Berdasarkan latar belakang dan uraian di atas, maka dilakukan penelitan dengan judul ”Efektivitas Model Pembelajaran SSCS pada Pelajaran Kimia SMA dalam
Meningkatkan Keterampilan Memberikan Alasan dan Mengemukakan Hipotesis serta Membuat Isi Definisi
”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka rumusan masalah pada penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana efektivitas model pembelajaran SSCS pada materi pokok kelaru-
tan dan hasil kali kelarutan dalam meningkatkan keterampilan memberikan alasan?
2. Bagaimana efektivitas model pembelajaran SSCS pada materi pokok kelaru-
tan dan hasil kali kelarutan dalam meningkatkan keterampilan mengemuka- kan hipotesis?
3. Bagaimana efektivitas model pembelajaran SSCS pada materi pokok kelaru-
tan dan hasil kali kelarutan dalam meningkatkan keterampilan membuat isi definisi?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan efektivitas model pembelajaran SSCS dalam
meningkatkan keterampilan memberikan alasan, mengemukakan hipotesis dan membuat isi definisi.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian yang diperoleh diharapkan dapat memberikan manfaat bagi siswa, guru dan sekolah yaitu :
1. Dapat memberikan pengalaman belajar secara langsung kepada siswa, mem
permudah siswa dalam mengkonstruksi konsep pada materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan, dan meningkatkan keterampilan memberikan alasan,
mengemukakan hipotesis, dan membuat isi definisi. 2.
Pembelajaran SSCS menjadi salah satu alternatif model pembelajaran yang inovatif, kreatif, dan produktif bagi guru dalam memilih model pembelajaran
sebagai upaya meningkatkan keterampilan memberikan alasan, mengemuka- kan hipotesis dan membuat isi definisi.
3. Sumbangan pemikiran dan informasi dalam upaya meningkatkan mutu pem-
belajaran kimia di sekolah.
E. Ruang Lingkup Penelitian
Berikut beberapa penjelasan mengenai istilah-istilah untuk membatasi rumusan masalah yang akan diteliti, istilah-istilah tersebut adalah :
1. Lokasi penelitian adalah MAN 1 Bandar Lampung.
2. Materi pokok yang dibahas dalam penelitian ini adalah kelarutan dan hasil
kali kelarutan dengan kompetensi dasar memprediksi terbentuknya endapan dari suatu reaksi berdasarkan prinsip kelarutan dan hasil kali kelarutan.
3. Model pembelajaran yang digunakan dalam penelitian ini adalah model pem-
belajaran SSCS yang merupakan sebuah model pembelajaran yang berpusat pada siswa. Pizzini, 1996
4. Pembelajaran SSCS dikatakan efektif meningkatkan hasil belajar siswa
apabila secara statistik hasil belajar siswa menunjukkan perbedaan yang signifikan antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pembelajaran Konstruktivisme
Teori belajar pada dasarnya merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadi-
nya belajar atau bagaimana informasi diproses di dalam pikiran siswa itu. Pem- belajaran diharapkan dapat lebih meningkatkan perolehan siswa sebagai hasil
belajar. Lebih lanjut lagi Slavin Nurhadi dan Senduk, 2002 mengemukakan, teori-teori baru dalam psikologi pendidikan dikelompokkan dalam teori pembe-
lajaran konstruktivis constructivist theories of learning. Teori konstruktivis ini menyatakan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentransformasikan in-
formasi kompleks, mengecek informasi baru dengan aturan-aturan lama dan mere- visinya apabila aturan-aturan itu tidak lagi sesuai. Bagi siswa agar benar-benar
memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecah- kan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah
payah dengan ide-ide. Teori ini berkembang dari kerja Piaget, Vygotsky, teori- teori pemrosesan informasi, dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teori
Bruner. Teori konstruktivistik dikembangkan oleh Piaget pada pertengahan abad 20.
Piaget berpendapat bahwa pada dasarnya setiap individu sejak kecil sudah memi- liki kemampuan untuk mengkonstruksi pengetahuannya sendiri. Menurut Piaget
Dahar 1988, dasar dari belajar adalah aktivitas anak bila ia berinteraksi dengan lingkungan sosial dan lingkungan fisiknya. Anak tidak berinteraksi dengan ling-
kungan fisiknya sebagai suatu individu terikat, tetapi sebagai bagian dari kelom- pok sosial. Akibatnya lingkungan sosialnya berada diantara anak dengan ling-
kungan fisiknya. Aktivitas mental anak terorganisasi dalam suatu struktur kegia- tan mental
yang disebut ”skema” atau pola tingkah laku. Mengkonstruksi pengetahuan menurut Piaget dilakukan melalui proses asimilasi
dan akomodasi terhadap skema yang sudah ada. Skema adalah struktur kognitif yang terbentuk melalui proses pengalaman. Asimilasi adalah proses penyempur-
naan skema yang telah terbentuk, dan akomodasi adalah proses perubahan skema Sanjaya, 2011.
Piaget Dahar, 1988 mengemukakan bahwa asimilasi adalah proses kognitif di-
mana seseorang mengintegrasikan persepsi, konsep ataupun pengalaman baru ke dalam skema atau pola yang sudah ada dalam pikirannya. Asimilasi dipandang
sebagai suatu proses kognitif yang menempatkan dan mengklasifikasikan kejadian atau rangsangan baru dalam skema yang telah ada. Proses asimilasi ini berjalan
terus. Asimilasi tidak akan menyebabkan perubahanpergantian skemata melain- kan perkembangan skemata. Dengan kata lain, asimilasi merupakan salah satu
proses individu dalam mengadaptasikan dan mengorganisasikan diri dengan ling- kungan baru.
Menurut Piaget, adaptasi merupakan suatu kesetimbangan antara asimilasi dan
akomodasi. Bila dalam proses asimilasi seseorang tidak dapat mengadakan adap- tasi terhadap lingkungannya maka terjadilah ketidakseimbangan disequilibrium.
Akibat ketidakseimbangan itu maka terjadilah akomodasi dan struktur kognitif yang ada akan mengalami perubahan atau munculnya struktur yang baru. Pertum-
buhan intelektual ini merupakan proses terus menerus tentang keadaan ketidak- seimbangan dan keadaan setimbang disequilibrium-equilibrium. Tetapi bila ter-
jadi kesetimbangan maka individu akan berada pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelumnya Dahar, 1988.
Pengetahuan yang dikonstruksi oleh anak sebagai subjek, maka akan menjadi pe-
ngetahuan yang bermakna, sedangkan pengetahuan yang hanya diperoleh melalui proses pemberitahuan tidak akan menjadi pengetahuan yang bermakna. Pengeta-
huan tersebut hanya untuk diingat sementara setelah itu dilupakan Sanjaya, 2011.
Satu prinsip yang penting dalam psikologi pendidikan menurut teori ini adalah
bahwa guru tidak hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa. Menu- rut Nur Trianto, 2007 siswa harus membangun sendiri pengetahuan di dalam
benaknya. Guru dapat memberikan kemudahan untuk proses ini, dengan mem- beri kesempatan siswa untuk menemukan atau menerapkan ide-ide mereka sen-
diri, dan mengajar siswa menjadi sadar dan secara sadar menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberi siswa anak tangga yang mem-
bawa siswa ke pemahaman yang lebih tinggi dengan catatan siswa sendiri yang harus memanjat anak tangga tersebut.
Menurut Glasersfeld Komalasari, 2010 konstruktivisme adalah salah satu filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil kons- truksi bentukan kita sendiri. Glasersfeld menegaskan bahwa pengetahuan
bukanlah suatu tiruan atau gambaran dari kenyataan realitas yang ada. Pengeta- huan adalah ciptaan manusia yang dikontruksikan dari pengalaman yang dialami-
nya yang diakibatkan dari suatu kontruksi kognitif kenyataan melalui kegiatan seseorang. Seseorang membentuk skema, kategori, konsep, dan struktur pengeta-
huan yang diperlukan untuk pengetahuan. Para kontruktivis percaya bahwa pe- ngetahuan itu tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa. Me-
nurut Lorsbach dan Tobin Komalasari, 2010, siswa sendirilah yang harus meng- artikan apa yang telah diajarkan dengan menyesuaikan terhadap pengalaman-
pengalaman mereka. Menurut Von Glaserfeld dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu 2001, agar
siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka diperlukan: 1.
Kemampuan siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali penga- laman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pe-
ngalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan in- teraksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan
mengenai persamaan dan perbedaan suatu hal. Kemampuan membanding- kan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum dari
pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuan-
nya.
3. Kemampuan siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang
lain selective conscience. Mel alui “suka dan tidak suka” inilah muncul
penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan bagi pemben- tukan pengetahuannya.
Menurut Purnomo 2002, kondisi belajar yang sesuai dengan filosofi konstruk- tivisme antara lain:
1. Diskusi yang menyediakan kesempatan agar semua peserta didik mau me-
ngungkapkan gagasan 2.
Pengujian dan penelitian sederhana 3.
Demonstrasi dan peragaan prosedur ilmiah
4. Kegiatan praktis lain yang memberi peluang peserta didik untuk memper-
tanyakan, memodifikasi dan mempertajam gagasannya
Secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa pembelajaran secara konstruktivis- me adalah pembelajaran yang berpusat pada siswa. Siswa belajar dari mengala-
mi, di mana siswa mencari sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru, bukan diberi begitu saja oleh guru. Guru hanya berperan sebagai fasilitator yang
membantu siswa mengolah pengetahuan baru, menyelesaikan suatu masalah dimana pembelajaran dikaitkan dengan kehidupan nyata dan masalah yang di-
simulasikan.
B. Model Pembelajaran