut uraiannya.
33
kaya sayêktinipun
STB2L4 ‘seperti kenyatannya’
Simulfiks {
sa- -ipun
} pada kata
sayêktinipun
‘kenyatannya’ data tersebut mengalami proses afiksasi sebagai berikut:
sa + yêkti + ipun
. Kata dasar
yêkti
‘nyata’ lebih dahulu bergabung dengan prefiks {
sa-
} sehingga menjadi kata
sayêkti
‘kenyataan’. Selanjutnya, kata
sayêkti
‘kenyataan’ mengalami penggabungan dengan sufiks {
-ipun
} sehingga menjadi kata
sayêktinipun
‘kenyatannya’. Kata
yêkti
merupakan kata dasar yang memiliki vokal akhir i, sehingga jika diberi sufiks {
-ipun
} penulisannya menjadi {
-nipun
} yang berfungsi untuk membantu mempermudah dalam pelafalannya.
34
nglungguhi kasatriyané
STB4L3 ‘menduduki sifat ksatriannya’
Data di atas menunjukkan adanya proses afiksasi yang berupa simulfiks pada kata
ka + satriya + né
=
kasatriyané
. Kata
kasatriyané
‘ksatriaannya’ berasal dari kata dasar
satriya
‘satria’, yang mendapat imbuhan berupa prefiks {
ka-
} menjadi
kasatria
‘ksatria’. Selanjutnya, kata
kasatria
‘ksatria’ mendapatkan imbuhan lagi berupa sufiks {
-né
} sehingga menjadi
kasatriyané
‘ksatriaannya’. Adanya imbuhan {
ka-né
} secara bertahap pada kata tersebut tidak mengubah kelas kata.
35
minungsuhkên kadangé pribadi
STB6L1 ‘berlawankan saudaranya sendiri’
Data di atas menunjukkan imbuhan yang berupa simulfiks {
in- -aké
}, yaitu gabungan antara infiks {
-in-
} dan sukfiks {
-aké
} atau sama dengan {
di- -aké
}. Kata
minungsuhkên
‘berlawankan’ berasal dari kata dasar
mungsuh
‘musuh’, yang mendapatkan infiks {
-in-
} menjadi kata
minungsuh
‘berlawankan’. Setelah itu, kata
minungsuh
‘berlawankan’ mendapatkan imbuhan yang berupa sufiks {
-aké
} yang beragam ngoko, menjadi kata
minungsuhaké
‘berlawankan’. Untuk mendapatkan unsur keindahan dan makna yang lebih sopan, maka selanjutnya sufiks {
-aké
} yang beragam ngoko tersebut diubah dengan sufiks yang beragam krama, yaitu sufiks {
- akén
}. Data
minungsuhkên
‘berlawankan’ juga mengalami pengurangan vokal a di tengah kata
sinkop
, yakni dari kata
minungsuhakên
menjadi kata
minungsuhkên
. 1.2.
Reduplikasi
a.
Dwilingga Wutuh Dwilingga wutuh
merupakan perulangan kata yang sama pada kata selanjutnya, bisa dengan menambahkan atau mengurangi salah satu vokal atau
konsonan. 36
kinarya gul-agul
STB5L7 ‘yang dijadikan andalan’
Data di atas menunjukkan pemanfaatan
dwilingga wutuh,
yaitu berupa pengulangan kata
agul
‘andalan’ yang diulang menjadi
gul-agul
‘andalan’. Kata
gul-agul
‘andalan’ pada dasarnya berasal dari kata
agul-agul
‘andalan’ yang berkelas kata sebagai kata benda. Kata
gul-agul
‘andalan’ mengalami pelesapan vokal a di bagian awal kata. Pelesapan tersebut bertujuan untuk memenuhi
konvensi sastra berupa jumlah
guru wilangan
pada baris ke tujuh yang berjumlah enam suku kata. Pengulangan kata
gul-agul
‘andalan’ menimbulkan kesan indah.
commit to user
14
2. Diksi