suasana jiwa sang karakter atau sebagai salah satu bagian dunia yang berada di luar diri sang karakter Stanton, 2007: 36.
2. Sarana-Sarana Sastra
Sarana-sarana sastra dapat diartikan sebagai metode pengarang memilih dan menyusun detail cerita agar tercapai pola-pola yang bermakna Robert
Stanton, 2007: 46. Beberapa sarana dapat ditemukan dalam setiap cerita seperti konflik, klimaks, tone, dan gaya, dan sudut pandang.
a. Judul
Judul tidak selalu relevan terhadap karya yang diampunya, namun penting bagi kita untuk selalu waspada bila judul tersebut mengacu pada satu detail
yang tidak menonjol. Judul semacam ini acap kali terutama sekali dalam cerpen menjadi penunjuk makna cerita bersangkutan Robert Stanton, 2007:
51. b.
Sudut Pandang Berdasarkan tujuannya, sudut pandang terbagi menjadi empat tipe utama.
Kombinasi dan variasi dari keempat tipe tersebut bisa sangat tidak terbatas. Keempat tipe sudut pandang tersebut adalah sebagai berikut:
1 Sudut pandang “orang pertama-utama”, sang karakter utama bercerita
dengan kata-katanya sendiri. 2
Sudut pandang “orang pertama-sampingan”, cerita dituturkan oleh satu karakter bukan utama sampingan.
3 Sudut pandang “orang ketiga-terbatas”, pengarang mengacu pada semua
karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga tetapi hanya
menggambarkan apa yang dapat dilihat, didengar, dan dipikirkan oleh satu orang karakter saja.
4 Sudut pandang “orang ketiga-tidak terbatas”, pengarang mengacu pada
setiap karakter dan memosisikannya sebagai orang ketiga. Pengarang juga dapat membuat beberapa karakter melihat, mendengar, atau berpikir atau
saat ketika tidak ada satu karakter pun hadir. Terkadang sudut pandang digambarkan melalui dua cara yaitu
“subjektif” dan “objektif”. Dikatakan subjektif ketika pengarang langsung menilai atau menafsirkan. Sedangkan dikatakan objektif, pengarang
menghindari usaha menampakkan gagasan-gagasan dan emosi-emosi Stanton, 2007: 54-55.
c. Gaya dan Tone
Gaya dalam sastra adalah cara pengarang dalam menggunakan bahasa. Meski dua orang pengarang memakai alur, karakter, dan latar yang sama,
hasil tulisan keduanya bisa sangat berbeda. Perbedaan tersebut secara umum terletak pada bahasa dan menyebar dalam berbagai aspek seperti kerumitan,
ritme, panjang-pendek kalimat, detail, humor, kekonkretan, dan banyaknya imaji dan metafora. Campuran dari berbagai aspek di atas dengan kadar
tertentu akan menghasilkan gaya. Gaya juga bisa terkait dengan maksud dan tujuan sebuah cerita Stanton, 2007: 61.
Satu elemen yang amat terkait dengan gaya adalah “tone”. Tone adalah sikap emosional pengarang yang ditampilkan dalam cerita. Tone bisa
menampak dalam berbagai wujud, baik yang ringan, romantis, ironis, misterius, senyap, bagai mimpi, atau penuh perasaan. Ketika seorang
pengarang mampu berbagi “perasaan” dengan sang karakter dan ketika perasaan itu tercermin pada lingkungan, tone menjadi identik dengan
“atmosfer” Stanton, 2007: 63. d.
Simbolisme Gagasan dan emosi terkadang tampak nyata bagaikan fakta fisis. Padahal
sejatinya kedua hal tersebut tidak dapat dilihat dan sulit dilukiskan. Pada dunia fiksi, simbolisme memunculkan tiga efek yang masing-masing
bergantung pada bagaimana simbol bersangkutan digunakan. Pertama, sebuah simbol yang muncul pada satu kejadian penting dalam cerita
menunjukkan makna peristiwa tersebut. Kedua, satu simbol yang ditampilkan berulang-ulang mengingatkan kita akan beberapa elemen
konstan dalam semesta cerita. Ketiga, sebuah simbol yang muncul pada konteks yang berbeda-beda akan membantu kita menemukan tema Stanton,
2007: 64-65. Simbolisme sastra lebih menimbulkan persoalan bagi pembaca jika dibandingkan dengan sarana-sarana lain. Perlu disadari bahwa
simbolisme tidak dengan sendirinya menjadi eksotis atau sulit karena sebetulnya kita sering berhadapan dengannya seperti dalam percakapan
sehari-hari, ritual keagamaan, periklanan, pakaian, bahkan mobil. e.
Ironi Secara umum, ironi dimaksudkan sebagai cara untuk menunjukkan bahwa
sesuatu berlawanan dengan apa yang telah diduga sebelumnya. Pada dunia fiksi, ada dua jenis ironi yang dikenal luas, yaitu “ironi dramatis” dan “tone
ironis‟. “Ironi dramatis‟ atau ironi alur dan situasi biasanya muncul melalui kontras diametris antara penampilan dan realitas, antara maksud dan tujuan
seorang karakter dengan hasilnya, atau antara harapan dengan apa yang sebenarnya terjadi. Sedangkan “Tone ironis‟ atau “ironi verbal‟ digunakan
untuk menyebut cara berekspresi yang mengungkapkan makna dengan cara berkebalikan. Satu-satunya cara untuk mengetahui keberadaan ironi dan
menafsirkannya adalah dengan membaca cerita berulang-ulang dan dengan teliti. Nikmati ilusi yang diberikan karya sastra namun tetap selalu ingat
bahwa karya sastra adalah rekaan pengarang dan bukan sekedar fakta yang
dicomot mentah-mentah Stanton, 2007: 73-74. 3.
Tema
Tema adalah ide sebuah cerita, pengarang dalam menulis ceritanya bukan sekedar memberi cerita, tetapi akan mengatakan sesuatu kepada pembaca.
Sedangkan tema menurut Robert Stanton, merupakan aspek cerita yang sejajar dengan “makna‟ dalam pengalaman manusia; sesuatu yang menjadikan suatu
pengalaman begitu diingat Stanton, 2007: 36. Tema membuat cerita menjadi lebih mengerucut, berdampak, menyatu dan lebih fokus. Dan tema memberikan
koherensi dan makna pada fakta-fakta cerita. Fungsi tema telah sepenuhnya diketahui, namun identitas tema sendiri
masih kabur dari pandangan. Yang jelas, istilah tema amat sulit didefinisikan. Agar mudah untuk mengidentifikasi tema sebuah cerita, harus diketahui bahwa
kerangka-kerangka kasar akan sangat diperlukan sebagai pijakan untuk menjelaskan sesuatu yang lebih rumit.
Cara yang efektif untuk mengenali tema sebuah karya adalah dengan mengamati secara teliti setiap konflik yang ada didalamnya Stanton, 19 2007:
42.
Tema hendaknya memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut: a.
Intepretasi yang baik hendaknya selalu mempertimbangkan berbagai detail yang menonjol dalam sebuah cerita. Kesalahan terbesar sebuah
analisis adalah terpaku pada tema yang mengabaikan, melupakan atau tidak merangkum beberapa kejadian yang tampak jelas.
b. Interpretasi yang baik hendaknya tidak terpengaruh oleh berbagai detail
cerita yang sangat berkontradiksi. c.
Interpretasi yang baik hendaknya tidak sepenuhnya bergantung pada bukti-bukti yang tidak secara jelas diutarakan hanya disebut secara
implisit. d.
Interpretasi yang dihasilkan hendaknya diujarkan secara jelas oleh cerita bersangkutan.
B. Kerangka berpikir