Eksistensi Tanah Ulayat Marga Pinem Di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi

(1)

TESIS

Oleh

JUNIYELL MULIH

107011091/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

TESIS

Diajukan Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan Pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara

Oleh

JUNIYELL MULIH

107011091/M.Kn

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(3)

Nomor Pokok : 107011091 Program Studi : Kenotariatan

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)

Pembimbing Pembimbing

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN)(Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum)

Ketua Program Studi, Dekan,

(Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN) (Prof. Dr. Runtung, SH, MHum)


(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Runtung, SH, MHum

Anggota : 1. Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH. MS, CN 2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, MHum 3. Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS


(5)

Nama : JUNIYELL MULIH

Nim :107011091

Program Studi : Magister Kenotariatan FH USU

Judul Tesis :EKSISTENSI TANAH ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH KECAMATAN TANAH PINEM

KABUPATEN DAIRI

Dengan ini menyatakan bahwa Tesis yang saya buat adalah asli karya saya sendiri bukan Plagiat, apabila dikemudian hari diketahui Tesis saya tersebut Plagiat karena kesalahan saya sendiri, maka saya bersedia diberi sanksi apapun oleh Program Studi Magister Kenotariatan FH USU dan saya tidak akan menuntut pihak manapun atas perbuatan saya tersebut.

Demikianlah surat pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya dan dalam keadaan sehat.

Medan,

Yang membuat Pernyataan

Nama :JUNIYELL MULIH Nim :107011091


(6)

mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah. Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan tanah Pinem dapat dilihat berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas pemilikan hutan yang satu dengan huta yang lain atau batas pemilikan keturunan yang satu dengan keturunan yang lain. Penulis bertujuan untuk menjelaskan eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi, pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi dan pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.

Penelitian menggunakan deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Eksistensi dari Tanah-tanah milik Desa Pamah pada saat ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu dengan adanya sertifikat tanah yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, sehingga dengan adanya keputusan tersebut sudah merupakan subyek hak milik atas tanah dan dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Saat ini tanah-tanah milik sudah dapat didaftarkan dengan atas nama warga yang bersangkutan sendiri, sehingga sekarang ini tanah-tanah milik tanah ulayat sudah mendapat kepastian dan perlindungan hukum. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah-tanah mirik masayakat Desa Pamah tersebut yaitu untuk memelihara dan menjaga tanah milik masyarakat Desa Pamah tersebut, usaha-usaha tersebut adalah para pengurus tanah ulayat Desa Pamah mulai mendata tanah-tanah yang dimaksud oleh masyarakat Desa Pamah kemudian mendaftarkan tanah tersebut sehingga tanah milik bersama tersebut memiliki jaminan kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang dapat ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah rnenjadi areal hutan dan irigasi untuk warga Desa namah maka tanah tersebut. Kepala Desa dan instasi terkait juga sudah ikut mendukung eksistensi dari tanah ulayat Desa pamah Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan mengadakan program pelestarian dan perlindungan tanah-tanah milik adat/ulayat yang dilakukan setiap tahun. Pemanfaatan tanah ulayat tersebut telah dijadikan lahan permukiman transmigarsi, dengan cara mendasarkan tanah-tanahnya sebagai mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah). Serta jika terjadi sengketa tanah dengan penggantian ganti rugi semua hal-hal yang menyangkut penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris masyarakat desa Pamah.


(7)

and their ulayat land by materializing it in a Local Regulation. The borders of ulayat land in Tanah Pinem Subdistrict are seen in the forms of stone, hill, wood and traditional shower which are the limits of authority and ownership of one forest to another or the limit of ownership of one descendant to another.

The purpose of this descriptive study juridical empirical approach was to describe the existence of land under communal (ulayat) rights, the regulation of utilization of the land under communal (ulayat) rights in Tanah Pinem Subdistrict, Dairi District and the transfer of the rights to ulayat (communal) land to the migrants who live in Pamah Village in relation to the agrarian law. The data for this study were legal norms consisting of positive law and the law existing in the local community directly obtained from afield research conducted in Pamah Village, Dairi District. The data obtained were discussed and then systematically, factually and accurately described.

The result of this study showed that the existence of the lands belong to Pamah Village currently has a clear legal basis in the form of land certificate with rights to land that with this decision the land owners can own their land under the status of property rights. Now, the lands owned can be registered on behalf of the citizen concerned that the lands belong to the ulayat (communal) land have got legal certainty and legal protection. The attempts done to maintain the existence of the lands belong to the community of Pamah Village are that the administrators of ulayat land in Pamah Village recorded or listed the lands belong to the community of Pamah Village and then they registered the lands that the communal lands have legal certainty and legal protection. The Head of Village and related agencies also support the existence of ulayat lands in Pamah Village, Tanah Pinem Subdistrict by implementing communal land protection and reservation program every year. The communal lands have been used as transmigration settlements by registering their lands to obtain land certificate. In case, a dispute of the land ownership and compensation occurs between the community of Pamah Village and the migrants, all the issues concerning the compensation are stated in the official report or the letter of peace (authentic evidence), that these documents become strong evidence for the migrant citizens that claims from the descendants/heirs of the Pamah Village community will not arise anymore.


(8)

melimpahkan berkat dan Rahmat-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan Penulisan Tesis yang berjudul “EKSISTENSI TANAH ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH KECAMATAN TANAH PINEM KABUPATEN DAIRI”. Tesis ini disusun guna memenuhi syarat untuk memperoleh gelar Sarjana S-2 pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis berharap tesis ini menambah wawasan dan pengetahuan bagi pembaca, khususnya mengenai Hukum Agraria/Pertanahan. Penulis menyadari bahwa tanpa bimbingan dan bantuan dari berbagai pihak, maka penulisan Tesis ini tidak dapat dengan baik. Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTM&H, MSc (CTM), SpA(K), selaku Rektor Universitas Sumatera Utara atas kesempatan dan fasilitas yang diberikan kepada Penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara atas kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan pada Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sekaligus ketua komisi pembimbing yang dengan penuh perhatian memberi dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis 3. Bapak Prof. Dr. Muhammad Yamin, SH, MS, CN selaku Ketua Program Studi

Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus anggota komisi pembimbing yang telah memberikan dukungan, semangat, dan masukan kepada penulis;

4. Ibu Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum., selaku Sekretaris Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sekaligus penguji yang telah memberikan masukan kepada penulis;


(9)

6. Bapak Dr. Pendastaren Tarigan, SH, MS selaku penguji yang selalu memberi arahan serta kritik yang membangun kepada penulis;

7. Seluruh Staf Pengajar Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menuntut ilmu pengetahuan di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

8. Kedua orang tua Ayahanda Sutek P. Mulih dan ibunda Beren Beloh Pinem terima Kasih atas segalanya kalian adalah insipirasi dan motivasiku untuk melakukan yang terbaik (You’re my inspiration and motivation doing the best). 9. Adik tersayangku Desi Natalia dan Febe Violita Mulih yang telah menjadi

motivasi untuk menyelesaikan studi dalam penulisan tesis ini; serta buat Anjel tersayang ini semua buat kamu .

10. Seluruh keluarga di Pamah yang telah banyak membantu penulis dalam mengerjakan tesis ini,terimakasih banyak atas informasi yang di berikan.

11. Teman terbaik Patrick Tarigan selaku penjaga hati yang melengkapi hari-hari penulis dengan hal-hal indah dan susah selama menjadi bagian hidup penulis 12. Teman penulis Kibo, Gani, Roy, iyan dan Imam, terimakasih ikut berperan dalam

pelaksanaan tesis ini secara langsung ke lapangan.

13. Sahabat terbaik penulis Ernawati dan Cut Dara terimakasih buat dukungan nya selama penggerjaan tesis ini .

14. Kepada rekan seperjuangan stambuk 2010 Group C dan seluruh rekan-rekan lainnya di Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

15. Seluruh pihak-pihak yang tidak bisa disebutkan satu persatu, terima kasih atas dukungannya kepada penulis dalam penyelesaian penulisan Tesis ini.


(10)

kesempurnaan Penulisan Tesis ini.

Akhir kata, Penulis berharap semoga Tesis ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Medan, Agustus 2012 Penulis,


(11)

1. Nama : Juniyell Mulih

2. Tempat/Tanggal lahir : Ngabang, 02 Juni 1986 3. Jenis Kelamin : Perempuan

4. Status : Belum Menikah

5. Agama : Kristen Protestan

6. Alamat : Jl. Perjuangan No. 39 Medan Sunggal

II. KELUARGA

1. Nama Ayah : Sutek P. Mulih

2. Nama Ibu : Beren Beloh Pinem

III. PENDIDIKAN

1. SD Negeri No. 09 Tanjung Merpati Kembayan Lulus Tahun 1998 2. SLTP Yayasan Pendidikan Kristen Pontianak Lulus Tahun 2001 3. SMA Negeri 4 Pontianak Lulus Tahun 2004

4. Perguruan Tinggi (S1) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2009

5. Perguruan Tinggi (S2) Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Lulus Tahun 2012


(12)

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP ... vi

DAFTAR ISI ... vii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 13

C. Tujuan Penelitian ... 14

D. Manfaat Penulisan ... 14

E. Keaslian Penelitian ... 14

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 16

1. Kerangka Teori ... 16

2. Konsepsi ... 25

G. Metode Penelitian ... 27

1. Sifat Penelitian ... 27

2. Teknik Pengumpulan data ... 28

3. Analisis Data... 29

BAB II EKSISTENSI TANAH HAK ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH DI KECAMATAN TANAH PINEM...30

A. Gambaran Umum Wilayah Desa Pamah ... 30

B. Hak Milik Menurut Hukum Adat ... 38

C. Tinjauan Umum Pengaturan Hak Ulayat Dalam Hukum Tanah Nasional ... 43

D. Eksistensi Hak Ulayat dalam Hukum Positif Indonesia... 58


(13)

PINEM KABUPATEN DAIRI ... 71

A. Jenis-jenis Hak Atas Tanah Menurut Hukum Adat ... 71

B. Hak Ulayat Dalam Undang-Undang Pokok Agraria ... 74

C. Kedudukan Hak Ulayat setelah berlakunya Peraturan Menteri Agraria/Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat ... 80

D. Pengaturan dan Pemanfaatan Tanah Ulayat di Desa Pamah 82 E. Keberadaan Hak Masyarakat Adat / Ulayat di Desa Pamah 85 F. Sistem Penguasaan Hak-Hak atas Tanah Masyarakat Hukum Adat ... 91

BAB IV KONSEKUENSI DENGAN TERJADINYA PERALIHAN /PEMINDAHAN HAK ATAS TANAH ULAYAT... 97

A. Mekanisme Pengalihan Hak Atas Tanah ... 97

B. Dasar Hukum Pengalihan Hak Atas Tanah Ulayat... 101

C. Proses Penyelesaian Sengketa Tanah Ulayat... 106

D. Di Balik Sertifikat Hak Atas Tanah Ulayat ... 115

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 119

A. Kesimpulan ... 119

B. Saran ... 120


(14)

mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah. Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan tanah Pinem dapat dilihat berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas pemilikan hutan yang satu dengan huta yang lain atau batas pemilikan keturunan yang satu dengan keturunan yang lain. Penulis bertujuan untuk menjelaskan eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi, pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi dan pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.

Penelitian menggunakan deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Eksistensi dari Tanah-tanah milik Desa Pamah pada saat ini sudah memiliki dasar hukum yang jelas yaitu dengan adanya sertifikat tanah yang dapat mempunyai Hak Milik Atas Tanah, sehingga dengan adanya keputusan tersebut sudah merupakan subyek hak milik atas tanah dan dapat memiliki tanah dengan status hak milik. Saat ini tanah-tanah milik sudah dapat didaftarkan dengan atas nama warga yang bersangkutan sendiri, sehingga sekarang ini tanah-tanah milik tanah ulayat sudah mendapat kepastian dan perlindungan hukum. Upaya-upaya yang dilakukan untuk menjaga eksistensi dari tanah-tanah mirik masayakat Desa Pamah tersebut yaitu untuk memelihara dan menjaga tanah milik masyarakat Desa Pamah tersebut, usaha-usaha tersebut adalah para pengurus tanah ulayat Desa Pamah mulai mendata tanah-tanah yang dimaksud oleh masyarakat Desa Pamah kemudian mendaftarkan tanah tersebut sehingga tanah milik bersama tersebut memiliki jaminan kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang dapat ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah rnenjadi areal hutan dan irigasi untuk warga Desa namah maka tanah tersebut. Kepala Desa dan instasi terkait juga sudah ikut mendukung eksistensi dari tanah ulayat Desa pamah Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan mengadakan program pelestarian dan perlindungan tanah-tanah milik adat/ulayat yang dilakukan setiap tahun. Pemanfaatan tanah ulayat tersebut telah dijadikan lahan permukiman transmigarsi, dengan cara mendasarkan tanah-tanahnya sebagai mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah). Serta jika terjadi sengketa tanah dengan penggantian ganti rugi semua hal-hal yang menyangkut penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris masyarakat desa Pamah.


(15)

and their ulayat land by materializing it in a Local Regulation. The borders of ulayat land in Tanah Pinem Subdistrict are seen in the forms of stone, hill, wood and traditional shower which are the limits of authority and ownership of one forest to another or the limit of ownership of one descendant to another.

The purpose of this descriptive study juridical empirical approach was to describe the existence of land under communal (ulayat) rights, the regulation of utilization of the land under communal (ulayat) rights in Tanah Pinem Subdistrict, Dairi District and the transfer of the rights to ulayat (communal) land to the migrants who live in Pamah Village in relation to the agrarian law. The data for this study were legal norms consisting of positive law and the law existing in the local community directly obtained from afield research conducted in Pamah Village, Dairi District. The data obtained were discussed and then systematically, factually and accurately described.

The result of this study showed that the existence of the lands belong to Pamah Village currently has a clear legal basis in the form of land certificate with rights to land that with this decision the land owners can own their land under the status of property rights. Now, the lands owned can be registered on behalf of the citizen concerned that the lands belong to the ulayat (communal) land have got legal certainty and legal protection. The attempts done to maintain the existence of the lands belong to the community of Pamah Village are that the administrators of ulayat land in Pamah Village recorded or listed the lands belong to the community of Pamah Village and then they registered the lands that the communal lands have legal certainty and legal protection. The Head of Village and related agencies also support the existence of ulayat lands in Pamah Village, Tanah Pinem Subdistrict by implementing communal land protection and reservation program every year. The communal lands have been used as transmigration settlements by registering their lands to obtain land certificate. In case, a dispute of the land ownership and compensation occurs between the community of Pamah Village and the migrants, all the issues concerning the compensation are stated in the official report or the letter of peace (authentic evidence), that these documents become strong evidence for the migrant citizens that claims from the descendants/heirs of the Pamah Village community will not arise anymore.


(16)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tanah sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa mempunyai fungsi yang sangat penting sebagai kebutuhan hidup manusia, baik yang berada di pedesaan maupun di perkotaan. Bagi masyarakat pedesaan yang bercorak agraris tanah merupakan sumber penghidupan bagi para petani untuk bercocok tanam, sedangkan bagi masyarakat perkotaan kebutuhan tanah semakin meningkat untuk perkantoran dan pemukiman penduduk kota yang semakin padat, yang disebabkan karena adanya urbanisasi penduduk dari desa ke kota. Tanah untuk daerah tertentu dan lokasi tertentu di kota harganya semakin mahal, maka semakin sulit untuk mendapatkannya sehingga tanah seolah menjadi barang langka. Begitu juga kebutuhan akan tanah pada Desa Pamah sebagai Kabupaten Dairi, yang sedang melaksanakan pembangunan sebagai tindak lanjut dari otomomi khusus daerah, sedang luas tanah tidak bertambah tetapi kebutuhan akan tanah makin meningkat sesuai keberadaan manusia untuk melangsungkan hidupnya.

Eksistensi hak ulayat atas tanah dalam era otonomi daerah pada masyarakat marga pinem cenderung melemah, oleh karena itu pemerintah daerah mempunyai peran yang besar dalam penetapan eksistensi masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya, dengan mewujudkannya dalam sebuah Peraturan Daerah, hal ini selaras dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Begitu


(17)

pun dalam pelepasan dan penyerahan tanah ulayat kepada pihak luar diperbolehkan akan tetapi harus dengan izin kepala suku, hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Agraria/Kepala BPN Nomor 5 Tahun1999, bahwa pelepasan atau penyerahan tanah ulayat masyarakat hukum adat harus sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.

Kewenangan yang telah dimiliki oleh daerah dengan berlakunya otonomi daerah tersebut, maka pemerintah daerah baik itu kabupaten/kota serta desa merupakan mendapat perlindung hak masyarakat hukum adat serta tanah ulayatnya. Karena jajaran Pemerintah Daerah diberi kewenangan yang amat luas untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri, akan tetapi tentu saja dengan benar-benar memahami dan mampu mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan masyarakat yang berada di daerahnya tersebut. Selain itu juga masyarakat hukum adat tersebut juga tidak harus tinggal diam akan tetapi juga harus turut serta mendayagunakan hak sipil dan hak politiknya dengan cara menata dan mengorganisasikan diri mereka secara nyata dan melembaga. Dengan cara inilah maka masyarakat hukum adat itu akan nampak dan akan lebih di dengar keberadaannya oleh para pengambil keputusan.

Wilayah Kecamatan Tanah Pinem dulunya dikepalai oleh seorang asisten demang Tanah Pinem pada tahun 1935, berkedudukan di Simbetek desa Tanah Pinem. Asisten Demang ini bertanggung jawab kepada Demag yang berkedudukan di Sidikalang. Pada tahun 1937 Pemerintah Kecamatan Tanah Pinem digabung ke Asisten Demang Tigalingga sampai tahun 1946 yang berkedudukan di Simbetek. Kenegerian Tanah Pinem terdiri dari 7 Kampung yakni Kampung Tanah Pinem,Kampung Kempawa, Kampung Kuta Gamber, Kampung Liren, Kampung Balan Dua, Kampung Lau Petundal, Kampung Kuta Buluh. Kenegerian ini dikepalai oleh 1 orang Kepala Negeri yang berkedudukan di simbetek pada tahun 1935 sampai dengan 1945, kenegerian ini dipimpin oleh Raja Ikuten Tanah Pinem yakni L. Tarigan. Kenegerian ini


(18)

dikepalai oleh Kepala Negeri yang bernama Jemat Maha yang kemudian diteruskan oleh Itam Maha sampai tahun 1954 yang bererkedudukan di Lau Njuhar I. Kerajaan Pamah terdiri dari 6 Kampung yakni : Kampung Pamah, Kampung Lau Peske, Kampung Renun, Kampung Lau Gunung, Kampung Pasir Mbelang, Kampung Lau Mbelin. Kerajaan ini dikepalai oleh Raja Pandua Pamah yang bernama Nipati Pinem pada tahun 1935 dan berkedudukan di Pamah.1

Pada tahun 1946 wilayah Kecamatan Tanah Pinem kembali berkedudukan di Simbetek dengan nama Kecamatan Tanah Pinem, dipimpin oleh seorang Asisten Wedana yang bernana Ngapit Tarigan tahun 1946 sampai dengan1947. Kecamatan ini terdiri dari gabungan 3 Kenegerian yakni : Kenegerian Tanah Pinem, Kenegerian Tanah maha dan Kenegerian Juhar Kidupen Manik ditambah satu Kerajaan Pamah yang dipimpin oleh Raja Pandua sampai tahun 1949. Pada tahun 1949, Asisten Wedana Ngapit Tarigan diganti oleh Johannes Pinem dan pada tahun itu juga Ibukota Kecamatan Tanah Pinem dipindahkan dari Simbetek (Desa tanah Pinem) ke Kuta Buluh Pada tahun 1949 juga Asisten Wedana Johannes Pinem dipindahkan ke Lau Baleng Kecamatan mardingding, Penggantinya menjadi Asisten Wedana Tanah Pinem adalah Nembah Bangun Sampai tahun 1955. Pada tahun 1955 Nembah Bangun diganti oleh Mantas Tarigan sebagai Asisten wedana Tanah Pinem hingga tahunn 1958. Kemudian Mantas Tarigan diganti oleh J.S Meliala sebagai Asisten Wedana Tanah Pinem sampai tahun 1959. Pada tahun 1959 J.S Meliala diganti oleh Tengteng Munte menjadi Asisten Wedana Tanah Pinem hingga tahun 1963.2

Bersamaan dengan proses penggantian nama wilayah Tanah Pinem sejak dari simbetek sampai ke Kuta Buluh, maka tahun 1963 status kenegerian di Kecamatan Tanah Pinem dihapuskan dengan hanya satu status pemerintahan yaitu Kecamatan Tanah Pinem yang terdiri dari 11 desa yaitu : Desa Renun, Desa Pasir Tengah, Desa Pamah, Desa Kuta Buluh, Desa Tanah Pinem, Desa Kuta Gamber, Desa Kempawa, Desa Lau Primbon, Desa Harapan, Desa Gunung Tua dan Desa Suka Dame. Pada tahun 1963 jabatan Asisten Wedana Tanah Pinem digantikan oleh Waldemar Pinem sampai 1965. Pada tahun 1965 Waldemar Pinem pindah ke Kantor Bupati dan digantikan oleh Tamin Keloko sebagai Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem sampai tahun 1969. Kemudian Tamin Keloko diganti kembali oleh Waldemar Pinem sampai tahun 1978. Dibawah Waldemar Pinem pada tahun 1971 terlaksana Pemilihan Umum Pertama Pemerintahan Orde Baru. Pada tahun inilah nama Jabatan Asisten Wedana berubah menjadi Camat.3

1

Badan Pusat Statistik Kabupaten Dairi, Kecamatan Tanah Pinem Dalam Angka 2011, Koodinator Statistik Kecamatan Tanah Pinem, 2011, hal 13

2Ibid, hal 13 3Ibid, hal 13


(19)

Maria S.W. Sumardjono menyebutkan bahwa eksistensi hak ulayat dalam hukum positif Indonesia dapat dilihat dalam peraturan-peraturan perundangan yang diterbitkan. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan diangkatnya Kepala Kelurahan dari pamong desa menjadi Pegawai Negeri maka tanah bengkok menjadi urusan Pemerintah Daerah oleh karena memang hak otonomi ada pada Pemerintah Daerah Kabupaten atau Kota, yang telah diganti dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, kemudian diganti dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, dirubah dengan dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, kemudiaan dirubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.4 Mengamati kewenangan yang ditimbulkan dari tanah ulayat, tampak bahwa masyarakat desa memiliki hak otonomi dalam artian kemandirian dalam mengurus dan menentukan persoalan yang terkait dengan keberadaan di wilayahnya, kemandirian dalam mengurus tersebut ditunjang pula dengan mekanisme musyawarah desa yang berfungsi sebagai forum untuk melibatkan anggota masyarakat sebanyak-banyaknya sebelum Kepala Desa mengambil hal yang penting terutama yang berkaitan dengan tanah, tidak mengherankan jika keputusan Kepala Desa yang diambil dengan cara mekanisme seperti itu tidak akan menimbulkan konflik ataupermasalahan karena memang masyarakat benar-benar telah ikut dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.

Lebih lanjut pengaturan mengenai hak ulayat diserahkan kepada peraturan daerah masing-masing di mana hak ulayat itu berada. Realisasi dari pengaturan

4Maria S.W. Sumardjono,Tanah Dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya.Jakarta,


(20)

tersebut dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, yang dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah hak ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada di daerah yang bersangkutan.

Mengenai eksistensi Hak Ulayat, UUPA tidak memberikan kriteria mengenai eksistensi hak ulayat itu. Namun, dengan mengacu pada pengertian-pengertian fundamental diatas, dapatlah dikatakan, bahwa kriteria penentu masih ada atau tidaknya hak ulayat harus dilihat pada tiga hal, yakni :

1. Adanya masyarakat hukum adat yang memenuhi ciri-ciri tertentu, sebagai subyek hak ulayat;

2. Adanya tanah/wilayah dengan batas-batas tertentu sebagai tanah pinem yang merupakan obyek hak ulayat; dan

3. Adanya kewenangan masyarakat hukum adat untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu sebagaimana diuraikan diatas.5

Hak ulayat mempunyai sifat berlaku keluar dan ke dalam. Maka kewajiban yang pertama penguasa adat yang bersumber pada hak tersebut adalah memelihara kesejahteraan, kepentingan anggota masyarakat hukumnya, mencegah terjadinya perselisihan dalam penggunaan tanah dan jika terjadi sengketa ia wajib menyelesaikannya. Memperhatikan hal tersebut maka pada prinsipnya penguasa adat

5Maria S.W.Sumardjono,Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, (Jakarta:


(21)

diperbolehkan mengasingkan atau mengalihkan seluruh atau sebagaian tanah wilayahnya kepada siapapun. Hal ini mengandung arti bahwa, ada pengecualian, dimana anggota masyarakat hukum adat diberikan kekuasaan untuk menggunakan tanah yang berada pada wilayah hukumnya.6 Agar tidak terjadi konflik antara warga maka perlu memberitahukan hal tersebut kepada penguasa adat yang tidak bersifat permintaan ijin membuka tanah. Hak ulayat sifat berlaku keluar merupakan hak ulayat dipertahankan dan dilaksanakan oleh penguasa adat dari masyarakat hukum adat yang bersangkutan terhadap orang asing atau bukan anggota masyarakat yang bermaksud ingin mengambil hasil hutan atau membuka tanah dalam wilayah hak ulayat tersebut.7

Peraturan Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat, dipergunakan sebagai pedoman dalam daerah melaksanakan urusan pertanahan khususnya dalam hubungan dengan masalah Hak Ulayat masyarakat adat yang nyata-nyata masih ada didaerah yang bersangkutan.

Seperti kasus kita lihat konflik pertanahan telah berlangsung sejak zaman kolonial hingga saat ini. Khususnya dalam areal perkebunan yang berasal dari konsensi yang diberikan sultan kepada perusahaan perkebunan (onderdeming) diatas tanah ulayat. Hak konsensi berubah menjadi hakerfphactdan kemudian berubah menjadi Hak Guna Usaha. Peristiwa hukum ini telah menghilangkan kedudukan hak ulayat masyarakat adat sehingga menimbulkan konflik baik vertikal maupun horizontal. Konflik pertanahan yang berlanjut menjadi sengketa pertanahan antara rakyat dengan pemerintahan dan pihak

6

Hazairin, 1994,Sekelumit Persangkutpautan Hukum Adat dalam tujuh Serangkaian tentang Hukum, Penerbit Tirta Mas, Jakarta, hal 75

7Hi.Rizani Puspawidjaja, 2006,Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran,Penerbit Universitas


(22)

onderneming yang sekarang menjadi pihak PT. Perkebunan Nusantara (PTPN) II, khususnya antara masyarakat penggarap, rakyat penunggu dan masyarakat. Sengketa ini dalam praktek sulit diselesaikan, bahkan belum diselesaikan muncul lagi sengketa baru. konflik sengketa tanah yang terjadi antara Badan perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) dengan PTPN II. Badan Perjuangan Rakyat Penunggu Indonesia (BPRPI) adalah organsasi petani orang Melayu yang berdiri tahun 1953. didirikan tahun 1953, tetapi akar BPRPI sudah ada sejak masa kolonial Belanda menguasai Sumatera Timur. Setelah diberlakukannya Undang–undang Agraria 1870 pengusaha swasta asing kolonial mulai mengalir ke Sumatera Timur untuk menanamkan modalnya dalam industri perkebunan, ketika pengusaha swasta asing kolonial berlomba memasuki Sumatera Timur mendirikan Industri Tembakau, orang Melayu yang sebelumnya mengusahakan tanah pertanian mengalami perubahan dalam bercocok tanam. Sebelum kedatangan pengusaha swasta asing kolonial, orang Melayu dari satu tempat ke tempat lain membuka hutan dan menanam padi dengan sistem ladang berpindah. Akan tetapi sesudah industri perkebunan tembakau mulai beroperasi, cara bercocok tanam ladang berpindah orang Melayu ikut berubah. Orang Melayu tidak lagi membuka hutan, tetapi menggunakan tanah jaluran sebagai lahan perladangan. Perubahan tersebut tidak mengganggu kegiatan bercocok tanam orang Melayu, sebab kegiatan pertanian orang Melayu diakui dan dicantumkan kedalam akta konsensi. Diakui dan dicantumkannya hak atas tanah tersebut kedalam akta konsensi menunjukkan orang Melayu tetap dapat mengolah tanah, walaupun tanah ditanami tembakau. Jika tembakau sudah dipanen orang Melayu dapat mengerjakan bekas tanah tembakau itu. Selama tembakau belum dipetik orang melayu menunggu tembakau sampai dipanen. Mereka yang menunggu panen tembakau disebut Rakyat Penunggu. Sedang tanah bekas kebun tembakau yang diolah Rakyat Penunggu disebut tanah jaluran8 Secara umum dari kasus tersebut diatas dapat dianalisa, bahwa tindakan penggarapan yang dilakukan oleh masyarakat diatas tanah perkebunan, terjadi karena adanya perbedaan persepsi tentang hak menguasai negara dengan hak ulayat masyarakat adat.

Dalam UUPA terdapat dua sistem hukum yang berbeda mengenai hak menguasai terhadap tanah. Keadaan ini menimbulkan terjadinya conflicten

8Budi Agustino. Kebijakan Perburuhan di Sumatera Timur. Medan, Yayasan Akatiga, 1995.


(23)

recht/perselisihan hukum, maka dalam hal ini perlu ditegaskan tentang apa yang menjadi peraturan hukum atau hukum mana yang berlaku mengenai suatu hubungan hukum yang terjadi dalam suatu peristiwa hukum yang memuat unsur-unsur yang dapat menyangkutkan dua atau lebih sistem hukum yang berlaku.

Dari kasus ini Pemerintah hanya menentukan hukum yang berlaku dalam konflik tersebut, hanya bersandar pada Pasal 2 UUPA, sedangkan Pasal 3 dan Pasal 5 UUPA dikesampingkan. Konflik antara hukum negara (UUPA) dan hukum adat/tradisi tak tertulis, terjadi karena hukum negara yang tertulis dan disistematisasi dalam UUPA, tidak melestarikan tatanan tradisi masyarakat adat/lokal yang lama, dengan cara mengakomodasi tradisi dan hukum adat lokal ke dalam UUPA. Tetapi hanya mendekonstruksi serta merekonstruksi tatanan-tatanan institusional yang ada atau bahkan untuk menggantikannya dengan yang baru dalam rangka mengupayakan unifikasi hukum tanah.

Akhir-akhir ini di daerah tersebut seringkali terjadi isu sengketa tanah dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa yang sering kali muncul di daerah tersebut adalah sengketa perdata yang berkenaan dengan masalah tanah di antara warganya dalam hal pemilikan dan penguasaan tanah. Sengketa-sengketa tersebut bersumber dari tanah-tanah hak ulayat, atau obyeknya hak ulayat. Di sisi lain pernah terjadinya sengketa perdata, sengketa antar masyarakat adat dengan obyek tanah ulayat yaitu mengenai sengketa pengadaan tanah untuk lokasi permukiman transmigrasi oleh Pemerintah Daerah.


(24)

Dalam menyelesaikan permasalahan yang mereka hadapi tersebut mereka mempunyai cara sendiri yang mereka anggap lebih efektif. Meskipun telah ada lembaga pengadilan yang disediakan oleh Pemerintah untuk menyelesaikan sengketa yang timbul, mereka memilih cara lain yaitu melalui penyelesaian di luar pengadilan. Penyelesaiannon litigasidipilih oleh masyarakat dengan alasan dari segi waktu yang relatif lebih cepat dapat terwujud, biaya murah,dan penyelesaian masalah dilakukan dengan cara damai yaitu melalui musyawarah. Secara historis, kultur masyarakat Indonesia sangat menjunjung tinggi pendekatan kosensus.

Mengenai batas-batas hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem dapat dilihat berupa batu, bukit, kayu dan pancuran merupakan batas kewenangan dan batas pemilikan hutan yang satu dengan hutan yang lain atau batas pemilikan keturunan yang satu dengan keturunan yang lain.

Batas-batas hak ulayat di daerah ini dapat dibuktikan pada saat adanya perselisihan antara pemilik tanah yang satu dengan pemilik tanah yang lain, dan pembuktiannya yaitu dengan cara menghadirkan saksi dari keturunan dan saksi-saksi dari tetangga. Sehingga adanya perdamaian diantara ke dua belah pihak dengan cara musyawarah.

Mengenai penetapan batas bidang-bidang tanah diatur dalam Pasal 17 PP Nomor 24 Tahun 1997 sebagai berikut :

1. Untuk memperoleh data fisik yang diperlukan bagi pendaftaran tanah, bidang tanah yang akan dipetakan diukur setelah ditetapkan letaknya.


(25)

2. Batasnya dan menurut keperluannya ditempatkan tanda-tanda batas di setiap sudut bidang tanah yang bersangkutan.

3. Dalam penetapan batas bidang tanah pada pendaftaran tanah secara sistimatik dan pendaftaran tanah secara sporadik diupayakan penataan batas berdasarkan kesepakatan para pihak yang berkepentingan.

4. Penempatan tanda-tanda batas termasuk pemeliharaannya wajib dilakukan oleh pemegang hak atas tanah yang bersangkutan.

5. Bentuk, ukuran dan teknis penempatan tanda batas ditetapkan oleh Menteri. Ketentuan dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menjadi landasan konstitusional dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, yang disebut Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). UUPA di undangkan dalam Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104, sedangkan penjelasan UUPA dimuat dalam Tambahan Negara Tahun 1960 Nomor 2043. Undang-undang tersebut menentukan bahwa bumi air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara.9

Arti menguasai dalam hal ini bukan berarti menghilangkan hak-hak pemilikan atas tanah bagi tiap warga negara Indonesia, akan tetapi negara memiliki kewenangan untuk menentukan dan mengatur hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah, karena berdasarkan Pasal 33 ayat (3) tersebut terkandung makna adanya hubungan penguasaan, yang artinya bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung

9Rafael Edy Bosko, Hak-Hak Masyarakat Adat Dalam Konteks Pengelolaan Sumber Daya


(26)

didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Hubungan hukum antara negara dengan tanah melahirkan hak menguasai negara, sedangkan hubungan hukum antara masyarakat hukum adat dengan tanah ulayatnya akan melahirkan hak ulayat, dan hubungan antara perorangan dengan tanah melahirkan hak-hak perorangan atas tanah. Idealnya hubungan ketiga hal tersebut.

Hak menguasai tanah oleh negara, hak ulayat dan hak perorangan atas tanah terjalin secara harmonis dan seimbang, artinya ketiga hak tersebut sama kedudukan dan kekuatannya, dan tidak saling merugikan. Namun peraturan perundang-undangan di Indonesia memberi kekuasaan yang besar dan tidak jelas batas-batasnya kepada negara untuk menguasai semua tanah yang ada di wilayah Indonesia. Akibatnya terjadi dominasi hak menguasai tanah oleh negara terhadap hak ulayat dan perorangan atas tanah, sehingga memberi peluang kepada negara untuk bertindak sewenang-wenang dan berpotensi melanggar hak ulayat dan hak perorangan atas tanah.10

Sejak masuknya perusahaan perkebunan (onderneming) di wilayah Sumatera Utara, persoalan tanah telah menjadi pokok permasalahan utama mengingat perusahaan perkebunan memerlukan lahan bagi pengembangan usahanya dalam ukuran sangat luas dan tidak mungkin dipenuhi oleh penduduk secara perorangan. Dengan kebutuhan tersebut, dan ditopang dengan pandangan tentang hak penguasaan tanah di Eropa, pengusaha perkebunan ini mendekati para raja yang dianggap sebagai penguasa seluruh tanah di Sumatera Utara agar menyediakan tanah milik rakyat melalui jalur kontrak sewa (conssesie).11

10Muhammad Bakri,Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007, Hal. 7. 11http://blogingria.blogspot.com/2012/03/hukum-tanah-adat.html diakses 3 Juli 2012


(27)

Dengan dimulainya eksploitasi dan investasi modal pengusaha perkebunan swasta ini, maka sejak itu persoalan sengketa hak penguasaan atas tanah selalu terjadi secara periodik dalam kehidupan di Sumatera Utara. Sengketa ini berkisar tentang siapa yang berhak menyewakan, menggarap, mengolah dan menentukan perpanjangan sewa dengan pihak perkebunan. Di satu sisi terdapat rakyat yang memegang teguh prinsip adat dengan hak ulayatnya, di sisi lain pengusaha perkebunan merasa berhak menguasai tanah karena mereka telah membuat kontrak sewa dengan menerima konsensi dari sultan yang dianggap sebagai pemilik tanah yang sah. Pemerintah kolonial Belanda sebagai pihak fasilisator dan penjaga hukum serta ketertiban segera terlibat dalam persoalan sengketa tanah ini. kepentingan utama yang mendorong keterlibatan pemerintah Belanda yaitu menegakkan keamanan dan ketertiban mengingat para Sultan Melayu dianggap peluang untuk memperluas pengaruh politiknya di tanah melayu yang dianggap mengandung potensi luas bagi sumber produksi, sehingga akan menanbah pemasukan bagi devisa negara.

Disamping itu juga, pengusaan tanah dilakukan oleh rakyat tanpa alasan hak sah dan dokumen kepemilikan tanah yang tidak lengkap. Maka dalam posisi yang demikian, pemerintah dihadapkan pada suatu keadaan yang dilematis. Keadaan ini dapat melemahkan posisi pihak perkebunan yang membutuhkan tanah dan potensi menimbulkan masalah, yaitu rakyat tidak memiliki bukti yang lengkap dan cukup tanah yang belum bersertifikat, yang disebabkan oleh pandangan adat yang masih melekat pada rakyat bahwa tanah merupakan hak milik komunal (hak ulayat),


(28)

sehingga mereka mengganggap hak penguasaan otomatis melekat pada hak penghunian atas tanah tersebut secara turun-temurun.12

Penyelesaian persoalan dalam sengketa masyarakat versus perkebunan dalam hal ini khususnya PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, pemerintah dalam melakukan penyelesaian sengketa pertanahan khususnya areal PT. Perkebunan Nusantara II Sumatera Utara, tidak semata-mata harus bersandar pada aturan tertulis saja. Tetapi harus lebih komprehensip menyangkut sistem hukum, perilaku hukum yang berlaku dalam masyarakat.

Berdasarkan penjelasan di atas penulis tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk tesis tentang hal tersebut dengan judul : “Eksistensi Tanah Ulayat Marga Pinem Di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi.”

B. Perumusan Masalah

Adapun pokok masalah dari penelitian ini adalah:

1. Bagaimana eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi?

2. Bagaimana pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi?

3. Apakah yang menjadi konsekuensi dengan terjadinya peralihan/pemindahan hak atas tanah ulayat?

12 Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan : Studi Tanah Perkebunan di


(29)

C. Tujuan Penelitian

Sebagai tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui eksistensi tanah hak ulayat di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi

2. Untuk mengetahui pengaturan pemanfaatan tanah hak ulayat tersebut di Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi.

3. Untuk mengetahui pengalihan hak tanah ulayat kepada warga pendatang ke Desa Pamah dikaitkan dengan hukum agraria.

D. Manfaat Penelitian

Beranjak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut di atas, maka diharapkan penelitian ini akan memberikan manfaat atau kontribusi sebagai berikut :

1. Dari segi teoritis, dapat memberikan sumbangsih pemikiran baik berupa pembendaharaan konsep, metode proposisi, maupun pengembangan teori-teori dalam khasanah studi hukum dan masyarakat.

2. Dari segi pragmatis, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai bahan masukan (input) bagi pemerintah Kecamatan Tanah Pinem khususnya bagi Desa Pamah.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan oleh peneliti di perpustakaan Universitas Sumatera Utara khususnya di Magister Kenotariatan, diketahui bahwa penelitian tentang Eksistensi Tanah Ulayat Marga Pinem Di Desa Pamah


(30)

Kecamatan Tanah Pinem Kabupaten Dairi”, belum pernah dilakukan dalam pendekatan dan perumusan masalah yang sama, walaupun ada beberapa topik yang mirip, namun jelas berbeda dengan penelitian ini.

Ada ditemukan beberapa penelitian sebelumnya tentang Tanah Ulayat, namun topik permasalahan dan bidang kajiannnya berbeda dengan penelitian ini, peneliti tersebut antara lain :

1. Penelitian yang dilakukan oleh Syarifah M, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau”.

Pokok masalah dari penelitian adalah:

a. Bagaimana Eksistensi Hak Ulayat Atas Tanah Dalam Era Otonomi Daerah Pada Masyarakat Suku Sakai Di Kabupaten Bengkalis Propinsi Riau?

b. Bagaimana Penyerahan Hak Ulayat Atas Tanah Oleh Masyarakat Suku Sakai Kepada Pihak Lain Dikaitkan Dengan Peraturan Menteri Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nomor 5 Tahun 1999?

2. Penelitian yang dilakukan oleh Diana Elisabeth Siallagan, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Keberadaan Hak Ulayat di Kabupaten Simalungun”.

Pokok masalah dari penelitian adalah:

a. Apakah hak ulayat masih Eksistensi dalam batas-batas di Kabupaten Simalungun?


(31)

b. Bagaimanakah pengaturan, penggunaan, peruntukan dan peralihannya terhadap hak ulayat di Kabupaten Simalungun?

c. Bagaimanakah menyelesaikan bila terjadi sengketa hak ulyat di di Kabupaten Simalungun

3. Penelitian yang dilakukan oleh Maria Kaban, Mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, dengan judul “Keberadaan Hak Masyarakat Adat atas tanah di tanah karo”.

a. Bagaimanakah status hak ulayat Atas Tanah di Tanah Karo ? b. Bagaimanakah Sistem Penggunaan Tanah Adat karo ? c. Bagaimanakah Keberadaan Hak Masyarakat Adat karo?

Dengan demikian jelas bahwa penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya secara akademis.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Teori adalah untuk menerangkan dan menjelaskan gejala spesifik untuk proses tertentu terjadi,13 dan suatu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidak benarannya.14Menetapkan landasan teori pada

13J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman. Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial, Jilid. 1,

(Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996), hlm 203


(32)

waktu diadakan penelitian ini tidak salah arah. Sebelumnya diambil rumusan landasan teori seperti yang dikemukakan M. Solly Lubis, yang menyebutkan :

“Bahwa landasan teori adalah suatu kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem) yang dijadikan bahan perbandingan, pegangan teoritis, yang mungkin disetujui atau pun tidak disetujui yang dijadikan masukan dalam membuat kerangka berpikir dalam penulisan”.15

Teori ini sendiri adalah serangkaian preposisi atau keterangan yang saling berhubungan dengan dan tersusun dalam sistem deduksi yang mengemukakan suatu penjelasan atau suatu gejala.

Adapun teori menurut Maria S.W. Sumardjono adalah :

“Seperangkat preposisi yang berisi konsep abstrak atau konsep yang sudah didefiniskan dan saling berhubungan antar variable sehingga menghasilkan pandangan sistematis dari fenomena yang digambarkan oleh suatu variable dengan variablelainnya dan menjelaskan bagaimana hubungan antarvariabletersebut ”.16

Fungsi teori dalam penelitian tesis ini adalah untuk memberikan arahan/petunjuk dan ramalan serta menjelaskan gejala yang diamati. Karena penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif, kerangka teori diarahkan secara khas Ilmu Hukum.

Secara umum, Ter Haar mengatakan bahwa hubungan antara hak persekutuan dengan hak perseorangan adalah seperti ‘teori balon’ (Ballon Theory). Artinya, semakin besar hak persekutuan, maka semakin kecillah hak perseorangan. Dan

15M. Solly Lubis,Filsafat Ilmu Dan Penelitian, (Bandung: Mandar Madju, 1994), hlm. 80 16Maria S. W. Sumardjono,Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, (Yogyakarta: Gramedia,


(33)

sebaliknya, semakin kecil hak persekutuan, maka semakin besarlah hak perseorangan. Ringkasnya, hubungan diantara keduanya bersifat kembang kempis. Hukum tanah adat dalam hal hak persekutuan atau hak pertuanan : Dapat dilihat dengan jelas bahwa umat manusia itu ada yang berdiam di suatu pusat tempat kediaman yang selanjutnya disebut masyarakat desa atau mereka ada yang berdiam secara tersebar di pusat – pusat kediaman yang sama nilainya satu sama lain, di suatu wilayah yang terbatas, maka dalam hal ini merupakan suatu masyarakat wilayah. Persekutuan masyarakat seperti itu, berhak atas tanah itu, mempunyai hak–hak tertentu atas tanah itu, dan melakukan hak itu baik keluar maupun ke dalam persekutuan.17

Teori Balon (mengembang dan mengempis), pada waktu seorang warga persekutuan atas izin persekutuan membuka dan mengurus terus menerus bidang tanah tertentu, hak ulayat persekutuan menipis (tapi tetap ada) hak perorangan menonjol. Bila tanah diterlantarkan, hak persekutuan penuh kembali.18

Teori yang dipakai dalam penulisan tesis ini adalah teori balon (Ballon Theory), untuk menjaga kontinuitas terhadap tanah-tanah adat maka salah satu cara adalah dengan memproteksinya dan Desa Adat seharusnya membentuk suatu badan hukum yang khusus mengelola, mengatur penguasaan dan pemanfaatan tanah-tanah adat.19

Negara Republik Indonesia yang susunan kehidupan rakyatnya termasuk perekonomianya masih bercorak agraria, sehingga tanah merupakan bagian dari

17Ter Haar,Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat,(Bandung ; Sumur Batu, 1985), hlm 57 18http://webcache.googleusercontent.com diakses 13 Juli 2012


(34)

kehidupan manusia yang sangat penting karena seluruh aktifitas kehidupan manusia tergantung pada tanah. Dalam rangka memakmurkan rakyat secara adil dan merata sebagai bagian dari tujuan pembangunan nasional, harus dilaksanakan melalui berbagai bidang, sehingga tercipta sebuah keadaan bahwa melalui penguasaan dan pengunaan tanah yang tersedia, rakyat dapat memenuhi semua kebutuhan dengan memuaskan.20

Tanah yang bersifat abadi mempunyai kedudukan khusus dalam hukum adat karena tanah merupakan salah satu sumber kehidupan bagi manusia. Tanah mempunyai kedudukan khusus/ penting dalam hukum adat karena tanah merupakan tempat tinggal, tempat untuk mengubur dan tempat untuk berlindung bagi persekutuan dan roh leluhur persekutuan.21

Permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman Kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti tertulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Ditinjau dari segi kehidupan masyarakat indonesia kita melihat adanya hubungan hukum antara persekutuan hukum dengan tanah dalam wilayahnya, dengan perkataan lain persekutuan hukum itu mempunyai hak atas tanah yang dinamakan “beschikkingsrecht” (hak menguasai tanah).22

Didalam hukum adat, perjanjian tentang tanah atau transaksi tanah termasuk dalam hukum tanah dalam keadaan bergerak, karena dalam perjanjian tentang tanah

20Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan

Pelaksanaanya.1999. Jakarta: djambatan, hal. 3

21

Suryo Wignjodipuro,Pengantar & Asas Hukum Adat(Jakarta : Raja Grafindo, l990), Hal.23

22Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria di Minangkabau, (Padang,


(35)

ini merupakan suatu perbuatan hukum yang bertujuan untuk memperoleh hak-hak atas tanah.23

Menurut Soerojo Wignyodipoero perjanjian tentang tanah ini dapat digolongkan atas dua bagian, yakni :24

a. Perjanjian tentang tanah yang bersegi satu atau sepihak (een zijdig) yang berarti perolehan hak. Di dalam perjanjian ini hanya terjadi perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu pihak, jadi tidak memerlukan pihak lain atau pihak kedua. Karena itu pada dasarnya dalam perjanjian ini hanya meliputi perbuatan hukum untuk memperoleh hak atas tanah bersegi satu ini, dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu :

1. Perbuatan hukum pendirian desa/dusun

2. Perbuatan hukum ini dinamakan dengan perbuatan membuka tanah secara perorangan

b. Perjanjian tentang tanah bersegi dua (twezijdig) berarti peralihan hak. Dalam perjanjian ini diperlukan adanya dua pihak. Dengan dilakukannya perbuatan hukum oleh pihak-pihak yang bersangkutan, maka terjadilah proses pemindahan hak atas tanah kepada pihak lain yang memperoleh hak atas tanah itu.

Menurut Peraturan Menteri Agraria Kepala Badan Pertanahan ,Nasional Nomor 5 Tahun 1999 menurut Pasal 1 ayat (1) yang dimaksud dengan Hak Ulayat adalah kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat

23Hadikusuma, Hilman ,l982,Hukum Perjanjian Adat, Bandung : Alumni, hal 18

24Wignyodipoera, Soerojo. 1994. Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. CV. Haji


(36)

tertentu atas wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat hukum adat tersebut yang bersangkutan.

Pasal 2 ayat (1) pelaksanaan Hak Ulayat sepanjang pada kenyataannya masih ada dilakukan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan menurut ketentuan hukum adat setempat. Pasal 2 ayat (2) Hak Ulayat masyarakat hukum adat dianggap masih ada apabila :

1. Terdapat sekelompok orang yang masih merasa terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum tertentu, yang mengakui dan menerapkan ketentuan-ketentuan persekutuan tersebut dalam kehidupannya sehari-hari.

2. Terdapat tanah Ulayat tertentu yang menjadi lingkungan hidup para warga persekutuan hukum tersebut dan tempatnya mengambil keperluan hidupnya sehari-hari.

3. Terdapat tatanan hukum adat menguasai pengurusan, penguasaan dan penggunaan tanah ulayat yang berlau dan ditaati oleh para warga persekutuan hukum tersebut.

Dalam Pasal 4 ayat (1) penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk Tanah Ulayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan :

1. Oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftar sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan UUPA.

2. Oleh instansi pemerintah, badan hukum atau perseorangan bukan warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak atas tanah menurut ketentuan UUPA berdasarkan pemberian hak dari Negara setelah tanah


(37)

tersebut dilepaskan oleh masyarakat hukum adat atau oleh warganya sesuai dengan ketentuan dan tata cara hukum adat yang berlaku.25

Tanah Ulayat sebagai Nilai Sosiologis bukan hanya sekedar nilai ekonomi yang memberikan nilai tambah (suprlus) produksi tetapi merupakan ikatan sosial antara manusia dengan alam. Dalam pandangan sosial bahwa tanah merupakan salah satu penentu tinggi atau rendahnya derajat suatu kaum.

Dalam kajian hukum adat peruntukan perolehan atas hak ulayat merupakan izin dari kepala adat (penghulu) pada lahan kosong, bekas bentuk usaha yang ditinggalkan, dan tanah kosong di daerah terpencil, pemanfaatan, hak pakai (Gebruiksrecht) dan hak untuk menggarap/mengelolah (ontginingsredht) merupakan hak pribadi kodrati diatas tanah. Kepemilikan atas hak tersebut akan melekat jika kemudian peserta mengadakan bentuk usaha tertentu atas tanah tersebut. Seperti dalam bentuk, Sawah, tebat, pekaranga, kebun tanaman muda dan kebun tanaman tua.26

Tanah ulayat merupakan salah satu bentuk kepemilikan tanah yang dilakukan secara bersama, hak ulayat sebagai istilah teknis hukum adalah hak yang melekat sebagai kompetensi hak pada masyarakat hukum adat berupa wewenang/kekuasaan mengurus dan mengatur tanah seisinya dengan daya laku ke dalam maupun keluar. Secara epistimologi ulayat berasal dari bahasa Arab diartikan ke-dalam bahasa Indonesia sebagai suatu daerah atau kawasan,27 hak ulayat merupakan hak komunal atau hak bersama atas sebidang tanah sebagai akibat dari terjadinya hubungan antara masyarakat hukum adat dengan wilayah dan secara prinsip dipusakai secara turun temurun dan tidak dapat dipindah tangankan ‘Tanah ulayat itu dijual tak dimakan

25Boedi Harsono, Himpunan Peraturan-peraturan Hukum Tanah, (Jakarta : Djambatan,

2000).,Hal.63-65.

26

Wignyodipoera, Soerojo,Op.Cit,hal 69

27Rais, Kamardi H. 2004. Status Tanah Ulayat dan Potensinya. Padang : Padang Ekspress,


(38)

beli, digandai tak dimakan sando, (sandera),mahal tak dapat dibeli murah tak dpat diminta. Hak pengelolaan tanah ulayat dikenal dengan azaz terpisah (herizontal splitsen/horizontal splitting) artinya adalah hak yang digunakan disana adalah hak menikmati hasilnya, boleh ditanami, diolah, digarap, diusahakan, dikelolah, dan sebagainya maka hasilnya boleh dimanfatkan namun jangan berlebihan dan tanahnya tidak boleh dipindah tangankan.28

Tanah tentu di yakini bukan hanya sebagai faktor produksi yang memiliki nilai ekonomi, yang bisa menjadi produk yang bisa diperdagangkan disaat permintaan akan tanah semakin tinggi namun juga memiliki nilai sosiologis dan kerohanian yang merupakan titipan Tuhan. Perolehan dan pemanfaatan harus sedemikian rupa seimbang dan adil dirasakan oleh semua pihak. Perwujudan dari rasa keadilan sosial tanah secara normatif dalam terlihat dalam prinsip dasar UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) yakni prinsip “negara yang menguasai” prinsip penghormatan terhadap hak atas tanah masyarakat hukum adat, asas fungsi sosial semua atas tanah, Prinisp landreform, prinsip perencanaan dalam penggunaan tanah dan upaya pelestarian dan prinsip nasionalitas.29 Walaupun dalam prakteknya kemudian dijumpai beberapa peraturan biasa terhadap kepentingan sekelompok kecil masyarakat dan belum memberikan perhatian pada kelompok masyarakat yang lebih besar.

28

Institute for Economic and Social Research. 2001. Tanah ulayat,Jakarta, Faculty of Economics University of Indonesia, Jurnal Website. FE-UI, hal 23

29Hi.Rizani Puspawidjaja, 2006, Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran, Penerbit


(39)

Bagi masyarakat hukum adat, tanah mempunyai fungsi yang sangat penting, “Sebagai salah satu unsur essensial pembentuk negara, tanah memegang peran vital dalam kehidupan dan penghidupan bangsa pendukung negara yang bersangkutan, lebih-lebih yang corak agrarisnya berdominasi. Di Negara yang rakyatnya berhasrat melaksanakan demokrasi yang berkeadilan sosial, pemanfaatan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat merupakan suatudonditioe sine qua non” (suatu syarat mutlak harus dicantumkan atau dinyatakan untuk menguatkan atau menetapkan sesuatu perjanjian itu berlaku).30

Kemudian hubungan antara masyarakat hukum adat dengan tanah “Masyarakat tersebut mempunyai hak atas tanah itu dan menerapkannya baik ke luar maupun ke dalam. Atas dasar kekuatan berlakunya keluar, maka masyarakat sebagai suatu kesatuan mempunyai hak untuk menikmati tanah tersebut, serta menolak pihak luar untuk melakukan hal yang sama dan sebagai suatu kesatuan bertanggung jawab terhadap perilaku menyeleweng yang dilakukan oleh orang asing di tanah tersebut, Atas dasar kekuatan berlakunya ke dalam masyarakat mengatur bagaimana masing-masing anggota masyarakat melaksanakan haknya, sesuai dengan bagiannya, dengan cara mengatasi peruntukan bagi tuntutan-tuntutan dan hak-hak pribadi serta menarik bagian tanah tertentu dari hak menikmatinya secara pribadi serta menarik bagian tanah tertntu dari hak menikmatinya serta pribadi, untuk kepentingan masyarakat langsung” .31

Maka masyarakat hukum adat sebagai totalitas, memiliki tanah dan hak tersebut dinamakan dengan hak ulayat yang oleh Hazairin disebut sebagai hak bersama, oleh karena itu maka masyarakat hukum adat menguasai dan memiliki tanah terbatas yang dinamakan lingkungan tanah. Lingkungan tanah tersebut lazimnya berisikan tanah kosong murni, tanah larangan, dan lingkungan perusahaan yang terdiri dari tanah yang diatasnya terdapat pelbagai bentuk usaha sebagai perwujudan dari hak pribadi atau hak peserta atas tanah.32

30

Bushar Muhamad, 2000,Pokok-pokok Hukum Adat, Penerbit Pradya Paramitha, Jakarta, hal 47

31Soekanto,Soerjono. 2002. Hukum Adat Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, hal 173 32

Soekanto,Soerjono. 2006,Kedudukan dan Peranan Hukum Adat di Indonesia,Penerbit Kurniaesa, Jakarta, hal 175


(40)

Di pandang dari sudut bentuk masyarakat hukum adat maka lingkungan tanah dibedakan atas dua yakni lingkungan tanah sendiri, yakni linkungan tanah yang dikuasi dan dimiliki oleh satu masyarakat hukum adat dan Lingkungan tanah bersama, yaitu lingkungan tanah yang dikuasai dan dimiliki oleh bebera hukum adat yang setingkat dengan alternatif.

2. Konsepsi

Masalah tanah merupakan masalah yang senantiasa menarik perhatian oleh karena masalah tanah menyangkut berbagai aspek kehidupan da penghidupan masyarakat. Bertambahnya penduduk dan adanya kecenderungan berkurangnya tanah untuk digarap akan menimbulkan permasalahan-permasalahan di bidang sosial dan sosial politik.

Selain dari permasalahan-permasalahan yang tersebut di atas, masih terdapat permasalahan-permasalahan di bidang pertanahan sebagai akibat dari peninggalan zaman Kolonial Belanda yaitu belum diperolehnya jaminan dan kepastian hak atas tanah adat yang dikuasai oleh perorangan atau keluarga/kaum sebagai akibat dari tanah-tanah adat yang tidak mempunyai bukti terulis, maka di dalam proses pensertifikatannya sering terjadi masalah-masalah berupa sengketa, baik dalam hal batas maupun sengketa dalam siapa-siapa yang sebenarnya berhak atas tanah tersebut. Masalah-masalah tanah seperti ini, tersebar di seluruh wilayah Indonesia terutama di daerah yang masih kuat hukum adat pertanahannya.33

Menjual tanah adat berarti menyerahkan hak atas tanah adat dengan menerima prestasi tertentu berbentuk uang tunai, dalam istilah hukum adat, jual beli dimaksudkan adalah jual lepas jual mutlak, jual lepas mutlak yaitu dengan dijualnya/diserahkannya atas suatu bidang tanah, maka melepaskan pula segala hak atas bidang tanah tersebut, sehingga perpindahan dari tangan penjual kepada pembeli untuk selama-lamanya. Dalam penyerahan bidang

33Sajuti Thalib,Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria, Bina Aksara, Sumatera Barat,


(41)

tanah tersebut, pada saat itu diterima secara serentak pembayaran uangnya tunaisecara sekaligus tanpa dicicil.34

Konsepsi diterjemahkan sebagai usaha membawa sesuatu dari abstrak menjadi suatu yang konkrit, yang disebut dengan operasional definition (Definisi Opreasional)35. Oleh karena itu, dalam penelitian ini didefenisikan beberapa konsep dasar agar secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:

a. Eksistensi Tanah ulayat yaitu dapat dipahami sebagai keberadaan bidang tanah yang padanya melengket hak ulayat dari suatu persekutuan hukum adat.36

b. Hak Atas Tanah yaitu hak penguasaan atas tanah yang memberikewenangan kepada pemegang hak untuk memakai suatu bidang tanah tertentu untuk memenuhi kebutuhan pribadi atau usahanya.37

c. Masyarakat Adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal usul leluhur (secara turun menurun) di wilayah geografis tertentu, serta memiliki sistem nilai, idiologi, politik, budaya sosial dan wilayah sendiri.38

d. Sertifikat adalah surat keterangan dari orang yang berwenang dan dapat digunakan untuk keperluan tertentu, atau merupakan tanda bukti yang kuat

34Bushar Muhammad, 1988, Asas-Asas Hukum Adat suatu Pengantar, Penerbit Bina Cipta

Bandung. 1988, hal 38

35Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bago

Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank di Indonesia, Institut Bankir Indonesia, Jakarta, 1993, hlm.10

36Ignas Tri (Penyunting) Masyarakat Hukum Adat, Hubungan struktural dengan Suku

Bangsa, Bangsa dan negara; Penerbit Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Jakarta, 2006, hlm. 327.

37

Aslan Noor, Konsep Hak Milik atas Tanah Bagi Bangsa Indonesia, (Bandung : Mandar Maju, 2006), hal 23

38Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan


(42)

selama tidak dapat dibuktikan sebaliknya dari data fisik dan data yuridis yang tercantum di dalamnya yang harus diterima sebagai data yang benar.39

e. Tanah ulayat adalah segala sesuatu yang teradapat atau yang ada di atas tanah termasuk ruang angkasa maupun segala hasil perut bumi diwarisi secara turun temurun dari nenek moyang yang diteruskan kepada generasi berikutnya dalam keadaan utuh, tidak terbagi dan tidak boleh dibagi.40

f. Pendaftaran tanah adalah suatu rangkaian kegiatan, yang dilakukan oleh Negara / Pemerintah secara terus menerus dan teratur, berupa pengumpulan keterangan atau data tertentu mengenai tanah-tanah tertentu yang ada di wilayah-wilayah tertentu, pengolahan, penyimpanan dan penyajiannya bagi kepentingan rakyat, dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum di bidang pertanahan termasuk penerbitan tanda-bukti dan pemeliharaannya.41

G. Metode Penelitian 1. Sifat Penelitian

Sesuai dengan karekteristik perumusan masalah yang ditujukan untuk menganalisis bagaimana keberadaan tanah dalam masyarakat Adat Karo (studi di Desa Pamah Kabupaten Dairi) maka penelitian ini bersifat deskriptif yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan

39Parlindungan, Tanya Jawab Hukum Agraria dan Pertanahan , (Bandung : Mandar Maju

Team, 2003), hal 47

40

Nurullah,Tanah Ulayat Menurut Ajaran Adat Minangkabau,PT. Singgalang Press, Padang, 1999, hal. 10


(43)

akurat. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis empiris, yang merupakan suatu pendekatan dengan membahas kaidah-kaidah hukum yang terdiri dari hukum positif dan hukum yang berlaku dalam masyarakat yang diperoleh di lapangan secara langsung dari Desa Pamah Kabupaten Dairi.

2. Teknik Pengumpulan Data

Dalam melakukan penyusunan tesis ini, penulis menggunakan penelitian hukum normatif atau terapan yang bersumber dari data sekunder yaitu data yang berasal dari kepustakaan yang berupa buku-buku, dokumen, Koran atau majalah. Selain itu penulis juga menggunakan penelitian hukum atau penelitian dengan menggunakan data primer, dimana data yang diperoleh langsung dari lapangan. 1. Penelitian Hukum Normatif

Dalam penelitian normatif ini, penulis mencari dan mengumpulkan data-data sekunder yang berupa buku-buku, Undang-Undang serta studi perpustakaan dengan mempelajari bahan-bahan yang berkaitan dengan bahan-bahan lain yang berhubungan dengan materi penelitian.42

2. Penelitian Hukum Empiris

Dalam penelitian hukum empiris ini, penulis melakukan penelitian lapangan untuk mendapatkan data-data yang diinginkan yang berupa data primer guna penyelesaian penulisan ini. Data-data yang diperoleh penulis dikumpulkan dan

42Lexy J. Moleong,Metodologi Penelitian Normatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya 1993),


(44)

dianalisa kemudian disusun secara teratur, sistematis dan lengkap dalam suatu bentuk karya tulis ilmiah sehingga memudahkan untuk dipahami dan dipelajari.43 3. Analisis Data

Metode analisis data yang dipakai dalam penelitian ini adalah metode analisa kualitatif untuk mengetahui bagaimana perolehan pelaksanaan, status dan keberadaan tanah dalam masyarakat adat karo marga pinem, apakah sesuai dengan peraturan yang berlaku atau tidak. Metode analisa kualitatif merupakan suatu cara penelitian yang menghasilkan data diskriptif, yaitu apa yang dinyatakan responden secara tertulis atau lisan dan juga perilaku nyata yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh. Data yang diperoleh dari hasil penelitian diklasifikasikan kemudian dianalisis secara kualitatif yang selanjutnya akan disajikan dalam bentuk deskriptif dengan menuturkan dan menggambarkan apa adanya sesuai dengan permasalahan yang diteliti dalam bentuk tesis.

43 Ronny Hanitijo Soemitro,1990, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit


(45)

BAB II

EKSISTENSI TANAH HAK ULAYAT MARGA PINEM DI DESA PAMAH DI KECAMATAN TANAH PINEM

A. Gambaran Umum Wilayah Desa Pamah

Desa Pamah merupakan salah satu desa di Kecamatan tanah Pinem Kabupaten Dairi, luas wilayahnya 36,42 Km2, dengan jumlah penduduk 2.165 jiwa, Desa Pamah ini berbatasan dengan Sebelah Utara dengan Karo, Sebelah Selatan dengan Desa Balan dua, Sebelah Timur dengan Desa Kuta Buluh, Sebelah Barat dengan Pasir Mbelang. Kota Pamah itu dalam Bahasa Karo artinya merupakan tempat dikeliling atau lereng bukit.

Wilayah Kecamatan Tanah Pinem dulunya dikepalai oleh seorang Asisten Demang tanah Pinem pada tahun 1935, berkedudukan di Simbetek (Tanah Pinem), Asisten Demang ini bertanggungjawab kepada Demang yang berkedudukan di Sidikalang.

Pada tahun 1937, Pemerintah Kecamatan Tanah Pinem digabung ke Asisten Demang Tigalingga sampai tahun 1946 yang berkedudukan di Simbetek. Pemerintah ini terdiri dari :44

1. Kenegerian Tanah Pinem terdiri dari 7 (tujuh) Kampung, yaitu : a. Kampung Tanah Pinem

b. Kampung Kempawa c. Kampung Kuta Gamber


(46)

d. Kampung Liren e. Kampung Balandua f. Kampung Lau Petundal g. Kampung Kutabuluh

2. Kenegerian Tanah Maha terdiri dari 5 (lima) Kampung, yaitu : a. Kampung Sunggeliat

b. Kampong Lau Njuhar I c. Kampung Lau Njuhar II d. Kampung Mangan Molih e. Kampung Pasir Tengah

3. Kenegerian Juhar Kidupan Manik terdiri dari 12 (dua belas) Kampung, yaitu : a. Kampung Lau Meciho

b. Kampung Kuta Mbaru c. Kampung Tanjung Kwala d. Kampung Lau Kapur e. Kampung Lau Lubuk f. Kampung Simpang Payong g. Kampung Gunung Meriah h. Kampung Jumabatu i. Kampung Sigedang j. Kampung Lau Perimbon k. Kampung Tulasen


(47)

l. Kampung Pamah Silep-lep

Kenegerian ini dipimpin oleh Kepala Negeri Mantas Tarigan

4. Raja Pandua Pamah dengan Ibu Negerinya Pamah, maka Raja pertama yang mengepalai adalah Nipati tahun 1935 dengan Kampung-kampungnya terdiri dari 6 (enam) yaitu :

a. Kampung Pamah b. Kampung Lau Peske c. Kampung Renun d. Kampung Lau Gunung e. Kampung Pasir Mbelang f. Kampung Lau Belin

Pada tahun 1946 wilayah Kecamatan Tanah Pinem kembali berkedudukan di Simbetek dengan namanya Kecamatan Tanah Pinem dipimpin oleh seorang Asisten Wedama Ngapit Tarigan dari tahun 1946 s/d 1947, yang terdiri dari gabungan 3 (tiga) Kenegerian, yaitu :

1. Kenegerian Tanah Pinem 2. Kenegerian Tanah Maha

3. Kenegerian Juhar Kedupan Manik, ditambah satu Raja Kerajaan Pamah yang dipimpin oleh Raja Pandua sampai tahun 1949

Pada tahun 1949, Asisten Wedana Ngapit Tarigan, diganti oleh Johanes Pinem dan pada tahun itu juga yaitu tahun 1949 Ibukota Kecamatan Tanah Pinem dipindahkan dari Simbetek (Tanah Pinem) ke Kuta Buluh.


(48)

Pada tahun 1949, Asisten Wedana Johanes Pinem dipindahkan ke Lau Baleng Kecamatan Mardinding, maka Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem digantikan oleh Nembah Bangun sampai dengan tahun 1955.

Pada tahun 1955, Nembah Bangun diganti oleh Mantas Tarigan menjadi Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem hingga tahun 1958, kemudian pada tahun itu juga Mantas Tarigan diganti oleh J.S Meliala Asisten Kecamatan Tanah Pinem sampai tahun 1959.

Pada tahun 1959, J.S Meliala diganti oleh Nengteng Munte menjadi Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem hingga tahun 1963.

Bersama dengan proses penggantian nama wilayah Tanah Pinem sejak dari Simbetek sampai ke Kuta Buluh, maka tahun 1963, status Kenegerian di Kecamatan Tanah Pinem dihapuskan dengan hanya satu status pemerintahannya yaitu Kecamatan Tanah Pinem yang terdiri dari 11 (sebelas) desa yang masing-masing adalah :

1. Desa Renun 2. Desa Pasir Tengah 3. Desa Pamah 4. Desa Kutabuluh 5. Desa Tanah Pinem 6. Desa Kempawa 7. Desa Kuta Gamber 8. Desa Lau Perimbon 9. Desa Harapan


(49)

10. Desa Gunung Tua 11. Desa Sukadame

Pada tahun 1963, Jabatan Asisten Wedana Tanah Pinem digantikan oleh Waldemar Pinem sampai tahun 1969.

Dengan pindahnya Waldemar Pinem ke Kantor Bupati KDH Tk. II Dairi pada tahun 1965, maka jabatan Asisten Wedana Kecamatan Tanah Pinem diganti oleh Tamin Kaloko sampai tahun 1969, kemudian Kaloko diganti kembali oleh Waldemar Pinem sampai tahun 1978.

Dibawah kepemimpinan Asisten Wedana Waldemar Pinem, maka pada tahun 1971 terlaksana Pemilihan Umum I Pemerintah Orde Baru dilaksanakan dan dari sinilah perubahan nama dari Asisten Wedana menjadi Camat.

Pada tahun 1978 Waldemar Pinem diganti oleh Tua Doli Sibarani menjadi Camat Tanah Pinem sampai tahun 1980, pada tahun 1980 Jabatan Camat Tanah Pinem dari Tua Doli Sibarani kepada Sipat Muli Kaban, BA sampai tahun 1985. Pada tahun 1985 Jabatan Camat Tanah Pinem diganti dari Sipat Muli Kaban, BA kepada Drs. Dengson Tinambunan samapi tahun 1987.

Pada tanggal 21 Juli 1987, dengan perpindahan Drs. Dengson Tinambunan ke Kantor Bupati KDH Tk. II Dairi, Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Drs. Oberlin Sinamo sampai tahun 1989.

Pada tanggal 11 Mei 1989 Drs. Oberlin Sinamo digantikan oleh Gomar Hutabarat menjadi Camat Tanah Pinem sampai tahun 1990. Pada tanggal 05 Februari


(50)

1990, Gomar Hutabarat diganti oleh Drs. Wiler Nababan menjadi Camat Tanah Pinem sampai tahun 1993.

Pada tanggal 08 Juni 1993, dengan perpindahan Drs. Wiler Nababan ke Kantor Bupati KDH Tk. II Dairi, Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Jainal Sinamo, BA hingga tahun 1994.

Pada tanggal 12 Desember 1994, dengan perpindahan Jainal Sinamo, BA ke Kantor Bupati KDH Tk. II Dairi maka Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Drs. Tigor Solin menjadi Camat Tanah Pinem hingga tahun 1997.

Pada tanggal 20 Oktober 1997, dengan perpindahan Drs. Tigor Solin menjadi Pembantu Bupati Wilayah II Tigalingga, Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Drs. Ramses Sinamora menjadi Camat Tanah Pinem hingga tahun 2000.

Pada tanggal 07 Februari 2000 dengan perpindahan Drs. Ramses Simamora ke Tingkat II Dairi maka Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Adil Tarigan, S.Sos menjadi Camat Tanah Pinem.

Pada tahun 2000, Desa Tanah Pinem dimekarkan menjadi 2 (dua) desa, yakni: Desa Tanah Pinem dan Desa Lau Tawar. Sejak itu, Kecamatan Tanah Pinem terdiri dari 12 (dua belas) desa.

Pada tanggal 26 Nopember 2006 dibentuk Desa Balandua berdasarkan Peraturan Bupati Dairi Nomor 15 Tahun 2006 tentang Pembentukan Desa Balandua di Kecamatan Tanah Pinem. Pada tanggal 30 Nopember 2006 dibentuk Desa Mangan Molih, Desa Liang Jering, Desa Alur Subur, dan Desa Lau Njuhar I berdasarkan


(51)

Peraturan Bupati Dairi Nomor 17 Tahun 2006 tentang Pembentukan Desa Mangan Molih, Desa Liang Jering, Desa Alur Subur, dan Desa Lau Njuhar I di Kecamatan Tanah Pinem. Pada tanggal 30 Nopember 2006 dibentuk Desa Pasir Mbelang dan Desa Sinar Pagi berdasarkan Peraturan Bupati Dairi Nomor 18 Tahun 2006 tentang Pembentukan Desa Pasir Mbelang dan Desa Sinar Pagi di Kecamatan Tanah Pinem. Sejak keluarnya Peraturan Bupati Dairi Nomor 15 Tahun 2006, Peraturan Bupati Dairi Nomor 17 Tahun 2006 dan Peraturan Bupati Dairi Nomor 18 Tahun 2006 maka Kecamatan Tanah Pinem terdiri dari 19 (sembilan belas) desa, yaitu :

1. Desa Kutabuluh 2. Desa Pamah 3. Desa Tanah Pinem 4. Desa harapan 5. Desa Gunung Tua 6. Desa Kempawa 7. Desa Kuta Gamber 8. Desa Lau Perimbon 9. Desa Pasir Tengah 10. Desa Renun 11. Desa Sukadame 12. Desa Lau Tawar 13. Desa Balandua 14. Desa Mangan Molih


(52)

15. Desa Liang Jering 16. Desa Alur Subur 17. Desa Lau Njuhar I 18. Desa Pasir Mbelang 19. Desa Sinar Pagi

Pada tanggal 13 Februari 2007 dengan perpindahan Adil Tarigan, S. Sos ke Kecamatan Tigalingga menjadi Camat maka Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Suasta Ginting, S. Sos menjadi Camat Tanah Pinem.

Pada tangggal 01 Juni 2009 dengan perpindahan Suasta Ginting, S. Sos, M. AP ke Kecamatan Tigalingga menjadi Camat maka Jabatan Camat Tanah Pinem diserahterimakan kepada Drs. Tambar Barus menjadi Camat Tanah Pinem.

Pada tanggal 01 Februari 2012 dengan perpindahan Drs. Tambar Barus ke Kecamatan Tigalingga menjadi Camat maka Jabatan Tanah Pinem diserahterimakan kepada Robert H. Ginting, AP, M. Si menjadi Camat Tanah Pinem.

Penduduk Kecamatan Tanah Pinem terdiri dari suku-suku :

1. Suku Karo (merupakan penduduk mayoritas) yang terdiri dari 5 (lima) merga, yakni : Perangin-angin, Ginting, Sembiring, Tarigan, dan karo-karo

2. Suku Pakpak 3. Suku Batak Toba 4. Suku Jawa


(53)

Jumlah penduduk Kecamatan Tanah Pinem keadaan akhir bulan Desember 2011 berjumlah 21.028 jiwa terdiri dari laki-laki 10.526 jiwa, perempuan 10.502 jiwa dengan jumlah Rumah Tangga 6.463 KK.

Demikian sejarah ringkas Wilayah Kecamatan Tanah Pinem ini diperbuat berdasarkan keterangan-keterangan yang diperoleh dari para Tokoh / Pengetua masyarakat untuk dapat dipergunakan seperlunya.

B. Hak Milik Menurut Hukum Adat

Dalam hubungannya dengan tanah, menurut hukum Adat tertanam suatu kepercayaan bahwa bagi setiap kelompok masyarakat hukum adat, tersedia suatu lingkungan tanah sebagai pemberian dari sesuatu kekuatan gaib sebagai pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya sepanjang zaman. Artinya bukan hanya untuk kepentingan satu generasi tapi melainkan untuk generasi berikutnya dari kelompok hukum adat tersebut. Lingkungan yang merupakan faktor pendukung kehidupan kelompok dan para anggotanya adalah kepunyaan bersama masyarakat hukum adat. Hak kepunyaan secara bersama disebut beschikkingsrecht (lingkungan kekuasaan) yang diterima dalam perundang-undangan sebagai hak ulayat yang merupakan hak atas penguasaan atas tanah yang tertinggi dari masyarakat hukum adat. Kelompok masyarakat adat ini merupakan kesatuan yang mempunyai wilayah tertentu, mempunyai kesatuan hukum, mempunyai penguasa dan memiliki kekayaan


(54)

tersendiri.45

Hak ulayat berlaku keluar dan ke dalam. Berlaku keluar, karena bukan warga masyarakat hukum pada prinsipnya tidak diperbolehkan turut mengenyam/menggarap tanah yang merupakan wilayah persekutuan yang bersangkutan. Hanya dengan seizin persekutuan serta membayar ganti rugi orang luar dapat memperoleh kesempatan untuk ikut serta menggunakan tanah ulayat. Berlaku ke dalam, karena hanya persekutuan dalam arti seluruh warganya yang dapat memetik hasil dari tanah beserta segala tumbuhan dan binatang yang hidup dalam wilayah persekutuan. Hak persekutuan itu pada hakikatnya membatasi kebebasan usaha para warga sebagai perorangan, demi kepentingan persekutuan.46

Seiring dengan perkembangan kehidupan, maka penggunaan tanah ulayat tidak hanya digunakan untuk memenuhi kebutuhan bersama, tetapi juga anggota masyarakat diperbolehkan menggunakan sebagian tanah ulayat untuk dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan masing-masing. Proses penguasaan individu ini terus berlangsung secara turun temurun dan diakui oleh masyarakat hukum adat.Selama dalam penggunaan tanah tersebut sesuai dengan peraturan yang berlaku maka anggota masyarakat lain harus menghormatinya dan tidak boleh mengganggunya. Apabila diterlantarkan dalam jangka waktu tertentu, atau diperlukan untuk kepentingan yang lebih luas, maka penguasa adat dapat menentukan peruntukan dan penggunaan selanjutnya.

Lahirnya pemilikan tanah bagi individu umumnya diawali pembukaan tanah yang diberitahukan kepada kepala persekutuan hukum dan diberikan tanda bahwa tanah itu akan digarap. Tanda itu, merupakan tanda pelarangan sehingga hasil pohon, tanah ataupun rumah yang ada hanya untuk yang berkepentingan saja, orang lain tidak boleh menggunakan dan mengambil hasilnya. Bentuk usaha seperti ini bersifat sementara, merupakan hak

45Patittingi Farida.Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adatwww.asdarfh.wordpress.com diakses

3 Juli 2012


(55)

memungut hasil (genotsrecht), setelah panen ditinggalkan dan menggarap tanah di tempat lain yang belum pernah dibuka. Walaupun hak memungut hasil hanya satu sampai dua musim saja, hal ini tidak menghilangkan hubungan antara penggarap dengan tiap-tiap ladang yang pernah digarap, Biasanya setelah tiga tahun penggarap kembali ke ladang yang ditinggalkan sehingga hubungan ini dapt diwariskan ke anak cucunya. Ladang berpindang bersifat ladang milik. Dengan demikian hak milik diperoleh dengan pembukaan tanah, setelah lebih dulu dibuat tanda-tanda batasnya.47

Dalam konsepsi hak bersama, para anggota masyarakat diliputi suasana magis religius(pemikiran yang melihat kejadian-kejadian atau usul-usul tidak berdasarkan pada pemikiran yang bersifat rasional atau akal) sebagai keyakinan bahwa tanah merupakan karunia dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu mereka menyadari kewajibanya untuk menjaga, menggunakan, serta memelihara dengan baik sesuai dengan norma-norma sebagai kristalisasi nilai luhur kehidupan yang telah dibentuk dan dihormati dulu. Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa mengenai proses lahirnya hak individu yang merupakan awal kepemilikan atas tanah menurut hukum adat, pada dasarnya meliputi unsur:48

1. Penguasaan secara individu dan turun temurun

2. Penguasaan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya

3. Pemanfaatan tanah dengan tetap memelihara keselarasan kepentingan individu dan masyarakat

4. Memperoleh pengakuan dari penguasa adat dan dihormati oleh tetangga berbatasan dan masyarakat adat lainnya

47Rustandi Ardiwilaga, 1962,Hukum Agraria Indonesia, Masa Baru, Jakarta, hal 47-48 48Soerojo Wignjodipoere,Op.Cit, hal 37


(56)

5. Penguasa adat mempunyai kewenangan mengatur peruntukan dan penguasaan tanah

6. Ada hubungan yang bersifat “magis religius” antara manusia dan tanah

Kehati-hatian terhadap roh halus tersebut mempunyai dampak yang positif terhadap tanah, dimana mereka tidak mau merusak tanah, mereka takut melakukan pelanggaran-pelanggaran yang telah ditentukan oleh ketua Persekutuan Hukumnya, karena jika dilanggar akan merupakan perlakuan jahat terhadap roh tersebut.

Hubungan seperti di atas menghambat pula pada hubungan antara individu, dimana jika terjadi seseorang yang membuka tanah/lahan dan dapat dipertahankan lebih dari waktu 1 atau 2 kali musim panen, maka hubungan antara individu dengan tanahnya tersebut dipandang sebagai hubungan yang lebih erat lagi sehingga lama kelamaan timbul pengakuan bahwa tanah tersebut telah direstuai sebagai miliknya. Akibat selanjutnya timbul perkembangan dari hak ulayat menjadi hak milik menurut hukum adat.

Desa Pamah hal semacam inipun ada dijumpai, dimana para pendatang yang tidak semarga dengan marga tanah selaku pendiri desa, bagi mereka juga diberi lahan oleh marga tanah tersebut untuk dimanfaatkan. Namun oleh karena pada pendatang ini secara terus menerus memanfaatkan lahan tersebut, sehingga pada akhirnya tanah-tanah tersebut menjadi hak milik bersama dari pendatang yang khususnya marganya


(1)

tersebut sehingga tanah milik bersama tersebut memiliki jaminan kepastian dan perlindungan hukum, dan untuk tanah-tanah yang dapat ditanami lagi karena di sekitar tanah tersebut sudah menjadi areal hutan dan irigasi untuk warga Desa pamah maka tanah tersebut oleh Kepala Desa dan instasi terkait juga sudah ikut mendukung eksistensi dari tanah ulayat Desa pamah Kecamatan Tanah Pinem, yaitu dengan mengadakan program pelestarian dan perlindungan tanah-tanah milik adat/ulayat yang dilakukan setiap tahun.

3. Masyarakat Desa Pamah Kecamatan Tanah Pinem di dalam memanfaatkan tanah ulayat tersebut telah dijadikan lahan permukiman transmigarsi, dengan cara mendaftarkan tanah-tanahnya agar mendapatkan bukti kepemilikan tanah yang kuat (sertifikat tanah) Serta jika terjadi sengketa tanah antar masyarakat Desa Pamah dengan para pendatang dalam hal kepemilikan tanah dengan penggantian ganti rugi semua hal-hal yang menyangkut penggantirugian tersebut dituangkan dalam berita acara atau surat perdamaian (bukti otentik), sehingga menjadi bukti yang kuat bagi pendatang agar tidak timbul lagi tuntutan dari keturunan/pewaris masyarakat desa pamah.

B. Saran- Saran

Berdasarkan kenyataan yang ada dimana ada beberapa tanah milik adat yang dikuasai pihak lain, maka untuk menghindari hal tersebut terjadi lagi maka disarankan beberapa hal sebagai berikut :


(2)

prajuru/pengurus dari Desa Pamah berperan secara aktif untuk menginventarisasi/mendata dan mengurus tanah-tanah milik adat. Dan aktif mencari informasi program pemerintah mengenai pendaftaran tanah milik adat yang dibiayai oleh pemerintah daerah.Hendaknya tanah ulayat masyarakat hukum adat yang masih ada dinyatakan dalam peta dasar pendaftaran tanah dengan membubuhkan suatu tanda kartografi dan apabila memungkinkan menggambarkan batas-batasnya serta mencatatnya dalam daftar tanah. Sedangkan penguasaan bidang-bidang tanah yang termasuk tanah ulayat oleh perseorangan dan badan hukum dapat dilakukan oleh warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan dengan hak penguasaan menurut ketentuan hukum adatnya yang berlaku, yang apabila dikehendaki oleh pemegang haknya dapat didaftarkan sebagai hak atas tanah yang sesuai menurut ketentuan Undang-Undang Pokok Agraria

2. Untuk tanah-tanah milik adat yang belum didaftarkan agar segera didaftarkan sehingga untuk tanah milik ulayat tersebut mendapat perlindungan dan kepastian hukum.

3. Bagi pemerintah jika mengadakan program pendaftaran tanah milik ulayat agar sosialisasinya menyebar secara luas, sehingga Desa Pamah yang letaknya jauh dapat mengetahui akan program tersebut.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

A. Buku/Literatur

Achmad Chulaemi, Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak atas Tanah Dan Pemindahanya,Semarang : FH UNDIP, l993.

Adrian Sutedi, Peralihan Hak Atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Cetakan kedua, Jakarta, 2008.

Afriza,Negara dan Konflik Agraria: Studi Kasus pada Komunitas Pusat Perkebunan Kelapa Sawit Berskala Besar di Sumatera Barat, (Padang : Jurusan Sosiologi FISIP Universitas Andalas), 2008.

Al Rasyid, Harun,Sekilas TentangJual-Beli Tanah,Jakarta : Ghalia Indonesia. 1987 Aminuddin Salle,Hukum Pengadaan Tanah untuk Kepentingan Umum, Kreasi Total

Media Yogyakarta. 2007.

Azias Dahlan,Ensiklopedi Hukum agama, Ichtiar baru van Hoeve, Jakarta, 1977. BN. Marbun,Kamus HIC Indonesia, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2006

Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA Isi dan Pelaksanaanya.Jakarta: djambatan. 1999.

Boedi Harsono,Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung : Alumni, 2000.

Budi Agustino.Kebijakan Perburuhan di Sumatera Timur. Medan, Yayasan Akatiga, 1995

Bushar Muhamad, 2000, Pokok-pokok Hukum Adat, Penerbit Pradya Paramitha, Jakarta

Bramantyo dan Nanang Indra Kurniawan, Hukum Adat dan HAM, Modul Pemberdayaan Masyarakat Adat, PT Remaja Rosdakarya Bandung, 2004 Dharmayua, Made. Suathawa, 2001,Desa Adat : Kesatuan Masyarakat Hukum Adat


(4)

Praktisi Hukum,Jakarta : Rajawali Press, l99l.

Fakih, M., ‘Tanah sebagai Sumber Krisis Sosial Masa Mendatang: Sebuah Pengantar,” dalam Tanah, Rakyat dan Demokrasi, YogyakartaForum LSM-LPSM DIY, 1995.

Hadikusuma, Hilman,Hukum Perjanjian Adat, Bandung : Alumni. 1982.

Hazairin,Sekelumit Persangkutpautan Hukum Adat dalam tujuh Serangkaian tentang Hukum, Penerbit Tirta Mas, Jakarta 1994

Hi.Rizani Puspawidjaja,Hukum Adat Dalam Tebaran Pemikiran,Penerbit Universitas Bandar Lampung, Lampung, 2006.

Imam Sudiyat,Asas-Asas Hukum Adat,Pengatar Liberty, Yogyakarta, 1991

Iman Soetiknyo, Politik Agraria Nasional: Hubungan Manusia dengan tanah yang Berdasarkan Pancasila. Jogjakarta: Penerbit UGM, 1990.

J.J.J M. Wuisman, dengan penyunting M. Hisman.Penelitian Ilmu-Ilmu Sosial,Jilid. 1, Jakarta: Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 1996.

Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Normatif, (Bandung : Remaja Rosdakarya 1993)

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu Dan Penelitian, Bandung: Penerbit Mandar Madju, 1994.

Maria S. W. Sumardjono, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian, Yogyakarta: Gramedia, 1989

Mahadi, Uraian Singkat tentang Hukum Adat sejak RR tahun 1854, Bandung : Penerbit Alumni, 1991

Muhammad Bakri,Hak Menguasai Tanah Oleh Negara, Citra Media, Jakarta, 2007 Rais, Kamardi H. 2004. Status Tanah Ulayat dan Potensinya. Padang : Padang

Ekspress

Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, Penerbit Ghalia Indonesia, Jakarta, 1990.


(5)

Rustandi Ardiwilaga,Hukum Agraria Indonesia, Masa Baru, Jakarta, 1962

Sajuti Thalib, Hubungan Tanah Adat dengan Hukum Agraria, Bina Aksara, Sumatera Barat, 1985.

Subekti, R., Aneka Perjanjian, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995.

Suryo Wignjodipuro, Pengantar & Asas Hukum Adat. Jakarta : Raja Grafindo, l990. Soedarhyo Soimin, Status Hak Dan Pembebasan Tanah, Jakarta : penerbit Sinar

Grafika, 200l.

Syafruddin Kalo, Kapita Selekta Hukum Pertanahan : Studi Tanah Perkebunan di Sumatera Timur. Medan,USU Press, 2005.

Ter Haar, Asas-Asas dan Susunan Hukum Adat, Bandung ; Sumur Batu, 1985.

Wignyodipoera, Soerojo, Pengantar dan Asas-asas Hukum Adat. CV. Haji Masagung. Jakarta, 1994.

B. Website/Internet

http://karobukanbatak.wordpress.com/2011/03/28/tanah-pinem/ diakses 8 Februari 2012

http://blogingria.blogspot.com/2012/03/hukum-tanah-adat.html diakses 3 Juli 2012 http://bwi.or.id/index.php?option=com diakses 3 Juni 2012

http://raimondfloralamandasa.blogspot.com/2008/07/eksistensi-hak-ulayat-dalam-hukum-di.html diakses 3 Juli 2012

http://achmadrhamzah.blogspot.com/2010/12/eksistensi-hak-ulayat-di-indonesia.html diakses 3 Juni 2012

http://maulanahealth.blogspot.com/2009/07/hukum-tanah-adat.html diakses 3 Juli 2012

C. Peraturan-Peraturan


(6)

Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat D. Undang-Undang

KUH Perdata

Undang – Undang Dasar 1945

Undang – Undang No. 5 Tahun 1960 tentangPeraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan