PENDAHULUAN Kajian Stilistika dalam Serat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV JURNAL

commit to user 2

1. PENDAHULUAN

Bahasa dalam sebuah karya sastra berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari dan bahasa pada karya ilmiah. Bahasa karya sastra merupakan hasil ide atau kreativitas pengarang yang membutuhkan pemiran yang mendalam, sedangkan bahasa dalam kehidupan sehari-hari terjadi secara spontan atau refleks yang bersifat praktis, mudah dimengerti, dan tidak mementingkan struktur karena lebih menekankan unsur komunikatif. Bahasa pada karya ilmiah bersifat denotatif, lebih terstruktur, langsung diarahkan ke objek sasaran, menghindarkan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Bahasa karya sastra mengutamakan unsur estetis, fungsi mediasi dan emosionalitas. Perbedaan tersebut tergantung dalam proses seleksi, memanipulasi, mengombinasikan kata-kata Nyoman Kutha Ratna, 2009: 14-15. Têmbang merupakan salah satu bentuk karya sastra sebagai hasil penuangan ide atau gagasan yang dimanifestasikan ke dalam bahasa dan memiliki makna filosofis bagi kehidupan manusia. Têmbang - têmbang Jawa tersebut memiliki nilai- nilai ajaran yang adiluhung , sehingga tidak heran jika sering diabadikan dalam karya sastra yang berupa sêrat . Sêrat tersebut lazimnya menggunakan ragam bahasa yang berbeda dari bahasa pada umumnya. Bahasa yang digunakan dalam sêrat cenderung menggunakan ragam bahasa literer dan memiliki nilai estetis. Sêrat banyak ditemukan aspek bunyi asonansi, aliterasi, dan purwakanthi lumaksita , aspek morfologi dan diksi, dan penggunaan gaya bahasa yang memiliki makna konotatif. Hal tersebut menimbulkan suatu permasalahan dalam hal penggunaan bahasa. Masalah-masalah yang timbul dalam penggunaan bahasa sangatlah kompleks, dan di setiap masalah kebahasaan dapat dikaji dari sudut pandang yang berbeda-beda. Dalam penelitian ini akan mengkaji penggunaan bahasa dalam Sêrat Tripama . Berikut adalah unsur stilistika yang ditemukan dalam têmbang Dhandhanggula Sêrat Tripama. 1 yogyanira kang para prajurit STB1L1 ‘seyogyanya para prajurit’ Pada data 1 di atas terdapat asonansi purwakanthi guru swara atau pengulangan huruf vokal a yang terdapat dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata ketiga dari belakang anteapaenultima ; kang ‘yang’ pada suku kata pertama; prajurit ‘prajurit’ pada suku kata pertama. Adapun asonansi purwakanthi guru swara atau perulangan bunyi huruf O terdapat dalam kata yogyanira ‘seyogyanya’ pada suku kata terakhir; dan dalam kata para ‘para’ pada suku kata pertama dan suku kata terakhir. Di samping itu, asonansi a dtemukan pada kata para yaitu pada suku kata pertama dan suku kata terakhir ultima . Dengan adanya asonansi purwakanthi guru swara O dan a tersebut membuat lirik pada contoh data 1 menjadi lebih merdu. 2 liré lêlabuhan tri prakawis STB2L1 ‘arti jasa bakti yang tiga macam’ Pada data 2 di atas terdapat aliterasi purwakanthi guru sastra yang berupa konsonan r, yaitu dalam kata liré ‘arti’ pada suku kata terakhir; tri ‘tiga’ pada suku kata pertama; dan dalam kata prakawis ‘macam’ pada suku kata pertama. Adanya commit to user 3 aliterasi purwakanthi guru sastra tersebut membuat lirik têmbang menjadi lebih indah dan juga untuk mempertegas makna têmbang. Selain purwakanthi guru swara dan purwakanthi guru sastra juga ditemukan purwakanthi lumaksita atau purwakanthi basa . Adapun contoh penggunan data yang mengandung Purwakanthi Lumaksita sebagai berikut. 3 guna bisa saniskarèng karya STB2L2 ‘memiliki kepandaian dan kemampuan dalam segala pekerjaan’ Data 3 menunjukkan adanya pemanfaatan purwakanthi lumaksita yang berupa perulangan suku kata kar pada kata saniskarèng ‘dalam segala’ dan pada kata karya ‘pekerjaan’. Perulangan suku kata kar pada kedua kata tersebut memberikan kesan estetis dalam pelafalannya, sehingga kedua kata tersebut terasa merdu. Sêrat Tripama merupakan karya sastra yang diciptakan oleh salah satu raja pujangga Mangkunegaran, yaitu Kangjeng Gusti Pangeran Adipati Arya Mangkunegara IV. Sêrat Tripama berisi tentang ajaran keprajuritan yang ditujukan bagi prajurit Mangkunegaran pada masa itu. Sêrat tersebut berbentuk têmbang Dhandhanggula yang berjumlah tujuh bait. Karena bentuk Sêrat Tripama berupa têmbang, maka menjadi suatu kelaziman jika bahasa yang digunakan adalah bahasa yang mengandung ragam bahasa literer dan tidak mudah dipahami oleh orang awam pada umumnya. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer, pemanfaatan diksi, dan pemanfaatan gaya bahasa yang digunakan dalam Sêrat Tripama . Pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer berupa penambahan imbuhan yang meliputi prefiks, sufiks, infiks, sufiks, dan simulfiks. Kesan arkhais dan indah karena adanya diksi yang meliputi sinonimi, antonimi, protesis, têmbung plutan, têmbung garba, têmbung camboran, têmbung saroja , dan penggunaan bahasa Jawa Kuna Sanskerta. Berikut akan diuraikan beberapa contoh pemanfaatan diksi dalam Sêrat Tripama . 4 yogyanira kang para prajurit STB1L1 ‘seyogyanya para prajurit’ Data 4 menunjukkan pemanfaatan aspek penanda morfologis yang berupa akhiran atau sufiks { -ira }. Pemanfaatan sufiks { -ira } tersebut masih termasuk rumpun bahasa Jawa Kuna, sehingga kata yang dilekati sufiks tersebut terkesan lebih arkhais. 5 binudi dadi unggulê STB2L3 ‘diusahakan menjadi yang unggul’ Imbuhan yang berupa infiks { -in- } pada kata binudi ‘diusahakan’ merupakan salah satu contoh pemanfaatan aspek penanda morfologis ragam literer. Infiks { -in- } pada konteks data 5 di atas terasa lebih indah dibandingkan dengan afiks lain yang berarti sama, misalnya prefiks { di- }. 6 tur iku warna diyu STB3L4 ‘meskipun itu berwujud raksasa’ Data 6 menunjukkan adanya diksi yang berupa pemanfaatan bahasa Jawa Kuna atau bahasa Sanskerta. Kata diyu ‘raksasa’ merupakan kata yang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang berarti raksasa. Pemilihan kata diyu dalam konteks kalimat tersebut menjadikan tuturan lebih arkhais, sehingga menimbulkan kesan keindahan. 7 katri mangka sudarsanèng Jawi STB7L1 ‘ketiganya merupakan teladan bagi orang Jawa’ commit to user 4 Kata sudarsanèng ‘teladan bagi’ pada data 7 di atas merupakan diksi yang berupa têmbung garba , yaitu gabungan dua kata yang mengalami persandian di dalamnya. Kata sudarsanêng ‘teladan bagi’ berasal dari kata sudarsana ‘teladan’ dan kata ing ‘di’. Pertemuan vokal O pada akhir kata sudarsana dengan vokal i pada awal kata i ng ‘di’ menjadikan kedua kata tersebut mengalami persandian, sehingga menjadi vokal è. Adanya pemanfaatan têmbung garba tersebut berfungsi untuk menjadikan tuturan lebih indah, dan juga untuk memenuhi konvensi tembang yang berupa jumlah guru wilangan pada setiap barisnya. Selain pemanfaatan bunyi bahasa dan pemanfaatan aspek penanda morfologis serta diksi, dalam penelitian ini juga ditemukan adanya pemanfaatan gaya bahasa. Aspek gaya bahasa dalam Sêrat Tripama meliputi gaya bahasa simile, epilet, anastrof, eponim, hiperbola, metonimia, dan inuendo. Pemanfaatan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama betujuan untuk memberikan kesan yang tidak lazim atau arkhais sehingga bahasa yang digunakan di dalamnya tidak monoton dan memiliki fungsi keestetisan suatu tembang. Adapun contoh penggunaan gaya bahasa dalam Sêrat Tripama adalah sebagai berikut. 8 duk bantu prang Manggada nagri STB2L5 ‘ketika berperag membantu negeri Manggada’ Frasa Manggada nagri ‘negeri Manggada’ pada data di atas merupakan salah satu contoh pemanfaatan gaya bahasa yang berupa gaya bahasa anastrof. Gaya bahasa anastrof merupakan pemanfaatan gaya bahasa dengan cara pembalikan susunan kata. Pembalikan kata Manggada nagri ‘negeri Manggada’ seperti yang ditunjukkan oleh data 8 bertujuan untuk memenuhi konvensi sastra yang berupa jatuhnya guru lagu i pada têmbang dhandhanggula, yakni di akhir kalimat pada baris ke lima. Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengkaji Sêrat Tripama dengan kajian stilistika. Alasan pemilihan topik penelitian ini yaitu peneliti ingin mengetahui dan mengkaji: 1 aspek-aspek penanda bunyi yang terkait dengan fungsi pemanfaatan purwakanthi guru swara O , a, i, dan u, 2 aspek penanda morfologis ragam literer dan diksi yang arkhais, dan 3 aspek pemanfaatan gaya bahasa yang berkaitan dengan keprajuritan dalam Sêrat Tripama Karya KGPAA Mangkunegara IV.

2. LANDASAN TEORI