Paradigma kedua menggunakan analogi yaitu bahwa jender merupakan simbol seksis. Identitas jender dilandasi oleh pengalaman sosial hidup sebagai anggota kaum
perempuan atau laki-laki yang mengambil peran jender untuk mengkonfirmasi harapan budaya. Peran dan harapan ini mungkin berbeda secara signifikan di masing-masing
tempat dan periode sejarah walaupun secara ragawi laki-laki dan perempuan tidak menampilkan variasi karena variasi dan pendekatan analogi menolak asumsi paradigma
pertama bahwa ada hubungan langsung antara seksis dan jender, menekankan pada jender sebagai suatu simbol yang menandai perbedaan seksis daripada hanya sebagai
elaborasi dari ciri ragawi. Mendukung pernyataan di atas kita melihat masyarakat dapat hidup dengan berhasil sebagai anggota jender yang secara seksis tidak mempunyai
kesesuaian dengan seksis secara anatomi. Mathiew mencatat peran sosial terhadap raga menjadi pendekatan standar ilmu pengetahuan. Dalam beberapa versi seperti
fungsionalisme struktur peran-peran diperlakukan sebagai yang melengkapi komplementer; dalam versi feminist mereka lebih sering diperlakukan sebagai hirarki,
melibatkan dominasi laki-laki dalam subordinasi perempuan dan pada tahap tertentu konflik diantara dua kelompok.
Paradigma ketiga adalah heterogenitas seksis dan jender sebagai sesuatu yang berbeda jenisnya. Ide hubungan keduanya dapat homologus atau analogus, atau
dengan kata lain bahwa seksis adalah dasar untuk jender dalam pendekatan sebagai fiksi ideologi. Kita melihat pembagian secara alami ada dua dunia yaitu laki-laki dan
perempuan, tetapi harus melihat bahwa pembagian ini sesuatu yang dihasilkan secara historis untuk tujuan pengamanan satu dominasi kelompok terhadap kelompok lain.
Dalam paradigma jender mengkonstruksi seksis bukan sebaliknya.
4. Unsur-unsur seksisjender dalam bahasa.
Linguistik femina keberatan dengan adanya perbedaan studi kebahasaan dan jender yang membedakan orientasi femina dengan non-femina. Sesungguhnya secara
kontemporer bahasa dalam penelitian mengenai jender sudah mencakup masalah femina dalam orientasinya tetapi secara prinsip pembedaan dengan femina
sesungguhnya merupakan gerakan politik bukan teoritis, artinya membicarakan linguistik femina dan non-femina bukan teoritis tapi politik saja. Contohnya kata ganti pronomina
he, she, Miss, Mrs, Mr menempati jenis kata yang sama secara linguistik yaitu pronomina tetapi dari segi sosial-budaya terdapat pelayanan bahasa yang berbeda yang
dalam hal ini Miss atau Mrs merupakan pilihan berdasarkan status perkawinan sedangkan untuk laki-laki kata Mr digunakan untuk membedakan landasan status
perkawinan.
Dalam bahasa Indonesia “dia”, “ia” atau “-nya” merupakan kata ganti orang ketiga yang paling demokratis di bumi, dapat dipakai untuk menunjuk makhluk hidup apapun
manusia, non-manusia berupa hewan ataupun makhluk gaib, jenis apa saja laki- lakijantan, perempuanbetina, dalam keadaan apapun hidup, mati, bahkan termasuk
USU : Pidato Ilmiah Dies ke-52 USU, 2004
USU Repository © 2006
10
benda hayatinon-hayati lain ciptaan Tuhan baik yang kasat mata seperti “jagung”, “sapu” maupun yang abstrak. Tidak seperti bahasa Inggris yang menawarkan tiga
kategori ungkapan yang diwujudkan melalui kata-kata hehim, sheher
dan it
, sehingga bahasa ini dipandang termasuk
sexist language , bahasa yang secara nyatawi
membedakan makhluk atas dasar seksis. Sementara ungkapan bahasa Indonesia seperti “berambut panjang” kini tidak selalu menandakan jatidiri makhluk manusia
mewakili kelompok sosial berjenis perempuan, bisa laki-laki, bisa juga non-manusia berupa hewan atau makhluk gaib-bagi yang percaya, atau bahkan benda hayatinon-
hayati yang dimungkinkan berkeadaan demikian mis. dalam ungkapan “jagung berambut panjang?”.
Adanya unsur-unsur seksis dalam bahasa tersebut membuat cadangan kata-kata alternatif untuk menggantikan kata-kata yang berbau seksis. Dalam bahasa Inggris
misalnya kata chairman
diberikan alternatif penggantinya chairperson
, businessman
menjadi executive
, cameraman
menjadi camera operator
, man-made menjadi manufactured
, man power
menjadi work force,
mankind menjadi
humanity dan kata-kata
lainnya. Dalam bahasa Indonesia misalnya pribumi lebih banyak digunakan dari pada bumiputera. Nama-nama perempuan misalnya didiskriminasikan dengan nama-nama
laki-laki. Nama anak-anak perempuan pada umumnya menggambarkan kecantikan dan kelembutan sedangkan nama anak laki-laki menghubungkan kita dengan kekuatan,
kepintaran atau kemakmuran.
Faktor seksis juga wujud di dalam peribahasa Indonesia misalnya penakut macam
perempuan, anjing makan bangkai menggambarkan laki-laki berhubungan dengan wanita yang telah berhubungan dengan lelaki lain, ada wang abang sayang tak ada
wang abang melayang menggambarkan perempuan yang memandang harta, bagai itik pulang petang menggambarkan perempuan gemuk yang berjalan lambat. Bahkan
sebaliknya seksis di dalam berbahasa dapat kita dengar ketika kritikus film mengatakan pahlawan wanita sebagai seorang jantan dalam klausa
Kejantanan Cut Nyak Dien dalam perang melawan Belanda
.
5. Penutup