25 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
a Industri Farmasi
Perkembangan jumlah dan jenis produk yang diproduksi oleh Industri Farmasi dalam negeri serta kebijakan Pemerintah yang kondusif telah mendorong sarana
industri farmasi Indonesia hingga menjadi salah satu industri yang berkembang cukup pesat dengan jumlah konsumen yang terus bertambah. Tercatat bahwa di Indonesia
terdapat 21 Provinsi yang belum memiliki sarana industri farmasi antara lain Provinsi Aceh, Riau, Bengkulu, Lampung, Kepulauan Bangka Belitung, Nusa Tenggara Barat, Nusa
Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan,
Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua. Sementara jumlah industri farmasi di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 yang hanya tersebar di 12 provinsi
dapat dilihat pada Gambar 24,
dimana Provinsi Jawa Barat memiliki jumlah industri farmasi terbanyak diikuti oleh Provinsi Jawa Timur.
Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 24. Grafik Jumlah Industri Farmasi per Provinsi pada Tahun 2008 – 2010
Kenyataan bahwa jumlah industri farmasi terus meningkat dari tahun ke tahun di wilayah Indonesia bagian barat ini dapat dijadikan acuan dalam mengembangkan
26 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
industri farmasi di Indonesia bagian timur dalam rangka pemerataan sarana tersebut di seluruh Indonesia. Keberadaan industri farmasi yang banyak tersebar di wilayah
Indonesia bagian barat ini juga salah satu sebab dari mahalnya harga obat di bagian timur akibat tingginya biaya distribusi. Faktor keamanan, kapasitas Sumber Daya
Manusia SDM dan keadaan ekonomi masyarakat di wilayah timur Indonesia juga harus ditingkatkan untuk mendukung upaya tersebut. Hal ini penting untuk membuka akses
masyarakat terhadap sarana pelayanan kesehatan khususnya bidang kefarmasian dan alat kesehatan.
b Industri Obat Tradisional IOT
Ketersediaan sarana pelayanan kesehatan seperti Industri Obat Tradisional sudah banyak berkembang dan mayoritas masyarakat kian banyak yang berpaling pada obat
tradisional terkait slogan back to nature atau hidup sehat dengan herbal. Penyebaran industri obat tradisional pada tingkat provinsikabkota belum banyak berkembang
pada wilayah Indonesia bagian tengah maupun Indonesia bagian timur. Hal ini terlihat dari
Gambar 25 , yang menunjukkan Grafik Jumlah Industri Obat Tradisional per Provinsi
pada tahun 2008 – 2010. Terdapat 25 Provinsi di Indonesia yang belum memiliki sarana tersebut, yaitu Provinsi Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Bangka Belitung,
Jambi, Bengkulu, Lampung, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Barat, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Utara,
Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.
Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 25. Grafik Jumlah Industri Obat Tradisional per Provinsi pada Tahun 2008 – 2010
27 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
Keberadaan Industri Obat Tradisional paling banyak terdapat di Provinsi Jawa Barat, diikuti oleh Provinsi Banten dan Jawa Timur. Kenaikan jumlah dari tahun 2008 hingga
2010 yang cukup signifikan terlihat pada Provinsi Banten dan Jawa Tengah. Kemungkinan hal ini disebabkan oleh prospek yang baik dan cukup menjanjikan dalam
mengembangkan usaha di bidang obat tradisional, kemudahan dalam proses perizinan dan dalam memperoleh bahan baku, meningkatnya jumlah penelitian di bidang obat
tradisional yang didukung oleh kebijakan pemerintah untuk mengedepankan produk herbal asli Indonesia, jamu dan lain sebagainya.
c Industri Kecil Obat Tradisional IKOT
Berdasarkan ketersediaannya, jumlah sarana Industri Kecil Obat Tradisional IKOT pada tahun 2008 ke tahun 2009 mengalami pertumbuhan sebesar 38 namun pada
tahun 2010 terjadi penurunan sekitar 34. Industri Kecil Obat Tradisional di Indonesia sejak tahun 2008 hingga 2010 hanya tersebar di 25 Provinsi, sementara 8 delapan
provinsi yang belum memiliki sarana IKOT antara lain Provinsi Kepulauan Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi
Tenggara, Papua Barat dan Papua. Jumlah sarana Industri Kecil Obat Tradisional tahun 2008 – 2010 yang tersebar hanya di 25 Provinsi tersebut dapat dilihat pada
Gambar 26 .
Sumber: Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 26. Grafik Jumlah Industri Kecil Obat Tradisional di Indonesia pada Tahun 2008 – 2010
28 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
d Produksi Alat Kesehatan
Berdasarkan data cakupan sarana kesehatan bidang kefarmasian dan alat kesehatan pada tahun 2008 – 2010 terdapat 21 provinsi yang belum memiliki sarana produksi alat
kesehatan, yaitu Riau, Bangka Belitung, Jambi, Bengkulu, Lampung, Bali, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur,
Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat, dan Papua. Sarana produksi alat
kesehatan sebagian besar berada di wilayah Indonesia Barat, untuk wilayah Indonesia Tengah hanya ada 1 satu provinsi, dan wilayah Indonesia Timur belum ada sama sekali.
Terdapat peningkatan jumlah sarana produksi alat kesehatan dari tahun ke tahun dan jenis alat kesehatan yang diproduksi juga lebih beragam, sebaran sarana produksi Alat
Kesehatan di tiap provinsi tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada Gambar 27
.
Tahun Aceh
Sumut Sumbar
Kepri Sumsel
DKI Jakarta
Banten Jawa
Barat DIY
Jawa Tengah
Jawa Timur
NTB 2008
6 1
2 2
24 13
47 3
12 17
1
2009
1 8
1 2
2 31
17 56
3 14
23 2
2010 1
11 1
4 2
38 23
70 4
19 26
2 Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010
Gambar 27. Jumlah Sarana Produksi Alat Kesehatan per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
29 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
e Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga
Berdasarkan data cakupan sarana Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga PKRT di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 terdapat 13 provinsi yang belum memiliki sarana
produksi PKRT, yaitu Papua, Papua Barat, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Gorontalo, Sulawesi Tengah, Sulawesi Barat, Kalimantan Timur, Kalimantan Tengah,
NTB, Bali, dan Riau. Jumlah sarana produksi PKRT yang tersebar di 20 provinsi di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada
gambar 28 .
Tahun
A ce
h S
u m
u t
S u
m b
a r
K e
p ri
B a
b e
l Ja
m b
i B
e n
g k
u lu
S u
m se
l La
m p
u n
g D
K I
B a
n te
n Ja
b a
r Ja
te n
g D
IY Ja
ti m
N T
T K
a lb
a r
K a
ls e
l S
u lu
t S
u ls
e l
2008 1
27 3
1 2
3 2
84 65
152 45
2 55
1 2
2 1
2009 2
35 3
1 2
1 3
2 99
76 174
50 2
67 1
1 2
2 2
2010 2
36 3
1 1
2 1
3 3
109 86
191 56
3 80
1 1
3 2
2 Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010
Gambar 28. Jumlah Sarana Perbekalan Kesehatan dan Rumah Tangga per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
f Industri Kosmetik
Berdasarkan data cakupan sarana Industri Kosmetika di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 terdapat 18 provinsi yang belum memiliki sarana tersebut yaitu Kepulauan Riau,
Riau, Kepulauan Bangka Belitung, Bengkulu, NTB, NTT, Kalimantan Tengah, Kalimantan
30 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
Timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Maluku Utara, Maluku, Papua Barat dan Papua.
Gambar 29 menunjukkan cakupan jumlah sarana Industri Kosmetika yang tersebar di 15 provinsi di
Indonesia pada tahun 2008 – 2010.
Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 29. Jumlah Industri Kosmetika per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
2. Cakupan Sarana Distribusi Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Dalam rangka meningkatkan cakupan sarana pelayanan kesehatan terutama terkait ketersediaan sarana distribusi bidang kefarmasian dan alat kesehatan terdapat beberapa
cara salah satunya dengan melihat jumlah sarana distribusi bidang kefarmasian dan alat kesehatan. Sarana distribusi tersebut mencakup Pedagang Besar Farmasi, Apotek, Toko
Obat, Penyalur Alat Kesehatan dan Sub Penyalur Alat Kesehatan yang tersebar di 33 provinsi di Indonesia pada periode tahun 2008 – 2010. Pada
gambar 30 dapat dilihat persentase
jumlah masing-masing sarana distribusi di bidang kefarmasian dan alat kesehatan yang diuraikan sebagai berikut: 1 sarana distribusi paling dominan adalah Apotek sebagai retailer
yang menguasai 51 dari total sarana, diikuti oleh Toko Obat yakni sebesar 26; 2 sarana PBF sebagai distributor besarwholesaler memegang 9 dari pasar nasional; dan 3 sarana
Penyalur Alat Kesehatan PAK merupakan sarana yang sebarannya memiliki jumlah terkecil yakni sebesar 3.
Hal ini menunjukkan bahwa perspektif dunia usaha masih dominan memilih Apotek sebagai jenis sarana distribusi utama yang dikembangkan. Kenyataan ini didukung oleh
beberapa grup perusahaan besar yang bergerak di bidang farmasi mulai banyak mendirikan
31 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
apotek sebagai mitra usaha dengan sistem konsinyasiwaralaba yang lebih dikenal dengan sistem franchise yang mulai banyak mengakuisisi Apotek konvensional.
Gambar 30. Grafik Cakupan Sarana Distribusi di Bidang Kefarmasian dan Alat Kesehatan Tahun 2010
a Pedagang Besar Farmasi PBF
Cakupan sarana distribusi Pedagang Besar Farmasi yang berperan sebagai distributor utama ini sudah banyak berkembang di Indonesia dan kini kian memegang
peranan penting dalam upaya memfasilitasi keterjangkauan masyarakat terhadap pemerataan akses obat terutama obat esensial. Pedagang Besar Farmasi mempunyai
peranan besar dalam upaya meningkatkan derajat kesehatan secara luas seperti penyebaran obat – obatan dan alat kesehatan yang dibutuhkan dan diminati pasar,
tentunya dengan mempertimbangkan prinsip–prinsip ekonomi. Perkembangan jumlah sarana PBF di Indonesia pada tahun 2008 – 2010 dapat dilihat pada
Gambar 31 yang
menunjukkan bahwa Provinsi Jawa Timur memiliki jumlah PBF yang paling banyak terutama bila dibandingkan dengan daerah lain di Pulau Jawa DKI Jakarta, Banten, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan DI Yogyakarta. Hal ini dimungkinkan oleh karena Provinsi Jawa Timur menjadi pusat distribusi dari PBF yang mendistribusikan obat dan perbekalan
kesehatan lainnya di regional Indonesia bagian timur sebagai upaya meminimalisir harga obat terkait biaya yang harus dikeluarkan untuk pengiriman obat ke wilayah tersebut.
32 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 31. Jumlah Pedagang Besar Farmasi per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
b Apotek
Apotek merupakan sarana distribusi yang dalam menjalankan fungsinya bersifat dwifungsi yaitu fungsi ekonomi dan sosial. Fungsi ekonomi menuntut agar apotek
memperoleh laba untuk menjaga kelangsungan usaha sedangkan fungsi sosial adalah untuk pemerataan distribusi dan sebagai salah satu tempat pelayanan informasi obat
kepada masyarakat. Orientasi pelayanan kefarmasian di apotek saat ini telah bergeser, semula hanya berorientasi pada pelayanan produk product-oriented menjadi
pelayanan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien patient-oriented. Jumlah apotek di Indonesia yang meningkat dari tahun ke tahun dapat dilihat pada
Gambar 32 .
Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 - 2010 Gambar 32. Jumlah Apotek per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
33 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
c Toko Obat
Toko Obat juga mengalami perkembangan yang cukup pesat, walaupun banyak yang sudah mulai beralih izin menjadi Apotek. Sebagai bagian dari sistem distribusi obat,
Toko Obat memiliki fungsi yang strategis dalam upaya pemerataan ketersediaan obat agar obat mudah diperoleh dengan harga yang terjangkau oleh masyarakat sesuai
dengan salah satu kebijakan nasional di bidang obat. Pembinaan dan pengawasan mutlak dilakukan dalam upaya mencegah terjadinya penyalahgunaan dan kesalahan
dalam penggunaan obat. Jumlah sarana Toko Obat di Indonesia pada tahun 2008 - 2010 dapat dilihat pada
Gambar 33 . Dari grafik tersebut diketahui bahwa Provinsi Jawa Barat
memiliki jumlah Toko Obat terbanyak baik pada tahun 2008 maupun 2009 dan 2010 dimana kenaikan yang signifikan terlihat di tahun 2010. Sementara di Pulau Sumatera,
Toko Obat paling banyak terdapat di Provinsi Sumatera Utara diikuti dengan Aceh, Sumatera Barat dan Riau. Untuk wilayah Indonesia bagian timur terlihat bahwa sebaran
Toko Obat terbanyak terdapat di Provinsi Sulawesi Selatan sehingga disimpulkan bahwa secara keseluruhan peluang untuk meningkatkan jumlah sarana distribusi berupa Toko
Obat ini masih sangat luas.
Sumber : Pemutakhiran Data Ditjen Binfar dan Alkes, Kemenkes RI Tahun 2008 - 2010 Gambar 33. Jumlah Toko Obat per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
34 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
c Penyalur Alat Kesehatan dan SubCabang Penyalur Alat Kesehatan
Kegiatan penyaluran
alat kesehatan
di atur
di dalam
Permenkes RI
No.1191MenkesPerVIII2010 tentang Penyaluran Alat Kesehatan yang merupakan perubahan atas Permenkes RI No. 1184MenkesPerX2004 tentang Pengamanan Alat
Kesehatan dan PKRT. Perubahan mendasar dengan keluarnya Permenkes RI No.
1191MenkesPerVIII2010 adalah dihapusnya Sub Penyalur Alat Kesehatan, sehingga sarana penyalur alat kesehatan hanya Penyalur Alat Kesehatan PAK, Cabang PAK, dan
Toko Alat Kesehatan. Selama masa peralihan semua Sub PAK harus menyesuaikan dengan peraturan baru hingga paling lambat 3 tiga tahun sejak peraturan
tersebut diundangkan.
Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 34 a. Jumlah Sarana Penyalur Alat Kesehatan per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
Dari grafik diatas terlihat bahwa pada saat ini sarana PAK masih terpusat di pulau Jawa, khususnya provinsi DKI Jakarta, karena pada awalnya PAK merupakan agen
35 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
tunggal dari produsen alkes sehingga ada kecenderungan untuk memilih lokasi usaha di DKI Jakarta yang akan mempermudah aktivitas usahanya. Dengan adanya Permenkes
No. 1191MenkesPerVIII2010 maka PAK bisa merupakan agen tunggal maupun sub distributor dari PAK lain.
Hingga tahun 2010, terdapat 18 provinsi yang belum memiliki sarana PAK yaitu Aceh, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Jambi, Bengkulu, NTB, NTT, Kalimantan Selatan,
Kalimantan Tengah, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, Maluku, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Papua, dan Papua Barat. Kegiatan Distribusi
Alat Kesehatan di wilayah provinsi yang belum memiliki PAK dilakukan oleh Sub PAK, Cabang PAK, dan Toko Alat Kesehatan.
Sebagaimana terlihat pada gambar 34 b,
dimana Provinsi DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat dan Sumatera Utara memiliki peningkatan sarana yang paling tinggi
sementara Bali, NTT, Sulawesi Tenggara, Maluku dan Papua memiliki kecenderungan penurunan jumlah sarana sejak tahun 2008 hingga 2010. Penyebab menurun dan
meningkatnya populasi sebaran jumlah sarana ini kemungkinan dikarenakan faktor keamanan seperti di Papua, prospek yang lebih menjanjikan jika sarana berdiri di
Ibukota seperti DKI Jakarta dan Jawa Timur, atau faktor lain yang tidak dapat dijelaskan dengan pasti.
Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 34 b. Jumlah Sarana SubCabang Penyalur Alat Kesehatan per Provinsi pada Tahun 2008 –2010
36 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
3. Data Izin Edar Alat Kesehatan dan PKRT Tahun 2008 – 2010
Izin edar adalah izin yang diberikan kepada perusahaan untuk produk alat kesehatan danatau PKRT yang akan diimpor, digunakan danatau diedarkan di wilayah Republik
Indonesia, berdasarkan penilaian terhadap mutu, keamanan dan kemanfaatan. Produk alat kesehatan impor masih mendominasi pangsa pasar di Indonesia, seperti
terlihat pada gambar 35
, izin edar alat kesehatan impor terdapat lebih dari 90 dari seluruh izin edar alat kesehatan, dan ada kecenderungan peningkatan persentase izin edar alat
kesehatan impor dari tahun ke tahun. Untuk meningkatkan jumlah produk alat kesehatan lokal perlu peningkatan upaya pembinaan sarana produksi alat kesehatan dan kemudahan
dari sisi regulasi serta peningkatan penanaman modal di Indonesia. Untuk produk PKRT di Indonesia, produk lokal lebih banyak mendominasi pasar daripada
produk impor mengingat sarana produksi PKRT sudah cukup banyak dan tersebar di 20 propinsi meskipun persentasenya cukup fluktuatif per tahunnya pada tahun 2008 hingga
2010.
No Kelompok Produk
Tahun 2008 Tahun 2009
Tahun 2010 Import
Lokal Import
Lokal Import
Lokal
1 Produk Diagnostik Reagensia
3.350 242
2.701 141
1.668 85
2 Elektromedik
1.928 148
2.075 110
1.467 24
3 Non Elektromedik
2.579 457
4.003 494
2.196 298
4 PKRT
406 1.034
481 974
379 787
Jumlah Kumulatif per Tahun 8.263
1.881 17.523
3.600 23.233
4.794
Sumber : Direktorat Bina Produksi dan Distribusi Alat Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010 Gambar 35. Grafik Jumlah Izin Edar Alat Kesehatan dan PKRT yang Diterbitkan pada Tahun 2008 – 2010
37 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
E. Sistem Pelaporan dan Perizinan secara Elektronik
1. Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika SIPNAP
Berdasarkan Permenkes RI No. 1575MenkesPERXI2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen Kesehatan pada pasal 539, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan mempunyai tugas melakukan pengumpulan, pengolahan, serta penyajian data dan informasi Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Salah satu kegiatan
yang dilakukan adalah pengumpulan, pengolahan, dan penyajian Data Penggunaan Obat Narkotika dan Psikotropika dari unit pelayanan.
Dalam melaksanakan aktivitas pengelolaan data pelaporan tersebut Direkorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah menggunakan Sistem Pelaporan dalam bentuk
software aplikasi yaitu Sistem Pelaporan narkotika dan Psikotropika SIPNAP yang dapat diakses secara online dan tampilan aplikasinya dapat dilihat pada
Gambar 36 .
Gambar 36. Tampilan Aplikasi SIPNAP
Sistem Pelaporan Narkotika dan Psikotropika telah disosialisasikan ke Dinas Kesehatan Provinsi dan Dinas Kesehatan KabKota dan juga telah dilakukan Training of Trainer TOT
bagi petugas Dinas Kesehatan Provinsi untuk meningkatkan kemampuan pengoperasian
38 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
SIPNAP tersebut. SIPNAP terdiri dari software tingkat Unit Pelayanan Apotek, Puskesmas dan Rumah sakit; Software Tingkat Dinas Kesehatan KabKota dan Pelaporan ke Provinsi
dan Pusat dilakukan melalui sistem Pelaporan Online melalui Jaringan Internet.
2. Software Pelaporan Dinamika Obat PBF
Sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku bahwa Pedagang Besar Farmasi PBF dan setiap cabangnya terdapat beberapa kewajiban yang harus diikuti,
diantaranya mengacu
kepada Keputusan
Menteri Kesehatan
Nomor 1191MenkesSKIX2002 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
918MenkesPERIX1993 tentang Pedagang Besar Farmasi. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1191MenkesSKIX2002, Pasal 18 ayat 1 menyatakan bahwa Pedagang
Besar Farmasi dan setiap cabangnya wajib menyampaikan laporan secara berkala sekali 3 tiga bulan mengenai usahanya yang meliputi jumlah penerimaan dan penyaluran masing-
masing jenis obat kepada Menteri dengan tembusan kepada Kepala Dinas Kesehatan Provinsi setempat dengan menggunakan formulir model PBF-9. Hal ini diaplikasikan melalui
suatu sistem pelaporan secara elektronik. Dalam rangka memfasilitasi pelaporan dinamika obat Pedagang Besar Farmasi tersebut diperlukan adanya sistem pelaporan yang
komprehensif, terintegrasi dan mudah dikelola. Selama ini pihak PBF biasanya melaporkan distribusi obat tersebut melalui dokumen hardcopy yang dikirimkan lewat pos, dalam
jumlah lembar kertas yang tidak sedikit. Sistem ini dinilai tidak efisien dan tidak efektif ,oleh karena itu pihak Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Binfar dan Alkes telah
membuat sebuah sistem pelaporan dengan menggunakan software agar pelaporan distribusipenyaluran obat yang terpusat mudah dikelola, diakses dan didistribusikan.
Aplikasi Software Sistem Pelaporan PBF Pedagang Besar Farmasi merupakan suatu sistem yang dirancang untuk dapat mengakumulasi dan mengakomodasi data secara cepat,
tepat dan akurat. Dalam operasionalnya, sistem software ini sangat diperlukan dalam mengelola informasi pelayanan kefarmasian dan alat kesehatan yang berasal dari sektor
swasta dalam hal ini PBF. Dengan menggunakan software tersebut maka PBF hanya
mengirimkan laporan distribusi obat dalam bentuk file softcopy ke Dinas Kesehatan Provinsi, yang kemudian data softcopy tersebut
akan diolahdikompilasi oleh Dinas Kesehatan provinsi. Hasil olahankompilasi data oleh Dinas Kesehatan Provinsi tersebut kemudian
dikirimkan juga dalam bentuk softcopy ke Kementerian Kesehatan dalam hal ini Ditjen Binfar dan Alkes.