Kajian Linguist Femina Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU

saja, dan harus diikuti nama keluarga suami di akhir ungkapan” dan Miss untuk “perempuan dewasa yang tidakbelum kawin”. Pergerakan dan tuntutan kesetaraan jender oleh kaum perempuan berbahasa dan berbudaya Inggris di Barat melahirkan istilah baru di awal tahun 1970an: Ms untuk menunjuk “perempuan dewasa, bisa sudah kawin,belum kawin, tidak kawin tapi punya pasangan seatap”. Alihbahasa Indonesia untuk Mrs dan Miss mudah tetapi untuk Ms agak kesulitan Nonya, Nona, Tante [Girang], Nona Gaul, atau apa?. Dalam perspektif sosial bukan hanya jender tapi juga seksis menempati status sosial. Dalam konteks ini seksis dipahami lebih dari sekedar konstruksi seksis kromosom dan seksis gonadal, dan bukan hanya seksis hormonal tetapi sesuatu yang berada di bawah pengaruh lingkungan, karenanya tidak bisa mengasumsikan sesuatu yang merupakan ciri laki-laki semata karena dapat juga merupakan ciri yang disebutkan di atas tadi yaitu perempuan yang merumuskan feminitas: rambut panjang misalnya bukan lagi merupakan ciri perempuan. Analogi feminisme ditemukan di tahun 60an. Istilahnya merujuk pada sistem sosial dengan basis anggota seksis. Dalam budaya Barat, juga dalam sistem sosial lain, hal ini memberi arti ada dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Hubungan antara dua kategori ini tidak sejajar atau egaliter tetapi hirarkis. Dalam hal ini kategori laki-laki man atau pria male adalah norma dan kategori wanita woman dan perempuan female merepresentasikan hal lain dan abnormal. Versi tidak lazim secara logis mengikuti normatif male Wetschanov 1995, Crawford 1995, Coates 1993, Wodak 1997. Dalam konsep seksis perempuan mendenifisikan diri mereka sebagai kelompok sosial tertentu dan sebagai kaum minoritas yang tertekan. Mereka mencari mekanisme penekanan, untuk membuat perempuan lain sadar dan memperjuangkan hak perempuan. Kelompok sosial ini sering mendefinisikan diri mereka sebagai alat bahasa umum yang memegang peranan penting dalam pembentukan identitas dan sub-budaya yang memberikan layanan sebagai alat yang membedakan mereka dengan dunia luar. Identitas khas ini mewujud dalam diri mereka dalam wujud gaya percakapan, wujud-wujud emosional, dan lain-lain.

3. Kajian Linguist Femina

Kajian linguist femina berorientasi pada kajian kebahasaan feminist yang dilakukan oleh perempuan. Kaum feminist memberi bantuan dana penelitian untuk setiap disiplin ilmu dan teknologi serta kritik terhadap pandangan adrosentris dengan iptek tradisional. Banyak proposal dan asumsi dasar linguistik femina berhubungan dengan prinsip linguistik kritis dan analisis wacana kritis sebagai paradigma kualitatif dalam ilmu sains sosial lihat Fairclough dan Wodak 1997, Wodak 1996. Aspek yang membedakan linguistik femina dengan disiplin lainnya dalam menganalisis bahasa dan jender adalah pada 1 tingkah laku behaviour kebahasaan perempuan dan laki-laki dan fenomena kebahasaan yang dikaitkan dengan nama deskripsi perempuan dan laki-laki, 2 fenomena bahasa yang menginterpretasikan USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 7 penggunaaan bahasa sebagai pembeda kebahasaan perempuan seksis tidak simetri dan 3. pencarian alternatif dalam mempertahankan taraf sosial dengan prinsip kebahasaan yang sejajar dalam perlakuan antara perempuan dan laki-laki. Linguist femina mengkritik aturan norma kebahasaan dan memahami perubahan kebahasaan yang mereka perjuangkan sebagai bagian dari suatu perubahan masyarakat secara keseluruhan. Selain itu, linguist femina mengamati penggunaan bahasa, mengkaji perbedaan jender dalam percakapan dan wacana lisan dan tulis. Perbedaan-perbedaan jender dikaji dalam berbagai bidang penggunaan bahasa: voice , ucapan, irama, pilihan kata, argumentasi, leksikon, sintaksis, tingkah interaksi dan percakapan, juga fitur visual dan sarana mode komunikasi dan perilaku non-verbal. Perbedaan pencetus-jender dalam penggunaan bahasa tidak diperlakukan hanya sebagai varian berbeda yang berdiri berdampingan. Interpretasi terhadap berbagai jenis indikator kebahasaan seperti giliran bicara, terus terang, interupsi, tumpang tindih nampak beragam menurut teori khusus jender dan ideologi yang melatar belakangi kajian ini. Kajian mengamati penggunaan indikator-indikator sebagai manifestasi ‘tak berkuasanya bahasa perempuan’, perilaku kebahasaan perempuan yang dibandingkan dengan laki-laki seperti dalam bersosialisasi dan memaknakan sesuatu serta dampaknya pada mereka. Penelitian linguist femina mencakup dua sistem, yaitu pendekatan yang berorientasi pada sistem dan pada hubungan tingkah laku dengan bahasa representasi dalam sistem bahasa yang ada dan perbedaan perilaku kebahasaan kelompok perempuan dibanding laki-laki. Bagi linguist femina bahasa dilihat sebagai sistem yang berpihakimparsial yang mempengaruhi dan dipengaruhi oleh sistem atau organisasi lain dan mereka meneliti dan mendeskripsikan hubungan antara bahasa dan seksis. Penelitian linguist femina tahun 70an terfokus pada perubah variabel strata sosial, umur, kebangsaan, afiliasi etnis, agama, kelas sosial, kedaerahan dan juga perubah seksis dalam penggunaan bahasa. mis. Wodak 1983, 1984, 1985 Penelitiannya mengkaji ibu versus anak di Vienna yang memperlihatkan parameter sosiologi, variabel seperti psikologis, serta hubungan dengan jender. Hasil penelitiannya memperkenalkan Teori Variasi Psikologisosial. Studi ini khususnya memberi tekanan pada variasi yang ditemukan antara perempuan dewasa dan remaja, satu variasi dibandingkan dengan faktor seksis menunjukkan perbedaan kebahasaan dalam perilaku ujaran speech behaviour antara ibu dan anak perempuan yang menunjukkan perbedaannya lebih besar dibanding perbedaan kebahasaan antara ibu dan anak laki- laki, tetapi tetap dalam hubungan yang stabil dan mesra antara ibu dan anak perempuan. Lebih jauh lagi adanya penanda perbedaan yaitu bahwa anak perempuan berbicara secara hypercorrectly dalam batasan tertentu terhadap ibu dan kelas sosial mereka. Salah satu hasil penelitiannya yaitu adanya keteguhan diri para pelibat dari kelas menengah ke atas yang berbicara dengan gaya dialektikal tertentu sebagai hasil hubungan buruk antara ibu dan anak, bukan disebabkab faktor kelas. USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 8 Linguist femina cenderung berbicara tentang pendekatan peran sosial perempuan dan laki-laki walaupun fokus utama penelitian gender ini kepada perempuan. Lakoff 1975 misalnya mengatakan bahwa bahasa perempuan sebenarnya produk sosialisasi sejak masa kanak-kanak yang diciptakan orang tua dan figur otoritas kepada anak-anak perempuan memerankan bahasa dan perilaku yang feminin seperti cara berbicara, cara berpakaian, bermain dengan boneka, menghindari kekasaran yang kesemua dominasi ini telah memainkan norma-norma kultural perempuan secara fisik. Feminitas bukan saja merupakan koleksi arbiter ciri khusus yang berfungsi memberi tanda othering pada perempuan supaya berbeda dengan laki-laki, lebih dari itu feminitas sudah menjadi simbol ketidakberdayaan perempuan disteriotipekan sebagai yang tidak berdaya, tidak suka protes, kurang agresif dibandingkan sifat laki-laki. Bahasa perempuan menurut Lakoff berbeda khususnya pada penggunaan alat-alat bicara yang ditekankan kepada suara yang lembut, berintonasi dan berbahasa tidak agresif. Lakoff selalu dikritik oleh para ahli bahasa karena hanya mengambil perempuan kulit putih sebagai populasi penelitian bahkan hanya mewakili masyarakat Anglofon Amerika Serikat. Barangkali penelitian sejenis Lakoff perlu dilakukan di negara lain seperti di Asia dan Afrika yang mengambil kasus perempuan bukan Anglofon untuk membuktikan teorinya. Linguist femina Anglofon lainnya Tannen 1990; 1993; 1994 dengan penelitian sejenis Lakoff tetapi secara khusus meninjau bahasa jender perempuan dalam kelompok sebaya kanak-kanak dan remaja. Tannen menampilkan bahwa baik perempuan maupun laki-laki berorientasi pada seperangkat ideologi bahwa laki-laki mementingkan status dan perempuan berorientasi pada afiliasi bergabungan. Tannen juga menyatakan bahasa perempuan adalah karakteristik bahasa yang digunakan perempuan dan perempuan wujud sebelum bahasa Sistem bahasa ditelaah dalam hubungannya dengan perilaku wanita dewasa, dan bahasa ditonjolkan sebagai alat yang mengabsahkan struktur perilaku dengan memasukkannya di atas kategori umum dan laki-laki. Bersama-sama dengan sistem bahasa, perilaku kebahasaan dibuat sebagai obyek telaah disiplin penelitian baru dan isu perbedaan jender diteliti dalam gaya komunikasi Gübert and Kotthoff 1991:32. Selain itu, adanya asumsi bahwa seksis sistem individu mempunyai unsur leksikal, morfologi dan grammatikal didasarkan pada premis bahwa sejarah panjang dibuat atas dasar pembuat kebijakan publik bahwa laki-laki tidak hanya menentukan ekonomi, politik dan orientasi sosial dalam kehidupan sosial tetapi juga mempengaruhi pemungsian dan pensubstansiasian semantik bahasa individu Postle 1991:89 Mathiew 1989, seorang antropolog yang mengidentifikasi teori feminisme memperkenalkan tiga paradigma utama untuk mengonsepsikan hubungan jender dan seksis. Paradigma pertama hubungan jender dan seksis dinamakan homologi. Dalam hal ini jender dimaknai sebagai ungkapan sosial-ragawi. Tiap individu belajar perihal tingkat keperempuanan atau kelelakian, tergantung pada apakah secara ragawi biologis laki-laki atau perempuan dengan raga-sosial. Seksis adalah landasan yang di dalamnya hubungan perilaku jender dibangun, misalnya kumpulan anak laki-laki mungkin dibandingkan secara sosial dengan perempuan tapi diangkat sebagai kecenderungan ragawi laki-laki yang lebih agresif dibanding perempuan. USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 9 Paradigma kedua menggunakan analogi yaitu bahwa jender merupakan simbol seksis. Identitas jender dilandasi oleh pengalaman sosial hidup sebagai anggota kaum perempuan atau laki-laki yang mengambil peran jender untuk mengkonfirmasi harapan budaya. Peran dan harapan ini mungkin berbeda secara signifikan di masing-masing tempat dan periode sejarah walaupun secara ragawi laki-laki dan perempuan tidak menampilkan variasi karena variasi dan pendekatan analogi menolak asumsi paradigma pertama bahwa ada hubungan langsung antara seksis dan jender, menekankan pada jender sebagai suatu simbol yang menandai perbedaan seksis daripada hanya sebagai elaborasi dari ciri ragawi. Mendukung pernyataan di atas kita melihat masyarakat dapat hidup dengan berhasil sebagai anggota jender yang secara seksis tidak mempunyai kesesuaian dengan seksis secara anatomi. Mathiew mencatat peran sosial terhadap raga menjadi pendekatan standar ilmu pengetahuan. Dalam beberapa versi seperti fungsionalisme struktur peran-peran diperlakukan sebagai yang melengkapi komplementer; dalam versi feminist mereka lebih sering diperlakukan sebagai hirarki, melibatkan dominasi laki-laki dalam subordinasi perempuan dan pada tahap tertentu konflik diantara dua kelompok. Paradigma ketiga adalah heterogenitas seksis dan jender sebagai sesuatu yang berbeda jenisnya. Ide hubungan keduanya dapat homologus atau analogus, atau dengan kata lain bahwa seksis adalah dasar untuk jender dalam pendekatan sebagai fiksi ideologi. Kita melihat pembagian secara alami ada dua dunia yaitu laki-laki dan perempuan, tetapi harus melihat bahwa pembagian ini sesuatu yang dihasilkan secara historis untuk tujuan pengamanan satu dominasi kelompok terhadap kelompok lain. Dalam paradigma jender mengkonstruksi seksis bukan sebaliknya.

4. Unsur-unsur seksisjender dalam bahasa.