B. HGU Perkebunan
1. Dari Hak Erfpacht menjadi Hak Guna Usaha
Pelser dan Stoler mengunkapkan bahwa penguasaan dan pemanfaatan sumber daya agraria di Indonesia memiliki akar sejarah
yang panjang, tidak sekedar berhubungan dengan masalah pengelolaan atasnya, tetapi juga berkaitan dengan proses eksploitasi di atasnya,
yang dalam prakteknya tidak jarang menggunakan kapital besar seperti semasa pemerintahan kolonial Chandra, 2006. Untuk kasus
perusahaan perkebunan Pagilaran misalnya, pengusaha partikelir kolonial pada awalnya hanya menyewa tanah milik penduduk
setempat untuk ditanami tanaman produksi. Untuk memperbesar dan mengembangkan usahanya, mulailah para pengusaha tersebut
mengajukan permohonan hak erfpacht. Kata erfpacht sendiri berasal dari kata erfelijk yang berarti
turun-temurun, dan pacht yang berarti sewa.jadi hak erfpacht berarti hak sewa turun-temurun. Menurut Juliantara dan Fauzi, hak ini
merupakan hak benda paling luas yang dapat dibebankan atas benda orang lain. Oleh karena itu hak ini sangat dibutuhkan oleh para
pengusaha perkebunan Chandra, 2006. Hak erfpacht juga dapat ditetapkan di atas tanah rakyat bila pemiliknya bersedia melepaskan
haknya. Dalam prakteknya, pada masa dijalankannya peraturan ini, proses pelepasan hak itu seringkali dilakukan secara paksa Mubyarto,
dkk, 1992: 39.
Keinginan para pengusaha partikelir kolonial semakin menggila denagn mengambil lahan-lahan subur milik rakyat tani, bahkan dalam
waktu singkat membabati lahan-lahan hutan yang belum dijamah oleh manusia, untuk dijadikan sumber produksi. Dimulai dari merampas
hak komunitas atau kolektif dan menjadikannya milik pribadi, pada akhirnya mengintegrasikan areal yang sangat luas ke dalam tatanan
kapitalis. Selain itu tidak kalah mendasarnya adalah memisahkan massa rakyat tani dari sumber daya agraria yang selama ini diakses
untuk menjadi sumber produksi dan reproduksi sosial Chandra, 2006:2.
HGU untuk perkebunan-perkebunan besar mulai dikenal di Indonesia seiring dengan ditetapkan dalam UU PA No 51960. Asal
mula hak ini adalah konversi dari hak erfpacht yang dikenal di Barat dan digunakan pada masa kolonial. Tercatat bahwa selama
penggunaan hak erfpacht ini, kekayaan atas sumber-sumber agraria Indonesia tersedot oleh dan untuk kepentingan pengusaha dan
mengakibatkan rakyat Indonesia menjadi miskin. Karenanya tidak mengherankan kalau banyak kalangan mengatakan bahwa sebagian
konflik agraria di Indonesia adalah warisan kolonial, salah satu jejaknya adalah hak erfpacht ini yang dikonversi menjadi Hak Guna
Usaha. HGU dan hak erfpacht berbeda, tetapi dalam praktiknya sama
yakni memberi jaminan hukum untuk penguasaan tanah skala luas
pada pihak asing. Dalam perkembangannya, sengketa agraria di tanah- tanah ber-HGU tidak hanya dari tanah-tanah ex erfpacht yang
dikonversi, tetapi juga HGU yang terbit karena penetapan pemerintah. Hal ini dimungkinkan karena politik hukum agraria nasional kita
memberi ruang yang disebut hak menguasai negara. Modus operasi HGU semakin melebar dengan keluarnya PP
No.401996, di mana hak itu bisa ditetapkan di atas tanah yang bukan milik negara melalui mekanisme pelepasan hak. Begitu banyak
sengketa agraria disebabkan oleh Hak Guna Usaha. Sampai dengan tahun 2001, kasus di areal perkebunan yang tercatat berjumlah 344
kasus. Jumlah ini dapat dibandingkan dengan aksi re-claiming yang dilakukan petani atau masyarakat adat pasca reformasi. Data yang
ditunjukkan oleh Imam Koeswahyono yang diolah dari data Direktorat Jendral Perkebunan, sampai bulan September 2000, sebanyak 118.830
Ha perkebunan milik negara yang telah di-re-claiming dengan kerugian sekitar 46,5 miliar rupiah, sedang perkebunan swasta 48.051
Ha. Tanah-tanah HGU jadi konflik karena sejak penetapannya
diawali dengan manipulasi dan seringkali dengan cara kekerasan. Lahan HGU Pagilaran adalah HGU yang berasal dari konversi hak
erfpacht, yang seharusnya sudah tidak ada. Akan tetapi HGU Pagilaran masih berlaku sampai tahun 2008. Akibatnya, rakyat
kehilangan tanah, dan petani tak bertanah atau berlahan sempit pun semakin meluas.
2. Masihkah HGU Relevan sekarang ?
Salah satu agenda penting dari pembaharuan agraria adalah penataaan soal penguasaan, peruntukan, dan pemanfaatan sumber-
sumber agraria. Sehingga rekomendasi yang muncul dari fungsionaris Konsorsium Pembaruan Agraria KPA yaitu:
a. HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht dihapuskan dan dijadikan tanah negara serta menjadi objek landreform. Dasar rekomendasi
tersebut adalah bahwa masa HGU ex erfpacht ini sudah habis, karena ketentuan konversi dalam UU PA No 51960 disebutkan
bahwa ”hak erfpacht untuk perkebunan besar yang ada pada mulainya undang-undang ini, sejak saat tersebut menjadi hak guna
usaha Pasal 28 Ayat 1 yang akan berlangsung selama sisa waktu hak erfpacht tersebut, tetapi selama-lamanya 20 tahun.” Ini artinya
sejak tahun 1980 HGU yang berasal dari tanah ex erfpacht sebenarnya harus sudah tidak ada. Tetapi HGU Pagilaran masih
berlaku sampai saat ini, karena baru akan habis tahun 2008. b. HGU yang bukan ex erfpacht dilakukan audit total yang meliputi:
1 produktif dikelola sendiri secara aktif atau tidak produktif tidak dikelola sendiri secara aktif. Yang tidak produktif dan
tidak dikelola oleh pemiliknya sendiri, diambil alih oleh negara dan dijadikan objek landreform. Hal ini didasarkan atas
kenyataan bahwa banyak HGU yang ditelantarkan oleh pemiliknya, serta tidak dikerjakan sendiri oleh pemiliknya secara
aktif; 2 berdasarkan asal mula HGU, yang terbit dengan cara merampas
dan menggusur tanah-tanah rakyat atau ganti rugi tapi tidak sesuai, dikembalikan pada pemilik sebelumnya.
c. HGU jangan diterbitkan di atas tanah-tanah yang sudah dikuasai dan digarap oleh rakyat. Fenomena maraknya reclaiming dan okupasi
yang dilakukan rakyat atas tanah-tanah perkebunan pascareformasi hendaknya menjadi indikasi perlunya pengakuan secara legal formal
atas tanah rakyat tersebut. Legalisasi tanah rakyat hasil reclaiming dan okupasi mesti diupayakan serius.
d. HGU untuk perkebunan besar hanya untuk usaha bersama dan dalam bentuk koperasi. Perombakan tata produksi dan tata kelola di sektor
perkebunan besar mestilah diletakkan dalam kerangka reforma agraria sejati. Keberadaan perkebunan-perkebunan besar mestilah
menganut semangat pelibatan rakyat di sekitar dan yang bekerja di dalamnya sebagai sama-sama pemilik atas aset perkebunan tersebut.
Pola kemitraan yang adil dan serasi layak dikembangkan.
BAB IV PERGOLAKAN SOSIAL PETANI PAGILARAN