KANDUNGAN UNSUR HARA MAKRO PADA TANAH DAN JUMLAH SERESAH PADA TIGA TIPE TEGAKAN DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

(1)

KANDUNGAN UNSUR HARA MAKRO PADA TANAH DAN

JUMLAH SERESAH PADA TIGA TIPE TEGAKAN DI

TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

(Skripsi)

Oleh A N S H O R Y

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(2)

ABSTRAK

KANDUNGAN UNSUR HARA MAKRO PADA TANAH DAN JUMLAH SERESAH PADA TIGA TIPE TEGAKAN

DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS Oleh

Anshory

Kesesuaian jenis tumbuhan dengan tempat tumbuhnya merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan tanaman. Tanah sebagai tempat tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman, seperti menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tanaman dan makhluk hidup tanah lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jumlah seresah yang tertumpuk di bawah tegakan, C/N seresah dan kandungan unsur hara makro pada tanah di Taman Nasional Way Kambas. Penelitian ini dilakukan pada bulan Agustus hingga September 2011. Pengumpulan data tegakan dan jumlah seresah menggunakan metode garis berpetak dengan jumlah plot contoh sebanyak 66 buah, sedangkan kandungan hara makro dihimpun dengan analisis sampel tanah pada tiga kedalaman yaitu 0 – 10 cm, 10 – 20 cm dan 20 – 30 cm. Berdasarkan hasil penelitian telah diketahui bahwa jumlah jenis pohon penyusun tegakan pada Taman Nasional Way Kambas adalah 24 jenis. Rata-rata jumlah nekromassa seresah yang ada pada pada Taman Nasional Way Kambas sebesar 4,27 ton/ha. Rata-rata kandungan C/N seresah pada Taman Nasional Way Kambas sebesar 23,03 yang artinya C/N serasah pada Taman Nasional Way Kambas tinggi.

Taman Nasional Way Kambas memiliki rata-rata kandungan hara tanah N sebesar 0,35%, hara P sebesar 6,86 ppm, hara K sebesar 0,53 mg/100g, pH sebesar 5,53 dan KTK sebesar 11,80 me/100g tanah. Kandungan hara tersebut secara umum berkolerasi dengan jumlah jenis, kerapatan, dan, nekromassa.


(3)

ABSTRACT

THE MACRO NUTRIENT CONTENTS OF THE SOIL AND TOTAL OF THE LITTER AT THREE TYPES OF STANDS

AT WAY KAMBAS NATIONAL PARK by

Anshory

Suitability of the plant species with its place is one of the factors which affecting the success of the planting. Soil as a place have an important role in plant growth, such as providing nutrients that plants need and other living things. This research aims to determine the amount of litter accumulated under the stands, C/N litter and macro nutrient content of the soil on Way Kambas National Park. This research was conducted on August until September 2011. The forest stand data and its litter was collected by using puzzle-line method by the number of sample plots as many as 66 plots, while the macro nutrient content of soil samples collected by the analysis at three depths are 0--10 cm, 10--20 cm and 20--30 cm. Based of reaserch result, number of tree species composed standing forest in the Way Kambas National Park as many as 24 species. Average of the litter on Way Kambas National park was 4,27 ton/ha. Average of the litter C/N on Way Kambas National Park Was 23,03 and average of the soil nutrient contens on Way Kambas National Park was N 0,35 %, P 6,86 ppm, K 0,53 mg/100g, pH 5,53, and KTK was 11,80 me/100g soil. It nutrient contents generally correlated with the number of species, density, and nekromassa.


(4)

KANDUNGAN UNSUR HARA MAKRO PADA TANAH DAN

JUMLAH SERESAH PADA TIGA TIPE TEGAKAN

DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS

Oleh A N S H O R Y

Skripsi

sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar SARJANA KEHUTANAN

pada

Jurusan Kehutanan

Fakultas Pertanian Universitas Lampung

FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2012


(5)

MENGESAHKAN

1. Tim Penguji

Ketua : Ir. Indriyanto, M.P. …………

Sekretaris : Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si. …………

Penguji

Bukan Pembimbing : Drs. Afif Bintoro, M.P. …………

2. Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S. NIP 196108261987021001


(6)

(7)

SANWACANA

Assalamualaikum war. wab.

Puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-Nya skripsi ini dapat terselesaikan. Shalawat serta salam disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW selaku Rasul Allah SWT. Skripsi dengan judul : Kandungan Unsur Hara pada Tanah dan Jumlah Seresah pada Tiga Tipe Tegakan di Taman

Nasional Way Kambasadalah salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan di Universitas Lampung.

Terwujudnya skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan saran berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih kepada berbagai pihak sebagai berikut.

1. Bapak Ir. Indriyanto, M.P. selaku pembimbing utama dan pembimbing akademik saya atas bimbingan, arahan, dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini.

2. Ibu Dr. Melya Riniarti, S.P., M.Si. selaku pembimbing kedua atas bimbingan, kritik, dan saran yang telah diberikan hingga skripsi ini terselesaikan dengan baik.

3. Bapak Drs. Afif Bintoro, M.P. selaku penguji utama pada ujian skripsi atas masukan dan saran yang telah diberikan hingga skripsi ini selesai.


(8)

4. Bapak Dr. Agus Setiawan, M.Si., selaku Ketua Jurusan Kehutanan Fakultas Pertanian Universitas Lampung.

5. Bapak Prof. Dr. Ir. Wan Abbas Zakaria, M.S., selaku Dekan Fakultas 6. Keluarga Besar Ismail (Ayah, Ibu, Ngah, Uwo dan Kiki) yang telah

memotivasi, mendoakan saya agar dapat berhasil dan untuk kasih sayang yang selalu diberikan kepada saya, serta kesabaran yang tiada pernah habisnya selama ini.

7. M. Ershad FNS, Erwin Kurniawan, Sarwo Edy Saputra, Ahmad Sofyan Pulungan, Rekha Prananda, Ery Fahry, Taufik Setiawan atas bantuannya dalam hal pengambilan data di lokasi penelitian.

8. Kepada siapa saja yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, namun tidak dapat disebutkan satu demi satu.

Semoga Allah SWT membalas kebaikan mereka semua. Akhir kata, saya menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, akan tetapi semoga skripsi yang sederhana ini bermanfaat bagi para pembaca, serta bermanfaat dalam memperkaya khazanah ilmu pengetahuan bidang kehutanan.

Bandar Lampung, April 2012


(9)

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

1. Data seresah dan C/N seresah ... 33

2. Analisis unsur hara makro tanah ... 34

3. Jenis dan kerapatan tiap fase di Resort Pusat Konservasi Gajah.. 35

4. Jenis dan kerapatan tiap fase di Resort Plang Hijau ... 36

5. Jenis dan kerapatan tiap fase di Resort Way Kanan ... 37

6. Tabulasi korelasi parsial ... 38


(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Daur Nitrogen... 19 2. Tata letak petak ukur ... 23 3. Desain petak-petak contoh dilapangan dengan metode garis


(11)

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1. Daur Nitrogen... 19 2. Tata letak petak ukur ... 23 3. Desain petak-petak contoh dilapangan dengan metode garis


(12)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kesesuaian jenis vegetasi dengan tempat tumbuhnya merupakan salah satu faktor yang memengaruhi keberhasilan tanaman. Tidak semua tanah memiliki tingkat kesuburan yang tinggi sehingga tidak semua jenis tanaman mampu tumbuh pada lahan kritis di setiap jenis tanah. Hal ini mengakibatkan tanah yang kritis sulit untuk dapat ditanami (Supriyo dkk.,1991)

Ketebalan seresah di bawah tegakan hutan biasanya mempengaruhi

kemampuan biji untuk tumbuh. Seresah yang terlalu tebal akan menyulitkan calon akar untuk dapat menembus tanah sehingga bila ini terjadi maka biji tersebut akan gagal tumbuh. Selain itu, dengan seresah yang terlalu tebal maka biji yang telah ada di dalam tanah akan sulit untuk mendapatkan cahaya dan akhirnya kemungkinan untuk tumbuh semakin kecil.

Selain itu, di dalam hutan hujan tropis tingkat guguran seresah sangat tinggi, dan merupakan jalan siklus hara yang paling penting dalam ekosistem. Fisher dan Binkley (2000) mengemukakan bahwa untuk daerah tropis baik pada hutan tanaman maupun pada hutan alam, besarnya nekromassa seresah adalah 5 -- 15 ton/ha, sedangkan pada daerah iklim sedang sebesar 20 -- 100 ton/ha. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas nekromassa yang besar


(13)

menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis.

Tanah sebagai tempat tumbuh mempunyai peran yang sangat penting dalam pertumbuhan tanaman, seperti menyediakan nutrisi yang dibutuhkan tanaman dan makhluk hidup tanah lainnya. Sehingga bila terdapat perbedaan kualitas kesuburan tanah antar lokasi maka kemungkinan besar terjadi perbedaan pada jenis vegetasi yang mampu tumbuh di atasnya (Fisher dan Binkley, 2000). Selain kondisi tanah faktor lain seperti iklim tentu juga berpengaruh terhadap keberhasilah hidup suatu jenis tanaman. Setiap jenis tumbuhan tentunya memiliki persyaratan untuk tumbuh pada iklim yang berbeda. Curah hujan, suhu, dan kelembapan merupakan komponen iklim yang dapat memengaruhi pertumbuhan dan perkembanagan suatu jenis tanaman. Jika tanaman tidak mampu beradaptasi dengan kondisi iklim dan lingkungannya maka tanaman itu akan sulit untuk dapat hidup, sehingga secara bersamaan tanah dan iklim menjadi faktor yang membatasi perkembangan suatu jenis tanaman (Smith, 1962).

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui nekromassa seresah yang tertimbun di bawah setiap tegakan di Taman Nasional Way Kambas.

2. Mengetahui kandungan C/N seresah di setiap tegakan di Taman Nasional Way Kambas.

3. Mengetahui kandungan unsur hara makro pada tanah di setiap tegakan di Taman Nasional Way Kambas.


(14)

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk memberikan informasi tentang:

1. Sebagai bahan pertimbangkan bagi pengelola Taman Nasional Way Kambas, sehingga akan ada perlakuan tertentu yang sesuai dengan kondisi unsur hara.

2. Sebagai referensi untuk penelitian yang serupa pada masa yang akan datang

D. Kerangka Pemikiran

Resort-resort pada Taman Nasional Way Kambas semuanya memiliki perbedaan dalam hal kondisi lingkungan termasuk kondisi vegetasi

penyusunnya. Perbedaan vegetasi penyusun ini berdampak pada perbedaan akumulasi nekromassa yang ada di lantai hutan. Menurut Purwowidodo (2000) kandungan nekromassa pada hutan alam berkisar 7,21 ton/ha, dengan adanya akumulasi jumlah nekromassa seresah ini akan menyebabkan

perbedaan kandungan unsur – unsur hara yang ada di dalam tanah karena kandungan bahan organik dan unsur hara tanah berasal dari dekomposisi seresah.

Dengan adanya perbedaan kandungan unsur hara antarlokasi maka terjadi perbedaan tingkat kesuburan tanah antara resort yang satu dengan yang lainnya. Perbedaan yang ada ini dimungkinkan dapat berpengaruh terhadap kemampuan tumbuhan untuk tumbuh di lokasi tersebut sehingga


(15)

kemungkinan kondisi tanah dan unsur hara yang ada dapat menjadi faktor pembatas dalam penyebaran suatu jenis tumbuhan di Taman Nasional Way Kambas.

Nekromassa seresah yang ada di hutan memiliki peran yang sangat penting terhadap pertumbuhan suatu jenis tanaman. Akumulasi nekromassa seresah di lantai hutan sangat dipengaruhi oleh kecepatan dekomposisi seresah tersebut, kecepatan dekomposisi ini salah satunya dipengaruhi oleh nisbah C/N yang ada pada seresah. Purwowidodo (2000) mengemukakan besarnya kandungan C/N pada hutan alam memiliki kadar sebesar 8%—10%. Semakin besar nisbah C/N seresah maka akan semakin sulit seresah tersebut untuk terdekomposisi (Fisher dan Binkley, 2000).

Mengingat begitu pentingnya keberadaan nekromassa seresah dan kandungan unsur hara makro tanah dalam perkembangan suatu jenis tanaman, maka penelitian ini mencoba untuk mengaji perbedaan nekromassa seresah dan kandungan unsur hara makro pada tanah yang berada di berbagai fisiognomi di Taman Nasional Way Kambas.


(16)

II

.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiognomi

Vegetasi yang tersusun atas kelompok tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama di alam atau suatu tempat tertentu yang dicirikan baik oleh spesies sebagai komponennya, maupun oleh kombinasi dari struktur dan fungsi sifat-sifatnya yang mencirikan gambaran vegetasi tersebut secara umum disebut fisiognomi (Zaifbio, 2009).

Fisiognomi sendiri merupakan bagian dari kesatuan vegetasi yang dilihat menurut bentuk umum dari luar secara morfologis dari jenis-jenis tumbuhan yang karakteristiknya nampak dengannya, misalnya pohon-pohon, semak-semak, jenis-jenis rumput dan lain sebagainya. Kesatuan vegetasi yang dipandang secara fisiognomis hampir semuanya adalah heterogen, tersusun atas campuran bermacam-macam bentuk morfologi (pohon, semak dan sebagainya). Apabila ada suatu bentuk yang menguasai dalam hal ini disebut dominan, misalnya bentuk pohon dan tumbuhan itu sejenis, maka akan jarang ditemukan tumbuhan lain di sekitarnya (Thojib, 1974).

Marsono (1977) mengemukakan bahwa komposisi dan struktur suatu vegetasi bergantung kepada hal-hal berikut.


(17)

1. Flora di daerah itu, menentukan spesies yang mampu tumbuh disuatu tempat.

2. Habitat (iklim, tanah dan lainnya) akan mengadakan seleksi terhadap spesies-spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat.

3. Waktu, diperlukan untuk membentuk suatu vegetasi yang stabil. Proses ini merupakan proses biologis yang disebut suksesi.

4. Kesempatan suatu jenis untuk mengembangkan dirinya. Dalam hal ini peranan manusia sangat besar, diantara tindakan manusia tersebut adalah:

a. Ditanamnya jenis baru pada suatu tempat, maka akan berakibat pada berubahnya vegetasi di tempat tersebut.

b. Merubah habitat yang ada, misalnya dengan jalan pembakaran, penebangan dan lainnya.

Vegetasi secara umum dapat dipakai sebagai indikator suatu habitat baik keadaan sekarang maupun sejarahnya.

B. Vegetasi

Vegetasi adalah kumpulan dari tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama-sama pada suatu tempat, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang berbeda.

Kumpulan dari berbagai jenis tumbuhan yang masing-masing tergabung dalam suatu habitat dan berinteraksi antara satu dengan yang lain dinamakan komunitas. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik antara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang tumbuh


(18)

dan hidup secara dinamis (Gem, 1996).

Vegetasi, tanah, dan iklimberhubungan erat pada tiap- tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor

lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang dinamis, selalu berkembang dengan keadaan habitatnya (Marsono, 1999).

C. Tegakan hutan

Tegakan merupakan unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya dari segi umur, komposisi, struktur, dan tempat tumbuh. Semua hutan akan mempunyai perbedaan dalam jumlah pohon dan volume tiap hektar, luas bidang dasar, dan lain-lain. Perbedaan tegakan yang rapat dan yang jarang hanya dapat jelas bila menggunakan kriteria

pembukaan tajuk. Sedangkan kerapatan tegakan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan jumlah batang tiap hektar akan diketahui melalui

pengukuran. Hutan yang terlalu rapat akan mengalami pertumbuhan lambat karena adanya persaingan dalam hal sinar matahari, air, unsur hara, bahkan tempat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak dengan batang yang pendek. Di antara hutan yang rapat dan hutan yang terlalu jarang terdapat hutan yang cukup ruang sehingga pohon-pohonnya mampu memanfaatkan air, sinar matahari dan unsur hara dalam tanah (Arief, 2001).


(19)

Tegakan atau tegakan hutan (forest stand) merupakan suatu areal hutan beserta pepohonan yang mendapat pemeliharaan sama. Menurut Baker dkk., (1979 yang dikutip oleh Indriyanto, 2008), tegakan didefinisikan sebagai suatu unit pengelolaan hutan agak homogen dan dapat dibedakan secara jelas dengan tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi jenis, struktur hutan, tempat tumbuh, dan keadaan geografinya.

Dinamika tegakan didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis yang telah memberikan kontribusi kepada sifat tegakan, seperti suksesi, persaingan, toleransi dan konsep zone optimum. Faktor-faktor ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tegakan yang ada (Daniel, dkk., 1992).

D.

Ekosistem Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000 – 11.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80 %.

Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.


(20)

Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan.

E. Tipe Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia 1. Hutan Tropis Basah

Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis pokok yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu: berbagai jenis meranti (Shorea dan Parashorea), berbagai jenis keruing (Dipterocarpus), berbagai jenis kapur (Dryobalanops spp.), berbagai jenis kayu besi (Eusideroxylon zwageri spp.), berbagai jenis kayu hitam (Diospyros spp.).

2. Hutan Muson Basah

Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4 – 6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm – 2 .000 mm. Jenis-jenis


(21)

pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan kelampis.

3. Hutan Muson Kering

Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6 – 8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus.

4. Hutan Savana

Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor.

F. Permudaan Alam

Permudaan alam atau regenerasi secara alam diartikan sebagai proses pergantian tegakan yang masak lalu mati dengan tegakan yang lebih muda (Smith, 1962). Jadi, secara alami pohon-pohon tua akan mati untuk kemudian digantikan anakan- anakan muda.


(22)

Daniel dkk. (1987) mengatakan bahwa terdapat tiga hal yang memengaruhi permudaan yang terjadi secara alami, yaitu:

1. Pasokan benih, meliputi: sumber biji, jenis tanaman, produksi biji, viabilitas dan kualitas biji.

2. Persemaian, meliputi: tipe seresah, humus, kerusakan karena binatang, tumbuhan bawah, naungan, erosi dan sedimentasi.

3. Lingkungan, meliputi: Intensitas cahaya matahari, hujan, kekeringan, kabut.

Menurut Fandeli (1985) keberhasilan permudaan alam bergantung kepada dua hal yaitu kerapatan dan kondisi lingkungan mikro.

1. Kerapatan

Kerapatan suatu jenis dalam suatu komunitas menunjukkan jumlah individu tersebut dalam suatu luasan. Pada kerapatan yang rendah, kompetisi yang terjadi antarpohon rendah sehingga pertumbuhan bibit akan lebih cepat.

2. Kondisi lingkungan mikro

Kondisi lingkungan mikro dalam suatu tegakan hutan banyak ditentukan oleh tingkat peneduhan dan pencahayaan. Semakin banyak cahaya matahari yang sampai ke permukaan tanah akan semakin berhasil permudaannya.

Namun permudaan alam tidak selalu berhasil, ada kalanya jenis permudaan seperti ini mengalami kegagalan karena permudaan yang terjadi secara alami memiliki kelemahan seperti kemungkinan ketersediaan biji dan semai


(23)

yang kurang dan juga tersebar tidak merata sehingga pemanfaatan ruang menjadi kurang efisien. Jika yang terjadi sebaliknya yaitu jumlah biji dans emai yang menimbulkan persaingan antar individu menjadi lebih besar sehingga kemungkinan untuk tumbuh menjadi kurang optimal. Intervensi yang bias dilakukan dalam permudaan alam ini adalah dengan memberikan tindakan silvikultur seperti mengontrol terhadap jumlah, persebaran, kualitas pohon induk serta melakukan penyiapan media tumbuh (Daniel dkk., 1987).

G. Nekromassa Seresah

Seresah merupakan sisa-sisa dari bagian tumbuhan baik itu daun, batang, buah dan yang lainnya yang telah mati terletak di atas permukaan tanah dan nantinya akan terdekomposisikan oleh organisme lain.

Di dalam hutan hujan tropis tingkat seresah gugur sangat tinggi, dan merupakan jalan siklus hara yang paling penting dalam ekosistem. Lebih lanjut Fisher dan Binkley (2000) menyebutkan bahwa untuk daerah tropika (hutan tanaman maupun hutan alam) nekromassa seresah berkisar antara 5 – 15 ton/ha sedangkan pada daerah iklim sedang berkisar antara 20 – 100 ton/ha. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas nekromassa yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis.

Banyak sedikitnya akumulasi seresah di lantai hutan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya jenis vegetasi, iklim , dan tipe dari vegetasi. Akumulasi


(24)

bahan organik (seresah) di lantai hutan merupakan fungsi dari jumlah tahunan jatuhan seresah dikurangi dengan dekomposisi tahunannya. Namun

nekromassa yang ada bukan hanya dipengaruhi oleh dua hal di atas,

melainkan juga dipengaruhi oleh umur dari lantai hutan atau lamanya waktu sejak kebakaran atau bencana lain terjadi (Fisher dan Binkley, 2000).

Dekomposisi seresah sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tipe molekul organik, kandungan dan komposisi kimia seresah. Tipe molekul yang berpengaruh adalah rantai C, semakin panjang rantai C maka seresah akan semakin sulit untuk terdekomposisi. Sedangkan kandungan kimia seresah berupa konsentrasi nitrogen turut pula menentukan mudah tidaknya seresah terdekomposisi dimana seresah dengan konsentrasi nitrogen yang tinggi akan lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan seresah yang konsentrasi nitrogennya rendah (Fisher dan Binkley, 2000).

Selain dua hal tersebut masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi yaitu faktor iklim mikro terutama kelembaban dan temperatur. Dekomposisi seresah memerlukan bantuan dari microorganisme dekomposer dimana kelembaban 40 – 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba karena jika kurang dari 40 % maka aktifitas mikrobia akan mengalami penurunan dan jika di atas 60 % maka hara akan tercuci dan udara akan berkurang (Fisher dan Binkley, 2000).

Temperatur berhubungan langsung dengan konsumsi oksigen, semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Temperatur yang berkisar antara 30 – 600C


(25)

menunjukkan aktivitas dekomposisi yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 600 C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup (Isroi, 2008).

Nekromassa seresah yang ada di lantai hutan ini memiliki peranan yang sangat penting. Secara fisik seresah pada lantai hutan berfungsi melindungi permukaan tanah dari kelembapan dan suhu yang ekstrim di atasnya, secara mekanis seresah memberikan perlindungan terhadap tetesan air hujan yang bisa mengakibatkan erosi percik dan sekaligus juga berfungsi memperbaiki infiltrasi air ke dalam tanah.

Lebih lanjut disebutkan bahwa lapisan seresah berfungsi sebagai habitat sekaligus sumber makanan bagi organisme tanah. Nekromassa seresah merupakan sumber nutrisi tanah yang sangat diperlukan untuk menjaga produktivitas hutan (Fisher dan Binkley, 2000).

H. Bahan Organik

1. Sumber Bahan Organik

Semua unsur pokok dalam tanah, hidup ataupun mati, utuh maupun terdekomposisi, sederhana ataupun rumit, merupakan bagian dari bahan organik tanah. akar tanaman, sisa tanaman dan hewan dalam semua tahap dekomposisi, humus, mikrobia dan campuran bahan organik lain (Kohke, 1968). Sedangkan menurut Hardjowigeno (1987) bahan organik dalam tanah terdiri atas bahan organik kasar dan bahan organik halus atau humus.


(26)

Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama bahan organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan-bahan pektin dan lignin. Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air 60 – 90% atau rata-rata sekitar 75% dan bagian padatan sekitar 25%. Bagian padatan tersebut tersusun oleh hidrat arang 60 %, protein 10%, lignin 10

– 30% dan lemak 1 – 8% (Anonim., 2007).

Kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah tidak sama. Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik dalam tanah adalah iklim, vegetasi, kondisi drainase, budidaya tanaman, dan tekstur tanah (Foth,1978). Di antara sekian banyak faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik dan nitrogen tanah, faktor yang penting adalah kedalaman tanah, iklim, tekstur tanah dan drainase.

Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm (15 – 20%), semakin ke bawah kadar bahan organik semakin berkurang. Hal itu disebabkan akumulasi bahan organik memang terkonsentrasi di lapisan atas. Tanah yang banyak mengandung humus atau bahan organik adalah tanah lapisan atas (top soil). Semakin ke lapisan bawah tanah maka kandungan bahan organik semakin berkurang sehingga tanah semakin kurus (Hardjowigeno, 1987).

Faktor iklim yang berpengaruh dalam menghasilkan bahan organik adalah suhu dan curah hujan. Makin ke daerah dingin, kadar bahan


(27)

organik dan N makin tinggi. Pada kondisi yang sama kadar bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu tahunan rata-rata turun 100C. Bila kelembapan efektif meningkat, kadar bahan organik dan N juga bertambah (Fisher dan Binkley, 2000).

Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah lempung maka makin tinggi kadar bahan organik dan N tanah, bila kondisi lainnya sama. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan

organik cepat habis. Pada tanah dengan drainase buruk, air berlebih, oksidasi terhambat karena kondisi aerasi yang buruk. Hal ini

menyebabkan kadar bahan organik dan N tinggi pada tanah berdrainase buruk (Hakim dkk., 1986).

2. Fungsi Bahan Organik

Meskipun persentase bahan organik didalam tanah kecil pada

kebanyakan tanah hutan (1--12 %) tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik merupakan bahan bakar yang menjalankan mesin biologi yang merupakan inti dari banyak proses di tanah dan jumlah karbon yang tersimpan di dalam tanah mungkin bisa sepadan dengan bahan organik yang ada di atas tanah di dalam vegetasi hutan (Fisher dan Binkley, 2000). Lebih lanjut Hardjowigeno (1987) mengatakan bahwa jumlah bahan organik yang ada di permukaan tanah hanya sebesar 3--5%, tetapi memiliki pengaruh yang besar sekali terhadap sifat-sifat tanah.


(28)

Humus mempunyai daya menahan (menyimpan) unsur hara yang tinggi sebagai akibat tingginya kapasitas tukar kation (KTK), sehingga

keberadaan humus di tanah sangatlah penting oleh karena itu tanah pada lapisan atas perlu dipertahankan (Hardjowigeno, 1987).

Secara umum Buckman dan Nylec (1982) menjelaskan pengaruh bahan organik terhadap sifat tanah sebagai berikut.

1. Mengakibatkan warna tanah berubah menjadi coklat sampai hitam. 2. Pengaruh pada sifat fisik tanah :

a. Meningkatkan pembutiran (granulasi). b. Meningkatkan kemampuan mengikat H2O.

3. Kemampuan adsorbsi kation tinggi : a. Dua sampai tiga kali koloida mineral.

b. Tiga puluh sampai 90% kekuatan mengadsorbsi mineral tanah disebabkan olehnya.

4. Persediaan dan tersedianya unsur hara : a. Mengandung kation yang mudah diganti. b. N, P dan S terikat dalam bentuk organik. c. Ekstraksi unsur mineral oleh asam humus.

I. Nitrogen (N) 1. Sumber Nitrogen

Menurut Masud (1993) sumber utama nitrogen adalah nitrogen bebas (N2) di


(29)

senyawa- senyawa nitrogen yang tersimpan dalam tubuh atau jasad. Udara merupakan sumber nitrogen paling besar yang dalam proses

pemanfaatannya oleh tanaman melalui perubahan terlebih dahulu, dalam bentuk amonia dan nitrat yang sampai ke tanah melalui air hujan, atau yang diikat oleh bakteri pengikat nitrogen.

2. Daur Nitrogen

Nitrogen terdapat dalam bentuk senyawa organik seperti urea, protein, dan asam nukleat atau sebagai senyawa anorganik seperti ammonia, nitrit, dan nitrat yang kesemuanya melalui tahapan sebagai berikut.

a. Tahap Pertama

Daur nitrogen adalah transfer nitrogen dari atmosfir ke dalam tanah. Selain air hujan yang membawa sejumlah nitrogen, penambahan nitrogen ke dalam tanah terjadi melalui proses fiksasi nitrogen. Fiksasi nitrogen secara biologis dapat dilakukan oleh bakteri Rhizobium yang

bersimbiosis dengan Leguminosae, bakteri Azotobacter dan Clostridium. Selain itu, ganggang hijau biru dalam air juga memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen (Pustekkom, 2008)

b. Tahap Ke dua

Nitrat yang telah diabsorbsi oleh akar tanaman selanjutnya akan disintesis menjadi protein tanaman, kemudian herbivora yang makan tetumbuhan akan mengubah protein tersebut menjadi protein hewani. Tumbuhan dan hewan yang telah mati akan terdekomposisi, sehingga


(30)

protein nabati dan hewani akan diurai menjadi amonia dan asam amino. Adapun pengikatan nitrogen secara kimiawi disebut proses pengikatan elektrokimia yang memerlukan energi dari halilintar. Pada proses ini halilintar melalui udara memberikan energi yang cukup untuk

menyatukan nitrogen dan oksigen sehingga terbentuk nitrogen dioksida. Kemudian nitrogen dioksida bereaksi dengan air yang membentuk asam nitrat, sehingga sebagian asam nitrat diserap oleh akar tanaman dan sebagian mengalamai denitrifikasi, dan sebagian lainnya akan menumpuk pada endapan (Indriyanto, 2006).

Gambar 1. Daur nitrogen (Pustekkom, 2008)

3. Fungsi Nitrogen

Nitrogen mempunyai peran penting dalam proses penyusunan klorofil dan Pembentukan warna hijau pada daun. Kandungan N yang tinggi pada tanaman menyebabkan dedaunan hijau lebih lama. Tanaman yang

mengalami kekahatan N mengakibatkan daun menjadi berwarna kekuningan dan akan mempengaruhi pertumbuhan akar sehingga proses pertumbuhan lambat (kerdil).


(31)

Nitrogen (N) merupakan hara makro utama yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk ion NO3- dan atau NH4+ dari tanah. Kadar nitrogen dalam jaringan tanaman

adalah 2%-4% berat kering. Dalam tanah kadar nitrogen sangat bervariasi, tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut. Dengan adanya variasi ini menyebabkan terdapat perbedaan kandungan unsur hara antara tanah hutan dengan tanah pertanian dan perkebunan (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Di dalam tanah N hanya terdapat dalam bahan organik atau berasal dari bahan organik (Schroeder, 1984). Masud (1993)

menyebutkan beberapa pengaruh nitrogen terhadap pertumbuhan tanaman seperti berikut :

a. Menjadikan daun tanaman berwarna hijau, b. Meningkatkan pertumbuhan daun dan batang, c. Membantu dalam produksi biji,


(32)

II

.

TINJAUAN PUSTAKA

A. Fisiognomi

Vegetasi yang tersusun atas kelompok tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama di alam atau suatu tempat tertentu yang dicirikan baik oleh spesies sebagai komponennya, maupun oleh kombinasi dari struktur dan fungsi sifat-sifatnya yang mencirikan gambaran vegetasi tersebut secara umum disebut fisiognomi (Zaifbio, 2009).

Fisiognomi sendiri merupakan bagian dari kesatuan vegetasi yang dilihat menurut bentuk umum dari luar secara morfologis dari jenis-jenis tumbuhan yang karakteristiknya nampak dengannya, misalnya pohon-pohon, semak-semak, jenis-jenis rumput dan lain sebagainya. Kesatuan vegetasi yang dipandang secara fisiognomis hampir semuanya adalah heterogen, tersusun atas campuran bermacam-macam bentuk morfologi (pohon, semak dan sebagainya). Apabila ada suatu bentuk yang menguasai dalam hal ini disebut dominan, misalnya bentuk pohon dan tumbuhan itu sejenis, maka akan jarang ditemukan tumbuhan lain di sekitarnya (Thojib, 1974).

Marsono (1977) mengemukakan bahwa komposisi dan struktur suatu vegetasi bergantung kepada hal-hal berikut.


(33)

1. Flora di daerah itu, menentukan spesies yang mampu tumbuh disuatu tempat.

2. Habitat (iklim, tanah dan lainnya) akan mengadakan seleksi terhadap spesies-spesies yang mampu menyesuaikan diri dengan kondisi lingkungan setempat.

3. Waktu, diperlukan untuk membentuk suatu vegetasi yang stabil. Proses ini merupakan proses biologis yang disebut suksesi.

4. Kesempatan suatu jenis untuk mengembangkan dirinya. Dalam hal ini peranan manusia sangat besar, diantara tindakan manusia tersebut adalah:

a. Ditanamnya jenis baru pada suatu tempat, maka akan berakibat pada berubahnya vegetasi di tempat tersebut.

b. Merubah habitat yang ada, misalnya dengan jalan pembakaran, penebangan dan lainnya.

Vegetasi secara umum dapat dipakai sebagai indikator suatu habitat baik keadaan sekarang maupun sejarahnya.

B. Vegetasi

Vegetasi adalah kumpulan dari tumbuh-tumbuhan yang hidup bersama-sama pada suatu tempat, biasanya terdiri atas beberapa jenis yang berbeda.

Kumpulan dari berbagai jenis tumbuhan yang masing-masing tergabung dalam suatu habitat dan berinteraksi antara satu dengan yang lain dinamakan komunitas. Dalam mekanisme kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik antara sesama individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya sehingga merupakan suatu sistem yang tumbuh


(34)

dan hidup secara dinamis (Gem, 1996).

Vegetasi, tanah, dan iklimberhubungan erat pada tiap- tiap tempat mempunyai keseimbangan yang spesifik. Vegetasi di suatu tempat akan berbeda dengan vegetasi di tempat lain karena berbeda pula faktor

lingkungannya. Vegetasi hutan merupakan suatu sistem yang dinamis, selalu berkembang dengan keadaan habitatnya (Marsono, 1999).

C. Tegakan hutan

Tegakan merupakan unit agak homogen yang dapat dibedakan dengan jelas dari tegakan di sekitarnya dari segi umur, komposisi, struktur, dan tempat tumbuh. Semua hutan akan mempunyai perbedaan dalam jumlah pohon dan volume tiap hektar, luas bidang dasar, dan lain-lain. Perbedaan tegakan yang rapat dan yang jarang hanya dapat jelas bila menggunakan kriteria

pembukaan tajuk. Sedangkan kerapatan tegakan berdasarkan volume, luas bidang dasar, dan jumlah batang tiap hektar akan diketahui melalui

pengukuran. Hutan yang terlalu rapat akan mengalami pertumbuhan lambat karena adanya persaingan dalam hal sinar matahari, air, unsur hara, bahkan tempat. Sebaliknya, hutan yang terlalu jarang akan menghasilkan pohon-pohon dengan tajuk besar dan bercabang banyak dengan batang yang pendek. Di antara hutan yang rapat dan hutan yang terlalu jarang terdapat hutan yang cukup ruang sehingga pohon-pohonnya mampu memanfaatkan air, sinar matahari dan unsur hara dalam tanah (Arief, 2001).


(35)

Tegakan atau tegakan hutan (forest stand) merupakan suatu areal hutan beserta pepohonan yang mendapat pemeliharaan sama. Menurut Baker dkk., (1979 yang dikutip oleh Indriyanto, 2008), tegakan didefinisikan sebagai suatu unit pengelolaan hutan agak homogen dan dapat dibedakan secara jelas dengan tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi jenis, struktur hutan, tempat tumbuh, dan keadaan geografinya.

Dinamika tegakan didasarkan pada prinsip-prinsip ekologis yang telah memberikan kontribusi kepada sifat tegakan, seperti suksesi, persaingan, toleransi dan konsep zone optimum. Faktor-faktor ini secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tegakan yang ada (Daniel, dkk., 1992).

D.

Ekosistem Hutan Hujan Tropis

Hutan hujan tropis merupakan salah satu tipe vegetasi hutan tertua yang telah menutupi banyak lahan. Ekosistem hutan hujan tropis terbentuk oleh vegetasi klimaks pada daerah dengan curah hujan 2.000 – 11.000 mm per tahun, rata-rata temperatur 25°C dengan perbedaan temperatur yang kecil sepanjang tahun, dan rata-rata kelembapan udara 80 %.

Tipe ekosistem hutan hujan tropis terdapat di wilayah yang memiliki tipe iklim A dan B (menurut klasifikasi iklim Schmidt dan Ferguson), atau dapat dikatakan bahwa tipe ekosistem tersebut berada pada daerah yang selalu basah, pada daerah yang memiliki jenis tanah Podsol, Latosol, Aluvial, dan Regosol dengan drainase yang baik, dan terletak jauh dari pantai.


(36)

Tajuk pohon hutan hujan tropis sangat rapat, ditambah lagi adanya tumbuh-tumbuhan yang memanjat, menggantung, dan menempel pada dahan-dahan pohon, misalnya rotan, anggrek, dan paku-pakuan. Hal ini menyebabkan sinar matahari tidak dapat menembus tajuk hutan hingga ke lantai hutan, sehingga tidak memungkinkan bagi semak untuk berkembang di bawah naungan tajuk pohon kecuali spesies tumbuhan yang telah beradaptasi dengan baik untuk tumbuh di bawah naungan.

E. Tipe Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia 1. Hutan Tropis Basah

Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis pokok yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu: berbagai jenis meranti (Shorea dan Parashorea), berbagai jenis keruing (Dipterocarpus), berbagai jenis kapur (Dryobalanops spp.), berbagai jenis kayu besi (Eusideroxylon zwageri spp.), berbagai jenis kayu hitam (Diospyros spp.).

2. Hutan Muson Basah

Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4 – 6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm – 2 .000 mm. Jenis-jenis


(37)

pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan kelampis.

3. Hutan Muson Kering

Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6 – 8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus.

4. Hutan Savana

Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor.

F. Permudaan Alam

Permudaan alam atau regenerasi secara alam diartikan sebagai proses pergantian tegakan yang masak lalu mati dengan tegakan yang lebih muda (Smith, 1962). Jadi, secara alami pohon-pohon tua akan mati untuk kemudian digantikan anakan- anakan muda.


(38)

Daniel dkk. (1987) mengatakan bahwa terdapat tiga hal yang memengaruhi permudaan yang terjadi secara alami, yaitu:

1. Pasokan benih, meliputi: sumber biji, jenis tanaman, produksi biji, viabilitas dan kualitas biji.

2. Persemaian, meliputi: tipe seresah, humus, kerusakan karena binatang, tumbuhan bawah, naungan, erosi dan sedimentasi.

3. Lingkungan, meliputi: Intensitas cahaya matahari, hujan, kekeringan, kabut.

Menurut Fandeli (1985) keberhasilan permudaan alam bergantung kepada dua hal yaitu kerapatan dan kondisi lingkungan mikro.

1. Kerapatan

Kerapatan suatu jenis dalam suatu komunitas menunjukkan jumlah individu tersebut dalam suatu luasan. Pada kerapatan yang rendah, kompetisi yang terjadi antarpohon rendah sehingga pertumbuhan bibit akan lebih cepat.

2. Kondisi lingkungan mikro

Kondisi lingkungan mikro dalam suatu tegakan hutan banyak ditentukan oleh tingkat peneduhan dan pencahayaan. Semakin banyak cahaya matahari yang sampai ke permukaan tanah akan semakin berhasil permudaannya.

Namun permudaan alam tidak selalu berhasil, ada kalanya jenis permudaan seperti ini mengalami kegagalan karena permudaan yang terjadi secara alami memiliki kelemahan seperti kemungkinan ketersediaan biji dan semai


(39)

yang kurang dan juga tersebar tidak merata sehingga pemanfaatan ruang menjadi kurang efisien. Jika yang terjadi sebaliknya yaitu jumlah biji dans emai yang menimbulkan persaingan antar individu menjadi lebih besar sehingga kemungkinan untuk tumbuh menjadi kurang optimal. Intervensi yang bias dilakukan dalam permudaan alam ini adalah dengan memberikan tindakan silvikultur seperti mengontrol terhadap jumlah, persebaran, kualitas pohon induk serta melakukan penyiapan media tumbuh (Daniel dkk., 1987).

G. Nekromassa Seresah

Seresah merupakan sisa-sisa dari bagian tumbuhan baik itu daun, batang, buah dan yang lainnya yang telah mati terletak di atas permukaan tanah dan nantinya akan terdekomposisikan oleh organisme lain.

Di dalam hutan hujan tropis tingkat seresah gugur sangat tinggi, dan merupakan jalan siklus hara yang paling penting dalam ekosistem. Lebih lanjut Fisher dan Binkley (2000) menyebutkan bahwa untuk daerah tropika (hutan tanaman maupun hutan alam) nekromassa seresah berkisar antara 5 – 15 ton/ha sedangkan pada daerah iklim sedang berkisar antara 20 – 100 ton/ha. Keanekaragaman yang sangat tinggi dan produktivitas nekromassa yang besar menggambarkan tingginya produktivitas vegetasi di hutan hujan tropis.

Banyak sedikitnya akumulasi seresah di lantai hutan dipengaruhi oleh banyak faktor diantaranya jenis vegetasi, iklim , dan tipe dari vegetasi. Akumulasi


(40)

bahan organik (seresah) di lantai hutan merupakan fungsi dari jumlah tahunan jatuhan seresah dikurangi dengan dekomposisi tahunannya. Namun

nekromassa yang ada bukan hanya dipengaruhi oleh dua hal di atas,

melainkan juga dipengaruhi oleh umur dari lantai hutan atau lamanya waktu sejak kebakaran atau bencana lain terjadi (Fisher dan Binkley, 2000).

Dekomposisi seresah sendiri dipengaruhi oleh banyak faktor seperti tipe molekul organik, kandungan dan komposisi kimia seresah. Tipe molekul yang berpengaruh adalah rantai C, semakin panjang rantai C maka seresah akan semakin sulit untuk terdekomposisi. Sedangkan kandungan kimia seresah berupa konsentrasi nitrogen turut pula menentukan mudah tidaknya seresah terdekomposisi dimana seresah dengan konsentrasi nitrogen yang tinggi akan lebih mudah terdekomposisi dibandingkan dengan seresah yang konsentrasi nitrogennya rendah (Fisher dan Binkley, 2000).

Selain dua hal tersebut masih terdapat faktor lain yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi yaitu faktor iklim mikro terutama kelembaban dan temperatur. Dekomposisi seresah memerlukan bantuan dari microorganisme dekomposer dimana kelembaban 40 – 60 % adalah kisaran optimum untuk metabolisme mikroba karena jika kurang dari 40 % maka aktifitas mikrobia akan mengalami penurunan dan jika di atas 60 % maka hara akan tercuci dan udara akan berkurang (Fisher dan Binkley, 2000).

Temperatur berhubungan langsung dengan konsumsi oksigen, semakin tinggi temperatur akan semakin banyak konsumsi oksigen dan akan semakin cepat pula proses dekomposisi. Temperatur yang berkisar antara 30 – 600C


(41)

menunjukkan aktivitas dekomposisi yang cepat. Suhu yang lebih tinggi dari 600 C akan membunuh sebagian mikroba dan hanya mikroba thermofilik saja yang akan tetap bertahan hidup (Isroi, 2008).

Nekromassa seresah yang ada di lantai hutan ini memiliki peranan yang sangat penting. Secara fisik seresah pada lantai hutan berfungsi melindungi permukaan tanah dari kelembapan dan suhu yang ekstrim di atasnya, secara mekanis seresah memberikan perlindungan terhadap tetesan air hujan yang bisa mengakibatkan erosi percik dan sekaligus juga berfungsi memperbaiki infiltrasi air ke dalam tanah.

Lebih lanjut disebutkan bahwa lapisan seresah berfungsi sebagai habitat sekaligus sumber makanan bagi organisme tanah. Nekromassa seresah merupakan sumber nutrisi tanah yang sangat diperlukan untuk menjaga produktivitas hutan (Fisher dan Binkley, 2000).

H. Bahan Organik

1. Sumber Bahan Organik

Semua unsur pokok dalam tanah, hidup ataupun mati, utuh maupun terdekomposisi, sederhana ataupun rumit, merupakan bagian dari bahan organik tanah. akar tanaman, sisa tanaman dan hewan dalam semua tahap dekomposisi, humus, mikrobia dan campuran bahan organik lain (Kohke, 1968). Sedangkan menurut Hardjowigeno (1987) bahan organik dalam tanah terdiri atas bahan organik kasar dan bahan organik halus atau humus.


(42)

Bahan organik dihasilkan oleh tumbuhan melalui proses fotosintesis sehingga unsur karbon merupakan penyusun utama bahan organik tersebut. Unsur karbon ini berada dalam bentuk senyawa-senyawa polisakarida, seperti selulosa, hemiselulosa, pati, dan bahan-bahan pektin dan lignin. Jaringan tumbuhan sebagian besar tersusun dari air 60 – 90% atau rata-rata sekitar 75% dan bagian padatan sekitar 25%. Bagian padatan tersebut tersusun oleh hidrat arang 60 %, protein 10%, lignin 10

– 30% dan lemak 1 – 8% (Anonim., 2007).

Kandungan bahan organik dalam setiap jenis tanah tidak sama. Beberapa faktor yang mempengaruhi jumlah bahan organik dalam tanah adalah iklim, vegetasi, kondisi drainase, budidaya tanaman, dan tekstur tanah (Foth,1978). Di antara sekian banyak faktor yang mempengaruhi kadar bahan organik dan nitrogen tanah, faktor yang penting adalah kedalaman tanah, iklim, tekstur tanah dan drainase.

Kadar bahan organik terbanyak ditemukan di lapisan atas setebal 20 cm (15 – 20%), semakin ke bawah kadar bahan organik semakin berkurang. Hal itu disebabkan akumulasi bahan organik memang terkonsentrasi di lapisan atas. Tanah yang banyak mengandung humus atau bahan organik adalah tanah lapisan atas (top soil). Semakin ke lapisan bawah tanah maka kandungan bahan organik semakin berkurang sehingga tanah semakin kurus (Hardjowigeno, 1987).

Faktor iklim yang berpengaruh dalam menghasilkan bahan organik adalah suhu dan curah hujan. Makin ke daerah dingin, kadar bahan


(43)

organik dan N makin tinggi. Pada kondisi yang sama kadar bahan organik dan N bertambah 2 hingga 3 kali tiap suhu tahunan rata-rata turun 100C. Bila kelembapan efektif meningkat, kadar bahan organik dan N juga bertambah (Fisher dan Binkley, 2000).

Tekstur tanah juga cukup berperan, makin tinggi jumlah lempung maka makin tinggi kadar bahan organik dan N tanah, bila kondisi lainnya sama. Tanah berpasir memungkinkan oksidasi yang baik sehingga bahan

organik cepat habis. Pada tanah dengan drainase buruk, air berlebih, oksidasi terhambat karena kondisi aerasi yang buruk. Hal ini

menyebabkan kadar bahan organik dan N tinggi pada tanah berdrainase buruk (Hakim dkk., 1986).

2. Fungsi Bahan Organik

Meskipun persentase bahan organik didalam tanah kecil pada

kebanyakan tanah hutan (1--12 %) tetapi memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap sifat fisik, kimia dan biologi tanah. Bahan organik merupakan bahan bakar yang menjalankan mesin biologi yang merupakan inti dari banyak proses di tanah dan jumlah karbon yang tersimpan di dalam tanah mungkin bisa sepadan dengan bahan organik yang ada di atas tanah di dalam vegetasi hutan (Fisher dan Binkley, 2000). Lebih lanjut Hardjowigeno (1987) mengatakan bahwa jumlah bahan organik yang ada di permukaan tanah hanya sebesar 3--5%, tetapi memiliki pengaruh yang besar sekali terhadap sifat-sifat tanah.


(44)

Humus mempunyai daya menahan (menyimpan) unsur hara yang tinggi sebagai akibat tingginya kapasitas tukar kation (KTK), sehingga

keberadaan humus di tanah sangatlah penting oleh karena itu tanah pada lapisan atas perlu dipertahankan (Hardjowigeno, 1987).

Secara umum Buckman dan Nylec (1982) menjelaskan pengaruh bahan organik terhadap sifat tanah sebagai berikut.

1. Mengakibatkan warna tanah berubah menjadi coklat sampai hitam. 2. Pengaruh pada sifat fisik tanah :

a. Meningkatkan pembutiran (granulasi). b. Meningkatkan kemampuan mengikat H2O.

3. Kemampuan adsorbsi kation tinggi : a. Dua sampai tiga kali koloida mineral.

b. Tiga puluh sampai 90% kekuatan mengadsorbsi mineral tanah disebabkan olehnya.

4. Persediaan dan tersedianya unsur hara : a. Mengandung kation yang mudah diganti. b. N, P dan S terikat dalam bentuk organik. c. Ekstraksi unsur mineral oleh asam humus.

I. Nitrogen (N) 1. Sumber Nitrogen

Menurut Masud (1993) sumber utama nitrogen adalah nitrogen bebas (N2) di


(45)

senyawa- senyawa nitrogen yang tersimpan dalam tubuh atau jasad. Udara merupakan sumber nitrogen paling besar yang dalam proses

pemanfaatannya oleh tanaman melalui perubahan terlebih dahulu, dalam bentuk amonia dan nitrat yang sampai ke tanah melalui air hujan, atau yang diikat oleh bakteri pengikat nitrogen.

2. Daur Nitrogen

Nitrogen terdapat dalam bentuk senyawa organik seperti urea, protein, dan asam nukleat atau sebagai senyawa anorganik seperti ammonia, nitrit, dan nitrat yang kesemuanya melalui tahapan sebagai berikut.

a. Tahap Pertama

Daur nitrogen adalah transfer nitrogen dari atmosfir ke dalam tanah. Selain air hujan yang membawa sejumlah nitrogen, penambahan nitrogen ke dalam tanah terjadi melalui proses fiksasi nitrogen. Fiksasi nitrogen secara biologis dapat dilakukan oleh bakteri Rhizobium yang

bersimbiosis dengan Leguminosae, bakteri Azotobacter dan Clostridium. Selain itu, ganggang hijau biru dalam air juga memiliki kemampuan memfiksasi nitrogen (Pustekkom, 2008)

b. Tahap Ke dua

Nitrat yang telah diabsorbsi oleh akar tanaman selanjutnya akan disintesis menjadi protein tanaman, kemudian herbivora yang makan tetumbuhan akan mengubah protein tersebut menjadi protein hewani. Tumbuhan dan hewan yang telah mati akan terdekomposisi, sehingga


(46)

protein nabati dan hewani akan diurai menjadi amonia dan asam amino. Adapun pengikatan nitrogen secara kimiawi disebut proses pengikatan elektrokimia yang memerlukan energi dari halilintar. Pada proses ini halilintar melalui udara memberikan energi yang cukup untuk

menyatukan nitrogen dan oksigen sehingga terbentuk nitrogen dioksida. Kemudian nitrogen dioksida bereaksi dengan air yang membentuk asam nitrat, sehingga sebagian asam nitrat diserap oleh akar tanaman dan sebagian mengalamai denitrifikasi, dan sebagian lainnya akan menumpuk pada endapan (Indriyanto, 2006).

Gambar 1. Daur nitrogen (Pustekkom, 2008)

3. Fungsi Nitrogen

Nitrogen mempunyai peran penting dalam proses penyusunan klorofil dan Pembentukan warna hijau pada daun. Kandungan N yang tinggi pada tanaman menyebabkan dedaunan hijau lebih lama. Tanaman yang

mengalami kekahatan N mengakibatkan daun menjadi berwarna kekuningan dan akan mempengaruhi pertumbuhan akar sehingga proses pertumbuhan lambat (kerdil).


(47)

Nitrogen (N) merupakan hara makro utama yang sangat penting untuk pertumbuhan tanaman. Nitrogen diserap oleh tanaman dalam bentuk ion NO3- dan atau NH4+ dari tanah. Kadar nitrogen dalam jaringan tanaman

adalah 2%-4% berat kering. Dalam tanah kadar nitrogen sangat bervariasi, tergantung pada pengelolaan dan penggunaan tanah tersebut. Dengan adanya variasi ini menyebabkan terdapat perbedaan kandungan unsur hara antara tanah hutan dengan tanah pertanian dan perkebunan (Rosmarkam dan Yuwono, 2002). Di dalam tanah N hanya terdapat dalam bahan organik atau berasal dari bahan organik (Schroeder, 1984). Masud (1993)

menyebutkan beberapa pengaruh nitrogen terhadap pertumbuhan tanaman seperti berikut :

a. Menjadikan daun tanaman berwarna hijau, b. Meningkatkan pertumbuhan daun dan batang, c. Membantu dalam produksi biji,


(48)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Taman Nasional Way Kambas pada bulan Agustus – September 2011.

B. Objek Penelitian dan Alat

Objek penelitian ini yaitu tegakan, seresah, dan tanah pada 3 lokasi di Taman Nasional Way Kambas, yakni pada resort Pusat konservasi Gajah (PKG), resort Plang Hijau dan resort Way Kanan.

Alat-alat yang digunakan antara lain alat tulis, kompas, GPS, sekop atau cangkul, plastik, tali rapia, pita meter,oven, komputer, hagameter, lembar pengamatan (tally sheet), dan kamera.

C. Metode Pengumpulan Data 1. Jenis Data yang Dikumpulkan

Data-data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer meliputi :

a. kondisi tegakan;

b. kondisi seresah yang tertumpuk di bawah tegakan; c. kandungan unsur hara makro pada tanah dan seresah.


(49)

Adapun data sekunder meliputi literatur yang berhubungan dengan

penelitian ini serta keadaan umum lokasi penelitian (letak, kondisi fisik dan biologis), luasan areal tiap resort pada Taman Nasional Way Kambas yang mana data-data primer tersebut dapat diperoleh dari Balai Taman Nasional Way Kambas, serta literatur penunujang lainnya yang relevan dengan topik penelitian sebagai bahan referensi.

2. Cara Pengumpulan Data

Cara pengumpulan data dalam penelitian ini adalah : a. Data primer

1. Kondisi tegakan

Analisis vegetasi merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Analisis vegetasi ini mempunyai tujuan untuk mengetahui komposisi spesies dan struktur komunitas pada suatu wilayah yang diamati. Pada penelitian ini, tegakan yang akan diamati berupa vegetasi yang masih dikelola secara intensif yaitu pada resort Plang Hijau , tegakan pada areal bekas kebakaran yakni pada Resort Pusat Konservasi Gajah, serta tegakan yang masih berupa hutan alam pada resort Way Kanan. Pengambilan data dilakukan dengan pembuatan plot dengan menggunakan metode garis berpetak dengan jumlah plot yang akan dibuat sebanyak 66 plot berdasarkan hasil survey yang telah dilakukan dengan menggunakan kurva spesies area, untuk fase pohon, tiang dan pancang diukur tinggi,


(50)

diameter, dan jumlah individunya sedangkan untuk fase semai hanya dihitung jumlah individunya.

Gambar 2. Tata letak plot contoh dengan metode garis berpetak untuk pengamatan variabel penelitian di Taman Nasional Way kambas.

Gambar 3. Desain petak-petak contoh dilapangan dengan metode garis berpetak


(51)

Keterangan : Petak A = petak berukuran 20 m x 20 m untuk pengamatan pohon.

Petak B = petak berukuran 10 m x 10 m untuk pengamatan tiang.

Petak C = petak berukuran 5 m x 5 m untuk pengamatan pancang.

Petak D = petak berukuran 2 m x 2 m untuk pengamatan semai

2. Kondisi seresah yang tertumpuk di bawah tegakan

Seresah merupakan sisa-sisa dari bagian tumbuhan baik itu daun, batang, buah dan yang lainnya yang telah mati terletak di atas permukaan tanah dan nantinya akan terdekomposisikan oleh organisme lain. Pengambilan data mengenai kondisi seresah yang tertumpuk di bawah tegakan dilakukan dengan menggunakan plot berukuran 1mx1m pada tiap-tiap lokasi dengan 3 kali ulangan di tiap lokasi. Seresah yang diambil berupa seresah utuh (litter). Seresah ditimbang untuk mengetahui berat basah. Selanjutnya seresah dikeringkan dalam oven pada suhu 850C sampai mencapai berat konstan

3.. Kandungan unsur hara makro pada tanah dan seresah

Unsur hara makro adalah unsur yang diperlukan oleh tumbuhan dalam jumlah yang besar. Adapun cara pengambilan sampel tanah untuk mengetahui kandungan unsur hara makro dilakukan dengan cara :


(52)

a) Pengambilan sampel tanah dilakukan di dalam plot tempat pengambilan seresah di lokasi dengan 3 kali ulangan pengambilan.

b) Pengambilan sampel tanah dilakukan pada tiga kedalaman untuk yaitu 0 – 10 cm, 10 – 20 cm dan 20 – 30 cm. Penggalian tanah dilakukan dengan cangkul atau sekop, kemudian tanah diambil dan dimasukan ke dalam plastik dan dipisah.

b. Data skunder

Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi pustaka. Metode ini digunakan untuk mencari, menganalisis, mengumpulkan data penunjang yang terdapat dalam dokumen resmi yang di miliki oleh Balai Taman Nasional Way Kambas seperti mempelajari buku-buku, tulisan-tulisan umum, dan literatur lainnya yang dipakai sebagai bahan referensi. Berikut contoh data sekunder yang diambil adalah sejarah, topografi, geologi dan tanah, hidrologi, dan lain-lain.

D. Pengolahan dan Analisis Data

Setelah data terkumpul, maka dilakukan analisis data sebagai berikut.

1. Analisis Data Untuk tegakan Kerapatan (densitas)

Kerapatan setiap jenis tumbuhan dihitung dengan rumus sebagai berikut (Indriyanto, 2006).

contoh petak seluruh luas i -ke spesies untuk individu jumlah i -K 


(53)

2. Analisis untuk Unsur Hara Makro

Hasil yang didapatkan dari lapangan berupa tanah dan seresah dianalisis di Laboratorium Silvikultur Kehutanan dan

Laboratorium Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas

Lampung. Data dari lapangan akan dianlisis C/N seresahnya dan kandungan unsur hara makro tanah.

3. Analisis korelasi parsial

Variabel kontrol (x1, x2. x3) jumlah jenis, kerapatan dan

nekromassa dan C/N (y1), unsur hara K (y2), unsur hara P (y3),

unsur hara N (y4), pH (y5) dan KTK (y6)

Korelasi yang diuji antara lain :

a. Korelasi antara jumlah jenis, kerapatan, dan bobot nekromassa dengan C/N seresah.

b. Korelasi antara C/N seresah dengan unsur hara N tanah. c. Korelasi antara C/N seresah dengan unsur hara P tanah. d. Korelasi antara C/N seresah dengan unsur hara K tanah. e. Korelasi antara C/N seresah dengan pH tanah.


(54)

Steel dan Torrie (1991) menyatakan untuk mengetahui ukuran keeratan hubungan antara variable x dan y, akan dilakukan analisis korelasi menurut persamaan berikut :

r2 =



x x

 

y y

y y x x

   

 

2

Besar nilai koefesien korelasi r selalu terletak antara -1 dan +1. Jika nilai koefesien korelasi r = +1, berarti terdapat korelasi positif sempurna antara x dan y. jika nilai koefesien korelasi r = -1 berarti terdapat korelasi negatif sempurna antara x dan y. Sedangkan jika nilai koefesien korelasi r = 0 berarti tidak ada korelasi antara x dan y. besarnya nilai signifikasi dari korelasi tidak lebih dari 0,05.


(55)

IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Keadaan umum Taman Nasional Way Kambas 1. Letak dan luas

Secara geografis Taman Nasional Way Kambas terletak di antara 4037’ LS

– 5016’ LS dan antara 105033’ BT – 105054’ BT. Sedangkan secara administratif berada di wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Timur, yang mencakup wilayah beberapa kecamatan, antara lain Kecamatan Labuhan maringgai, Kecamatan Way Jepara, Kecamatan Sukadana, dan Kecamatan Purbolinggo, serta Wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II Lampung Tengah yang meliputi Kecamatan Rumbia dan Kecamatan Seputih Surabaya. Luas wilayah Taman Nasional Way Kambas saat ini berdasarkan hasil pengukuran dan pengukuhan batas kawasan oleh Sub Balai Inventarisasi dan Pemetaan Hutan (SBIPH) seluas 125.621,30 Ha yang terbagi menjadi tiga wilayah Sub Seksi Konservasi (Balai Taman Nasional Way Kambas, 2000).

2. Sejarah Kawasan

Kawasan Taman Nasional Way Kambas dan beberapa kawasan sekitarnya, ditetapkan sebagai Hutan Lindung pada tahun 1924.


(56)

Tahun 1936, Mr. Rookmaker sebagai Residen Daerah Lampung mengusulkan kawasan tersebut menjadi suaka margasatwa, kemudian tahun 1937 Pemerintah Hindia Belanda menetapkan kawasan hutan Way Kambas sebagai Suaka Margasatwa. Pada tahun 1978, Suaka Margasatwa way Kambas diubah menjadi Kawasan Pelestarian Alam (KPA) oleh Menteri Pertanian. Kemudian pada tahun 1985, berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 177/Kpts-II/1985 diubah lagi menjadi Kawasan Konservasi Sumber Daya Alam (KSDA). Tanggal 1 April 1989 bertepatan dengan Pekan Konservasi Nasional di Kaliurang Yogyakarta, Kawasan Suaka Margasatwa Way Kambas dideklarasikan oleh Menteri Kehutanan sebagai Kawasan Taman Nasional Way Kambas. Kemudian pada tahun 1991 oleh Menteri Kehutanan dinyatakan sebagai Taman Nasional dan dikelola oleh Sub Balai Konservasi Sumber Daya Alam II Tanjung Karang (Balai Taman Nasional Way Kambas, 2000).

3. Topografi

Pada umumnya keadaan topografi di Taman Nasional Way Kambas merupakan dataran yang relatif datar dengan ketinggian antara 0--50 m dpl. Bagian timur kawasan merupakan daerah lembah yang terpotong oleh sungai-sungai sehingga menyebabkan terbentuknya topografi

bergelombang, sedangkan pada bagian barat daya, tepatnya di sebelah timur Kecamatan Prubolinggo yang merupakan tempat tertinggi kawasan dengan ketinggian 50 m dpl.


(57)

4. Tanah

Jenis tanah di kawasan Taman Nasional Way Kambas didominasi oleh kombinasi Podsolik Coklat Kuning, Podsolik Merah Kuning, Aluvial Hidromorf dan Gley Humus Lacustrin. Jenis tanah podsolik merah kuning dapat ditemukan di daerah berdrainase baik, sedangkan podsolik coklat kuning menunjukan daerah yang berdrainase kurang baik. Tanah di kawasan Taman Nasional Way Kambas mengalami dua kali perubahan fisik yang penting. Pertama akibat letusan gunung Krakatau pada tahun 1883 yang menyebabkan penyebaran lebih dari 5 cm tanah vulkanik di atas seluruh areal bagian selatan kawasan. Kedua, perubahan fisik tanah disebabkan karena adanya kegiatan logging yang terjadi 20--30 tahun terakhir pada hampir seluruh kawasan Taman Nasional Way Kambas. Dampak dari kegiatan logging ini adalah terbukanya lahan bagi hujan dan sinar matahari. Selain itu, pemadatan tanah akibat penggunaan alat-alat berat telah mengubah kapasitas penyimpanan air, kandungan humus dan tingkat penyerapan air oleh tanah.

5. Iklim

Kawasan Taman Nasional Way Kambas mempunyai curah hujan tahunan 2500--3000 mm. Hal ini lebih rendah dibandingkan dengan daerah pegunungan. Seperti halnya pada daerah lain di Indonesia, musim kering di Taman Nasional Way Kambas terjadi pada bulan April sampai bulan September. Selama musim kering ini kawasan hanya menerima curah hujan kurang dari 100 m per bulan. Rata-rata bulan kering tiap tahun


(58)

terjadi pada bulan Agustus atau bulan September. Dalam 20 tahun sekali terjadi musim kering khas rata-rata 2--6 bulan. Suhu rata-rata bulanan berkisar antara 23,00 C. Suhu udara tertinggi terjadi pada bulan Juli yaitu 32,60 C. Sedangkan suhu terendah terjadi pada bulan Desember yaitu 16,00 C. Kelembaban udara rata-rata tahunan 84,8%, kelembaban udara tertinggi terjadi pada bulan Januari , yaitu 93,1%, dan kelembaban udara terendah terjadi pada bulan Juli, yaitu 70,1%.

6. Tipe Ekosistem

Kawasan Taman Nasional Way Kambas memilki satu spektrum ekosistem yang besar. Dalam kawasan ini dapat ditemui formasi-formasi hutan seperti hutan mangrove, hutan rawa dan hutan dataran rendah. Tipe habitat dan ekosistem yang ada di Taman Nasional Way Kambas terbagi dalam lima tipe utama, yaitu vegetasi hutan mangrove, hutan pantai, hutan riparian, hutan rawa, dan hutan dataran rendah. Selain itu, dapat

ditemukan pula daerah padang rumput luas yang merupakan akibat kegiatan logging sebelumnya dan kebakaran hutan yang sering terjadi di daerah tersebut.


(59)

VI. KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

1. Rata-rata jumlah nekromassa seresah yang ada pada pada Taman Nasional Way Kambas sebesar 4,27 ton/ha

2. Rata-rata kandungan C/N seresah pada Taman Nasional Way Kambas sebesar 23,03 yang artinya C/N serasah pada Taman Nasional Way Kambas tinggi.

3. Taman Nasional Way Kambas memiliki rata-rata kandungan hara tanah N sebesar 0,35%, hara P sebesar 6,86 ppm, hara K sebesar 0,53 mg/100g, pH sebesar 5,53 dan KTK sebesar 11,80 me/100g tanah.

B. Saran

1. Mengingat terbatasnya penelitian ini maka perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dan lengkap mengenai nutrisi yang tekandung di dalam tanah agar diketahui secara pasti kualitas kesuburan pada tiap tipe tegakan di Taman Nasional Way Kambas.

2. Sebaiknya digunakan Petak Ukur Permanen agar diketahui dengan jelas perkembangan kesuburan tanah setiap waktu agar dapat diambil tindakan terbaik untuk setiap petak-petak tersebut sehingga tegakan yang ada dikawasan tersebut menjadi lebih baik.


(60)

DAFTAR PUSTAKA

Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kansius. Yogyakarta. 180 p.

Balai Taman Nasional Way Kambas. 2000. Taman Nasional Way Kambas : informasi. Kantor Balai Taman Nasional Way Kambas.

Buckman, H. O. dan C. B Nylec. 1982. Ilmu Tanah. Diterjemahkan oleh Soegiman. Bhratara Karya Aksara. Jakarta.788 p.

Daniel, T. W., J. A. Helmes dan F. Baker. 1987. Prinsip-prinsip silvikultur. Diterjemahkan oleh Djoko Marsono. Edisi Kedua. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 500 p.

Gem, C. 1996. Kamus saku Biologi. Penerbit Erlangga. Jakarta. 218 p.

Fandeli, C. 1985. Agroforestry. Bagian Penerbitan Fakultas Kehutanan UGM. Yogyakarta. 281 p.

Fisher, R.F. dan D. Binkley. 2000. Ecology and Management of Forest Soils. 3rd Ed. JohnWiley & Sons, Inc. Canada. 489 p.

Foth, H. D.1978. Fundamentalis of Soils Science. Diterjemahkan oleh

Trimulatsih, R., Lukiwati, D. R., Purbayanti, E. D., 1984. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. 374 p.

Hairiah dan Rahayu. 2007. Petunjuk Praktis Pengukuran Karbon Tersimpan diberbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry center , ICRAF. Bogor. 77 p.

Hanafiah, K. A. 2005. Dasar-Dasar Ilmu Tanah. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 360 p.

Hakim, N., M.Y Nyakpa., A.M Lubis., S. G Nugroho,. M.A Dika., G.B Hong., H.H Bailey. 1986. Kuliah Ilmu Tanah. Badan Kerjasama Ilmu Tanah SPTN/ USAID (University of Kentucky). Palembang. 488 p.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT. Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta. 220 p.


(61)

Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan cetakan ke-1. PT. Bumi Aksara. Jakarta. 210 p. Indriyanto. 2008. Pengantar Budi Daya Hutan. Cetakan ke-1. PT Bumi Aksara.

Jakarta. 234 p.

Irwanto. 2006. Dinamika dan Pertumbuhan Hutan Sekunder. Diakses dari http://indonesiaforest.net/hutan_sekunder.pdf. Pada 9 april 2012. 24 p. Isroi. 2008. Kompos. Makalah Balai Penelitian Bioteknologi Perkebunan

Indonesia. Bogor. 68 p.

Kohke, H. 1968. Soil Physics. McGraw-Hill Publishing Company LTD. Bombay. India. 224 hlm.

Marsono, D. 1977. Deskripsi Vegetasi dan Tipe-Tipe Vegetasi Tropika. Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. (Tidak

Dipublikasikan).

Masud, P. 1993. Telaah Kesuburan Tanah. Angkasa. Bandung. 284 p.

Munawar, A. 2011. Kesuburan tanah dan Nutrisi Tanaman. IPB. Bogor. 240 p. Pulung, M. A. 2009. Kesuburan tanah. Penerbit Universitas Lampung. Bandar

Lampung. 45 p.

Purwowidodo. 2000. Mengenal Tanah Hutan: Metode Kaji Tanah. Laboratorium Pengaruh Hutan. Fakultas Kehutanan IPB, Bogor.256 p.

Pustekkom. 2008. Daur Biogeokimia. http ://warungblog.wordpress.com/. Diakses pada tanggal 20 januari 2011.

Rosmarkam, A. dan N.W.Yuwono. 2002. Ilmu Kesuburan Tanah. Kanisius. Yogyakarta. 219 p.

Schroeder, D. 1984. Soil-Facts and Concept. Diterjemahkan oleh Notohadiprawiro, T., 2002. Tanah dan Lingkungan. 232 p.

Smith, D. M. 1962. The Practice of Silviculture. Seventh Edition. John Wiley and Sons, New York. 578 p.

Supriyo, H., N Matsue., and N Yoshinaga. 1991. Chemistry and Mineralogy of Some Soils from Indonesia. Faculty of Agriculture, Ehime University. Matsuyama, P.: 217—219.

Thojib, A. 1974. Materi Perkuliahan Phytogeography. Fakultas Kehutanan UGM,Yogyakarta. (Tidak Dipublikasikan).


(62)

Zaifbio. 2009. Deskripsi dan Analisis Vegetasi Floristika dan Non Floristika. http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/deskripsi-dan

analisis-vegetasifloristika- dan-non-floristika/. Diakses tanggal 20 januari 2011. 29 p.


(63)

V. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Nekromassa dan C/N seresah.

Nekromassa adalah massa dari bagian pohon yang sudah mati yang masih tegak maupun yang telah tumbang. Seresah kasar juga merupakan

nekromassa yang tidak berkayu meliputi daun, ranting, atau bagian tumbuhan lain yang telah mati atau gugur serta berada di bawah permukaan tanah (Hairiah dan Rahayu, 2007).

Berdasarkan hasil penelitian di tiga tipe vegetasi yang terdapat di Taman Nasional Way Kambas, yaitu Pusat Konservasi Gajah, Plang Hijau,dan Way Kanan didapatkan data nekromassa seresah yang berbeda di setiap lokasi penelitian, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1.


(64)

Tabel 1. Data seresah dan C/N seresah

Dari Tabel 1 dapat dilihat, untuk daerah Pusat Konservasi Gajah total seresah yang ada pada tegakan I sebesar 453,60 g/m2, pada tegakan ke-2 sebesar 435,95 g/m2, dan pada tegakan ke-3 sebesar 415,14 g/m2. Untuk daerah Plang Hijau, total seresah yang ada pada tegakan I sebesar 474.92 g/m2, pada tegakan ke-2 sebesar 369,70 g/m2, dan pada tegakan ke-3 sebesar 448,80 g/m2. Untuk lokasi terakhir yaitu di Way Kanan, jumlah total seresah yang ada pada tegakan I sebesar 426,75 g/m2, pada tegakan ke-2 sebesar 363,00 g/m2, dan pada tegakan ke-3 sebesar 446,80 g/m2. Besar kecilnya jumlah seresah yang ada di hutan akan memengaruhi kondisi suatu hutan, seperti jumlah unsur hara yang akan dikembalikan ke dalam tanah nantinya.

No Nama Sampel

Berat Basah (g/m2)

Berat Kering

(g/m2)

C/N seresah 1 Pusat Konservasi Gajah 1 499,00 453,60 22,21 2 Pusat Konservasi Gajah 2 476,52 435,95 27,57 3 Pusat Konservasi Gajah 3 452,89 415,14 23,47 4 Plang HIjau 1 524,16 474,92 18,77 5 Plang Hijau 2 406,20 369,70 26.11 6 Plang Hijau 3 493,51 448,80 20,94 7 Way Kanan 1 475,51 426,75 22,82 8 Way Kanan 2 408,81 362,00 27,72 9 Way Kanan 3 459,99 446,80 22,75


(65)

2. Kandungan Hara Tanah.

Hasil analisis unsur hara makro didapatkan dari tanah yang telah diukur berapa besar kandungan unsur hara makronya . Data analisis unsur hara makro tanah dan tanaman disajikan dalam Tabel 2.

Tabel 2. Analisis unsur hara makro tanah

Lokasi Plot K-dd (mg/100g)

Po4 (ppm)

N

(%) pH

KTK (me/100g) Pusat Konservasi Gajah

1 0,84 7,52 0,41 5,76 13,71 2 0,83 7,62 0,43 5,76 13,71 3 0,84 7,65 0,42 5,76 13,71 Rata-rata 0,84 7,60 0,42 5,76 13,71 Plang Hijau

1 0,40 6,05 0,31 5,41 10,22 2 0,40 6,00 0,30 5,41 10,22 3 0,41 6,10 0,30 5,41 10,22 Rata-rata 0,40 6,05 0,30 5,41 10,22 Way Kanan

1 0,36 6,92 0,33 5,41 11,48 2 0,36 6,92 0,35 5,41 11,48 3 0,36 6,93 0,33 5,41 11,48 Rata-rata 0,36 6,92 0,34 5,41 11,48

Keterangan : K-dd (mg/100g) : dalam 100 gram tanah terdapat 1 mg unsur K-dd.

Po4 (ppm) : part per million yaitu ukuran untuk menyatakan banyaknya gas atau partikel dalam udara atau atmosfer. N (%) : besarnya kadar unsur N dalam

satuan persen.

KTK (me/100g) : dalam 100 g tanah terdapat 100 miliequivalen KTK.

3. Jenis dan Kerapatan Tegakan.

Penyebaran suatu jenis tanaman dipengaruhi oleh dua hal penting yaitu kondisi iklim dan tanahnya, dua hal ini menjadi faktor penentu apakah suatu jenis dapat hadir di daerah tersebut atau tidak. Namun, di lain pihak jenis-jenis yang ada di suatu tempat dapat mempengaruhi kesuburan tanah


(66)

melalui seresah yang dihasilkan sehingga terjadilah hubungan timbal balik antara tanah dan vegetasi yang ada di atasnya.

Berdasarkan penelitian di Taman Nasional Way Kambas, pada resort Pusat Konservasi Gajah, Plang Hijau, Way Kanan ditemukan 24 spesies. Data mengenai jenis dan kerapatan tegakan pada lokasi penelitian

disajikan pada Tabel 3, 4, dan 5.

Tabel 3. Jenis dan kerapatan tiap fase di Resort Pusat Konservasi Gajah

No Nama Spesies Nama Ilmiah

Kerapatan Kerapatan Seluruh

Fase (ind./ha) Pohon

(ind./ha)

Tiang (Ind./ha)

Pancang (ind.ha)

Semai (ind./ha)

1 Deluak Grewia paniculata 0,00 63,64 36,36 227,27 327,27 2 Jabon Anthocephalus cadamba 11,36 0,00 36,36 909,09 956,82 3 Kayu Lada Cinamomum parthenoxylon 0,00 22,73 36,36 0,00 59,09 4 Karetan Planchonella nitida 7,95 9,09 18,18 0,00 35,23 5 Kelandri Bridelia monoica 3,41 4,55 18,18 0,00 26,14 6 Laban Vitex pubescens 0,00 9,09 18,18 113,64 140,91 7 Puspa Schima wallichii 11,36 4,55 18,18 568,18 602,27 8 Sempur Air Dillenia exelsa 13,64 13,64 54,55 340,91 422,73 9 Sonokeling Dalbergia latifolia 39,77 127,27 109,09 2045,45 2321,59 10 Tiga Urat Cerbiamemum inkrs 6,82 22,73 109,09 2159,09 2297,73


(67)

Tabel 4. Jenis dan kerapatan tiap fase di Resort Plang Hijau

No Nama Spesies Nama Ilmiah

Kerapatan Kerapatan Seluruh Fase (ind./ha) Pohon (ind./ha) Tiang (Ind./ha) Pancang (ind.ha) Semai (ind./ha)

1 Berasan Symplocos stenosepala 7,95 4,55 0,00 0,00 12,50 2 Deluak Grewia paniculata 4,55 40,91 145,45 0,00 190,91 3 Gandaria Bouea macrophylla 4,55 0,00 54,55 0,00 59,09 4 Jabon Anthocephalus

cadamba 7,95 59,09 345.45 0,00 412,50

5 Joho Terminalia sumatrana 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27 6 Karetan Planchonella nitida 4,55 31,82 109,09 0,00 145,45 7 Kayu Lada Cinamomum

parthenoxylon 0,00 59,09 90,91 625,00 775,00

8 Kelandri Bridelia monoica 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27 9 Kopen Ixora glumei 2,27 54,55 109.09 0,00 165,91 10 Laban Vitex pubescens 3,41 22,73 36,36 0,00 62,50 11 Meranti Shorea javanica 27,27 31,82 109,09 0,00 168,18 12 Pulai Alstonia scholaris 1,14 0,00 0,00 0,00 1,14 13 Puspa Schima wallichii 17,05 27,27 145,45 0,00 189,77 14 Rambutan

Hutan Nephelium mutabile 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27 15 Rukem Flacourtia rukam 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27 16 Salam Eugenia polyantha 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27 17 Sempur Air Dillenia exelsa 14,77 40,91 90,91 0,00 146,59 18 Sungkai Peronema canescens 0,00 0,00 18,18 0,00 18,18 19 Tiga Urat Cerbiamemum inkrs 9,09 109,09 272,73 0,00 390,91 20 Tikusan Clausena excavate 3,41 13,64 0,00 375,00 392,05


(68)

Tabel 5. Jenis dan kerapatan tiap fase di Resort Way Kanan

No Nama Spesies Nama Ilmiah

Kerapatan Kerapatan Seluruh Fase (ind./ha) Pohon (ind./ha) Tiang (Ind./ha) Pancang (ind.ha) Semai (ind./ha) 1 Berasan Symplocos

stenosepala 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27

2 Deluak Grewia paniculata 25,00 68,18 27,27 0,00 420,45 3 Gandaria Bouea macrophylla 6,82 18,18 0,00 0,00 25,00 4 Jabon Anthocephalus

cadamba 11.36 109,09 181,82 0,00 302.27

5 Karetan Planchonella nitida 0,00 22,73 36,36 0,00 59,09 6 Kayu Lada Cinamomum

parthenoxylon 4,55 0,00 0,00 1375,00 1379,55

7 Kelandri Bridelia monoica 2,27 0,00 0,00 0,00 2,27 8 Keruing Dipterocarpus

elongates 0,00 0,00 0,00 125,00 125,00

9 Kopen Ixora glumei 4,55 0,00 163,64 500,00 668,18 10 Laban Vitex pubescens 21,59 50,00 145,45 0,00 217,05 11 Meranti Shorea javanica 7,95 9,09 0,00 0,00 17,05 12 Meranti Babi Shorea leprosula 14,77 27,27 54,55 1000,00 1096,59 13 Pasak Bumi Eurycoma longifolia 0,00 0,00 163,64 125,00 288,64 14 Puspa Schima wallichii 17,05 72,73 309,09 0,00 398,86 15 Rukem Flacourtia rukam 0,00 4,55 0,00 0,00 4,55 16 Sempur Air Dillenia exelsa 19,32 40,91 236,36 0,00 296,59 17 Sungkai Peronema canescens 1,14 13,64 90,91 0,00 105,68 18 Tiga Urat Cerbiamemum inkrs 9,09 50,00 200,00 0,00 259,09 19 Tikusan Clausena excavate 0,00 0,00 54,55 0,00 54,55

Berdasarkan Tabel 3, 4, dan 5 di atas, dapat diketahui bahwa kerapatan tertinggi dari setiap fase pertumbuhan di Taman Nasional Way Kambas berada pada resort Pusat Konservasi Gajah dimiliki oleh tumbuhan sonokeling dengan kerapatan total sebesar 2321,59 individu/ha. Sementara untuk kerapatan tertinggi di resort Plang Hijau dimiliki oleh tanaman kayu lada dengan kerapatan untuk fase tiang sebesar 59,09 individu/ha, fase pancang sebesar 90,91 ind./ha, dan fase semai sebesar


(69)

625 individu/ha. Kerapatan total pada tumbuhan ini sebesar 775 individu/ha. Untuk kerapatan terendah pada resort ini terdapat pada tumbuhan pulai dengan kerapatan total hanya sebesar 1,14 individu/ha. Pada lokasi penelitian selanjutnya yaitu resort Way Kanan, kerapatan tertinggi juga terdapat pada tumbuhan kayu lada dengan kerapatan sebesar 1379,55 individu/ha dan terendah terdapat pada tumbuhan berasan dan kelandri dengan kerapatan masing masing hanya sebesar 2,27 individu/ha.

4. Analisis Korelasi Parsial.

Data yang digunakan untuk analisis korelasi parsial adalah jumlah jenis, kerapatan, nekromassa, C/N, K, P , N, pH, dan KTK. Data tersebut disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Tabulasi data beberapa variabel penelitian yang dikorelasikan

Nilai korelasi (r) berkisar antara 1 sampai -1, nilai semakin mendekati 1 atau -1 berarti hubungan antara dua variabel semakin kuat, sebaliknya nilai mendekati 0 berarti hubungan antara dua variabel semakin lemah.

Lokasi Plot Jumlah Jenis

Kerapatan (Ind/400

m2)

Nekromassa (g/400 m2) C/N

K-dd (mg/100g)

Po4 (ppm)

N (%) pH

KTK (me/100g

tanah) PKG

1 1 14 181,440.00 27,57 0,84 7,52 0,41 5,76 13,71 2 1 14 174,380.00 26,11 0,83 7,62 0,43 5,76 13,71 3 1 19 166,056.00 27,72 0,84 7,65 0,42 5,76 13,71

PI

4 4 351 189,968.00 21,21 0,40 6,05 0,31 5,41 10,22 5 8 350 147,880.00 18,77 0,40 6,00 0,30 5,41 10,22 6 4 245 179,520.00 22,82 0,41 6,10 0,30 5,41 10,22

WK

7 4 788 170,700.00 23,47 0,36 6,92 0,33 5,41 11,48 8 8 657 144,800.00 20,94 0,36 6,92 0,35 5,41 11,48 9 10 580 178,720.00 22,75 0,36 6,93 0,33 5,41 11,48


(70)

Nilai positif menunjukkan hubungan searah (X naik maka Y naik) dan nilai negatif menunjukkan hubungan terbalik (X naik maka Y turun). Data yang digunakan biasanya berskala interval atau rasio. Data hasil korelasi parsial disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Hasil korelasi parsial

Berdasarkan tabel diatas, dapat dilihat bahwa korelasi antara C/N dengan N, P, K, pH, dan KTK bernilai positif yang artinya masing-masing variabel hubungan yang searah apabila C/N serasah mengalami kenaikan maka nilai N, P, K, pH, dan KTK juga akan mengalamai kenaikan, namun terjadi korelasi yang berniali negatif antara C/N dengan jumlah jenis dan kerapatan semakin banyak jumlah jenis pada suatu tegakan akan

berbanding terbalik dengan jumlah C/N hal ini dapat dikarenakan semakin banyak pula jenis yang akan mengalami proses dekomposisi yang mana tipe seresah dari masing-masing jenis tidak sama proses dekomposisinya.

. C/N

N P K pH KTK ∑ jenis Kerapatan Nekromassa korelasi 0,871 0,856 0,865 0,886 0,9 -0,79 -0,629 0,403 signifikasi 0,002 0,003 0.003 0,001 0,001 0,011 0,059 0,002 df 7 7 7 7 7 7 7 7


(1)

Menurut Hanafiah (2005), ketersediaannya bagi tanaman, maka unsur kalium dapat dibedakan menjadi tiga golongan yaitu Kalium relatif tidak tersedia, Kalium lambat tersedia dan Kalium segera tersedia. Bentuk kalium yang segera tersedia antara lain adalah kalium dapat dipertukarkan kalium larut, dan mudah diserap tanaman. Sedangkan kalium mineral liat, dan kalium mineral primer dan tidak dapat diserap oleh tanaman secara langsung termasuk ke dalam kalium relatif tidak tersedia. Unsur kalium ini diserap tanaman dalam bentuk kation K+.

Kalium berperan sebagai komponen dinding sel, dalam pembentukan strukutur dan permeabilitas membran sel. Kalium rata-rata menyusun 0,5 % tubuh tanaman. Kekurangan unsur ini dapat menyebabkan terhentinya tumbuhan tanaman akibat tergangunya pembentukan pucuk tanaman dan ujung akar (titik-titik tumbuh), serta jaringan penyimpan. Hal ini sebagai konsekuensi rusaknya jaringan

meristematik, akibat rusaknya permeabilitas dan struktur membran sel-sel (Hanafiah, 2005).

3. Jenis dan kerapatan tegakan.

Kerapatan (K) menunjukkan jumlah individu dalam suatu petak. Dengan kata lain, kerapatan merupakan jumlah individu organisme per satuan ruang (Indriyanto, 2006). Nilai kerapatan tertinggi pada komunitas tumbuhan di Taman Nasional Way Kambas dimiliki oleh pohon sonokeling yang jumlah jenis lebih banyak jika dibandingkan dengan


(2)

spesies tumbuhan lainnya. Hal ini mengindikasikan bahwa spesies sonokeling merupakan spesies dominan.

Semai yang berada di bawah naungan pohon hidupnya tertekan karena tidak mendapatkan sinar matahari yang cukup untuk melaksanakan proses fotosintesis (Irwanto, 2006). Selain itu, jumlah semai yang sedikit ini karena kondisi lahan yang cukup rapat sehingga saat buah jatuh ke tanah kemudian sulit untuk berkecambah karena tebalnya seresah yang terdapat pada lokasi penelitian.

Kerapatan individu pada fase pancang sebanyak 109,09 individu/ha. Jenis individu pada fase pancang didominasi oleh spesies tiga urat dan sonokeling. Berbeda dengan resort way kanan dan plang hijau, kondisi tempat tumbuh ditemukannya tumbuhan tersebut yakni pada resort Pusat Konservasi Gajah relatif datar dan penutupan tajuk yang tidak terlalu rapat membuat cahaya dapat masuk. Kerapatan individu pada fase tiang di lokasi penelitian sebanyak 127,27 individu/ha. Jenis individu pada fase tiang didominasi oleh spesies sonokeling. Perbedaan naungan memberikan pengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, hal ini berkaitan langsung dengan intensitas, kualitas dan lama penyinaran cahaya yang diterima oleh tanaman untuk melaksanakan proses fotosintesis. Seperti yang dikemukan oleh Daniel dkk. (1992) bahwa cahaya langsung berpengaruh pada pertumbuhan pohon melalui intensitas, kualitas dan lama penyinaran. Semai yang berada di tempat terbuka akan mempunyai


(3)

tinggi yang lebih besar dibandingkan dengan semai yang berada di bawah naungan pohon (Irwanto, 2006).

Kerapatan terbesar pada fase pohon di lokasi penelitian ditemukan di resort Pusat Konservasi Gajah. Jenis individu pada fase pohon

didominasi oleh spesies sonokeling sebanyak 39,77 individu/ha. Hal ini dikarenakan pada tahun 1997 dan 2004 terjadi kebakaran pada resort Pusat Konservasi Gajah dan dilakukan reboisasi dengan pohon

sonokeling. Pemilihan jenis tanaman ini dikarenakan tergolong ke dalam kayu keras dengan bobot sedang hingga berat. Sonokeling tergolong ke dalam kayu keras dengan bobot sedang hingga berat. Berat

jenisnya antara 0,77-0,86 pada kadar air sekitar 15%. Teksturnya cukup halus, dengan arah serat lurus dan kadang kala berombak. Kayu ini juga awet; tahan terhadap serangan rayap kayu kering dan sangat tahan terhadap jamur pembusuk kayu antara 0,77--0,86 pada kadar air sekitar 15%. Tanaman pada fase pohon yang sedikit pada resort lainnya dikarenakan daerahnya yang cukup rapat, sehingga terjadi persaingan akan sinar matahari.

Tingkat penguasaan spesies diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu rendah/tidak dominan, sedang dan tinggi/dominan. Dari tingkat

penguasaan spesies, tanaman yang mendominasi di Taman Nasional Way Kambas adalah sonokeling


(4)

4. Analisis Korelasi Parsial.

Uji korelasi parsial C/N, N, P, K, pH dan KTK dengan jumlah jenis, kerapatan dan nekromassa sebagai variabel kontrol menghasilkan pengaruh yang sangat kuat dan signifikan.

Hal ini dapat terlihat dari tabel angka probabilitas korelasi jumlah jenis, kerapatan dan nekromassa dengan N sebesar 87,1 % dengan signifikansi sebesar 0,002. Artinya hubungan C/N dengan N adalah sangat kuat dan variabel dapat diterima karena nilai signifikansi adalah 0,002 yaitu berada di bawah 0,05.

Korelasi C/N dengan P menghasilkan angka sebesar 85,6 % dengan angka signifikansi sebesar 0,003. Artinya hubungan C/N dengan P adalah sangat kuat dan variabel dapat diterima karena nilai signifikansi adalah di bawah 0,05 yaitu sebesar 0,003.

Korelasi C/N dengan K menghasilkan angka sebesar 86,5 % yaitu kedua variabel tersebut berhubungan sangat kuat dan variabel dapat diterima karena nilai signifikansi sebesar 0.003 Artinya hubungan C/N dengan K adalah sangat kuat dan variabel dapat diterima karena nilai signifikansi adalah di bawah 0,05 yaitu sebesar 0,003.

Korelasi C/N dengan pH menghasilkan angka hubungan yang juga sangat kuat yaitu senilai 88,6 % dengan angka signifikansi sebesar 0,001. korelasi C/N dengan KTK menghasilkan angka hubungan yang sangat


(5)

kuat yaitu sebesar 90 % dan variabel dapat diterima dengan angka signifikansi sebesar 0,001.

Korelasi C/N dengan pH dengan jumlah jenis bernilai negatif yaitu sebesar -79 % dan – 62,9 % dan menghasilkan nilai signifikasi sebesar 0,01 dan 0,05 . Kemudian korelasi C/N dengan nekromassa antara menghasilkan angka hubungan yang juga sangat kuat angka signifikansi sebesar 0,02.

Isroi (2008) meyatakan bahwa tanah sangat kaya akan mikroorganisme, seperti bakteri, actinomycetes, fungi, protozoa, alga dan virus. T anah yang subur mengandung lebih dari 100 juta mikroorganisme per gram tanah. Produktivitas dan daya dukung tanah tergantung pada aktivitas mikroorganisme. Sebagian besar mikroorganisme tanah memiliki peranan yang menguntungkan, yaitu berperan dalam menghancurkan limbah organik, siklus hara tanaman, fiksasi nitrogen, pelarut posfat, merangsang pertumbuhan, biokontrol patogen, dan membantu penyerapan unsur hara. Organisme tanah berperan penting dalam mempercepat

penyediaan hara dan juga sebagai sumber bahan organik tanah. Mikroorganisme tanah sangat nyata perannya dalam hal dekomposisi bahan organik pada tanaman tingkat tinggi. Dalam proses dekomposisi sisa tumbuhan dihancurkan atau dirombak menjadi unsur yang dapat digunakan tanaman untuk tumbuh.

Berdasarkan hasil analisis korelasi parsial, dapat disimpulkan bahwa setelah mengendalikan jumlah jenis, kerapatan dan nekromassa, maka


(6)

ditemukan adanya korelasi yang signifikan antara C/N, N, P, K, pH, KTK, jumlah jenis, kerapatan dan nekromassa. Hubungan terkuat ada pada pengujian korelasi antara C/N dengan pH dan KTK.