kekuatan otak dari para legal scholar melalui doktrin untuk membuat putusan yang justifiable. Sebab, jika tidak, seperti Scholten melanjutkan:
“Siapa yang berusaha melepaskan diri daripadanya akan tersisih sebagai orang yang berlagak pandai dan berlagak tahu, berdiri di luar
perkembangan jiwa-jiwa .”
13
Ketika hakim berusaha mengabaikan doktrin untuk memutus maka sebenarnya seperti dikatakan Scholten ia telah tersisih sebagai orang yang
berlagak pandai dan berlagak tahu. Ia telah mengabaikan kekuatan otak yang menjadikan doktrin otoritatif, tanpa tahu barangkali kekuatan otaknya sendiri
dalam hal ini knowledge adalah sangat terbatas.
A. Doktrin sebagai Sumber Hukum Tambahan
Doktrin memiliki otoritasnya sendiri. Namun, sifatnya yang otoritatif tersebut terbatas ketika disandingkan dengan sumber hukum mengikat
lainnya seperti undang-undang atau putusan pengadilan. Sifat doktrin memang sekunder dilihat dari perannya yang bukan menetapkan hukum
secara langsung tetapi mengklarifikasi ketentuan hukum. Shecaira juga mengatakan hal yang sama terkait keberadaan doktrin dalam kaitannya
dengan sumber hukum mengikat lain bahwa, “should be used and enforced
in a sense of should that is fairly strong but not strong enough to count as
13
Ibid., h.139. Dalam bukunya Paul Scholten, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda, h.131.
authoritative —as is the case with mandatory sources.”
14
Sebelum melihat lebih dalam mengenai posisi doktrin dalam sumber hukum, ada baiknya
dilihat kategori-kategori sumber hukum menurut Peczenik yaitu konsep sumber must-, should-, dan may-. Lebih lanjut ia menjelaskan dari konsep
tersebut sebagai berikut. The following comments elucidate the complex meaning of “must”,
“should” and “may”. 1. The “must-sources” are more important than the “should-sources”
which are more important tha n the “may-sources”.
One way to make this hierarchy of importance precise is, what follows. a. The more important sources are stronger reasons than the less
important ones.
b. Reasons strong enough to justify disregarding a less important source may be weaker than those required to justify disregarding a
more important one.
c. If a more important source is incompatible with a less important one, e.g. if a statute is incompatible with a view expressed in
legislative preparatory materials, the former has a prima facie priority. One thus ought to apply the more important source, not the
less important one, unless sufficiently strong reasons support the opposite conclusion.
d. Many cumulated weak reasons often take priority over fewer strong ones.
e. Whoever wishes to reverse the priority order, has a burden of reasoning.
14
Fabio P.Shecaira, Legal Scholarship as a Source of Law, Op.Cit, 2013, h.viii.
2. If one only considers judicial reasoning, one may add, what follows. The courts have a strong duty to apply the “must-sources”. They have
a weak duty to apply the “should-sources”.This distinction is, however, difficult to state precisely. One way is to point out that the
consequences of disregarding the “should-sources” are usually milder.
15
Kurang lebih ketika melihat penjelasan di atas, kategori-kategori tersebut dirumuskan dengan konsep yang hirarkis. Sumber hukum yang
paling kuat menurut pengkategorian tersebut adalah must-sources. Must- sources dikatakan adalah sumber hukum yang lebih penting dari should-
sources dan keduanya itu lebih penting dari may-sources. Namun dalam hirarki yang dijelaskan ini dimungkinkan sumber hukum yang lebih ‘lemah’
bisa mengenyampingkan yang lebih ‘kuat’. Membalik urutan prioritas tersebut memiliki beban penalaran. Pengadilan tentu memiliki kewajiban
yang kuat untuk menggunakan must-sources, karena must-sources merupakan mandatory authority. Pengadilan dalam membuat putusan tidak
terikat dengan should-sources dan bisa mengabaikannya. Doktrin atau scientia juris menurut Penulis berada pada kategori
should-souces. Doktrin dalam posisinya yang otoritatif tidak memiliki kekuatan mengikat binding seperti halnya sumber hukum yang dikatakan
must-sources atau misalnya secara konkrit undang-undang. Doktrin tidak memiliki kekuatan mengikat tetapi lebih ke sifatnya yang membimbing atau
15
Peczenik, On Law and Reason, Op.Cit, h.263.
menuntun guiding. Tetapi doktrin tidak juga termasuk dalam may-sources karena otoritasnya sebagai doktrin
—scientia juris. Doktrin mungkin saja termasuk dalam may-sources, tetapi dalam konteks doktrin yang lebih luas
bukan doktrin yang dimaksud dalam tulisan ini yaitu scientia juris. Oleh karena itulah, ketika masuk dalam kategori should-sources, doktrin
merupakan sumber hukum tambahan. Tetapi harus diingat pula bahwa tidak menutup kemungki
nan sumber hukum yang lebih ‘penting’ dikesampingkan oleh kategori di bawahnya. Dengan demikian scientia juris dalam posisi
mengikat binding hakim ketika memutus berada pada sumber hukum tambahan.
B. Eksistensi Doktrin terhadap Hukum Positif