Alergi Penggunaan Natural Rubber Latex (NRL) pada Kedokteran Gigi Anak
ALERGI PENGGUNAAN NATURAL RUBBER LATEX
(NRL) PADA KEDOKTERAN GIGI ANAK
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi tugas dan melengkapi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi
Oleh :
YUA CHANTIORA NIM : 070600008
FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2012
(2)
Fakultas Kedokteran Gigi Departemen IKGA Tahun 2012
Yua Chantiora
Alergi Penggunaan Natural Rubber Latex (NRL) pada Kedokteran Gigi Anak viii + 29 Halaman
Paparan terhadap natural rubber latex (NRL) di klinik telah meningkat secara signifikan sejak pertengahan tahun 1980, karena kekhawatiran atas penyebaran infeksi virus seperti human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis.
Peningkatan pemakaian bahan NRL di klinik telah disertai dengan peningkatan kejadian alergi NRL pada pekerja kesehatan dan pasien.
Oleh karena itu, dihasilkan sarung tangan pelindung dari bahan NRL yang dipakai secara rutin untuk prosedur klinis.
Prevalensi alergi lateks pada umumnya rendah, namun risiko berkembangnya alergi lateks lebih tinggi terhadap tingkat paparan lateks, seperti pada pekerja kesehatan, anak-anak dengan spina bifida, atopi dan hand eczema.
Reaksi alergi lateks yang ditimbulkannya dapat berupa dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergi dan hipersensitivitas tipe I. Reaksi kulit timbul akibat efek dari bahan lateks yang dapat menyebabkan hipersensitivitas.
Alergi lateks dapat didiagnosis dengan riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan uji kulit. Pencegahannya dilakukan dengan menghindari paparan terhadap alergen lateks dan melakukan perawatan yang tepat terhadap reaksi alergi yang timbul
Daftar Rujukan: 30 (1994-2010
(3)
PERNYATAAN PERSETUJUAN
Skripsi ini telah disetujui untuk dipertahankan di hadapan tim penguji skripsi
Medan, 16 Februari 2012
Pembimbing : Tanda Tangan
1. T. Hermina M, drg ………
(4)
TIM PENGUJI SKRIPSI
Skripsi ini telah dipertahankan di hadapan tim penguji pada tanggal 16 Februari 2012
TIM PENGUJI
KETUA : Yati Roesnawi, drg
ANGGOTA :
1. Taqwa D, drg., Sp. KGA
(5)
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
Rasa terima kasih yang tak terhingga penulis tujukan kepada orang tua tercinta, yaitu Ayahanda Ismet Hakenman Chaniago, SH dan Ibunda Nisrawati Nasution yang selalu memberikan dukungan baik moril maupun materil serta doanya kepada penulis, juga kepada nenek tersayang, Amanda Netti Herawati serta adik-adik tercinta Dita Tiara, Anas Maulia Abdi dan Dirza Medi Amara, yang selalu memberikan dorongan, semangat dan doa kepada penulis.
Dalam penulisan skripsi ini, penulis juga telah banyak mendapat bimbingan, pengarahan, saran-saran dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati serta penghargaan yang tulus penulis mengucapkan rasa terima kasih kepada :
1. Prof. Nazaruddin, drg., C.Ort., Ph.D., Sp.Ort selaku Dekan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
2. T. Hermina M, drg selaku dosen pembimbing yang telah begitu banyak meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk membimbing penulis sehingga ini dapat diselesaikan dengan baik.
(6)
3. Yati Roesnawi, drg selaku Ketua Departemen dan seluruh staf pengajar di Departemen Ilmu Kedokteran Gigi Anak Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Sumatera Utara.
4. Taqwa D, drg., Sp. KGA dan Yati Roesnawi, drg sebagai dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan dan mengarahkan penulis hingga skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik.
5. Nevi Yanti, drg., M.Kes selaku penasehat akademik yang telah membimbing dan memberi petunjuk kepada penulis selama masa pendidikan.
Selanjutnya terima kasih juga penulis sampaikan kepada Shinta, Adel, Emil, Rani, Febby, Febry, Uwi, Rena, Yaya, Elin, Evi, Ade, dan teman-teman angkatan 2007 lainnya yang telah memberikan dukungan, bantuan dan semangat kepada penulis dalam penyelesaian skripsi dari awal sampai selesai
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari para pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Dengan penuh pengharapan semoga hasil karya yang sederhana ini dapat memberikan sumbangan pemikiran yang berguna bagi fakultas, perkembangan penelitian dan ilmu pengetahuan.
Medan, 16 Februari 2012 Penulis
(Yua Chantiora) NIM. 070600008
(7)
DAFTAR ISI
Halaman HALAMAN JUDUL ...
HALAMAN PERSETUJUAN ... HALAMAN TIM PENGUJI SKRIPSI ...
KATA PENGANTAR ... iv
DAFTAR ISI ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR TABEL ... viii
BAB 1 PENDAHULUAN ... 1
BAB 2 NATURAL RUBBER LATEX ... 3
2.1 Pengenalan NRL ... 3
2.2 Pemakaian NRL di Kedokteran Gigi Anak ... 4
2.3 Alergen NRL ... 5
2.3.1 Antigen Protein ... 6
2.3.2 Antigen Kimia ... 7
BAB 3 MEKANISME ALERGI NATURAL RUBBER LATEX ... 9
3.1 Reaksi Klinis Alergi NRL ... 9
3.1.1 Dermatitis Kontak Iritan ... 9
3.1.2 Dermatitis Kontak Alergi ... 11
3.1.3 Reaksi Hipersensitivitas Tipe I ... 15
3.2 Faktor Resiko ... 17
BAB 4 PENCEGAHAN DAN PERAWATAN ALERGI NATURAL RUBBER LATEX ... 19
4.1 Pemeriksaan ... 19
4.2 Pencegahan dan Perawatan ... 20
BAB 5 KESIMPULAN ... 25
(8)
DAFTAR GAMBAR
Gambar Halaman
1. Polimer Polyisoprene ... 4
2. Dermatitis Kontak Iritan di Sekitar Mulut dan Tangan ... 11
3. Mekanisme Sensitisasi pada Dermatitis Kontak Alergi ... 13
4. Mekanisme Elisitasi pada Dermatitis Kontak Alergi ... 14
5. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I ... 16
6. Sarung Tangan Vynil yang Digunakan untuk Perawatan Dental ... 21
(9)
DAFTAR TABEL
Tabel Halaman
(10)
Fakultas Kedokteran Gigi Departemen IKGA Tahun 2012
Yua Chantiora
Alergi Penggunaan Natural Rubber Latex (NRL) pada Kedokteran Gigi Anak viii + 29 Halaman
Paparan terhadap natural rubber latex (NRL) di klinik telah meningkat secara signifikan sejak pertengahan tahun 1980, karena kekhawatiran atas penyebaran infeksi virus seperti human immunodeficiency virus (HIV) dan hepatitis.
Peningkatan pemakaian bahan NRL di klinik telah disertai dengan peningkatan kejadian alergi NRL pada pekerja kesehatan dan pasien.
Oleh karena itu, dihasilkan sarung tangan pelindung dari bahan NRL yang dipakai secara rutin untuk prosedur klinis.
Prevalensi alergi lateks pada umumnya rendah, namun risiko berkembangnya alergi lateks lebih tinggi terhadap tingkat paparan lateks, seperti pada pekerja kesehatan, anak-anak dengan spina bifida, atopi dan hand eczema.
Reaksi alergi lateks yang ditimbulkannya dapat berupa dermatitis kontak iritan, dermatitis kontak alergi dan hipersensitivitas tipe I. Reaksi kulit timbul akibat efek dari bahan lateks yang dapat menyebabkan hipersensitivitas.
Alergi lateks dapat didiagnosis dengan riwayat klinis, pemeriksaan fisik dan uji kulit. Pencegahannya dilakukan dengan menghindari paparan terhadap alergen lateks dan melakukan perawatan yang tepat terhadap reaksi alergi yang timbul
Daftar Rujukan: 30 (1994-2010
(11)
BAB 1 PENDAHULUAN
Selama 20 tahun terakhir, alergi Natural Rubber Latex (NRL) telah menjadi masalah medis karena frekuensi dari reaksi yang ditimbulkannya semakin meningkat. NRL merupakan produk dari bahan rubber yang diperoleh dari getah pohon Havea braziliensis, menghasilkan berbagai produk seperti sarung tangan, peralatan gigi, berbagai alat rumah tangga, dan lain-lain. 1,2,3
Sebagai gambaran, kebutuhan sarung tangan lateks di Amerika mencapai 20 miliar pasang selama tahun 1999. Kebutuhan yang demikian banyak dapat meningkatkan alergi lateks pada masyarakat terutama yang bekerja di bidang kesehatan. Reaksi klinis yang paling sering terjadi adalah dermatitis kontak, tetapi antara 1988-1992 di Amerika Serikat tercatat ± 1000 kasus reaksi sistemik (reaksi hipersensitivitas tipe I) yang berhubungan dengan alergi lateks, dan 15 kasus diantaranya menyebabkan kematian.
Telah banyak penelitian mengenai alergi lateks di luar negeri, sejumlah studi tentang sensitisasi NRL dan alergi telah dilakukan, terutama di Eropa dan Amerika. Nutter (1979) melaporkan kasus pertama dari rubber yang menyebabkan urtikaria (hipersensitivitas tipe I). Sejak itu, sensitisasi terhadap NRL dan zat aditif kimia (misalnya akselerator, antioksidan, dan pelicin) telah dilaporkan terus menerus.
3
Pekerja kesehatan diakui sebagai pekerjaan utama yang beresiko terhadap alergi lateks. Kelompok resiko lainnya termasuk anak-anak dengan spina bifida, atopik, dan hand eczema. Frekuensi dari alergi NRL pada pekerja kesehatan sekitar
(12)
2,9%-17%. Anak-anak dengan spina bifida mempunyai frekuensi paling tinggi sekitar 23%-65%.
NRL dapat menyebabkan reaksi yang berbeda termasuk dermatitis kontak iritan, ditandai dengan eritema dan kulit kering di sekitar daerah yang terpapar dengan sarung tangan. Dermatitis kontak alergi (hipersensitifitas tipe IV), timbul akibat bahan kimia yang digunakan dalam pembuatan sarung tangan lateks. Reaksi alergi membutuhkan waktu beberapa jam untuk berkembang serta memiliki waktu yang lebih lama, edema, eritema, pruritus, erosi dapat terbentuk dan mungkin melebihi daerah kontak. Hipersensitifitas tipe I, gejalanya
2,4
termasuk kesulitan bernapas, pingsan, urtikaria, pembengkakan tenggorokan atau selaput lendir lainnya dan penurunan mendadak pada tekanan darah.
Diagnosis alergi lateks ditegakkan berdasarkan atas riwayat klinis, pemeriksaaan fisik, dan pemeriksaan tambahan. Pencegahan yang harus dilakukan terhadap alergi natural rubber latex adalah menghindari paparan dengan alergen NRL pada individu yang mempunyai riwayat alergi terhadap produk NRL (sarung tangan, rubber dam, balon, dot dan lain-lain) dan memberikan perawatan yang tepat terhadap reaksi alergi yang ditimbulkannya.
5
Penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi pedoman saat melakukan perawatan alergi natural rubber latex di kedokteran gigi anak, selain itu dapat menjadi bahan pendukung penelitian mengenai perawatan alergi natural rubber latex.
(13)
BAB 2
NATURAL RUBBER LATEX
Natural rubber merupakan tanaman yang dapat menghasilkan lateks dan
pertama kali ditemukan di Amazon - Brazil, berasal dari derivate isoprene monomers yang dapat ditemukan pada tanaman dari 200 spesies. Natural latex disebut sebagai rubber oleh Joseph Priestly karena dapat digunakan untuk menghapus bekas pensil, yang merupakan sekresi dari tumbuhan. 7,8
2.1 Pengenalan NRL
Rubber adalah bahan organik yang diperoleh dari karet alami (natural rubber
= NR) dan karet sintesis (synthetic rubber). Natural latex adalah getah susu yang dihasilkan oleh berbagai tanaman, namun lateks yang digunakan oleh industri hampir secara keseluruhan berasal dari pohon karet Havea braziliensis. Komponen utamanya merupakan senyawa hidrokarbon dengan rantai cis-1,4-polyisoprene (35%), juga mengandung air (69%), protein (1%-1,5%) dan bahan inorganik (0,4%-0,6%). Pengolahan hasil natural latex dalam produk disebut natural rubber latex.
Komponen-komponen dalam lateks tersebut dapat dipisahkan dengan cara ultrasentrifugasi yang bertujuan untuk mengurangi kadar protein lateks, sehingga lateks akan terpisah menjadi tiga fraksi utama yaitu fraksi rubber, fraksi serum-C, dan fraksi lutoid. Fraksi rubber berada di lapisan paling atas dan mengandung 93,7% hidrokarbon rubber berupa molekul cis-1,4-polyisoprena, sedangkan sisanya adalah bahan bukan rubber, diantaranya lemak 2,4%, glikolopid dan fosfolipid 1,0%, protein
(14)
2,2%, dan karbohidrat 0,4%. Selain itu juga terdapat enzim isopentenil pirofosfat yang berfungsi dalam pembentukan partikel rubber. 7
Gambar 1 : Polimer polyisoprene 7
Fraksi tengah adalah serum-C (serum sitosol), berupa cairan bening dan akan berubah menjadi kecokelatan bila disimpan dalam wadah terbuka karena sifatnya yang mudah teroksidasi. Selain itu, fraksi serum-C juga kaya akan protein. Fraksi dasar adalah partikel gelatin yang bersifat kental seperti gelatin dan diselubungi oleh membran semipermeabel.
Natural rubber latex pada saat ini banyak digunakan sebagai bahan utama
dalam pembuatan produk peralatan medis atau produk rumah tangga yang digunakan konsumen. Hal ini disebabkan natural rubber latex merupakan bahan yang bersifat kuat, fleksibel dan elastik.
7
2.2 Pemakaian NRL di kedokteran gigi anak 9
NRL ditemukan dalam berbagai produk yang digunakan sehari-hari di klinik gigi. Beberapa jenis produk NRL yang digunakan di kedokteran gigi antara lain sarung tangan, rubber dam, ortho elastics, prophy cups, gutta percha, rubber
(15)
stoppers, dimana anak terpapar selama perawatan. Bentuk produk lainnya seperti dot, botol bayi, balon, dan lain-lain. Meskipun berasal dari pohon tropis, “Havea brasilienses”, proses pembuatan NRL terdiri dari penambahan produk kimia terhadap bahan baku. Penambahan tersebut diolah dengan baik, untuk menentukan tekstur, warna dan elastisitas untuk hasil akhir.
Salah satu contoh dari semua jenis diatas yang paling sering digunakan adalah sarung tangan lateks. Hamman dkk menegaskan bahwa lebih dari 200 tipe bahan yang ditambahkan ke dalam sarung tangan lateks, diantaranya sangat bersifat alergenik, seperti akselerator dan antioksidan. Proses pengolahan dan pembuatan sarung tangan ditambahkan powder. Protein yang terdapat pada NRL akan berikatan dengan powder yang berfungsi sebagai pelicin, bertindak sebagai protein carrier dan merupakan suatu airbone allergens. Proses sensitisasi dapat terjadi melalui kontak dengan kulit atau mukosa, peritoneal selama pembedahan dan airbone allergens.
10,11
Insiden alergi terhadap NRL terus meningkat, dengan angka tertinggi dijumpai pada tenaga kesehatan. Hal ini terjadi sejak The Centre of Disease Controle (CDC) pada tahun 1987 merekomendasikan penggunaan sarung tangan karet untuk mencegah penularan HIV dan virus hepatitis (universal precaution).
9,11
9
2.3 Alergen NRL
Alergen NRL merupakan NRL yang menimbulkan reaksi alergi. Lebih dari 200 protein yang berbeda atau polipeptida dalam NRL, hanya sekitar seperempat yang merupakan alergen, berarti bahwa individu sensitif terhadap terbentuknya antibodi. NRL mengandung berbagai jenis protein, di antaranya adalah enzim-enzim
(16)
yang berperan dalam proses polimerisasi isoprena menjadi senyawa hidrokarbon
rubber (enzim transferase karet), protein yang dapat menyebabkan alergi (protein
alergen), dan beberapa protein lain yang berfungsi untuk memantapkan elastisitas rubber.
Selain protein, NRL mengandung lipid, karbohidrat, kalium, magnesium, seng, mangan, tembaga, besi. Sebagian besar protein alergen yang terdeteksi di dalam
natural rubber juga terdeteksi pada produk lateks, kadang-kadang dalam keadaan
terurai atau bergabung dengan protein lain sewaktu pengolahan. 7,12
7
2.3.1 Antigen Protein
Total protein yang terkandung dalam produk natural latex kurang lebih 1,7%. Walaupun jumlahnya sangat sedikit, protein tersebut dapat menyebabkan reaksi alergi bagi pengguna yang sensitif. Protein tersebut memiliki jenis dan bobot molekul yang beragam. Protein alergen natural latex termasuk jenis protein yang tahan terhadap suhu tinggi, sehingga tidak hilang pada saat proses vulkanisasi (100–130 ºC). Bagi pasien yang sensitif, protein dalam barang jadi natural latex akan dianggap sebagai benda asing dalam tubuh yang disebut sebagai antigen. 7
Tabel 1.Protein Alergen Natural Rubber Latex Alergen
9
Nama umum Berat molekul
Hev b 1 Rubber elongation factor (REF) 14.6 , 58
Hev b 2 Β-1-3-Gluconase 34-36
(17)
Hev b 4 Microhalix 100,110,115
Hev b 5 Acidic protein 16-24
Hev b 6 6.01 6.02 6.03
Prohavein Hevein
Pro-hevein C domain
20 14 5
Hev b 7 Patatin homolog 43-46
Hev b 8 Profilin 15-16
Hev b 9 Enolase 47,6
Hev b 10 Manganese superoxide dismutase 22,6
Hev b 11 Class 1 chitanase 30
Alergen yang umumnya dijumpai pada pekerja kesehatan yaitu Hev b 5 (62%), Hev b 6 (65%) dan Hev b 7 (41%) sedangkan pada anak-anak penderita spina bifida yaitu Hev b 1, Hev b 2. 9
2.3.2 Antigen kimia
Bahan-bahan kimia yang terutama (mayor sensitizer) ditambahkan dalam proses pembuatan rubber yaitu akselerator dan antioksidan yang mencapai lebih dari 90%. Akselerator yang ditambahkan pada NRL terdiri dari thiuram-mix yang merupakan bahan kimia yang sangat alergenik (sensitiser yang paling kuat) dan paling banyak digunakan dalam industri rubber terutama dalam pembuatan sarung tangan NRL, carba-mix merupakan sensitizer yang kuat dalam pembuatan sarung tangan NRL tetapi carba-mix paling banyak digunakan pada pembuatan pestisida dan
(18)
fungisida dan mercapto-mix merupakan sensitizer yang paling lemah dibandingkan
thiuram-mix dan carba-mix, merupakan akselerator pertama yang diperkenalkan
dalam industri rubber. 9,13
Akselerator merupakan bahan kimia yang digunakan untuk mempercepat vulkanisasi yang bekerja sebagai katalisator. Penambahan antioksidan pada industri
rubber berguna untuk menstabilkan polimer, mencegah rubber menjadi rapuh dan
retak dengan cara menghambat proses oksidasi oksigen di atmosfir. 9
(19)
BAB 3
MEKANISME ALERGI NATURAL RUBBER LATEX
Alergi adalah respon abnormal dari sistem kekebalan tubuh sebagai tanda penolakan terhadap bahan-bahan asing tertentu. Alergi NRL merupakan suatu reaksi alergi tehadap bahan yang mengandung NRL. Alergi terhadap bahan lateks dilaporkan pertama kali pada tahun 1927 di Jerman berupa urtikaria akibat pemakaian
dental prosthesis. AIDS dan penyakit infeksi virus lainnya ditemukan pada tahun
1980, maka diperkenalkan tindakan universal precaution, sehingga penggunaan sarung tangan lateks meningkat pesat, disertai dengan peningkatan prevalensi alergi terhadap lateks. 2
Alergi NRL pada anak mulai sejak tahun 1988 ketika Axelsson dkk menggambarkan tiga pasien anak atopik yang mengalami anafilaksis dan angiodema setelah terpapar balon karet. Slater (1989) melaporkan anak dengan spina bifida yang mengalami anafilaksis selama operasi, menyatakan bahwa alergi disebabkan oleh reaksi yang diperantarai IgE terhadap NRL. 1
3.1
Pemaparan terhadap natural rubber latex dapat menimbulkan tiga sindroma klinis yang berbeda yaitu:
Reaksi klinis alergi NRL
3.1.1 Dermatitis kontak iritan Dermatitis kontak iritan merupakan efek sitotoksik lokal langsung dari bahan iritan, baik secara fisik maupun kimia, bersifat tidak spesifik pada sel-sel epidermis dengan respon peradangan dalam waktu dan konsentrasi yang cukup. 15
(20)
Patogenesisnya dapat berupa kerusakan kulit tanpa diawali sensitisasi, disebabkan penetrasi langsung bahan kimia yang bersifat iritan atau toksin ke dalam kulit yang menimbulkan kerusakan keratinosit dalam beberapa menit-jam. Pada kontak dengan iritan, keratinosit melepaskan tumor necrosis factor (TNFα).
Prostaglandin (PGs) dan leukotrien (LTs) menginduksi dilatasi pembuluh darah dan
transudasi dari faktor sirkulasi pada sistem komplemen dan kinin. Platelet activating
factor (PAF) akan mengaktivasi platelet dan terjadi perubahan vaskuler. Rentetan
kejadian tersebut menimbulkan gejala peradangan ditempat kejadiannya, kontak di kulit berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan kuat. 9
Gejala klinis dermatitis iritan dibedakan atas dermatitis kontak iritan akut dan dermatitis iritan kronik. Dermatitis kontak iritan ini bisa beraneka ragam dari nekrosis (korosi) hingga keadaan yang tidak lebih daripada sedikit dehidrasi (kering) dan kemerahan. Kontak yang berulang-ulang dengan zat iritan sepanjang hari akan menimbulkan fisura pada kulit (chapping reaction), yaitu berupa kekeringan dan kemerahan pada kulit. Pada tempat terpapar akan dijumpai juga eritema, edema, vesikel atau bula (keduanya). 9,15
Dermatitis kontak iritan kronis disebabkan oleh kontak dengan iritan lemah yang berulang-ulang, dan mungkin bisa terjadi oleh karena kerjasama berbagai macam faktor. Kelainan baru nyata setelah berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bisa bertahun-tahun kemudian. Gejala klasik berupa kulit kering, eritema, skuama, lambat laun kulit tebal dan terjadi likenifikasi, batas kelainan tidak tegas. Bila kontak terus berlangsung maka dapat menimbulkan retak
(21)
kulit yang disebut fisura. Adakalanya kelainan hanya berupa kulit kering dan skuama tanpa eritema. 15
Gambar 2. Gambaran dermatitis kontak iritan disekitar mulut (A) dan tangan (B) 14
Gambaran histopatologis dermatitis kontak iritan pada epidermis dapat berupa nekrosis keratinosis, penumpukan neutrofil atau vesikel intraepidermal yang dapat berubah menjadi fustul. Fase kronik dijumpai spongiosis berkurang dan epidermis mengalami akantosis disertai hiperkeratinosis, sementara pada dermis dijumpai papilari mengalami edema. Keratinosit nekrosis dan dijumpai infiltrat neutrofil pada reaksi yang berat. 9
3.1.2 Dermatitis kontak alergi
Dermatitis kontak alergi adalah dermatitis yang disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap bahan-bahan kimia yang kontak dengan kulit dan dapat mengaktivasi reaksi alergi. Mekanisme terjadinya kelainan kulit mengikuti respon imun yang di perantarai oleh sel (cell mediated immune respons) atau reaksi imunologik tipe IV, suatu hipersensitivitas tipe lambat. Terjadinya sensitisasi biasanya disebabkan alergen atau bahan-bahan kimia yang ditambahkan pada
(22)
pembuatan produk NRL terutama akselerator (Thiuram mix, Carba mix, Mercapto mix) dan antioksidan. Sel Langerhans memproses antigen tersebut dan mempresentasikannya pada sel T. Pada orang yang telah tersentisasi, apabila kulit atau membran mukosa terpapar dengan alergen yang sama, gejala klinis dapat timbul dalam waktu 48-72 jam. Reaksi ini terjadi melalui dua fase, yaitu fase sensitisasi dan fase elisitasi. 15
Pada fase pertama terjadi sensitisasi terhadap individu yang semula belum peka terhadap bahan atau alergen kontak (sensitizer). Pada awalnya sel Langerhans dalam keadaan istirahat, dan hanya berfungsi sebagai makrofag dengan sedikit kemampuan menstimulasi sel T, tetapi setelah keratinosit terpapar oleh hapten yang juga bersifat iritan. Sel Langerhans meninggalkan epidermis menuju limfonodulus regional, sel Langerhans menyajikan HLA-DR lengkap kepada sel T spesifik. Sel Langerhans distimulasi untuk membebaskan interleukin-1 (IL-1) serta mengekspresikannya ke permukaan sel termasuk MHC kelas I dan II. Sitokin proinflamasi lain yang dilepaskan keratinosit yaitu TNFα, yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag dan granulosit, menginduksi perubahan molekul adhesi sel dan pelepasan sitokin juga meningkatkan MHC kelas I dan II. Intraksi antara antigen dengan IL-1 mengaktifasi sel T untuk membebaskan IL-2 dan menyajikan reseptor IL-2 pada permukaan sel T, selanjutnya IL-2 menstimulasi proliferasi sel T sehingga berbentuk primed memory T cell yang akan bersirkulasi ke seluruh tubuh dan ada yang kembali ke kulit. 5,9
(23)
Gambar 3: Mekanisme sensitisasi pada dermatitis kontak alergi. 16
Fase kedua (elisitasi) hipersensitif tipe lambat tejadi pada paparan ulang alergen (hapten). Seperti pada fase sensitisasi, hapten akan ditangkap oleh sel Langerhans dan diproses secara kimia menjadi antigen, diikat oleh HLA-DR kemudian diekspresikan di permukaan sel. Kompleks HLA-DR antigen akan dipresentasikan kepada sel T yang telah tersensitisasi (sel T memori) baik di kulit maupun di kelenjar limfe sehingga terjadi proses aktivasi. Sel Langerhans mensekresi IL-1, sel T berproliferasi dan teraktifasi mengeluarkan IL-3, IL-4, INF-γ dan
granulocyte-macrophage colony-stimulating factor (GMCSF). INF-γ yang dihasilkan
oleh sel T akan mengaktifkan keratinosit. Aktivasi keratinosit juga menyebabkan produksi sejumlah sitokin antara lain IL-1, IL-6 dan GMCSF. IL-1 dapat menstimulasi keratinosit untuk menghasilkan eukasanoid. Begitu pula IL-1 akan mengaktivasi fosfolipase untuk melepaskan arachidonic acid untuk menghasilkan prostaglandin dan leukotrien. Kombinasi antara sitokin dan eukasanoid yang dibentuk akan menyebabkan aktivasi sel mast dan makrofag sehingga akan terbentuk histamin
(24)
yang menyebabkan vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas pembuluh darah. Dengan adanya tahapan-tahapan tersebut akhirnya timbul gejala klinis dermatitis kontak alergi yang merupakan respon terhadap inflamasi. Proses elisitasi terjadi dalam waktu 48-72 jam setelah pemaparan. 6,8,9
Gambar 4. Mekanisme elisitasi pada dermatitis kontak alergi 17
Gejala klinis, penderita pada umumnya mengeluh gatal. Pada yang akut dimulai dengan bercak eritema berbatas jelas, kemudian diikuti edema, papulovesikel, vesikel atau bula. Vesikel atau bula dapat pecah menimbulkan erosi dan eksudasi (basah). Pada yang kronis terlihat kulit kering, berskuama, papul, likenifikasi dan mungkin juga fisura, batasnya tidak jelas. 15, 25
(25)
Gambaran histopatologis dermatitis kontak alergi pada epidermis, dijumpai adanya spongiosis di epidermis (edema intracellular) pada fase akut. Sel inflamasi mengalami eksositosis ke dalam epidermis terutama limfosit, dapat juga neutrofil dan eusinofil. Kronisitas dermatitis kontak alergi menyebabkan epidermis menjadi hiperplastik. Pada lesi dermatitis kontak alergi yang lanjut dijumpai adanya bula yang pecah, terbentuk krusta yang terdiri dari plasma dan sedikit sel inflamasi serta epidermis mengalami spongiosis. 9
Perubahan pada dermis, dijumpai adanya dilatasi pembuluh darah superfisial. Pada dermatitis kontak alergi yang akut dijumpai infiltrat yang padat dimana eosinofil lebih menonjol. Pada dermatitis kontak alergi yang kronik, papilaridermis mengalami fibrotik dengan susunan collagen bundles yang vertikal dan terjadi penyerapan infiltrat inflamasi. 9
3.1.3 Reaksi hipersensitivitas tipe I
Proses imunologi terdiri dari 2 fase yaitu fase afektor dan fase efektor. Fase afektor dimulai pada saat alergen berinteraksi dengan antigen presenting cell (APC) di kulit, kelenjar limfatik, lien maupun tymus. Alergen tadi akan berikatan dengan APC melibatkan molekul major histocompability compleks class II (MHC kelas II) yang dipresentasikan ke limfosit T, CD4+ yang berada dibawah pengaruh IL-4. Pengaruh IL-4 menyebabkan terjadinya perkembangan dan aktivasi sel CD4+ menjadi sel T helper 2 (sel Th-2). Sel Th-2 ini memproduksi sitokin-sitokin antara lain IL-4, IL-5,IL-6, IL-10, dan IL-13 dan interleukin inilah yang merangsang sel B untuk berubah menjadi plasma dan akan membentuk IgE spesifik. IgE spesifik ini akan
(26)
berikatan pada permukaan sel mast dan sel basofil. Fase sensitisasi ini hanya terjadi di dalam tubuh dan tidak dapat kita lihat oleh karena kulit masih dalam keadaan normal. 9
Gambar 5. Rekasi hipersensitivitas tipe I 17
Fase efektor terjadi bila ada kontak ulang antara alergen dengan IgE spesifik yang berada pada permukaan sel mast dan sel basofil. Hal ini akan mengakibatkan ikatan silang antara antigen paparan ulang dengan molekul IgE yang ada pada permukaan sel mast atau basofil dan terjadi aktivasi sel bersangkutan sehingga terjadi degradasi atau pelepasan berbagai mediator yang tersimpan di dalam sitoplasma sel tersebut seperti histamin, serotonin dan bradikinin. Keadaan ini semua dapat menimbulkan alergi akut. Pelepasan mediator-mediator menyebabkan respon vaskuler berupa vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler sehingga terjadi penimbunan cairan atau edema pada dermis. 9
(27)
Reaksi hipersensitivitas tipe I biasanya disebabkan kontak langsung dengan produk NRL dan inhalasi partikel powder sarung tangan lateks. Powder tersebut dapat mengikat protein NRL dan berperan sebagai carier NRL di udara (airborne). Ikatan antara protein NRL dengan IgE menyebabkan pelepasan histamin dan mediator-mediator lainnya. Berdasarkan rute paparan maka gejala klinis yang dapat timbul yaitu urtikaria kontak alergi, pruritus, rhinitis, conjungtitivitis, ashma, anafilaksis, takikardi, angiodema, hipotensi, mual, muntah. 9
Urtikaria kontak alergi merupakan manifestasi klinis yang sering dijumpai pada IgE-mediated alergi NRL. Reaksi alergi terhadap NRL sering melibatkan kulit. Manifestasi klinis diawali gatal, sedikit eritema, rasa terbakar dan selanjutnya timbul edema dalam waktu 1-2 jam tanpa pengobatan. Pada pekerja yang sensitif, gejala tersebut dapat timbul lebih cepat apabila sarung tangan yang digunakan dalam keadaan basah. Reaksi pada pernafasan dimana alergen NRL menjadi mudah terbang
(airborne allergen) dengan adanya powder pada sarung tangan karet, selanjutnya
terinhalasi yang menimbulkan rhinoconjungtivitis dan ashma. Anafilaksis timbul diawali kontaknya produk NRL dengan mukosa. Dilaporkan produk NRL (peralatan medis) dapat menimbulkan reaksi anafilaksis. 9,27
3.2 Faktor resiko
Prevalensi kelompok resiko tinggi untuk tersensitisasi dan berkembangnya gejala klinis alergi terhadap NRL yaitu:
a. Pekerja yang sering terpapar dengan produk NRL
(28)
berhubungan dengan petugas kesehatan. Terpaparnya produk NRL dijumpai pada pekerja kesehatan sebanyak 6%-17% dan pembersih kaca, penata rambut, pabrik sarung tangan, petugas kebersihan sebanyak 5%-11%. Paparan lateks terhadap pekerja kesehatan yang sensitif terhadap NRL dapat menyebabkan berbagai gejala termasuk urtikaria kontak alergi, rhinoconjunctivitis, asma bahkan anafilaksis. 9,18
b. Anak-anak penderita spina bifida
Spina bifida adalah kondisi relatif umum, yang berpengaruh sekitar satu dari setiap 1.000 anak yang lahir setiap tahun di Irlandia. Spina bifida adalah kelainan yang paling umum dari cacat tabung saraf (NTD) yang ditandai dengan kegagalan arkus vertebra untuk menutup.
c. Atopi
Reaksi alergi pertama lateks karet alami pada orang dengan spina bifida dilaporkan di tahun 1980-an, seratus tahun setelah lateks pertama kali digunakan untuk membuat sarung tangan karet bedah. Sejak saat itu, penelitian telah menunjukkan bahwa sampai 73% anak-anak dan remaja dengan spina bifida sensitif terhadap lateks yang diukur dengan test darah atau dengan riwayat reaksi alergi. 12,19,20
Individu yang mempunyai riwayat atopi dilaporkan mengalami alergi terhadap NRL sebanyak 77%. Keadaan atopi berpengaruh terhadap fungsi barier kulit dan meningkatkan bioavability antigen terhadap host. 9
d. Hand eczema
Pasien dewasa yang mengalami alergi terhadap NRL, prevalensi hand eczema 82%. Kondisi eczematous dapat menyebabkan meningkatnya paparan terhadap protein NRL yang terdapat pada sarung tangan karet. 9
(29)
BAB 4
PERAWATAN ALERGI NATURAL RUBBER LATEX
Perawatan gigi membutuhkan beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk pertimbangan keamanan, namun kadang-kadang terabaikan oleh dokter gigi. Riwayat medis yang tepat dan dapat dipercaya merupakan langkah awal untuk mendiagnosa pasien yang alergi terhadap NRL. Apabila seseorang dicurigai alergi terhadap NRL perlu ditanyakan apakah ada gejala eritema, pruritus, urtikaria, angiodema setelah kontak dengan produk NRL, sehingga tindakan pencegahan dan perawatan dapat segera dilakukan. 9,10
4.1 Pemeriksaan
Diagnosis yang akurat merupakan langkah pertama penting untuk mengatasi masalah akibat dari alergi lateks, dan ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan tambahan. Orangtua biasanya melaporkan bahwa anaknya alergi terhadap beberapa zat, makanan, hewan, dan lain-lain meskipun tidak dilakukan test alergi. Reaksi pada kulit (skin eruptions) didaerah yang berkontak langsung. Pasien tidak memiliki riwayat medis yang menyatakan alergi terhadap lateks, dan orangtua melaporkan bahwa jika anak berkontak langsung dengan bahan NRL dapat menyebabkan pembengkakan pada wajah. Diagnosa akhir ditetapkan dengan melakukan test alergi. Dokter gigi tetap harus menghindari bahan-bahan yang
(30)
mengandung lateks, karena meskipun reaksi hipersensitif yang muncul ringan, pemaparan yang berulang dapat meningkatkan sensitifitas. 9,12
4.2 Pencegahan dan perawatan
Pencegahan utama dari alergi NRL adalah dengan menghindari paparan NRL, pasien yang beresiko terhadap NRL harus diidentifikasi dan dirujuk untuk melakukan test alergi lateks. Pasien yang sensitif terhadap NRL harus menerima perlakuan khusus untuk menjamin perawatan gigi yang aman, maka bahan sarung tangan yang digunakan dalam perawatan adalah dari bahan non lateks. Huber dan Terezhalmy menyatakan bahwa pasien yang sedang dalam perawatan, operator harus menggunakan sarung tangan vynil. Vynil merupakan suatu bahan sintetik non
biodegradable bebas protein yang digunakan untuk memproduksi sarung tangan
vynil, yang terbuat dari polivynil klorida dan plasticizer. Kekurangan dari sarung tangan vynil adalah memberikan perlindungan yang sangat sedikit terhadap bahaya bahan kimia dan mikroorganisme.10,21,22,29
Gambar 6. Sarung tangan vinyl yang digunakan untuk perawatan dental 5
(31)
Sarung tangan vynil juga digunakan sebagai pengganti teknik rubber dam dan tidak menggunakan bahan yang mengandung lateks. Ireland menyarankan penggunaan sarung tangan vynil yaitu dengan memotong bagian jari-jarinya, dalam rangka memfasilitasi teknik rubber dam untuk memperoleh perawatan yang aman pada pasien yang alergi terhadap lateks. Perawatan ini memungkinkan untuk mendapat isolasi yang mirip dengan rubber dam biasa, namun elastisitasnya berkurang. 10
Gambar 7. Penggunaan sarung tangan vynil sebagai teknik rubber dam 5
Perawatan lain yang aman dan efektif pada pasien alergi NRL dapat juga dilakukan dengan teknik desentisasi. Desensitisasi merupakan suatu bentuk terapi dimana alergen diberikan pada pasien dengan tujuan mengurangi atau menghilangkan respon alergi. Metode ini didasarkan dengan menghilangkan kontak terhadap semua bahan-bahan yang mengandung lateks dan makanan yang sering menyebabkan reaksi alergi, untuk mencapai kontrol terhadap kontak dimulai pada 10 detik pertama, kemudian dinaikkan setiap satu jam selama satu tahun. 10
(32)
Saat melakukan perawatan terhadap pasien dengan alergi lateks, dokter gigi harus memastikan beberapa tindakan yang relatif hati-hati untuk mencegah masalah selama perewatan. Hal yang perlu diperhatikan pada perawatan NRL adalah upaya pencegahan terulangnya kontak kembali dengan alergen penyebab, dan menekan kelainan kulit yang timbul. Beberapa penulis menyarankan pemberian profilaksis seperti diphenhydramin, atau kortikosteroid seperti prednison, sebelum perawatan gigi pada pasien yang diketahui berisiko terhadap NRL. Namun, tindakan yang diambil adalah untuk meminimalkan paparan lateks selama perawatan. Clarke melaporkan 81% dari pasien alergi lateks tidak menderita
Alergi yang timbul membutuhkan perawatan yang berbeda pada masing-masing individu. Dasar perawatan pada dermatitis kontak iritan adalah menghindari pajanan bahan iritan (NRL) serta menyingkirkan faktor yang memperberat. Bila hal ini dapat dilaksanakan dengan sempurna, dan tidak terjadi komplikasi, maka dermatitis kontak iritan tersebut akan sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan topikal, mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki kulit kering. Krim pelembab yang digunakan umumnya mengandung humectants dengan berat molekul rendah dan lipid. Humectants seperti urea, gliserin, asam laktat, pyrroledone acid dan garam, diabsorpsi ke dalam stratum korneum dan meningkatkan hidrasi dengan cara menarik air. Lipid seperti petrolatum, lilin lebah, lanolin, dan bermacam-macam minyak dalam pelembab memiliki efek sebagai membran oklusif pada kulit. Apabila diperlukan untuk mengatasi peradangan dapat diberikan kortikosteroid topikal, misalnya hidrokortison, atau bentuk lainnya seperti betametason, fluticasone, clobetasol, prednisone, prednisolon, yang mampu mengatasi rasa gatal dan
(33)
mengurangi inflamasi akibat dermatitis. Cara penggunaannya yaitu dengan mengoleskan tipis di daerah yang sakit 2-4 kali sehari. Jika terdapat infeksi sekunder dapat diatasi dengan pemberian antibiotik oral maupun topikal. Perlu diperhatikan dalam penggunaan jangka lama dapat menyebabkan atropi yang makin meningkatkan kepekaan terhadap iritasi. 13, 22, 24,28, 29
Perawatan dermatitis kontak alergi bertujuan untuk mengurangi rasa gatal, oleh karena itu pasien biasanya menggunakan kortikosteroid topikal, antihistamin topikal (chlorpheniramine, chlorpenoxamine, dimethindene, difenhidramin, mepiramin) dan beberapa agen antipruritik (chalamine, champor, mentol, phenol) secara tunggal atau kombinasi. Analgetik/antipruritus dapat memberikan efek analgetik topikal dengan mengoleskan krim sesuai kebutuhan, 4 kali sehari. Pasien juga dapat diberikan astringent untuk mempercepat pengeringan luka yang basah sehingga memberikan penutup pelindung kulit yang mengalami inflamasi. Selain itu perlu juga digunakan antiseptik untuk melindungi dari infeksi sekunder. Kortikosteroid dapat diberikan dalam jangka pendek untuk mengatasi peradangan pada dermatitis kontak alergi akut yang ditandai dengan eritema, edema, vesikel atau bula, serta eksudatif, misalnya prednison. Umumnya kelainan kulit akan mereda setelah beberapa hari. 6,24,28,30
Reaksi tipe I ringan tanpa menyebabkan stress pernapasan dapat diobati dengan topikal steroid dan antihistamin (diphenhydramin 50 mg, 4 kali sehari sampai sembuh). Penggunaan kortikosteroid topikal merupakan pilihan. Pasien dengan ruam di kulit sebagai akibat dari alergi lateks diresepkan hidrokortison 1% krim topikal. Anak-anak dengan reaksi alergi terbatas (urtikaria, angioedema, pruritus atau
(34)
bronkospasme ringan) diberikan diphenhydramin (0,5-1,0 mg/kg; setiap 4-6 jam) selama 2-3 hari. Perawatan ini dilakukan untuk melindungi kulit terhadap kerusakan lebih lanjut, tetapi perawatan terbaik yang harus dilakukan adalah dengan menghindari penyebab dicurigai dan identifikasi agen penyebab dengan melakukan uji.16
(35)
BAB 5 KESIMPULAN
Alergi terhadap produk NRL sering terjadi di klinik gigi yang menimbulkan berbagai manifestasi klinis seperti dermatitis kontak iritan, disebabkan oleh iritasi kulit oleh karena paparan lateks dan bahan kimia, dermatitis kontak alergi (reaksi hipersensitifitas tipe IV) merupakan suatu respon imun spesifik terhadap zat aditif kimia seperti akselerator dan antioksidan (thiuram-mix, carba-mix dan mercapto-mix) yang ditambahkan pada saat pembuatan produk NRL dan reaksi hipersensitifitas tipe I yang terjadi dalam beberapa menit pada saat terpapar dengan alergen NRL. Insidennya cenderung meningkat terutama pada individu yang mempunyai faktor resiko, dengan frekuensi paling tinggi terjadi pada pekerja kesehatan.
Anamnesis yang teliti diperlukan untuk diagnosis, ditegakkan berdasarkan evaluasi riwayat medis, pemeriksaan fisik dan test laboratorium. Pasien yang memiliki gejala alergi harus dirujuk ke dokter yang lebih ahli untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pencegahan sebaiknya dilakukan dengan menghindari bahan yang mengandung natural rubber latex, mengganti bahan lateks dengan non lateks seperti vynil pada sarung tangan dan rubber dam serta melakukan teknik desentisisasi yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan respon alergi. Perawatan lain dapat dilakukan dengan memberikan kortikosteroid topikal sebagai perlindungan terhadap kerusakan kulit yang lebih lanjut.
(36)
DAFTAR PUSTAKA
1. Ylitalo Leea. Natural rubber latex allergy in children. 2000. <http://acta.uta.fi/pdf/951-44-4736-0.pdf> (15 Maret 2011)
2. Harjono Karjadi, Teguh. Alergi lateks pada pekerja kesehatan. 2003.
3. Hashim NSM, Dental management of children with latex allergy. IAPD J, 2001: 11: 322-26
4. Chaiear Naesinee, dkk. Glove Allergy and Sensitization to Natural Rubber Latex among Nursing Staff at Srinagarind Hospital, Khon Kaen, Thailand. J Med Assoc Thai. 2006: 89 (3): 368-69
5. Chin SM, JW Ferguson, T Bajurnow. Latex allergy in dentistry: review and
report of case presenting as serious reaction to latex dental dam. Australian
Dental J, 2004: 49(3): 146-48.
6. Djuanda Adi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 131-38.
7. Anggraini Rani. Elektroforesis sds-page, immunoblotting, dan penentuan asam
amino antigen dari sarung tangan lateks karet alam.
<http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46363/G07ran_Cover.pd f?sequence=1> (17 Mei 2011)
(37)
8. Prasanna Athma. 2005. Latex allergy-review article. <http://www.theiaforum.org/Article_Folder/latex-allergy-review-article.pdf> (21 Juni 2011)
9. Dumasari Ramona. 2008. Dermatitis kontak oleh karena rubber. <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3426/1/08E00887.pdf> (21 Juni 2011)
10. Procida RD, dkk. Latex allergy in dentistry : clinical case report. J Clin Exp Dent. 2010: 55-58.
11. Anonym. Latex allergy and latex safe and protocol. <http://www.sdaa.sk.ca/Workplace%20Issues/Handbook-pdf/CH8Latex%20Alle rgies.pdf> (12 Mei 2011)
12. Alenius H, dkk. 2002. Natural rubber latex allergy. BMJ J. 2002: 419-23 13. PH Curtis. Latex hypersensitivity. Allergy Proc. 1994. 15 (1): 17-19
14. Patu Ilham. Dermatitis kontak. <http://cpddokter.com/home/index.php?option= com_content&task=view&id=1677&Itemid=1> ( 17 September 2011)
15. Nola Ira. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis pada pekerja di perusahaan Invar Sin di kawasan industri Medan.
September 2011)
16. Anonym. Jurnal of investigative dermatology.
<http://www.nature.com/jid/Journal/v130/n3/fig_tab/jid2009421f1.html> (10 September 2011)
(38)
17. Nerdina I. Bercak merah pada kulit. <http://nerdyna.blogspot.com/ 2011/09/bercak-merah-pada-kulit.html> (24 September 2011)
18. Jean MB, David NW, Donald HB. 2002. Latex allergy: past and present <http://imb.usal.es/formacion/docencia/alergenos/Drogas,%20medicamentos,%
20l%E1tex,/alergia%20al%20l%E1tex.pdf> (19 April 2011)
19. Anonym. Learning among children with spina bifida. <http://www.spinabifidaassociation.org/site/c.liKWL7PLLrF/b.2700281/k.E95 L earning_Among_Children_with_Spina_Bifida.htm> (9 Mei 2011)
20. Corwin, Elisabeth J. Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007: 266-68
21. Cremer, Reinhold, dkk. 2008. Natural rubber latex allergy in pediatric patient.
<http://www.benthamscience.com/cpr/sample/cpr4-4/D0006PR.pdf> (25 April
2011)
22. Anonym. Difference between latex, nitrile and vinyl glove materials. <http://shenweiusa.wordpress.com/2009/08/14/difference-between-latex- nitrile-and-vinyl-glove-materials/> (2 Juni 2011)
23. Kean, Tara, Marry Mcnally. Latex hypersensitivity : a closer look at consideration for dentistry. JCDA, 2009: 75(4): 279-81.
24. Agung SM, Hertanti TF, Sriwahyuni TM. Dermatitis kontak. <http://toshiworld.site90.com/cadangan/DERMATITIS%20KONTAK.pdf> (7 Juni 2011)
25. Rassner. Dermatology. Jakarta: EGC, 1995: 93-98.
26. MP Susan, Crista Warniment, Takahiro Mori. Latex allergy. Amarican Family Phisician, 2009: 80 (12): 1414-17
(39)
27. Slater JE. Latex allergy. J Allergy Clin Immunol, 2004: 225-38.
28. GD Louis, Jacquelyn I Fried. 2008. Allergy in dental office. <http://findarticles.com/p/articles/mi_m1ANQ/is_6_22/ai_n28007213/> (22 Oktober 2011)
29. Hain MA, dkk. Natural rubber latex allergy : implicantion for the orthodontist. J of Orho. 2007. 34 : 6-11
30. Katz DJ, Chair MD. 2005. Natural rubber latex allergy: considerations for anesthesiologist.<http://www.asiaing.com/natural-rubber-latex-allergy- considera tions-for-anesthesiologists> (24 Juni 2011)
(1)
bronkospasme ringan) diberikan diphenhydramin (0,5-1,0 mg/kg; setiap 4-6 jam) selama 2-3 hari. Perawatan ini dilakukan untuk melindungi kulit terhadap kerusakan lebih lanjut, tetapi perawatan terbaik yang harus dilakukan adalah dengan menghindari penyebab dicurigai dan identifikasi agen penyebab dengan melakukan uji.16
(2)
BAB 5 KESIMPULAN
Alergi terhadap produk NRL sering terjadi di klinik gigi yang menimbulkan berbagai manifestasi klinis seperti dermatitis kontak iritan, disebabkan oleh iritasi kulit oleh karena paparan lateks dan bahan kimia, dermatitis kontak alergi (reaksi hipersensitifitas tipe IV) merupakan suatu respon imun spesifik terhadap zat aditif kimia seperti akselerator dan antioksidan (thiuram-mix, carba-mix dan mercapto-mix) yang ditambahkan pada saat pembuatan produk NRL dan reaksi hipersensitifitas tipe I yang terjadi dalam beberapa menit pada saat terpapar dengan alergen NRL. Insidennya cenderung meningkat terutama pada individu yang mempunyai faktor resiko, dengan frekuensi paling tinggi terjadi pada pekerja kesehatan.
Anamnesis yang teliti diperlukan untuk diagnosis, ditegakkan berdasarkan evaluasi riwayat medis, pemeriksaan fisik dan test laboratorium. Pasien yang memiliki gejala alergi harus dirujuk ke dokter yang lebih ahli untuk dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Pencegahan sebaiknya dilakukan dengan menghindari bahan yang mengandung natural rubber latex, mengganti bahan lateks dengan non lateks seperti vynil pada sarung tangan dan rubber dam serta melakukan teknik desentisisasi yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan respon alergi. Perawatan lain dapat dilakukan dengan memberikan kortikosteroid topikal sebagai perlindungan terhadap kerusakan kulit yang lebih lanjut.
(3)
DAFTAR PUSTAKA
1. Ylitalo Leea. Natural rubber latex allergy in children. 2000. <http://acta.uta.fi/pdf/951-44-4736-0.pdf> (15 Maret 2011)
2. Harjono Karjadi, Teguh. Alergi lateks pada pekerja kesehatan. 2003.
3. Hashim NSM, Dental management of children with latex allergy. IAPD J, 2001: 11: 322-26
4. Chaiear Naesinee, dkk. Glove Allergy and Sensitization to Natural Rubber Latex among Nursing Staff at Srinagarind Hospital, Khon Kaen, Thailand. J Med Assoc Thai. 2006: 89 (3): 368-69
5. Chin SM, JW Ferguson, T Bajurnow. Latex allergy in dentistry: review and report of case presenting as serious reaction to latex dental dam. Australian Dental J, 2004: 49(3): 146-48.
6. Djuanda Adi. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta: Balai Penerbit FKUI, 2007: 131-38.
7. Anggraini Rani. Elektroforesis sds-page, immunoblotting, dan penentuan asam amino antigen dari sarung tangan lateks karet alam. <http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/46363/G07ran_Cover.pd f?sequence=1> (17 Mei 2011)
(4)
8. Prasanna Athma. 2005. Latex allergy-review article. <http://www.theiaforum.org/Article_Folder/latex-allergy-review-article.pdf> (21 Juni 2011)
9. Dumasari Ramona. 2008. Dermatitis kontak oleh karena rubber. <http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3426/1/08E00887.pdf> (21 Juni 2011)
10. Procida RD, dkk. Latex allergy in dentistry : clinical case report. J Clin Exp Dent. 2010: 55-58.
11. Anonym. Latex allergy and latex safe and protocol. <http://www.sdaa.sk.ca/Workplace%20Issues/Handbook-pdf/CH8Latex%20Alle rgies.pdf> (12 Mei 2011)
12. Alenius H, dkk. 2002. Natural rubber latex allergy. BMJ J. 2002: 419-23 13. PH Curtis. Latex hypersensitivity. Allergy Proc. 1994. 15 (1): 17-19
14. Patu Ilham. Dermatitis kontak. <http://cpddokter.com/home/index.php?option= com_content&task=view&id=1677&Itemid=1> ( 17 September 2011)
15. Nola Ira. 2010. Faktor-faktor yang mempengaruhi angka kejadian dermatitis pada pekerja di perusahaan Invar Sin di kawasan industri Medan.
September 2011)
16. Anonym. Jurnal of investigative dermatology.
<http://www.nature.com/jid/Journal/v130/n3/fig_tab/jid2009421f1.html> (10 September 2011)
(5)
17. Nerdina I. Bercak merah pada kulit. <http://nerdyna.blogspot.com/ 2011/09/bercak-merah-pada-kulit.html> (24 September 2011)
18. Jean MB, David NW, Donald HB. 2002. Latex allergy: past and present <http://imb.usal.es/formacion/docencia/alergenos/Drogas,%20medicamentos,% 20l%E1tex,/alergia%20al%20l%E1tex.pdf> (19 April 2011)
19. Anonym. Learning among children with spina bifida. <http://www.spinabifidaassociation.org/site/c.liKWL7PLLrF/b.2700281/k.E95 L earning_Among_Children_with_Spina_Bifida.htm> (9 Mei 2011)
20. Corwin, Elisabeth J. Patofisiologi. Jakarta: EGC, 2007: 266-68
21. Cremer, Reinhold, dkk. 2008. Natural rubber latex allergy in pediatric patient. <http://www.benthamscience.com/cpr/sample/cpr4-4/D0006PR.pdf> (25 April 2011)
22. Anonym. Difference between latex, nitrile and vinyl glove materials. <http://shenweiusa.wordpress.com/2009/08/14/difference-between-latex- nitrile-and-vinyl-glove-materials/> (2 Juni 2011)
23. Kean, Tara, Marry Mcnally. Latex hypersensitivity : a closer look at consideration for dentistry. JCDA, 2009: 75(4): 279-81.
24. Agung SM, Hertanti TF, Sriwahyuni TM. Dermatitis kontak. <http://toshiworld.site90.com/cadangan/DERMATITIS%20KONTAK.pdf> (7 Juni 2011)
25. Rassner. Dermatology. Jakarta: EGC, 1995: 93-98.
(6)
27. Slater JE. Latex allergy. J Allergy Clin Immunol, 2004: 225-38.
28. GD Louis, Jacquelyn I Fried. 2008. Allergy in dental office. <http://findarticles.com/p/articles/mi_m1ANQ/is_6_22/ai_n28007213/> (22 Oktober 2011)
29. Hain MA, dkk. Natural rubber latex allergy : implicantion for the orthodontist. J of Orho. 2007. 34 : 6-11
30. Katz DJ, Chair MD. 2005. Natural rubber latex allergy: considerations for anesthesiologist.<http://www.asiaing.com/natural-rubber-latex-allergy- considera tions-for-anesthesiologists> (24 Juni 2011)