b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai
hukum primer, seperti rancangan Undang-undang Pemasyarakatan, Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan lain-lain.
c. Bahan hukum tertier atau bahan hukum penunjang, yaitu bahan yang
memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, berupa kamus, ensiklopedia, jurnal-jurnal ilmiah, majalah,
surat kabar dan sebagainya yang dipergunakan untuk melengkapi ataupun menunjang data penelitian.
81
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa: a.
Penelitian kepustakaan, yaitu meneliti sumber bacaan yang berhubungan dengan topik bahasan dalam penelitian berupa peraturan-peraturan hukum, buku-buku
teks, artikel, dan jurnal serta dokumen lain yang berhubungan dengan permasalahan yang diteliti.
b. Penelitian lapangan yaitu, dengan teknik wawancara dengan nara sumber dari
narapidana, mantan narapidana, petugas lembaga pemasyarakatan dan Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kelas II B Siborongborong dan masyarakat, pendapat-
pendapat atau tulisan para ahli atau pihak lain berupa informasi baik dalam
81
Lihat Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum Suatu Pengantar, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 195, dan Soerjono Soekanto, “et.al”., Penelitian Hukum
Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003, hlm. 13.
bentuk formil maupun melalui naskah resmi yang dijadikan sebagai landasan teoritis.
4. Analisa Data
Seluruh data yang diperoleh dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa secara kualitatif, kemudian diolah dengan solusi dari permasalahan dalam
penelitian ini. Analisis dilakukan dengan mengumpulkan peraturan perundang- undangan dengan melakukan pemilihan pasal-pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum
yang terkait dengan tata cara pembinaan narapidana dan mengumpulkan teori-teori yang ada terkait dengan judul penelitian. Dengan demikian kegiatan analisis ini
diharapkan akan dapat menghasilkan kesimpulan dengan permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat.
Dalam menganalisis data yang diperoleh akan digunakan cara berfikir yang bersifat induktif. Dengan metode induktif diharapkan akan diperoleh jawaban
permasalahan. Cara berpikir deduktif akan digunakan untuk menggambarkan bentuk- bentuk pembinaan terhadap narapidana residivis.
BAB II PENYEBAB TERJADINYA TINDAK PIDANA RESIDIVIS DAN
PENGATURANNYA DALAM SISTEM HUKUM PIDANA DI INDONESIA
A. Tinjauan Umum Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong
Lembaga Pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong merupakan wadah untuk menampung narapidana dan tahanan untuk dididik dan
dibina berdasarkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Lembaga pemasyarakatan Siborongborong Klas IIB Siborongborong berdiri sejak Tahun 1992.
Kondisi bangunan cukup baik, bersih, nyaman dan sejuk karena terisolir jauh dari kota atau keramaian. Namun melihat kondisi sekarang, di LP tersebut perlu
dibuat pembatasan area agar pengawasan para napi dan tahanan bisa lebih diperketat agar terhindar dari peredaran narkoba yang sengaja didatangkan dari luar dengan
alasan menjenguk atau bertamu kepada para Napi. Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong merupakan salah satu
lapas terbaik di wilayah Sumatera Utara dengan pelaksanaan program Bulan Tertib Pemasyarakatan Buterpas yang selama ini dijalankan. Hal ini terbukti dengan
diterimanya Penghargaan Juara III Nasional Lapas Terbaik di Indonesia oleh Menteri Hukum dan Ham. penghargaan ini diberikan kepada UPT Pemasyarakatan yang telah
sungguh-sungguh melaksanakan program Buterpas yang dicanangkan oleh Menteri Hukum dan HAM pada tanggal 14 Februari 2008 di Rumah Tahanan Negara Rutan
Salemba Jakarta. Program ini tidak hanya berlaku satu bulan saja, tetapi berkelanjutan
dan selalu direvisi secara terus menerus. Pemberian penghargaan seperti ini akan terus dilakukan pada momen-momen penting.
Dikatakan, sekarang ini keluar masuk pengunjung ke LP Siborongborong dilakukan secara ketat, bahkan tamu yang datang tidak diperbolehkan memberikan
uang secara langsung. Jika ada pemberian uang kepada napi atau tahanan harus dilakukan dengan penukaran kupon yang sudah disediakan. Hal ini menjaga jika napi
atau tahanan dapat melarikan diri, tidak dapat membelanjakan kupon tersebut. Penghuni LP Siborongborong pada Tahun 2008 berjumlah 203 orang, terdiri dari 165
napi dan 38 tahanan. 34 di antaranya terlibat kasus Narkoba yang didominasi narapidana pindahan dari Rutan Kelas I Medan, Lapas Klas I Medan, Lapas Klas IIA
Binjai, Lapas Klas IIB Tebing Tinggi, Lapas Klas IIA Siantar, Lapas Klas IIA Rantau Prapat dan Lapas Klas IIA Sibolga.
Tabel 1 Penghuni LP Siborongborong
No Kapasitas Narapidana
Tahanan Jumlah
1 150 165
38 203
Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong
82
Selanjutnya jenis kejahatan yang dilakukan oleh tahanan maupun narapidana dapat dilihat dari tabel di bawah ini:
82 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
Tabel 2 Jenis Kejahatan Yang Menonjol Tahun 2008 No. Jenis
Kejahatan Jumlah
1. Narkotika 73
2. Pencurian 35
3. Pembunuhan 9
4. Penganiayaan 19
5. Pemerasan 22
6. Penggelapan 7
7. Penipuan 2
8. Terhadap Kamtib
1 9. Perampokan
23 10. Dan
lain-lain 14
Jumlah 203
Sumber : Data Primer Lapas Klas IIB Siborongborong
83
Lapas Klas IIB Siborong-borong dipimpin oleh seorang Kepala Lembaga Pemasyarakatan Kalapas yang saat ini dijabat Sardiaman Purba, Bc.IP, SH. Adapun
Stuktur organisasi Lapas Klas IIB Siborong-borong dapat dilihat pada gambar di bawah ini:
83 Sumber data diperoleh dari Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
KALAPAS
SEKSI BIMBINGAN
NARAPIDANA ANAK DIDIK
SUB BAGIAN TATA USAHA
PETUGAS PENGAMANAN
KPLP
URUSAN UMUM
URUSAN KEPEGAWAIAN
DAN KEUANGAN
SUB SEKSI KEGIATAN
KERJA SUB SEKSI
REGISTRA SI
SUB SEKSI PERAWAT
AN SEKSI ADMIN
KAMTIB
SUB SEKSI KEAMANAN
SUB SEKSI PELAPORAN DAN
TATA TERTIB
Skema 1 Struktur Organisasi LAPAS KLS II B Siborongborong
30
Torkis F. Siregar : Bentuk Pembinaan Residivis Untuk Mencegah Penanggulangan Tindak Pidana Di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Siborongborong, 2009
B. Pengertian
Recidive Residivis
Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat
diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya.
84
Atau apabila “Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik
yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim.
85
Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau
residivisme, yaitu: 1.
Pelakunya adalah orang yang sama 2.
Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.
3. Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara
yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut. 4.
Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum tetap.
5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
84 Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8
85 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiwa, hlm.233.
Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah “kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah
dihukum karena melakukan perbuatan itu.”
86
Selanjutnya Recidivism juga diartikan sebagai orang yang telah menjalankan kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu
kejahatan yang sama.
87
C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana
Recidivis 1.
Stigmatisasi Masyarakat
Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang,
dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi
perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah kreatipitas manusia untuk mengatasinya, sedangkan dampak negatif dari
penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat,
yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya.
86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416. 87 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Lintas Media,
Jakarta, hlm. 215.
Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi
terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan proses
pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam
lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang
jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya.
88
Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain
untuk melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Desa Pasar Siborongborong-Tapanuli Utara : “ secara pribadi masih ada rasa
khawatir terhadap mantan narapidana, namun walaupun demikian kita sebagai kepala desa ada melakukan pendekatan secara bathin dan kekeluargaan, walaupun di dalam
hati ada rasa khawatir, kwatirnya bukan apa-apa, takut nantinya mempengaruhi yang lainnya. ‘’
89
88 Didin Sudirman “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok,
2006 hal 52. 89 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Pasar Siborongborong –Tapanuli Utara.
Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat
yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana, sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan
mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan BAPAS tidak
mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari
pekerjaan di luar LAPAS. Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas
pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian keterampilan kerjanamun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai
menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan LAPAS sendiri belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri
dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat.
Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun
pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi
narapidana atau mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha
sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang
dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana
terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut : a.
Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan primary deviation seperti melempari rumah tetangganya dengan batu.
b. Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut
menjadi marah c.
Anak muda tersebut melakukan reaksi sosialprimary deviation dengan
melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman. d.
Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak tersebut.
e. Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih
serius, ia melakukan pencurian tokomasih primary deviation. f.
Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile Delinquency di pengadilan.
g. Anak muda itu kemudian di beri label delinquency nakal jahat oleh
pengadilan dan bad burukjelek oleh tetangganya, teman- temannya dan oleh orang lain.
h. Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency
dan bergabung dengan anak-anak muda tidak baik i.
. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius Secondary deviation, seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya
j. Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan
kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup yang sepenuhnya menyimpang.
90
Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap dan
ditahan, terjadilah pemberian cap label terhadap anak muda tersebut terjadilah stigmatisasi terhadap yang bersangkutan, yang kemudian anak muda tersebut
dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan
berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label cap yang sama. Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya
stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat
90 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 101
timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.
2. Dampak dari
Prisonisasi
Dalam kaitannya dengan sistem pemasyarakatan, masalah prisonisasi bukanlah hal yang baru, dimana prisonisasi sendiri diartikan sebagai proses
terjadinya pengaruh negatif buruk yang diakibatkan sistem nilai yang berlaku dalam budaya penjara. Pada saat dicetuskannya sistem pemasyarakatan oleh Sahardjo pada
tahun 1963, salah satu asumsi yang dikemukakan adalah bahwa Negara tidak berhak memnbuat orang lebih buruk atau jahat pada saat sebelum dan dipenjara, asumsi ini
secara langsung menunjukkan adanya pengakuan bahwa tindakan pemenjaraan secara potensial dapat menimbulkan dampak negatife, sebagaimana yang dinyatakan dalam
Poin 53, Implementation The Standard Minimum Rules For The Treatment Of Prisoners Implementasi SMR yang berbunyi ;“ Tujuan-tujuan pembinaan dalam
rangka pemasyarakatan cenderung berbelok kearah yang menyimpang, karena terpengaruh kekuatan-kekuatan yang merusak yang terdapat di dalam hubungan para
penghuni.
91
Sehingga dari sini dapat di jelaskan bahwa ajaran-ajaran sosiologis mengenai masyarakat lembaga Pemasyarakatan LAPAS telah menunjukkan bahwa Lembaga
Pemasyarakatan dengan peraturan-peraturan keamanan maksimum terdapat suatu
91 Didin Sudirman “ Masalah-masalah Aktual Bidang Pemasyarakatan “ Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok,
2006
pertumbuhan kehidupan yang menghambat kemungkinan integrasinya narapidana kali dapat membuat tumbuhnya sifat-sifat kelainan pada narapidana, dengan lebih
memperlihatkan ciri-ciri persamaannya dengan pola-pola penjahat serta ciri-ciri perbuatan jahatnya.
Terjadinya penyimpangan sendiri didalam masyarakat penjara diakibatkan oleh kekuatan-kekuatan yang merusak di dalam kehidupan para penghuni penjara,
sebagaimana yang telah diketahui bahwa kehidupan seseorang selama berada didalam penjara tidak sebebas orang yang berada di luar tembok penjara.
Tingkat kenaikan dan penurunan residivis selain merupakan indikator berhasil atau tidaknya suatu pembinaan terhadap narapidana tetapi juga dipengaruhi oleh
faktor lingkungan yang berkembang dalam masyarakat seperti susahnya mencari pekerjaan, tidak adanya tempat untuk berteduh atau kesejahteraan di dalam Lapas
yang lebih terjamin daripada apabila mereka berada di luar lapas. Data-data yang terkumpul narapidana Siborongborong yang pernah
melakukan pengulangan tindak pidana dalam lima tahun terakhir dapat dilihat dalam tabel di bawah ini:
Tabel 3 Daftar Nama Narapidana Residivis LAPAS Klas II B Siborongborong
No No Reg
Nama Perkara Hukuman
Tgl Bebas Reg
Sekarang Hukuman
1 2
3 4
5 6
7 8
9 10
3600 0901
1001 1201
1402 1802
2102 3102
3502 4302
Ferdinan Siahaan Usman Bangun
Ratin Tarigan Binsar Ginting
Iswandi Maniti Simanullang
Tomi Pasaribu Samud Tumanggor
Darwin Simbolon Sahar
Pembunuhan Narkotika
Narkotika Pembunuhan
Narkotika Penganiayaan
Pembunuhan Penganiayaan
Pemerkosaan Narkotika
10 tahun 07 tahun
07 tahun 06 tahun
05 tahun 05 tahun
05 tahun 05 tahun
06 tahun 08 tahun
15-04-2005 PB 17-08-2005
17-08-2005 05-01-2005
12-08-2005 17-08-2005
19-07-2005 25-12-2005
17-08-2005 13-04-2005
1207 7907
2206 2405
2506 2906
2106 4008
5206 6106
06 tahun 05 tahun
06 tahun 06 tahun
06 tahun 07 tahun
03 tahun 04 tahun
04 tahun 05 tahun
11 12
13 2301
2601 2701
Saragih Rikson Tambunan
Jainal Sianipar Pembunuhan
Pembunuhan Pembunuhan
12 tahun 11 tahun
11 tahun 27-12-2006 PB
18-09-2006 PB 04-03-2006 PB
2407 2607
7606 10 tahun
07 tahun 06 tahun
39
40
No
14 15
16 17
18 19
20 21
22 23
24 25
No Reg
2801 1202
1702 2702
2802 3202
4202 4602
4802 0303
1306 1906
Nama
Surung Sianipar Radianson Purba
Janes Situmeang Azmi Rizal
Sadrak Marbun James L. Gaol
Pansius Sianturi Nasarudin Tanjung
Andi Mulia Asnawi
Jhon Willi Saragih Damero nainggolan
Perkara
Pembunuhan Pembunuhan
Narkotika Pembunuhan
Perampokan Pembunuhan
Narkotika Narkotika
Narkotika Narkotika
Pencurian Pencurian
Hukuman
12 tahun 09 tahun
09 tahun 06 tahun
09 tahun 07 tahun
08 tahun 06 tahun
08 tahun 05 tahun
01 thn 06 bln 01 thn 02 bln
Tgl Bebas
02-03-2006 PB 17-08-2006
30-08-2006 16-05-2006
23-05-2006 PB 12-02-2006 PB
29-03-2006 17-08-2006
08-02-2006 13-05-2006
17-08-2007 04-06-2008
Reg Sekarang
2108 2708
1908 2907
4808 4408
2606 6707
1707 0309
2808 1109
Hukuman
06 tahun 05 tahun
05 tahun 05 tahun
05 tahun 06 tahun
08 tahun 05 tahun
05 tahun 06 tahun
2 tahun 2 tahun
Sumber: Data Primer Kasi Binadik Lembaga Pemasyarakatan Klas IIB Siborongborong
Lanjutan Tabel 3
D. Pengertian Residivis dalam Sistem Hukum Pidana di Indonesia
KUHP tidak ada mengatur tentang pengertian dari pengulangan recidive secara umum. Namun ada beberapa pasal yang disebutkan dalam KUHP yang
mengatur tentang akibat terjadinya sebuah tindakan pengulangan recidive. Ada dua kelompok yang dikategorikan sebagai kejahatan pengulangan recidive, yaitu:
1. Menyebutkan dengan mengelompokkan tindak-tindak pidana tertentu dengan syarat-syarat tertentu yang dapat terjadi pengulangannya.
Pengulangan hanya terbatas pada tindak pidana-tindak pidana tertentu yang disebutkan dalam Pasal 486, Pasal 487 dan Pasal 488 KUHP.
2. Di luar kelompok kejahatan dalam Pasal 386 sampai dengan Pasal 388, KUHP juga menentukan beberapa tindak pidana khusus tertentu yang
dapat terjadi pengulangan, misalnya Pasal 216 ayat 3 KUHP, Pasal 489 ayat 2, Pasal 495 ayat 2 dan Pasal 512 ayat 3.
92
Mengingat pentingnya tujuan pidana sebagai pedoman dalam pemberian atau
menjatuhkan pidana dimuat dalam konsep Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana KUH Pidana Nasional 2000. Di samping itu juga adanya perkembangan
pemikiran mengenai teori pemidanaan mengakibatkan para sarjana berpikir untuk merumuskan tujuan pemidanaan yang ideal. Di samping itu dengan adanya kritik-
kritik mengenai dasar pemidanaan yang menyangkut hubungan antara teori pidana, pelaksanaan pidana dan tujuan yang hendak dicapai serta hasil yang diperoleh dari
penerapan pidana. Dalam perkembangannya, pengulangan tindak pidana dapat dibagi menjadi
beberapa golongan, yaitu:
92 Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 2, Jakarta: Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2002. hlm.. 81.
1. Pengulangan tindak pidana menurut ilmu kriminologi, dibagi dalam
penggolongan pelaku tindak pidana sesuai dengan perbuatan-perbuatan yang dilakukan, yaitu:
a. Pelanggar hukum bukan residivis mono deliquentpelanggar satu
kalifirst offenders yaitu yang melakukan hanya satu tindak pidana dan hanya sekali saja.
b. Residivis yang dibagi lagi menjadi:
1 Penjahat yang akut yaitu meliputi pelanggar hukum yang bukan
residivis dan mereka yang berkali-kali telah dijatuhi pidana umum namun antara masing-masing putusan pidana jarak waktunya jauh,
atau perbuatan pidananya begitu berbeda satu sama lain sehingga tidak dapat dilakukan ada hubungan kriminalitas atau dengan kata
lain dalam jarak waktu tersebut misalnya 5 tahun menurut Pasal 486, 487 dan 488 KUHP Indonesia atau 2 tahun menurut pasal 45
KUHP Indonesia 2
Penjahat kronis, adalah golongan pelanggar hukum yang telah mengalami penjatuhan pidana yang berlipat ganda dalam waktu
singkat di antara masing-masing putusan pidana
3 Penjahat berat,
93
yaitu mereka yang paling sedikit telah dijatuhi pidana 2 kali dan menjalani pidana berbulan-bulan dan lagi
mereka yang karena kelakuan anti sosial sudah merupakan kebiasaan atau sesuatu hal yang telah menetap bagi mereka.
4 Penjahat sejak umur muda. Tipe ini memulai karirnya dalam
kejahatan sejak ia kanak-kanak dan dimulai dengan melakukan kenakalan anak.
Kritikan tersebut dapat berpengaruh besar terhadap proses pembuatan rancangan KUH Pidana Nasional yang telah rampung pada Tahun 2000 yang lalu dan
telah disosialisasikan sejak bulan Desember Tahun 2000. “Konsep KUH Pidana Nasional tersebut telah mengalami beberapa perubahan mulai dari konsep Tahun
19711972, konsep KUH Pidana 19821983, konsep KUH Pidana 1993 dan yang terakhir konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000.”
94
Dari sudut ilmu pengetahuan hukum pidana, pengulangan tindak pidana dibedakan atas 3 tiga jenis, yaitu:
1. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan cakupannya antara lain:
a. Pengertian yang lebih luas yaitu bila meliputi orang-orang yang melakukan
suatu rangkaian kejahatan tanpa diselingi suatu penjatuhan pidana condemnation.
93 Friedrich Stumpl dikutip oleh Stephen Hurwitz dalam bukunya Kriminologi Sansuran Ny. L. Moeljatno, hlm. 161.
94 Mulyana W. Kusumah, Loc. Cit.
b. Pengertian yang lebih sempit yaitu bila si pelaku telah melakukan kejahatan
yang sejenis homologus recidivism artinya ia menjalani suatu pidana tertentu dan ia mengulangi perbuatan sejenis tadi dalam batas waktu tertentu
misalnya 5 lima tahun terhitung sejak terpidana menjalani sama sekali atau sebagian dari hukuman yang telah dijatuhkan.
2. Pengulangan tindak pidana yang dibedakan berdasarkan sifatnya antara lain:
a. Accidentale recidive yaitu apabila pengulangan tindak pidana yang
dilakukan merupakan akibat dari keadaan yang memaksa dan menjepitnya b.
Habituele recidive, yaitu pengulangan tidak pidana yang dilakukan karena si pelaku memang sudah mempunyai inner criminal situation yaitu tabiat
jahat sehingga kejahatan merupakan perbuatan yang biasa baginya 3.
Selain kepada kedua bentuk di atas, pengulangan tindak pidana dapat juga dibedakan atas:
a. Recidive umum, yaitu apabila seseorang melakukan kejahatantindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatantindak pidana dalam bentuk apapun maka terhadapnya dapat dikenakan pemberatan
hukuman.
95
b. Recidive khusus yaitu apabila seseorang melakukan kejahatantindak pidana
yang telah dikenai hukuman, dan kemudian ia melakukan kejahatantindak
95 Utrecht E, Hukum Pidana II Rangkaian Sari Kuliah, Pustaka Surabaya Tinta Mas, hlm. 200.
pidana yang sama sejenis maka kepadanya dapat dikenakan pemberatan hukuman.
96
Sejak Tahun 1972 hal mengenai tujuan pemidanaan telah menjadi pemikiran para perancang undang-undang. Hal ini terbukti dengan telah diaturnya tujuan
pemidanaan dalam Pasal 2 konsep Tahun 19711972, selengkapnya Pasal 2 konsep Undang–undang Hukum Pidana Tahun 1971-1972 menentukan:
1. Maksud tujuan pemidanaan: a
Untuk mencegah dilakukannya tindak pidana demi pengayoman negara, masyarakat dan penduduk;
b Untuk membimbing terpidana agar insyaf dan menjadi anggota
masyarakat yang berbudi baik dan berguna; c
Untuk menghilangkan noda-noda yang diakibatkan oleh tindak pidana
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Kemudian tujuan pemidanaan tersebut mengalami perubahan pada konsep
KUH Pidana Tahun 19821983, Buku I menyatakan bahwa tujuan pemberian pidana adalah:
1. Pemidanaan bertujuan untuk:
a Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum
96 Ibid.
dari pengayom masyarakat; b
Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bermasyarakat;
c Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan
keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; d
Membebaskan rasa bersalah para terpidana. 1.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Dalam konsep rancangan KUH Pidana Nasional Tahun 19911992 tujuan pidana ditentukan sebagai berikut:
1. Pemidanaan bertujuan untuk: a
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum dari pengayom masyarakat;
b Mengadakan koreksi terhadap terpidana dan dengan demikian
menjadikan orang yang baik dan berguna serta mampu untuk hidup bernasyarakat;
c Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana,
memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat;
d Membebaskan rasa bersalah para terpidana.
2. Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak
diperkenankan merendahkan martabat manusia. Dalam konsep KUH Pidana Nasional Tahun 2000 mengenai tujuan
pemidanaan secara tegas diatur dalam Pasal 50, yaitu: 1.
Pemidanaan bertujuan untuk: a
Mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayom masyarakat;
b Memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan
sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna; c
Menyelesaikan konflik yang disebabkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat; d
Membebaskan rasa bersalah para terpidana. 2.
Pemidanaan tidak dimaksudkan untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia.
Pengulangan recidive juga diatur secara umum dalam Buku I sebagai alasan pemberatan pidana yang umum. Jadi berbeda dengan KUHP saat ini, yang
mengaturnya sebagai alasan pemberatan pidana yang khusus untuk delik-delik tertentu diatur dalam Buku II dan III. Dikatakan ada “pengulangan” menurut
Konsep Pasal 23, apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 lima tahun sejak :
1. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan;
2. Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau
3. Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.
Pemberatan pidananya diatur dalam Pasal 132 KUHP, yaitu maksimumnya diperberat sepertiga. Salah satu unsur yang menentukan terjadinya kejahatan residive
adalah berdasarkan waktu terjadinya tindak pidana. Batasan yang dipergunakan, asal surat dakwaan menguraikan suatu tempus delikti yang didasarkan pada perkiraan
yang bersifat fleksibel, yang mengacu pada patokan: 1
sedapat mungkin uraian tempus delikti memuat penegasan waktu yang pasti yang berisi penjelasan jam, tanggal hari, bulan dan tahun secara positip dan
mutlak, 2
bila uraian yang seperti itu tidak dapat dipenuhi, terbuka kebolehan untuk menuturkan uraian tempus delikti yang bersifat perkiraan yang bercorak
dugaan di sekitar bulan dan tahun tertentu tanpa dilengkapi penjelasan jam dan hari tertentu.
Dimungkinkan membuat uraian tempus delikti yang bersifat luas dalam bentuk alternatip dengan mempergunakan perkataan atau kira-kira maupun atau di
sekitar tanggal, bulan dan tahun sekian. Asal tetap terpenuhi persyaratan, uraiannya tetap cermat, jelas dan lengkap.
Dasar pemberat pidana di atas adalah terletak pada keadaan jabatan dari kualitas si pembuat pejabat atau pegawai negeri. Adapun rasio pemberatan pidana
pada kejahatan recidive ini terletak pada 3 tiga faktor, yaitu: “a. Faktor lebih dari satu kali melakukan tindak pidana.
b. Faktor telah dijatuhkan pidana terhadap si pembuat oleh negara karena
tindak pidana yang pertama. c.
Pidana itu telah dijalankannya pada yang bersangkutan. ”
97
Apabila orang melakukan pengulangan tindak pidana dalam waktu 5 lima tahun sejak :
“a. Menjalani seluruh atau sebagian pidana pokok yang dijatuhkan; b.
Pidana pokok yang dijatuhkan telah dihapuskan; atau c.
Kewajiban menjalani pidana pokok yang dijatuhkan belum kedaluwarsa.”
98
Namun ketentuan tentang pemberatan pidana ini tidak berlaku untuk anak- anak. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terdapat Pasal 45, 46 dan Pasal
47 yang mengatur penerapan hukum pidana terhadap anak-anak. Pasal-pasal tersebut antara lain mengandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
Pertama, dalam menuntut orang yang belum cukup umur karena melakukan perbuatan sebelum umur 16 tahun, hakim dapat menentukan: 1 memerintahkan
supaya yang bersalah dikembalikan kepada orangtua atau walinya, tanpa pidana; 2
97 Ibid , hlm. 82. 98 Ibid , hlm. 86.
memerintahkan yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah tanpa pidana; atau 3 menjatuhkan pidana.
Kedua, jika hakim memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada Pemerintah, atau badan hukum tertentu untuk dididik, hal tersebut dilakukan
paling lama sampai umur 18 tahun. Ketiga, jika dijatuhi hukuman pidana, maksimum pidana pokok dikurangi sepertiga; sementara terhadap yang bersalah tidak
diberlakukan hukuman mati atau hukuman seumur hidup. Para penyusun naskah baru KUHP Nasional sudah berfikir lebih maju dengan
mencantumkan pada bagian khusus jenis-jenis pidana dan tindakan bagi anak dengan tidak kurang dari 17 aturan, mulai dari pasal 94-a sampai dengan 94-q, dengan aturan
terpenting antara lain sebagai berikut: Pertama, seorang anak yang melakukan tindak pidana dan belum
berumur 12 tahun, tidak dapat dipertanggungjawabkan. Kedua, pemberatan pidana bagi pengulangan tindak pidana tidak berlaku
bagi anak-anak. Ketiga, pidana penjara yang dijatuhkan kepada seorang anak hanya dapat dilaksanakan dalam penjara yang khusus
diperuntukkan bagi anak.
99
Pasal-pasal yang dirumuskan dalam naskah RUU KUHP Nasional yang baru
tersebut disusun dengan mempertimbangkan, selain aspek-aspek psikologi anak seperti emosional, intelektual dan mental, juga aspek-aspek lingkungan sosial yang
mempengaruhi terjadinya tindak pidana oleh anak-anak, serta penyesuaian dengan perkembangan hukum modern yang menyangkut perlindungan hak-hak anak.
99 Mulyana W. Kusumah, Penegakan Hukum dan Hak-hak Anak, Loc. Cit.
BAB III BENTUK PEMBINAAN TERHADAP RESIDIVIS YANG DIBERLAKUKAN
DI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B SIBORONGBORONG
A. Bentuk Pembinaan Terhadap Narapidana
Untuk mewujudkan pembinaan narapidana di dalam lembaga pemasyarakatan dibutuhkan berbagai upaya, antara lain program pelatihan bagi petugas dan
narapidana, program asimilasi yang teratur dan. mengandung manfaat tidak saja bagi narapidana tetapi jugs bagi masyarakat.
1. Program Pelatihan Bagi Petugas dan Narapidana
Untuk mengisi waktu narapidana agar bermanfaat, ditentukan jadwal-jadwal kegiatan yang dilakukan dari pagi hingga sore harinya setiap hari. Salah satu kegiatan
yang dinilai penting dan manfaatnya besar sekali adalah program pelatihan, baik kepada petugas pemasyarakatan maupun narapidana.
Sebagai petugas mengikuti program pelatihan merupakan keharusan karena mereka langsung berhadapan dengan narapidana. Dengan kata lain terampilnya
narapidana dalam bidang pekerjaan tertentu sangat tergantung kepada keterampilan petugas, oleh karena itu menurut pengakuan petugas, mereka membutuhkan pelatihan
seperti pertukangan, memainkan alat musik, dan senam untuk kesehatan. Perlunya pelatihan untuk petugas, semata-mata demi memenuhi kebutuhan
narapidana. Selama ini bentuk pelatihan yang diberikan kepada petugas hanya bersifat
insidentil dan tergantung dana proyek. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi
Pembinaan, bahwa bentuk pelatihan yang diberikan tidak bersifat rutin, artinya kalau dana dari proyek ada dan itupun tidak setiap tahun mendapat kesempatan, karena
dibagi secara bergilir untuk seluruh Lembaga pemasyarakatan yang ada di Indonesia. Selanjutnya beliau tnengatakan bahwa pelatihan yang diberikan seperti pelatihan
teknis pembinaan, keamanan, kesempatan, HAM, bahkan HIV.
100
Di samping itu sesuai dengan prinsip pemasyarakatan yang mengatakan
pekerjaan yang diberikan kepada narapidana tidak boleh bersifat mengisi waktu, atau hanya untuk kepentingan jawatan atau kepentingan negara saja, akan tetapi pelatihan
diharapkan bermanfaat sebagai bekal hidup di masyarakat. Sebagaimana yang dikemukakan narapidana bahwa program pelatihan
bermanfaat bagi narapidana jika diikuti dengan sungguh-sungguh dalam waktu 3 bulan, dan. sebaliknya menurut narapidana kurang bermanfaat jika tidak tidak
mempunyai modal untuk membuka usaha setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan.
101
Hal ini menunjukkan bahwa narapidana menginginkan pelatihan yang benar-benar berguna dan bermanfaat bagi dirinya sebagai bekal bekerja di
masyarakat, namun sering terkendala dengan modal untuk membuka usaha seperti pertukangan atau yang lainnya.
Program pelatihan keterampilan ini ternyata mendapat respon dari narapidana, karena narapidana berharap pelatihan torsebut dapat dijadikan bekal bekerja di
masyarakat. Di samping pelatihan keterampilan yang diberikan oleh petugaspembina
100 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
101 Ibid
di dalam lembaga pemasyarakatan, ada juga pelatihan keterampilan yang diberikan oleh Dinas Sosial maupun organisasi-organisasi sosial yang datang ke lembaga
pemasyarakatan. Hal ini dikemukakan oleh Kepala Seksi Pembinaan, bahwa pelatihan yang diberikan kepada narapidana oleh Dinas Sosial berupa kursus
pertukangan dengan jangka waktu 3 tiga bulan yang berlangsung di dalam lembaga pemasyarakatan. Selanjutnya beliau mengemukakan kalau dari organisasi sosial, dan
lain sebagainya, pelatihan yang diberikan berupa kerajinan tangan yang berlangsung 2 dua atau 4 empat hari dan paling lama 1 satu minggu.
102
Semua peralatan menjahit, seperti mesin jahit dan alat-alat untuk pelatihan diberikan oleh Dinas Sosial, dan gurunya juga dibawa oleh Dinas Sosial ke lembaga
pemasyarakatan. Namun hal ini tidak bersifat rutin tetapi isidentil, dalam arti jika dana proyek dari Dinas Sosial ada, dan itupun secara bergilir untuk seluruh lembaga
pemasyarakatan yang ada di Sumatera Utara. Biasanya peralatan dan alat-alat kerajinan tangan diberikan oleh Dinas Sosial
ke lembaga pemasyarakatan. Kursus atau pelatihan ini diberikan kepada narapidana sesuai dengan jumlah narapidana yang diminta oleh Dinas Sosial maupun organisasi-
organisasi sosial, misalnya 20 dua puluh orang narapidana atau 40 empat puluh orang narapidana.
Menurut Kepala Seksi pembinaan, kalau 40 empat puluh orang narapidana yang dibutuhkan, maka yang diutamakan adalah narapidana yang akan habis masa
102 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
pidananya, sehingga kursus atau pelatihan yang diberikannya akan berguna bagi narapidana untuk kembali ke masyarakat. Dan biasanya peralatan yang digunakan,
diberikan kepada narapidana yang bersangkutan.
103
Dengan demikian akan bermanfaat bagi narapidana sebagai bekal untuk kembali ke masyarakat. Di samping
itu, pendidikan keterampilan bertujuan antuk membentuk manusia narapidana agar menjadi manusia mandiri, yakni manusia yang akan mendapatkan lapangan kerja
yang sesuai dengan keterampilan yang mereka peroleh selama di lembaga pemasyarakatan.
104
Pekerjaan itu dapat memotivasi narapidana untuk memper-slapkan dirinya kelak bekerja
,
di masyarakat dan pendidikan keterampilan itu harus sesuai dengan pekerjaan di luar. Sebagaimana dikatakan oleh Daniel Glase :
a. That prison have difficulty Procuring enough work for all of their in mates.
b. That incentives are frequently not opi
,
imis fir motivating immates to pursue the prison work than curt ui be most useful to them in their past release life;
c. That record of prison work performance are poor; and
d. That relatively small proportion and released prisioners find employment which
utilities their prison training.
105
103 Wawancara dengan Kepala Seksi Pembinaan dan Pendidikan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, Maret 2009
104 Thaher Abdullah, Pelaksatiaan Pembinaan Keterampilan Narapidana Sebagai Bekal Reintegrasi Dalam Masyarakat, Makalah Lembaga Pemasyarakatan Kelas I, Cirebon 1984, hal.
1. 105 Daniel Glaser, Prison Work and Subseguet Employment, The Sociology of Punishment
and Corestion, Norman Johnston edition John Wiley and Sons, Inc. New York, 1970, hal. 513.
Terjemahan bebasnya adalah sebagai berikut : a.
Bahwa penjara kesulitan memperoleh pekerjaan yang cukup untuk semua
penghuni penjara; b.
Pekerjaan insentif sering tidak optimum dilakukan untuk memotivasi penghuni penjara atau narapidana dalam melaksanakan tugas-tugasnya dipenjara yang
dapat berguna bagi mereka setelah bebas nanti; c.
Penilaian terhadap pekerjaan para narapidana sangat rendah; d.
Relatif kecilnya kesempatan bagi narapidana yang telah bebas untuk mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan pelatihan yang diberikan di penjara.
Memahami pendapat Daniel Glaser di atas, jelas bahwa bukan program pelatihan saja yang diperlukan tetapi pekerjaan yang dapat mendukung narapidana
agar memiliki motivasi. Pendapat demikian sejalan dengan prinsip pemasyarakatan yang tidak selalu melihat kesalahan pelaku, sebagaimana sistem kepenjaraan. Dalam
sistem pemasyarakatan mengandung sifat pembinaan dengan melatih narapidana agar kelak keluar dari lembaga pemasyarakatan dapat menerapkan kepandaiannya sebagai
bekal hidup dan tidak lagi melakukan tindak pidana.
106
Sehubungan dengan itu adanya kerja sama dengan Lembaga Swadaya Masyarakat LSM diharapkan dapat membantu untuk menerima dan menyalurkan
tenaga kerja mantan narapidana. Saat ini LSM yang datang berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Siborongborong, menurut Kepala Seksi Pembinaan adalah
106 C.I. Harsono, Op. cit., 1991, hal. 22.
LSM Galatea, yang berkunjung 4 empat kali dalam sebulan, yakni setip hari Senin dan Jumat minggu kedua dan minggu keempat. Kunjungan LSM ini memberikan
ceramah agama, bimbingan tentang narkoba, dan HIV AIDS. LSM ini jugs menampung mantan narapidana khusus kasus narkoba dan mempekerjakannya di
LSM tersebut.
107
Dengan demikian LSM ini bersedia membantu mantan narapidana khususnya yang terlibat dalam kasus narkoba, karena mantan narapidana tersebut masih dapat
dibina melalui pendekatan secara individu maupun keagamaan. Untuk itu, program pelatihan tidak sekedar memberikan kesibukan kepada
petugas dan narapidana, tetapi lebih berorientasi pada individualisasi yang menempatkan narapidana sebagai manusia yang tersesat dan mendapatkan pembinaan
sesuai dengan Pasal 12 UU No. 12 Tahun 1995. Dalam hal ini program pelatihan setidak-tidaknya dapat mengembalikan rasa percaya diri sehingga narapidana dapat
berintegrasi dengan masyarakat.
2. Asimilasi