Kendali Proses Deodorisasi Dalam Permurnian Minyak Sawit Merah Skala Pilot Plant

(1)

SKALA PILOT PLANT

AZIS HERDIYANTO RIYADI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Kendali Proses Deodorisasi dalam Pemurnian Minyak Sawit Merah Skala Pilot Plant adalah karya saya dengan arahan dan bimbingan dari komisi pembimbing serta belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Agustus 2009

Azis Herdiyanto Riyadi F251060231


(3)

Purification of Red Palm Oil for Pilot Plant Scale. Under direction of TIEN R. MUCHTADI, NURI ANDARWULAN, and TRI HARYATI

Red palm oil is the richest natural source of valuable minor components such as carotene. Although a highly valued product, carotene unfortunately is destroyed in refining process. Deodorization is one of the refining steps which will thermally destroy all carotenes. This paper describes method of preserving the carotenes in neutralized red palm oil (NRPO) by the use of moderate temperatures of deodorization after chemical refining process for pilot plant scale (100 liter). Deodorization was conducted at 130, 140, and 150 oC under 20 mmHg (-74±2 cmHg vacuum). Flow rate of 20 liter per hour nitrogen was used to deodorize neutral oil. After 1 and 2 hours, NDRPO (Neutralized Deodorized Red Palm Oil) was then analyzed for some quality parameters, including moisture content, free fatty acid (FFA), total carotenes, peroxide value (PV), color, and odor. All treatments had good performance to reduce moisture content and PV. Considering oil quality parameters, deodorization at 140 oC for 1 hour was recommended to produce NDRPO with high carotene retention. It could preserve carotene almost 70%. All treatments could not reduce FFA and all volatile components of odor although NRPO was deodorized for 2 hours at 150 oC.


(4)

Minyak Sawit Merah Skala Pilot Plant. Dibimbing oleh TIEN R. MUCHTADI, NURI ANDARWULAN, dan TRI HARYATI.

Minyak sawit memiliki keunggulan terutama kandungan mikronutriennya yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi healthy oil. Healthy oil merupakan minyak yang diproses dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisi yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan. -karoten telah lama diketahui sebagai provitamin A. Kandungan -dan -karoten dalam minyak sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) sebesar 500-700 ppm adalah yang tertinggi dibandingkan sumber lainnya. Dan sawit juga merupakan sumber yang kaya akan tokoferol dan tokotrienol (600-1000 ppm).

Selain komponen mikronutrien, sesuai dengan namanya, CPO juga masih mengandung beberapa komponen non gliserida seperti asam lemak bebas, air, beberapa unsur logam yang dapat mempengaruhi stabilitas minyak sehingga diperlukan proses pemurnian. Proses pemurnian minyak merah secara kimia melibatkan beberapa tahap proses seperti degumming, deasidifikasi, deodorisasi, dan fraksinasi. Deodorisasi dilakukan terutama untuk menghilangkan komponen-komponen volatil yang mengakibatkan bau yang tidak dikehendaki (off flavor). Komponen-komponen ini adalah senyawa keton, aldehid, alkohol, asam lemak bebas, dsb. Penurunan tingkat warna juga terjadi secara signifikan pada tahap ini lewat pemucatan oleh panas (thermal bleaching) dari pigmen seperti karotenoid dan klorofil.

Prinsip utama deodorisasi minyak sawit merah adalah proses distilasi dengan suhu tinggi dan kondisi vakum. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang menimbulkan bau dari minyak mudah diuapkan, kemudian melalui aliran gas pelucut komponen tersebut dikeluarkan dari minyak. Tingginya suhu dan waktu kontak yang lama menyebabkan dekomposisi sebagian besar karoten yang terkandung dalam minyak merah. Oleh karena itu tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan teknologi proses deodorisasi dalam pemurnian minyak sawit kaya karoten pada skala pilot plant (kapasitas 100 liter) dan mendapatkan produk minyak sawit merah dalam bentuk NDRPO (Neutralized Deodorized Red Palm Oil).

Penelitian ini dilakukan dalam dua tahap, yaitu (1) uji kinerja alat deodorisasi skala 100 liter yang digunakan dan (2) melakukan proses deodorisasi pada berbagai kondisi perlakuan untuk mendapatkan kondisi deodorisasi dengan kualitas produk terbaik. Uji kinerja deodorizer dikhususkan untuk mengukur kemampuan alat dan memilih parameter perlakuan yang sesuai dengan kemampuan alat. Kemampuan alat deodorisasi diuji dengan mengumpankan sekitar 100 kg NRPO pada suhu 140 oC selama 2 jam. Deodorisasi dilakukan dengan menghomogenkan bahan baku berupa NRPO di dalam tangki deodorizer selama 10 menit pada suhu 46 ±2oC, dengan cara mensirkulasi bahan baku oleh pompa produk. Setelah homogen, dilakukan pengambilan sampel untuk uji fisiko kimia NRPO. Kemudian dilakukan pemanasan dalam kondisi vakum sampai suhu deodorisasi yang ditentukan. Laju alir gas pelucut (N2) dijaga konstan pada 20


(5)

taraf suhu yaitu pada suhu 130, 140, dan 150 oC dan dua taraf waktu deodorisasi yaitu 1 dan 2 jam. Ulangan proses dilakukan sebanyak dua kali. Rancangan percobaan yang digunakan untuk melihat pengaruh perlakuan suhu dan lama proses deodorisasi adalah dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL).

Produk hasil deodorisasi kemudian dianalisis secara fisiko kimia meliputi kadar air, asam lemak bebas (ALB), kadar karoten, warna, bilangan peroksida (peroxide value, PV), dan odor. Beberapa parameter hasil uji fisiko kimia sebelum dan setelah proses deodorisasi kemudian ditransformasi ke bentuk prosentase reduksi kadar air, retensi karoten, perubahan ALB, dan reduksi PV sebagai ukuran kinerja proses deodorisasi, sedangkan parameter odor dinyatakan sebagai tingkat intensitas odor secara overall. Retensi karoten dihitung berdasarkan kesetimbangan massa karoten yang tersisa setelah deodorisasi terhadap jumlah karoten awal.

Proses deodorisasi minyak sawit merah yang dilakukan dengan kondisi proses pada suhu moderat (130, 140, dan 150oC), laju alir N2 20 liter per jam, dan

tekanan 20 mmHg (-74 cmHg vakum) ternyata mampu memberikan kinerja yang baik dalam mereduksi kadar air dan bilangan peroksida (PV), namun tidak mampu mereduksi asam lemak bebas. Perlakuan pada suhu 140 oC selama 1 jam direkomendasikan sebagai kondisi deodorisasi terbaik karena mampu mempertahankan karoten hampir 70% (375.33 mg/kg) serta sekaligus mampu mereduksi odor sampai tingkat intensitas 3.3 (dari nilai intensitas odor 10 untuk NRPO) atau reduksi intensitas odor sebesar 67%.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

SKALA PILOT PLANT

AZIS HERDIYANTO RIYADI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Pangan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(8)

(9)

NRP : F251060231

Disetujui

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS. Ketua

Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS. Dr. Tri Haryati, MS. Anggota Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Pangan Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Ratih Dewanti-Hariyadi, MSc. Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS.


(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Pasca Sarjana di Institut Pertanian Bogor.

Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada:

1. Ibu Prof. Dr. Ir. Tien R. Muchtadi, MS selaku ketua komisi pembimbing, Dr. Ir. Nuri Andarwulan, MS dan Dr. Tri Haryati, MS selaku anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan dukungan, bimbingan, saran dan arahan selama penelitian dan penulisan tesis ini.

2. Ibu Dr. Ir. Dede Robiatul Adawiyah, MS selaku dosen penguji diluar komisi pembimbing yang telah memberikan masukan dan saran yang sangat berharga untuk menyempurnakan tesis ini.

3. Kementrian Negara Riset dan Teknologi Republik Indonesia atas pendanaan penelitian ini melalui program Riset Unggulan Strategis Nasional (RUSNAS) Industri Hilir Kelapa Sawit.

4. Staf laboratorium Southeast Asia Food and Agricultural Science and Technology Center (SEAFAST Center) IPB : Pak Sukarna, Pak Deni, Arief, Ria, dan Sofah atas bantuan dan kerjasamanya selama penelitian.

5. Staf SEAFAST Center IPB : Sumarto, Pak Zul, Mbak Virna, Mbak Ani, Bu Elly, Pak Nana, Mbak Eva, Pak Udin, dan seluruh keluarga besar SEAFAST Center IPB yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas kerjasama dan rasa kekeluargaannya.

6. Seluruh panelis organoleptik yang telah bersedia berpartisipasi dalam penelitian ini.

7. Staf Masyarakat Perkelapasawitan Indonesia (MAKSI) : Pak Ade dan Mbak Yuli atas kerjasamanya.

8. Rekan-rekan di SEAFAST Center IPB : Pak Soenar dan Ayusta atas kebersamaan dan kerjasamanya.

9. Penghargaan dan terima kasih yang tak terhingga penulis ucapkan kepada ayah, ibu, dan adik-adik serta keluarga besar Silvester Sujarna atas dorongan moril, kasih sayang, perhatian, kesabaran, serta doa-doa yang tulus. Kasih sayang dan doa-doamu adalah sumber kekuatan bagi penulis.

10. Rektor dan Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Ketua, Pengajar, dan Pegawai Administrasi Program Studi Ilmu Pangan IPB, yang telah memberi perhatian, mengajar, dan memberikan pelayanan administrasi dan akademik kepada penulis selama kuliah di IPB.

11. Teman-teman saya pada Program Studi Ilmu Pangan

12. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan doanya selama ini.


(11)

Bogor, Agustus 2009


(12)

Penulis dilahirkan di Bandung, Jawa Barat, tanggal 14 September 1979 sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, dari pasangan Ayah Jumali Aziswanto dan Ibu Benedikta Sahati.

Penulis menyelesaikan pendidikan dasar di SD Yos Sudarso Bandung tahun 1991, pendidikan menengah pertama di SMP Santo Aloysius I Bandung tahun 1994, dan pendidikan menengah atas di SMU Santo Aloysius I Bandung tahun 1997. Selanjutnya pada tahun yang sama, penulis melanjutkan program Sarjana pada Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung dan selesai tahun 2002.

Pada tahun 2006, penulis berkesempatan mengikuti Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB) pada Program Studi Ilmu Pangan. Selama menempuh program S2, penulis berkesempatan mengikuti pelatihan auditor sistem HACCP (Hazard Analysis Critical Control Point) yang diselenggarakan pada bulan Mei 2007 oleh M-BRIO Training Body, Bogor dan berhasil lulus dengan peringkat pertama. Seminar yang pernah diikuti penulis selama program S2 diantaranya menjadi peserta dalam seminar 7th National Student Conference Committee pada bulan Juni 2007 di Semarang dan sebuah artikel berjudul Stability

of β-Carotene during Food Processing diterbitkan dalam prosiding seminar tersebut. Penulis juga pernah membuat sebuah artikel populer yang dimuat dalam koran Media Papua pada 15 Juli 2007 dengan judul “Manfaat Klorofil Untuk Kesehatan”. Pada tahun 2008, penulis juga berkesempatan menjadi staf pengajar honorer untuk mata kuliah teknologi pangan di UNIKA Atmajaya Jakarta. Pada bulan Agustus 2009, penulis menjadi pemenang I dalam Graduate Competition Paper yang diselenggarakan oleh PATPI (Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia) dan berkesempatan mengikuti kompetisi sejenis pada tingkat regional dalam 11th ASEAN Food Conference yang diselenggarakan pada 21-23 Oktober 2009 di Brunei Darussalam.


(13)

Halaman

DAFTAR TABEL ... i

DAFTAR GAMBAR ... ii

DAFTAR LAMPIRAN ... iii

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 4

Manfaat Penelitian ... 4

Hipotesis ... 4

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Sawit ... 5

Pengolahan Buah Sawit Menjadi Minyak Sawit Kasar (CPO) ... 7

Komponen Minor Minyak Sawit ... 9

Kualitas Minyak Sawit Kasar... 12

Pemurnian Minyak Sawit Kasar (CPO) ... 12

Degumming ... 14

Deasidifikasi ... 14

Pemucatan (Bleaching) ... 15

Deodorisasi ... 16

Parameter Proses dan Kondisi Deodorisasi ... 17

Perubahan Fisiko-Kimia Minyak Sawit ... 20

Stabilitas -karoten ... 21

Kualitas Minyak Sawit Rafinasi ... 25

Pemurnian Minyak sawit Merah ... 26

Deodorisasi Minyak Sawit Merah ... 27

METODOLOGI PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 32

Bahan dan Peralatan ... 32

Metode Penelitian... 34

Uji Kinerja Alat Deodorisasi ... 34

Proses Deodorisasi ... 35

Analisis Data ... 37

Analisis Fisiko-Kimia ... 37

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakterisasi Sifat Fisiko Kimia Bahan Baku (NRPO) ... 42


(14)

Perubahan warna ... 57

Perubahan kadar asam lemak bebas ... 59

Reduksi bilangan peroksida ... 62

Intensitas odor ... 63

Karakterisasi Sifat Fisiko-Kimia NDPO ... 65

Pengendalian Kualitas Minyak Merah Selama Pemurnian ... 68

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan ... 71

Saran ... 72

DAFTAR PUSTAKA ... 73


(15)

i

Halaman

1. Persyaratan kualitas CPO ... 12

2. Kualitas minyak setelah mengalami tahapan pemurnian secara kimia .... 20

3. Komposisi karotenoid dalam minyak sawit ... 21

4. Kadar karoten dalam berbagai fraksi minyak sawit ... 21

5. Karakteristik minyak sawit (golden palm oil) sebagai hasil pemurnian secara kimia pada skala pilot... 25

6. Karakteristik minyak sawit hasil pemurnian tanpa bleaching earth ... 26

7. Perubahan karakteristik fisiko-kimia dari CPO dan fraksi-fraksinya selama pemurnian... 29

8. Komposisi asam lemak dari CPO dan fraksi-fraksinya ... 30

9. Perubahan karoten di dalam CPO dan fraksi-fraksinya yang dianalisis dengan HPLC ... 30

10.Karakterisasi sifat fisiko kimia NRPO secara umum ... 42

11.Kondisi proses uji coba deodorisasi ... 46

12.Hasil uji fisiko kimia dalam uji coba deodorisasi ... 52

13.Pengaruh deodorisasi terhadap kadar air... 53

14.Titik didih air pada berbagai tekanan subatmosferik ... 54

15.Pengaruh deodorisasi terhadap kadar asam lemak bebas (ALB) ... 60

16.Titik didih komponen murni dari asam palmitat dan oleat pada berbagai tekanan subatmosferik ... 61

17.Sifat fisik dan kimia NRPO dan NDRPO ... 66


(16)

ii

Halaman

1. Varietas Dura dan Pisifera dan struktur melintang buah sawit ... 5

2. Diagram skematik proses pemurnian secara kimia dan fisik ... 13

3. Kerusakan -karoten pada beberapa tingkat suhu ... 24

4. Contoh produk olein merah sawit ’Carotino’... 27

5. Peralatan deodorisasi ... 33

6. Rotary vacuum pump... 33

7. Panel kontrol deodorizer ... 34

8. Diagram alir proses deodorisasi pada penelitian ... 36

9. Profil perubahan suhu dan tekanan dalam uji coba deodorisasi ... 49

10.Pengaruh proses deodorisasi terhadap retensi karoten pada produk NDRPO ... 55

11.Pengaruh proses deodorisasi terhadap warna fisik minyak merah... 58

12.Pengaruh proses deodorisasi terhadap reduksi bilangan peroksida ... 63


(17)

iii

Halaman

1. Karakterisasi bahan baku (NRPO untuk setiap batch deodorisasi ... 81

2. Profil perubahan suhu dan tekanan dalam uji coba deodorisasi ... 82

3. Hasil analisis sifat fisiko kimia NRPO dan NDRPO tahap uji coba Deodorisasi minyak sawit merah skala pilot plant ... 83

4. Karakterisasi sifat fisiko kimia NRPO tahap uji coba deodorisasi minyak sawit merah ... 85

5. Karakterisasi sifat fisiko kimia NDRPO tahap uji coba deodorisasi minyak sawit merah ... 85

6. Hasil analisis sifat fisiko kimia NRPO dan NDRPO tahap deodorisasi minyak sawit merah skala pilot plant ... 86

7. Penentuan berat kering bahan baku dan produk deodorisasi ... 92

8. Penentuan retensi karoten tahap deodorisasi... 93

9. Penentuan reduksi bilangan peroksida (PV) tahap deodorisasi ... 94

10.Perubahan kadar asam lemak bebas (ALB) tahap deodorisasi ... 95

11.Hasil analisis warna dan reduksi nilai R (Red) skala Lovibond pada tahap deodorisasi ... 96

12.Hasil uji intensitas odor secara organoleptik pada tahap deodorisasi ... 97

13.Karakterisasi sifat fisiko kimia NRPO untuk deodorisasi pada 140 oC, Selama 1 jam ... 98

14.Karakterisasi sifat fisiko kimia NDRPO untuk deodorisasi pada 140 oC, Selama 1 jam ... 98

15.Hasil sidik ragam reduksi kadar air ... 99

16.Hasil sidik ragam retensi karoten ... 100

17.Hasil sidik ragam reduksi warna ... 101

18.Hasil sidik ragam perubahan asam lemak bebas (ALB) ... 102

19.Hasil sidik ragam reduksi bilangan peroksida (PV) ... 103


(18)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan dunia terhadap konsumsi minyak dan lemak nabati terus mengalami peningkatan setiap tahun. Produksi minyak dan lemak nabati dunia pada 2006/2007 telah mencapai 123 juta ton. Dari produksi ini sebesar 45.5 juta ton berasal dari minyak sawit dan sebesar 22.3 juta ton atau sekitar 46% berasal dari Indonesia (Goei 2008). Pada tahun 2008, Indonesia merupakan produsen minyak sawit terbesar dunia dengan luas areal perkebunan sawit mencapai 7.1 juta hektar dan produksi sebesar 19.2 juta ton. Kini, pemerintah berkonsentrasi meningkatkan produktivitas tanaman sawit untuk meraih produksi 40 juta ton CPO di tahun 2020 (Ditjenbun 2009).

Menurut standar WHO (World Health Organization), konsumsi per kapita minyak dan lemak pangan minimal 12 kg per tahun dan kebutuhan konsumsi Indonesia adalah sebesar 13 kg per tahun di tahun 2006 dan meningkat sebesar 1% setiap tahunnya (Goei 2008). Peningkatan konsumsi dan produksi ini perlu didukung oleh pengolahan minyak sawit untuk menghasilkan komoditas sawit yang beraneka ragam, termasuk di antaranya adalah sebagai minyak makan.

Sebagai bahan baku utama minyak makan, minyak sawit memiliki banyak keunggulan diantara bahan baku lainnya. Keunggulan utama dari minyak sawit adalah kandungan mikronutriennya yang tinggi sehingga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi healthy oil. Healthy oil merupakan minyak yang diproses dan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga kandungan nutrisi yang ada di dalamnya dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesehatan.

-karoten telah lama diketahui sebagai provitamin A. Kandungan -dan  -karoten dalam minyak sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) sebesar 500-700 ppm adalah yang tertinggi dibandingkan sumber lainnya. Dan sawit juga merupakan sumber yang kaya akan tokoferol dan tokotrienol (600-1000 ppm) (Gee 2007).

Permintaan akan produk-produk nutrifikan pangan saat ini semakin berkembang. Terdapat banyak kajian ilmiah yang memfokuskan pada sumber-sumber nutrasetikal. -karoten atau lebih dikenal sebagai provitamin A telah lama


(19)

diketahui sebagai antioksidan yang efektif. Zeba et al. (2006) melakukan kajian penggunaan minyak sawit merah sebagai nutrifikan pangan dalam sajian makan siang bagi anak-anak usia sekolah dan memberikan respon positif dalam mengatasi defisiensi vitamin A. Beberapa hasil penelitian epidemiologis menunjukkan manfaat -karoten dalam tubuh. Bersama dengan -karoten dan likopen, -karoten dapat bertindak sebagai singlet oxygen quencher yang efisien (Dimascio et al. 1989). Disamping itu -karoten juga memiliki potensi sebagai anti kanker (Ziegler et al. 1989), dan memiliki sifat antiaterosklerotik dengan mereduksi plak aterosklerotik pada pembuluh darah arteri (Kritchevsky et al. 2002).

Secara fisik, minyak sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO) berwarna merah-jingga sehingga dikenal juga istilah minyak sawit merah (Red Palm Oil, RPO). Minyak sawit merah (Red Palm Oil, RPO) merupakan hasil ekstraksi dari buah sawit (Elaeis guineenis, Jacq). Warna merah-jingga yang dimilikinya berasal dari kandungan - dan -karotennya yang tinggi, sekitar 0.08% (b/b) dari minyak sawit kasar (Crude Palm Oil, CPO). Selain komponen mikronutrien, sesuai dengan namanya, CPO juga masih mengandung beberapa komponen non gliserida seperti asam lemak bebas, air, beberapa unsur logam, pigmen dan bau.

Proses pengolahan minyak sawit menjadi bahan baku minyak makan memiliki beberapa tahapan pemurnian, yaitu proses degumming, deasidifikasi, pemucatan, deodorisasi, dan fraksinasi. Dalam proses ini komponen berupa senyawa fosfatida (gum), asam-asam lemak bebas, produk-produk oksidasi, logam, komponen-komponen bau, termasuk warna dihilangkan/ dikurangi untuk mendapatkan minyak yang jernih, tidak berbau, berwarna keemasan, serta bersifat stabil. Dalam proses pengolahan selama ini, komponen mikronutrien seperti pigmen karotenoid sengaja dihilangkan sehingga untuk mendapatkan minyak sawit merah dengan kadar karoten yang tinggi diperlukan suatu modifikasi proses pemurnian misalnya dengan menghilangkan tahap pemucatan (bleaching).

Ooi et al. (1996) melaporkan suatu metode pemurnian dengan menggunakan destilasi molekuler untuk menghasilkan olein sawit merah (Red Palm Olein, RPOn) yang mengandung sedikitnya 500 ppm karoten. Metode distilasi molekuler merupakan aplikasi yang mahal sehingga sulit diterapkan


(20)

secara komersial. Saat ini Malaysia berhasil memproduksi RPOn kaya karoten dengan merek dagang “Carotino” yang dikembangkan PORIM (Palm Oil Research Institute of Malaysia) dengan mengadopsi teknologi distilasi molekuler. Akan tetapi, produk ini menjadi sangat mahal untuk penggunaan secara umum (Ooi et al. 1996; Bonnie dan Choo 2000).

Mayamol et al. (2007) telah memberikan alternatif teknologi untuk memproduksi olein sawit merah kaya mikronutrien (Red Palm Olein, RPOn) pada skala pilot plant dan berhasil mempertahankan lebih dari 80% karoten dalam proses pemurniannya. Proses yang dikembangkan ini telah diadopsi oleh industri untuk menghasilkan RPOn secara komersial di India.

Widarta (2008) melakukan proses degumming dan deasidifikasi secara kimia untuk minyak merah pada skala pilot plant dan berhasil menurunkan kadar asam lemak bebas sampai 96.35% sekaligus mempertahankan karoten sebesar 87.30%. Produk yang dihasilkan berupa minyak sawit netral (NRPO, Neutralized Red Palm Oil).

Tahapan pemurnian minyak merah setelah deasidifikasi adalah proses deodorisasi. Deodorisasi bertujuan untuk menghilangkan bau dan rasa (flavor) yang tidak enak dalam minyak (Ketaren 2005). Pada dasarnya deodorisasi ini merupakan suatu proses destilasi dengan suhu tinggi dan kondisi vakum. Dalam deodorisasi suhu, tekanan, dan waktu kontak (waktu tinggal) merupakan parameter proses penting. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang menimbulkan bau dari minyak mudah diuapkan, kemudian melalui aliran gas pelucut komponen tersebut dikeluarkan dari minyak. Tingkat vakum yang tinggi akan mengurangi jumlah sparging gas yang digunakan dan mencegah terjadinya hidrolisis yang tidak diinginkan pada minyak (O’ Brien 2004). Suhu yang tinggi dan waktu kontak yang lama akan mengakibatkan terjadinya dekomposisi sebagian besar karoten yang terkandung dalam minyak merah sehingga diperlukan suatu kendali proses deodorisasi untuk meminimalkan kerusakan karoten.


(21)

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mendapatkan teknologi proses deodorisasi dalam pemurnian minyak sawit merah pada skala pilot plant (kapasitas 100 L).

2. Mendapatkan produk minyak sawit merah dalam bentuk NDRPO (Neutralized Deodorized Red Palm Oil)

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini bermanfaat untuk memberikan informasi kondisi operasi deodorisasi minyak sawit merah pada skala pilot plant, sehingga dapat digunakan untuk pengembangan produksi minyak sawit merah skala industri. Produk minyak sawit merah yang mengandung β-karoten yang tinggi ini dapat digunakan sebagai bahan baku produk fortifikan pangan.

Hipotesis

Adanya proses yang melibatkan suhu tinggi menyebabkan kerusakan β -karoten selama proses deodorisasi pada pemurnian minyak sawit. Hal ini dapat diminimalkan dengan mengendalikan kondisi operasi proses deodorisasi pada suhu moderat sehingga kerusakan β-karoten dapat diminimalkan.


(22)

Tanaman Sawit

Tanaman sawit (Elaeis guineesis, Jacq) termasuk famili Palmae, subkelas Monocotyledoneae, Kelas Angiospermae, Subdivisi Tracheophyta. Nama Genus Elaeis berasal dari bahasa Yunani Elaion atau minyak, sedangkan nama guineensis berasal dari kata Guines, yaitu nama tempat dimana seseorang bernama Jacquin menemukan tanaman sawit pertama kali di pantai Guines Afrika Selatan (Hartley 1977; Ketaren 2005).

Sawit merupakan tanaman asli Afrika dan tumbuh secara alami di Afrika Selatan dan Afrika Barat. Tanaman ini dapat tumbuh baik pada daerah beriklim tropis dengan curah hujan 2000 mm/tahun dan kisaran suhu 22-32oC (Ketaren 2005). Dewasa ini tanaman sawit telah menyebar di Kongo, Indonesia, Malaysia dan Amerika Selatan. Di Indonesia sendiri, tanaman sawit pertama kali masuk pada tahun 1848 di masa pemerintahan kolonial Belanda dan ditanam pertama kali di Kebun Raya Bogor, serta mulai diusahakan dan dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911 (Fauzi et al. 2006).

Gambar 1 Varietas Dura dan Pisifera dan struktur melintang buah sawit (Morad et al. 2006).

Dura, tempurung tebal Pisifera, tempurung tipis

Kernel Perikarp

Eksokarp Mesokarp

Serat Endokarp Testa

Endosperma Embrio


(23)

Berdasarkan tebal tempurungnya, tanaman sawit memiliki empat varietas, yaitu : 1) varietas Macrocarya, tebal tempurung 5 mm, 2) varietas Dura, tebal tempurung 3-5 mm, 3) varietas Tenera, tebal tempurung 2-3 mm, 4) varietas Pisifera, bagian tempurung tipis (Ketaren 2005). Tenera merupakan hasil persilangan antara Dura dengan Pisifera serta ektraksi minyaknya sekitar 22-25 persen (Pahan 2006). Gambar 1 memperlihatkan struktur melintang buah sawit dan tebal tempurung dari varietas Dura dan Pisifera.

Buah sawit umumnya berukuran 2-5 cm dan berat antara 3-30 gram, berwarna ungu hitam pada saat muda, kemudian menjadi berwarna kuning merah pada saat tua dan matang (Muchtadi 1992). Warna daging buah putih kuning ketika masih muda dan berwarna jingga setelah buah matang (Ketaren 2005). Adapun anatomi, bagian-bagian buah sawit antara lain:

1. Perikarp

Buah sawit mengandung kurang lebih 80 persen perikarp dan 20 persen buah yang dilapisi kulit yang tipis; kadar minyak dalam perikarp sekitar 34-40 persen. Buah sawit menghasilkan 2 jenis minyak yang sifatnya sangat berbeda, yaitu minyak dari sabut (minyak sawit kasar) dan minyak dari biji (minyak inti sawit) (Somaatmadja 1981). Winarno (1999) menyatakan minyak sawit yang terkandung dalam sel-sel mesokarp mewakili sekitar 20-24 persen tanaman buah sawit panenan sedangkan minyak inti sawit mewakili sekitar 2-4 persen.

Perikarp terdiri dari :

a.Epikarp, yaitu kulit buah yang keras dan licin

b.Mesokarp, yaitu bagian buah berserabut dan mengandung minyak dengan rendemen paling tinggi, menghasilkan minyak sawit kasar (CPO) melalui ekstraksi.

2. Biji, terdiri dari :

a.Endokarp (kulit biji = tempurung), berwarna hitam dan keras

b.Endosperm (kernel = daging biji) berwarna putih yang menghasilkan minyak inti sawit (PKO)


(24)

Pengolahan Buah Sawit Menjadi Minyak Sawit Kasar (Crude Palm Oil, CPO)

Pengolahan buah sawit untuk menghasilkan minyak sawit kasar (CPO) dimulai dari penanganan bahan baku atau tandan buah segar (TBS) pada saat panen hingga sampai di pabrik. Setelah tiba di pabrik, TBS selanjutnya memasuki tahapan pengolahan TBS hingga menjadi CPO, yang diawali dengan sterilisasi, perontokan, pelumatan, pengempaan, penyaringan dan klarifikasi.

Sterilisasi

Sterilisasi dilakukan dengan mengalirkan steam melalui pipa yang disalurkan ke dalam ketel rebusan. Proses perebusan berlangsung pada suhu 143 oC selama 60 menit dengan tekanan 294 kPa (Basiron 2005). Sterilisasi bertujuan untuk mempermudah pelepasan buah dari tandan, melunakan buah sehingga mempermudah dalam proses penghancuran, menginaktivasi enzim lipase dan oksidase yang dapat merangsang pembentukan asam lemak bebas, menurunkan kadar air di dalam jaringan buah, memudahkan pemisahan tempurung dengan inti, menguraikan pektin dan polisakarida sehingga buah menjadi lunak (Wibowo 2008).

Perontokan (Stripping)/ Threshing

Perontokan bertujuan untuk memisahkan tandan dengan buah. Proses perontokan buah terjadi akibat perputaran mesin perontok. Mesin perontok berbentuk drum horizontal panjang. Diameter dan panjang mesin perontok buah adalah 1.8 - 2 m dan 3-5 m, dan selalu berputar sekitar 20-25 rpm (Basiron 2005). Proses pemisahan TBS yang telah disterilisasi menjadi brondolan dan tandan kosong dengan sistem diputar dan dibanting. Buah yang telah lepas kemudian masuk ke digester feed

conveyor, sedangkan tandan kosong akan terlempar dan terbawa oleh conveyor

menuju insenerator (Wibowo 2008).

Pelumatan (Digestion)

Pelumatan buah sawit menggunakan alat yang disebut digester. Proses yang terjadi adalah penghancuran, peremasan dan pemanasan buah sehingga buah akan hancur. Proses ini bertujuan untuk membuka jaringan buah dan sel-sel yang mengandung minyak serta melepaskan dinding buah dari biji sehingga pengempaan


(25)

menjadi lebih mudah (Amri 1999). Proses pelumatan dilakukan pada suhu 95 – 100 o

C selama kurang lebih 20 menit. Sumber panas dapat berasal dari steam jacket atau injeksi steam secara langsung (Basiron 2005). Digester memiliki dinding rangkap (jacketed cylindrical vessel) dan as putar yang dilengkapi dengan pisau pengaduk. Di dalam digester, buah dihancurkan dengan pisau-pisau pengaduk yang berputar pada as, sehingga daging buah (pericarp) pecah dan terlepas dari biji (nut) (Wibowo 2008).

Pengempaan

Proses pengempaan dilakukan dengan menekan lumatan buah yang telah keluar dari digester, dalam tabung yang berlubang dengan alat ulir yang berputar sehingga minyak akan keluar lewat lubang-lubang tabung. Alat yang digunakan dalam pengempaan adalah screw press (Wibowo 2008). Di dalam screw press selain diputar juga ditekan dengan menggunakan tekanan hidrolik sehingga cake akan betul-betul bebas dari minyak. Tekanan yang digunakan harus tepat karena apabila kurang menyebabkan oil loss tinggi dan apabila tekanan besar akan menyebabkan biji pecah (Amri 1999). Terdapat dua produk yang dihasilkan dalam proses pengempaan yaitu (1) campuran minyak, air dan padatan (sludge), dan (2) press cake yang terdiri dari serat dan biji (Basiron 2005). Minyak hasil pengempaan ditampung dalam talang minyak kasar (crude oil gutter), selanjutnya disalurkan ke dalam sand trap tank untuk proses penyaringan dan klarifikasi. Biji dan serabut diangkut oleh cake breaker conveyor menuju nut/fiber separator (unit pengolah biji) (Siregar 2002; Basiron 2005).

Penyaringan dan Klarifikasi

Campuran minyak kasar (sludge) hasil dari pengempaan memiliki komposisi sebagai berikut 66% minyak, 24% air, dan 10% padatan non-minyak (non oily solid) (Basiron 2005).

Klarifikasi terdiri dari beberapa tahapan proses, yaitu pemisahan kotoran berupa serabut dan lumpur, pemisahan minyak dengan air, pengambilan minyak yang terdapat pada lumpur serta pembersihan. Pemisahan kotoran yang berupa serabut dilakukan dengan saringan getar (vibrating screen), pemisahan kotoran yang berupa lumpur dilakukan pada decanter, pemisahan minyak dengan air terjadi pada tangki pengendapan, sedangkan pembersihan minyak dilakukan pada alat pembersih minyak (oil purifier). Minyak hasil pengempaan ditampung pada tangki perangkap pasir


(26)

(sand trap tank), tangki tersebut digunakan untuk memisahkan pasir dari minyak. Pemisahan pasir terjadi akibat perbedaan berat jenis antara pasir, minyak dan air dengan pemberian uap panas ke dalam tangki perangkap pasir. Minyak selanjutnya dialirkan ke dalam saringan getar yang bertujuan untuk memisahkan benda-benda padat dalam minyak, saringan getar menggunakan kawat saringan berukuran 40 mesh. Minyak yang telah disaring dialirkan ke dalam decanter, pada alat ini terjadi proses pemisahan kotoran berupa lumpur dengan cara sentrifugasi 1500 rpm, pada proses tersebut digunakan air panas sebagai pengencer (Wibowo 2008; Basiron 2005). Lumpur yang mungkin masih terdapat pada minyak selanjutnya dipisahkan berdasarkan bobot jenis. Air yang terkandung pada minyak dihilangkan dengan alat pengering hampa (vacuum dryer) agar minyak tidak mudah terhidrolisis. Minyak yang diperoleh berupa minyak sawit kasar (CPO) yang selanjutnya ditimbang dan disimpan dalam tangki penampungan (storage tank). Minyak yang disimpan dalam tangki penampungan memiliki kadar air 0.1 – 0.12% dan pengotor kurang dari 0.02%. Lumpur yang masih mengandung minyak (sekitar 10%) dari tangki pengendap dialirkan ke dalam tangki lumpur (sludge tank). Cairan lumpur hasil klarifikasi yang masih mengandung minyak tersebut ditampung sementara pada bak penampungan untuk di daur ulang (Basiron 2005).

Komponen Minor Minyak Sawit

Minyak sawit diproses dari buah sawit segar di pabrik sawit dengan pemasakan, pengepresan dan penyaringan. Kualitas dari minyak sawit kasar akan mempengaruhi efisiensi dan perolehan serta kualitas dari produk yang diproses.

Komponen-komponen minor dari minyak sawit telah diuraikan oleh Berger (2000); disamping triasilgliserol, komponen-komponen lainnya terdiri dari berbagai senyawa kimia, dan beberapa diantaranya memiliki nilai ekonomis yang tinggi.

Asam lemak bebas dan asilgliserol parsial

Aktivitas enzim lipase di dalam buah yang sangat matang atau selama panen, yang mungkin berasal dari sel ragi, bertanggung jawab dalam peningkatan


(27)

kadar asam lemak bebas dan asilgliserol parsial. Kadar asam lemak bebas minyak kasar komersial rata-rata adalah 3.5%.

Kadar MAG (monoasilgliserol) dalam minyak kasar sangatlah rendah (di bawah 0.5%). Konsentrasi total diasilgliserol (DAG) dalam minyak kasar sawit berkisar antara 5.3 – 7.7%. Mereka juga mencatat tidak ada korelasi antara kadar asam lemak bebas, MAG, dan DAG; DAG terdapat dalam CPO mungkin sebagai residu produk samping dari biosintesis TAG. Pengamatan ini telah dikonfirmasi oleh Goh dan Timms (1985) yang juga melaporkan suatu korelasi signifikan (didasarkan pada kajian statistik) antara MAG dan DAG. Lebih banyak kadar isomer 1,3-DAG dibandingkan 1,2-DAG (dalam komposisi sekitar 2:1).

Fosfatida dan glikolipid

Menurut Goh et al. (1985), komponen fosfatida utama dalam minyak sawit adalah fosfatidilkolin dan glikolipid utama berupa galaktosildiasilgliserol. Selain itu, CPO juga mengandung fosfatidiletanolamin disamping fosfatidilkolin, fosfatidilinositol (masing-masing lebih dari 20%) dan fosfatidilgliserol dalam jumlah yang lebih rendah. Suatu kajian lebih dalam mengenai fosfatida dalam CPO menunjukkan bahwa sebagian besar fosfor ditemukan dalam bentuk inorganik dibandingkan dengan fosfolipid. Kadar fosfor inorganik delapan kali lebih besar dibandingkan kadar fosfor fosfolipid. Fosfor inorganik kiranya berasal dari degradasi fosfatida oleh fosfolipase dan transformasi kimia lebih jauh (Goh, Tong, dan Gee 1984).

Tokoferol dan tokotrienol

CPO memiliki kandungan tokotrienol yang tinggi (terutama -, -dan  -tokotrienol). -Tokotrienol dan tokoferol adalah tokoferol utama (Berger 2000), dengan kadar total (tokols) berkisar antara 600-1000 ppm (Goh, Choo, dan Ong 1985); rasio tokoferol/tokotrienol biasanya sekitar 20%. Dibandingkan dengan minyak lainnya, minyak sawit memiliki proporsi tokoferol dan tokotrienol yang tinggi dalam kaitannya dengan ketidakjenuhannya; rasio tokoferol + tokotrienol (ppm) terhadap asam lemak PUFA (polyunsaturated fatty acid) adalah sekitar 50% (sementara untuk minyak kedelai hanya 19% dan minyak bunga


(28)

matahari hanya 12%). Diena terkonjugasi dari tokoferol dan tokotrienol yang tinggi dan PUFA yang rendah ini dapat menjelaskan mengapa minyak sawit memiliki kestabilan oksidatif yang tinggi misalnya dalam penggorengan (Berger 2000).

Karotenoid

Warna merah pekat yang muncul pada CPO disebabkan oleh kadar komponen karotenoidnya yang tinggi (500-700 ppm). -karoten dan terutama  -karoten merupakan komponen utama (sekitar 90% dari total -karotenoid) (Ooi et al. 1996). Karotenoid (dan khususnya -karoten) diketahui karena aktivitasnya sebagai pro-vitamin A dan dikaitkan dengan pencegahan beberapa jenis kanker (Goh, Choo,dan Ong 1985). Sebagian besar karotenoid dalam minyak sawit rusak selama proses pemurnian, yang memberikan warna lebih pucat pada minyak. Berbagai metode ekstraksi dan isolasi karoten dari CPO diantaranya adalah saponifikasi, adsorpsi, presipitasi, ekstraksi pelarut, distilasi molekuler dan transesterifikasi.

Sterol, metilsterol, triterpen dan isoprenoid alkohol dan hidrokarbon

Kadar sterol total dalam CPO adalah sekitar 500 ppm (Ooi et al. 1994).  -sitosterol merupakan sterol yang paling banyak (sampai 60%). Campesterol, stigmasterol dan kolesterol teramati dalam jumlah yang lebih sedikit. Sterol diamati dalam bentuk bebas atau tersesterifikasi (50:50) (Berger 2000); bentuk bebas dan terasilasi dari sterol glukosida juga dideteksi (sampai 300 ppm). Metilsterol dan triterpen alkohol terdapat dalam konsentrasi 800 ppm. Isoprenoid alkohol dalam CPO sekitar 80 ppm. Skualen sebagai hidrokarbon utama dalam CPO berkisar antara 200-500 ppm; kadar hidrokarbon non-terpen sekitar 30-50 ppm. CPO mengandung juga 10-80 ppm ubikuinon-10 dan 5 ppm ubikuinon-5, yang terkait dengan vitamin K dan memiliki sifat antioksidan.


(29)

Kualitas Minyak Sawit Kasar

Aspek penting kualitas minyak kasar yang harus dipertimbangkan akan mempengaruhi proses pemurnian. Sifat kimia dan fisik dari CPO secara menyeluruh telah ditentukan dari beberapa survei dan data dan telah digabungkan dalam standar (Tabel 1) (Swoboda 1985).

Tabel 1 Persyaratan kualitas CPO

Parameter

Kualitas khusus (SQ grade)

Lotox Standar SNI *)

Asam lemak bebas (sebagai C16), % maks

Kadar air (% maks) Pengotor (%-b), maks

Bilangan peroksida (meq O2/kg maks)

Bilangan Anisidin (maks) Karoten (ppm maks) Fe (ppm maks) Cu (ppm maks)

2.5 0.2 0.02 3 4 - 4 0.02 2.5 0.2 0.02 3 3.5 600 – 700

4 0.2 3.5 0.2 0.02 5 - - 5 0.2 0.5 0.5 - - - - - - (Swoboda 1985); *) SNI 01-2901-2006 (BSN 2006)

Pemurnian Minyak Sawit Kasar (CPO)

Pemurnian minyak bertujuan untuk menghilangkan rasa serta bau yang tidak enak, warna yang tidak menarik serta memperpanjang masa simpan minyak sebelum dikonsumsi atau digunakan sebagai bahan baku dalam industri. Kotoran-kotoran yang ada dalam minyak dapat berupa komponen yang tidak larut dalam minyak. Komponen yang tidak larut dalam minyak adalah lendir, getah, abu atau mineral. Komponen yang berupa suspensi koloid adalah fosfolipid, karbohidrat dan senyawa yang mengandung nitrogen, sedangkan komponen yang larut dalam minyak berupa asam lemak bebas, sterol, hidrokarbon, mono dan digliserida serta zat warna yang terdiri dari karotenoid dan klorofil (Ketaren 2005).

Minyak kasar dimurnikan untuk menghilangkan semua pengotor seperti bau, aroma, dan warna yang tidak diharapkan, tetapi sekaligus mempertahankan komponen-komponen yang bermanfaat seperti vitamin, pro-vitamin dan


(30)

antioksidan. Pemurnian minyak sawit kasar dapat dilakukan berdasarkan dua alur utama yaitu pemurnian secara kimia atau pemurnian secara fisik (Gambar 2). Perbedaannya secara prinsip adalah bagaimana sebagian besar asam lemak bebas dihilangkan. Sebagian besar asam lemak bebas dihilangkan dalam unit deodorisasi di dalam proses secara fisik; kondisi operasi (suhu, vakum, dan steam) secara hati-hati dipilih dengan tujuan untuk menghilangkan asam-asam tersebut; suatu deodorizer yang dirancang dengan baik beroperasi pada suatu efisiensi yang dapat diterima akan mengurangi biaya proses. Minyak harus secara hati-hati mengalami degumming dan pemucatan sebelum masuk unit deodorisasi karena proses distilasi memerlukan suhu yang tinggi. Umumnya pemurnian minyak sawit kasar (CPO) di industri dilakukan secara fisik (refined, bleached and deodorized, RBD palm oil). Sebaliknya, jika pemurnian secara kimia dipilih, minyak dibersihkan dari gum dan asam lemak bebas selama proses netralisasi oleh alkali dan terbentuk sabun. Adapun tahapan proses pemurnian minyak sawit secara kimia adalah sebagai berikut.

CPO Pemurnian

Kimia Pemurnian Fisik

Degumming Degumming

Netralisasi Pemucatan

(Bleaching)

Pemucatan (Bleaching)

Deodorisasi

Penghilangan Asam Lemak Bebas dengan steam

Deodorisasi

Minyak Sawit Rafinasi

Gum

Sabun

Distilat Asam Lemak

Bebas

Gambar 2 Diagram skematik proses pemurnian secara kimia dan fisik (Verhe et al. 2006).


(31)

Degumming

Pemurnian minyak sawit merah dari minyak sawit kasar diawali dengan degumming. Degumming merupakan proses untuk memisahkan getah atau lendir yang terdapat dalam minyak tanpa mereduksi asam lemak bebas yang ada. Getah atau lendir pada umumnya terdiri atas fosfatida, protein, karbohidrat, residu dan resin. Kotoran-kotoran yang tersuspensi tersebut sukar dipisahkan bila berada dalam kondisi anhidrat, sehingga dapat diendapkan dengan cara hidrasi. Hidrasi dapat dilakukan dengan menggunakan uap, penambahan air, atau dengan penambahan larutan asam lemah (Dijkstra dan Van Opstal 1990).

Pada proses pemisahan, setelah uap panas dialirkan ke dalam minyak kemudian disentrifugasi sehingga bagian lendir terpisah. Pada waktu proses sentrifugasi berlangsung, ke dalam minyak ditambahkan natrium klorida atau bahan kimia lain yang dapat menyerap air. Suhu minyak pada waktu proses sentrifugasi berada antara 32 oC dan 50 oC.

Menurut Dijkstra dan Van Opstal (1990) asam yang biasa digunakan adalah asam fosfat. Proses degumming dilakukan dengan memanaskan minyak pada suhu 70-80 oC setelah ditambahkan asam fosfat (H3PO4) 0.3-0.4 persen (b/b) dengan

konsentrasi 20-60 persen (b/b).

Proses degumming perlu dilakukan sebelum proses netralisasi, sebab sabun yang terbentuk dari hasil reaksi antara asam lemak bebas dengan alkali pada proses netralisasi akan menyerap gum (getah dan lendir) sehingga menghambat proses pemisahan sabun dari minyak, disamping itu netralisasi minyak yang masih mengandung gum akan menambah partikel emulsi dalam minyak sehingga mengurangi rendemen trigliserida (Ketaren 2005).

Deasidifikasi

Deasidifikasi adalah proses pemisahan asam lemak bebas dalam minyak sawit kasar. Deasidifikasi dapat dilakukan dengan metode kimia, fisik, micella, biologis, reesterifikasi, ekstraksi pelarut, supercritical fluid extraction, dan teknologi membran. Deasidifikasi secara kimia dilakukan dengan cara netralisasi dengan mereaksikan asam lemak bebas dengan basa sehingga membentuk sabun


(32)

(soapstock). Alkali yang biasa digunakan adalah NaOH, proses ini dikenal dengan

istilah ”caustic deacidification” (Bhosle dan Subramanian 2005).

Netralisasi melalui proses kimia dengan alkali, saat ini yang paling umum digunakan adalah dengan melarutkan soda kaustik. Sabun yang terbentuk dapat membantu pemisahan kotoran seperti fosfatida dan protein dengan cara membentuk emulsi. Sabun atau emulsi yang terbentuk dapat dipisahkan dari minyak dengan cara sentrifugasi (Ketaren 2005).

Tahapan proses netralisasi adalah sebagai berikut : minyak dipanaskan sampai suhu 50-60 oC sambil diaduk, kemudian ditambahkan larutan NaOH sementara pengadukan diteruskan, dan suhu dinaikkan 70-80 oC. Penambahan air panas ditujukan untuk melarutkan sabun yang terbentuk diikuti dengan pemisahan air sabun secara sentrifusi (Mahatta 1975).

Konsentrasi larutan alkali untuk netralisasi biasa dinyatakan dengan “derajat Baume (oBe)”. Untuk minyak dengan kandungan asam lemak bebas yang rendah lebih baik dinetralkan dengan alkali encer (konsentrasi lebih kecil dari 0.15 N atau 5oBe), sedangkan asam lemak bebas dengan kadar tinggi, baik dinetralkan dengan larutan alkali 10-24 oBe. Secara teoritis, untuk menetralkan 1 kg asam lemak bebas (sebagai asam oleat) dibutuhkan 0.142 kg NaOH kristal dan diberi kelebihan (excess) sebesar 0.1-0.2 persen dari berat minyak yang akan dinetralkan (Ketaren 2005).

Pemucatan (Bleaching)

Bleaching merupakan salah satu tahapan proses pemurnian minyak yang bertujuan untuk menghilangkan zat warna. Bleaching dilakukan dengan mencampur minyak dengan sejumlah kecil adsorben, seperti tanah serap (fuller earth), lempung aktif (activated clay) dan arang aktif, atau dapat juga menggunakan bahan kimia. Zat warna dalam minyak akan diserap oleh permukaan adsorben dan juga menyerap suspensi koloid serta hasil degradasi minyak seperti peroksida (Ketaren 2005).

Menurut Helena (2003) adsorben yang digunakan untuk memucatkan minyak terdiri dari tanah pemucat (bleaching earth) dan arang (bleaching carbon). Tanah pemucat banyak digunakan karena efektif menyerap zat warna.


(33)

Tanah pemucat terdiri dari beberapa komponen yaitu Al2O3, FeO2, TiO2, CaO,

MgO, K2O dan Na2O. Daya pemucatan disebabkan oleh ion-ion Al3+ yang pada

permukaan adsorben dapat mengadsorbsi partikel-partikel zat warna.

Proses bleaching dilakukan dalam ketel. Minyak yang akan dipucatkan dipanaskan pada suhu sekitar 105 oC selama 1 jam. Penambahan adsorben dilakukan pada saat minyak mencapai suhu 70-80 oC. Selanjutnya minyak dipisahkan dari adsorben dengan cara penyaringan atau dengan pengepresan menggunakan filter. Jumlah adsorben yang dibutuhkan untuk menghilangkan warna minyak tergantung dari macam dan tipe warna dalam minyak dan sampai berapa jauh warna tersebut akan dihilangkan (Ketaren 2005).

Pada pemurnian minyak sawit merah, tahapan ini dihilangkan dengan maksud untuk mempertahankan -karoten secara maksimal.

Deodorisasi

Deodorisasi merupakan proses untuk memisahkan aroma dan bau dari minyak. Prinsip dari proses deodorisasi yaitu distilasi minyak oleh uap dalam keadaan hampa udara. Pada suhu tinggi, komponen-komponen yang menimbulkan bau mudah diuapkan, kemudian melalui aliran uap komponen-komponen tersebut dipisahkan dari minyak. Komponen-komponen yang dapat menimbulkan rasa dan bau dari minyak antara lain aldehida, keton, hidrokarbon dan minyak esensial yang jumlahnya sekitar 0.1 persen dari berat minyak (Djatmiko dan Widjaja 1985).

Deodorisasi sebagai tahap terakhir dalam pemurnian minyak, merupakan proses pelucutan oleh uap air (steam). Uap panas yang digunakan merupakan uap kualitas baik (1-3% dari minyak), yang dibangkitkan dari air umpan yang telah dideaerasi dan mengalami perlakuan tertentu, yang kemudian diinjeksikan ke dalam minyak pada suhu tinggi (252-266oC) dan kevakuman tinggi (<6 mmHg). (Gunstone 2002). Pada kondisi ini peroksida terdekomposisi dan asam-asam lemak bebas serta senyawa-senyawa odor akan teruapkan. Pemucatan minyak oleh panas dilakukan dengan menjaga minyak selama 15-60 menit pada suhu tinggi untuk memastikan terjadinya dekomposisi pigmen karotenoid. Selama proses deodorisasi, mungkin terjadi beberapa reaksi yang dikehendaki, tetapi terdapat pula reaksi yang tidak diinginkan seperti hidrolisis lemak, polimerisasi


(34)

dan isomerisasi. Oleh karena itu, suhu deodorisasi harus secara hati-hati dikendalikan untuk mencapai kualitas akhir minyak yang diinginkan.

Parameter Proses dan Kondisi Deodorisasi

Deodorisasi pada prinsipnya merupakan proses pelucutan oleh gas pelucut dalam kondisi vakum pada suhu tertentu. Dan selama proses tersebut asam-asam lemak bebas dan komponen-komponen odor dihilangkan untuk mendapatkan minyak yang tidak berbau. Meskipun proses ini secara umum dinamakan deodorisasi, tetapi sebenarnya merupakan kombinasi dari tiga operasi yang berbeda (O’Brien 2004):

a. Distilasi, yaitu pelucutan komponen volatil (asam lemak bebas, tokoferol, tokotrienol, sterol, dan kontaminan seperti pestisida atau hidrokarbon aromatik polisiklik ringan, dsb)

b. Deodorisasi sebenarnya, yaitu penghilangan komponen-komponen penyebab bau; dan

c. Thermal bleaching, seperti penghancuran pigmen (karotenoid) oleh panas sementara menjaga efek samping reaksi seperti cis-trans isomerisasi, polimerisasi, dsb.

Parameter deodorisasi optimal (suhu, tekanan operasi, dan jumlah gas pelucut) ditentukan oleh jenis minyak dan proses pemurnian yang dipilih (secara kimia atau secara fisik), tetapi juga oleh rancangan deodorizer. Pemurnian secara fisik memerlukan kondisi yang lebih ketat dibandingkan pemurnian secara kimia. Hal ini karena penghilangan asam lemak bebas dilakukan dengan distilasi, dan dalam pemurnian secara fisik kadar asam lemak bebas awal cukup tinggi.

Kondisi proses deodorisasi bergantung pada jenis minyak, kualitas minyak, dan sistem pemurnian (refining) yang digunakan. Pergeseran teknologi pemurnian kini lebih kearah pemurnian secara fisik dimana asam lemak bebas secara eksklusif dihilangkan melalui distilasi uap dan membutuhkan kondisi yang lebih terkontrol dibandingkan minyak yang dimurnikan secara kimiawi. Dengan pemurnian secara kimiawi, sebagian besar kadar asam lemak bebas telah dinetralkan sebelum deodorisasi. Minyak yang mengalami pemurnian secara fisik


(35)

memiliki kadar asam lemak bebas berkisar 1 sampai 5% dibandingkan dengan minyak yang dimurnikan secara kimiawi yaitu 0.05 – 0.1%. Kebutuhan distilasi uap baik untuk minyak yang telah dimurnikan secara fisik maupun secara kimia dapat dicapai dengan mengubah satu atau lebih variabel operasi. Empat variabel operasi yang saling terkait yang mempengaruhi kualitas minyak yang dideodorisasi adalah derajat vakum, suhu, laju alir gas pelucut, dan waktu tinggal pada suhu deodorisasi.

Derajat vakum

Jika asam lemak dan senyawa-senyawa odor didistilasi pada suhu lebih rendah, distilasi harus dilakukan pada tekanan absolut yang rendah yang dipengaruhi oleh sistem vakum. Titik didih dari asam-asam lemak dan tekanan uap dari senyawa-senyawa odor berkurang dengan penurunan tekanan absolut. Tekanan absolut rendah yang biasanya digunakan adalah 2-4 mbar (O’Brien 2004), yang umumnya dihasilkan oleh sistem vakum yang terdiri dari suatu kombinasi steam jet ejector, kondensor uap, dan pompa vakum mekanik.

Suhu

Suhu deodorisasi harus cukup tinggi untuk memastikan tekanan uap dari senyawa volatil dalam minyak cukup tinggi. Tekanan uap dari senyawa-senyawa odor meningkat dengan cepat sesuai dengan kenaikan suhu minyak. Sebagai contoh, tekanan uap asam palmitat adalah 1.8 mm pada 176.7oC, 7.4 mm pada 204.4oC, 25 mm pada 232.2oC, dan 72 mm pada 260oC (O’Brien 2004). Apabila diasumsikan bahwa hubungan tekanan uap-suhu untuk semua senyawa odor adalah sama dengan asam palmitat, maka setiap 27.8oC peningkatan suhu deodorizer akan meningkatkan laju pelucutan senyawa odor sebanyak 3 kali, atau akan diperlukan waktu lebih lama sembilan kali pada suhu 177oC dibandingkan 232oC. Pengoperasian deodorizer pada suhu tertentu dapat memicu dekomposisi termal dari beberapa senyawa yang secara alami terdapat dalam minyak, seperti pigmen dan beberapa trace kompleks metal-prooksidan. Pigmen karotenoid dapat terdekomposisi dan dihilangkan melalui deodorisasi dimulai pada suhu 230oC; Oleh karenanya, pengaturan waktu dan suhu harus ditentukan dalam proses


(36)

deodorisasi. Secara umum, suhu deodorisasi akan bervariasi sekitar 204 - 246oC dan dalam kasus-kasus tertentu dapat mencapai 274oC (O’Brien 2004).

Uap Panas (Stripping steam)

Jumlah uap panas yang diperlukan merupakan suatu fungsi dari tekanan operasi dan efisiensi pencampuran. Pencampuran minyak diperlukan untuk mengenakan permukaan minyak baru pada tekanan absolut rendah secara konstan, dilakukan oleh distribusi uap panas. Oleh karena itu, kedalaman minyak merupakan suatu faktor utama untuk memastikan baik kebutuhan uap panas dan waktu tinggalnya. Jumlah asam-asam lemak yang terdistilasi untuk setiap kg uap panas berbanding lurus terhadap takanan uap dari asam lemak. Uap panas efektif bergantung pada volume, sebagai contoh, operasi pada 1-mbar akan membutuhkan persentase berat uap yang lebih rendah dibandingkan operasi pada 6-mbar. Perbedaan diantara jenis minyak juga mempengaruhi kebutuhan uap; sebagai contoh, minyak kanola membutuhkan uap lebih banyak dibandingkan minyak kedelai untuk menghilangkan bau. Jumlah uap yang berlebihan mungkin dapat menyebabkan hidrolisis dan meningkatnya kebutuhan energi untuk sistem vakum. Kondisi tipikal kebutuhan uap untuk proses deodorisasi adalah 5 - 15%-b minyak untuk sistem batch dan 0.5-2% untuk sistem kontinu dan semi kontinu

(O’Brien 2004).

Waktu tinggal (Stripping time)

Waktu tinggal proses deodorisasi adalah periode selama lemak atau minyak berada pada suhu deodorisasi dan kontak dengan gas pelucut. Waktu pelucutan (stripping time) untuk deodorisasi yang efisien harus cukup lama untuk mereduksi komponen odor dari minyak sampai tingkat yang dikehendaki. Waktu tinggal ini akan bervariasi sesuai rancangan alat. Sebagai contoh, deodorizer tipe batch dengan kedalaman minyak 8-10 ft di atas distributor sparging steam akan memerlukan waktu deodorisasi yang lebih lama dibandingkan sistem kontinu atau semikontinu yang menggunakan kedalaman lapisan minyak yang rendah. Biasanya, waktu tinggal pada suhu tertentu untuk sistem deodorizer batch adalah 3-8 jam, sedangkan waktu tinggal untuk sistem kontinu dan semikontinu bervariasi dari 15 sampai 120 menit (O’Brien 2004).


(37)

Perubahan Fisiko-Kimia Minyak Sawit

Setelah mengalami proses pemurnian, minyak sawit akan mengalami perubahan sifat fisiko-kimia yang diuji melalui beberapa parameter mutu minyak. Tabel 2 menunjukkan kualitas minyak sawit setelah mengalami tahapan proses pemurnian, dari tahap deasidifikasi secara kimia, pemucatan, dan deodorisasi.

Minyak sawit bersifat setengah padat pada suhu kamar, berwarna kuning jingga karena mengandung pigmen karotenoid, sebaliknya minyak inti sawit bersifat cair pada suhu kamar. Perbedaan sifat ini disebabkan oleh perbedaan jenis dan jumlah rantai asam lemak yang membentuk trigliserida dalam kedua minyak tersebut (Budiman 1987; Goh et al. 1985).

Tabel 2 Kualitas minyak setelah mengalami tahapan pemurnian secara kimia*)

Parameter NPO NBPO NBDPO

Asam lemak bebas (sebagai C16), % maks Bilangan peroksida (mEk/kg)

Kadar air dan pengotor (%-b), maks Besi (mg/kg)

Tembaga (mg/kg) Fosfor (mg/kg) Kadar sabun (mg/kg)

0.15 - 0.1 - - - 20 0.15 0 0.1 0.15 0.06 4 0 0.10 0 0.1 0.12 0.05 4 0 *)

NPO (Neutralized Palm Oil); NBPO (Neutralized Bleached Palm Oil); NBDPO (Neutralized Bleached and Deodorized palm Oil)

(Basiron 2005)

Minyak sawit kasar yang diperoleh dari varietas tenera Elaeis guineensis, memiliki kandungan karoten 500-700 ppm (Tabel 3), sementara untuk Elaeis oleifera adalah sekitar 4600 ppm. Kadar karoten dari sawit hibrida hasil silangan kedua spesies tersebut, berkisar diantara nilai-nilai tersebut. Minyak hasil pengepresan kedua (Tabel 4), yang diperoleh melalui dua kali pengepresan buah sawit, memiliki konsentrasi karotenoid jauh lebih tinggi (1800-2400 ppm) (Choo 1995). Minyak yang telah dimurnikan secara fisik tidak mengandung karotenoid. Hal ini karena telah diabsorbsi oleh bleaching earth atau rusak selama perlakuan dengan panas. Karoten cenderung untuk lebih memisah ke dalam fraksi olein yang tidak jenuh, dan tertinggal sedikit dalam fraksi stearin. Hal ini berdampak pada stabilitas oksidatif dari kedua fraksi ini. CPO dikonsumsi di beberapa negara


(38)

sebagai suatu sumber vitamin A. Untuk menjaga keberadaan karoten dalam minyak sawit, saat ini terdapat proses untuk memproduksi minyak sawit merah. Proses ini dapat menggunakan distilasi molekuler (Ooi et al. 1994) atau netralisasi secara kimiawi yang diikuti proses pemurnian yang dimodifikasi.

Tabel 3 Komposisi karotenoid dalam minyak sawit (dinyatakan sebagai % total karotenoid) Jenis E.guineesis (Eg) E.oleifera (Eo) Hibrida Eg x Eo

Phytoene Cis -Carotene Phytofluene

-Carotene

-Carotene Cis--Carotene

-Carotene -Carotene -Carotene Neurosporene -Zeacarotene -Zeacarotene Lycopene (Total ppm) 1.27 0.68 0.06 56.02 35.06 2.49 0.69 0.33 0.83 0.29 0.74 0.23 1.30 500-700 1.12 0.48 Trace 54.08 40.38 2.30 0.36 0.08 0.09 0.04 0.57 0.43 0.07 4300-4600 1.83 0.38 Trace 60.53 32.78 1.37 1.13 0.23 0.24 0.23 1.03 0.35 0.05 1250-1800 (Siew 2002)

Tabel 4 Kadar karoten dalam berbagai fraksi minyak sawit

Jenis E.guineesis

(Eg)

Minyak sawit kasar, CPO (E.guneesis, tenera) Olein sawit kasar

Stearin sawit kasar Minyak residu dari serat

Minyak dengan dua kali pengepresan

500-700 600-760 380-540 4000-6000 1800-2400 (Siew 2002)

Stabilitas -karoten

β-karoten sebagaimana karotenoid di alam, sebagian besar berupa hidrokarbon yang larut dalam lemak, serta berikatan dengan senyawa yang


(39)

-karoten (11 ikatan rangkap pada 1 molekul β-karoten) menyebabkan bahan ini mudah teroksidasi ketika terkena udara. Menurut Sundram (2007) karoten sensitif terhadap oksigen dan cahaya. Oksidasi karoten dipicu oleh hidroperoksida yang dihasilkan dari oksidasi lipid, mengakibatkan diskolorisasi dan bleaching.

Oksidasi karotenoid akan lebih cepat dengan adanya sinar dan katalis logam, khususnya tembaga, besi dan mangaan. Oksidasi dapat terjadi secara acak pada rantai karbon yang mengandung ikatan ganda (Bonnie dan Choo 1999). Pengaruh suhu terhadap oksidasi pada karotenoid dikemukakan oleh Worker (1957) dalam Muchtadi (1992) yaitu bahwa karotenoid belum mengalami kerusakan karena pemanasan pada suhu 60oC, sedangkan Gross (1991) mengatakan bahwa laju oksidasi β-karoten meningkat dengan peningkatan suhu.

Marty dan Berset (1990) melakukan penelitian dengan β-karoten all trans sintetis dan menyatakan bahwa ketahanan molekul tersebut pada suhu tinggi dipengaruhi oleh kondisi medium. Pemanasan yang lama pada suhu 180oC (kondisi tanpa oksigen) hanya menyebabkan sedikit kerusakan pada molekul ini, namun pada bahan pangan (dengan adanya komponen penyusun berupa pati, lemak, air, dan lain-lain) serta dikombinasikan dengan pencampuran secara mekanis akan memberi kesempatan masuknya oksigen dan menyebabkan kerusakan molekul β-karoten all trans ini lebih besar hingga jauh lebih besar lagi.

Menurut Alyas et al. (2006), peningkatan waktu pemanasan dari 30 menit

sampai 120 menit mengakibatkan reduksi β-karoten sebesar 3 persen pada suhu 50oC dan 6 persen pada suhu 100oC dalam Red Palm Olein (RPOn). Pemanasan RPOn pada suhu yang sangat tinggi 200oC selama 30 menit mengakibatkan

kehilangan β-karoten hanya 15 persen. Namun, peningkatan waktu pada suhu 200oC menyebabkan reduksi sebesar 59 persen kandungan β-karoten. Hal ini sesuai dengan penemuan Lin dan Chen (2005) yang mengatakan bahwa kecenderungan penurunan β-karoten seiring dengan peningkatan suhu penyimpanan jus tomat yang di simpan pada suhu yang berbeda.

Mac Dougall (2002) menyebutkan bahwa warna kuning, orange, merah karotenoid adalah terkait dengan sistem konjugasi ikatan rangkap karbon-karbon. Semua struktur trans dapat diubah menjadi isomer cis. Isomerisasi cis-trans


(40)

menghasilkan perubahan warna produk yang ditunjukkan oleh sifat spektral karotenoid cis yang berbeda dengan karotenoid trans.

Rantai poliene yang berperan dalam penyerapan cahaya dan ikatan rangkap terkonjugasinya yang berperan sebagai antioksidan, disisi lain justru membuat karotenoid menjadi tidak stabil. Strukturnya mudah rusak dengan adanya serangan radikal bebas seperti molekul oksigen tunggal dan senyawa lain yang reaktif. Panas, sinar dan asam memacu isomerisasi bentuk trans karotenoid ke bentuk cis. Cahaya, enzim, prooksidan logam dan ko-oksidasi dengan lemak tidak jenuh, disisi lain memacu oksidasi (Bonnie dan Choo 1999).

Perubahan struktur β-karoten khususnya maupun karotenoid pada umumnya selama pengolahan dan penyimpanan dapat terjadi melalui beragam jalur, tergantung pada kondisi proses reaksinya. Menurut Bonnie dan Choo (1999), jalur degradasi yang umum adalah isomerisasi, oksidasi, dan fragmentasi karotenoid. Beberapa macam kerusakan karotenoid yang mungkin terjadi, diantaranya : kerusakan pada suhu tinggi. Eskin (1979) menyebutkan bahwa karotenoid akan mengalami kerusakan pada suhu tinggi melalui degradasi thermal sehingga terjadi dekomposisi karotenoid yang mengakibatkan turunnya intensitas warna karoten atau terjadi pemucatan warna (Gambar 3). Hal ini terjadi dalam kondisi oksidatif.

Menurut Bonnie dan Choo (1999), isomerisasi, oksidasi dan kerusakan molekul karotenoid terjadi sebagai akibat degradasi termal. Dua jenis produk degradasi thermal yang terbentuk adalah volatil dan non-volatil. Fraksi volatil terdiri dari molekul dengan berat molekul yang rendah yang mudah menguap. Fraksi non-volatil adalah fraksi residual setelah penguapan fraksi volatil.

Eskin (1979) menyebutkan pula bahwa oksidasi juga dapat menyebabkan kerusakan karotenoid. Oksidasi dapat dikelompokan menjadi 2 yaitu oksidasi enzimatis dan oksidasi non enzimatis. Oksidasi enzimatis dikatalis oleh enzim

lipoksigenase. Hasil proses oksidasi ini berupa hidroksi β-karoten, semi karoten,

β-karoten, aldehid, dan hidroksi β-neokaroten yang menyebabkan penyimpangan rasa.


(41)

Khusus pada kerusakan β-karoten selama pengolahan dapat dinyatakan, salah satunya dengan persentase aktivitas provitamin A. Senyawa β-karoten dalam bentuk isomer trans mempunyai aktivitas provitamin A sebesar 100 persen. Kehilangan aktivitas provitamin A dapat terjadi selama sterilisasi anaerob dan bervariasi dari 5 sampai 50 persen tergantung pada suhu, waktu dan bentuk karotenoid. Apabila terdapat oksigen, kerusakan karotenoid terjadi lebih banyak dan dipacu oleh cahaya, enzim dan ko-oksidasi dengan hidroperoksida lemak.

Oksidasi kimiawi β-karoten menghasilkan 5,6-epoksida yang kemudian berubah menjadi isomernya yaitu 5,8-epoksida yang merupakan mutakrom. Pemecahan lebih lanjut produk-produk oksidasi tersebut menghasilkan senyawa kompleks yang sejenis dengan oksidasi asam lemak. Senyawa hasil oksidasi tersebut tidak mempunyai aktivitas vitamin A lagi (Andarwulan dan Koswara 1992).

Dibandingkan vitamin A, provitamin A (β-karoten) lebih stabil terhadap cahaya dan oksidasi. Hal ini disebabkan oleh lokasi karotenoid dalam jaringan tanaman. Namun, perlakuan panas yang merusak jaringan jika dipaparkan dengan

Gambar 3 Kerusakan -karoten pada beberapa tingkat suhu (Basiron 2005).

Ret

ens

i ka

ro

ten

(

%)


(42)

oksigen, cahaya, dan asam dapat mengakibatkan kerusakan provitamin A (β -karoten). Lebih lanjut, panas, asam dan cahaya dilaporkan menyebabkan isomerisasi vitamin A dan karotenoid. Faktor yang tidak menguntungkan ini dapat menyebabkan isomerisasi bentuk all trans ke bentuk cis yang secara biologis kurang baik (Gayathri et al. 2003).

Kualitas Minyak Sawit Rafinasi

Karakteristik dari minyak sawit rafinasi secara fisik dengan kadar vitamin yang tinggi telah dilaporkan (Gibon et al. 2007). Disebutkan bahwa minyak ini berhasil mempertahankan sekitar 20% dari karoten awal dan 89% dari kadar tokoferol dan tokotrienol (Tabel 5), yang terlihat sangat tinggi dibandingkan dengan minyak rafinasi yang umumnya dihasilkan di pasaran. Waktu retensi yang lama pada suhu yang relatif rendah dikombinasikan dengan konsumsi steam yang tinggi merupakan kondisi yang diperlukan untuk mengurangi keasaman sampai tingkat yang cukup rendah sekaligus mempertahankan karotenoid, tokoferol dan tokotrienol.

Tabel 5 Karakteristik minyak sawit (golden palm oil) sebagai hasil pemurnian secara kimia pada skala pilot

Komponen CPO Degummed

Bleached Palm Oil

*)RBD golden

palm Oil

Asam lemak bebas (%-sebagai palmitat) Fosfor (ppm)

Besi (ppm)

Lovibond 5” ¼ (R/Y) Karoten (ppm)

Tokoferol/ tokotrienol (ppm)

3.8 19 2.1 - 520 856

< 2 0.1 50/20

380 790

0.08

18/20 105 760

*)

pada 0,5 mbar, 180 oC, 3% steam, selama 180 menit (Gibon et al. 2007)


(43)

Pemurnian Minyak Sawit Merah

Pemurnian minyak sawit merah dengan menghilangkan tahap bleaching telah dilaporkan yaitu suatu unit pemurnian alkali yang efisien mampu untuk memurnikan CPO begitu efektif sehingga dapat dideodorisasi secara langsung (tanpa tahap pemucatan) atau dengan jumlah bleaching earth yang sangat kecil (Gibon et al. 2007). Proses ini akan memerlukan CPO dengan kualitas yang sangat baik (asam lemak bebas yang rendah dan DOBI yang tinggi), dengan aksi penetralan yang dibatasi pada penghilangan fosfor sementara karotenoid dapat dipertahankan.

Tabel 6 Karakteristik minyak sawit hasil pemurnian tanpa bleaching earth

Komponen CPO

Degummed Neutralized Palm Oil Degummed, Neutralized and Deodorized palm Oil

Asam lemak bebas (%-sebagai palmitat) Kadar air (%)

Karoten (ppm) DOBI Fosfor (ppm) Tokoferol (ppm) 2.56 0.08 580 3.1 16 733 0.06 0.01 579 - 3 679 0.03 0.01 1.0 - 0 566 (Swoboda 1985)

Dalam beberapa aplikasi, pemucatan dengan panas hanya akan beroperasi selama deodorisasi dilakukan sekitar 240 oC dan dengan waktu tinggal yang sangat singkat, menghasilkan sedikit kerusakan tokoferol dan tokotrienol dan stabilitas oksidatif yang sangat baik bagi produk akhir (Tabel 6).

Pemucatan panas yang dilakukan dalam suhu yang lebih rendah akan mengakibatkan kerusakan karotenoid lebih sedikit, sekaligus dapat mempertahankan tokoferol dan tokotrienol dalam jumlah besar dalam minyak.

Produk-produk yang dihasilkan dari prosedur pemurnian khusus dan diberi label sebagai minyak makan merah (red cooking oil) terdapat di pasaran Asia:


(44)

utamanya. Nutrolein sebagai contoh (yang dihasilkan oleh Unitata Berhad di Malaysia) adalah suatu superolein yang dihasilkan lewat fraksionasi kering, CPO berkualitas tinggi yang dirafinasi secara kimia. Kadar karotenoidnya dilaporkan di atas 800 ppm, dengan konsentrasi vitamin E superior mencapai 900 ppm. Kualitas minyak yang sama juga terdapat di pasaran Amerika Latin seperti Sioma Oil (dihasilkan oleh Danec S.A. di Ekuador), yaitu minyak sawit dengan kandungan asam lemak tak jenuh yang lebih tinggi, yang diperoleh dari varietas sawit hibrida (Gibon et al. 2007). Gambar 4 berikut memperlihatkan produk Carotino yang dihasilkan oleh Malaysia.

Gambar 4 Contoh produk olein merah sawit ’Carotino’.

Deodorisasi Minyak Sawit Merah

Mayamol et al. (2007) melakukan proses deodorisasi skala pilot dalam suatu deodorizer berupa bejana berbentuk silinder terbuat dari stainless steel, dengan kapasitas 30 L, yang terdiri dari sistem baffle khusus untuk membantu pencampuran minyak dan aliran steam menjadi lebih efisien. Bejana juga dilengkapi dengan elemen pemanas elektrik dan suatu koil pendingin internal dari stainless steel. Tingkat kevakuman tinggi yang diperlukan dalam proses diperoleh dengan mengkombinasikan pompa vakum tipe liquid ring multi tahap yang dirangkai secara seri, dengan suatu ejektor steam yang efisien.

Mayamol et al. (2007) menggunakan dua puluh lima kilogram WPOn (Winterized Palm Olein) dalam proses deodorisasi untuk setiap batch skala pilot.


(45)

Pertama kali deodorizer dikenakan kondisi vakum 1 mmHg dengan mengoperasikan pompa vakum dan ejektor steam. Proses deodorisasi dilakukan pada suhu 130, 140, dan 150oC selama 2 jam. Perbedaan suhu deodorisasi digunakan untuk mengetahui suhu minimum dimana retensi karoten maksimum tanpa bau yang tidak diinginkan terdapat dalam minyak. Minyak kemudian dipanaskan pada 70oC menggunakan pemanas elektrik diikuti dengan aliran steam dengan laju 0,35 kg/jam. Pemanasan lebih lanjut dilakukan sampai suhu yang ditetapkan dengan mengatur pemanas elektrik dan aliran steam. Pengambilan sampel dilakukan setiap setengah jam lewat katup sampling untuk memonitor proses deodorisasi setiap perlakuan.

Deodorisasi dilakukan terutama untuk menghilangkan komponen-komponen volatil yang mengakibatkan bau yang tidak dikehendaki (off flavor). Komponen-komponen ini adalah senyawa keton, aldehid, alkohol, asam lemak bebas, dsb. Penurunan tingkat warna juga terjadi secara signifikan pada tahap ini lewat pemucatan oleh panas (thermal bleaching) dari pigmen seperti karotenoid dan klorofil pada kondisi standar deodorisasi yang umumnya dilakukan di industri minyak makan yaitu pada suhu lebih dari 180oC dan vakum kurang dari 5 mmHg (De Greyt dan Kellens 2005). Pada kondisi ekstrim tersebut, komponen mikronutrien penting seperti karoten, tokol, dan sterol mengalami kerusakan atau hilang sehingga menghasilkan minyak yang memiliki kualitas nutrisi rendah. Hampir sebagian besar jumlah karoten dan 20-30% tokol dan sterol secara normal hilang pada saat deodorisasi pada kondisi praktis tersebut (Ferrari et al. 1996).

Ooi et al. (1996) pernah melaporkan metode dengan distilasi molekuler untuk menghasilkan RPOn yang mengandung karoten lebih dari 500 ppm dan tokol lebih dari 600 ppm, namun distilasi molekuler merupakan proses yang kurang layak secara komersial karena mahal. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian yang dilakukan Mayamol et al. (2007) dengan memodifikasi kondisi deodorisasi dalam proses pemurnian olein merah (RPOn).

Kondisi deodorisasi yang dilakukan Mayamol et al. (2007), adalah dengan mengoptimasi proses pada suhu rendah dan tekanan vakum tinggi untuk mempertahankan kandungan alami karoten, tokol, dan sterol dalam olein sawit. Dengan mempertimbangkan sensitivitas komponen-komponen mikronutrien


(46)

terhadap suhu, khususnya karoten, prosedur untuk meningkatkan suhu preheating ke tingkat yang ditetapkan dan mempertahankan suhu deodorisasi bersama-sama dengan kebutuhan vakum, dioptimasi dalam proses ini untuk mempertahankan mikronutrien dalam produk. Olein yang telah diwinterisasi (WPOn) diumpankan ke dalam deodorizer dalam kondisi vakum dan vakum dipertahankan pada 0-1 mmHg dengan pemanasan lambat sampai 70 oC sampai kadar air residu hilang. Pemanasan lebih lanjut dilakukan secara hati-hati pada kondisi vakum tersebut dengan mengalirkan steam dengan laju alir 0.35 kg/jam. Deodorisasi dilakukan pada suhu 130, 140, dan 150 oC selama 2 jam. Sampel diambil melalui katup sampling setiap selang 30 menit untuk memonitor proses deodorisasi dan tingkat mikronutrien.

Parameter utama yang membangun sifat fisiko-kimia dari minyak makan seperti kadar asam lemak bebas, bilangan iodine (Iodine Value, IV), titik leleh (Melting Point, MP), titik asap dan logam berat, yang dipengaruhi oleh proses pemurnian disajikan dalam Tabel 7.

Tabel 7 Perubahan karakteristik fisiko-kimia dari CPO dan fraksi-fraksinya selama pemurnian

Karakteristik CPO NPO WPOn NPS RPOn

Asam lemak bebas (%) Kadar air (%)

Bilangan iodine Titik leleh (oC) Titik asap (oC) Fe (ppm) Cu (ppm)

3.00 ± 0.18 0.25 ± 0.02 50.00 ± 0.34 37.00 ± 0.29

- 5.00 ± 0.41 0.47 ± 0.02

0.30 ± 0.02 0.26 ± 0.02 50.00 ± 0.18 37.00 ± 0.29

- 1.30 ± 0.18 0.15 ± 0.01

0.50 ± 0.02 0.06 ± 0.01 57.00 ± 0.18 15.00 ± 0.23

- 0.80 ± 0.09 0.06 ± 0.01

0.30 ± 0.01 0.28 ± 0.01 44.00 ± 0.18 52.00 ± 0.23

- 2.60 ± 0.12 0.17 ± 0.01

0.25 ± 0.02 0.02 ± 0.01 57.00 ± 0.07 15.00 ± 0.23 8.00 ± 0.12 0.80 ± 0.07 0.06 ± 0.01 Nilai dinyatakan sebagai rata-rata ± SD (n=5), (Mayamol et al. 2007)

Keterangan: CPO (Crude Palm Oil); NPO (Neutralized Palm Oil); WPOn (Winterized Palm Olein); NPS (Neutralized Palm Stearin); RPOn (Red Palm Olein).

Komposisi asam lemak bebas dari CPO dan fraksi-fraksinya diberikan dalam Tabel 8. Dari tabel tersebut terlihat bahwa asam lemak jenuh utama yang terdapat dalam CPO adalah asam palmitat, yang banyak terkonsentrasi pada fraksi stearin sebesar 56.7% dibandingkan dengan fraksi olein yang hanya sebesar 40.1%, sedangkan kadar palmitat dalam CPO adalah sebesar 45%. Sebaliknya


(47)

asam lemak tidak jenuh yang paling banyak adalah asam oleat C18:1 yang terdapat

dalam fraksi olein sebesar 44.8% dibandingkan dalam fraksi stearin yang hanya 29.8% saja. Hasil yang diperoleh Mayamol et al. (2007) menyatakan bahwa tahapan proses pemurnian seperti netralisasi dan deodorisasi tidak mengubah komposisi asam lemak secara signifikan.

Tabel 8 Komposisi asam lemak dari CPO dan fraksi-fraksinya

Asam lemak CPO (%-b) NPO (%-b) WPOn (%-b) NPS (%-b) RPOn (%-b) 12:0 14:0 16:0 18:0 18:1 18:2 Lain-lain

0.5 ± 0.01 1.2 ± 0,12 45.0 ± 0.23

3.2 ± 0.06 40.2 ± 0.09

9.6 ± 0.05 0.3 ± 0.03

0.5 ± 0.03 1.1 ± 0.07 45.6 ± 0.10 3.2 ± 0.07 39.8 ± 0.06 9.6 ± 0.04

0.2 ± 0.05

0.1 ± 0.02 1.1 ± 0.06 40.6 ± 0.07 3.2 ± 0.003 44.5 ± 0.35 10.2 ± 0.24 0.3 ± 0.02

1.2 ± 0.12 1.4 ± 0.13 56.7 ± 0.27 4.0 ± 0.24 29.8 ± 0.13 6.8 ± 0.13 0.1 ± 0.03

0.1 ± 0.02 0.8 ± 0.13 40.1 ± 0.19 3.1 ± 0.26 44.8 ± 0.13 10.8 ± 0.15 0.3 ± 0.03

Nilai dinyatakan sebagai rata-rata ± SD (n=5), (Mayamol et al. 2007)

Keterangan: CPO (Crude Palm Oil); NPO (Neutralized Palm Oil); WPOn (Winterized Palm Olein); NPS (Neutralized Palm Stearin); RPOn (Red Palm Olein).

Tabel 9 Perubahan karoten di dalam CPO dan fraksi-fraksinya yang dianalisis dengan HPLC

Sampel -karoten (ppm) -karoten (ppm) Likopen (ppm) Total (ppm) CPO NPO NPOn RPOn Sampel komersial

272 ± 3.30 269 ± 2.70 301 ± 3.70 212 ± 2.50

tt

282 ± 3.50 278 ± 2.54 312 ± 3.67 233 ± 2.54

tt

8 ± 1.45 4 ± 0.35 18 ± 0.35

5 ± 0.90 tt

562 551 631 450

Nilai dinyatakan sebagai rata-rata ± SD (n=5); tt= tidak terdeteksi (Mayamol et al. 2007)

Pengaruh proses pemurnian terhadap kadar karoten disajikan dalam Tabel 9. Tabel tersebut menunjukkan bahwa CPO yang digunakan mengandung 562 ppm karoten. Komponen utama karoten merupakan -karoten (272 ppm) dan -karoten (282 ppm) dengan likopen (8 ppm) sebagai komponen minor. Apabila dihitung,


(48)

kadar provitamin A (-karoten) adalah sekitar 98% dari total karoten. Dalam proses pemurnian tahap pertama melibatkan netralisasi CPO menggunakan alkali. Tidak seperti proses pemurnian secara kimia di industri, netralisasi yang dilakukan oleh Mayamol et al. (2007) adalah pada kondisi vakum 70 mmHg pada suhu 80 oC. Pada kondisi ini, karoten yang hilang hanya sekitar 2%.

Sekitar 80% karoten dapat dipertahankan setelah proses deodorisasi yang berlangsung selama 2 jam pada 140 oC dengan tekanan vakum 1 mmHg (Tabel 9). Pada suhu 130 oC, kadar karoten dapat dipertahankan sampai 85%, dan Mayamol et al. (2007) melaporkan masih adanya karakteristik bau (fruity odor) bahkan setelah 2 jam deodorisasi. Pada suhu 150 oC, kerusakan karoten berlangsung lebih cepat dan setelah 2 jam, karoten akhir yang dapat dipertahankan sebesar 70%.


(1)

Lampiran 15 Hasil sidik ragam reduksi kadar air

Dependent Variable: k_air

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 0 0 . . Error 6 0 0

Corrected Total 11 0

R-Square Coeff Var Root MSE k_air Mean 0.000000 0 0 100.0000

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlk 5 0 0 . .

Duncan's Multiple Range Test for k_air

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha = 0.05, Error Degrees of Freedom = 6, Error Mean Square = 0

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 0 0 0 0 0 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlk

A 100.0 2 130_1 A 100.0 2 130_2 A 100.0 2 140_1 A 100.0 2 140_2 A 100.0 2 150_1 A 100.0 2 150_2


(2)

Lampiran 16 Hasil sidik ragam retensi karoten

Dependent Variable: karoten

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 487.4693000 97.4938600 18.00 0.0015 Error 6 32.4998000 5.4166333

Corrected Total 11 519.9691000

R-Square Coeff Var Root MSE karoten Mean 0.937497 3.634522 2.327366 64.03500

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlk 5 487.4693000 97.4938600 18.00 0.0015

Duncan's Multiple Range Test for karoten

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha = 0.05, Error Degrees of Freedom = 6, Error Mean Square = 5.416633

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 5.695 5.902 6.005 6.056 6.079

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlk

A 71.135 2 130_1 B A 69.825 2 140_1 B C 64.930 2 130_2 C 63.525 2 150_1 C 63.340 2 140_2 D 51.455 2 150_2


(3)

Lampiran 17 Hasil sidik ragam reduksi warna

Dependent Variable: warna

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 2.57187500 0.51437500 41.85 0.0001 Error 6 0.07375000 0.01229167

Corrected Total 11 2.64562500

R-Square Coeff Var Root MSE warna Mean 0.972124 3.562017 0.110868 3.112500

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlk 5 2.57187500 0.51437500 41.85 0.0001

Duncan's Multiple Range Test for warna

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha = 0.05, Error Degrees of Freedom = 6, Error Mean Square = 0.012292

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .2713 .2812 .2861 .2885 .2896 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlk

A 4.0500 2 150_2 B 3.0750 2 130_2 B 3.0500 2 140_2 B 3.0250 2 150_1 B 2.9750 2 140_1 C 2.5000 2 130_1


(4)

Lampiran 18 Hasil sidik ragam perubahan asam lemak bebas (ALB)

Dependent Variable: alb

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 0.00010000 0.00002000 1.20 0.4089 Error 6 0.00010000 0.00001667

Corrected Total 11 0.00020000

R-Square Coeff Var Root MSE alb Mean 0.500000 40.82483 0.004082 0.010000

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlk 5 0.00010000 0.00002000 1.20 0.4089

Duncan's Multiple Range Test for alb

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha = 0.05, Error Degrees of Freedom = 6, Error Mean Square = 0.000017

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .00999 .01035 .01053 .01062 .01066

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlk

A 0.015000 2 140_1 A 0.010000 2 130_2 A 0.010000 2 130_1 A 0.010000 2 150_2 A 0.010000 2 150_1 A 0.005000 2 140_2


(5)

Lampiran 19 Hasil sidik ragam reduksi bilangan peroksida (PV)

Dependent Variable: pv

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 5 380.3764000 76.0752800 20.59 0.0010 Error 6 22.1638000 3.6939667

Corrected Total 11 402.5402000

R-Square Coeff Var Root MSE pv Mean 0.944940 2.003721 1.921969 95.92000

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlk 5 380.3764000 76.0752800 20.59 0.0010

Duncan's Multiple Range Test for pv

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha = 0.05, Error Degrees of Freedom = 6, Error Mean Square = 3.693967

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range 4.703 4.874 4.959 5.002 5.020

Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlk

A 99.665 2 150_2 A 99.525 2 150_1 A 98.705 2 140_2 A 97.715 2 140_1 A 96.320 2 130_2 B 83.590 2 130_1


(6)

Lampiran 20 Hasil sidik ragam intensitas odor

Dependent Variable: Odor_Intensitas

Sum of

Source DF Squares Mean Square F Value Pr > F Model 32 150.8911905 4.7153497 5.75 <.0001 Error 135 110.7782738 0.8205798

Corrected Total 167 261.6694643

R-Square Coeff Var Root MSE Odor_Intensitas Mean 0.576648 28.32389 0.905859 3.198214

Source DF Type I SS Mean Square F Value Pr > F Perlk 5 79.85339286 15.97067857 19.46 <.0001 Blok 27 71.03779762 2.63102954 3.21 <.0001

Duncan's Multiple Range Test for Odor_Intensitas

NOTE: This test controls the Type I comparisonwise error rate, not the experimentwise error rate. Alpha = 0.05, Error Degrees of Freedom = 6, Error Mean Square = 0.82058

Number of Means 2 3 4 5 6 Critical Range .4788 .5039 .5207 .5330 .5425 Means with the same letter are not significantly different. Duncan Grouping Mean N Perlk

A 4.3321 28 130-1 B 3.4607 28 130-2 B 3.2607 28 140-1 B 3.1357 28 140-2 B 3.0071 28 150-1 C 1.9929 28 150-2