Isu-isu Ideologi Jender Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU

2. Isu-isu Ideologi Jender

Paradigama dalam perilaku sosial seksis dinamakan jender. Kajian akademis tentang jender dan sex dalam arti seksis jenis kelamin yang menggunakan kerangka analisis wacana dimulai pada awal tahun 1970. Para peneliti mengetengahkan dua ranah berkaitan dengan sikap bahasa, umpamanya ranah yang terkait dengan kebiasaan pada perangkat fonologi antara perempuan dan laki-laki. Kajian mengenai bahasa jender secara khusus mengasumsikan dua hal pokok, yaitu asumsi tentang adanya bahasa seksis dan adanya metodologi pengkajian jender. Bahasa perempuan misalnya lebih mencerminkan konservatisme, prestise, mobilitas, keterkaitan, sensitivitas, solidaritas dan sejenisnya, sedangkan bahasa laki-laki sebagai bandingannya lebih terikat pada hal ketangguhan, persaingan, kemampuan, hirarki dan sejenisnya. Eckert dan Mc.Connel-Ginet, 1992 Kajian mengenai jender berangkat dari kritik terhadap idiologi yang berlaku adanya perbedaan ragawi biologis antara perempuan dan laki-laki yang dipandang merupakan persyaratan budayawi terhadap kualitas jender. Ideologi yang berlaku dalam masyarakat Barat ialah peran sosial kaum laki-laki dapat mewakili semua urusan yang berhubungan dengan hampir semua tugas manusia kecuali hamil dan melahirkan keturunan. Kedudukan ini dipertentangkan secara binari. Menurut kaum feminis perbedaan ragawi hanya sebatas tanda pengenal perempuan dan laki-laki, tidak sampai menyebabkan peran sosial menjadi berbeda. Sikap berat sebelah ini dianggap sebagai sikap yang merendahkan kaum wanita. Seterusnya dengan adanya sikap ini membentuk atau mencipta ideologi othering M.Thahir, 2004 “kaum laki-laki” di satu pihak dan pihak yang lainnya adalah “kaum perempuan”. Munculnya perjuangan persamaan hak dan kedudukan sosial perempuan dan laki-laki merupakan bukti adanya kritik terhadap pembedaan ragawi yang berlaku secara sosial dan budayawi. Dari perspektif bahasa ada nilai sosial yang ditandai dengan ungkapan “istri perempuan mempunyai kewajiban mematuhi suami laki-laki”. Ini ungkapan bahasawi yang sering diperdengarkan di berbagai ceramah, jarang terdengar penceramah berucap misalnya “suami laki-laki mempunyai kewajiban mematuhi istri perempuan juga”. Ini seolah menyiratkan bahwa realita bahasawi berbunyi “kepatuhan” maupun realita sosial berupa ‘kepatuhan’ hanya melekat pada perempuan, tidak pada laki-laki. Ungkapan klausa seperti tersebut memang harus dilihat lebih jauh tautannya dalam teks yang juga ada konteksnya, tidak sesederhana itu, tetapi kebiasaan berbahasa demikian berpotensi melahirkan kepincangan jender dalam nilai dan tatanan sosial kita. ‘Kepatuhan’ yang ‘diwajibkan’ pada perempuan seperti tergambar di atas harus diakui masih diamalkan di Indonesia terutama di daerah pedesaan. Perlu ada dekonstruksirekonstruksi sosial-budaya perihal sikap dominan laki-laki terhadap perempuan dalam praktik kehidupan bermasyarakat dan berbangsa kita, sejalan dengan perkembangan peradaban manusia. Sebagai contoh di daerah pedesaan khususnya perempuan hampir selalu tidak mempunyai pilihan lain kecuali mengatakan “ya” pada laki-laki bila ‘diperintah’, padahal mestinya mereka punya pilihan lain dan hak bicara USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 4 juga. Dalam adat Melayu nama suami tidak boleh disebut di depan umum, harus diganti misalnya dengan kata “pacalan”, ayah si anu menyebut nama anak tertua, sedangkan suami boleh menyebut nama istri di depan umum. Gambaran-gambaran realita sosial- budaya kehidupan yang menyepelekan perempuan nusantara misalnya di jalan raya ada seorang pengendara mobil menyalib mobil di depannya maka laki-laki selalu berkomentar “oh itu yang bawa mobil mesti perempuan”. Dan gambaran ini cerminan dari nilai dan hubungan sosial suami-istri yang-secara gramatik-sangat bernuansa modulation wajibharus begini, begitu pada sikap suami laki-laki, jauh dari nuansa modalisation bolehbisa begini atau begitu. Idiologi menstereotaipkan kaum perempuan sebagai golongan yang lemah kelihatannya tidak berlaku secara maksimal bagi orang Batak Toba karena terbukti para perempuan bukan saja berfungsi sebagai ibu rumah tangga tetapi bekerja di ladang sementara kaum laki-laki duduk di kedai kopi bermain catur. Dalam konteks di EropaAustralia cukup banyak perempuanberprofesi sebagai supir bis, pekerjaan yang biasanya dilakukan laki-laki malah dikerjakan perempuan juga di masyarakat budaya tersebut. Ini membuktikan bahwasanya faktor jenis kelamin adalah faktor kromosom dan hormonal. Kress dan Hodge 1979 mengatakan bahwa kajian ideologi membicarakan hubungan bahasa dengan masyarakat dan kebudayaan karena adanya pengaruh tuntutan sosial politik. Pengaruh kekuasaan terhadap sejarah, politik, sistem masyarakat, nilai, sastra dan budaya membentuk pandangan masyarakat sehingga meyakini suatu konsep sebagai kebenaran yang wajar ini dinamakan ideologi. Contohnya, pandangan yang sudah menjadi “ilmu” atau “teori” yang dipercayai dunia Barat adalah “orang-orang Timur Tengah adalah teroris”, atau “orang Melayu malas”. Konsep ini dilahirkan oleh penguasa yang dominan yang dapat membentuk pandangan masyarakat terhadap sesuatu objek sehingga masyarakat tersebut secara wajar mempercayai pandangan atau “ilmu” tadi. Kewajaran ini selanjutnya merepresentasikan gambaran tersebut menjadi yang absah dan diyakini. Kehirukpikukan peradaban lintas bangsa dan budaya kini telah memunculkan perubahan sikap dan perilaku semiotik warga bangsa nusantara, baik yang berwujud semiotik bahasawi maupun non-bahasawi. Insignia Guiraud 1975:84 sebagai penanda maknawi yang sebelumnya mengindikasikan anutan warga individu yang merepresentasikan nilai semiotik kelompok sosial tertentu dalam masyarakat kini bisa berubah menjadi representasi nilai kelompok sosial mana saja. Semiotik non-bahasawi berupa tato, make-up wajah, wujud dan gaya rambut, telinga bahkan hidung pun beranting bukan hanya dianut dan diamalkan kaum kelompok sosial laki-laki atau perempuan saja tapi bisa terjadi pada keduanya. Memang presentase perempuan bertato atau laki-laki beranting secara nasional masih sangat rendah dibanding yang tidak, tetapi karena kebanyakan yang berperilaku demikian laki-laki beranting telinga, perempuan bertato atau menonjolkan aurat adalah orang-orang panggung yang sering menghiasi tayangan media massa termasuk pengacara beranting yang suka USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 5 manggung pada tingkat tertentu pengaruh sosial-budayanya nampak meluas terutama terhadap kalangan muda-mudi. Budaya Indonesia di abad 19 dan 20 “berambut panjang” merupakan penanda jatidiri sosial khas untuk kaum perempuan tetapi kini perbedaan fisik dalam hal yang satu ini sudah tidak mutlak, karena interaksi dengan masyarakat budaya bangsa lain melalui berbagai media membuat warga nusantara-yang memang ada kecenderungan ‘suka meniru’ ataupun gambaran zaman nabi-nabi telah menumbuhkan kebiasaan baru di kalangan sebagian masyarakat tertentu: laki-laki berambut panjang, dan juga berkuncir. Maka bila ada ungkapan bahasawi misalnya “dia yang berambut panjang”, kita sulit menentukan apakah ungkapan tersebut merepresentasikan realita makhluk manusia atau non-manusia, laki-lakijantan atau perempuanbetina, atau malah mungkin juga status seksis yang gabungan jantina seperti biasa ditunjuk dengan sebutan “waria”. Kalau di satu sekolah yang berjumlah 200an murid diibaratkan sebagai satu bangsa yang berjumlah 200an juta dalam ukuran mini terdapat 10an murid yang di lingkungan sekolah berperilaku ‘nyeleneh’ secara semiotik sosial, tentu nuansa dan citra nyeleneh tersebut berpotensi kuat bukan hanya merepresentasikan nuansa dan citra masyarakat sekolah secara keseluruhan sebagai kelompok sosial kelembagaan tetapi juga berdampak pada yang lain-lain. Contoh perilaku laki-laki beranting di telinga di atas tidak dimaksudkan menunjuk perilaku semiotik masyarakat Dayak dengan budaya khasnya, yang di sana kaum perempuan maupun laki-laki biasa beranting besar di telinga-yang juga berlubang besar, yang sejak nenek moyang mereka memang sudah demikian keadaannya dan perlu dimaknai sebagai cerminan semangat kebhinekaan dalam bingkai budaya Indonesia. Kelompok sosial masyarakat panggung yang diperbincangkan di atas kebanyakannya bukanlah bermuasal dari dan menjadi anggota masyarakat Dayak melainkan datang dari berbagai wilayah dengan beragam latar belakang sosial-budaya asal tetapi mereka beranting juga seperti kaum Dayak, India atau kaum panggung mancanegara. Ini tentu pemaknaan tentu tidak sama persis, kendati keduanya ada persamaan: wujud dan cara berdandan seseorang yang merepresentasikan nilai kelompok sosial yang dianut dan diamalkannya sebagai anggota kelompok bersangkutan. Isu kritis berikutnya yaitu bahwa konsep seksis bersandar pada asumsi adanya seksis budayawi yang dalam hal ini bentuk budayawi saling berkait dengan keadaan sosial suatu masyarakat. Misalnya dalam budaya Indonesia bila seksis berkenalan mereka bersalaman, atau saling tersenyum dan mengangguk saja. Dalam budaya Eropa secara sosial bila seksis berkenalan umumnya perempuan yang lebih dulu memperkenalkan diri. Kalau perempuannya tidak mengulurkan tangan berarti hanya sampai pada how do you do? . Nilai dan hubungan sosial dalam sistem sosial berbahasa dan budaya Inggris yang tercermin dalam perwujudan bahasa tingkat kata juga nampak pada ungkapan advocative terms ini: Mr untuk menunjuk “laki-laki dewasa, bisa sudah kawin atau tidakbelum kawin, dan diikuti nama keluarga ayahnya sendiri” sementara untuk perempuan dibedakan menjadi Mrs untuk “perempuan dewasa yang sudah kawin USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 6 saja, dan harus diikuti nama keluarga suami di akhir ungkapan” dan Miss untuk “perempuan dewasa yang tidakbelum kawin”. Pergerakan dan tuntutan kesetaraan jender oleh kaum perempuan berbahasa dan berbudaya Inggris di Barat melahirkan istilah baru di awal tahun 1970an: Ms untuk menunjuk “perempuan dewasa, bisa sudah kawin,belum kawin, tidak kawin tapi punya pasangan seatap”. Alihbahasa Indonesia untuk Mrs dan Miss mudah tetapi untuk Ms agak kesulitan Nonya, Nona, Tante [Girang], Nona Gaul, atau apa?. Dalam perspektif sosial bukan hanya jender tapi juga seksis menempati status sosial. Dalam konteks ini seksis dipahami lebih dari sekedar konstruksi seksis kromosom dan seksis gonadal, dan bukan hanya seksis hormonal tetapi sesuatu yang berada di bawah pengaruh lingkungan, karenanya tidak bisa mengasumsikan sesuatu yang merupakan ciri laki-laki semata karena dapat juga merupakan ciri yang disebutkan di atas tadi yaitu perempuan yang merumuskan feminitas: rambut panjang misalnya bukan lagi merupakan ciri perempuan. Analogi feminisme ditemukan di tahun 60an. Istilahnya merujuk pada sistem sosial dengan basis anggota seksis. Dalam budaya Barat, juga dalam sistem sosial lain, hal ini memberi arti ada dua jenis kelamin yaitu perempuan dan laki-laki. Hubungan antara dua kategori ini tidak sejajar atau egaliter tetapi hirarkis. Dalam hal ini kategori laki-laki man atau pria male adalah norma dan kategori wanita woman dan perempuan female merepresentasikan hal lain dan abnormal. Versi tidak lazim secara logis mengikuti normatif male Wetschanov 1995, Crawford 1995, Coates 1993, Wodak 1997. Dalam konsep seksis perempuan mendenifisikan diri mereka sebagai kelompok sosial tertentu dan sebagai kaum minoritas yang tertekan. Mereka mencari mekanisme penekanan, untuk membuat perempuan lain sadar dan memperjuangkan hak perempuan. Kelompok sosial ini sering mendefinisikan diri mereka sebagai alat bahasa umum yang memegang peranan penting dalam pembentukan identitas dan sub-budaya yang memberikan layanan sebagai alat yang membedakan mereka dengan dunia luar. Identitas khas ini mewujud dalam diri mereka dalam wujud gaya percakapan, wujud-wujud emosional, dan lain-lain.

3. Kajian Linguist Femina