Penutup Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU

benda hayatinon-hayati lain ciptaan Tuhan baik yang kasat mata seperti “jagung”, “sapu” maupun yang abstrak. Tidak seperti bahasa Inggris yang menawarkan tiga kategori ungkapan yang diwujudkan melalui kata-kata hehim, sheher dan it , sehingga bahasa ini dipandang termasuk sexist language , bahasa yang secara nyatawi membedakan makhluk atas dasar seksis. Sementara ungkapan bahasa Indonesia seperti “berambut panjang” kini tidak selalu menandakan jatidiri makhluk manusia mewakili kelompok sosial berjenis perempuan, bisa laki-laki, bisa juga non-manusia berupa hewan atau makhluk gaib-bagi yang percaya, atau bahkan benda hayatinon- hayati yang dimungkinkan berkeadaan demikian mis. dalam ungkapan “jagung berambut panjang?”. Adanya unsur-unsur seksis dalam bahasa tersebut membuat cadangan kata-kata alternatif untuk menggantikan kata-kata yang berbau seksis. Dalam bahasa Inggris misalnya kata chairman diberikan alternatif penggantinya chairperson , businessman menjadi executive , cameraman menjadi camera operator , man-made menjadi manufactured , man power menjadi work force, mankind menjadi humanity dan kata-kata lainnya. Dalam bahasa Indonesia misalnya pribumi lebih banyak digunakan dari pada bumiputera. Nama-nama perempuan misalnya didiskriminasikan dengan nama-nama laki-laki. Nama anak-anak perempuan pada umumnya menggambarkan kecantikan dan kelembutan sedangkan nama anak laki-laki menghubungkan kita dengan kekuatan, kepintaran atau kemakmuran. Faktor seksis juga wujud di dalam peribahasa Indonesia misalnya penakut macam perempuan, anjing makan bangkai menggambarkan laki-laki berhubungan dengan wanita yang telah berhubungan dengan lelaki lain, ada wang abang sayang tak ada wang abang melayang menggambarkan perempuan yang memandang harta, bagai itik pulang petang menggambarkan perempuan gemuk yang berjalan lambat. Bahkan sebaliknya seksis di dalam berbahasa dapat kita dengar ketika kritikus film mengatakan pahlawan wanita sebagai seorang jantan dalam klausa Kejantanan Cut Nyak Dien dalam perang melawan Belanda .

5. Penutup

Realita jender tidak muncul dengan sendirinya melainkan dilahirkan, hidup, dikonstruksi dan ‘dielus-elus’ oleh manusia dalam sistem dan tatanan sosial yang mencerminkan reality dunia peradaban manusia dalam bermasyarakat dan berbangsa. Keberadaan realita dunia nyata ini dibumikan di dalam realita dunia simbolik bahasa. Dengan kata lain bahasa berperan aktif dalam memaknakan realita dunia material jender dimaksud ke dan di dalam dunia simbolik. Dalam konteks ini realita semiotik bahasa adalah realita dunia material jender nyatawi yang terjadi dalam diri sendiri dan lingkungan kita. Beberapa hari lalu di media cetak dan elektronik-sebagaimana biasa kita dengarbaca bertahun-tahun-bahasa berucap “di antara para TKW yang mendarat di Bandara Soekarno-Hatta dari luar negeri setiap hari rata-rata empat orang dalam keadaan hamil danatau membawa anak kecil yang tidak jelas siapa bapaknya”. Realita simbolik ini mencerminkan realita dunia nyata, yang korbannya selalu berjenis USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004 USU Repository © 2006 11 perempuan. Tidak ada TKW berseksis laki-laki, dan kata TKW dalam kalimat ini tidak mungkin tergantikan dengan TKP, karena dalam dunia material tidak ada laki-laki hamil danatau melahirkan, setidaknya sampai saat ini belum ada yang demikian walau sudah ada teknik kloning yang canggih. Di perayaan Dies Natalis USU ke-52 yang bersamaan dengan suasana perayaan Hari Kemerdekaan R.I. ke-59 ini gambaran di atas menggugah orang untuk bertanya: di manakah letak kekuatan ciptawi tindak makna yang dimiliki bahasa yang dikatakan berfungsi construes thinking about the world reality naturalmaterial reality dan sekaligus juga enacts acting on the world reality-including on the other people in it intersubjective reality sebagaimana disinggung Halliday dan Martin Halliday 1993:42- 61, Martin 1993:141-172? Dalam konteks ini bahasa telah memerankan dirinya sebagai pengamat observer yang berfungsi membawa realita material ke dalam terjelmanya dunia consciousness kesadaran secara simbolik dan juga sebagai intruder yang berfungsi melakukan tindakan terhadap realita antar-pelibat berbagai komponen masyarakatbangsa dan para pemimpin negeri ini. Tidak atau belum terjadinya perubahan mendasar terhadap nasib para TKW TKP juga dan jutaan kaum kecil dan lemah bernasib malang lainnya-walaupun bahasa telah berbuat sangat banyak dalam perannya melalui media cetak dan elektronik-mencerminkan realita kondisi obyektif praktik sosial-budaya peradaban kita dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara saat ini. Bila jelmaan kekuatan semiotik bahasa mulai dari ‘yang paling halus, berpantun- ria’ sampai ke ‘yang tegas seperti Kupas Tuntas TransTV, Media Indonesia ala MetroTV atau yang teriak-teriak ala Unjuk Rasa di mana-mana’ tidak menghasilkan perubahan apa-apa bahkan bertambah parahnya social injustice and inequality dalam peradaban kita, proses-proses semiotik sosial selanjutnya potensial berubah menjadi proses revolusi sosial, suatu hal yang tidak dikehendaki manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Di negara yang mendengungkan “kemanusiaan yang adil dan beradab” di setiap upacara kemerdekaan ini kita tidak berharap terjadi ‘keganasan yang keji dan biadab’ dalam kehidupan kemasyarakatan, kebangsaan dan kenegaraan kita, khususnya yang terkait dengan persoalan jenderseksis yang menjadi topik pembicaraan kita. Pidato ini diawali dengan melihat ke belakang dalam perjalanan peradaban manusia, dan kini ijinkan saya mengajak kita semua untuk menatap ke depan. Semoga masih ada harapan munculnya kecerahan di hadapan kita di negeri ini, kendati saban hari kita diterpa badai berita KKN dan beragam kebrutalan di berbagai penjuru nusantara. Semoga.

5. Kepustakaan