Peningkatan Ketersediaan Obat dan Perbekalan Kesehatan
7 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
mengalokasikan anggaran untuk pembiayaan pengadaan tersebut dengan mekanisme bottom-up. Rencana Kebutuhan Obat RKO disusun untuk mendapatkan data kebutuhan
obat mulai dari tingkat kabupatenkota yang direkapitulasi di tingkat provinsi hingga Pemerintah Pusat. Pada tahun 2003 hingga 2006, pengadaan obat yang dilaksanakan oleh
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan hanya pengadaan Obat Bufferstock PusatProvinsi KabKota, Obat KLB dan obat Flu burung. Namun sejak tahun 2007 semua
pengadaan obat bersumber dana APBN yang terdapat di Kementerian Kesehatan dipusatkan di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan. Nilai alokasi dan realisasi
pengadaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin dapat dilihat pada Gambar 3
.
Gambar 3. Grafik Anggaran Pusat untuk Pengadaan Obat, Perbekkes dan Vaksin Tahun Anggaran 2007 – 2010
Pada grafik diatas dapat dilihat Perbandingan antara Alokasi dan Realisasi Anggaran Obat, Perbekalan Kesehatan dan Vaksin yang terdapat di Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan pada tahun 2007 sampai dengan 2010. Terlihat bahwa pada tahun 2007 tidak terdapat alokasi pengadaan vaksin karena program tersebut masih berada di Direktorat
Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan, baru kemudian pada tahun 2008 untuk pengadaan vaksin diserahkan kepada Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan
Alat Kesehatan. Selain itu juga terlihat bahwa nilai alokasi dan realisasi anggaran untuk pengadaan obat, perbekalan kesehatan dan vaksin setiap tahunnya cenderung stabil dan
tidak mengalami peningkatan. Padahal nilai riil keseluruhan anggaran yang ada untuk pengadaan tersebut mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal ini dikarenakan
8 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
6 403
61
7 417
31
33 314
106
KMK 5212007 KMK 3022008
KMK 1462010
Harga NAIK Harga TETAP Harga TURUN
kebijakan terkait desentralisasi pada program pengadaan obat, yakni menggunakan Dana Alokasi Khusus DAK pada tahun 2010. Sehingga pengadaan obat dan perbekalan kesehatan
sejak tahun 2010 tidak hanya menggunakan APBN Pusat yang dilakukan oleh Pemerintah Pusat melalui Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, tetapi juga
dilakukan oleh Pemerintah Daerah KabKota yang diberikan alokasi DAK.
Kebijakan Harga Obat Generik
Kebijakan rasionalisasi harga obat generik dilakukan untuk menjamin ketersediaan, pemerataan dan keterjangkauan obat di Indonesia. Kebijakan ini dilakukan berdasarkan
pertimbangan dan masukan dari Tim Evaluasi Harga Obat, yang beranggotakan para ahlipakar, akademisi, Lembaga Swadaya Masyarakat LSM, dan Pemerintah Kementerian
Kesehatan dan Badan POM, dan ditetapkan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI. Kebijakan tersebut ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kesehatan Kepmenkes
No.521MenkesSKIV2007 untuk
470 obat,
lalu diubah
dengan Kepmenkes
No.302MenkesSKIII2008 mencakup
455 obat
kemudian dengan
No.HK.03.01Menkes146I2010 yang mencakup 453 obat. Perubahan harga yang cukup variatif terjadi pada tahun 2010 dimana sebanyak 106 obat mengalami penurunan harga dan
33 obat mengalami kenaikan harga sebagaimana dilihat pada Gambar 4
.
Gambar 4. Perubahan Kebijakan Harga Obat Generik yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI sejak tahun 2007
9 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
Ketersediaan Obat dan Vaksin
Program peningkatan ketersediaan obat dan vaksin dilaksanakan sebagaimana amanat yang juga tertuang dalam Instruksi Presiden Inpres No. 3 Tahun 2010 tentang Program
Pembangunan yang Berkeadilan. Obat dan vaksin adalah komoditi kesehatan yang menjadi salah satu kebutuhan dasar dalam meningkatkan derajat kesehatan masyarakat dan
merupakan barang publik yang perlu dijamin ketersediaannya dalam upaya pemenuhan pelayanan kesehatan. Ketersediaan obat dan vaksin didukung oleh industri farmasi, yang
berjumlah 251, dan 95 berlokasi di pulau Jawa yang diperkirakan dapat memproduksi 98 kebutuhan obat nasional KONAS, 2006.
Tingkat ketersediaan obat di Instalasi Farmasi KabupatenKota mencerminkan tingkat ketersediaan obat untuk pelayanan kesehatan dasar dimana hasil pengadaan buffer stock
KabupatenKota pengadaan di pusat hanya sampai dengan tahun 2009 serta pengadaan obat dan perbekkes melalui DAK mulai tahun 2010 disimpan dan dikelola oleh Tenaga
Kefarmasian di Instalasi Farmasi KabupatenKota dan dipergunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dasar di Puskesmas PKM. Tingkat ketersediaan obat yang ideal adalah
18 bulan yaitu untuk mencukupi kebutuhan selama 12 bulan dan lead time 6 bulan, yakni waktu yang dibutuhkan untuk proses pengadaan tahun berikutnya terkait proses pengadaan
sampai dengan distribusi. Hingga tahun 2010, ketersediaan obat di tingkat Instalasi Farmasi KabKota mencapai 14,2 bulan, atau meningkat 12,7 dari tahun 2009. Tingkat kecukupan
obat pada tahun 2008 s.d 2010 dapat dilihat pada Gambar 5
.
9,5 BLN 12,6 BLN
14,2 BLN
Tahun 2008 Tahun 2009
Tahun 2010
Gambar 5. Tingkat Kecukupan Obat Tahun 2008 – 2010 Sumber : Direktorat Bina Obat Publik dan Perbekalan Kesehatan, Kemenkes RI Tahun 2008 – 2010
10 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketersediaan obat dan vaksin antara lain dengan kebijakan yang
mewajibkan perusahaan farmasi nasional terutama BUMN untuk memproduksi obat generik, mencantumkan nama generik pada label obat yang beredar, kewajiban penulisan
resep menggunakan nama generik di sarana pelayanan kesehatan milik Pemerintah serta menyediakan pedoman pengawasannya. Kemudian dengan menjadikan PT. Biofarma
sebagai pusat pengembangan dan produksi vaksin untuk mencukupi kebutuhan vaksin secara nasional.
Meskipun demikian terdapat beberapa tantangan yang dihadapi dalam meningkatkan ketersediaan obat dan vaksin, yakni kenyataan bahwa sebagian besar bahan baku yang
digunakan untuk produksi dalam negeri masih impor, sistem pengelolaan di Instalasi Farmasi milik Pemerintah ProvinsiKabupatenKota yang masih belum efektif dan efisien serta sistem
pendistribusian yang terkendala faktor iklim, letak geografis, sarana prasarana distribusi dan kondisi demografis. Permasalahan tersebut dapat menjadi peluang jika disikapi dengan
positif baik oleh Pemerintah maupun Swasta, antara lain peluang untuk mengembangkan sistem pengelolaan dan pendistribusian obat dan vaksin yang baik secara nasional, kebijakan
yang mendukung perkembangan industri bahan baku obat karena ketergantungan terhadap impor bahan baku dapat menyebabkan tidak stabilnya ketersediaan obat nasional dan
fluktuasi harga obat karena pengaruh harga bahan baku di pasar internasional. Peningkatan penggunaan obat generik, baik pada sarana pelayanan kesehatan dasar
maupun pada pelayanan kesehatan rujukan, menunjukkan bahwa Tenaga Kesehatan telah memberikan respon yang positif terhadap pelaksanaan Peraturan Menteri Kesehatan RI
Nomor HK.02.02MENKES06812010 tentang Kewajiban Menggunakan Obat Generik di Fasilitas Kesehatan Pemerintah.
Pada tahun 2009 terlihat bahwa persentase penggunaan obat generik di Rumah Sakit adalah 50,06 dan meningkat hingga mencapai 57,18 pada tahun 2010. Hal ini masih
rendah bila dibandingkan dengan pencapaian penggunaan obat generik di Puskesmas pada tahun 2009 yakni sebesar 95,08 yang meningkat pada tahun 2010 menjadi sebesar 96,06
sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 6
.
11 | P r o f i l K e f a r m a s i a n d a n A l a t K e s e h a t a n T a h u n 2 0 1 0
50,06 57,18
95,08 96,06
20 40
60 80
100
RS PKM
2009 2010
Gambar 6. Persentase Penggunaan Obat Generik Tahun 2009-2010