B. Pengertian
Recidive Residivis
Residivis atau pengulangan tindak pidana berasal dari Bahasa Perancis yaitu Re dan Cado. Re berarti lagi dan Cado berarti jatuh, sehingga secara umum dapat
diartikan sebagai melakukan kembali perbuatan-perbuatan kriminal yang sebelumnya biasa dilakukannya setelah dijatuhi pidana dan menjalani penghukumannya.
84
Atau apabila “Seseorang melakukan beberapa perbuatan yang merupakan beberapa delik
yang berdiri sendiri yang atas satu atau lebih perbuatan telah dijatuhi hukuman oleh hakim.
85
Rumusan di atas dapat disimpulkan bahwa ada beberapa syarat yang harus dipenuhi agar suatu perbuatan dianggap sebagai pengulangan tindak pidana atau
residivisme, yaitu: 1.
Pelakunya adalah orang yang sama 2.
Terulangnya tindak pidana dan untuk tindak pidana terdahulu telah dijatuhi pidana oleh suatu keputusan hakim.
3. Si bersalah harus pernah menjalani seluruhnya atau sebahagian hukuman penjara
yang dijatuhkan terhadapnya atau dibebaskan sama sekali dari hukuman tersebut. 4.
Keputusan hakim tersebut tidak dapat diubah lagi atau sudah berkekuatan hukum tetap.
5. Pengulangan terjadi dalam jangka waktu tertentu.
84 Recidivism Among Juvenille Offenders: An Analysis of Timed to Reappearance in Court? Australian Institute of Criminology, 1999, hlm. 8
85 Satochid Kartanegara, Hukum Pidana, Kumpulan Kuliah Bagian Dua: Balai Lektur Mahasiwa, hlm.233.
Budiono menyatakan bahwa residivisme adalah “kecenderungan individu atau sekelompok orang untuk mengulangi perbuatan tercela, walaupun ia sudah pernah
dihukum karena melakukan perbuatan itu.”
86
Selanjutnya Recidivism juga diartikan sebagai orang yang telah menjalankan kejahatan kembali. Sedangkan recidivis adalah orang yang pernah melakukan suatu
kejahatan yang sama.
87
C. Faktor-faktor Penyebab Timbulnya Pengulangan Tindak Pidana
Recidivis 1.
Stigmatisasi Masyarakat
Dalam lingkungan masyarakat perilaku orang yang tidak sesuai dengan norma atau tidak seharusnya dilakukan dikatakan sebagai prilaku yang menyimpang,
dampak dari penyimpangan prilaku tersebut kemudian memunculkan berbagai akibat yaitu positip dan negative. Akibat positip dari adanya hal tersebut selalu terjadi
perubahan dan perkembangan dalam berbagai aspek sosial, sehingga dapat mengasah kreatipitas manusia untuk mengatasinya, sedangkan dampak negatif dari
penyimpangan prilaku menjurus kepada pelanggaran hukum kemudian menimbulkan ancaman ketenangan lingkungan sekitar atau mengganggu ketertiban masyarakat,
yang mana kerap menimbulkan respon tertentu bagi masyarakat yang merasa terganggu atau terancam ketenangannya.
86 Budiono, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Karya Agung, Surabaya, hlm. 416. 87 Rudi Haryono dan Mahmud Mahyung, Kamus Lengkap Inggris – Indonesia, Lintas Media,
Jakarta, hlm. 215.
Salah satu respon dari masyarakat yang merasa terancam ketenangan lingkungan dan ketertiban masyarakatnya kemudian memunculkan stigmatisasi
terhadap individu yang melakukan prilaku yang menyimpang tersebut. Stigmatisasi sebagai mana yang telah dijelaskan dalam bab sebelumnya merupakan proses
pemberian cap oleh masyarakat melalui tindakan-tindakan yang dilakukan dalam proses peradilan bahwa ia adalah seseorang yang jahat. Lebih jauh dan lebih dalam
lagi pemberian cap ini dialami oleh pelanggar hukum yang bersangkutan, lebih besar kemungkinan ia menghayati dirinya sebagai benar-benar pelanggar hukum yang
jahat dan pada gilirannya yang lebih besar lagi penolakan masyarakat terhadap yang bersangkutan sebagai anggota masyarakat yang tidak dapat dipercaya.
88
Stigmatisasi tersebut sebenarnya muncul dari rasa ketakutan masyarakat terhadap mantan narapidana, dimana dikwatirkan akan mempengaruhi orang lain
untuk melakukan perbuatan melanggar hukum sebagaimana yang dikemukakan oleh Kepala Desa Pasar Siborongborong-Tapanuli Utara : “ secara pribadi masih ada rasa
khawatir terhadap mantan narapidana, namun walaupun demikian kita sebagai kepala desa ada melakukan pendekatan secara bathin dan kekeluargaan, walaupun di dalam
hati ada rasa khawatir, kwatirnya bukan apa-apa, takut nantinya mempengaruhi yang lainnya. ‘’
89
88 Didin Sudirman “ Masalah-masalah actual tentang pemasyarakatan”, Pusat Pengkajian dan Pengembangan Kebijakan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia, Gandul Cinere Depok,
2006 hal 52. 89 Hasil wawancara dengan Kepala Desa Pasar Siborongborong –Tapanuli Utara.
Dengan adanya kekhwatiran tersebut kemudian secara tidak langsung berdampak kepada sikap dan perbuatannya dalam berinteraksi dengan masyarakat
yang mana secara bertahap lingkungan akan menjauhi dan menutup diri dengan mantan narapidana, sedangkan permasalahan bagi narapidana adalah kebanyakan
mereka dan rata-rata setelah keluar dari lembaga pemasyarakatan baik itu yang bebas murni atau pun yang masih dalam bimbingan Balai pemasyarakatan BAPAS tidak
mempunyai atau tidak dibekali dengan keahlian khusus, mengingat selama berada di dalam LAPAS tidak ada bentuk pembinaan yang sekiranya dapat membantu mencari
pekerjaan di luar LAPAS. Sedangkan dari hasil pembimbingan yang dilakukan oleh petugas
pemasyarakatan walaupun ada bimbingan kemandirian keterampilan kerjanamun itu sifatnya hanya sebagai bekal dalam mencari pekerjaan, dan untuk sampai
menyalurkan ke tempat kerja dari pihak Lembaga Pemasyarakatan LAPAS sendiri belum bisa menyalurkannya, sehingga narapidana harus mencari pekerjaannya sendiri
dan hal ini menjadi dilema bagi narapidana, di satu sisi keberadaan mantan narapidana ditengah-tengah masyarakat masih dianggap jahat.
Di sisi lain narapidana atau mantan narapidana walaupun dibekali dengan keterampilan khusus namun tidak disertai dengan penyaluran ke bursa kerja ataupun
pemberian modal sehingga narapidana ataupun mantan narapidana tidak dapat mengembangkan bakat dan keterampilannya, padahal satu-satunya peluang bagi
narapidana atau mantan narapidana adalah berwiraswasta atau membuka usaha
sendiri yang kemudian dari dalam diri narapidana atau mantan narapidana muncul persepsi bahwa dirinya tidak lagi diterima di lingkungannya dan kesulitan dalam
mendapatkan pekerjaan serta satu-satunya jalan adalah dengan jalan mencari jalan pintas yaitu mengulangi perbuatannya melanggar hukum. Sebagaimana yang
dikemukan oleh Edwin Lemert, dimana menurutnya tindakan penyimpangan dibagi menjadi dua yaitu :penyimpangan primer dan penyimpangan sekunder, yang mana
terjadinya penyimpangan sekunder sendiri dapat digambarkan sebagai berikut : a.
Seseorang anak muda melakukan perbuatan menyimpang yang ringan primary deviation seperti melempari rumah tetangganya dengan batu.
b. Kemudian terjadi suatu reaksi sosial yang informal, tetangga tersebut
menjadi marah c.
Anak muda tersebut melakukan reaksi sosialprimary deviation dengan
melepaskan anjing tetanganya itu keluar halaman. d.
Terjadi peningkatan reaksi sosial primer, tetangga tersebut memarahi anak tersebut.
e. Anak muda tadi kemudian melakukan perbuatan menyimpang yang lebih
serius, ia melakukan pencurian tokomasih primary deviation. f.
Terjadi suatu reaksi formal, anak muda tersebut diadili sebagai Juvenile Delinquency di pengadilan.
g. Anak muda itu kemudian di beri label delinquency nakal jahat oleh
pengadilan dan bad burukjelek oleh tetangganya, teman- temannya dan oleh orang lain.
h. Anak muda tadi mulai befikir tentang dirinya sendiri sebagai Delenquency
dan bergabung dengan anak-anak muda tidak baik i.
. Anak muda itu melakukan penyimpangan lain yang lebih serius Secondary deviation, seperti merampok toko bersama anggota geng lainnya
j. Anak muda itu kembali kepengadilan, mendapat lebih banyak lagi catatan
kejahatan, semakin jauh dari masyarakat normal, dan menempuh jalan hidup yang sepenuhnya menyimpang.
90
Dari gambaran tersebut dapat diketahui bahwa prilaku menyimpang primer dapat terjadi pada setiap orang, akan tetapi manakala anak muda tersebut di tangkap dan
ditahan, terjadilah pemberian cap label terhadap anak muda tersebut terjadilah stigmatisasi terhadap yang bersangkutan, yang kemudian anak muda tersebut
dikeluarkan dari interaksi dengan sistem nilai yang berlaku sebelumnya dimasyarakat, untuk selanjutnya di dorong dalam keadaan berinteraksi dan
berasosiasi dengan orang-orang yang mendapat label cap yang sama. Perilaku menyimpang sekunder adalah akibat yang timbul karena adanya
stigmatisasi formal ini. Perilaku menyimpang sekunder ini dapat membawa akibat
90 Topo Santoso dan Eva Achjani Zulfa, Kriminologi, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2004, hal 101
timbulnya perilaku-perilaku kriminal yang sekunder yang seringkali sulit diatasi seperti terjadinya pengulangan tindak pidana atau pelanggaran hukum.
2. Dampak dari