39
BAB III PENYELESAIAN PEMBAGIAN HARTA PENINGGALAN
ORANG TUA ANGKAT BAGI ANAK ANGKATNYA
Bagi setiap pribadi muslim adalah merupakan kewajiban baginya untuk melaksanakan kaidah-kaidah atau peraturan-peraturan hukum Islam yang
ditunjuk oleh peraturan-peraturan yang jelas. Selama peraturan tersebut ditunjukkan oleh peraturan atau ketentuan lain yang menyebutkan
ketidakwajibannya. Maksudnya setiap ketentuan hukum agama Islam wajib dilaksanakan selama tidak ada ketentuan lain yang menyatakan ketentuan
terdahulu tidak wajib. Adapun yang melatar belakangi pendapat wajibnya melaksanakan
ketentuan pembagian harta warisan sesuai petunjuk Al-Qur’an dan Al-Hadis didasarkan ketentuan surat An Nisa’ ayat 13 dan 14 yang artinya sebagai berikut:
“Hukum-hukum tersebut itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. Barang
siapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam surga yang mengalir di dalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di
dalamnya; dan itulah kemenangan yang besar.” Q.S. An Nisa’: 13
“Dan barang siapa yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka
sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.” Q.S. An Nisa’: 14
Rasulullah SAW lebih mempertegas lagi didalam sabdanya yang diriwayatkan oleh Muslim dan Abu Dawud yang artinya berbunyi “Bagilah
harta pusaka antara ahli-ahli waris menurut kitabullah Qur’an
32
3.1. Hukum Waris Dalam Hukum Perdata, Adat dan Islam.
.”
Hukum waris dalam perdata barat disebut dengan Erfect, artinya hukum yang mengatur tentang kedudukan harta kekayaan
seseorang setelah ia meninggal dunia, dan cara-cara berpindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain
33
. Pasal 830 KUH Perdata pada intinya menyebutkan bahwa hukum waris adalah hukum yang mengatur
kedudukan hukum harta kekayaan seseorang setelah ia meninggal, terutama pindahnya harta kekayaan itu kepada orang lain
34
Akibat terputusnya hubungan nasab anak angkat dengan kedua orang tua kandungnya, dan masuk menjadi keluarga orang tua
angkatnya, anak angkat disejajarkan kedudukan hukumnya dengan anak kandung orang tua angkatnya. Akibatnya anak angkat harus
memperoleh hak-hak sebagaimana hak-hak yang diperoleh anak kandung orang tua angkat, maka anak angkat memiliki hak waris
seperti hak waris anak kandung secara penuh yang dapat menutup hak waris saudara kandung dan juga orang tua kandung orang tua angkat
.
35
Hukum Adat Waris adalah norma-norma hukum yang menetapkan harta kekayaan, baik yang materiil maupun immateriil
yang dapat diserahkan kepada keturunannya, serta yang sekaligus juga mengatur saat, cara, dan proses peralihannya
. Hal Ini didasarkan pada pasal 11, 12, 13, 14 Staatsblad 1917
Nomor 129. Pasal 11 menyatakan bahwa adopsi membawa akibat demi hukum, bahwa orang yang diadopsi, jika ia mempunyai nama keturunan
lain daripada laki-laki yang mengadopsinya sebagai anak laki-lakinya, memperoleh nama keturunan dari orang yang mengadopsi sebagai ganti
dari nama keturunan orang yang diadopsi itu.
36
32
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam, cetakan keempat, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 4.
33
Yulies Tiena Masriani, Pengantar Hukum Indonesia, Cetakan Pertama, Sinar Grafika, Jakarta, 2004, h. 80.
34
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008., h. 248.
35
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op Cit., h. 28.
36
Yulies Tiena Masriani, Op Cit., h. 138.
.
Hukum waris menurut hukum adat pada dasarnya merupakan sekumpulan hukum yang mengatur proses pengoperan dari satu
generasi ke generasi selanjutnya
37
. Di Jawa, pengangkatan anak tidak memutuskan hubungan pertalian darah dengan orang tua kandung anak
angkat itu, hanya anak angkat didudukkan sebagai anak kandung untuk meneruskan keturunan bapak angkatnya, dan sama sekali tidak
memutuskan hak-haknya dengan orang tua kandungnya sehingga hukum adat Jawa memberikan pepatah bagi anak angkat dalam hal hak
waris di kemudian hari dengan istilah “Anak angkat tetap memperoleh warisan dari dua sumber air sumur”. Maksudnya anak angkat tetap
memperoleh harta warisan dari orang tua kandung, juga dari harta warisan orang tua angkatnya
38
Menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, anak angkat hanya diperkenankan mewarisi harta gono-gini dari orang tua
angkatnya, jadi terhadap barang pusaka barang asal anak angkat tidak berhak mewarisinya
.
39
Menurut KHI Pasal 171 huruf a, hukum waris adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak kepemilikan harta peninggalan
tirkah pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan beberapa bagian masing-masing.
.
40
Pengertian dalam KHI tersebut difokuskan pada ruang lingkup hukum kewarisan Islam, yaitu hukum kewarisan yang berlaku
bagi orang Islam saja. Adapun tujuan hukum waris Islam adalah mengatur cara-cara membagi harta peninggalan agar supaya dapat
bermanfaat kepada ahli waris secara adil dan baik
41
Hukum kewarisan dalam Islam dikenal dengan istilah faraid, bentuk jamak dari faridah yang artinya pembagian tertentu. Hal ini
karena dalam Islam, bagian –bagian warisan yang menjadi hak ahli waris telah dibakukan dalam Al-Qur’an. Sedangkan dalam terminologi
fikih menurut terminologi Islam, waris berasal dari kata warasa yang memiliki arti: 1 mengganti; 2 memberi; 3 mewarisi. Sehingga
pengertian terminologi, hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur pembagian warisan, mengetahui bagian yang di terima dari harta
peninggalan-peninggalan yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia itu untuk setiap yang berhak
. Sehingga hukum waris Islam bersifat Bilateral dan Individual.
42
Dengan adanya variasi sistem hukum waris yang berlaku di Indonesia, maka kepada warga negara Indonesia diberikan hak pilih
.
37
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 296.
38
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op Cit., h. 45.
39
R. Subekti, Hukum Adat Indonesia Dalam Yuridis Mahkamah Agung, Alumni, Bandung, 1983, h. 22.
40
Undang-undang Peradilan Agama Nomor 7 Tahun 1989 dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia., h. 137.
41
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 248.
42
Ibid, h. 283.
dalam penundukannya atau kepada sistem hukum waris mana yang dapat menyelesaikan sengketa warisnya. Sebagai contoh bagi yang
beragama Islam boleh memilih apakah sengketa warisnya diselesaikan melalui pengadilan agama atau pengadilan negeri, hal ini disesuaikan
dengan kesepakatan dan kerelaan para ahli warisnya. Perbedaan ketiga sumber hukum waris yang berlaku di Indonesia dapat dilihat sebagai
berikut:
Perbedaan Pokok Antara Hukum Waris Perdata, Hukum Waris Adat, dan Hukum Waris Islam
Hukum Perdata BW Hukum Adat
Hukum Islam Bagian seorang pria dan
seorang wanita adalah sama.
Bagian seorang pria dan seorang wanita adalah
sama. Bagian seorang pria dua
kali bagian seorang wanita
Seorang anak luar kawin yang diakui oleh
bapak atau ibunya mempunyai hak waris
tetapi berbeda dengan anak sah.
Seorang anak angkat mempunyai kedudukan
yang sama dengan anak sah dan di dalam soal
warisan juga diberlakukan sama.
Tidak dikenal Pengangkatan anak
dengan segala akibatnya itu.
Seorang janda harus diberi warisan harta
peninggalan suaminya. Seorang janda harus
diberi warisan harta peninggalan suaminya.
Seorang janda harus diberi warisan harta
peninggalan suaminya.
Tabel 1 Sumber :
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata dalam Sistem Hukum Nasional
, Cetakan ke-1, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2008, h. 255.
Asas hukum kewarisan Islam yang disalurkan dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, antara lain: 1 Ijbari, 2 Bilateral, 3 Individual, 4
Keadilan Berimbang, dan 5 Akibat Kematian. 1
Ijbari Menurut Hukum Islam bahwa peralihan harta dari
seseorang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya berlaku dengan sendirinya menurut ketetapan Allah Tuhan Yang Maha Esa,
tanpa digantungkan kepada kehendak pewaris ahli waris. Refleksi asas ijabari dalam hukum Islam dapat dilihat dari beberapa sudut
pandang yaitu: 1 dari segi peralihan harta yang pasti terjadi setelah orang meninggal dunia. 2 dari jumlah harta yang sudah
ditentukan untuk masing-masing ahli waris, dan 3 dari mereka yang akan menerima peralihan harta peninggalan itu, yang sudah
ditentukan dengan pasti
P11F
43
P
. Ketentuan asas ijabari ini dapat dilihat antara lain
dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang menjelaskan bahwa:
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapa
dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari harta peninggalan ibu-bapa dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak
menurut bagian yang telah ditetapkan”. 2
Bilateral Asas bilateral berarti bahwa seseorang menerima
hak kewarisan dari kedua belah pihak, yaitu pihak kerabat laki-laki dan pihak kerabat perempuan. Artinya bahwa dalam Islam antara
laki-laki dan perempuan mendapatkan hak kewarisan secara porsional
P12F
44
P
. Asas ini secara tegas dapat ditemui dalam ketentuan
Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11, 12 dan 176
P13F
45
P
. Ayat 11 berbunyi,
43
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 284.
44
Ibid, h. 285.
45
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op Cit., h. 37.
“Allah mensyari’atkan bagimu tentang pembagian pusaka untuk
anak-anakmu. Yaitu: bahagiakan seorang anak lelaki sama dengan bahagiaan dua orang anak perempuan; dan jika anak itu
semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu
seorang saja, maka ia memperoleh separoh harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta
yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyyai anak dan ia diwarisi oleh
ibu-bapanya saja, maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya
mendapat seperenam, pembagian-pembagian tersebut diatas sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau dan sesudah dibayar
hutangnya. Tentang orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa diantara mereka yang lebih dekat banyak
manfa’atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.
Ayat 12 berbunyi,
“Dan bagimu suami-suami seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai
anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah
dipenuhi wasiat yang mereka buat atau dan sesudah dibayar hutangnya para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu
tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari
harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau dan sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang
mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai saudara
laki-laki seibu saja atau seorang saudara perempuan seibu saja, maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu
seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah
dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat kepada ahli waris.
Allah menetapkan yang demikian itu sebagai syari’at yang benar- benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Penyantun”. Ayat 176 berbunyi,
“Mereka meminta fatwa kepadamu tentang kalalah. Katakanlah: “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalah
yaitu: jika seorang meninggal dunia, dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan, maka bagi saudaranya
yang perempuanitu seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai seluruh harta saudara
perempuan, jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari
harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka ahli waris itu terdiri dari saudara-saudara laki dan perempuan,
maka bagian seorang sudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan. Allah menerangkan hukum ini kepadamu,
supaya kamu tidak sesat. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”
3 Individual
Asas ini menyatakan bahwa harta warisan dapat dibagi- bagi pada masing-masing ahli waris untuk dimiliki secara
perseorangan. Dalam pelaksanaannya seluruh harta warisan dinyatakan dalam nilai tertentu, yang kemudian dibagikan kepada
ahli waris yang berhak menerimanya menurut kadar bagian masing-masing. Dalam hal ini setiap ahli waris berhak atas bagian
yang didapatnya tanpa terikat kepada ahli waris yang lain, karena bagian masing-masiing sudah ditentukan
P14F
46
P
. Ketentuan asas individual ini dapat dijumpai dalam
ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7 yang mengemukakan bahwa bagian masing-masing ahli waris secara individual telah
ditentukan
P15F
47
P
. 4
Keadilan berimbang Menurut asas ini bahwa harus senantiasa terdapat
keseimbangan antara hak dan kewajiban, antara hak yang diperoleh seseorang dengan kewajiban yang harus ditunaikannya. Laki-laki
dan perempuan misalnya, mendapat hak yang sebanding dengan kewajiban yang dipikulnya masing-masing dalam kehidupan
46
Titik Triwulan Tutik., Op. Cit., h. 285.
47
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op. Cit., h. 37.
keluarga dan masyarakat
48
. Dasar hukum asas ini dapat dijumpai antara lain dalam ketentuan Al-Qur’an surat An-Nisa’ ayat 7, 11,
12 dan 176
49
5 Akibat kematian
.
Hukum kewarisan Islam menyatakan, bahwa kewarisan ada kalau ada yang meninggal dunia. Hal ini berarti bahwa
kewarisan semata-mata sebagai akibat dari kematian seseorang. Implikasi dari ketentuan tersebut adalah bahwa peralihan
harta benda seseorang kepada orang lain kewarisan, terjadi setelah orang yang mempunyai harta itu meninggal dunia. Artinya,
bahwa harta seseorang tidak dapat beralih kepada orang lain selama orang yang mempunyai harta itu masih hidup.
1. Sebab-sebab mendapat warisan
Apabila dianalisis ketentuan hukum waris Islam, yang menjadi sebab seseorang itu mendapatkan warisan dari
almarhum ahli waris dapat dikualifikasi sebagai berikut: 1
Hubungan Perkawinan Seseorang dapat memperoleh harta warisan
menjadi ahli waris disebabkan adanya hubungan perkawinan antara almarhum dengan seseorang tersebut yang
48
Titik Triwulan Tutik., Op. Cit, h. 285
49
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Op. Cit., h. 37.
termasuk dalam klasifikasi ini adalah: suami atau isteri dari si almarhum.
2 Adanya hubungan darah
Seseorang dapat memperoleh harta warisan menjadi ahli waris disebabkan adanya hubungan nasab atau
hubungan darahkekeluargaan dengan si almarhum yang termasuk dalam klasifikasi ini seperti: ibu, bapak, kakek,
nenek, anak, cucu, cicit, saudara, anak saudara dan lain-lain. 3
Memerdekakan si almarhum Hal ini disebabkan seseorang itu memerdekakan si
almarhum dari perbudakan, dalam hal ini ddapat saja seorang laki-laki atau seorang perempuan.
4 Sesama Islam
Seseorang muslim yang meninggal dunia, dan ia tidak ada meninggalkan ahli waris sama sekali, maka harta
warisannya diserahkan kepada Baitul Maal, dan lebih lanjut akan dipergunakan untuk kepentingan kaum muslimin.
2. Hilangnya Hak Mewarisi
Pada dasarnya tidak semua ahli waris menerima harta warisan dari pewaris. Adakalanya seorang ahli waris kehilangan
hak warisnya tidak berhak mendapatkan warisan. Adapun menurut hukum Islam syariat Islam sebab-sebab seseorang
tidak mewarisi antara lain:
1 Terikat dalam perbudakan
Budak menjadi penghalang mewarisi, karena status dirinya yang dipandang sebagai tidak cakap
melakukan perbuatan hukum. Sebagai fakta realita sejarah perbudakan pernah ada. Kehadiran Islam, menempatkan
tindak memerdekakan budak sebagai perbuatan mulia, dan dijadiakan kafarat. Dalam KHI tidak membicarakan
masalah ini, karena perbudakan tidak kenal dalam sistem hukum dan nilai-nilai hukum di Indonesia.
2 Melakukan pembunuhan terhadap pewaris atau keluarganya
Pembunuhan yang dilakukan ahli waris terhadap pewarisnya menyebabkan ia terhalang hak nya untuk
mewarisi. Menurut ketentuan Pasal 173 KHI menyatakan: Seorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan
putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena:
1 Dipersalahkan telah membunuh atau mencoba
membunuh atau menganiaya berat pada pewaris. 2
Dipersalah secara memfitnah telah mengajukan pengaduan terhadap pewaris melakukan kejahatan
dengan ancaman hukuman di atas 5 lima tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.
3 Berlainan Agama
Kompilasi tidak menegaskan secara eksplisit perbedaan agama antara ahli waris dan pewarisnya sebagai
penghalang mewarisi. Kompilasi hanya menegaskan bahwa syarat ahli waris haruslah beragama Islam pada saat
meninggalnya pewaris Pasal 171 huruf c. Untuk mengidentifikasi seorang ahli waris beragama Islam
menurut Pasal 172 adalah dari kartu identitas, pengakuan, amalan atau kesaksian, sedangkan bagi seorang bayi atau
belum dewasa dianggap beragama seperti ayahnya. 3.
Ahli Waris dan Pewaris Ahli waris menurut ketentuan Pasal 171 huruf c KHI
adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,
beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. Dengan demikian yang dimaksud ahli waris
oleh kompilasi, adalah mereka yang jelas-jelas mempunyai hak waris ketika pewarisnya meninggal dunia, tidak ada halangan
untuk mewarisi. Sedangkan pada pasal 171 huruf b KHI yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat
meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris
dan harta peninggalan.
Ahli Waris menurut Islam pada dasarnya ada dua macam: Pertama, ahli waris nasabiyah yaitu ahli waris yang
hubungan kewarisannya didasarkan karena hubungan darah kekerabatan. Kedua, ahli waris sababiyah yaitu ahli waris
yang hubungan kewarisannya karena suatu sebab, yaitu sebab pernikahan, sebab ada hubungan agam orang yang meninggal
dunia, sebab memerdesakan budak, atau menurut sebagian mazhab Hanafiyah, karena sebab perjanjian janji setia
50
50
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 288.
.
Sedangkan apabila ditinjau dari segi hubungan jauh dekatnya kekerabatan, ahli waris dapat dibedakan menjadi
dua yaitu: 1 ahli waris hajib, yaitu ahli waris yang dekat hubungan kekerabatannya menghalangi hak waris ahli waris
yang jauh hubungannya. Contohnya, anak laki-laki menjadi penghalang bagi saudara perempuan dan 2 ahli waris mahjub,
yaitu ahli waris yang jauh hubungan kekerabatannya, dan terhalang untuk mewarisi.
Menurut Pasal 174 KHI, ahli waris dibedakan menjadi dua kelompok, yaitu:
1 Menurut hubungan darah, yaitu ahli waris yang timbul
karena hubungan keluarga. Golongan ini terdiri dari dua antara lain:
a Golongan laki-laki, meliputi ayah, anak laki-laki,
saudara laki-laki, paman, dan kakek. b
Golongan perempuan, meliputi ibu, anak perempuan, saudara perempuan, bibi dan nenek.
2 Menurut hubungan perkawinan, yaitu ahli waris yang timbul
karena adanya ikatan perkawinan antara pewaris dengan ahli waris. Ahli waris ini meliputi janda atau duda.
Sebelum harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris, terlebih dahulu harus dikeluarkan hak-hak yang berhubungan
dengan harta peninggalan Almarhum yang terdiri dari: 1.
Zakat atas harta peninggalan, yaitu zakat yang semestinya harus dibayarkan oleh Almarhum, akan tetapi zakat
tersebut belum dapat terealisasikan, lantas ia meninggal dunia, maka untuk ini zakat tersebut harus dibayar dari
harta peninggalannya tersebut, seperti zakat pertanian dan zakat harta.
2. Biaya pemeliharaan mayat, adalah biaya yang
dikeluarkan untuk penyelenggaraan jenazah, seperti kafan, penguburan.
3. Biaya utang-utang yang masih ditagih oleh kreditor
pemberi pinjaman. Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad yang artinya berbunyi sebagai
berikut, “Jiwa orang mukmin disangkutkan dengan utangnya, sehingga utangnya dilunasi”
51
4. Wasiat yang dimaksudkan disini adalah wasiat yang
bukan untuk kepentingan ahli waris dan jumlah keseluruhan wasiat itu tidak boleh lebih dari sepertiga
13 dari jumlah keseluruhan harta peninggalan. Hal ini sejalan dengan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
yang artinya berbunyi sebagai berikut, “Kamu berwasiat sepertiga dan sepertiga itu banyak. Sesungguhnya lebih
baik kamu meninggalkan ahli warismu dalam keadaan berkecukupan daripadanya meninggalkan mereka dalam
keadaan miskin, mengemis kepada orang lain .
52
Setelah semua itu dikeluarkan barulah harta tersebut berbentuk harta warisan dan selanjutnya harta
inilah yang dibagi-bagikan kepada ahli waris sesuai dengan ketentuan.
.”
4. Bagian Yang Diterima Ahli Waris
Adapun besarnya bagian untuk ahli waris adalah : 1.
Bagian suamiistri Suami-istri adalah satu-satunya ahli waris aeas dasar
penggabungan. Tak ada seorang waris lain pun yang dapat menghalangi hak waris mereka ataupun menggeser hijab.
Bagian suami adalah: 1 12 bagian, aopabila tidak meninggalkan anak-cucu; dan 2 14 bagian , apabila
pewaris meninggalkan anak-cucu Pasal 179 KHI. Sedangkan bagian istri adalah: 1 14 bagian, apabila tidak
meninggalkan anak-cucu; dan 2 18 bagian, apabila pewaris meninggalkan anak-cucu Pasal 180 KHI. Apabila
istri lebih dari satu mereka dianggap sebagai satu istri.
2. Bagian Orang Tua
a. Ayah
Hak waris ayah terhadap harta peninggalan diatur dengan Pasal 177, KHI yaitu: 1 apabila pewaris tidak
meninggalkan anak, maka ayah mendapat 13 bagian; 2 apabila pewaris meninggalkan anak, maka ayah mendapat
16 bagian.
51
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak , Op Cit ., h. 48.
52
Ibid., h. 48.
b. Ibu
Menurut Pasal 178 KHI: 1 apabila pewaris meninggalkan anak atau dua saudara atau lebih, hak ibu 16 bagian; 2
apabila pewaris tidak meninggalkan anak, maka hak ibu 13 bagian dari sisa, sesudah diambil jandaduda bila bersama-
sama bapak.
3. Bagian Anak
Atas dasar garis keturunan anak memiliki hak waris atas harta peninggalan ibu-bapaknya. Yang dimaksud anak
disini adalah anak sah dari suatu perkawinan yang sah. Bagian yang diterima oleh anak adalah 1 apabila anak
laki-laki sendiri, maka ia memperoleh semua harta ibu bapaknya; 2 apabila anak perempuan seorang diri ia
mendapat 12 bagian; 3 apabila terdiri dari dua anak atau lebih anak perempuan, masing-masing mendapat 23
bagian; dan 4 apabila anak perempuan bersama-sama dengan anak laki-laki maka bagian anak laki-laki 2:1
dengan perempuan Pasal 176 KHI; 5 Anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkatnya Pasal 209.
4. Saudara
a Saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu
Pasal 181 KHI menentukan bagian saudara laki-laki dan saudarra perempuan seibu selaku ahli waris yaitu: 1
apabila pewaris tidak meninggalkan anak dan ayah, hak mereka 16 bagian; dan 2 apabila mereka dua orang atau
lebih , hak mereka bersama-sama 13 bagian. b
Saudara perempuan sekandung dan seayah Bagian yang diterima menurut Pasal 182 KHI adalah: 1
satu saudara, mendapat 12 bagian; 2 dua atau lebih saudara perempuan, maka bersama-sama mendapat 23
bagian; dan 3 saudara perempuan bersama dengan saudara laki-laki, maka bagian saudara laki-laki 2:1 dengan saudara
perempuan.
5. Anak Luar Kawin
Menurut hukum Islam anak luar Kawin hanya mempunyai hubungan mewarisi dengan ibunya dan keluarga dari pihak
ibunya Pasal 186 KHI
53
Untuk memudahkan dalam memahami pembagian harta waris dalam Islam, maka penulis mencoba meringkas
.
53
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 292.
penjelasan diatas dalam bentuk diagram seperti yang ada dibawah ini:
3.2. Pengertian Waris berdasarkan Hibah dan Wasiat
a. Waris berdasarkan Hibah
Hukum Perdata mengenal wasiat hibah atau legaat yaitu suatu penetapan yang khusus di dalam suatu testament,
memberikan seorang atau lebih, seluruh atau sebagaian dari harta kekayaannya, kalau dia meninggal dunia Pasal 957 KUHPerdata.
Orang yang menerima suatu legaat, dinamakan legataris, ia bukan ahli waris. Karena ia tidak menggantikan si meninggal
dalam hak-hak dan kewajiban-kewajiban terutama membayar
utang-utang. Ia hanya berhak untuk menuntut penyerahan benda atau pelaksanaan hak yang diberikan kepadanya dari sekalian ahli
waris. Pendeknya suatu legaat memberikan suatu hak
penuntutan terhadap boedel. Adakalanya, seorang legataris yang menerima beberapa benda diwajibkan memberikan salah satu
benda itu kepada seorang lain yang ditunjuk dalam testament. Pemberian suatu benda yang harus ditagih dari dari seorang
legetaris,
dinamakan suatu “sublegaat”. Adapun yang dapat diberikan dalam suatu legaat dapat berupa :
1. Satu atau beberapa benda tertentu;
2. Seluruh benda dari satu macam atau jenis, misalnya seluruh
benda yang bergerak; 3.
Hak “vruchtgebruik” atas sebagaian atau seluruh warisan;
4.
Sesuatu hak lain terhadap boedel, misalnya hak untuk mengambil satu atau beberapa benda tertentu dari boedel
54
.
Menurut Hukum Adat Hibah adalah perbuatan hukum yang di mana seseorang tertentu memberikan suatu barang
kekayaan tertentu kepada seorang tertentu, menurut kaidah hukum yang berlaku. Perbuatan hibah yang dimaksudkan sungguh-
sungguh merupakan tindakan pewarisan, tampak dari kenyataan, bahwa apa yang sudah diterima dalam bentuk hibah dari sesorang
ahli waris, turut diperhitungkan kembali pada waktu harta peninggalan dari suami dibagi-baggikan di antara ahli waris
55
Hibah biasanya harta pusaka yang belum terbagi diperuntukan bagi anak bungsu bersama ibunya sebagai jaminan
hidup, yang memberi kemungkinan bagi anak-anak angkatnya untuk ikut memiliki harta pusaka dalam bagian sewajarnya atas
dasar hibah ini, yang kalau menurut hukum waris biasa, anak angkat-anak angkat ini tidaklah mempunyai hak penuh atas dasar
harta banda warisan. Dalam bahasa jawa hibah wasiat disebut dengan wekasan atau welingan adalah untuk mewajibkan para
warisan mebagi-bagi harta warisan dengan cara yang layak menurut anggapan pewaris dan supaya perselisihan dapat dicegah,
selain itu juga untuk mengikat sifat-sifat barang-barang yang ditinggal mati barang pusaka, gono-gini, dan lainnya
.
56
54
Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Cetakan 24, Intermasa, Jakarta, 1992, h. 107.
55
Titik Triwulan Tutik, Op Cit., h. 302.
56
Ibid., h. 303.
.
Menurut Hukum Islam kata hibah berasal dari bahasa
Arab yang secara etmologis berarti melewatkan atau menyalurkan dengan demikian berarti telah disalurkan dari tangan orang yang
memberi kepada tangan orang yang di beri
57
Hibah adalah pemberian seseorang kepada para ahli warisnya, sahabat handainya, atau kepada urusan umum,
sebagaimana dari pada harta benda kepunyaan atau seluruh harta benda kepunyaannya sebelum ia meninggal dunia
.
58
1. Penghibahan dilaksanakan semasa hidup, demikian juga
penyerahan barang yang dihibahkan. .
Menurut KHI Pasal 171 huruf g, Hibah adalah pemberian suatu benda secara suka rela dan tanpa imbalan dari seseorang
kepada orang lain kepada orang lain yang masih hidup untuk dimiliki.
Apabila diperhatikan ketentuan-ketentuan hukum Islam tentang pelaksanaan hibah ini, maka hibah tersebut harus
dilaksanakan dengan cara sebagai berikut:
2. Beralihnya hak atas barang yang dihibahkan pada saat
penghibahan dilakukan dan kalau si penerima hibah dalam keadaan tidak cakap bertindak dalam hukum misalnya belum
57
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak , Op Cit ., h. 40.
58
Abdullah Siddik, Hukum Waris Islam Dan Seluruh Perkembangannya Diseluruh Dunia Islam,
Cetakan Pertama, Widjaya, Jakarta, 1984, h. 204.
dewasa atau kurang sehat akalnya maka penerimaan dilakukan oleh walinya.
3. Dalam melaksanakan penghibahan haruslah ada pernyataan,
terutama sekali oleh pemberi hibah. 4.
Penghibahan hendaknya dilaksanakan dihadapan beberapa orang saksi hukumnya sunah, hal ini dimaksudkan untuk
menghindari silang sengketa di belakang hari. Dengan demikian apabila penghibahan telah dilakukan
semasa hidupnya dan pada ketika itu belum sempat dilakukan penyerahan barang, maka sebelum harta dibagikan kepada ahli
waris terlebih dahulu hartus dikeluarkan hibah tersebut. Adapun syarat-syarat untuk sahnya hibah menurut Islam
ada tiga, yaitu: 1.
Pernyataan tentang pemberian itu oleh yang memberikan, di syari’at terkenal dengan istilah ijab.
2. Penerimaan pemberian oleh yang diberi hadiah dengan jelas
tegas atau samar-samar atau atas namanya, di syari’at terkenal dengan istilah qabul.
3. Penyerahan milik oleh si pemberi kepada yang diberi, di
syari’at terkenal dengan istilah qabda. Pemberian itu haruslah dinyatakan dengan tegas dan
maksud dari si pemberi haruslah diperlihatkan dengan penyerahan dari barang pemberian. Oleh sebab itu hibah menurut hukum Islam
barulah sempurna, apabila yang diberi hibah telah menerima dan memiliki barang yang dihibahkan.
Seterusnya menurut hukum Islam hibah dapat dilakukan secara lisan dan tulisan oleh setiap orang Islam yang telah
mencapai usia dewasa dan mempunyai pikiran yang waras atas harta benda kepunyaannya.
Mengenai harta yang dapat diberikan ialah segala macam harta yang dapat dijadikan hak milik. Hukum Islam tidak
membedakan-bedakan harta pusaka, harta hasil pencarian sendiri dan harta alih dan tak alih moveable and immoveable goods
P27 F
59
P
. Selain Pasal 210 KHI menerangkan mengenai orang
yang boleh melakukan hibah adalah orang yang sekurang- kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat
menghibahkan sebanyak-banyaknya 13 harta bendanya kepada orang lain atau lembaga di hadapan dua orang saksi untuk dimiliki.
Harta benda yang dihibahkan anaknya dapat diperhitungkan sebagai warisan. Hibah tidak dapat ditarik kembali, kecuali hibah
orang tua kepada anaknya. Hibah yang diberikan pada saat pemberi hibah dalam keadaan sakit yang dekat dengan kematian, maka
harus mendapat persetujuan dari ahli warisnya.
Hibah sebagai satu kebaktian dinyatakan oleh Allah dalam firman-Nya:
............
..............
59
Abdullah Siddik, Op Cit., h. 207.
“Dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir yang
memerlukan pertolongan dan orang-orang yang meminta-minta”. Q.S. Al-Baqarah: 177.
Kenyataan ini diperkuat oleh sabda Rasullulah saw: “Beri memberilah kamu karena sesungguhnya pemberian
itu menghilangkan sakit hati dengki dan janganlah satu keluarga menghinakan keluarga yang lain, walaupun yang diberikan itu
sebelah kuku kambing.” H.R Bukhari dari Abu Hurairah
P28F
60
P
. Pada Umumnya, sekali pemberian dilakukan, ia tidak
dapat ditarik kembali. Ini dapat dipahami dari Al-Qur’an dimana tegas dinyatakan bahwa si suami tidak dapat dibenarkan sesudah
perceraian mengambil kembali semua yang ia telah berikan kepada isterinya:
“Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri
yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu
mengambil kembali daripadanya barang sedikit pun”. Q.S. An Nisa’:20.
Kenyataan di atas diperkuat pula oleh sabda Rasulullah: “Orang yang meminta kembali barang yang diberikannya
adalah seperti anjing yang muntah, kemudian dijilatnya kembali muntahannya”. H.R. Ahmad dan Abu Daud dari Ibnu Umar
P29F
61
P
. “Tidak halal orang Islam apabila ia telah memberikan
sesuatu, kemudian dimintainya kembali pemberian itu, kecuali pemberian orangtua kepada anaknya”. H.R. Ahmad dan Abu
Daud dari Ibnu Umar
P30F
62
P
.
60
H. Abdullah Siddik, Op Cit., h. 207.
61
H. Abdullah Siddik, Op Cit., h. 208.
62
Ibid.
Selain lembaga hibah, di Indonesia dikenal juga apa yang disebut dengan “lembaga hibah wasiat”. Adapun yang dimaksud
dengan hibah wasiat adalah “ penetapan pembagian harta benda milik seseorang semasa hidupnya dan pembagian itu baru berlaku
sejak saat matinya si pemberi hibah. Lazimya hibah wasiat itu selalu dibuat dalam bentuk
tertulis yang lazimnya diistilahkan dengan “surat hibah wasiat” dan biasanya dibuat atas persetujuan ahli waris dan sebagai bukti
persetujuan mereka ikut mencantumkan tanda tangannya dalam surat hibah wasiat tersebut.
Perlu diingat bahwa suatu perbedaan yang menyolok antara suatu penghibahan yang biasa dan hibah wasiat adalah,
bahwa hibah biasa umumnya tak dapat diambil kembali, sedangkan hibah wasiat bisa diambil kembali si penghibah. Adanya kedua
perbedaan antara hibah biasa dan hibah wasiat ini bisa menyulitkan bagi si penghibah sendiri, misalnya orang tersebut telah banyak
menghibahkan barang-barangnya kepada anak angkatnya, kemudian terjadi perselisihan paham antara si anak angkat tersebut
dengan si penghibah tadi
63
1. Dalam hibah tidak ada pembatasan sama sekali mengenai
jumlah yang boleh diberikan, sedangkan dalam hal wasiat dibatasi kepada sepertiga dari jumlah kekayaan yang dimiliki
oleh si pemberi wasiat. .
Perlu ditekankan di sini jangan hendaknya hibah dicampur adukan dengan wasiat, karena beda antara hibah dengan
wasiat adalah besar sekali, yaitu:
2. Dalam hal hibah si pemilik seketika melepaskan haknya atas
harta benda yang dihibahkan, sedangkan dalam hal wasiat setelah meninggalkannya si pemilik.
3. Harta yang dihibahkan diambil dari si pemilik, sedangkan harta
yang diwasiatkan diambil dari ahli waris
64
.
63
Oemarsalim, Dasar-Dasar Hukum Waris Di Indonesia, Cetakan Keempat, PT Rineka Cipta , Jakarta, 2006, h.85.
64
Abdullah Siddik, Op Cit., h. 208.
b. Waris Berdasarkan Wasiat
Wasiat dalam Hukum Perdata dikenal dengan nama testamen
yang diatur dalam buku kedua bab ketiga belas. Dalam Pasal 875 BW dikemukakan bahwa surat wasiat testamen adalah
suatu akta yang memuat pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendaki setelah ia meninggal dunia dan dapat dicabut kembali
oleh orang yang menyatakan wasiat itu. Pernyataan kehendak yang berupa amanat terakhir orang yang menyatakan wasiiat itu
dikemukakan secara lisan di hadapan notaris dan dua orang saksi. Wasiat dalam hukum perdata harus dibuat dalam bentuk surat
wasiat testamen dan pembuatan surat wasiat itu merupakan perbuatan hukum yang sangat pribadi.
Berdasarkan bentuknya menurut Pasal 931 KUHPerdata testament, dibedakan menjadi :
1. Openbaar testament, yaitu testament yang dibuat oleh seorang
notaris di mana orang yang akan meninggalkan warisan menghadap kepada notaris dan menyatakan kehendaknya yang
disaksikan oleh dua orang saksi Pasal 938 dan 939 KUHperdata.
2. Olographis testament biasa, yaitu testament yang ditulis
sendiri oleh orang yang akan meninggal eigenhandig dan diserahkan kepada seorang notaris untuk disimpan dengan
disaksikan oleh dua orang saksi Pasal 932 KUHPer.
3. Testament tertutup rahasia, yaitu testament yang ditulis
sendiri oleh orang yang akan meninggal tetapi tidak diharuskan menulis sendiri dan diserahkan kepada seorang
notaris untuk disimpan, dimana harus keadaan tertutup dan bersegel dengan disaksikan oleh dua orang saksi.
4. Wasiat di bawah tangan, yaitu testament yang ditulis sendiri
oleh orang yang akan meninggal eigenhanding yang disimpan di rumah sendiri codicil.
Untuk tiga bentuk wasiat 1 sampai 3 tersebut sama-sama berlaku ketentuan bahwa dua orang atau lebih tidak dapat
membuat wasiat dengan akte yang sama. Ketentuan ini diatur dalamPasal 997 BW yang melarang pembuat wasiat secara
bersama-sama dan secara timbal balik mutuele.
Menurut Hukum Adat wasiat adalah suatu pesan terakhir dari orang yang hendak meninggal dunia kepada ahli
warisnya yang bertujuan memberitahukan kehendaknya kepada ahli warisnya tentang harta bendanya, harta asalnya,
harta pencaharian bersama, segala utang-utang dan bagian- bagian serta kewajiban-kewajiban dari para ahli waris masing-
masing. Tujuan yang penting pada wasiat adalah hendak untuk menghindarkan persengketaan di antara ahli warisnya di
kemudian hari mengenai harta peninggalannya, sehingga wasiat itu mempunyai suatu peraturan mengikat di antara
mereka. Menurut hukum Islam kalau diperhatikan dari segi
asal kata, perkataan wasiat berasal dari bahasa Arab, yaitu kata “washshaitu ayi-syaia uushii”
artinya “aushaltuhu” yang dalam bahasa Indonesianya bararti “aku menyampaikan
sesuatu”
65
Secara etimologi kata al-wasiyyah berarti janji sesorang kepada orang lain. Wasiat juga bisa berarti “pesan
atau janji seseorang kepada orang lain untuk melakukan suatu perbuatan baik ketika orang yang berwasiat masih hidup
maupun setelah wafat .
Secara bahasa, wasiat artinya berpesan. Dalam penggunaannya, kata wasiat memiliki arti berpesan,
menetapkan, memerintahkan dan mensyariatkan. Menurut Sayid Sabiq, wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang
lain, berupa benda, utang atau manfaat, agar si penerima memiliki pemberian itu setelah si pewaris meninggal.
66
Secara Terminologi wasiat adalah penyerahan harta secara sukarela dari seseorang kepada pihak lain yang berlaku
.
65
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak , Op Cit ., h. 41.
66
Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Op Cit., h. 125.
setelah orang tersebut wafat, baik harta itu berbentuk materi maupun berbentuk manfaat. A. Hanafi mendefinisikan wasiat
dengan pesan seseorang untuk menyisihkan sebagian harta bendanya untuk orang ditentukannya dan pelaksanaannya
terjadi sesudah ia meninggal dunia
P35 F
67
P
. Pasal 171 huruf f KHI disebutkan bahwa wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris meninggal
dunia.
Dasar syariat Islam, sumber hukum yang mengatur tentang wasiat dapat ditemui dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat
180,
“Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan tanda-tanda maut, jika ia meninggalkan harta
yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara makruf, ini adalah kewajiban atas orang-orang yang
bertakwa.” Allah berfirman apabila seseorang diantara umat
manusia sudah ada tanda-tanda kedatangan maut, sedangkan ia mempunyai harta yang banyak, maka ada kewajiban baginya
untuk berwasiat terutama kepada ibu bapak dan karib kerabatnya. Kemudian dalam AL-Qur’an surat Al-Maidah ayat
106 Allah berfirman apabila salah seorang diantara umat manusia menghadapi kematian, sedangkan ia hendak berwasiat
maka hendaklah wasiat itu haruslah disaksikan oleh dua orang
67
Ibid, h. 126.
saksi yang adil atau dua orang saksi non muslim berlainan agama dengan orang yang menyatakan wasiat jika ia sedang
dalam perjalanan di muka bumi lalu secara tiba-tiba ia di timpa banyak kematian.
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu
menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, maka hendaklah wasiat itu disaksikan oleh dua orang yang adil di
antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa
bahaya kematian. Kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang untuk bersumpah, lalu mereka keduanya bersumpah
dengan nama Allah jika kamu ragu-ragu: Demi Allah kami tidak akan menukar sumpah ini dengan harga yang sedikit untuk
kepentingan seseorang, walaupun dia karib kerabat, dan tidak pula
kami menyembunyikan persaksian Allah; sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang
berdosa. Q.S. Al-Maaidah: 106. Ulama Mazhab Hanafi menyatakan bahwa rukun
wasiat hanya satu, yaitu ijab pernyataan pemberian wasiat dan pemilik harta yang akan wafat. Akan tetapi menurut jumhur ulama
fikih, rukun wasiat terdiri atas:
1. Al-musi orang yang berwasiat.
2. Al –musa lah yang menerima wasiat
3. Al-musa bih harta yang diwasiatkan; dan
4. Shighat lafal ijab dan qabul.
Dikalangan ahli Hukum mazhab Hambali di jelaskan bahwa wasiat menjadi wajib apabila wasiat bila tidak dilakukan
akan membawa akibat hilangnya hak-hak atau peribadatan. Seperti diwajibkan bagi orang yang menanggung kewajiban zakat, haji,
atau kafarat ataupun nazar, wasiat menjadi sunnah jika berwasiat kepada kerabat yang kafir dan tidak bisa mewaris, dengan syarat
orang yang meninggal dunia meninggalkan harta yang banyak dan tidak melebihi sepertiga harta. Wasiat menjadi makruh jika wasiat
dilaksanakan oleh orang yang tidak meninggalkan harta yang cukup, sedangkan ia mempunyai ahli waris yang membutuhkannya.
Wasiat menjadi haram jika wasiat dilaksanakan melebihi sepertiga harta yang dimilikinya, atau berwasiat kepada orang yang berbuat
huru-hara dan merusak. Wasiat menjadi mubah apabila dilaksanakan tidak sesuai dengan petunjuk syar’i seperti wasiat
kepada orang yang kaya.
3.3 Pembahasan Putusan Pengadilan Berdasarkan Putusan Pengadilan
Agama Nomor: 223Pdt.G2005PA.Sda. Duduk Perkara
Berdasarkan penelitian pada perkara Nomor: 223Pdt.G2005PA.Sda, surat gugatan yang diajukan oleh para
penggugat selaku ahli waris saudara kandung Almarhum H. Machmud bin H. Abdul Manan dengan identitas Hj. Siti Aminah binti H. Abdul
Manan, umur 75 tahun, agama Islam, pekerjaan swastarumah tangga, bertempat tinggal di Desa Randegan Rt.03 Rw.01, kecamatan
Tanggulangin, kabupaten Sidoarjo Penggugat I dengan Hj. Umiyah binti H. Abdul Manan, umur 64 tahun, agama islam, pekerjaan
swastaibu rumah tangga, bertempat tinggal di Jl. KH. Mukmin – 88, Rt.06 Rw.02, kelurahan Sidokare, Kecamatan Sidoarjo Penggugat II
yang dalam hal ini menguasakan kepada kuasa hukumnya: H. Achmad Zaini, SH Pengacara dan Penasehat Hukum, dan Moch. Deba
Almutamakim, SH Asisten Pengacara yang berkantor di Jl. Anggrek No.3, Perumahan Sekardangan-Sidoarjo, berdasarkan surat kuasa
khusus tertanggal 31 Januari 2005. Menerangkan dasar duduk perkara bahwa semasa hidupnya
Almarhum yang meninggal pada tanggal 08 Mei 2004 telah menikah pada tanggal 13 Pebruari 1969 dengan seorang perempuan bernama Hj.
Munawaroh alias Moenah binti Selamoen Tergugat I dari pernikahannya belum dikaruniai anak. Sehingga timbul keinginan untuk
mengambil anak angkat yang diberi nama Erma Surjaningsih alias Ermawati Tergugat II untuk dipelihara dan didik sampai lulus SMA
dan di sah kan di Pengadilan Negeri Sidoarjo dengan penetapan No. 122Pdt.P1991PN.Sda pada tanggal 20 September 1991.
Selama perkawinannya tidak diperoleh harta gono-gini namun Almarhum mempunyai harta asal berupa tanah tambak seluas ±
6 Ha enam hektar tanah sengketa I dan tanah perkarangan seluas ± 2.360 M² dua ribu tiga ratus enam puluh meter persegi berikut 2 dua
bangunan rumah, yang satu berupa rumah barang asal tanah sengketa II dan yang kedua berupa bangunan baru gono-gini yang diberikan
kepada tergugat II. Sepeninggalan Almarhum barang sengketa dikuasai tergugat
I seluruhnya, namun pada tanggal 10 Oktober 2004, tanah sengketa I diambil diambil secara paksa oleh Tergugat II dari tangan penggarap
yang selama ini ini dipercaya oleh Tergugat I, hal ini didasarkan atas hibah yang diberikan Almarhum kepada Tergugat II pada tanggal 15-
01-1990 dengan diketahui kepala desa beserta saksi dengan catatan Almarhum tetap mengelolah tanah tambak tersebut selama dia masih
hidup. Namun hibah tersebut menjadi permasalahan baru yang dihadapi antara para Penggugat dan tergugat atas keabsahannya. Atas tindakan
tersebut para Penggugat telah berusaha menghubungi tergugat I agar kiranya berkenan secara musyawarah membagi harta peninggalan
Almarhum secara hukum Islam, namun para Tergugat keberatan tanpa alasan yang jelas.
Oleh karena Para Tergugat tidak mau membagi secara damai harta yang disengketakan tersebut dengan Para Penggugat yang juga
berhak tehadap harta peninggalan Almarhum, maka jelas tindakan Para
Tergugat tersebut telah menimbulkan kerugian bagi Para Penggugat, karena apabila tanah tambak tersebut disewakan tiap tahunnya sebesar
Rp 25.000.000,- dua puluh lima juta rupiah. Sudah sepatutnya nanti bagian yang sedianya diterima Tergugat I dikurangi uang sewa yang
harus dibayar kepada Para Penggugat, perhitungan sewa berlaku sejak perkara ini didaftarkan di Pengadilan Agama Sidoarjo sampai
mempunyai kekuatan hukum tetap. Untuk menjamin gugatan Para Penggugat agar nantinya tidak
sia-sia belaka maka oleh karenanya Para Penggugat mohon kepada Bapak Ketua Pengadilan agama Sidoarjo agar kiranya berkenan
meletakkan Sita Jaminan terhadap tanah sengketa dan berkenan menjatuhkan putusan perkara ini, dengan ketentuan dapat dilaksanakan
terlebih dahulu, walaupun ada upaya perlawanan, banding, atau kasasi. Berdasarkan uraian-uraian tersebut diatas, para penggugat
mohon kiranya Bapak Ketua Pengadilan Agama Sidoarjo Agar berkenan memanggil Para Penggugat dan Para Tergugat dalam suatu
persidangan dan selanjutnya memberikan putusan sebagai berikut: 1.
Menerima dan mengambulkan gugatan Para Penggugat untuk seluruhnya;
2. Menyatakan sah dan berharga Sita jaminan yang telah diletakkan
tersebut. 3.
Menyatakan Para Penggugat dan Tergugat I adalah ahli waris Almarhum H. Machmud bin H. Abdul Manan Tersebut;
4. Menyatakan tanah sengketa I dan II adalah harta asal Almarhum H.
Machmud bin H. Abdul Manan dan Para Penggugat serta Tergugat I berhak mewarisi tanah sengketa I dan II tersebut’
5. Menetapkan bagian Para Penggugat dan Tergugat I sesuai hukum
waris Islam yang berlaku; 6.
Menghukum Para Tergugat atau siapa saja yang mendapatkan hak atau kuasa daripadanya menyerahkan tanah sengketa I dan II dalam
keadaan kosong kepada Para Penggugat; Untuk dilakukan pembagian waris, apabila tidak dapat dilakukan pembagian secara
riil maka Para Penggugat diberikan kewenangan untuk menjual, dan hasil dari penjualannya dibagi menurut ketetentuan hukum dalam
putusan perkara ini. 7.
Menyatakan putusan dalam perkara ini dapat dijalankan lebih dahulu walaupun ada upaya hukum, perlawanan, banding atau
kasasi. 8.
Menghukum para Tergugat untuk membayar biaya perkara ini dalam semua tingkatan atau mohon putusan yang seadil-adilnya.
3.4 Analisis Dasar Hukum Pertimbangan Hakim dalam Putusan
Pembagian Harta Peninggalan Orang Tua Angkat Terhadap Anak Angkatnya.
Faktor penyebab umum anak angkat memperoleh harta peninggalan orang tua angkatnya adalah karena kasih sayangnya
kepada anak angkatnya lalu berwasiat dengan menyerahkan dan mengatasnamakan seluruh harta kekayaannya kepada anak
angkatnya. Namun terkadang hal tersebut memicu timbulnya perselisihan antar keluarga karena ahli waris dari Almarhum merasa
berhak pula atas harta tersebut, sehingga para ahli waris dapat mengajukan gugatan waris. Seperti yang telah diketahui akibat
hukum dari peristiwa pengangkatan anak adalah mengenai status kedudukan anak angkat tersebut sebagai ahli waris orang tua
angkatnya. Namun menurut Hukum Islam, Anak Angkat tidak dapat diakui untuk bisa dijadikan dasar dan sebab mewarisi, karena prinsip
pokok dalam hukum kewarisan Islam adalah adanya hubungan darah nasab keturunan. Dengan kata lain bahwa peristiwa pengangkatan
anak menurut hukum kewarisan, tidak membawa pengaruh hukum terhadap status anak angkat, yakni bila bukan merupakan anak
sendiri, tidak dapat mewarisi dari orang yang telah mengangkat anak tersebut. Maka sebagai solusinya menurut kompilasi hukum Islam
adalah dengan jalan pemberian “wasiat wajibah” dengan syarat tidak boleh lebih dari 13.
Wasiat wajibah adalah suatu wasiat yang diperuntukan
kepada para ahli waris atau kerabat yang tidak memperoleh bagian harta warisan dari orang yang wafat, karena adanya suatu halangan
syara’. Misalnya, berwasiat kepada ibu atau ayah yang beragama non-Islam, karena berbeda agama menjadi penghalang bagi
seseorang untuk menerima warisan atau cucu yang tidak mendapatkan harta warisan disebabkan terhalang oleh keberadaan
paman mereka, anak angkat yang tidak termasuk ahli waris tetapi jasa dan keberadaannya bararti bagi almarhum.
Wasiat wajibah mempunyai titik singgung secara langsung
dengan hukum kewarisan Islam, maka pelaksanaannya diserahkan kepada kebijakan hakim dalam menetapkannya dalam prooses
pemeriksaan perkara waris yang diajukan padanya. Hal ini penting diketahui oleh hakim karena wasiat wajibah itu mempunyai tujuan
untuk mendistribusikan keadilan, yaitu memberikan bagian kepada ahli waris yang mempunyai pertalian darah namun nash tidak
memberikan bagian yang semestinya, atau orang tua angkat dan anak angkat yang mungkin sudah banyak berjasa kepada si pewaris tetapi
tidak diberi. Bagian dalam ketentuan hukum Islam maka hal ini dapat dicapai jalan keluar dengan menerapkan wasiat wajib sehingga
mereka dapat menerima bagian dari harta si pewaris. Salah satu hukum materiil Peradilan Agama yang di jadikan rujukan
oleh para hakim mengenai wasiat wajibah adalah KHI pasal 209 KHI.
Menurut Kompilasi Hukum Islam di Indonesia, istilah wasiat wajibah
disebutkan pada Pasal 209 Ayat 1 dan Ayat 2, sebagai berikut:
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan Pasal 176
sampai dengan Pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 13 dari harta warisan anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Dalam Al-Baqarah: 180 tidak menjelaskan tentang kesaksian pada waktu berwasiat, padahal jika tidak dilakukan di
depan saksi akan menimbulkan masalah di kemudian hari, untuk itu dalam Al- Maidah 106 mengatur tentang persaksian, baik saksi itu
beragama Islam ataupun nonmuslim. Sama halnya dengan duduk perkara yang telah dijelaskan
diatas, seandainya hibah yang dilakukan tersebut benar maka: 1.
Hibah tersebut berlawanan dengan Pasal 209 2 KHI yang menyebutkan bahwa anak angkat mendapat bagian sebanyak-
banyaknya 13 dari harta warisan orang tua angkatnya. 2.
Hibah tersebut berlawanan dengan yurisprudensi MARI Nomor: 990.KSIP74, tanggal 06 April 1976 yang berisi bahwa hibah
wasiat tidak boleh merugikan ahli waris dan pembagian yang sudah dilakukan dapat dibatalkan dan diadakan pembagian lagi;
Dengan demikian dalil dan bukti tulis Para Tergugat tersebut patut dinyatakan tidak sah dan harus dikesampingkan.
Berdasarkan Firman Allah SWT :
“Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian pula dari
harta peninggalan ibu-bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”. Q.S. An
Nisaa’: 7
“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya.
Dan jika ada orang-orang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka, maka berilah kepada mereka bahagiannya Q.S
An Nisaa’: 33 Ibnu Abbas berkata: Alangkah baiknya kalau manusia
mengurangi wasiatnya dari 13 menjadi 14 karena Rosullah SAW telah bersabda sepertiga dan sepertiga itu banyak”;
Sehingga sesuai dengan Pasal 180, 182 dan 209 2 KHI maka ahli waris Almarhum tersebut adalah Para Penggugat dan Para Tergugat,
masing-masing pihak dengan hak bagiannya atau nilainya sebagai berikut:
a. Untuk obyek tanah tambak seluas ± 6 Ha 60.000 M²
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 14 = 315 x 60.000
M² = 12.000 M². 2.
Hj. Siti Aminah saudara perempuan mendapat 13 = 415 x 60.000 M² = 16.000 M².
3. Hj. Umiyah saudara perempuan mendapat bagian 13 =
415 x 60.000 M² = 16.000 M².
4. Ermawati anak angkat mendapat bagian 13 = 415 x
60.000 M² = 16.000 M². b.
Untuk obyek tanah perkarangan seluas ± 2.360 M² dan rumah lama peninggalan:
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 14 = 315 x 2.360
M² = 472 M². 2.
Hj. Siti Aminah saudara perempuan mendapat 13 = 415 x 2.360 M² = 629 M²
3. Hj. Umiyah saudara perempuan mendapat bagian 13 =
415 x 2.360 M² = 629 M² 4.
Ermawati anak angkat mendapat bagian 13 = 415 x 2.360 M² = 629 M²
c. Untuk Obyek sebuah bangunan rumah lama rumah asal
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 14 = 315 x harga
rumah tersebut atau nilainya ; 2.
Hj. Siti Aminah saudara perempuan mendapat bagian 13 = 415 x harga rumah tersebut atau nilainya ;
3. Hj. Umiyah saudara perempuan mendapat bagian 13 =
415 x harga rumah tersebut atau nilainya ; 4.
Ermawati anak angkat mendapat bagian 13 = 415 x harga rumah tersebut atau nilainya ;
d. Untuk Obyek sebuah bangunan rumah baru gono-gini;
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 12 setengah dari
harga atau nilai rumah tersebut; e.
Untuk Obyek sisa atau setengah dari harta atau nilai bangunan rumah baru gono-gini:
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 14 = 315 x harga
rumah tersebut atau nilainya ; 2.
Hj. Siti Aminah saudara perempuan mendapat bagian 13 = 415 x harga rumah tersebut atau nilainya ;
3. Hj. Umiyah saudara perempuan mendapat bagian 13 =
415 x harga rumah tersebut atau nilainya ; 4.
Ermawati anak angkat mendapat bagian 13 = 415 x harga rumah tersebut atau nilainya ;
Berdasarkan Putusan hakim pada kasus ini, maka pembagian harta waris atau harta peninggalan orang tua angkat di
Pengadilan Agama Sidoarjo sudah sesuai dengan Hukum Islam dengan pembagian waris sengketa antara Para Penggugat dengan
Tergugat telah dibagi adil dengan bagian yang sesuai dengan hak yang diperoleh atas harta peninggalan dan harta gono-gini atau harta
bersama Alm. H. Machmud dengan bagian atau nilai sebagai berikut: a.
Untuk tanah tambak seluas ± 6 Ha 60.000 M² dan tanah perkarangan seluas ± 2.360 M² serta rumah lama peninggalan :
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 315 tiga perlima
belas atau nilainya;
2. Hj. Siti Aminah saudara perempuan mendapat bagian 415
empat perlima belas atau nilainya ; 3.
Hj. Umiyah saudara perempuan mendapat bagian 415 empat perlima belas atau nilainya ;
4. Ermawati anak angkat mendapat bagian 415 empat perlima
belas atau nilainya ; b.
Untuk sebuah bangunan rumah baru gono-gini yang terletak diatas tanah perkarangan tersebut :
1. Hj. Munawaroh istri mendapatkan ½ setengah dari
bangunan rumah baru gono-gini tersebutt atau nilainya ; c.
Untuk setengah sisa bangunan rumah baru gono-gini sebagai harta peninggalan :
1. Hj. Munawaroh istri mendapat bagian 315 tiga perlima
belas atau nilainya; 2.
Hj. Siti Aminah saudara perempuan mendapat bagian 415 empat perlima belas atau nilainya ;
3. Hj. Umiyah saudara perempuan mendapat bagian 415 empat
perlima belas atau nilainya ; 4.
Ermawati anak angkat mendapat bagian 415 empat perlima belas atau nilainya ;
dan pihak Tergugat yaitu Hj. Munawaroh istri alm dan Ermawati anak angkat alm berada pada pihak yang dikalahkan.
78
BAB IV PENUTUP