6. Cacah Jiwa Per Kepala Keluarga di Pulau Bertam Tahun 2013

Tabel 2.6. Cacah Jiwa Per Kepala Keluarga di Pulau Bertam Tahun 2013

No Nama kepala

Tipe Agama keluarga

residensi (dalam

depth

KTP)

1 Rano 1 isteri, 2 anak laki-laki 2 Menetap Islam 2 Nenek Yati

suami (RT lama) meninggal sebelum 1 Menetap Islam pindah dari lokasi lama 3 Slamet

1 isteri, 1 anak perempuan 2 Menetap Islam 4 Mohtar

1 isteri, 1 anak perempuan dan 1 3 Menetap Islam laki-laki, 1 cucu dari anak perempuan

5 Adi 1 isteri, 2 anak perempuan 2 Menetap Islam 6 Tata

1 isteri, 1 anak perempuan dan 1 2 Menetap Islam laki-laki 7 Jeki

(cerai) 1 anak laki-laki 2 Menetap Islam 8 Ahu

1 isteri, 2 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Islam perempuan 9 Taher

1 isteri, 4 anak perempuan dan 1 2 Menetap Islam laki-laki 10 Hamzah (Am)

1 isteri, 1 anak perempuan 2 Menetap Islam 11 Seri

1 isteri 1 Menetap Islam 12 Bari

1 isteri, 2 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Islam perempuan 13 Binson

1 isteri, 1 anak laki-laki 2 Menetap Islam 14 Yus

Lajang 1 Menetap Islam 15 Patimah

1 suami, 3 anak laki-laki (dari suami 2 Menetap Islam sebelumnya) dan 1 anak angkat perempuan

16 Mustafa 1 isteri, 2 anak perempuan 2 Menetap Islam 17 Beloh

1 isteri, 3 anak perempuan dan 1 2 Menetap Islam laki-laki 18 Kusnadi (Akim)

1 isteri, 1 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Islam perempuan 19 Mansur

1 isteri 1 Menetap Islam 20 Tamel

1 isteri, 3 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Islam perempuan 21 Nenek Meriah

1 cucu laki-laki 3 Menetap Islam 22 Jaga

1 isteri, 2 anak laki-laki 2 Menetap Islam 23 Husein

2 isteri (1 meninggal), 3 anak 2 Menetap Islam perempuan dan 2 laki-laki 24 Abidin

1 isteri, 2 anak perempuan 2 Menetap Islam 25 Endi

1 isteri, 2 anak laki-laki 2 Menetap Islam 26 Udin

1 isteri, 1 anak laki-laki 2 Menetap Islam 27 Nenek Alah

Menetap Kristen (semua sudah pindah) 28 Titi

4 anak perempuan dan 4 laki-laki

1 isteri, 1 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Kristen perempuan 29 Juti

1 isteri, 2 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Kristen perempuan 30 Wawan

1 isteri, 1 anak perempuan 2 Menetap Kristen 31 Obin

1 isteri, 1 anak perempuan 2 Menetap Kristen (keduanya di Pulau Sarang) 32 Kasim

1 isteri, 1 anak laki-laki dan 1 2 Menetap Kristen perempuan 33 Rudi Simong

1 isteri, 1 anak perempuan 2 Menetap Kristen

No Nama kepala

Tipe Agama keluarga

residensi (dalam

depth

KTP)

34 Seran 1 isteri, 2 anak perempuan dan 2 2 Menetap Kristen laki-laki (1 anak angkat) 35 Mahadan

1 isteri, 4 anak perempuan 2 Menetap Kristen 36 Alan

1 isteri, 1 anak perempuan dan 1 2 Menetap Kristen laki-laki 37 Arun

1 isteri, 1 anak laki-laki 2 Semi-nomadik Islam 38 Thomas

1 isteri 1 Semi-nomadik Islam

Keterangan: model tabel Household Composition semacam ini lihat Chou (2010:111).

sih berpola hidup semi-nomadik, yang berkelana di laut hanya dalam periode waktu tertentu dan relatif tidak terlampau lama. Namun, tidak ada sama sekali dari mereka yang masih mengembara di laut. Oleh karena itu, dari perspektif potret penduduk Orang Bertam hari ini, kita dapat memastikan bahwa mereka bukan lagi merupakan komunitas suku pengembara laut, meskipun dalam urusan tertentu mereka dengan sadar masih menyebut diri mereka sebagai Orang Suku Laut atau orang sampan (cf. Lenhart 2002). Selain itu, program pemukiman juga membuat eksistensi penyebutan kepada mereka lebih didasarkan pada pulau di mana mereka bermukim, seperti Orang Bertam atau orang-orang pulau lainnya (Chou 2010:25).

C. KESIMPULAN

Melalui uraian dalam Bab II, saya telah menunjukkan seperti apa alasan-alasan yang menjadi dasar pemerintah dalam pembangunan nasional untuk mengatur berbagai macam aspek kehidupan warga negaranya. Dengan menghubungkan pada visi pem- bangunan manusia Indonesia seutuhnya dan agar sesuai dengan falsafah Pancasila, Kebijakan Pemukiman dan program PKMT menjadi medium pemerintah mendefinisi- kan, mengklasifikasi, dan melabeli suatu kelompok masyarakat dengan ciri-ciri ter- tentu. Dari situ, pemerintah membayangkan akan dapat mengubah kondisi ekonomi Melalui uraian dalam Bab II, saya telah menunjukkan seperti apa alasan-alasan yang menjadi dasar pemerintah dalam pembangunan nasional untuk mengatur berbagai macam aspek kehidupan warga negaranya. Dengan menghubungkan pada visi pem- bangunan manusia Indonesia seutuhnya dan agar sesuai dengan falsafah Pancasila, Kebijakan Pemukiman dan program PKMT menjadi medium pemerintah mendefinisi- kan, mengklasifikasi, dan melabeli suatu kelompok masyarakat dengan ciri-ciri ter- tentu. Dari situ, pemerintah membayangkan akan dapat mengubah kondisi ekonomi

Pemerintah lantas menerapkan rancangan program PKMT dengan menyasar pada bidang-bidang kehidupan kelompok masyarakat terasing dengan mengenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah hal-hal yang dinilai sebagai “keterbelakangan”. Nilai- nilai baru disebarkan melalui kegiatan-kegiatan pembinaan MT untuk mengubah pandangan-pandangan “tradisional”, seperti berkenaan dengan aktivitas ekonomi subsistensi ke ekonomi uang (cf. Chou 2003; Kemkens 2009) sebagaimana kita lihat pada kasus OSL di Bertam (lihat Bab III). Khusus mengenai kepengaturan peme- rintah dalam bidang ekonomi semacam ini, salah satu pendapat Foucault mengenai governmentality menjadi relevan,

“… to govern a state will therefore mean to apply economy, to set up an economy at the level of the entire state, which means exercising towards its inhabitants, and the wealth and behaviour of each and all, a form of surveillance and control as attentive as that of the head of a family over his household and his goods.” (Foucault 1991:92)

Terkait dengan hal itu, dalam pandangan beberapa peneliti pembangunan di Indonesia kerap diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki negara untuk meng- atasi keterbelakangan. Keterbelakangan sering pula diasosiasikan dengan kemiskin- an, sebab kemiskinan dipandang sebagai hambatan pembangunan sosial maupun ekonomi (Rahardjo 1986b). Dalam perencanaan pembangunan, satu hal yang diusahakan pemerintah ialah mengubah, bahkan Chou dan Wee (2002) menyebut “menyingkirkan”, keterbelakangan pada masyarakat terasing. Artinya bahwa kebuda- yaan dalam diri masyarakat sederhana tidak perlu diakui keberadaannya karena toh tidak banyak membawa manfaat apapun dalam pembangunan ekonomi (Chou dan Wee 2002). Bertolak belakang dari pandangan umum para developmentalist, pemba- ngunan ekonomi bagi beberapa peneliti justru membawa kegagalan dalam mengeli- minasi keterbelakangan (kemiskinan) (Ferguson 2009; Li 2012). Sedangkan pada beberapa peneliti lain, yang sejumlah asumsinya sejalan dengan argumen Rostow Terkait dengan hal itu, dalam pandangan beberapa peneliti pembangunan di Indonesia kerap diartikan sebagai perubahan yang dikehendaki negara untuk meng- atasi keterbelakangan. Keterbelakangan sering pula diasosiasikan dengan kemiskin- an, sebab kemiskinan dipandang sebagai hambatan pembangunan sosial maupun ekonomi (Rahardjo 1986b). Dalam perencanaan pembangunan, satu hal yang diusahakan pemerintah ialah mengubah, bahkan Chou dan Wee (2002) menyebut “menyingkirkan”, keterbelakangan pada masyarakat terasing. Artinya bahwa kebuda- yaan dalam diri masyarakat sederhana tidak perlu diakui keberadaannya karena toh tidak banyak membawa manfaat apapun dalam pembangunan ekonomi (Chou dan Wee 2002). Bertolak belakang dari pandangan umum para developmentalist, pemba- ngunan ekonomi bagi beberapa peneliti justru membawa kegagalan dalam mengeli- minasi keterbelakangan (kemiskinan) (Ferguson 2009; Li 2012). Sedangkan pada beberapa peneliti lain, yang sejumlah asumsinya sejalan dengan argumen Rostow

Dalam konteks OSL di Bertam, sejumlah asumsi itulah yang mendorong negara dan para agennya berupaya mengubah kebudayaan masyarakat terasing, walaupun tidak sedikit rancangan program tertentu dalam pembangunan yang gagal (Chou dan Wee 2002:354-355), karena mereka dengan seenak-hati mengubah segi-segi kehi- dupan yang melekat dalam masyarakat tradisional (Dove 1985:xxiii; Ferguson 2009; Mubyarto 1997). James Scott (2009:12-13) menyebut bahwa komunitas terbelakang yang biasanya berada di “pinggiran kekuasaan” harus diberadabkan dengan bebera- pa prasyarat dan mekanisme yang telah dirumuskan negara, “… colonizing the periphery itself and transforming it into a fully governed … Its immanent logic is the complete elimination of nonstate spaces” (Scott 2009:10). Pandangan serupa juga diterangkan oleh Mubyarto bahwa ketika globalisasi ekonomi di Kepri berlangsung, proses ini cenderung memihak pada kelompok bermodal besar. Oleh karena itu, mereka menekan yang lemah atau dipandang kurang efisien, yakni MT. Untuk itulah, kata Mubyarto, hendaknya pemerintah memerhatikan secara lebih hati-hati dampak- dampak pelaksanaan program PKMT sebagai solusi atas kemiskinan komunitas lokal di sana, terutama pada komunitas Orang Laut.

Manakala proyek “pemukiman kembali” dinilai sebagai salah satu solusi atas ketersingkiran ekonomi dan teritori kultural OSL akibat dari pembangunan ekonomi global, Mubyarto mengungkapkan bahwa perlu pelibatan mereka dalam penyusunan program IDT bagi Orang Laut, ”… sejauh mungkin harus disusun oleh mereka sendiri, meskipun mungkin akan memerlukan waktu persiapan yang lebih lama”

(Mubyarto 1995). Akan tetapi, menurut saya, agaknya mustahil hal itu merupakan solusi yang tepat, karena walaupun suatu program disusun bersama dengan komu- nitas sasaran, arah capaian atau hasil (outcome) pembangunan tetap berpulang pada konsepsi baku negara. Dengan demikian, governmentality negara pada tataran kebijakan, program, dan implementasinya (lihat Skema 1.1. di Bab I hlm. 16) mau tidak mau harus diakui tetap berpusat pada negara, dan Orang Laut mesti menerima kenyataan bahwa penyesuaian-penyesuaian dalam hidupnya atas kehendak negara harus dijalani sebagai komunitas dalam identitas-identitas baru, yakni Orang Bertam. Sehubungan dengan itu, pada dua bab selanjutnya saya akan mendiskusikan seperti apa konsekuensi dari penyesuaian-penyesuaian pada beberapa bidang kehidupan Orang Bertam pasca-program pemukiman tersebut. []

BAB III ORIENTASI EKONOMI ORANG SUKU LAUT PASCA-PEMUKIMAN

“Poverty … means having no base” Stephen Gudeman, Community and economy: economy’s base

Jika uraian bab sebelumnya saya menjelaskan mengenai alasan-alasan di balik pembangunan nasional yang membuat Orang Suku Laut dilabeli sebagai masyarakat terasing dan bermukim di Pulau Bertam pada akhir 1980an, dalam bab ini saya hendak mendiskusikan konsekuensi pembangunan tersebut pada bidang ekonomi Orang Laut pasca-pemukiman. Pemerintah kala itu membawa misi pembenahan tingkat kesejahteraan dan taraf kehidupan Orang Suku Laut, seperti dengan menyediakan pelayanan kesehatan, pendidikan, tempat tinggal, pangan (food security), dan sebagainya. Menurut pemerintah, hal demikian yang disebut sebagai “ikut berpartisipasi sekaligus menikmati kue pembangunan”.

Orang Laut dengan aktivitas ekonomi kelautan tradisionalnya (sea forager) dipandang pemerintah sebagai kaum terbelakang dan juga miskin, karena mereka dianggap tidak memiliki basis ekonomi produksi sebagaimana laiknya petani dengan tanah. Padahal, teritori laut merupakan basis ekonomi Orang Laut (Gudeman 2005) dan ekonomi kelautan mereka adalah juga aktivitas ekonomi produktif (lihat Chou 1997, 2010). Namun, di balik agenda pembangunan ini, pemerintah hendak menguasai teritori tersebut untuk pembangunan ekonomi sehingga Orang Laut perlu disingkirkan dengan jalan dimukimkan (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002). Hal-hal inilah yang kemudian membawa peralihan ekonomi “produksi” Orang Laut dari mata pencaharian yang hanya berorientasi ke laut menjadi berorientasi ke darat. Selain pekerjaan, Orang Bertam menerima Orang Laut dengan aktivitas ekonomi kelautan tradisionalnya (sea forager) dipandang pemerintah sebagai kaum terbelakang dan juga miskin, karena mereka dianggap tidak memiliki basis ekonomi produksi sebagaimana laiknya petani dengan tanah. Padahal, teritori laut merupakan basis ekonomi Orang Laut (Gudeman 2005) dan ekonomi kelautan mereka adalah juga aktivitas ekonomi produktif (lihat Chou 1997, 2010). Namun, di balik agenda pembangunan ini, pemerintah hendak menguasai teritori tersebut untuk pembangunan ekonomi sehingga Orang Laut perlu disingkirkan dengan jalan dimukimkan (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002). Hal-hal inilah yang kemudian membawa peralihan ekonomi “produksi” Orang Laut dari mata pencaharian yang hanya berorientasi ke laut menjadi berorientasi ke darat. Selain pekerjaan, Orang Bertam menerima

A. ORANG BERTAM DAN BANTUAN-BANTUAN PEMERINTAH Dalam esai bertajuk “Governmentality”, Michel Foucault (1991) menyinggung

tentang bagaimana negara mengatur segala sesuatu yang berhubungan dengan taraf kesejahteraan rakyatnya. Kata Foucault,

“the art of government … is essentially concerned with answering the question of how to introduce ‘economy’ … the correct manner of managing individuals, goods and wealth within the family … and of making the family fortunes prosper – how to introduce this meticulous attention on the father towards his family into the management of the state.” (Foucault 1991:92).

Dari pernyataan ini, kita melihat bahwa untuk menciptakan kemakmuran dari tingkat keluarga hingga ke tingkat nasional (negara), pemerintah berkepentingan mengelola hubungan antara warga negara dengan ‘means of subsistence’-nya, atau secara substansi analog dengan konsepsi economy’s base (lihat Gudeman 2005), yaitu hal-hal yang berfungsi mendukung keberlangsungan hidup manusia. Dalam konteks Orang Laut yang sudah menetap di permukiman, maka misalnya rumah sebagai tempat tinggal, sampan sebagai alat transportasi, pulau sebagai tempat penyedia air bersih, dan laut sebagai penyedia makanan, merupakan hal- hal yang dapat dikatakan sebagai base.

Terkait dengan hal itu, pemerintah berupaya memastikan bahwa “… the greatest possible quantity of wealth is produced, that the people are provided with sufficient means of subsistence …’’ (Foucault 1991:95). Manakala means of subsistence Orang Laut dianggap belum sesuai dengan standar pembangunan, standar taraf hidup nasional, maka pemerintah berkewajiban untuk membenahi sekaligus menyokong perbaikan kualitas kehidupan warga negaranya tersebut Terkait dengan hal itu, pemerintah berupaya memastikan bahwa “… the greatest possible quantity of wealth is produced, that the people are provided with sufficient means of subsistence …’’ (Foucault 1991:95). Manakala means of subsistence Orang Laut dianggap belum sesuai dengan standar pembangunan, standar taraf hidup nasional, maka pemerintah berkewajiban untuk membenahi sekaligus menyokong perbaikan kualitas kehidupan warga negaranya tersebut

Pasca-pemukiman masyarakat terasing 1 di tahun 1980an, kehadiran negara di tengah kehidupan sehari-hari Orang Bertam yang dapat diamati ialah pada

hal-hal yang berhubungan dengan program-program bantuan pemerintah. Dalam sekitar tiga bulan saya mengamati bahwa di hadapan negara, terkait dengan akses pada program bantuan pemerintah, mereka diposisikan sebagai masya- rakat miskin. Miskin dalam makna bahwa Orang Bertam tidak memiliki ‘basis ekonomi’ yang memadai untuk pemenuhan kebutuhan hidup minimalnya. Dalam pelabelan seperti ini, mereka justru dengan sadar terus berusaha memperoleh sesuatu dari pemerintah.

Kendati wujud program bantuan pemerintah cukup beragam dan datang dari berbagai dinas, saya hanya memfokuskan pada tiga program nasional, yaitu bantuan rumah layak huni, Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM), dan beras miskin (Raskin). Menurut pemerintah, ketiga program bantuan ini dibuat berdasar Undang-undang Nomor 11 tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial dan Undang-undang Nomor 13 tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin. Kedua undang-undang ini diterjemahkan dengan rinci salah satunya ke dalam Peraturan Menteri Sosial Nomor 9 Tahun 2012 tentang Pemberdayaan Komu- nitas Adat Terpencil pada Bab IV mengenai Bantuan Sosial melalui Pasal 27

1 Terminologi Masyarakat Terasing yang dulu dirumuskan oleh Departemen Sosial (DBMT 1994/1995) kini telah diganti dengan Komunitas Adat Terpencil (KAT) (Kementerian Sosial

2012) yang asumsi-asumsi di balik pengistilahannya tidak jauh berbeda dengan definisi, karakteristik, dan kategorisasi Masyarakat Terasing pada masa Orde Baru (lihat uraian Bab

II, A.2. dalam tesis ini).

sampai Pasal 31. Pasal-pasal dalam Bab IV Peraturan Menteri Sosial tersebut menyatakan bahwa sebagai upaya penanggulangan kemiskinan pemerintah memberikan jaminan sosial kepada Komunitas Adat Terpencil dan masyarakat miskin terutama dalam pemenuhan kebutuhan pokok, yang di antaranya adalah makanan pokok (khususnya beras) dan tempat tinggal (rumah) berstandar layak huni dengan salah satu cirinya harus berukuran minimal 30 m 2 (Kemenkokesra 2012; Kementerian Sosial 2012:24-28). Sedangkan, mengenai program BLSM, kebijakan bantuan ini menurut pemerintah, yang dikeluarkan atas saran konsul- tan ekonomi Vikram Nehru dari Bank Dunia, merupakan kelanjutan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang bergulir pada 2008 lalu sekaligus merupa- kan solusi atas masalah kenaikan harga pangan dan kebutuhan pokok lainnya sebagai dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak di pertengahan tahun 2013 yang lalu (Prasetiantono 2013).

A.1. Bantuan Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni

Program bantuan berupa Rehabilitasi Sosial Rumah Tidak Layak Huni (RS- RTLH) merupakan satu program yang lahir dari kebijakan pemerintah sebagai satu upaya mengentaskan kemiskinan, meningkatkan kondisi perekonomian, dan meningkatkan kualitas hidup keluarga miskin di Indonesia (Kemensos 2012a:3). Sejumlah masyarakat miskin di Indonesia dipandang pemerintah tidak memiliki kemampuan (berdaya) membangun tempat tinggalnya sendiri, dan lebih dari itu mereka tidak memiliki pengetahuan tentang wujud rumah yang aman dan sehat. Hal demikian ditegaskan oleh Kementerian Sosial bahwa,

“salah satu kebutuhan … fundamental pada diri manusia adalah tempat tinggal atau rumah. Terkait dengan kemiskinan, persoalan yang dihadapi fakir miskin selain kemiskinan itu sendiri adalah rumah … tidak layak huni. Ketidakberdayaan mereka memenuhi kebutuhan rumah … layak huni disebabkan (oleh) rendahnya “salah satu kebutuhan … fundamental pada diri manusia adalah tempat tinggal atau rumah. Terkait dengan kemiskinan, persoalan yang dihadapi fakir miskin selain kemiskinan itu sendiri adalah rumah … tidak layak huni. Ketidakberdayaan mereka memenuhi kebutuhan rumah … layak huni disebabkan (oleh) rendahnya

Bantuan ini berlaku di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Kota Batam. Pada tahun 2012 lalu, Menteri Sosial, Salim Segaf Al Jufri, mengatakan bahwa bantuan sosial senilai Rp1,4 miliar diberikan kepada masyarakat Suku Laut di tiga pulau yang berdekatan, yaitu Bertam, Gara, dan Lingka, sebagai bagian dari kampung komunitas adat terpencil. Bantuan yang disalurkan melalui Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Batam ini digunakan untuk memperbaiki infra- struktur: 128 unit rumah tidak layak huni dan sarana dan prasarana lingkungan: pelabuhan dan pelantar kayu yang rusak (Republika 23/03/2012). Bantuan ini merupakan kelanjutan dari program yang sama di tahun-tahun sebelumnya (se- jak 2009) di mana ketiga pulau tersebut telah diberikan bantuan perbaikan RTLH senilai sepuluh juta rupiah untuk sedikitnya 200 Kepala Keluarga Orang Laut (Batam Pos 02/01/2013). Sementara itu, Raja Kamalruzzaman, Kepala Dinas Sosial dan Pemakaman Kota Batam sebagai koordinator pelaksana teknis program ini, mengatakan bahwa dana bantuan perbaikan rumah pada tahun 2012 diberikan senilai Rp10,000,000., sedangkan untuk tahun 2013 dan 2014 meningkat menjadi Rp20,000,000. Bantuan ini tidak diberikan dalam bentuk uang tunai, melainkan berupa bahan bangunan yang disediakan oleh pemerintah dan didistribusikan melalui toko material bangunan yang ditunjuk oleh Pemko Batam (Halauan Kepri 06/01/2014).

Kementerian Sosial menyebut bahwa kriteria rumah tidak layak huni adalah rumah yang dibangun dengan bahan utama papan kayu atau triplek, karena dianggap tidak mampu bertahan lama. Oleh sebab itu, rumah yang masih berdiri dengan papan kayu akan diganti dengan papan asbes yang disuplai pemerintah. Untuk setiap KK yang ingin mendapatkan bantuan perbaikan RTLH, pemerintah

menetapkan beberapa persyaratan, yaitu (1) tercatat sebagai keluarga miskin di kelurahan; (2) memilki Kartu Tanda Penduduk; (3) rumah yang dimiliki dan ditem- pati termasuk rumah tidak layak huni atau yang dianggap tidak memenuhi syarat kesehatan, keamanan dan sosial, yaitu dengan kondisi tidak permanen atau rusak, dinding dan atap dibuat dari bahan yang mudah rusak atau lapuk (papan kayu, ilalang, bambu yang dianyam [gedeg], dan sebagainya), dinding atau atap sudah rusak sehingga membahayakan atau mengganggu keselamatan peng- huninya, lantai tanah atau semen dalam kondisi rusak, dan diutamakan rumah yang tidak memiliki kamar mandi, cuci, dan kakus; serta (4) bersedia untuk tidak menjual atau menyewakan rumah yang telah direhabilitasi minimal lima tahun sejak menerima bantuan (Kemensos 2012a:4-5).

Merujuk pada Tabel 2.6 di bab sebelumnya tentang cacah jiwa penduduk per kepala keluarga di Pulau Bertam, jika kita berasumsi bahwa setiap KK di pulau ini memiliki rumah, maka jumlah rumah keseluruhan di Bertam ada 38 buah. Namun, pada kenyataannya dari seluruh KK di Bertam baru 32 KK yang memiliki rumah, dengan perincian bahwa delapan KK belum mendapat bantuan RTLH dari Kementerian Sosial di tahun 2012. Dua dari delapan KK ini sudah memiliki rumah sederhana yang merupakan bangunan rumah ketika permukiman Orang Bertam dibangun di akhir 1980an—yang kini oleh pemerintah dikategorikan sebagai rumah tidak layak huni, karena dinding berbahan papan kayu. Sedang- kan, enam KK yang lain masih belum memiliki rumah sama sekali. Saya men- catat bahwa hampir seluruh KK yang belum mendapat bantuan rumah adalah mereka yang belum lama menikah atau belum memiliki KTP atau sudah memiliki KTP, tetapi masa berlakunya belum diperbarui. Kedelapan kepala keluarga ini rata-rata masih berusia muda, di bawah 30 tahun. Selain itu, tujuh dari delapan

KK ini juga belum tercatat sebagai keluarga miskin sehingga mereka belum pula memiliki Kartu Perlindungan Sosial (KPS) sebagai tanda bukti warga miskin yang tercatat negara dan berhak mendapatkan bantuan dari program lain, seperti Raskin dan BLSM.

Ketika saya menanyakan apakah mereka menginginkan rumah dan jika iya mengapa mereka tidak segera mengurus untuk mendapatkan bantuan tersebut, beberapa orang mengatakan kepada saya bahwa mereka mengaku tidak tahu- menahu prosedurnya walaupun ingin segera memiliki rumah sendiri dan berpisah dengan orang tuanya (lihat uraian mengenai rumah sebagai lambang kemakmur- an pada Bab IV). Meski telah menikah, mereka untuk sementara masih tinggal bersama orang tua atau mertuanya. Sebagian yang lain mengatakan bahwa mereka tidak memiliki cukup biaya untuk mengurus syarat-syaratnya (KTP dan KK) di kantor kelurahan, karena lokasi Kantor Kepala Desa di Pulau Kasu perlu ditempuh dalam waktu lebih dari 20 menit dengan perahu pancung bermesin.

Pak Mohtar (di kalangan Orang Bertam ia cukup disapa Mo) sebagai Ketua RT di Bertam menyadari keterbatasan warganya dan mengatakan kepada saya bahwa ia sudah meminta berulang-kali kepada mereka untuk mengumpulkan fotokopi KTP dan KK agar bisa dibawa ke kantor kelurahan, “Pak Lurah sudah bilang ke Pak Mo supaya keluarga yang belum mendapat bantuan segera melengkapi persyaratannya. Tapi mereka (beberapa orang) tidak mendengarkan, Dir. Maunya Pak Mo yang mendatangi mereka. Macam mana itu.” Komentar Mo terhadap beberapa warganya ini mengingatkan pada keterangan Lenhart (2004) mengenai hierarki sosial yang berlaku dalam tradisi Orang Laut, bahwa meski- pun umumnya relasi sosial mereka egaliter, prinsip senioritas tetap berlaku di kalangan mereka. Terutama, aturan bahwa kaum yang muda harus menghor- Pak Mohtar (di kalangan Orang Bertam ia cukup disapa Mo) sebagai Ketua RT di Bertam menyadari keterbatasan warganya dan mengatakan kepada saya bahwa ia sudah meminta berulang-kali kepada mereka untuk mengumpulkan fotokopi KTP dan KK agar bisa dibawa ke kantor kelurahan, “Pak Lurah sudah bilang ke Pak Mo supaya keluarga yang belum mendapat bantuan segera melengkapi persyaratannya. Tapi mereka (beberapa orang) tidak mendengarkan, Dir. Maunya Pak Mo yang mendatangi mereka. Macam mana itu.” Komentar Mo terhadap beberapa warganya ini mengingatkan pada keterangan Lenhart (2004) mengenai hierarki sosial yang berlaku dalam tradisi Orang Laut, bahwa meski- pun umumnya relasi sosial mereka egaliter, prinsip senioritas tetap berlaku di kalangan mereka. Terutama, aturan bahwa kaum yang muda harus menghor-

Lebih lanjut, sebagaimana saya singgung sedikit di atas, ketujuh KK tersebut tidak memiliki KPS, dan sebab itu mereka tidak berhak mendapat jatah Raskin dan BLSM. Di awal bulan Juli 2013, setelah dalam hampir sebulan Orang Bertam dipusingkan oleh kabar tentang kenaikan harga bahan bakar minyak, mereka kini dapat sedikit bernafas lega karena pemerintah mengumumkan akan membagi- kan BLSM bagi warga miskin. Di Bertam, ada tujuh belas KK yang tidak tercatat sebagai penerima BLSM, termasuk tujuh KK yang belum menerima bantuan rehabilitasi RTLH tadi. Mendengar bahwa mereka tidak akan mendapat BLSM, mereka panik. Lantas, mereka memprotes hal ini ke Mo dan mempertanyakan mengapa nama mereka tidak tercantum dalam daftar penerima BLSM. Lebih dari itu, mereka menyangka Mo melakukan manipulasi data warga miskin (lihat urai- an BLSM di bawah).

Mo lantas meminta mereka berkumpul di rumahnya dan menjelaskan kepada mereka bahwa Mo sudah mendaftarkan seluruh nama warga ke Sekretaris Desa beberapa waktu yang lalu, namun daftar yang keluar dari “Jakarta” hanya 21 KK. Mengingat anjuran Lurah Kasu, Mo segera mengabarkan kepada mereka untuk melakukan pendataan ulang, yang dilakukan setelah hari pembagian BLSM, dengan cara mengumpulkan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, yang kemudian akan diurus oleh Mo di kelurahan. Bagi beberapa KK yang belum mendapat bantuan rehabilitasi rumah, Mo menyampaikan juga bahwa Lurah meminta membangun rumah seadanya, dan hal ini dikonfirmasi oleh Lurah Kasu yang mengatakan kepada saya di satu kesempatan bahwa, “kalau mau dapat bantuan pembangunan hunian layak tinggal (sebesar) 20 juta (rupiah) dari Pemko Batam, Mo lantas meminta mereka berkumpul di rumahnya dan menjelaskan kepada mereka bahwa Mo sudah mendaftarkan seluruh nama warga ke Sekretaris Desa beberapa waktu yang lalu, namun daftar yang keluar dari “Jakarta” hanya 21 KK. Mengingat anjuran Lurah Kasu, Mo segera mengabarkan kepada mereka untuk melakukan pendataan ulang, yang dilakukan setelah hari pembagian BLSM, dengan cara mengumpulkan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga, yang kemudian akan diurus oleh Mo di kelurahan. Bagi beberapa KK yang belum mendapat bantuan rehabilitasi rumah, Mo menyampaikan juga bahwa Lurah meminta membangun rumah seadanya, dan hal ini dikonfirmasi oleh Lurah Kasu yang mengatakan kepada saya di satu kesempatan bahwa, “kalau mau dapat bantuan pembangunan hunian layak tinggal (sebesar) 20 juta (rupiah) dari Pemko Batam,

Gambar 3.1. Contoh Bangunan Rumah yang Dianggap Pemerintah Tidak Layak Huni: Rumah milik Udin sisa Program Pemukiman FKKS 1980an (Kiri) dan Rumah Buatan Binson yang Diusulkan Untuk Mendapatkan Bantuan Rehabilitasi RTLH (Kanan) (Foto Dokumen Pribadi 2013)

Di lain waktu setelah pertemuan itu, saya menemui Binson, satu dari ketujuh KK calon penerima bantuan yang sedang memasang papan-papan kayu bekas untuk dibuat gubuk (lihat Gambar 3.1.). Menurut Binson bantuan rumah senilai sepuluh juta rupiah dari Kemensos, dan upah gotong-royong warga untuk mem- bangunnya senilai 900 ribu rupiah per hari dari Pemko Batam hanya akan diberi- kan ketika fondasi (papan dan tiang-tiang penyangga rumah apung) sudah ada terlebih dahulu. “Rumah-rumahan yang buruk dan nggak bisa ditinggali ini harus sudah ada dulu, Mas, katanya biar dapat menjadi laporan pemerintah kalau rumah yang akan diberi bantuan memang betulan ada.” Ia mengaku sebetulnya lebih suka menerima bantuan berupa uang. Akan tetapi, ia menyebut bahwa Di lain waktu setelah pertemuan itu, saya menemui Binson, satu dari ketujuh KK calon penerima bantuan yang sedang memasang papan-papan kayu bekas untuk dibuat gubuk (lihat Gambar 3.1.). Menurut Binson bantuan rumah senilai sepuluh juta rupiah dari Kemensos, dan upah gotong-royong warga untuk mem- bangunnya senilai 900 ribu rupiah per hari dari Pemko Batam hanya akan diberi- kan ketika fondasi (papan dan tiang-tiang penyangga rumah apung) sudah ada terlebih dahulu. “Rumah-rumahan yang buruk dan nggak bisa ditinggali ini harus sudah ada dulu, Mas, katanya biar dapat menjadi laporan pemerintah kalau rumah yang akan diberi bantuan memang betulan ada.” Ia mengaku sebetulnya lebih suka menerima bantuan berupa uang. Akan tetapi, ia menyebut bahwa

Oleh sebab itu, program bantuan rehabilitasi RTLH merupakan salah satu jalan pintas bagi Orang Bertam untuk memiliki rumah. Lebih dari itu, melalui bantuan ini kita melihat bahwa Orang Bertam dewasa ini memang memerlukan rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan juga sebagai ruang sosial yang menggantikan sejumlah fungsi sampan di masa lalu. Rumah, dengan demikian, menjadi hal pokok bagi Orang Laut yang telah hidup permanen di darat, karena rumah merepresentasikan unit terkecil sosial-ekonomi mereka, yakni keluarga batih (lihat uraian tentang rumah di Bab IV A.2.).

A.2. Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM)

Program Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM) diluncurkan peme- rintah pada 22 Juni 2013 sebagai solusi atau dana kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi (bensin maupun solar). BLSM diberikan kepada 15,5 juta (Prasetiantono [2013] menyebut 10,6 juta) Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dikategorikan sebagai keluarga miskin dengan besaran Rp150,000.- per bulan selama empat bulan. Untuk mendanai BLSM tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran hingga 9,3 triliun rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013. Pada tahap Program Bantuan Langsung Sementara Mandiri (BLSM) diluncurkan peme- rintah pada 22 Juni 2013 sebagai solusi atau dana kompensasi atas kenaikan harga bahan bakar minyak bersubsidi (bensin maupun solar). BLSM diberikan kepada 15,5 juta (Prasetiantono [2013] menyebut 10,6 juta) Rumah Tangga Sasaran (RTS) yang dikategorikan sebagai keluarga miskin dengan besaran Rp150,000.- per bulan selama empat bulan. Untuk mendanai BLSM tersebut, pemerintah mengalokasikan anggaran hingga 9,3 triliun rupiah dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2013. Pada tahap

Dalam masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, skema BLSM ditempuh, karena ia diklaim merupakan kebijakan yang populer di banyak negara di dunia guna mengurangi kemiskinan (Hermawan 2013), bahkan di banyak negara sejahtera (wellfare states) (Prasetiantono 2013). Harapan impli- kasi dari pemberian BLSM adalah, salah satunya, mendorong terjaganya tingkat konsumsi masyarakat miskin. Hermawan (2013) menjelaskan pihak yang men- dukung program BLSM berargumen bahwa bantuan ini memiliki dampak positif, karena dapat (1) mendorong pengembangan modal manusia, meningkatkan kesehatan, pendidikan, dan produktivitas pekerja; (2) memungkinkan kelompok miskin melindungi dirinya dan asetnya, bahkan mempertahankan pendapatan jangka panjangnya, (3) mengurangi risiko sosial, (4) menstimulasi permintaan terhadap barang dan jasa lokal, dan (5) menciptakan manfaat bagi kelompok yang tidak diuntungkan karena reformasi ekonomi, seperti pengurangan subsidi harga BBM.

Berkebalikan dari para pendukung kebijakan itu, bagi para penolak program BLSM justru dianggap menempatkan (1) masyarakat sebagai “pengemis” dan (2) BLSM juga diprediksi sulit mencapai tujuan awalnya, karena melihat pengalaman

tahun 2006, bahwa 60% bantuan digunakan bukan untuk konsumsi kebutuhan pokok, melainkan untuk membayar hutang dan membeli rokok. Pengalaman ini membuat tujuan BLSM meleset dari yang diharapkan pemerintah, sebab masya- rakat miskin tidak membelanjakan BLSM tersebut secara produktif (Hermawan 2013). Dalam esai Ekonomi-Politik Program BLSM, Tony Prasetiantono (2013) berpendapat bahwa BLSM dapat diibaratkan seperti sebilah pedang bermata dua. Di satu sisi, ia bisa menjadi instrumen pemerataan ekonomi (equality) dan memproteksi kelompok masyarakat berpendapatan terendah. Namun di sisi lain, BLSM sering menjadi pemicu gejolak konflik yang tidak perlu di tengah masya- rakat miskin.

Lantas, bagaimana program BLSM bagi kalangan Orang Bertam? Adakah ia sesuai harapan pemerintah, menjaga tingkat konsumsi masyarakat di tingkat bawah? Pada pertengahan Juni 2013 hampir semua surat kabar nasional (cetak maupun dalam jaringan) dan juga stasiun televisi memberitakan bahwa pemerin- tah akan menaikkan harga BBM bersubsidi. Ketua BAPPENAS dan beberapa menteri terkait menyampaikan hasil keputusan rapat dengan presiden bahwa bantuan langsung tunai senilai Rp150,000.- per bulan akan didistribusikan dalam dua tahap (BLSM I dan II) melalui PT Pos dan pemerintah desa sebagai antisipasi atau pertolongan pertama pada masyarakat miskin. Bantuan pertama akan diserahkan untuk dua bulan sekaligus. Presiden dalam konferensi pers mengenai BLSM yang disiarkan televisi nasional menyebut, “… agar masyarakat dapat menghadapi bulan puasa dengan ‘tenang dan tidak resah’.”

Ribuan kilo meter dari ingar-bingar di ibu kota, di suatu senja di Bertam, beberapa hari setelah pengumuman itu, saya beranjak turun ke pancung Pak Mo (Ketua RT). Di sana, sudah menunggu Rahman dan Taher. Kami hendak menuju Ribuan kilo meter dari ingar-bingar di ibu kota, di suatu senja di Bertam, beberapa hari setelah pengumuman itu, saya beranjak turun ke pancung Pak Mo (Ketua RT). Di sana, sudah menunggu Rahman dan Taher. Kami hendak menuju

Sesampainya di Kasu, Mo dan dua orang lain berjalan pelan menuju ke rumah Pak Slamet, Sekretaris Desa (Sekdes) Kasu. Saya dan Azan mengikuti dari belakang. Semua orang masuk melalui lorong kecil di samping rumah, melewati dapur. Lalu, kami segera masuk ke rumah Sekdes. Ruang tamu rumah Sekdes cukup bagus, seperangkat meja kursi tamu lengkap dengan bufet yang dihiasi pelbagai macam gelas, piring, dan foto anaknya yang diwisuda di salah satu universitas negeri di Malang. Sekdes dari ruang tengah berjalan meng- hampiri kami, ia tampak membawa sekantung tas plastik berlambang PT Pos yang berisi seikat amplop berwarna putih dan berstempel “Garuda”. Sejurus kemudian, Sekdes menyapa kami dan mempersilakan duduk dan meminum kopi hitam yang sudah disuguhkan sembari ia membuka map kertas berwarna biru, dan mulai menjelaskan apa maksud mereka diundang ke situ.

Malam itu, Sekdes memanggil RT untuk membagikan Kartu Perlindungan Sosial (KPS) yang berfungsi sebagai tiket bagi warga miskin dalam pengambilan BLSM. Amplop-amplop bersegel itu berisi KPS masing-masing warga terdaftar yang dikategorikan sebagai orang miskin, dan bagi yang namanya tertera dalam kartu ini berhak atas bantuan beras miskin (raskin) dan BLSM sebagaimana yang telah dijanjikan pemerintah. KPS ini didistribusikan dari Jakarta melalui Kantor Pos dan diserahkan lewat kelurahan, dan diteruskan pada RT setempat.

Sekdes menjelaskan bahwa tidak semua warga Bertam mendapat KPS dan berhak atas BLSM, karena hanya dua puluh satu nama orang yang tercatat di sebagai warga miskin.

Mengetahui hal itu, Mo lantas menanyakan mengapa hanya 21 nama yang tertera, lantas bagaimana dengan warga yang lain. Sekdes menjelaskan bahwa dari data 21 nama penerima KPS sesuai dengan data penerima raskin yang ada sebelumnya. Menurut pengakuan Mo, dan pendapat ini dibenarkan oleh Slamet, bahwa nama warga sekampung Bertam sudah dicatat ulang sebagai “keluarga miskin”. Menariknya, dari keduapuluhsatu penerima BLSM di Bertam, ada empat keluarga yang tergolong “kaya” atau berkecukupan yang akan memperoleh uang itu (lihat sejumlah indikasi pada Tabel 4.3. Tingkatan Kesejahteraan di Bab IV).

Beberapa hari setelah pertemuan itu, Sabtu 6 Juli 2013, jam 6.30 pagi orang- orang sudah necis dan memenuhi rumah Mo. Beberapa orang memang hendak menumpang pancung Mo yang akan pergi ke Kasu untuk pengambilan BLSM tahap I. Pancung Mo mampu membawa sekitar dua belas orang termasuk bebe- rapa anak-anak yang ikut ibunya. Sementara warga penerima BLSM yang lain, seperti Alan, Madan, Beloh, Ustad Akim, dan Husein memilih berangkat sendiri. Di pagi itu, orang berdandan seperti hendak mendatangi pesta perkawinan, atau ketika mereka mau pergi ke Batam—pergi berbelanja ke kota Batam menjadi satu hal yang istimewa bagi Orang Bertam, dan gengsinya tinggi. Hanya ada dua orang yang tampil seperti hari-hari biasa, Ahu dan Mo.

Di pendopo kelurahan, acara pengambilan BLSM dimulai dengan mengambil nomor antrean, berbondong-bondong orang berdatangan dari berbagai pulau sekelurahan Kasu. Sembari menunggu Wakil Wali Kota Batam, Kepala Kantor Pos, dan Camat Belakang Padang, orang-orang saling bercakap-cakap dan

dengan bercanda, mereka saling menanyakan nomor antrian masing-masing. Mo entah kemana, katanya tadi hendak menyelesaikan urusan pembayaran beras miskin ke Lurah. Mo sempat berpesan, “Khidir tak ape kalau mau foto-foto dulu di atas (pendopo pertemuan), Mo tunggu di sini (kedai kopi).” Saya mengurungkan niat ke pendopo, dan memilih duduk di kedai kopi. Meminum secangkir kopi susu seharga Rp4,000 terasa nikmat sekali pagi itu. Pemilik kedai kopi itu adalah pria Tionghoa paruh baya, bekerja tanpa bantuan: membuat kopi, mengantar, dan melayani tamu sendirian. Di warung itu, saya bertemu dengan Mahadan yang sedang berbincang soal BLSM dengan beberapa orang dari pulau lain, “… harusnya, menurut undang-undang, kalau penerima BLSM ini orang kaya, maka harus dialihkan ke keluarga yang lebih miskin,” katanya. Dalam praktiknya, ia sendiri tidak melakukannya, padahal ia termasuk orang yang berkecukupan (punya kios minyak). Akan tetapi, seperti kebanyakan Orang Bertam yang lain, mereka menganggap dirinya “orang miskin”, orang yang hidup serba pas-pasan. Jadi, anjuran yang tertera dalam amplop KPS bagi penerima BLSM itu hampir mustahil terjadi dalam kenyataan, di samping kenyataan bahwa banyak Orang Bertam yang masih buta huruf.

Proses penyerahan BLSM dimulai setelah Wakil Wali Kota Batam dan rombongannya datang. Empat orang penerima bantuan yang ditunjuk Sekdes diminta ke depan untuk penyerahan BSLM secara simbolis. Kesan saya, ke- empat orang tersebut sengaja dipilih yang tua dan berpenampilan agak sedikit lusuh, agar terkesan “dramatis” ketika difoto oleh para wartawan yang hadir saat itu. Secara bergantian: wakil walikota, kepala Kantor Pos, Camat, dan terakhir Lurah Kasu memberikan BLSM kepada mereka dan berfoto. Setelah selesai, acara penyerahan bantuan dilanjutkan berurutan sesuai dengan nomor antrian Proses penyerahan BLSM dimulai setelah Wakil Wali Kota Batam dan rombongannya datang. Empat orang penerima bantuan yang ditunjuk Sekdes diminta ke depan untuk penyerahan BSLM secara simbolis. Kesan saya, ke- empat orang tersebut sengaja dipilih yang tua dan berpenampilan agak sedikit lusuh, agar terkesan “dramatis” ketika difoto oleh para wartawan yang hadir saat itu. Secara bergantian: wakil walikota, kepala Kantor Pos, Camat, dan terakhir Lurah Kasu memberikan BLSM kepada mereka dan berfoto. Setelah selesai, acara penyerahan bantuan dilanjutkan berurutan sesuai dengan nomor antrian

Di tengah acara, Ustad Akim mendatangi saya dan memberitahu bahwa bagi yang belum terdaftar sebagai penerima BLSM dapat diusulkan RT melalui pendataan ulang. Menurut Ustad Akim, hal ini harus segera dilakukan oleh Mo dan disampaikan ke kelurahan. Beberapa saat kemudian, saya mengonfirmasi hal itu ke Mo dan ia membenarkan berita itu. Seketika itu juga, Mo mengatakan akan mendaftar ulang warga yang belum mendapat KPS dan meminta mereka melengkapi syarat-syarat seperti foto kopi KTP dan Kartu Keluarga.

Setelah acara penyerahan bantuan selesai, warung-warung makanan dan kebutuhan pokok dikerumuni banyak orang. Jalan menuju pelabuhan di Pulau Kasu siang itu jadi penuh sesak, seperti pasar. Mereka membelanjakan sebagian uang yang baru saja diterima. Ada yang membeli lauk seperti gado-gado, ikan goreng, ayam goreng, dan ada yang membeli bahan makanan dan sayuran. Tidak hanya itu, anak-anak mereka pun dibelikan mainan produk China, seperti misalnya mainan yang dipencet bisa mengeluarkan bunyi-bunyian berupa lagu atau suara yang mengatakan huruf atau angka (dalam bahasa Inggris), yang harga satuannya cukup mahal karena bisa mencapai lima puluh ribu rupiah. Mengenai mainan ini, beberapa hari kemudian Endi mengatakan bahwa demi membahagiakan anaknya ia rela mengeluarkan uang yang agak banyak,

“… ya mau bagaimana lagi Id, Abang ini kan jarang-jarang pegang uang segitu (Rp300,000.-), si Iqbal dan Bayu (kedua puteranya yang berusia 4 dan 1,5 tahun) ini nangis kalau lihat mainan di toko dan Abang juga susah kalau tidak membeli- kan. Harganya mahal, Rp40,000.- Eh, pas sampai rumah, mainan ini dibanting- “… ya mau bagaimana lagi Id, Abang ini kan jarang-jarang pegang uang segitu (Rp300,000.-), si Iqbal dan Bayu (kedua puteranya yang berusia 4 dan 1,5 tahun) ini nangis kalau lihat mainan di toko dan Abang juga susah kalau tidak membeli- kan. Harganya mahal, Rp40,000.- Eh, pas sampai rumah, mainan ini dibanting-

Sesampainya di Pulau Bertam, Mo langsung meminta Mak Mo (isterinya) untuk mengundang warga Bertam yang belum memiliki KTP, Kartu Keluarga, akta kelahiran, dan mereka yang belum mendapat bantuan rehabilitasi rumah untuk berkumpul di rumahnya. Siang itu, sejumlah warga seperti Wawan, Mansur, Udin, Ainun, dan isteri Bang Titi, datang untuk mendengar arahan Mo dan Mak Mo agar mereka segera menyerahkan fotokopi KTP dan Kartu Keluarga untuk dicatat sebagai warga miskin untuk program raskin dan BLSM. Sedang- kan, bagi mereka yang belum memiliki KTP dan KK, Mo memberikan lembar isian untuk permohonan pembuatan KTP dan KK yang harus diisi dan segera dikembalikan ke Mo, agar Mo bisa membawanya ke Kelurahan. Menurut Mo, desakan ini bertujuan agar selain tidak memunculkan syak wasangka di antara warga Bertam berkenaan dengan keakuratan data warga miskin penerima BLSM, juga agar bantuan pemerintah bagi Orang Bertam ke depan lebih merata.

Jika pemerintah berpikir bahwa dengan pemberian program BLSM kepada warga miskin merupakan solusi “keresahan” atas kenaikan harga BBM dan mampu menjaga aktivitas konsumsinya tetap seperti sedia kala, maka dari kasus pada Orang Bertam anggapan tersebut sama sekali meleset. Mengapa? Orang Bertam merupakan nelayan dengan laut sebagai basis ekonominya. Dengan kata lain, laut merupakan sumber penghidupan, dan yang mereka dibutuhkan bukan uang tunai yang diberikan secara cuma-cuma, melainkan lebih pada hal- hal yang mendukung kelancaran aktivitas kenelayanan mereka. Ketika BBM naik, tidak perlu menunggu satu minggu, lebih dari 60% nelayan di Bertam “menaikkan” mesin perahunya, alias mereka tidak bisa menjalankan aktivitas kenelayanannya dengan dukungan mesin yang diberikan oleh Dinas Perikanan Jika pemerintah berpikir bahwa dengan pemberian program BLSM kepada warga miskin merupakan solusi “keresahan” atas kenaikan harga BBM dan mampu menjaga aktivitas konsumsinya tetap seperti sedia kala, maka dari kasus pada Orang Bertam anggapan tersebut sama sekali meleset. Mengapa? Orang Bertam merupakan nelayan dengan laut sebagai basis ekonominya. Dengan kata lain, laut merupakan sumber penghidupan, dan yang mereka dibutuhkan bukan uang tunai yang diberikan secara cuma-cuma, melainkan lebih pada hal- hal yang mendukung kelancaran aktivitas kenelayanan mereka. Ketika BBM naik, tidak perlu menunggu satu minggu, lebih dari 60% nelayan di Bertam “menaikkan” mesin perahunya, alias mereka tidak bisa menjalankan aktivitas kenelayanannya dengan dukungan mesin yang diberikan oleh Dinas Perikanan

A.3. Bantuan Beras Miskin (Raskin)

Menurut data BPS tahun 2011, 95% penduduk Indonesia mengonsumsi beras sebagai bahan pangan utama, dengan rata-rata konsumsi beras sebesar 113,7 kg per jiwa setiap tahun. Oleh karena fakta bahwa konsumsi beras yang demikian besar, sementara stok beras dalam negeri melalui Bulog kerap tidak mencukupi, pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan dan program tertentu untuk menjaga “stabilitas perberasan nasional” atau ketahanan pangan nasional (Kemenkokesra 2012:1). Adang Setiana, Deputi Menko Kesra Bidang Koordinasi Perlindungan Sosial dan Perumahan Rakyat, menjelaskan bahwa pemerintah telah mengeluarkan program beras miskin sebagai program nasional yang ber- ada di bawah Program Penanggulangan Kemiskinan Kluster 1. Dengan demi- kian, program raskin termasuk dalam kebijakan prioritas untuk peningkatkan kesejahteraan rakyat (Kemenkokesra 2012).

Adang Setiana, yang juga merupakan Ketua Pelaksana Tim Koordinasi Raskin Pusat, menerangkan bahwa dalam Rencana Pembangunan Jangka

Menengah Nasional (RPJMN) kebijakan ini memiliki lima sasaran utama, yaitu (1) pengurangan kemiskinan dan pengangguran, (2) pengurangan kesenjangan antar-wilayah, (3) peningkatan kualitas manusia, (4) perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumberdaya alam, dan (5) peningkatan infrastruktur (Kemenkokesra 2012:ii). Untuk menjalankan program ini pemerintah menerap- kan Sistem Perlindungan Sosial yang diwujudkan dalam Kartu Perlindungan Sosial (KPS) bagi warga miskin dan keluarga rawan pangan sebagai garansi mengakses raskin, sebagaimana telah diuraikan di atas pada kasus BSLM.

Mengenai riwayat singkat hadirnya program raskin, program ini awalnya ber- nama Operasi Pasar Khusus (OPK) sebagai alat pemerintah menyiasati krisis pangan tahun 1998 yang disebabkan oleh inflasi nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Kemudian, di tahun 2002, OPK diubah menjadi Program Beras untuk Keluarga Miskin (Program Raskin) dengan tujuan mengu- rangi beban pengeluaran Rumah Tangga Sasaran (RTS) melalui pemenuhan sebagian kebutuhan pangan pokok dalam bentuk beras masyarakat miskin yang diberikan oleh pemerintah. Dengan adanya program raskin, pemerintah mendis- tribusikan beras bersubsidi sebanyak 180 kg untuk setiap RTS per tahunnya, atau setara dengan 15 kg per bulan, dan untuk setiap kilogram raskin diberi harga tebus senilai Rp1.600,- di tiap titik distribusi (Kemenkokesra 2012:3).

Di Pulau Bertam dan pulau-pulau lain di seluruh wilayah Desa Kasu, setiap Ketua RT memiliki kewajiban mengambil jatah beras miskin (raskin). Ketika penelitian saya memasuki bulan Juli atau bulan di mana raskin dibagikan untuk periode bulan Juli dan Agustus, Mo meminta Udin dan saya membantunya mengambil jatah raskin untuk warga Bertam ke Pulau Kasu. Sekitar pukul empat sore kami berangkat. Pancung Mo melaju dengan kecepatan sedang. Ketika Di Pulau Bertam dan pulau-pulau lain di seluruh wilayah Desa Kasu, setiap Ketua RT memiliki kewajiban mengambil jatah beras miskin (raskin). Ketika penelitian saya memasuki bulan Juli atau bulan di mana raskin dibagikan untuk periode bulan Juli dan Agustus, Mo meminta Udin dan saya membantunya mengambil jatah raskin untuk warga Bertam ke Pulau Kasu. Sekitar pukul empat sore kami berangkat. Pancung Mo melaju dengan kecepatan sedang. Ketika

Dua orang petugas kelurahan berseragam dinas warna khaki siap di ujung pelabuhan dengan beberapa kuli yang membantunya. Begitu mendapat giliran, pancung kami segera menempel ke bibir pelabuhan. Salah satu petugas tadi menyerahkan satu lembar kertas berupa daftar penerima raskin untuk dua bulan ke depan, yang harus ditandatangani oleh warga penerima raskin. Sementara satu petugas lain mengurus pembagian beras, yang dibantu oleh dua orang kuli berpakaian bebas. Tersebab saya berada di tengah badan pancung, maka saya yang menyambut lemparan sejumlah karung beras itu, masing-masing beratnya

50 kg. Setiap kali karung dilempar, petugas tadi berteriak memerintah, “campak (lempar) ke bawah!“ Saya menahan lemparan tersebut dari bawah, mengarah- kan lemparan karung beras ke perut pancung, dan mengatur karung-karung beras itu, sementara Udin menahan ujung dek pancung agar tidak menghantam tiang beton penyangga pelabuhan. Oleh karena angin berhembus cukup ken- cang, gelombang air laut sore itu lumayan tinggi dan mengombang-ambingkan tubuh pancung. “Tahan! Awas gelombang laut …,” teriak petugas tadi. Pulau Bertam menerima 600 kg lebih beras yang dihitung dari 21 KK dalam daftar penerima raskin. Setiap KK mendapat jatah sebanyak 15 kg dengan harga tebus Rp1,600 per kilonya sesuai dengan harga tebus yang ditetapkan oleh peme- rintah. Oleh karena pengambilan kali ini untuk dua bulan, tiap keluarga sedianya berhak menerima 30 kg.

Kendati demikian, mengingat di Bertam terdapat 37 KK, atau masih tersisa

16 KK yang tidak terdaftar sebagai penerima bantuan raskin, maka Mo sebagai Ketua RT memutuskan untuk membagi secara merata. Artinya, dari 600 kg sebagai jatah dua bulanan itu akan tetap dibagi kepada 37 KK yang ada, bukan hanya 21 KK sebagaimana tercantum dalam daftar resmi kelurahan. Keputusan semacam ini, menurut Mo dan beberapa orang tua di Bertam yang saya tanyai merupakan kesepakatan bersama Orang Bertam. Walaupun inisiatif semacam ini mulanya dari Mo, hampir tidak muncul keberatan dari orang lain di Bertam. Dengan adanya kesepakatan ini, maka setiap keluarga lantas berhak mendapat kurang lebih 17 kg.

Kesepakatan untuk distribusi raskin secara merata tersebut agaknya tidak memungkinkan di pulau tetangga, Pulau Lingka. Di hari yang sama dengan pengambilan raskin di Kasu, Mak Mo cerita bahwa ada masalah dalam pem- bagian bantuan raskin di Lingka, sebab Ketua RT Pulau Lingka hanya mem- bagikan beras kepada warga yang memiliki Kartu Perlindungan Sosial (KPS). Tidak hanya soal siapa yang berhak menerima, beras itupun oleh Ketua RT dijual sebesar Rp2,000.- per kg. “Orang-orang pada protes, Dir. Telponlah mere- ka tadi ke Mak Mo mengadu, tanye apakah beras itu harganya sudah naik, (dan) kenape bisa hanya orang yang punya kartu BBM 2 yang boleh dapat beras. Ketua RT di Lingka tak tahu ape, kalau warganya itu kesusahan,” ujar Mak Mo dengan kesal.

Sesampainya di Bertam, kami angkat karung-karung beras itu ke rumah Mo. Udin dan Tata mengangkat dari bawah, sementara saya dan Mo menyambut di atas dan menumpuknya di lantai papan rumah Mo yang belum selesai direno-

2 Mereka menyebut KPS dengan istilah “kartu BBM” karena mereka mengasosiasikan kartu tersebut dengan pembagian BSLM beberapa hari sebelum pembagian beras miskin ini.

vasi. Bakda magrib, Orang Bertam mulai berdatangan untuk mengantri membeli jatah berasnya. Mo dibantu oleh Slamet, menantunya, menimbang beras dan memasukkannya ke kantung plastik, karung, maupun ember. Tidak semua orang membawa uang, dan juga tidak semua orang membawa karung atau wadah. Ada sebagian warga yang masih berhutang membayar beras jatah bulan-bulan sebelumnya, namun untuk persoalan ini Mo hampir tak pernah mempersoalkan dan menunda pemberian beras, karena menurutnya,

“orang-orang ini gimana ya Dir, agak susah juga Pak Mo bilangnya (Mo tertawa), tetapi Pak Mo tidak tega kalau mereka tidak bisa ambi’ beras. Orang-orang bilang ke Pak Mo kalau mereka sedang tidak ada duit. Tak ape, Pak Mo sendiri tidak pernah minta mereka bayar (saat itu juga). Biasanya, Pak Mo membayar ke kelurahan ambi’ dari uang Pak Mo dulu. Mak Mo tahu itu, kadang malah Mak Mo yang menagih. Sebetulnya Mak Mo tidak menagih, hanya mengingatkan (untuk segera membayar). Tapi, Pak Mo kadang berpikir, kalau kita sedang ada, ape susahnya kita berbagi sama saudara sendiri. Allah pasti akan membalas, meng- ganti perbuatan kita, ya kan Dir ...”

Pembagian beras miskin di rumah Mo baru selesai pukul 23.00, dan sambil kami bersantai, Mo juga menceritakan pengalamannya mengenai Orang Suku Laut dan makanan. Mo mengatakan dulu ketika mereka masih mengembara di laut menggunakan sampan, Orang Laut selain mengonsumsi beras sebagai makanan utama, mereka biasa mengonsumsi sagu atau umbi-umbian yang diperoleh di beberapa pulau tempat mereka singgah (lihat juga Shoper 1977:99, 117-8, 302-5). Mo mengisahkan, pernah satu ketika terjadi masa paceklik beras di sekitar tahun akhir 1960an atau 1970an, beberapa kelompok sampan mereka kesulitan mendapat beras dengan kondisi layak makan, baik di pasar maupun di warung para tauke China. Ketua kelompok pengembara lantas mengajak mereka untuk mencari sagu ke beberapa pulau di daerah Bintan. Dalam ingatan Mo, kondisi sagu waktu itu masih bagus dan lezat ketika dimakan dengan ikan, tidak seperti sekarang di mana sulit mendapat sagu dengan kualitas baik. Sagu ini Pembagian beras miskin di rumah Mo baru selesai pukul 23.00, dan sambil kami bersantai, Mo juga menceritakan pengalamannya mengenai Orang Suku Laut dan makanan. Mo mengatakan dulu ketika mereka masih mengembara di laut menggunakan sampan, Orang Laut selain mengonsumsi beras sebagai makanan utama, mereka biasa mengonsumsi sagu atau umbi-umbian yang diperoleh di beberapa pulau tempat mereka singgah (lihat juga Shoper 1977:99, 117-8, 302-5). Mo mengisahkan, pernah satu ketika terjadi masa paceklik beras di sekitar tahun akhir 1960an atau 1970an, beberapa kelompok sampan mereka kesulitan mendapat beras dengan kondisi layak makan, baik di pasar maupun di warung para tauke China. Ketua kelompok pengembara lantas mengajak mereka untuk mencari sagu ke beberapa pulau di daerah Bintan. Dalam ingatan Mo, kondisi sagu waktu itu masih bagus dan lezat ketika dimakan dengan ikan, tidak seperti sekarang di mana sulit mendapat sagu dengan kualitas baik. Sagu ini

Selain dari keterangan Shoper (1977) mengenai beberapa Orang Laut di Asia Tenggara yang mengonsumsi sagu, sepenggal kisah Mo itu juga mengingatkan saya pada analisis sejarawan Anthony Reid (2004b) tentang food security, kese- hatan, dan pengobatan tradisional dalam konteks asal-usul kemiskinan di Asia Tenggara. Reid menerangkan bahwa penduduk lokal di Asia Tenggara di sekitar abad ke-17, termasuk mereka yang ada di kawasan yang kini bernama Indone- sia, memiliki sejumlah alternatif bahan makanan pokok terutama ketika tanaman padi mengalami gagal panen. Beberapa alternatif makanan yang ia sebutkan antara lain, sagu, pisang, kelapa, ikan dan umbi-umbian, yang ketika itu dapat diperoleh dengan mudah oleh hampir setiap orang (Reid 2004b:289).

Dari hal itu, kita dapat merefleksikan bahwa ketika pemerintah menetapkan standar makanan pokok berupa beras, justru yang terjadi adalah ketergantungan warga negara pada beras. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konsum- si beras di Indonesia cukup tinggi. Manakala pemerintah tidak mampu memasok kebutuhan konsumsi beras bagi warganya, mengapa kemudian jalan keluar yang ditempuh bukan mengembalikan sebagian warga negara kepada “budaya” bahan makanan pokoknya, seperti umbi-umbian atau sagu pada orang-orang Pulau Kei Dari hal itu, kita dapat merefleksikan bahwa ketika pemerintah menetapkan standar makanan pokok berupa beras, justru yang terjadi adalah ketergantungan warga negara pada beras. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila konsum- si beras di Indonesia cukup tinggi. Manakala pemerintah tidak mampu memasok kebutuhan konsumsi beras bagi warganya, mengapa kemudian jalan keluar yang ditempuh bukan mengembalikan sebagian warga negara kepada “budaya” bahan makanan pokoknya, seperti umbi-umbian atau sagu pada orang-orang Pulau Kei

B. ORIENTASI EKONOMI BARU ORANG BERTAM DALAM MATA PENCAHARIAN

Pada bagian ini saya akan menerangkan perubahan orientasi ekonomi Orang Laut di Pulau Bertam dalam konteks mata pencaharian. Orientasi ekonomi Orang Bertam dapat diidentifikasi melalui ragam mata pencaharian di masa lalu dan saat ini serta alasan yang melatarinya. Mengenai jenis mata pencaharian Orang Bertam pasca-pemukiman dalam beberapa hal sebetulnya tidak begitu berbeda dengan mata pencaharian ketika mereka masih hidup mengembara atau awal mula tinggal di darat, yaitu kerja laut (cf. Chou 2010:82-100; Lenhart 2002, 2004). Namun demikian, jika melihat kembali pada uraian pada bab sebelumnya, beragamnya mata pencaharian Orang Bertam dewasa ini dapat dibaca sebagai salah satu konsekuensi pada bidang ekonomi dari proses sosial dan budaya yang dibentuk oleh program-program pembangunan pemerintah.

Untuk menerangkan konsekuensi pada bidang ekonomi tersebut, tidak akan cukup jika hanya mengungkapkan hal-hal yang berkenaan dengan aktivitas kerja mereka di masa ini. Melainkan, perlu juga mendeskripsikan apa yang mereka kerjakan ketika masih hidup mengembara di laut untuk dapat memberi gambaran pada aspek-aspek apa yang sebetulnya berubah dalam elemen budaya tersebut. Selebihnya, satu hal yang perlu dicatat bahwa perubahan dalam aktivitas kerja di kalangan Orang Laut sebetulnya tidak melulu menyangkut persoalan ekonomi, tetapi juga, seperti James Carrier (2010:156) katakan, terkait dengan persoalan kemunculan relasi-relasi sosial dan identitas baru dalam komunitas tertentu.

Berangkat dari pengamatan saya selama penelitian, paling tidak terdapat tiga kelompok jenis mata pencaharian Orang Bertam, yaitu (1) kerja laut, (2) kerja rangkap atau melakukan keduanya, dan (3) kerja darat. Meskipun dapat diper- debatkan, urutan ini mengandaikan bahwa Orang Suku Laut mengalami fase atau tahap peralihan pada sejumlah aktivitas ekonomi dari yang mulanya hanya ‘berbasis laut’ kemudian beralih ke aktivitas-aktivitas ekonomi yang ‘berbasis pada laut dan darat’. Hingga nantinya, barangkali pada generasi tertentu, mereka (bisa jadi) keluar dari ekonomi kenelayanan dan (hanya) mengerjakan kegiatan ekonomi ‘berbasis darat’. Dengan demikian, saya berpendapat bahwa melalui indikator semacam ini prediksi (atau kekhawatiran?) para etnografer terdahulu seperti Nimmo, Lenhart, Chou, dan Wee mengenai kemusnahan salah satu elemen penting kebudayaan Orang Suku Laut di masa mendatang tampaknya sangat mungkin terjadi.

B.1. Kerja Laut: Dari Produksi-Subsistensi ke Subsistensi dan Produksi

Mengurai proses perubahan mata pencaharian Orang Bertam dan seperti apa peralihan orientasi ekonomi, saya berangkat dari perspektif ‘ekonomi komu- nitas’ (‘a community economy’). Stephen Gudeman (2010:213-214) mendefinisi- kan ‘ekonomi komunitas’ sebagai segala aktivitas ekonomi yang terkait dengan sekelompok manusia (a group of people) yang menetap di lingkungan tertentu (umumnya dalam batas ruang dan sosial yang relatif tegas), dan berbekal kemampuan dan pengetahuan tertentu untuk menggunakan alat-alat (material tools) tertentu dalam mendukung berbagai aktivitas perekonomiannya. Pada ‘a community economy’, lanjut Gudeman, bukan semata-mata bertujuan untuk menjaga ketersediaan kebutuhan hidup sehari-hari, terutama makanan (securing Mengurai proses perubahan mata pencaharian Orang Bertam dan seperti apa peralihan orientasi ekonomi, saya berangkat dari perspektif ‘ekonomi komu- nitas’ (‘a community economy’). Stephen Gudeman (2010:213-214) mendefinisi- kan ‘ekonomi komunitas’ sebagai segala aktivitas ekonomi yang terkait dengan sekelompok manusia (a group of people) yang menetap di lingkungan tertentu (umumnya dalam batas ruang dan sosial yang relatif tegas), dan berbekal kemampuan dan pengetahuan tertentu untuk menggunakan alat-alat (material tools) tertentu dalam mendukung berbagai aktivitas perekonomiannya. Pada ‘a community economy’, lanjut Gudeman, bukan semata-mata bertujuan untuk menjaga ketersediaan kebutuhan hidup sehari-hari, terutama makanan (securing

Selain itu, ‘ekonomi komunitas’ dibentuk pula oleh basis ekonomi (economy’s base) yang khas (Gudeman 2010). Hal itu serupa dengan kelompok Orang Laut pra-pemukiman. Basis ekonomi mereka dapat diidentifikasi, misalnya, dari pengetahuan (knowledge) dan kebolehan (skills) melaut yang diturunkan lintas generasi (seperti tentang klasifikasi), segala macam peralatan berburu ikan yang mereka miliki, sampan (perahu), teritori laut, para leluhur (ancestors), hantu atau kekuatan gaib laut (spirits), mantra ritual di laut, corak kepemimpinan dalam ekonomi kenelayanan (fishing leadership), dan segala sesuatu yang berkaitan dengan kebiasaan mereka ketika bekerja di laut (lihat Gudeman 2005:98-99, 2010:214). Dengan basis ekonomi semacam ini, dapat dibayangkan aktivitas kenelayanan Orang Laut tidak bertujuan pada “accumulation of property or making a profit”, yang menjadi logika umum dalam aktivitas ekonomi berbasis pasar (Gudeman 2010:213).

Meski demikian, Orang Laut bukannya sama sekali imun dari aktivitas jual- beli, atau aktivitas pertukaran ke luar komunitas mereka dalam tujuan memeroleh uang atau barang lain. Di masa lalu, kendati awalnya mereka menukarkan hasil lautnya dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari manakala terjadi surplus tangkapan ikan ke para tauke di sekitar tempat mereka melaut, lambat-laun Meski demikian, Orang Laut bukannya sama sekali imun dari aktivitas jual- beli, atau aktivitas pertukaran ke luar komunitas mereka dalam tujuan memeroleh uang atau barang lain. Di masa lalu, kendati awalnya mereka menukarkan hasil lautnya dengan barang-barang kebutuhan sehari-hari manakala terjadi surplus tangkapan ikan ke para tauke di sekitar tempat mereka melaut, lambat-laun

Mengapa para tauke, baik di sekitar Kepri dan Singapura, mau menampung ikan hasil tangkapan Orang Laut dan ‘memanfaatkan’ mereka sebagai pemasok komoditas maritim di samping dari para ‘nelayan biasa’ (non-Orang Suku Laut)? Pertanyaan ini tampaknya belum sepenuhnya terjawab oleh beberapa peneliti. Kalau kita melihat informasi dalam etnografi Chou (2003, 2010), saya menduga hal ini terjadi karena, pertama, umumnya Orang Laut semula tidak menuntut besaran (nilai) uang tertentu untuk mengganti kuantitas komoditas maritim yang disetor ke para tauke. Dapat disangka bahwa Orang Laut sama sekali tidak memerhitungkan ongkos lelahnya (production and distribution costs), karena mereka memilih untuk ‘mengambil’ beberapa bahan kebutuhan harian selama melaut, seperti gula, kopi, beras, minyak tanah, dan sebagainya. Kedua, ketika Orang Laut mulai mengenal uang, uang yang didapat hampir-hampir tidak digunakan untuk membeli hal-hal di luar “kebutuhan dasar” mereka, seperti yang telah disebut sebelumnya, ditambah dengan kebutuhan, misalnya, memerbaiki atau membeli sampan baru, yang kala itu sampan diproduksi dan dijual oleh beberapa orang Tionghoa atau orang Melayu (lihat Chou 2003; Nimmo 1972).

Dugaan ketiga, terdapat keistimewaan pada Orang Laut yang barangkali tidak dimiliki oleh kelompok nelayan dari sukubangsa lain, bahwa dengan pola hidup mengelana di laut dalam kurun waktu tertentu membuat Orang Laut dapat membedakan 138 jenis ikan yang dijumpai di perairan Kepulauan Riau, dan 40 jenis ikan di antaranya merupakan jenis ikan yang biasa dikonsumsi, termasuk di dalamnya ikan dugong (duyung, sea cow) dan penyu (Chou 2010:83). Sistem Dugaan ketiga, terdapat keistimewaan pada Orang Laut yang barangkali tidak dimiliki oleh kelompok nelayan dari sukubangsa lain, bahwa dengan pola hidup mengelana di laut dalam kurun waktu tertentu membuat Orang Laut dapat membedakan 138 jenis ikan yang dijumpai di perairan Kepulauan Riau, dan 40 jenis ikan di antaranya merupakan jenis ikan yang biasa dikonsumsi, termasuk di dalamnya ikan dugong (duyung, sea cow) dan penyu (Chou 2010:83). Sistem

Keempat, dari ketiga kemungkinan di atas, saya kira fakta bahwa Orang Suku Laut menganggap aktivitas kenelayanan merupakan sesuatu yang inheren dalam kehidupan (baca: kebudayaan) mereka sehingga hampir tidak mungkin dipisahkan, bahkan dilepaskan, dari komunitas ini. Chou mencatat mengenai hal ini, bahwa,

“Fishing which is the main preoccupation of the OSL, is thus an exchange between the maritime world and the human world. Both worlds are connected by reciprocity and exchange. The use of cash for such exchanges is considered inappropriate for establishing communication between the two worlds. This is because … the use of cash distances the relationship between transactors. For the OSL, this transaction is not within a society with its hierarchical organisation, but between society and the forces upon which it must draw.” (Gudeman 1986:148-150 dalam Chou 1994:78)

Dengan demikian, ada masa di mana Orang Laut memiliki keterikatan begitu mendalam dengan lingkungannya, yaitu dunia maritim dan dunia manusia. Atas hubungan semacam ini, mereka mengartikulasikannya melalui praktik ritual ter- tentu sebagai wujud komunikasi dan penghormatan mereka terhadap alam.

Selanjutnya perlu juga diketahui bagaimana alat dan metode mereka dalam menangkap ikan. Di masa pra-menetap sampai saat ini, komunitas nomad laut menangkap ikan menggunakan berbagai cara dan alat, antara lain: dengan tangan (untuk menangkap kepiting bakau), tombak dengan berbagai macam

jenis mata tombak (untuk beragam jenis ikan, penyu, dan ikan duyung), pancing atau kail (untuk berbagai jenis ikan), jaring (ikan), dan bento atau bubu (perang- kap ikan dan kepiting laut) (Chou 2010; Sembiring 1993, Trisnadi 2002). Per- tanyaannya kemudian apakah mereka menangkap ikan-ikan tersebut hanya sebatas untuk dikonsumsi pada hari itu saja, secukup kebutuhan hidup hari itu dan ketika surplus baru mereka jual ke para penampung ikan, ataukah mereka memiliki teknologi tertentu untuk menyimpan sebagian tangkapannya? Vivienne Wee (1985:83 via Chou 1994:106) menerangkan bahwa Orang Laut “are not interested in fishing methods that would bring in a greater quantity of fish than is needed for their daily needs.” Lebih dari itu, sebut Wee, mereka juga tidak ter- biasa mengasinkan atau mengawetkan (preservation) ikan tangkapannya, sebab, bagi Orang Suku Laut cara-cara seperti itu ‘…"not suitable" and "counter- productive for an economy based on day-to-day subsistence” (Ibid.). Dengan demikian, cukup jelas bahwa umumnya mereka hanya menangkap ikan untuk dikonsumsi pada hari itu juga, atau subsisten (lihat Zacot 1979:47).

Hal ini bisa dimengerti jika kita mengingat pola hidup berpindah dengan sampan mereka di masa lalu dan tidak mempertimbangkan daratan, selain fungsinya sebagai tempat berlabuh sementara (lihat Nimmo 1972; Sembiring 1993). Daratan di mata mereka juga tidak lebih baik daripada lautan, oleh sebab itu darat bagi mereka merupakan “area yang kotor” (Chou 2003), karena salah satu fungsinya adalah sebagai tempat menguburkan anggota Orang Laut yang meninggal dunia (Chou 2003; Zacot 2008; lihat uraian Bab IV). Meskipun seka- rang telah menetap di pulau tertentu, mereka tetap tidak memproduksi ikan asin atau ikan awetan, kecuali sebagian kecil dari mereka yang bekerja sebagai nelayan ikan bilis (lihat uraian di bawah).

Dari diskusi di atas, kita dapat mengatakan bahwa pada kerja laut, aktivitas ekonomi komunitas Orang Laut secara umum memiliki dua tujuan: subsistensi (konsumsi) dan produksi (lihat Tabel 3.1.). Aktivitas ekonomi subsistensi lebih mudah dipahami ketimbang produksi, sebab mudah dibayangkan bahwa mereka melakukannya untuk pemenuhan kebutuhan pribadi atas makanan tertentu. Beda halnya dengan ekonomi produksi. Namun, apakah aktivitas kenelayanan Orang Bertam dapat dikategorikan sebagai aktivitas produksi jika kita berasumsi bahwa mereka “hanya memburu, mengambil, dan memanfaatkan” yang tersedia di laut tanpa perlu “mengolah” lagi. Di samping itu, mereka juga dianggap oleh negara “tidak memiliki atau menguasai teritori laut” sebagai penyedia sumber penghidupan tersebut (Chou 1997, 2010).

Pandangan umum mengenai fishing economy Orang Laut semacam itulah yang digugat oleh Chou (1997:611, 2010:82). Menurut Chou, anggapan tersebut benar belaka jika kita mengacu pada asumsi Marx dan Engels (1970:44 via Chou 1997:611) tentang masyarakat pemburu dan nelayan (fisher-people) sebagai golongan “the undeveloped stage of production,” sebab Marx dalam Introduction to a Critique of Political Economy menyebut, “production first begins with agricul- turalists.” Pandangan serupa juga muncul dalam model evolusi sosialnya Gordon Childe (1949 via Chou 1997:611) yang membedakan antara perilaku masyarakat dalam tahap ‘savage food-gatherers’ yang dianggap bertindak seperti parasit terhadap alam dengan masyarakat ‘barbarian food-producers’ yang telah mem- budidayakan (domestikasi) tanaman dan memelihara hewan. Namun, sejumlah argumen ini tidak berlaku bilamana kita mempertimbangkan pendapat Tim Ingold (1986:153 dalam Chou 2010:82) yang mengatakan bahwa suatu kegiatan ekono- Pandangan umum mengenai fishing economy Orang Laut semacam itulah yang digugat oleh Chou (1997:611, 2010:82). Menurut Chou, anggapan tersebut benar belaka jika kita mengacu pada asumsi Marx dan Engels (1970:44 via Chou 1997:611) tentang masyarakat pemburu dan nelayan (fisher-people) sebagai golongan “the undeveloped stage of production,” sebab Marx dalam Introduction to a Critique of Political Economy menyebut, “production first begins with agricul- turalists.” Pandangan serupa juga muncul dalam model evolusi sosialnya Gordon Childe (1949 via Chou 1997:611) yang membedakan antara perilaku masyarakat dalam tahap ‘savage food-gatherers’ yang dianggap bertindak seperti parasit terhadap alam dengan masyarakat ‘barbarian food-producers’ yang telah mem- budidayakan (domestikasi) tanaman dan memelihara hewan. Namun, sejumlah argumen ini tidak berlaku bilamana kita mempertimbangkan pendapat Tim Ingold (1986:153 dalam Chou 2010:82) yang mengatakan bahwa suatu kegiatan ekono-

“... fishing is an activity full of religious meaning, which always involves some kind of exchange between human beings and the spirit world … (hence) there is no distinction between religion and economy for the Orang Laut … (because) spiritu- al matters and economic production are inextricably linked.” (Chou 2010:82).

Jadi ekonomi kenelayanan Orang Laut dimengerti juga sebagai iman & laku spiri- tual mereka terhadap penguasa alam, dan oleh karenanya kedua hal ini tidak dapat dipisahkan. Selain itu, relasi semacam ini juga menunjukkan gagasan tentang ritme kerja laut mereka yang sangat dipengaruhi oleh ritme dan kondisi alam (Sembiring 1993). Dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa ekono- mi kenelayanan atau kerja laut merupakan elemen penting, jika tidak yang ter- penting, dari identitas kultural Orang Laut (Chou 2010:82).

Tabel 3.1. Klasifikasi Mata Pencaharian Laut Orang Bertam

Kerja Laut

Jumlah Nelayan

Kategori

Subkategori

Nelayan Ikan Bilis (produksi)

Nelayan Jenis Ikan lainnya (produksi)

Nelayan Jenis Ikan lainnya (subsisten)

Tauke

Tauke (Penampung) Ikan

Tauke (Penampung) Rumput Laut

Kerja Laut Lainnya

Juru Pancing

Selam Besi

Jika deskripsi di atas sedikit berceritera mengenai aktivitas dan hal-hal yang melingkupi kerja laut di masa lalu, bagaimana dengan Orang Bertam dewasa ini? Melalui Tabel 3.1. di atas, kita dapat melihat bahwa Orang Bertam, seperti juga umumnya Orang Laut di pulau-pulau lain, hampir semua berprofesi sebagai nelayan dengan peralatan yang tidak jauh berbeda dengan sebelum mereka menetap. Hanya dalam dua puluh tahun terakhir mereka mulai akrab dengan mesin (motor) perahu. Artinya, kerja laut masih merupakan mata pencaharian Jika deskripsi di atas sedikit berceritera mengenai aktivitas dan hal-hal yang melingkupi kerja laut di masa lalu, bagaimana dengan Orang Bertam dewasa ini? Melalui Tabel 3.1. di atas, kita dapat melihat bahwa Orang Bertam, seperti juga umumnya Orang Laut di pulau-pulau lain, hampir semua berprofesi sebagai nelayan dengan peralatan yang tidak jauh berbeda dengan sebelum mereka menetap. Hanya dalam dua puluh tahun terakhir mereka mulai akrab dengan mesin (motor) perahu. Artinya, kerja laut masih merupakan mata pencaharian

35 orang dari sekitar 150 jumlah penduduk pulau ini, dan umumnya mereka laki- laki dewasa. Hanya terdapat sedikit wanita (dewasa) yang masih ikut mencari ikan atau menyekop udang di laut, dan ini pun tidak rutin.

Perempuan Bertam atau Orang Suku Laut mencari ikan hanya sebagai komplemen dari kerja si laki-laki (suami), atau menggantikan ketika si pria jatuh sakit. Yang menarik, pola kerja mereka agak berlainan dengan kaum adam Orang Laut, perempuan Bertam ikut mencari ikan atau udang tanpa perlu meninggalkan kampungnya. Oleh karena itu, perempuan Bertam akan mencari ikan atau udang di sela-sela batu karang dan gundukan pasir pantai ketika air tengah surut. Mereka melakukannya di pagi hari atau dini hari sebelum matahari terbit, atau dikerjakan menjelang tengah malam, tergantung pada masa pasang- surut air. Dengan lampu sorot yang dipasang di kepala, mereka menyisir pantai yang telah ‘mengering’ atau saat air hanya setinggi mata kaki di sekeliling pulau kampung tempat tinggal mereka. Bagai prajurit yang menyisir ranjau di garis depan medan pertempuran, mereka berjalan sangat pelan, menunduk hening, menoleh kanan-kiri, seketika memutar badan kala mendengar suara gerak ikan di belakangnya, dan dengan tombak atau sekop ia membongkar-bongkar karang dan pasir yang menyembunyikan ikan atau udang kecil.

Hal itu serupa dengan komunitas Bajo Laut di Kepulauan Sulu. Nimmo (1972) mengatakan wanita kerap ditinggal di rumah-apung daripada ikut serta melaut. Alasannya, agar mereka dapat merawat anak-anak dan menjaga properti mereka “di darat”. Sedangkan, para lelakilah yang biasa mencari ikan di beberapa lokasi yang jauh dari kampung. Dewasa ini, oleh sebab Orang Bertam sudah tidak melaut jauh dari kampung, beberapa perempuan dan sang anak pergi bersama Hal itu serupa dengan komunitas Bajo Laut di Kepulauan Sulu. Nimmo (1972) mengatakan wanita kerap ditinggal di rumah-apung daripada ikut serta melaut. Alasannya, agar mereka dapat merawat anak-anak dan menjaga properti mereka “di darat”. Sedangkan, para lelakilah yang biasa mencari ikan di beberapa lokasi yang jauh dari kampung. Dewasa ini, oleh sebab Orang Bertam sudah tidak melaut jauh dari kampung, beberapa perempuan dan sang anak pergi bersama

Gambar 3.2. (Kiri) Di kala air surut, perempuan Bertam biasa ‘turun’ mencari udang di pagi hari untuk dikon- sumsi. (Atas) Sekarang, aktivitas melaut tak hanya di- kerjakan oleh para lelaki, namun bersama anaknya dan perempuan dapat menemani suaminya bekerja laut. (Kiri Bawah) Seorang perempuan Bertam sedang memasang umpan pada kail pancingnya. (Kanan Bawah) Sepulang sekolah, sebagian anak Suku Laut dijemput ibunya, dan sangat biasa jika banyak anak lain yang menumpang.

Seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1., di Bertam profesi sebagai nelayan dapat dibagi ke dalam dua kelompok: yaitu (1) nelayan ikan bilis dan (2) nelayan jenis ikan lainnya. Pada kelompok kedua, dapat dibedakan lagi menurut tujuan- nya: yaitu produksi dan subsistensi, karena pada yang pertama semua nelayan ikan bilis menjual hasil tangkapannya dan tidak untuk dikonsumsi sendiri (eko- nomi produksi). Berbeda dengan nelayan ikan jenis lain yang memiliki motivasi baik untuk dikonsumsi sendiri, dijual, atau keduanya. Pada nelayan tipe kedua umumnya mencari ikan sembilang, ikan dingkis, ikan tongkol, cumi-cumi (dengan beragam varietasnya: sotong, nos, dan cumi-cumi), tripang atau timun laut (dengan ragam varietasnya: gamat dan nabi), kepiting (ketam renjong laut dan ketam bakau) dan sebagainya.

Selain sebagai nelayan, beberapa orang Bertam juga melakukan usaha lain, yang masih berkaitan dengan laut, yaitu selam besi dan juru pancing. Kerja selam besi saat ini sudah tidak banyak dilakukan lagi oleh Orang Bertam, karena sudah jarang ditemukan besi tua sisa industri galangan kapal yang dibuang ke dasar laut. Sedangkan, profesi juru pancing adalah mereka yang membuka jasa mengantar orang memancing ikan di laut (hampir seluruh pelanggannya wisata- wan lokal) dengan sampan atau pompong mereka. Pada usaha lain yang masih berhubungan dengan aktivitas kenelayanan adalah penampung ikan atau tauke. Hanya ada dua orang tauke di Bertam, satu penampung ikan dan satunya adalah penampung rumput laut.

Sehubungan dengan hal-hal itu, deskripsi di bawah menerangkan beberapa aktivitas kenelayanan Orang Bertam pasca-pemukiman. Umumnya, seperti juga nelayan lain, Orang Bertam menyiapkan peralatan terlebih dahulu sebelum me- mulai aktivitas melaut, setidaknya sehari sebelum mereka turun ke laut. Ketika

saya menyambangi Thomas, yang baru lima bulan menikah dengan anak Beloh, ia bersama Bujangga sedang membuat kail pancing—mereka menyebut udang- udangan. Udang-udangan ini terbuat dari kayu dan ditali pada bajuh, gagang pancing dari bambu. Rumahnya tepat berada di bibir pantai, berukuran sekitar 4 x 6 meter. Ruang tamunya sekira 1,5 x 2 meter dengan satu meja TV, dua speaker besar, dan satu radio baterai. Di dinding di mana TV diletakkan, terpam- pang dua foto pernikahan Thomas. Dalam kurang dari satu jam mereka telah menyelesaikan 51 mata pancing. Selain pancing, mereka juga menyiapkan bento atau bubu (perangkap ketam laut dan rawa bakau), karena beberapa simpul tali pada jaring bubu itu sobek, karena dirusak oleh capit ketam.

Berkaitan dengan mencari ketam, cara Orang Bertam ialah memasang bubu di beberapa titik tangkapan di pagi hari. Kemudian, di siang atau sore harinya, mereka kembali ke lokasi itu untuk menengok apakah bubunya sudah berhasil dimasuki ketam atau belum. Ketika saya tanyakan apakah hasil tangkapan ketam atau ikan selalu dijual, mereka mengatakan tidak tentu, “kalau berlebih ya dijual, kalau tidak akan kami makan sendiri.” Sama halnya dengan Udin dan Endi, yang hampir setiap hari melaut. Bedanya, kalau Endi memandang hasil tangkapannya harus dijadikan uang untuk dapat dibelanjakan kebutuhan rumah tangganya, sedangkan bagi Udin melaut tidak harus selalu dijual ke tauke, sebab bisa saja ikan hasil tangkapan dimakan sendiri. Alasan Udin, agar gizi dalam keluarga kecilnya tercukupi,

“… aku kasian Mas sama si nyong (panggilan anak laki-lakinya, semacam “tole” bagi anak orang Jawa) kalau tak diberi makan bergizi. Ya kan? Mas bayangin saja, kalau aku sehari dapat ikan atau ketam sedikit, dan itu dijual hanya dapat Rp20,000. Bisa ditukar makanan apa? Jadi mending dimakan sendiri saja, biar Inah (isterinya) yang masak.”

Hal semacam ini juga dilakukan oleh Mo, kendati mata pencaharian utama- nya sebagai nelayan ikan bilis. Ketika musim bilis belum tiba, dia kerap turun ke laut atau ke rawa bakau untuk mencari ikan atau ketam untuk keluarganya. Di satu malam, ia mengatakan bahwa Mo mau turun ke laut cari ikan untuk makan di rumah, bukan dijual. Bagi kebanyakan Orang Bertam, menu makan sehari-hari berupa nasi dan ikan, udang, cumi-cumi, atau hasil laut lainnya, sebab selain menghemat uang belanja, mereka hanya perlu setengah hari “berkeliling satu kali putaran laut” untuk mendapatkan lauk-pauk kebutuhan makan sehari. Seperti yang terjadi di satu malam, di mana Udin akan nombak ikan sembilang (lele laut berwarna putih dan berbisa) di sekitar Pulau Bertam. Menombak ikan yang hidup di terumbu karang biasanya dikerjakan ketika cuaca baik, tidak banyak angin dan hujan, agar air jernih dan pergerakan ikan tampak dari permukaan laut. Dengan berbekal tombak dan lampu minyak (petromak), kami memburu ikan sembilang itu. Dalam sekitar tiga jam, kami pulang membawa sekitar sepuluh ekor ikan sembilang dan Udin membaginya sama rata: untuk keluarganya dan untuk saya dan keluarga Mo (tempat di mana saya tinggal).

Selanjutnya berkenaan dengan nelayan ikan bilis. Ketika memasuki medio bulan Juli, para nelayan sudah mulai “nyondong bilis”—melaut, berburu ikan bilis atau teri. Akan tetapi, karena bulan ini belum masuk musimnya, mereka tidak memperoleh banyak tangkapan. Seperti yang terjadi pada Azan (anak bungsu Mo dan guru SD Bertam) dan Adi (adik dari Mak Mo, isteri Mo) hanya berhasil mendapat bilis sebanyak 1,5 boks fiber. Jumlah itu kalau sudah dipindahkan ke ancak-ancak (tampah atau talam yang terbuat dari anyaman bambu) besar, berdiameter sekitar ½ meter, hanya dapat sekitar sembilan ancak. Setelah ikan bilis dipindahkan ke dalam ancak-ancak itu, ikan bilis lantas direbus.

Dengan membantu kerja memindahkan ikan bilis dari boks fiber di pancung untuk dibawa menuju ke dapur masak bilis, saya dapat terlibat sekaligus menga- mati proses ini. Di dapur yang letaknya di salah satu sisi bibir pantai Bertam (lihat Gambar 4.3. di Bab IV), telah siap tungku besar dengan air mendidih. Air yang dipakai memasak adalah air asin (air laut). Meski memakai air laut, mereka tetap

harus menambahkan empat sampai lima gayung garam pada air rebusan. Untuk merebus setiap satu ancak bilis hanya dibutuhkan sekitar 1,5 menit, atau sampai aroma harum ikan bilis masak tercium dan “kotoran” berwarna putih itu menga- pung ke permukaan air. Bilis matang itu lantas diangkat dengan penyaring dan ditiriskan dengan ancak tadi.

Keesokan harinya, bilis yang masak ini dijemur di bawah sinar matahari di atas bukit. Jika hari tidak panas, bilis yang tidak kering akan dimasukkan ke fiber boks besar yang sudah diberi es untuk dijemur di hari berikutnya. Pemasok es di Bertam adalah Seran, si kaki tauke (lihat uraian mengenai tauke di bawah). Biasanya nelayan yang memesan es ke Seran akan diantar ke rumah pemesan oleh anak buahnya. Untuk mengawetkan ikan bilis, es dalam fiber penyimpan bilis harus ditaburi garam terlebih dahulu, agar es tidak mudah mencair. Setelah itu, bilis dalam ancak dimasukkan satu per satu, dan disusun bertumpuk agar kotak es itu dapat memuat banyak ancak.

Ikan bilis merupakan komoditi laut paling berharga bagi para nelayan di Bertam dan pulau-pulau sekitar, karena ia bernilai jual tinggi. Satu kilogram bilis kering rata-rata dihargai oleh tauke di pelabuhan Pandan Bahari, Batam antara Rp50,000.- sampai Rp60,000,- (menurut keterangan Mo harga bilis paling mahal pernah mencapai Rp75,000.-) per kilogramnya. Ikan bilis dibagi dalam dua kate- gori: bilis halus dan bilis kasar. Bilis halus kering dijual kurang lebih Rp60,000.- Ikan bilis merupakan komoditi laut paling berharga bagi para nelayan di Bertam dan pulau-pulau sekitar, karena ia bernilai jual tinggi. Satu kilogram bilis kering rata-rata dihargai oleh tauke di pelabuhan Pandan Bahari, Batam antara Rp50,000.- sampai Rp60,000,- (menurut keterangan Mo harga bilis paling mahal pernah mencapai Rp75,000.-) per kilogramnya. Ikan bilis dibagi dalam dua kate- gori: bilis halus dan bilis kasar. Bilis halus kering dijual kurang lebih Rp60,000.-

Keluarga Mo merupakan salah satu yang dipandang oleh banyak nelayan sebagai nelayan bilis yang handal. Suatu kali, saya bertanya mengapa Mo bisa “dinobatkan” sebagai nelayan terhandal di Bertam dan beberapa pulau lain, dan Mo mengatakan,

“(kalau) kita bekerja jangan hanya bekerja, (setelah) dapat upah selesai. Tetapi perhatikan cara die orang bekerja, jadi kita bisa serap ilmunya dan kita tidak hanya terima upah dari pekerjaan itu, tetapi kita makin pandai karena ilmu yang kita pelajari dari memerhatikan tadi. Itu yang Pak Mo perbuat sejak muda … Kita (bisa) tangkep ikan banyak atau sedikit itu tak hanya karena usaha kita, tapi karena ijin Allah juga, Dir. (Maka itu), kite jadi orang harus berbaik-baik dengan yang punya laut, yang punya ikan. Kita hormat pada mereka, maka mereka akan baik dan memberi kita juge.”

Pernyataan Mo ini mengonfirmasi teori Ingold pada kasus Orang Laut dalam penelitian Chou di atas, bahwa ada keeratan relasi yang tercipta antara aktivitas ekonomi Orang Laut dengan keyakinan mereka pada kekuatan alam dan leluhur sebagai penyedia rezeki bagi kehidupan Orang Laut.

Lebih lanjut, saya mendeskripsikan dalam catatan lapangan bagaimana cara nelayan Bertam dan pulau lain mencari bilis: Di suatu hari di mana cuaca sangat panas, sekira hampir 30°Celcius, Mo me-

manggil saya dan mengatakan bahwa saya bisa ikut Azan dan Adi nyondong bilis, ”… supaya nanti di sana kau punya bahan untuk bercerite, bagaimana caranya ‘Orang Sampan’ ini nyondong bilis.” Mo tertawa ketika menyebut Orang Sampan, istilah ini agak sensitif bagi diri mereka sebab dianggap merendahkan. Tak lama setelah berbuka puasa, Adi datang ke rumah Mo dan menyiapkan beberapa perlengkapan di pancung dan bekalnya, sama halnya dengan Azan. Kami berangkat menuju utara, yang kata Azan tempat itu jaraknya lebih jauh dibanding ke Pulau Belakang Padang, yaitu laut lepas tempat di mana ribuan ikan bilis berkumpul, berenang bergerombol ke sana ke mari. Bersamaan manggil saya dan mengatakan bahwa saya bisa ikut Azan dan Adi nyondong bilis, ”… supaya nanti di sana kau punya bahan untuk bercerite, bagaimana caranya ‘Orang Sampan’ ini nyondong bilis.” Mo tertawa ketika menyebut Orang Sampan, istilah ini agak sensitif bagi diri mereka sebab dianggap merendahkan. Tak lama setelah berbuka puasa, Adi datang ke rumah Mo dan menyiapkan beberapa perlengkapan di pancung dan bekalnya, sama halnya dengan Azan. Kami berangkat menuju utara, yang kata Azan tempat itu jaraknya lebih jauh dibanding ke Pulau Belakang Padang, yaitu laut lepas tempat di mana ribuan ikan bilis berkumpul, berenang bergerombol ke sana ke mari. Bersamaan

Waktu itu, saya duduk di muka pancung sepanjang perjalanan, sementara Adi pegang tekong (kemudi) pancung. Alat-alat dan perangkat utama tiap nelayan pemburu bilis ialah: lampu minyak petromak (dua sampai tiga buah), coolbox (fiber) dua buah yang telah diisi es batu, dan sebuah sondong (jaring bilis dengan gagang bambu yang dibuat menyerupai huruf V). Terutama lampu, kata Mo, merupakan kunci keberhasilan ikan bilis didapat, sebab hanya dengan lampu kawanan ikan bilis akan mengikuti perahu-perahu nelayan. Nelayan pemburu bilis di kalangan Orang Bertam sangat prestisius, sebab hanya nelayan yang punya modal kuat yang bisa ‘turun’, nyondong bilis. Mesin pancung memerlukan bahan bakar cukup banyak. Untuk sekali nyondong, kurang lebih butuh ongkos Rp200,000 sampai Rp300,000 dan dalam sekali turun belum tentu dapat ikan. Jadi, kalau bukan nelayan kaya, orang tidak akan sanggup menyediakan modal Rp300,000 setiap harinya. Uang ini dipakai membeli minyak tanah, bensin, es batu, dan bekal melaut (makanan, minum, rokok). Modal kerja bilis bisa mem-bengkak ketika ada peralatan yang rusak, seperti komponen lampu petromaks dan mesin.

Dalam perjalanan itu, Azan mulai menyiapkan lampu. Memompa petromaks dan menyalakannya. Di dalam pancung, kita dapat melihat hierarki tiap orang yang bekerja di tim itu. Hal ini terkait dengan pembagian tugas. Meskipun tidak sangat kaku, tukang tekong biasanya ialah orang yang diajak untuk membantu memburu bilis. Sementara di bagian depan, jika ada tiga orang dalam sekali pergi, maka akan dibagi dua tugas: seorang di bagian depan pancung: bertugas sebagai pengendali arah jalannya pancung (semacam kapten) dan mengatur lampu, sementara dua orang di belakangnya bersiap menyiduk dengan sondong yang telah dibentangkan di sisi kiri pancung saat ikan bilis mulai tergiring ke ‘darat’ atau naik ke permukaan di perairan yang agak dangkal.

Lokasi yang kami tuju berada di sekitar 20 – 30 menit ke arah Utara, arah per- batasan Indonesia dengan Singapura. Dalam rekam jejak GPS di telepon seluler saya yang terkoneksi internet menunjukkan jarak yang ditempuh pancung kami selama melaut dari titik berangkat di Pulau Bertam sampai kembali lagi ke pulau ini mencapai sekitar 112 km. Dari kejauhan tampak bulan mulai bergerak ke arah tegak lurus dengan ubun-ubun kepala kita, bulat berwarna kuning telur asin masak. Menakjubkan. Namun, kedua kawan saya tidak hirau, fokus mereka sampai di lokasi ikan bilis tepat waktu dan memastikan seperangkat peralatan nyondong tidak ada masalah. Dari tempat di mana saya duduk, juga tampak bangunan-bangunan menjulang langit yang ada di kota kreasi Raffles itu mulai menyala terang, membuat langit sedikit berkilau. Sesampainya di dekat lokasi, lampu petromaks dinyalakan. Sama halnya dengan nelayan lain dari berbagai pulau yang ada di lokasi yang sama. Tetapi, semua masih bersantai, sebab pada pukul tujuh malam langit masih agak terang. Semua nelayan menunggu sampai langit benar-benar gelap, ”kalau masih terang, bilis tak mau ikut pancung kita …,“ jelas Adi. Sebab, ikan akan ‘berserak’ atau menyebar, tidak berkumpul dalam satu rombongan. Ada beberapa pancung yang sudah mulai mondar-mandir mengejar bilis, dengan sondong yang telah terbentang dan disandarkan di sisi Lokasi yang kami tuju berada di sekitar 20 – 30 menit ke arah Utara, arah per- batasan Indonesia dengan Singapura. Dalam rekam jejak GPS di telepon seluler saya yang terkoneksi internet menunjukkan jarak yang ditempuh pancung kami selama melaut dari titik berangkat di Pulau Bertam sampai kembali lagi ke pulau ini mencapai sekitar 112 km. Dari kejauhan tampak bulan mulai bergerak ke arah tegak lurus dengan ubun-ubun kepala kita, bulat berwarna kuning telur asin masak. Menakjubkan. Namun, kedua kawan saya tidak hirau, fokus mereka sampai di lokasi ikan bilis tepat waktu dan memastikan seperangkat peralatan nyondong tidak ada masalah. Dari tempat di mana saya duduk, juga tampak bangunan-bangunan menjulang langit yang ada di kota kreasi Raffles itu mulai menyala terang, membuat langit sedikit berkilau. Sesampainya di dekat lokasi, lampu petromaks dinyalakan. Sama halnya dengan nelayan lain dari berbagai pulau yang ada di lokasi yang sama. Tetapi, semua masih bersantai, sebab pada pukul tujuh malam langit masih agak terang. Semua nelayan menunggu sampai langit benar-benar gelap, ”kalau masih terang, bilis tak mau ikut pancung kita …,“ jelas Adi. Sebab, ikan akan ‘berserak’ atau menyebar, tidak berkumpul dalam satu rombongan. Ada beberapa pancung yang sudah mulai mondar-mandir mengejar bilis, dengan sondong yang telah terbentang dan disandarkan di sisi

Satu hal yang perlu dicatat bahwa tidak semua Orang Bertam mempunyai modal untuk nyondong bilis. Paling tidak, seorang nelayan pemburu bilis harus memiliki: pancung, boks fiber es, boks besar penyimpan ikan sebagai antisipasi jika cuaca tidak mendukung untuk menjemur bilis, lampu petromaks dua buah, jaring dan ciduk bilis (sondong), modal untuk membeli minyak tanah dan bensin (sekali jalan memerlukan 3 giar [jerigen] bensin atau sekitar 20 liter yang dibeli sekitar Rp150,000 di kios minyak), kuali dan perangkat masaknya, ancak, serta tempat dan terpal untuk menjemur bilis plus karung (lihat Tabel 3.2. di bawah). Di Bertam, hanya lima keluarga nelayan (Tabel 3.1. di atas) yang memiliki modal nyondong bilis. Sedangkan pada nelayan dengan modal dan alat produksi ter- batas, dan bukan bagian keluarga dekat dari salah satu keluarga nelayan bilis, dapat bekerja membantu nelayan bilis dari pulau lain ketika musim bilis datang. Udin, misalnya, membantu nyondong bilis Edi, kakak iparnya, dari Pulau Lingka. Begitu juga dengan Rudi (anak Jaga) yang membantu Markus dari Pulau Gara.

Tabel 3.2. Kisaran Modal Nelayan Untuk Satu Kali Kerja Bilis

Nyondong Bilis

Masak Bilis

Kisaran Harga (Rp)

Bensin 3 giar (jerigen) 150,000 Minyak tanah untuk

10,000 Petromak Perbekalan rokok,

50,000 makanan, dan minuman Es batu 4 karung @

52,000 Rp13,000

Kayu bakar

Minyak tanah

5,000

Total Rp317,000

Untuk kayu bakar biasanya disediakan oleh nelayan yang malam harinya tidak mencari bilis. Seperti Mo, dia sudah berlangganan kayu bakar ke Taher yang dihargai Rp70,000 tiap paket. Dalam empat hari terakhir, sudah sampai dua kali Taher menyuplai kayu bakar ke Mo sehingga modal untuk kayu bakar sudah Rp140,000, yang artinya ongkos kayu bakar setiap malam hampir Rp35,000. Setumpuk kayu bakar itu kira-kira bisa dipakai sampai lima kali masak. Belum lagi mereka harus menyediakan ongkos minyak tanah setengah botol air mineral kemasan untuk mempercepat pembakaran kayu dalam tungku. Mereka memer- lukan es yang dibeli dari tauke dengan harga Rp13,000 per karung. Untuk per- siapan cari bilis tiap nelayan memerlukan sekitar tiga sampai empat karung, jadi kurang lebih butuh Rp55,000 untuk menyediakan es saja (lihat Tabel 3.2.).

Masing-masing anggota keluarga nelayan bilis itulah tim kerja mereka. Hanya saja tidak berlaku pembagian kerja yang tegas di antara anggota keluarga ini. Memang, para perempuan bertugas menyiapkan bekal dan minuman sebelum mereka pergi melaut, dan hal serupa ketika mereka pulang, para perempuan ini menyiapkan air minum dan makanan seadanya. Hanya saja, tidak sangat tegas misalnya dalam pembagian kerja siapa mencari ikan, siapa memasak, dan siapa menjemur, siapa memeriksa petromak di siang hari, dan sebagainya.

Nelayan bilis membawa telepon seluler (ponsel) yang berguna untuk mem- beri kabar orang rumah menyiapkan perapian dapur masak bilis: kayu bakar, garam, air di kuali, ancak, dan ember untuk mengangkut bilis dari pancung ke dapur bilis. Kabar siapa mendapat berapa banyak bilis cepat menyebar. Hal ini kadang memberi perasaan risau bagi yang mendengar, sebab mereka dapat dengan cepat menghitung nilai pendapatan untuk sekian ancak bilis. Mereka juga dapat memperkirakan seberapa banyak nelayan lain mendapat ikan bilis Nelayan bilis membawa telepon seluler (ponsel) yang berguna untuk mem- beri kabar orang rumah menyiapkan perapian dapur masak bilis: kayu bakar, garam, air di kuali, ancak, dan ember untuk mengangkut bilis dari pancung ke dapur bilis. Kabar siapa mendapat berapa banyak bilis cepat menyebar. Hal ini kadang memberi perasaan risau bagi yang mendengar, sebab mereka dapat dengan cepat menghitung nilai pendapatan untuk sekian ancak bilis. Mereka juga dapat memperkirakan seberapa banyak nelayan lain mendapat ikan bilis

Modal besar tersebut hanya akan kembali ketika mereka mampu mendapat banyak ikan. Mengingat, jumlah pendapatan dari ikan bilis ini memang cukup menggiurkan. Misalnya, seorang nelayan menghasilkan sekitar 50 kg bilis kering, maka dengan harga jual rata-rata di atas, nelayan bisa mendapat Rp3,000,000.-. Setelah dipotong dengan ongkos produksi, termasuk upah pekerja bilis (nelayan, tekong [juru kemudi pancung], pembantu memasak, pengangkut, dan penjemur ikan), pendapatan bersih dalam sehari dapat mencapai Rp1,500,000.- sampai Rp1,700,000.-. Oleh karena keuntungan menggiurkan, Mo menceritakan ada seorang nelayan Melayu yang berusia cukup tua, sapaannya Pak Haji, dari Pulau Ketumbar yang masih memaksakan diri nyondong bilis. Lain cerita dengan pengalaman Seran si tauke, yang bagi banyak Orang Bertam dan beberapa nelayan dari pulau lain dipandang serakah dalam mencari bilis. Kata Mo,

“kalau Seran nyondong, begitu ikan bilis mau naik ke permukaan—saat para nelayan menciduk bilis dari laut, bisa die hajar habis semua. Sampai-sampai pancungnya penuh bilis. Tak peduli semalam suntuk die bekerja, yang penting sebanyak yang die mampu dapatkan, (maka) die akan terus lakukan, bahkan sampai menjelang pagi di mana air sudah mulai surut. Tak peduli pula, apakah yang die dapatkan bilis halus atau kasar. Juga, tak die pikir pula apakah bilis ini akan rusak (patah) tubuhnya atau tak, karena terinjak-injak kaki die sendiri. Yang penting dapat banyak. Padahal, kalau rusak, bilis ini nilainya turun dan dihargai hanya sekitar belasan ribu rupiah.”

Seran bukan satu-satunya contoh, Mo mengatakan bahwa selain Seran tidak sedikit orang bekerja tidak kenal waktu,

“… mereka yang Kristen, banyak Dir yang sampai waktunya Natalan, bukannya kumpul dengan keluarga. Tetapi malah cari bilis. Mereka ini tak paham bagai- “… mereka yang Kristen, banyak Dir yang sampai waktunya Natalan, bukannya kumpul dengan keluarga. Tetapi malah cari bilis. Mereka ini tak paham bagai-

Selain aktivitas ekonomi kenelayanan, pada kerja laut di kalangan Orang Bertam terdapat tauke atau penampung ikan yang menjadi perantara (middle- man) antara nelayan dengan pasar (Chou 2003:116). Oleh sebab perannya yang demikian sentral, mereka sering dengan seenak hati ‘mempermainkan’ harga ikan. Dalam menentukan harga beli ikan dari nelayan, para tauke mematok harga tertentu yang didasarkan atas pertimbangan kompetisi dengan harga beli tauke di pulau lain. Di Bertam, penampung ikan satu-satunya adalah Seran, yang sehari-hari dikelola oleh anak perempuannya. Seran dikategorikan oleh Orang Bertam sebagai tauke kecil atau “kaki tauke”. Tauke besar di wilayah ini hanya ada di Pulau Buluh dan Pulau Bulang, yang berjarak sekitar 10 menit dengan speed boat dari Pulau Bertam.

Selain kepada Seran, Orang Bertam biasa menjual tangkapannya ke tempat datuk atau Sam, tauke kecil lain di Pulau Lingka. Menurut beberapa informan, ikan, udang, atau ketam dibeli oleh Seran jauh lebih murah dibandingkan Sam sehingga tidak jarang mereka memilih menjual ke Sam. Misalnya, harga nos (sejenis cumi-cumi) di timbangan Seran dihargai Rp13,000.- per kg sedangkan di Sam mencapai Rp13,500.-, maka para nelayan yang memperoleh nos hari itu akan menjual ke Sam meski hanya selisih lima ratus rupiah. Serupa dengan harga kepiting atau ketam. Satu waktu harga ketam renjong di Seran Rp33,000 per kg, sementara di Sam sanggup membeli sampai seharga Rp35,000 per kg.

Dalam persaingan niaga semacam itu, relasi nelayan dengan tauke sifatnya tidak berlangsung lama dan mengikat, karena sangat dipengaruhi oleh besaran keuntungan yang bisa didapat oleh para nelayan. Oleh karena itu, para nelayan Dalam persaingan niaga semacam itu, relasi nelayan dengan tauke sifatnya tidak berlangsung lama dan mengikat, karena sangat dipengaruhi oleh besaran keuntungan yang bisa didapat oleh para nelayan. Oleh karena itu, para nelayan

Selain tauke ikan di atas, terdapat tauke rumput laut di Bertam, yaitu Ustad Akim sang imam masjid. Meskipun Ustad Akim merupakan penampung rumput laut satu-satunya, dia juga melakoni usaha jasa mengantar orang memancing. Dari usahanya sebagai juru pancing, misal ia membawa dua orang sekali memancing dalam setengah hari (siang atau malam), ia bisa mendapat pema- sukan sebesar Rp250,000.- hingga Rp500,000.- yang sudah dipotong ongkos bahan bakar dan pakan ikan. Dari pendapatannya ini, dia memproyeksikan se- tahun ke depan bisa membeli pancung dan mesin 15 pk untuk mengganti pompongnya. Meski dari segi bahan bakar pompong termasuk irit, memakai pancung akan lebih mudah dan cepat membawa orang memancing ke lokasi yang agak jauh. Pada prinsipnya, kata Ustad Akim, mengantar orang memancing yang penting bisa mendapat banyak ikan, yang kira-kira setiap orang mendapat

3 sampai 4 kg ikan besar. Ketika mengantar mereka, Ustad Akim mengaku ikut memancing untuk dimakan bersama isteri dan dua anaknya. Oleh sebab ke- sibukannya mengurus masjid, ia hanya dapat mengantar orang memancing mak- simal tiga kali seminggu. Untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya, ia meng- andalkan dari penjualan rumput laut merah, putih, dan hitam.

B.2. Kerja Laut dan Darat: Eksklusi dari Dunia Maritim? Dalam perspektif tertentu, program pemukiman di Pulau Bertam dianggap sebagai salah satu jalan bagi pemerintah untuk ‘memodernkan’ kehidupan Orang Laut (lihat Bab II mengenai aspek-aspek kehidupan Masyarakat Terasing yang dianggap pemerintah perlu diubah). Tentang ini, salah satu ciri yang menunjuk- kan kondisi modern dalam suatu masyarakat, kata Jonathan Parry (2005:142), ialah berubahnya persepsi seseorang dan makna soal “pekerjaan” (job) dan “kehidupan” (life), serta relasi antara keduanya. Membandingkan pengertian ini dengan corak ‘ekonomi komunitas’ yang diterangkan Gudeman, pembedaan persepsi seperti itu tidak akan terjadi manakala Orang Bertam masih hidup berkelana di laut dengan sampan. Bekerja bukan ‘bagian terpisah’ dari kehidup- an setiap individu Orang Laut, melainkan sebuah kesatuan yang berlandaskan pada kepentingan kolektif dan diatur oleh institusi sosio-kultural berbasis kerabat dan kepercayaan tertentu (Chou 1997, 2010; Nimmo 1972; Zacot 1979).

Namun demikian, ilustrasi semacam itu sulit dijumpai pada keseharian Orang Bertam saat ini, terutama setelah adanya dorongan pemerintah kepada mereka untuk (lebih) berbaur dengan masyarakat yang lebih luas (Lenhart 1997, 2002). Seperti yang saya ungkap di awal tulisan bahwa orientasi ekonomi Orang Bertam mengalami perubahan sejak mereka menetap di darat. Perubahan orientasi ini tampak dari berbagai jenis pekerjaan baru yang muncul di kalangan mereka. Gejala ini kemudian membuat Orang Bertam tidak lagi hanya melakukan pekerja- an laut atau aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi kenelayanan sekadar me- menuhi kebutuhan dasarnya (misal untuk keluarga inti dalam satu sampan) (Chou 2010:82-100), atau kebutuhan ‘ekonomi komunitasnya’ dengan berbagi (sharing) dan saling membantu (helping) (Chou 2003:86, 94-95; 2010: 98-100), Namun demikian, ilustrasi semacam itu sulit dijumpai pada keseharian Orang Bertam saat ini, terutama setelah adanya dorongan pemerintah kepada mereka untuk (lebih) berbaur dengan masyarakat yang lebih luas (Lenhart 1997, 2002). Seperti yang saya ungkap di awal tulisan bahwa orientasi ekonomi Orang Bertam mengalami perubahan sejak mereka menetap di darat. Perubahan orientasi ini tampak dari berbagai jenis pekerjaan baru yang muncul di kalangan mereka. Gejala ini kemudian membuat Orang Bertam tidak lagi hanya melakukan pekerja- an laut atau aktivitas yang berkaitan dengan ekonomi kenelayanan sekadar me- menuhi kebutuhan dasarnya (misal untuk keluarga inti dalam satu sampan) (Chou 2010:82-100), atau kebutuhan ‘ekonomi komunitasnya’ dengan berbagi (sharing) dan saling membantu (helping) (Chou 2003:86, 94-95; 2010: 98-100),

Pasca-pemukiman, dalam perspektif tertentu pula, setiap individu Orang Bertam dapat dipandang sebagai ‘pekerja’ yang tidak terikat oleh ‘institusi’ kul- tural manapun sebagaimana di masa lalu yang mengikat mereka dengan aturan- aturan dan nilai-nilai tertentu (Parry 2005:146). Status semacam ini muncul manakala mereka menghadapi kenyataan bahwa laut sebagai “basis ekonomi

tak terbatas” (unlimited base) (Gudeman 2005:98) 3 tidak lagi mencukupi kebutu- han mendasar mereka untuk bertahan hidup. Oleh karena itu, mereka melakukan

pekerjaan-pekerjaan lain, baik yang berbasis laut maupun darat. Di sisi lain, kita perlu menyadari bahwa perubahan ini juga merupakan konsekuensi dari peren- canaan kawasan (mapping) pembangunan ekonomi multinasional (Indonesia- Malaysia-Singapore Growth Triangle) yang dijalankan pemerintah di awal 1990- an, dengan mematok teritorial (laut dan darat) tertentu tanpa mempertimbangkan keberadaan atau kehidupan (basis ekonomi) Orang Laut yang berada di dalam teritori tersebut (Chou 2010; Chou dan Wee 2002; cf. Li 2013).

Konsekuensi atas ketersingkiran dari basis ekonominya itu membuat mereka perlu mencari pekerjaan lain. Dalam bahasa lain, mereka mengalami ketersing-

3 Berlawanan dengan ini, Gudeman (2010:100) menjelaskan selain unlimited base terdapat pula yang disebut limited base, yaitu “the base may be a bounded resourse, a restricted

access commons. The possession is circumscribed and held by a community in relation to others”, seperti yang terjadi pada beberapa sumber air minum di Pulau Bertam dan sekitar- nya (lihat uraian Bab IV mengenai teritori).

kiran untuk kali kedua. Pertumbuhan industri yang pesat di kawasan Batam dan sekitarnya, yang bertujuan untuk memacu pertumbuhan ekonomi dan peningkat- an kesejahteraan masyarakat, nyatanya tidak memungkinkan untuk menyerap sumber daya manusia yang berasal dari komunitas pengembara laut ini (dan juga sebagian besar orang lokal selain Orang Laut di Kepri) (Chou dan Wee 2002). Hal ini disebabkan oleh keterampilan mereka yang tidak sesuai dengan prasyarat sebagai pekerja (buruh) pabrik. Oleh karena mengalami dua kali keter-

Tabel 3.3. Mata Pencaharian Rangkap (Kerja Laut dan Darat) Orang Bertam

No

Kombinasi Kerja Laut dan Kerja Darat

Jumlah

1 Nelayan Ikan Bilis

Tauke (Penampung)

2 Nelayan Ikan Bilis

Guru SD

3 Nelayan Ikan Bilis

Warung Kelontong

4 Nelayan Ikan Bilis

Tukang Bangunan

Dukun

(Kepala Tukang)

1 lainnya

5 Nelayan Jenis Ikan

Tukang Bangunan

(Tukang)

6 Nelayan Jenis Ikan

2 lainnya

Tukang Bangunan

7 Nelayan Jenis Ikan

Tukang Bangunan

Tukang reparasi

(Tukang)

sampan

8 Nelayan Jenis Ikan

1 lainnya

Tukang Bangunan

Pencari Kayu

(Tukang)

Bakar

9 Nelayan Jenis Ikan

11 lainnya

Tukang Bangunan

(Pembantu Tukang)

10 Nelayan Jenis Ikan

1 lainnya

Tukang Bangunan

Pencukur

(Pembantu Tukang)

Rambut

11 Nelayan Jenis Ikan

1 lainnya

Tauke (Penampung)

Juru Pancing

Guru Agama

Rumput Laut

(Imam Masjid)

12 Nelayan Jenis Ikan

1 lainnya

Warung Kelontong

Pengumpul

sampah plastik

13 Nelayan Jenis Ikan

1 lainnya

Pencukur Rambut

Selam besi

14 Nelayan Jenis Ikan

1 lainnya (subsisten)

Kios Bahan Bakar

singkiran inilah mereka lantas mengupayakan hal lain, agar tetap menghasilkan uang (pendapatan) selain dari aktivitas melautnya yang serba terbatas. Dari fakta singkiran inilah mereka lantas mengupayakan hal lain, agar tetap menghasilkan uang (pendapatan) selain dari aktivitas melautnya yang serba terbatas. Dari fakta

Lebih lanjut, kalau kita bandingkan Tabel 3.3. di atas dengan Tabel 3.4. tentang kerja darat di bawah akan tampak beberapa kombinasi jenis pekerjaan laut dan darat Orang Bertam. Hampir seluruh Orang Bertam yang berprofesi sebagai nelayan merangkap pekerjaan lain berbasis darat. Jumlah keseluruhan yang memiliki pekerjaan rangkap ada 25 orang dengan 14 macam kombinasi jenis pekerjaan darat dan laut. Merujuk jumlah Orang Bertam yang berprofesi sebagai nelayan di awal tulisan, dari 35 orang yang berprofesi sebagai nelayan, hanya terdapat 10 Orang Bertam yang tidak memiliki pekerjaan di darat, atau tidak bekerja rangkap. Artinya, di luar 10 orang ini, semua nelayan di Bertam memiliki kerja ganda. Selain itu, hanya terdapat dua orang warga Pulau Bertam yang tidak berprofesi sebagai nelayan dan hanya bekerja di darat. Keduanya non-Orang Laut, satu orang Jawa, menantu Mo yang berprofesi sebagai tukang bangunan dan buruh pabrik. Sedangkan yang lainnya bekerja sebagai guru SD Bertam, wanita asal Riau daratan yang diangkat sebagai anak oleh satu keluarga Orang Laut.

Dari situ, dapat dikatakan bahwa mayoritas Orang Bertam saat ini bekerja di domain darat dan laut. Fakta ini juga perlu dilihat bahwa informasi dalam tabel- tabel tersebut tidak lagi relevan dengan isyu menetap dan tidak menetap pada Orang Bertam, karena sudah tidak ada lagi Orang Bertam yang menjalani pola hidup mengembara dan menetap sementara. Isyu yang lebih menarik di sini lebih pada mengapa mereka lebih memilih untuk melakukan dua jenis pekerjaan seka- ligus, dan ini sebetulnya terkait dengan wacana yang saya lontarkan mengenai Dari situ, dapat dikatakan bahwa mayoritas Orang Bertam saat ini bekerja di domain darat dan laut. Fakta ini juga perlu dilihat bahwa informasi dalam tabel- tabel tersebut tidak lagi relevan dengan isyu menetap dan tidak menetap pada Orang Bertam, karena sudah tidak ada lagi Orang Bertam yang menjalani pola hidup mengembara dan menetap sementara. Isyu yang lebih menarik di sini lebih pada mengapa mereka lebih memilih untuk melakukan dua jenis pekerjaan seka- ligus, dan ini sebetulnya terkait dengan wacana yang saya lontarkan mengenai

B.3. Kerja Darat: Ketika Laut Tidak Lagi Mencukupi Dalam Tabel 3.4. di bawah, saya hendak menunjukkan bahwa diversifikasi jenis

pekerjaan Orang Bertam di darat cukup beragam. Dari seluruh jenis mata penca- harian tersebut, pekerjaan sebagai tukang bangunan adalah jumlah yang paling banyak dibanding dengan yang lain. Jawaban atas mengapa pekerjaan sebagai tukang bangunan seolah menjadi pilihan utama dibanding dengan kerja darat lain

Tabel 3.4. Klasifikasi Mata Pencaharian Darat Orang Bertam

Kerja Darat

Jumlah Tukang

Tukang bangunan (stratifikasi: Kepala

Tukang, Tukang, Pembantu Tukang) Tukang reparasi sampan

Pedagang

Kios Bahan Bakar Minyak

Warung Kelontong

Guru

Guru SD

1 Kerja Darat Lainnya Dukun

Guru Agama (Imam Masjid)

Pengumpul sampah plastik

Pencari Kayu Bakar

Buruh Pabrik

Pencukur Rambut

nya, agaknya dipicu oleh salah satu program pembinaan pemerintah di masa Orde Baru. Hal ini saya kira juga ada hubungannya dengan keterangan Mo dan Mahadan. Di dua kesempatan berbeda, mereka berceritera kepada saya bahwa pada pertengahan tahun 1990-an, Pemerintah Kotamadya Batam mengirim dua warga Orang Laut mewakili Pulau Bertam ke Pekanbaru, Riau, untuk mengikuti pelatihan pertukangan yang diselenggarakan oleh Departemen Sosial. Dari dua orang yang mengikuti pelatihan ini, hanya satu yang masih menjalani pekerjaan menukang. Oleh sebab itu, sekarang hanya Mo satu-satunya yang ‘menjabat’ sebagai kepala tukang, terutama ketika ada pekerjaan-pekerjaan yang berkaitan dengan pembangunan atau bantuan dari pemerintah atau pihak lain. Sedangkan, yang seorang lagi memilih untuk bekerja hanya sebagai nelayan.

Selain bertukang, kerja darat yang cukup diminati Orang Bertam ialah usaha warung, baik warung kelontong dan kios minyak (BBM). Dua keluarga dari pemilik warung kelontong ini adalah juga nelayan ikan bilis dan tauke (lihat Tabel

3.3. di atas). Ini artinya mereka merupakan nelayan kaya di Bertam (lihat Tabel

4.2. di Bab IV). Oleh karena itu, dua warung kelontong ini memiliki variasi barang dagangan terlengkap dibandingkan dengan warung-warung lain. Kedua warung kelontong ini, selain menyediakan jajanan anak dan rokok, juga menjual kebutuh- an sehari-hari, seperti beras, telur, minyak goreng, sabun cuci, sabun mandi, sikat gigi, pasta gigi, dan sebagainya. Sedang pada tiga warung lainnya, hanya menyediakan makanan ringan untuk anak-anak, minuman ringan, dan rokok.

Untuk penyedia minyak tanah dan bahan bakar, seperti solar dan bensin, hanya dijual di satu kios yang berbeda dengan kelima warung tersebut. Bela- kangan, ada informasi dari Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian (KP2) Kota Batam bahwa pemerintah akan memfasilitasi jika sebuah kelompok nelayan Untuk penyedia minyak tanah dan bahan bakar, seperti solar dan bensin, hanya dijual di satu kios yang berbeda dengan kelima warung tersebut. Bela- kangan, ada informasi dari Dinas Kelautan, Perikanan, dan Pertanian (KP2) Kota Batam bahwa pemerintah akan memfasilitasi jika sebuah kelompok nelayan

Dalam catatan lapangan saya di bawah mengilustrasikan bahwa tidak semua nelayan di Bertam memiliki kemampuan membeli BBM dengan harga eceran, Suatu malam sekitar pukul 23.00, ketika kami (saya, Mo, Mak Mo, dan Slamet)

hendak makan malam, anak Ahu tiba-tiba muncul dari pintu belakang rumah Mo. Mak Mo bertanya, “ada apa Nak?” Lalu si anak seumur lima tahun itu, “mau minta minyak Mo’.” “Buat ape,” sahut Mo dan Mak Mo. “Buat nyuluh (ke laut men- cari ikan) Mak,” dijawabnya pelan. Mak Mo lalu bertanya lagi, “siape yang suruh kau, siape yang perlu minyak?” “Bapak,” jawab anak itu mulai gelisah. Lalu Mak Mo mengatakan bahwa mereka sedang tidak ada minyak, sembari berjalan keluar dan membawa selembar uang kertas berwarna hijau yang diambilnya dari tas ransel yang biasa menjadi tempat penyimpanan uang. Mak Mo menghampiri anak itu, memberinya uang, dan mengantarnya pulang.

BBM naik tiga hari lalu, dan semua orang kalut memperbincangkan harga solar dan bensin. Solar mereka pakai untuk bahan bakar genset. Sedangkan, bensin untuk mesin ketinting (lepet), sampan, pompong dan pancung. Mereka pakai bensin campur (oli) yang mereka sebut “castrol”. Di kios minyak, sebelum harga BBM naik (/liter Rp4,500), harga satu botol Aqua (1½ liter bensin campur) dijual Rp10,000. Sekarang mereka jual Rp13,000. Di kios lain ada yang dijual sampai Rp14,000. Kalau harga per liter bensin bersubsidi sekarang menjadi Rp6,500, maka harga bensin 1½ liter menjadi Rp10,000 dan bensin campur Rp13,000 memang wajar, begitu kata salah satu Orang Bertam.

Yang banyak mereka persoalkan adalah ketika para tauke minyak itu lantas menjual stok lama dengan harga baru. “Kalau kita ini nak macam apa, kan kita nurut apa yang dikata Pusat. Apa yang diperintahkan Pemerintah. Mau berbuat apa lagi, ya kan Nak,” komentar Mahadan si pemilik kios minyak mengenai kenaikan harga itu. Saat saya tanya apakah dia sudah ambil minyak lagi ke Sekilak (pangkalan minyak bersubsidi untuk warga pulau-pulau di kota Batam), dia mengatakan belum dan yang dijual masih stok lama. Oleh karena kenaikan BBM, sebagian nelayan “angkat mesin”, tidak memakai mesinnya lagi untuk melaut. Udin contohnya, yang tak sanggup beli minyak, dalam dua hari terakhir dia mengayuh sampannya untuk mencari ikan/ sotong. Dia mencari ikan ber- sama anaknya yang masih satu tahun tiga bulan, dan isterinya untuk bergantian mengayuh sampan. Begitu juga dengan Tata, Adi, dan sebagian nelayan lainnya.

Lebih lanjut, kerja darat juga dapat dilihat sebagai (1) kerja sampingan dan (2) kerja sosial, dalam arti tanpa imbalan berupa uang. Dalam masa penelitian saya, Mo sempat menyewakan rumah anaknya yang pernah saya tinggali ke para tukang proyek pembangunan pendopo dan monumen sampan dari FKKS dengan harga satu juta rupiah. Hal ini Mo sampaikan kepada Doni, seorang perwakilan FKKS, ketika menanyakan di mana para pekerja dapat menginap selama proyek berlangsung. Doni juga menanyakan dan terus mencatat kebu- tuhan apa saja yang sekiranya diperlukan untuk kelancaran proyek pembangu- nan, “… kira-kira apa lagi Pak RT yang dibutuhkan warga Bertam. Disampaikan saja, nanti akan kami diskusikan di kantor Bu Darsono,” ungkapnya meyakinkan. Mo dan Mak Mo terdiam. Suami isteri yang telah bersama lebih dari 30 tahun ini sepertinya punya pertimbangan lain untuk tidak segera menjawab dengan lugas pertanyaan Doni. Jika melihat kondisi Pulau Bertam, sebetulnya terdapat banyak hal yang perlu dibenahi: pelantar, pelabuhan, tembok batu miring pantai, dan juga tangga batu menuju masjid yang sudah remuk. Di tengah perbincangan itu, pihak FKKS mengutarakan bahwa mereka akan melibatkan warga dalam proyek pembangunan, terutama dalam pekerjaan sebagai pembantu tukang untuk me- nyediakan dan mengangkut pasir, kerikil, dan antar-jemput material bangunan.

Dua minggu berlalu, dan suatu sore di bulan puasa, sebuah kapal muatan material bangunan merapat di pelabuhan Bertam. Tata, yang menyebarkan infor- masi dari Mo ke seluruh warga Bertam soal pekerjaan bongkar muatan material bangunan tadi pagi, tampak lari tergopoh-gopoh menuju pelabuhan menyambut kapal itu. Dari rumah Mo, saya menyaksikan orang lain lantas ikut berlari men- dekati kapal. Sementara para tukang dari FKKS mengangkut perlengkapan kese- harian mereka dan membawanya ke rumah singgah mereka: galon air minum,

kompor minyak, ember, dan peralatan bertukang. Sebagian pemuda Bertam yang berada di bibir pelabuhan langsung mengangkat semen sak demi sak dan membawanya ke atas bukit. Begitu juga dengan kayu dan batu batako. Untuk pasir dan kerikil akan disediakan oleh “anak-buah” Mo. Pasir dihargai Rp180,000 per kubik dan Rp200,000 untuk per kubik kerikil. Di tengah kesibukan orang- orang, Mo mendatangi kepala tukang FKKS dan menagih uang jemput kapal yang pernah dijanjikan tempo hari kepadanya. Mo bilang ke kepala tukang bahwa ongkos jemput yang disepakati adalah Rp800,000. Lalu, si kepala tukang menelpon kantor FKKS untuk memastikan berapa ongkos sebenarnya. Tawar- menawar, akhirnya disepakati Rp300,000, karena Mo hanya menjadi penunjuk jalan kapal pembawa material bangunan dari pelabuhan Sekupang.

Proyek pembangunan dari pihak FKKS sebagai yayasan pembina Bertam sejak pertama kali Orang Laut bermukim di sini, menurut Mo dan isterinya, sudah tidak segencar dulu. Terlebih, setelah kewenangan atas pengelolaan Kota Batam pasca-Reformasi diambil alih oleh Pemerintah Kota Batam. Sejak itu, hampir tidak ada lagi program bantuan dari FKKS yang datang, karena dulu FKKS di bawah kendali Otorita Batam. Mo mengatakan kini Orang Laut di Bertam tidak tahu lagi bagaimana program kerja FKKS untuk peningkatan kesejahteraan OSL di tiga pulau ini, terutama Pulau Bertam. Proyek renovasi bangunan pendopo dan monumen sampan yang dulu pernah ada di Bertam ketika permukiman dibangun di akhir 1980an merupakan yang pertama setelah sekian tahun (mere- ka tidak ingat lagi). Monumen itu dibangun sebagai lambang bahwa penduduk Bertam dulunya adalah orang sampan, orang yang tinggal dan berkelana di lautan bebas dengan sampan beratap kajang. Targetnya, dalam bulan ini proyek selesai dan dapat diresmikan langsung oleh Ibu Soedarsono dan staf FKKS Proyek pembangunan dari pihak FKKS sebagai yayasan pembina Bertam sejak pertama kali Orang Laut bermukim di sini, menurut Mo dan isterinya, sudah tidak segencar dulu. Terlebih, setelah kewenangan atas pengelolaan Kota Batam pasca-Reformasi diambil alih oleh Pemerintah Kota Batam. Sejak itu, hampir tidak ada lagi program bantuan dari FKKS yang datang, karena dulu FKKS di bawah kendali Otorita Batam. Mo mengatakan kini Orang Laut di Bertam tidak tahu lagi bagaimana program kerja FKKS untuk peningkatan kesejahteraan OSL di tiga pulau ini, terutama Pulau Bertam. Proyek renovasi bangunan pendopo dan monumen sampan yang dulu pernah ada di Bertam ketika permukiman dibangun di akhir 1980an merupakan yang pertama setelah sekian tahun (mere- ka tidak ingat lagi). Monumen itu dibangun sebagai lambang bahwa penduduk Bertam dulunya adalah orang sampan, orang yang tinggal dan berkelana di lautan bebas dengan sampan beratap kajang. Targetnya, dalam bulan ini proyek selesai dan dapat diresmikan langsung oleh Ibu Soedarsono dan staf FKKS

Selain proyek dari FKKS, ada juga bantuan membangun rumah singgah dari sebuah yayasan mahasiswa Batam dan mahasiswa dari beberapa negara asing di Batam, yang diusulkan oleh Ibu Maria, seorang guru bantu, untuk pengajian ibu-ibu dan kelas belajar bahasa Inggris khusus anak-anak Bertam. Selama ini, kelas bahasa Inggris masih dilakukan di rumah Mo setiap Rabu. Selain fungsi itu, Mo mengusulkan ke Ibu Maria supaya rumah ini juga dapat dipakai untuk rumah singgah bagi tamu atau orang asing yang datang ke Bertam, entah dalam urusan penelitian, mengajar (guru bantu, termasuk Ibu Maria sendiri), survei pemerintah, atau yang lain.

Mengenai pekerjaan ini, Mo berlaku sebagai kepala tukang yang dibantu oleh dua tukang dan satu pembantu tukang. Ketika saya bertandang ke rumah Endi, ia mengatakan bahwa Mo meminta langsung kepadanya sebagai tukang ber- sama Edi untuk mengerjakan proyek pembangunan ini. Kedua tukang bangunan ini dibantu oleh Udin sebagai pembantu tukang. Pendirian rumah dengan fondasi beton ini dibangun di samping rumah Binson dan Bari (bapak Endi). Upah tukang bangunan per harinya sekitar Rp80,000, sedangkan pembantu tukang hanya separuhnya. Untuk kepala tukang, upah yang diterima sehari bisa mencapai Rp100,000.- sampai Rp120,000.- tergantung pada nilai proyek dan beban kerja yang diberikan, begitu keterangan Endi yang dibenarkan Mo di kesempatan lain.

Selain sebagai dukun, nelayan bilis, dan Ketua RT, Mo terkenal sebagai tukang terhandal di Bertam, lantaran itu kini ia menjabat sebagai kepala tukang. Tidak sedikit Orang Bertam yang bekerja kepada Mo ketika ada proyek pemba-

ngunan, entah mendirikan rumah, memerbaiki tiang rumah (tiang-tiang kayu penyangga rumah-apung), atau yang lain. Sebagaimana relasi nelayan dengan para tauke, hal ini dapat dilihat sebagai gejala patron-klien. Mengapa? Khusus pekerjaan membantu, biasanya mereka rela tak dibayar, seperti yang dilakukan Rudi dan bapaknya, Jaga. Meski demikian, tidak jarang pula mereka mendapat imbalan uang seadanya atau uang rokok (cf. Chou 1994:124-125), atau bisa juga memeroleh imbalan makan yang disiapkan oleh pihak pemberi pekerjaan. Untuk ini, mereka tidak keberatan, dan sebelum mereka bersedia membantu tidak ada perjanjian tertentu mengenai upah, semacam ada kesepakatan tidak tertulis di antara mereka.

Serupa dengan Ahu, Taher, dan beberapa orang Bertam lainnya yang mem- bantu Mo mencari kayu bakar atau membetulkan rumah datuk (bapak dari Mo) di Pulau Boyan. “Bantu” di sini dapat dimaknai sebagai kerja sampingan untuk mendapatkan penghasilan selain kerja laut. Persis ketika Endi diminta Mo mem- benahi tiang-tiang penyangga rumah mertua Mo. Juga, saat Endi memperbaiki sampan Jeki dan bapaknya, Bari. Saya menanyakan hal ini kepada Mo apakah memang di antara Orang Laut ada tradisi “bantu” semacam itu. Mo menjelaskan bahwa hal ini berawal dari ketika mereka masih di sampan pada masa kepemim- pinan batin di mana berlaku membagi-bagi makanan dan kebutuhan pokok dalam komunitas secara merata. “Sekarang hal ini (berbagi makanan) sudah jarang, orang kebanyakan sudah memikirkan perutnya sendiri-sendiri, tapi kalau bantu kerja masih,” kata Mo (lihat uraian Transformasi Kepemimpinan di Bab IV).

Selain pekerjaan bertukang, tradisi bantu juga berlaku bagi sang dukun. Di Bertam, Mo adalah seorang dukun yang biasa membantu mengobati orang sakit atau menyelesaikan masalah perjodohan dan rumah tangga. Ia sekalipun tidak Selain pekerjaan bertukang, tradisi bantu juga berlaku bagi sang dukun. Di Bertam, Mo adalah seorang dukun yang biasa membantu mengobati orang sakit atau menyelesaikan masalah perjodohan dan rumah tangga. Ia sekalipun tidak

”Mo ini baik Mas, ngga seperti dukun di Lingka atau Daik sana, suka tipu dan minta duit. Mo suka bantu orang yang sakit atau susah jodoh. Dan kebanyakan sembuh. Makanya, Mo sering dapat kiriman (hadiah sebagai tanda terima kasih) dari orang lain. Dulu, Mo pernah menawarkan dibantu untuk cari jodoh, tapi aku ngga mau walaupun Mo ngga pernah minta duit.”

Ketika praktik berdukun, Mo biasanya memakai panci berisi air untuk melihat penyakit apa yang sedang berada dalam diri pasiennya. Kebanyakan orang yang datang ke Mo ialah mereka yang punya masalah dengan urusan perniagaan dan percintaan atau perjodohan. Selebihnya, mereka datang karena sakit “dibikin” atau diguna-guna oleh orang lain. Ilustrasi mengenai hal ini saya cantumkan dari salah satu bagian dalam catatan lapangan saya,

Di satu siang, Mo masih sibuk berurusan dengan Mak Tinah, adik ipar Mo, dan anak perempuannya yang sedang berobat. Di tengah itu, ada dua orang dari pulau lain datang untuk berobat juga. Saya ada di situ, duduk, menyaksikan Mo memotong-motong kedua ujung jeruk nipis. Ada sekitar 24 butir jeruk nipis yang ia pisahkan, masing-masing tiga buah. Ia ambil salah satu dari tiga jeruk itu, dan dengan perlahan ia seakan-akan melihat sesuatu dari jeruk nipis yang telah dipotong kedua ujungnya. Sejurus kemudian, Mo meniupnya dan tersebutlah mantra, jampi dari mulutnya dengan lirih. Mo beranjak mengambil air separuh ember kecil, dan memasukkan beberapa jeruk nipis tadi ke dalam ember. Sebungkus jarum jahit pun diambilnya, lalu diketuk-ketukkan agar beberapa jarum keluar dari lubang bungkus itu.

Setelah memegang beberapa jarum, diambil lagi beberapa silet. Silet-silet ini dijepit dengan tiga jari dan dibentangkan seperti kipas. Kemudian itu dimasukkan ke dalam air. Entah apa yang Mo lihat di dalam ember. Kedua orang yang berobat dari pulau lain tadi hanya terdiam menyaksikan dengan serius, tidak terganggu sedikit pun oleh kucing piaraan Mo yang sesekali melewati dua orang itu. Mo semacam mendapat ‘gambaran’ dari air di ember, Mo kemudian menyam- paikan hasil ‘diagnosa’nya ke kedua orang itu, terutama pada orang yang sakit dan memerintahkan untuk melakukan beberapa hal. Setelah mereka mengerti apa yang diminta Mo, mereka pulang. Sebelumnya, Mo berpesan jika sakit itu belum sembuh dalam dua hari, mereka harus kembali. Kedua orang tersebut setuju, lantas berpamitan, dan menyalami seluruh orang yang ada di rumah Mo, termasuk saya. Dalam praktik semacam ini, Mo kadang diberi uang. Kadang tidak.

Dari deskripsi ini, praktik Mo dapat dikategorikan juga sebagai pekerjaan “bantu” atau sosial, bukan untuk tujuan memperoleh uang.

Pengobatan di kalangan Orang Laut di Bertam, kendati mereka juga datang ke dokter di rumah sakit atau Puskesmas, mereka tetap percaya bahwa bomoh atau dukun dapat menjadi alternatif solusi penyembuhan. Ketika penyakit yang dideritanya tak kunjung sembuh, terutama setelah mereka pergi ke dokter, mere- ka akan mendatangi dukun untuk berobat. Dalam etnografinya, Bettarini (1991:

88) menjelaskan, melalui Mano-lah, sang Ketua RT waktu itu, orang-orang Suku Laut di Bertam, dan juga beberapa pulau lainnya, datang berobat. Mereka me- minta Mano jampi atau obat penangkal sakit. Jampi berupa segelas air putih yang telah diberi mantra, kemudian sebagian diminumkan kepada si sakit dan sebagian lagi diusapkan ke bagian tubuh yang dirasa sakit. Seorang dukun atau bomoh biasanya juga merupakan seorang panglima dari suatu kelompok klan Orang Laut, walaupun tidak selalu seorang dukun adalah laki-laki (Lenhart 2004).

Menutup diskusi pada bagian ini, saya akan menunjukkan secara garis besar tahap-tahap peralihan yang terjadi dalam mata pencaharian komunitas Orang Suku Laut, khususnya pada kasus Orang Bertam. Tabel 3.5. di bawah saya mencoba memberi gambaran peralihan tersebut yang saya pilah dalam dua masa: dari masa pra-pemukiman sampai pasca-pemukiman. Dua masa ini lantas saya bagi ke dalam empat tahapan. Model sekunder di bawah bertujuan untuk memotret gambaran umum, maka pengandaian atas pembabakan evolutif dalam transformasi aktivitas ekonomi Orang Laut saya kerjakan secara linier dan relatif sederhana. Oleh karena itu, model sekunder ini sangat bisa diperdebatkan— meski bukan berarti argumennya tanpa dasar yang kuat.

Tabel 3.5. Fase-fase Perubahan Mata Pencaharian Orang Bertam

IV Fase Pra-Pemukiman

I II III

Pasca-Pemukiman

Pola Hidup Mengembara

(di pantai / di (di darat) Aktivitas

Mengembara /

muka pantai) Ekonomi

Menetap

(-) Kerja laut – darat

Kerja laut

(-) Kerja darat

(+) : melakukan, (-)

: tidak melakukan, (+) / ( - ) : sebagian melakukan dan sebagian yang lain tidak.

Berdasarkan pada deskripsi singkat sepanjang bab ini ditambah dengan studi pustaka yang saya kerjakan, kita dapat memerhatikan fase-fase tersebut ke arah kanan. Di situ, saya berpendapat bahwa program pemukiman Orang Laut di Pulau Bertam memberi efek signifikan pada perubahan sosial dalam kehidupan mereka. Ketika masih berkelana mengelompok di laut, hampir dapat dipastikan mereka hanya mengerjakan aktivitas kenelayanannya, baik produksi untuk subsistensi maupun produksi untuk dijual. Kemudian, ketika mereka mulai beralih hidup setengah berkelana dan menetap di permukiman yang disediakan peme- rintah, maka perubahannya jelas, yaitu mereka mulai mengenal dan melakukan jenis-jenis pekerjaan baru yang umumnya dijalani “orang darat”. Meski tidak sepenuhnya melepaskan aktivitas kelautan, pada tahap II dan III sebagian besar Orang Bertam melakukan kerja rangkap: laut dan darat.

Sedangkan pada fase ke IV, atau yang terakhir, merupakan kondisi di mana Orang Laut bisa dikatakan benar-benar tercabut dari akar kulturalnya, dan kasus dalam tahap “benar-benar menjadi orang darat” ini masih sangat jarang dialami. Saya membayangkan, tahap ke IV barangkali hanya akan terjadi ketika sebuah

generasi Orang Laut telah mengenyam pendidikan formal negara dan kemudian bekerja di luar lingkungan kelautan mereka. Kemungkinan lainnya adalah jika terjadi perkawinan dengan non-Orang Laut, sebab dengan ini mereka berpe- luang meninggalkan kampung halaman untuk mengikuti suami atau isterinya. Di Bertam, hanya terdapat satu keluarga (adik perempuan Mo) yang telah “keluar dari alam maritim”. Ia dikawini oleh pria keturunan Bugis yang merantau ke daerah ini beberapa tahun lalu. Keluarga ini mulanya tinggal di Bertam, dan sempat menjadi tauke agak lama di sana. Kini, mereka sehari-hari tinggal di Kota Batam dan menjalani beragam usaha. Secara ekonomi, mereka dapat dikatakan cukup berada, karena mereka sering membantu uang sanak-saudaranya dengan cuma-cuma, dan sangat mencolok pola perilaku (gaya hidup) ketiga anak mere- ka sebagaimana umumnya kelas menengah di kota industri.

C. KESIMPULAN

Dalam Bab ini saya menunjukkan perubahan orientasi ekonomi Orang Laut sebagai implikasi dari program pemukiman mereka di Pulau Bertam. Keberadaan negara membawa pengaruh pada perubahan relasi Orang Bertam dengan basis ekonominya, yaitu sumber daya maritim. Sebelum menetap di pulau, Orang Bertam memerlakukan hasil laut untuk keperluan subsistensi, dan baru ketika terjadi surplus hasil tangkapan mereka akan menjualnya ke para tauke. Pasca- pemukiman, kendati mereka tidak meninggalkan aktivitas ekonomi subsistennya, umumnya mereka menjual hasil laut sebagai prasyarat mendapatkan alat tukar atau uang.

Namun demikian, aktivitas produksi mereka tidak selalu membuahkan hasil optimal, karena beberapa faktor seperti tumbuhnya industri galangan kapal yang Namun demikian, aktivitas produksi mereka tidak selalu membuahkan hasil optimal, karena beberapa faktor seperti tumbuhnya industri galangan kapal yang

Oleh sebab itu, pemerintah menganggap perlu menyediakan bantuan untuk mengatasi ketidakberdayaan masyarakatnya. Pertama, pemerintah memberikan bantuan perbaikan rumah atau tempat tinggal layak huni. Setiap individu atau keluarga di Pulau Bertam saat ini perlu memiliki rumah, karena secara fungsional rumah telah menggantikan sampan, yang saat ini hanya berguna sebagai alat transportasi dan produksi. Kedua, pada kasus BSLM dan raskin Orang Bertam dianggap pemerintah dalam kondisi serba kekurangan pangan dan tidak berdaya mengatasi kenaikan harga BBM. Untuk itu, pemerintah memilih memberikan uang tunai dengan asumsi bahwa masalah-masalah yang muncul tersebab kenaikan harga BBM dapat diselesaikan, walaupun pada realitasnya yang terjadi justru sebaliknya. Pada penanganan masalah pangan, pemerintah menyuplai beras bersubsidi dengan kualitas rendah, padahal dari fakta sejarah di atas, kita tahu sukubangsa pengembara ini pernah memiliki pilihan atau alternatif atas bahan makanan pokoknya, yaitu sagu, umbi, dan kelapa.

Terkait dengan peralihan mata pencaharian (kerja), Orang Bertam awalnya melakukan aktivitas ekonominya untuk subsistensi, kini beralih menjadi aktivitas kerja yang berorientasi pada “produksi” untuk menggapai penghasilan tertentu dan mencapai taraf kemakmuran tertentu. Dalam perbedaan tujuan ini, bekerja kemudian tidak lagi dilakukan dalam bingkai institusi kultural dan ikatan Terkait dengan peralihan mata pencaharian (kerja), Orang Bertam awalnya melakukan aktivitas ekonominya untuk subsistensi, kini beralih menjadi aktivitas kerja yang berorientasi pada “produksi” untuk menggapai penghasilan tertentu dan mencapai taraf kemakmuran tertentu. Dalam perbedaan tujuan ini, bekerja kemudian tidak lagi dilakukan dalam bingkai institusi kultural dan ikatan

Oleh karena itu, Orang Bertam dewasa ini tidak hanya menjalani kerja laut, tetapi juga menambah aktivitasnya dengan berbagai macam kerja darat untuk memperoleh pendapatan yang lebih besar. Di sini, perubahan terjadi pada status sumber daya manusia, yang awalnya sebagai aktor ekonomi kelautan dalam lingkup terbatas dan dalam wilayah laut tertentu sebagai basis ekonominya, lantas bertransformasi sebagai tenaga kerja yang terjerat ke dalam mekanisme ekonomi pasar (meski dalam lingkup kecil) sehingga membuat lingkungan laut saat ini memiliki dua makna bagi mereka: as a mix of base and capital (Gudeman 2005:101), untuk subsistensi sekaligus produksi. []

BAB IV TERITORI, PERMUKIMAN, DAN ORGANISASI SOSIAL

“Yang laut pulang ke-laut, yang darat balik ke-darat” Sumpah Orang Laut 1

Di satu esainya, Cynthia Chou dan Vivienne Wee berpendapat, “the Orang Laut are one of the last nomadic peoples in the world” (Chou dan Wee 2002:342) dan seorang etnografer pendahulu mereka juga mengatakan “(they) are rapidly leaving their sea-borne homes, and … the sea nomad culture will eventually dis- appear …” (Nimmo 1972:1). Saya setuju dengan pendapat mereka jika meng- ingat program pemukiman di tahun 1980an dan proyek pengembangan kawasan ekonomi tiga negara (the Growth Triangle) adalah salah satu penyebab riwayat Orang Laut sebagai sukubangsa pengembara laut berakhir. Meskipun demikian, kalau kita melihat secara seksama kehidupan mereka hari ini, boleh jadi sebetul- nya kebudayaan mereka, dalam perspektif tertentu, tidak ‘benar-benar berakhir’. Kendati mereka tidak lagi mengembara, di sana masih terdapat beberapa aspek sosial dan kultural yang bertahan atau tidak sepenuhnya berubah. Hal ini terjadi karena ada upaya-upaya yang tidak mereka sadari untuk mempertahankan seka- ligus mentransformasikan beberapa aspek “kehidupan laut” ke dalam “kehidupan darat”. Terkait dengan hal-hal ini, saya akan mendiskusikan dinamika sosial dan kultural di beberapa bidang kehidupan Orang Suku Laut di Pulau Bertam, yaitu teritori (lingkungan), konfigurasi permukiman, dan organisasi sosial.

1 Cynthia Chou (2010:92) menerangkan bahwa sumpah ini diucapkan Orang Laut sebagai pernyataan bahwa akar kebudayaan mereka adalah laut, dan oleh karenanya mereka tidak

mungkin dapat terpisah dengan lautan dan perahu-perahunya.

A. MAKNA TERITORI, RUMAH, DAN PERMUKIMAN BAGI ORANG BERTAM

Mengutip gagasan Bruno Latour (1993) dalam We Have Never Been Modern, Arturo Escobar (1999:2), antropolog politik lingkungan asal Colombia, mengata- kan di sebuah esainya, “nature is always constructed by our meaning-giving and discursive processes”. Hal ini analog dengan pengalaman Orang Suku Laut bahwa kelangsungan hidup dan kekuatan way of life kelautan mereka digerakkan oleh sistem klasifikasi mereka atas alam (lingkungan) laut dan darat (Ahimsa- Putra 2006; Zacot 1979). Secara historis, relasi mereka dengan alam merupakan wacana kultural yang tidak terpisahkan (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Lenhart 2002). Telah sekian generasi Orang Laut menjalani kehidupan nomadik di mana alam dianggap sebagai basis ekonomi (Gudeman 2005:98), lantaran “memproduksi dan menyediakan” segala hal bagi kelangsungan hidup mereka, sekaligus berfungsi sebagai ruang sosio-kultural mereka. Oleh karena itu mereka memiliki mekanisme tertentu untuk menjaga teritori laut dalam meminimalisir kerusakan lingkungan (Chou dan Wee 2002; Lenhart 2002).

Menjadi berbeda ketika Orang Laut mulai tinggal di darat dan seiring dengan tumbuhnya kawasan industri di Batam (Chou dan Wee 2002). Dalam proses sejarah semacam ini, beberapa literatur menunjukkan bahwa narasi mengenai teritori laut dan darat kini berbeda dengan pengalaman Orang Laut sebelumnya (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Wee dan Chou 1997). Salah satunya, muncul kesadaran bahwa alam tidak selamanya menyediakan kebutuhan hidup ‘secara cuma-cuma’ dan tidak terbatas. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka harus mengupayakan hal-hal lain di luar aktivitas ekonomi kelautannya, yaitu dengan mengombinasikannya bersama kerja-kerja Menjadi berbeda ketika Orang Laut mulai tinggal di darat dan seiring dengan tumbuhnya kawasan industri di Batam (Chou dan Wee 2002). Dalam proses sejarah semacam ini, beberapa literatur menunjukkan bahwa narasi mengenai teritori laut dan darat kini berbeda dengan pengalaman Orang Laut sebelumnya (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Wee dan Chou 1997). Salah satunya, muncul kesadaran bahwa alam tidak selamanya menyediakan kebutuhan hidup ‘secara cuma-cuma’ dan tidak terbatas. Oleh sebab itu, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka harus mengupayakan hal-hal lain di luar aktivitas ekonomi kelautannya, yaitu dengan mengombinasikannya bersama kerja-kerja

Lebih dari itu, relasi Orang Laut dengan teritori (darat dan laut) tidak hanya menyangkut persoalan sumber daya alam dalam aktivitas ekonomi, melainkan juga terkait dengan konstruksi budaya material dan organisasi sosial. Pemak- naan mereka atas budaya material berubah, karena sampan, misalnya, sebagai satu elemen dalam organisasi sosial mereka tidak lagi berfungsi sebagai “tempat tinggal” (cf. Southon 1995). Sampan setidaknya memiliki dua fungsi yang tidak terpisahkan, yaitu tempat tinggal serta unit dan alat produksi. Sedangkan rumah atau pondok dahulu berfungsi sebagai tempat singgah sementara waktu di pulau tertentu (Sembiring 1993). Program pemukiman pemerintah mengubah fungsi sampan dan rumah ini. Bergesernya sejumlah fungsi sampan ke dalam rumah inilah yang sedikit-banyak memengaruhi konstruksi makna atas benda tersebut.

Dalam kaitannya dengan organisasi sosial, ada bagian tertentu dalam unsur kebudayaan ini yang tidak berubah atau relatif bertahan. Laiknya mereka masih hidup mengembara secara berkelompok di laut, mereka tidak dapat melepaskan preferensi tinggal berdekatan dengan individu-individu yang termasuk kelompok keluarga dekatnya. Hal inilah yang membuat pola permukiman Orang Bertam menjadi “khas”, karena dalam realitasnya pola permukiman mengikuti preferensi figur pemimpin kelompok dan kekerabatan.

A.1. “Tanah Air” Orang Bertam: Teritori Laut, Darat, dan “Antara”

Klaim Heddy Shri Ahimsa-Putra (2011:xi) mengenai konsep teritori Orang Suku Laut (atau Orang Bajo) menarik untuk diperhatikan,

“… (di Indonesia) orang Bajo merupakan satu-satunya sukubangsa yang tidak memiliki sebuah wilayah di daratan yang dapat mereka sebut sebagai “tanah Bajo”. Namun … mereka memiliki kawasan pengembaraan (ter)luas di Indonesia, yang seluruhnya tertutup air … sehingga hanya orang Bajo-lah sebenarnya yang memiliki “Tanah Air” dalam arti yang sebenarnya, karena tanah mereka adalah wilayah perairan.” (cetak miring penekanan saya).

Kalimat “tanah orang Bajo adalah wilayah perairan” secara implisit mengutarakan gagasan pokok yang berlaku dalam nalar sekaligus pada realitas Orang Laut. Meski demikian, perlu dicatat bahwa dalam pandangan Orang Laut gagasan tentang wilayah air ini berkaitan juga dengan gagasan mengenai wilayah darat, sebab satu dengan yang lain ‘saling melengkapi’ walaupun kadang kala memun- culkan kontradiksi dalam diri Orang Laut sendiri (lihat Ahimsa-Putra 2006). Di sini, saya akan menerangkan dua alam berbeda dan tidak dapat dipisahkan itu.

Tentang teritori laut. Ruang-ruang maritim dan pesisir (maritime and coastal spaces) bagi Orang Laut memiliki makna dan fungsinya masing-masing. Chou mengatakan hal ini tampak pada rute melaut (sailing routes), lokasi mencari ikan (fishing grounds), dan tempat-tempat berlabuh (moorage points). Bagi mereka, ruang-ruang ini merupakan basis ekonomi, yang juga merupakan pemberian dari para pendahulu mereka. Dengan kata lain, pemberian para pendahulu ini dapat dimaknai sebagai warisan ‘harta pusaka yang paling berharga’ (highly treasured heirloom) (Chou 2010:59). Dahulu, keeratan hubungan antara Orang Laut dengan ruang-ruang tersebut ditunjukkan melalui aktivitas keseharian mereka yang berorientasi pada lingkungan di area mereka berkelana (Chou dan Wee 2002:326-327), dan juga ikatan mereka sebagai penjaga (custodian) kawasan tertentu (Chou 1997). Oleh karena itu, klaim kepemilikan terhadapnya tidak dapat dipisahkan, disingkirkan, atau dinafikan begitu saja.

Klaim atas kepemilikan teritori maritim Orang Laut tentu saja tidak berada dalam batas-batas yang tegas sebagaimana area daratan yang berbasis tanah.

Dalam persepsi Orang Laut Chou (2010) mengatakan persoalan teritori laut tidak hanya berkenaan dengan wilayah pengembaraan dalam konteks basis ekonomi, melainkan juga merupakan basis ikatan organisasi sosial mereka yang meng- hubungkan kelompok kerabat pengembara di satu wilayah dengan yang lain. “The ethnogeographical maps are held by individual Orang Laut as mental images which are shared and transmitted orally and through experiences with others” (Chou 2010:70). “Mental images” dalam logika berpikir mereka mencer- minkan luasnya jejaring kekerabatan yang terhubung di seluruh perairan Kepri. Gagasan etnogeografis Orang Laut ini diturunkan antargenerasi melalui pengala- man bersama dan enkulturasi dalam lingkup unit keluarga batih (Trisnadi 2002).

Dari Peta 4.1. di bawah, kita dapat melihat “teritori laut” sebagai mental maps Orang Laut yang dihubungkan oleh jalinan antarkerabat di antara mereka yang tersebar di beberapa pulau di Kepri. Teritori laut tidak memiliki batas yang jelas, kecuali pemahaman mereka atas resources yang dimiliki wilayah tertentu dan kerabat Orang Laut yang berada di sekitar wilayah tersebut. Jejaring Orang Laut di sebagian wilayah di Kepri dari beberapa daerah penelitian Chou (bagian yang berarsir) menunjukkan kedekatan hubungan mereka. Chou menyontohkan dalam musim tertentu Orang Laut dari Tiang Wang Kang akan mengunjungi kerabatnya di Pulau Nanga jika memerlukan tripang (timun laut) berkualitas baik. Sebaliknya, ketika musim comek (sejenis sotong atau cumi-cumi), orang Pulau Nanga akan berlayar ke Tiang Wang Kang (Chou 1997:618, 2010:71). Sedangkan area laut di sekitar Pulau Bertam, tempat penelitian saya, merupakan penyedia berbagai jenis ikan, seperti udang-udang kecil, sotong, dan juga ikan bilis.

Peta 4.1. Jaringan Kerabat dan Teritori Sumber-sumber Daya Maritim Orang Laut di

Kepulauan Riau (Sumber: Chou dan Wee 2002:336) 2 Berkenaan dengan itu, Orang Bertam mengatakan bahwa aktivitas bertukar

produk maritim antarkerabat tersebut kini hampir tidak pernah dilakukan, sebab nelayan hanya melaut di daerah sekitar Pulau Bertam atau pulau yang mereka

2 Peta ini merupakan peta yang disempurnakan oleh Chou dari peta awal di artikelnya tahun 1997 dan ia sempurnakan lagi di dalam bukunya terbaru dengan keterangan yang lebih

lengkap (lihat Chou 2010:72-73). Meskipun saya telah mendapat izin untuk menampilkan kembali, saya kesulitan memindai peta tersebut karena letak peta membuat terpotong ke dalam dua halaman. Pencantuman kembali tabel dan peta dalam tesis ini atas sepenge- tahuan dan izin dari penulis (komunikasi personal melalui email Desember 2013 – Januari 2014).

tinggali saja. Hanya nelayan ikan bilis yang melaut sampai puluhan kilometer dari tempat tinggalnya, karena ikan bilis hanya dijumpai di laut dengan kedalaman tertentu. Mo, misalnya, akan pergi ke Pulau Boyan untuk mencari ketam bako (kepiting rawa bakau) untuk dikonsumsi keluarga inti. Orang Bertam lain, seperti Taher dan Ahu, bertandang mencari kayu bakar ke pulau lain untuk dijual ke nelayan ikan bilis. Adapun Endi hanya akan “berlayar” ke pulau lain ketika dia diminta membantu memperbaiki sampan atau pancung kerabatnya yang rusak. Ketika saya tanyakan kepada Mo adakah hubungan tertentu dengan Orang Laut di pulau lain dan seperti apa mereka menjalin relasinya, ia dengan lugas men- jelaskan, “Orang Laut di Pulau Panjang, Teluk Nipah, Dapur Enam, sampai ke Pulau Nibung (sisi timur Batam berbatasan dengan Pulau Bintan) itu orang kami (keluarga Orang Laut) semua.” Sama halnya dengan beberapa informan lain yang mengatakan masih memiliki hubungan kerabat dengan Orang Laut di Daik- Lingga (wilayah Provinsi Kepri paling Selatan). Saat ini, mereka tidak lagi ber- layar ke pulau-pulau tersebut untuk mendapatkan atau saling-bertukar hasil laut, melainkan hanya berjumpa dalam urusan tertentu, seperti menghadiri upacara kematian dan pesta perkawinan kerabatnya.

Selanjutnya, berkaitan dengan teritori laut sebagai area tangkapan ikan, Chou (1997:618) menjelaskan bahwa Orang Laut memiliki tiga pola aktivitas kenelayanan dalam relasinya dengan permukiman mereka: (1) mereka mencari ikan di dekat kampung; (2) mereka melakukan perjalanan berhari-hari ke lokasi yang agak jauh dari kampungnya; atau (3) mereka berkelana ke tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan memakan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya. Untuk pola terakhir, hampir tidak ada lagi Orang Bertam yang melakukan itu, karena memang Orang Bertam sudah Selanjutnya, berkaitan dengan teritori laut sebagai area tangkapan ikan, Chou (1997:618) menjelaskan bahwa Orang Laut memiliki tiga pola aktivitas kenelayanan dalam relasinya dengan permukiman mereka: (1) mereka mencari ikan di dekat kampung; (2) mereka melakukan perjalanan berhari-hari ke lokasi yang agak jauh dari kampungnya; atau (3) mereka berkelana ke tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan memakan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya. Untuk pola terakhir, hampir tidak ada lagi Orang Bertam yang melakukan itu, karena memang Orang Bertam sudah

Hal itu serupa dengan Orang Laut pada umumnya di tempat lain. Sebelum ke Pulau Bertam, saya mampir ke Tiang Wang Kang, kampung Orang Suku Laut di dekat jembatan satu Batam-Rempang-Galang (Barelang), dan berbicara dengan dua Orang Laut di sana. Nelayan ini mengatakan kepada saya, ”jumlah nelayan sekarang semakin banyak, kita jadi susah. Pendapatan kita semakin sedikit. (Misalnya) udang kita tangkap, seminggu baru dapat Rp200 – Rp300 ribu. Sedikit sekali.“ Menurut mereka jumlah tangkapan yang semakin sedikit disebab- kan oleh jumlah nelayan yang semakin banyak, bukan karena hal lain seperti kendala teknologi alat penangkap. Ketika saya bertanya mengenai kepemilikan teritori laut yang menyebar dan menghubungkan jejaring kekerabatan, mereka membenarkan. Mereka menjelaskan bahwa mereka memiliki banyak kerabat di Pulau Nibung, Pulau Air Lingka (Barat Pulau Galang Baru), dan sebagainya dan masih sering berjumpa dan saling mengunjungi. Namun, mereka menekankan bahwa, “daerah tangkapan kami ya di sekitar sini Mas, bukan di tempat lain.” Saya lantas bertanya apakah itu artinya daerah mereka bercampur dengan nelayan pulau seberang (Pulau Panjang, mayoritas penduduknya orang Melayu) dan adakah di antara mereka punya wilayah tangkapan yang tidak boleh dijamah oleh nelayan lain. “Tidak, bebas. Tetapi kami tak tentu wilayah tangkapannya, dan sekarang ini makin banyak jumlah nelayannya, sedangkan tangkapan kami makin sedikit.” Dari pernyataan ini, kita tahu hari ini lebih mengemuka persaingan di antara nelayan dan persoalan tangkapan ikan, bukan lagi mengenai persoalan “berbagi” daerah tangkapan sebagaimana Chou jelaskan mengenai ekonomi kenelayanan Orang Laut di masa lalu (lihat Chou 1997:617, 2010:72–73).

Berkenaan dengan hal itu, Mo menegaskan bahwa tidak ada aturan tertulis di kalangan nelayan mengenai wilayah tangkapan ikan walaupun mereka memiliki ‘etika’ menangkap ikan yang harus ditaati bersama. Sebagai misal, ada dua perahu berangkat bersama untuk mencari atau menombak ikan dan sotong. Keduanya harus menyepakati aturan main untuk berbagi wilayah pencarian ikan atau hasil laut lain. Keduanya harus saling memberi tahu haluannya (arahnya). Jika nelayan A hendak menombak ikan ke arah Selatan sampai ujung pulau X, maka nelayan B harus ke arah berlawanan atau arah lain. Apabila nelayan B kebetulan melintas dan masuk ujung pulau X yang menjadi wilayah tangkapan A, ia harus berbalik arah dan keluar dari area itu. Dengan demikian, aturan melaut di kalangan Orang Laut bisa berbeda satu dengan lainnya tergantung dengan wilayah tempat di mana mereka tinggal.

Lioba Lenhart menerangkan bahwa Orang Laut memiliki “spatial orienta- tions”, “spatial ideas” atau sejumlah orientasi keruangan yang menunjukkan keseragaman pandangan hidup mereka terhadap sumber daya laut. Hal ini ditunjukkan dengan kemampuan menyebut keberadaan flora dan fauna yang spesifik dan sesuai dengan kebutuhan mereka di wilayah laut dan pulau-pulau tertentu (Lenhart 2002:299–300). Sebagai bukti bahwa teritori laut merupakan warisan para leluhur, Orang Laut mengaku dapat (saling) berkomunikasi dan melakukan hubungan timbal-balik dan dalam kondisi tertentu antara mereka dan alam dapat saling memengaruhi (Sembiring 1993). Cara berkomunikasi mereka dengan alam dilakukan salah satunya melalui ritual untuk merawat hubungan

mereka dengan penguasa atau penjaga laut (Lenhart 2002:300). 3

3 Orang Bertam membedakan antara hantu dengan penjaga darat dan laut. Pembedaan ini mempengaruhi jenis sesaji kalau kita hendak meminta pertolongan mereka. Untuk penjaga

Dalam pemahaman pemerintah, Orang Laut sebagai bagian dari masyarakat terasing dianggap tidak punya hak kepemilikan atas wilayah laut dan pesisir, karena mereka dikenal sebagai komunitas pemburu komoditas laut (sea nomadic foragers atau hunting band), bukan sebagai komunitas yang memroduksi atau mengolah sesuatu seperti petani (Chou 2010:17). Oleh karena itu, manakala pembangunan masyarakat terasing dijalankan di tahun 1980an sampai 1990an dengan tujuan pemberadaban dan penyetaraan taraf hidup sebagai capaiannya dan mendukung terselenggaranya percepatan pembangunan kawasan ekonomi di Batam, maka,

“… the reformers of Riau Island aim to portray only one reality in their maps … in order to do this, the old (Orang Laut) must be obliterated, first from conscious- ness and then in reality, hence the predicament of the Orang Laut.” (Chou 2010: 133).

Dengan demikian, pembangunan kawasan ekonomi memberi efek kepada Orang Laut bahwa kepemilikan atas teritori laut mereka dianggap tidak pernah ada oleh pemerintah (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002). Pembangunan kawasan ekonomi dan perdagangan bebas di Batam memberi dampak aleniasi teritori Orang Laut (displacement dalam istilah Chou [2010]). Pada kasus Orang Bertam yang terjadi ialah vis-à-vis mereka dengan industri (pabrik-pabrik) galangan kapal yang didirikan di sepanjang pantai Barat Pulau Batam. Aleniasi mereka pada teritori laut sebagai sumber ekonomi terjadi juga karena pemerintah memberi izin kepada sejumlah pabrik tersebut untuk beroperasi di wilayah tertentu yang

disebut mambang darat, mambang atas (permukaan laut), mambang tengah (dalam laut), dan mambang bawah (raja atau “dayang Suleman”, dasar laut). Khusus hantu laut, berada di dasar laut, punya sifat jahat, dan kita bisa memanfaatkan untuk urusan kita, biasanya untuk hal-hal “jahat”. Kepada para mambang ini, Orang Laut mengasosiasikannya dengan warna dan membedakan sesajinya: mambang darat (diasosiasikan dengan warna putih, sesaji beras), mambang atas (warna kuning, sesaji beras pulot), tengah laut (warna hitam, sesaji rokok daun nipah), bawah laut / dasar laut (lengkap ditambah sirih-pinang). Cara Orang Laut menghormati para mambang sebagai leluhur sekaligus penguasa wilayah tertentu adalah setidaknya dengan mengucap salam, seperti, “Tabik datuk-nenek, anak cucu numpang lalo” (salam kakek dan nenek, kami anak cucu hendak lewat).

bersinggungan dengan etnogeografis Orang Laut. Masalah muncul ketika sumber daya maritim tidak semelimpah dibandingkan ketika pabrik-pabrik belum beroperasi di situ.

Orang Bertam mengatakan kepada saya bahwa mereka menganggap salah satu penyebab berkurangnya varietas ikan yang hidup di sekitar Pulau Bertam merupakan akibat tercemarnya laut oleh limbah pabrik. Pembuangan limbah ke laut secara ilegal membuat air laut keruh sehingga terumbu karang mati dan berbagai jenis ikan tidak bisa tinggal di laut sekitar wilayah ini. Konsekuensinya, pendapatan mereka dari mata pencaharian nelayan berkurang atau Orang Bertam harus mencari produk maritim di area yang lebih jauh, dan ini memakan ongkos yang lebih besar. Sebagaimana saya jelaskan pada bab sebelumnya, bahwa tidak semua Orang Laut memiliki kemampuan untuk berlayar terlalu jauh dari kampungnya karena ongkos bahan bakar terlalu mahal.

Menyiasati hal itu, perwakilan organisasi nelayan dari tiga pulau berdekatan (Gara, Lingka, dan Bertam) melontarkan protes kepada pabrik-pabrik untuk menuntut ganti rugi berupa uang atau material bangunan rumah. Beberapa kali proses negosiasi dilakukan antara perwakilan nelayan dengan pihak pabrik, namun tidak membuahkan hasil apapun. Sampai akhirnya, puluhan sampan dan pancung yang memuat ratusan Orang Laut mendatangi kawasan pabrik di Tanjung Uncang untuk melancarkan protes ke salah satu perusahaan galangan kapal. Ketika itu, rombongan Orang Laut tidak berhasil menemui pihak pabrik, dan area pabrik telah dijaga oleh sejumlah anggota Polisi Brigade Mobil (Brimob) bersenjata api laras panjang yang mengarahkan mata senapannya ke para nelayan, bahkan sempat ada yang tertembak!

Tentang teritori darat. Seperti halnya dengan wilayah laut, teritori darat bagi Orang Laut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam kehidupan mereka. Namun, sebagian Orang Laut menganggap mereka “bisa mati” jika hidup di darat sama seperti ikan yang dilempar ke darat (Zacot 1979). Teritori darat yang dimaksud adalah pulau-pulau dengan fungsinya yang spesifik, seperti tempat berlabuh (moorage points) ketika musim angin Utara tiba dan membenahi sampan mereka yang bocor dan dipenuhi rumput laut; tempat mencari sumber air minum; berburu pelanduk dan babi hutan (yang biasanya dilakukan di akhir musim kemarau dan awal musim hujan [Sembiring 1993]); tempat mencari kayu dan akar-bahar sebagai bahan obat-obatan, membuat sampan, dan alat-alat ber- buru; serta tempat menguburkan jenazah kerabat mereka yang meninggal (Chou 1997:619–23; Nimmo 1972:16, 31-32, 54; Zacot 2008). Dalam beberapa literatur, belum ada keterangan mengenai nama pulau tertentu di wilayah Kepri berikut sumber dayanya yang khas, yang biasa dimanfaatkan oleh Orang Laut, dan apakah pulau dengan sumber daya tertentu dibedakan dengan pulau untuk pekuburan.

Di masa lalu, pada prinsipnya kendati mereka mengklaim kepemilikan pulau di sekitar tempat mereka tinggal atau melaut sebagai warisan yang diberikan oleh para pendahulunya, mereka tidak melarang orang lain untuk mengambil air minum atau kayu di situ. Berbeda halnya ketika mereka sudah menetap, Mo mengatakan pernah beberapa kali di sisi barat Pulau Bertam (permukiman pada sisi timur) disambangi pencari kayu dan akar bakau dari pulau lain. Mo sebagai Ketua RT mengatakan jika satu-dua kali tidak masalah, sekalipun mereka tidak meminta izin kepada Orang Bertam. Akan tetapi, para pancari kayu itu berulang- kali mengambil kayu dan akar bakau tanpa melapor ke Mo, dan ini oleh Orang

Bertam dianggap sebagai tindakan pencurian, karena bisa merusak hutan jika aktivitas mereka tidak dikontrol. Akhirnya, Mo memergoki mereka ketika sedang menebang kayu, dan mengatakan kepada mereka jika masih tetap mau meng- ambil kayu di situ harus berembuk langsung dengan warga Bertam dan mem- berikan kompensasi ke mereka. Alasannya, area ini milik Orang Bertam.

Dalam hal tertentu, saya mengamati bahwa saat ini persaingan mengakses sumber daya tertentu seperti contoh di atas lebih mengemuka ketimbang dimensi berbagi dan menolong yang menjadi tradisi di kalangan Orang Laut. Misalnya pada persoalan akses sumber air minum, karena air tawar melambangkan ketergantungan Orang Laut pada wilayah darat. Air tawar berfungsi setidaknya untuk minum, memasak, mandi, dan mencuci pakaian. Perebutan sumber air terjadi bila musim kemarau tiba, dan ketika beberapa mata air (sumur) mulai kering. Di Bertam, sebetulnya ada empat titik air bersih, namun hanya tiga yang masih berfungsi. Dua sumur sudah diberi cincin, sedang sisanya hanya dibuat pagar pembatas persegi dari batu bata yang disusun ke atas setinggi pinggang orang dewasa beserta tempiasnya dari tiang besi dan seng. Sumur-sumur ini merupakan hasil pembangunan infrastruktur permukiman di akhir 1980an sampai awal 1990an (lihat Bab II).

Walaupun keempatnya masih digunakan, hanya satu dari keempat sumur itulah yang menjadi sumber air minum bagi warga tiga pulau, yakni Orang Bertam, Lingka, dan Gara. Dari ketiga pulau, Pulau Lingka merupakan satu-satu- nya pulau tanpa sumber mata air, sedangkan Pulau Gara hanya terdapat satu sumur, yang entah mengapa mereka tidak merawatnya sehingga membuat air di dalamnya tidak bersih dan layak dikonsumsi. Itulah mengapa warga tiga pulau ini Walaupun keempatnya masih digunakan, hanya satu dari keempat sumur itulah yang menjadi sumber air minum bagi warga tiga pulau, yakni Orang Bertam, Lingka, dan Gara. Dari ketiga pulau, Pulau Lingka merupakan satu-satu- nya pulau tanpa sumber mata air, sedangkan Pulau Gara hanya terdapat satu sumur, yang entah mengapa mereka tidak merawatnya sehingga membuat air di dalamnya tidak bersih dan layak dikonsumsi. Itulah mengapa warga tiga pulau ini

Pada saat saya penelitian beberapa hari hujan tidak turun, saya menyaksikan bagaimana mereka saling berebut, saling mendahului mengambil air di sumur yang mulai dangkal itu. Manakala orang mulai berebut mengambil air, air di sumur ini menjadi keruh, karena tanah di dasar sumur naik dan bercampur air dan lumut. Keruhnya air sumur ini disebabkan oleh ketidaksabaran orang dalam menciduk air sumur, sebab itu Mo dan beberapa warga Bertam mengeluhkan hal ini. Suatu petang, ketika kami hendak mengambil air di sumur besar Bertam, tetapi ternyata sudah ada yang mendahului dan setelah ditanya ke orang itu apakah air masih ada, mereka jawab air sudah habis. Kami lantas menuju ke sumber air cadangan yang memang jarang ada orang yang mau ke pulau itu, karena tempatnya sulit dimasuki dan menurut sebagi- an orang “angker”. Pulau ini letaknya kira-kira di belakang Pulau Gara, sekitar lima menit dari Bertam menggunakan pancung bermotor. Untuk sampai ke tepi sumur, kami harus masuk ke ‘sungai’ yang kanan-kirinya penuh-sesak akar bakau. Dengan berbekal satu lampu petromak yang dipegang Mo di depan, pancung jalan rawa ini pun jadi terang, meski kala itu sekitar jam tujuh malam rembulan sudah bersinar cerah sampai cahayanya menyerupai cincin emas dan menyingkirkan awan hitam di sekelilingnya. Hanya saja, tanpa lampu minyak kita tidak akan mungkin melihat dengan jelas kondisi air di dalam sumur itu. Sekira setelah 50 meter masuk ke sungai itu, sampailah kami di tepian, dan sumur dengan blok semen persegi panjang tampak dari tepian. Mo turun memeriksa apakah air masih ada, dan juga beranjak ke sumur yang lain di tempat yang agak lebih tinggi dari sumur pertama di tepi rawa itu. Sumur yang di atas sudah tertutup ilalang, dan air di dalam tampak- nya sangat kotor karena menampung reruntuhan daun dari pohon hutan.

Oleh sebab itu, Mo memutuskan untuk mengambil air sumur yang ada di tepi rawa. Tugas dibagi: Azan menunggu di pancung dan saya mengangkat se- jumlah ember yang diisi air oleh Mo dari timbanya. Mo berujar dengan agak kecewa melihat kondisi air di sumur itu pada saya, ”tadi siang pasti ada orang yang juga berebut nak mengambik air di sini, coba lihat lumut itu dan lumpur- nya yang ada di tengah (kubangan air). Macam mana pula orang-orang itu tidak bisa pelan-pelan ambik air, dan tidak memikirkan orang lain juga butuh air.” Setelah tanah agak mengendap, Mo lalu mencicipi apakah air ini layak untuk air minum (tidak payau) ataukah hanya dapat dipakai untuk mencuci baju dan mandi. Menurutnya ini ‘boleh’, dan ia meminta kami juga mencicipi air sumur itu, dan bersepakat bahwa air ini tidak ada masalah untuk masak dan minum. Tidak lama setelah itu, mulailah kami isi drum-drum dan ember- ember yang ada di pancung.

Selain perebutan beberapa titik mata air oleh orang antarpulau di atas, sumur di Bertam yang lain pun jadi perebutan di kalangan Orang Bertam sendiri. Di satu sore, ketika hendak mandi, Mak Mo melihat saya membawa timba dan ember Selain perebutan beberapa titik mata air oleh orang antarpulau di atas, sumur di Bertam yang lain pun jadi perebutan di kalangan Orang Bertam sendiri. Di satu sore, ketika hendak mandi, Mak Mo melihat saya membawa timba dan ember

Anjuran Mak Mo tersebut mengingatkan saya pada peristiwa beberapa hari sebelumnya, ketika di satu siang saya mencuci baju di sumur kotak (sumur 1 pada Gambar 4.3.), saya berbicara kepada Mansyur, anak Beloh, soal sumur bercincin itu. Mansyur mengisahkan bahwa sumur itu hanya untuk air minum dan memasak sehingga tidak digunakan untuk mencuci baju atau mandi. Tempo hari, Mo dan mak Mo mengatakan pada saya kalau sumur itu diklaim punya “keluarga rumah belakang” dan hanya boleh diambil oleh mereka saja. “Keluarga rumah belakang” yang mereka maksud adalah keluarga Rahman, Beloh, Ustad Akim, dan Tamel. Dengan demikian, kendati sumur itu “punya kita”, pada kenyataannya selain pihak empat keluarga ini, tidak pernah sekalipun ada yang berani meng- ambil air di sumur itu, kecuali para tukang FKKS yang sedang mengerjakan pro- yek pembangunan pendopo pertemuan dan monumen sampan.

Persoalan klaim “keluarga rumah belakang” atas “teritori” ini juga berkaitan dengan posisi rumah di dekat daratan. Posisi rumah yang jauh dari muka laut membuat sampan kerap kandas jika air surut. Selain itu, letak rumah di Bertam menunjukkan relasi kekerabatan tertentu dan posisi rumah juga memiliki nilai tertentu (lihat uraian pola permukiman dan organisasi sosial di bawah). Oleh sebab itu, mereka menganggap layak diberi hak istimewa untuk menguasai satu Persoalan klaim “keluarga rumah belakang” atas “teritori” ini juga berkaitan dengan posisi rumah di dekat daratan. Posisi rumah yang jauh dari muka laut membuat sampan kerap kandas jika air surut. Selain itu, letak rumah di Bertam menunjukkan relasi kekerabatan tertentu dan posisi rumah juga memiliki nilai tertentu (lihat uraian pola permukiman dan organisasi sosial di bawah). Oleh sebab itu, mereka menganggap layak diberi hak istimewa untuk menguasai satu

Selain sebagai tempat mendapatkan air minum, dewasa ini wilayah darat bagi Orang Laut juga merupakan tempat berlabuh. Namun, berlabuh bukan dalam makna sementara waktu seperti yang mereka lakukan ketika masih hidup berpindah dengan sampan. Melainkan, tempat berpulang ke kampung, rumah, dan berjumpa keluarga mereka. Konsep “pulang” atau “balik” menjadi penting di sini, karena konsep ini identik dengan lokasi fisik di wilayah geografis tertentu, di mana sebelumnya Orang Laut barangkali tidak mengenalnya atau bukan menjadi bagian dari kehidupan mereka. Meskipun saya belum memiliki data cukup untuk menjelaskan ini, saya menyangka hal ini dikarenakan awalnya “rumah” tempat mereka “berpulang” (yaitu sampan) terus bersama mereka ke manapun mereka berlayar. Catatan Nimmo (1972) juga menunjukkan ketika mereka berlabuh, sebagian besar dari mereka tetap berada di sampannya. Dengan bermukimnya Orang Laut di Bertam dan dengan didirikannya kampung berikut rumah-rumah- nya, pola kehidupan berkelana di laut tidak lagi dilakukan, sehingga persepsi tentang laut dan darat pun berubah.

Saya menduga, sejak mengenal “pulang”, Orang Laut juga mengenal istilah "pergi” sebagaimana umumnya persepsi orang darat tentang pergi. 4 “Pulang”

sebagai aktivitas barangkali menjadi hal baru sekaligus merisaukan diri Orang

4 Dalam perbincangan sehari-hari, saya menangkap istilah “pergi” sering mereka sebut silih- berganti dengan kata “meninggal”, yang dalam bahasa Indonesia lebih berasosiasi dengan

“mati”. Contohnya, “si X meninggal cari ikan” yang maksudnya X sedang pergi mencari ikan, atau “si F sudah meninggal suaminya” yang artinya F telah bercerai dan pergi meninggal- kan mantan suaminya. Sedangkan konsep “pulang” lebih kerap mereka sebut “balik”. Barangkali “balik” lebih masuk akal daripada “pulang”, karena jika kita bayangkan ketika mereka mengembara bersama kelompoknya dan beberapa sampan (keluarga batih) biasa berpisah dari kelompoknya (meninggal) sementara waktu. Saat mereka kembali bergabung, maka istilah yang tepat dalam konteks ini adalah “balik” atau kembali, bukan “pulang”.

Laut, karena disebabkan pandangan mengenai teritori dan kehidupan darat oleh mereka sendiri. Ahimsa-Putra (2006) menjelaskan mengenai kontradiksi-kontra- diksi tersebut, bahwa ada persoalan ketidakcocokan dengan kehidupan darat kendati mereka dalam beberapa hal memerlukan hal-hal yang ada di darat sebagai sumber kehidupan selain laut (air tawar, beras, sagu, sayur-mayur, kayu bakar, dan sebagainya). Di samping itu, relasi dengan kehidupan darat membuat Orang Laut merasa kecil hati, sebab menganggap diri mereka lebih inferior, lebih rendah daripada orang darat.

Untuk mengatasi sebagian kontradiksi laut-darat inilah, Orang laut kemudian, kata Lenhart (2002), berstrategi untuk “ikut” (meniru) cara-cara dan pola hidup orang darat, yang dalam konteks ini adalah cara-cara orang Melayu. Pemerintah di pertengahan tahun 1980an menawarkan hal itu. Di sini, antara kepentingan Orang Laut dan pemerintah agaknya bertemu, walaupun Orang Laut tidak sepenuhnya menerima tawaran pemerintah tersebut untuk didaratkan. Saya kira mereka dengan sadar menegosiasikannya dengan jalan mau ‘berlabuh’, namun tetap tinggal di atas air. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila rumah- rumah yang pemerintah sediakan didirikan berada di muka pantai.

Bermukimnya Orang Suku Laut lantas melahirkan kategori baru atas ruang dalam pengertian bukan hanya laut dan darat. Namun, menurut saya menjadi tiga kategori teritori: (1) laut, (2) ‘setengah laut’ atau ‘setengah darat’, dan (3) darat. Contohnya, hal ini terkait erat dengan aspek-aspek kehidupan mereka, yaitu bahwa laut berasosiasi dengan sampan sebagai alat produksi dan sumber kehidupan, kategori kedua berkaitan dengan ‘rumah apung’ sebagai tempat berlabuh, tempat berpulang dan bertemu keluarga, dan darat merupakan sumber kehidupan non-laut. Dengan demikian, Orang Laut tidak benar-benar mendarat.

Mereka masih tetap tinggal di atas air, meski lokasi permukiman mereka berada di tepi pantai. Oleh karena itu, rumah-rumah mereka bangun yang disokong oleh tiang-tiang kayu setinggi batas air laut ketika pasang.

Catatan dalam etnografi Chou (2003:39-40) menunjukkan mengapa Orang Laut tidak dapat tinggal di darat, di atas tanah,

“Midway through the first stretch of my fieldwork in 1992, Ross, an Orang Laut woman of Pulau Nanga, fell gravely ill. One of the reasons given for her illness was that her house was built on land, rather than over the sea. Although there were a few Malays who had built their houses over the sea, their reasons for siting their houses there differed from those of the Orang Laut. One of the reasons given by my Malay informants was that the coast was too congested and that they were forced to move out over the sea. Sopher (1977:1) has described a line that demarcates the strand and the sea as ‘zone of transition.’ He mentions how this zone of transition is ‘very often characterized by its own special land forms and life forms.’ Similarly, this line is perceived as a zone of cultural and ethnic transition for the Malays in Riau.

The Malays were insistent that if the intention was to draw the Orang Laut into a progressive lifestyle, the latter should be made to construct their houses on land rather than over the sea. Also, the Malays believed that their success in getting the Orang Laut to build their houses on land could be correlated with a greater chance of Islamizing them. Not surprisingly then, the Malays felt that they were losing control and authority over those who persisted in choosing a nomadic sea- based lifestyle. On the other hand, the Orang Laut saw the matter very different- ly. They regarded houses on land as ‘dirty.’ They explained that this was because their graves are also on land. They believed that water from the graves would seep into the ground under their houses when it rained. Furthermore, people defecate and urinate on the open land. When Ross recovered, her family tore apart their house and rebuilt it over the sea. This triggered off a slow but steady exodus of all land-based houses to the sea. The move was initially unnoticeable until most of the houses were rebuilt over the sea. It was only then that the Malays on surrounding islands began to comment that this clearly indicated that the Orang Laut could not survive on land and were reverting to their former lifestyle. [ … ] The Orang Laut claimed that in relocating their houses back to the sea, they had in fact obeyed all initial instructions. They believed that it was time to move as it was beyond their control that people were falling ill.”

Dari deskripsi di atas, kita kemudian dapat mengidentifikasi dalam klasifikasi sederhana beberapa pandangan Orang Bertam dan realitas yang mereka alami tentang teritori dalam Tabel 4.1. di bawah.

Tabel 4.1. Klasifikasi Makna Teritori dalam Pandangan Orang Bertam

(Zona Antara)

Aspek-Aspek

Unsur (Alam) Fisik

Tanah Binatang

Air

Air & Pasir

Segala jenis

Ikan, kepiting, udang,

Non-ikan (burung,

ikan

penyu, katak, dsb.

anjing, penaduk, babi,

ayam, dsb.) Pandangan

Tumbuhan darat tentang

Tumbuhan Tumbuhan laut

Tumbuhan laut – darat

(kelapa, ubi, sagu, makhluk hidup

(rumput laut,

(bakau, dsb.)

terumbu

kayu seraya, dsb.)

karang, dsb.)

Laki-laki – Perempuan Wilayah mata pencaharian

Laki-laki – Perempuan (ekonomi) Komposisi sosial

Laki-laki

Laki-laki – Perempuan

Kerabat OSL

Kerabat OSL, non-

Non-kerabat non-OSL

kerabat OSL, & non- kerabat non-OSL

Pemimpin kelompok

Ketua RT Tempat tinggal

Batin

Batin - Ketua RT

Rumah Pendangan tentang

Sampan

Rumah-Apung

Sakit kesehatan Pandangan tentang bersih –

Sehat

Sehat

Kotor kotor Pandangan tentang tempat

Bersih

Bersih

Mati tinggal

Hidup

Hidup

(Kuburan) Religiositas

Islam dan Kristiani Pandangan tentang makhluk

Dinamisme

Sinkretisme

Baik –jahat halus

Baik – jahat

Selain itu, tabel tersebut juga menunjukkan bahwa wilayah pantai merupakan kategori ketiga sebagaimana disebut Sopher di atas sebagai wilayah peralihan, “zone of transition” atau saya menyebutnya wilayah antara. Artinya, di wilayah inilah Orang Laut mengalami tarik-menarik, kontradiksi-kontradiksi, antara pola kehidupan laut dengan pola kehidupan darat yang tecermin dalam realitas sosialnya (lihat Ahimsa-Putra 2006).

A.2. Sampan dan Rumah Sebagai Lambang Kemakmuran

Sampan. Dalam konteks Orang Laut di masa lalu, “the boat is both the production site and living space for the Orang Laut” (Chou 2010:92). Oleh sebab Sampan. Dalam konteks Orang Laut di masa lalu, “the boat is both the production site and living space for the Orang Laut” (Chou 2010:92). Oleh sebab

Dahulu, ketika musim angin Utara tiba di mana angin berhembus kencang dari Laut Cina Selatan dan ombak begitu kuat di laut, Orang Laut akan berlabuh di darat dalam waktu kurang lebih tiga bulan. Dalam masa ini, mereka meman- faatkannya untuk mencari kayu resak, seraya, kapus (kamper), atau meranti untuk membuat atau memperbaiki sampan. Sampan yang dipakai selama tiga sampai empat bulan terus-menerus perlu dinaikkan ke darat untuk dijemur dan ditambal pada bagian yang bocor. Ukuran kayu yang mereka ambil kira-kira ber- diameter tiga pemeluk (sekitar 1,5 m – 2 m). Kayu ini bermanfaat untuk sampan jongkong atau sampan kolek yang panjangnya 18 – 24 kaki atau sekitar 7,5 m, dengan lebar kurang lebih satu depa (1,8 m). Sampan kolek berukuran lebih kecil dari sampan jongkong, dan dibuat tanpa atap untuk digunakan dalam perairan melintasi hutan bakau (Sembiring 1993:333, 339).

Sampan-sampan tersebut dibuat dengan cara mengeruk bagian tengah kayu. Sebelumnya, kulit kayu dikupas terlebih dulu dan salah satu sisi kayu ditatah hingga rata. Pada bagian dalam dibentuk sesuai dengan ukuran yang dikehen- daki. Tahap berikutnya ialah membentuk bagian haluan, lambung, dan buritan. Penyelesaian dari seluruh pekerjaan membuat sampan ialah pembuatan dayung

dan pemasangan atap kajang agar sampan siap dipakai melaut kala musim angin Utara telah bergeser ke musim angin Timur. Sampan dilengkapi dengan lantai dan tempat memasak. Di bagian dalam sampan, lantai dibuat bertingkat dua: lantai bawah atau bagian cekung difungsikan sebagai tempat barang dan perbekalan, sedang lantai atas atau permukaan yang datar ialah ruang di mana keluarga batih berkumpul, makan, dan tidur. Tempat memasak disediakan di bagian dekat buritan sampan yang dibuat dengan menambah lantai khusus, yang diberi tanah liat yang diratakan dan di atasnya disusun batu untuk tungku (Sembiring 1993:339). Ketika mereka mengembara, terdapat beberapa jenis sampan dengan fungsi spesifik. Penelitian Sembiring (1993) di Pulau Bintan dan Kepulauan Daik–Lingga, menunjukkan sampan yang ditemui jenis jongkong dan sampan kolek. Keduanya memiliki perbedaan fungsi, jika sampan kolek dipakai untuk menyusuri sungai hutan bakau dan tidak memerlukan atap, sampan jong- kong memiliki kajang (atap) yang berguna sebagai tempat tinggal dan melakukan pengembaraan laut.

Sampan-Melayu, atau anak sampan. Berukuran kecil dan memakai pasak kayu.

Sampan Merena. Berukuran besar, biasanya berkajang, dan memakai pasak besi (paku).

Sampan Apolo. Memakai pasak besi (paku), bisa digunakan berjalan di atas lumpur.

Sampan Pokcai. Memakai pasak besi (paku), biasanya untuk memuat kayu bakar / bakau.

Gambar 4.1. Jenis-jenis Sampan dan Alat Kayuh Orang Suku Laut (1)

Sampan Belodok.

Sampan Kolek.

Jongkong kecil.

Pengayo atau Penyampang untuk Jongkong

Perayoh. Terbuat dari satu kayu utuh, bukan sambungan dari dua papan kayu.

Ciau. Terbuat dari dua kayu yang disambung menjadi satu.

Gambar 4.1. Jenis-jenis Sampan dan Alat Kayuh Orang Suku Laut (2)

Sumber: Chou (2010:93)

Dalam satu kesempatan berbincang dengan Mo, dan saat itu saya menunjuk- kan sketsa sampan-sampan yang digambar oleh Chou dalam bukunya (lihat Gambar 4.1.), Mo mengkonfirmasi bahwa kendati sama-sama Suku Laut kadang kala bentuk, bahan, dan penamaannya berbeda. Dalam Gambar 4.1., sampan apolo dengan pasak paku besi hari ini banyak disebut sebagai lepet (baca: lepét) yang berguna saat mereka bepergian dalam jarak yang tidak terlalu jauh. Selain itu, karena bagian bawah sampan lepet rata, ia bisa meluncur atau mudah didorong ketika melewati lumpur (biasanya di sungai rawa atau pantai yang sedang surut airnya).

Informasi lainnya berkenaan dengan sejumlah sketsa di atas, bahwa jenis sampan kolek menurut Mo banyak digunakan oleh Orang Laut di kawasan Tanjung Batu, Pulau Kundur (area Provinsi Kepulauan Riau paling barat dan berbatasan langsung dengan Provinsi Riau), dan juga Orang Laut di Malaysia. Sedangkan sampan berkajang yang dipakai untuk hidup mengembara di laut adalah sampan merena (Gambar 4.1.). Sampan ini relatif besar dan sanggup memuat satu keluarga batih, sedangkan sampan pengembara yang lebih kecil adalah sampan jongkong dan sampan melayu (anak sampan). Di Bertam, jenis- jenis sampan tradisional yang masih tersisa dan banyak digunakan ialah sampan belodok dan sampan apolo atau lepet. Keduanya sama-sama tidak berkajang, dan dipakai sebagai alat transportasi dan alat produksi.

Sebelum ada mesin, mereka menggunakan dayung dan layar untuk meng- gerakkan sampannya. Dayung yang dibuat dari kayu seraya ini mereka sebut ciau dan perayoh di mana keduanya memiliki perbedaan mendasar. Ciau dibuat dalam dua kayu terpisah antara bagian gagang dan bagian pipih dayungnya. Secara fisik, ciau memang lebih panjang dari perayoh, sedangkan perayoh dibuat langsung dari satu kayu utuh. Selama di Bertam, saya mengamati bahwa sudah sangat jarang Orang Bertam yang memakai perayoh, kecuali anak-anak yang menggunakan sampan kecil dan tidak membutuhkan dayung panjang, karena menurut beberapa informan sekarang tidak mudah mencari kayu utuh lagi panjang. Kalaupun kayu seraya tersedia, biasanya kayu ini ada di hutan yang “sudah dimiliki” orang lain sehingga mereka tidak dapat sesuka hati mene- bang pohon untuk membuat perayoh.

Di Bertam dan sebagian besar kepulauan lain di Kepri, selain sejumlah jenis sampan itu terdapat jenis perahu lain yang juga terbuat dari kayu: yaitu pancung

dan pompong. Pompong umumnya hanya berfungsi sebagai alat transportasi atau sebagai angkutan umum di laut oleh para penambang—istilah bagi para penyedia jasa transportasi umum, untuk mengantar sejumlah orang dari pelabuh- an X di Batam ke pulau Y. Pompong juga biasa dipakai oleh nelayan yang menawarkan jasa mengantar wisatawan memancing. Oleh karena fungsinya, laju pompong tidak terlalu kencang dan pemakaian bahan bakarnya juga termasuk irit. Beda dengan pancung, selain sebagai alat transportasi yang dipakai para nelayan mencari ikan di lokasi yang relatif jauh dari rumah mereka. Pancung dipakai oleh mereka yang berprofesi sebagai nelayan ikan bilis, karena kemam- puannya mengangkut muatan hingga 2 ton. Selain itu, di beberapa waktu lalu Orang Bertam dan Orang Laut dari beberapa pulau lain menggunakan pancung untuk kerja selam besi bekas di kawasan industri galangan kapal di Tanjung Uncang, Batam.

Lebih dari dua dekade sejak Orang Bertam meninggalkan hidup mengem- bara, sampan berkajang sudah tidak lagi ada kecuali monumen sampan yang dibuat oleh pemerintah di salah sisi di bukit Pulau Bertam. Namun, ingatan mereka tentang kehidupan mengembara di laut masih sangat kuat. Mo dan Mak Mo merupakan sepasang suami-isteri dari sebagian Orang Bertam yang menga- lami hidup di laut dengan sampan. Mereka mengisahkan dengan detil fungsi- fungsi sampan pada saya. Menurut mereka, sampan besar beragam ukurannya, dan yang paling besar sepanjang 10 meter dengan lebar rata-rata satu setengah meter (cf. Nimmo 1972). Ruang dalam sampan dibagi ke dalam tiga bagian: bagian depan untuk menaruh obor dan bekerja laut (menombak ikan, penyu, dan sebagainya), bagian tengah untuk keluarga (makan bersama, tidur, dan sebagai- nya), dan bagian belakang untuk menyimpan cadangan makanan (hasil laut), air, Lebih dari dua dekade sejak Orang Bertam meninggalkan hidup mengem- bara, sampan berkajang sudah tidak lagi ada kecuali monumen sampan yang dibuat oleh pemerintah di salah sisi di bukit Pulau Bertam. Namun, ingatan mereka tentang kehidupan mengembara di laut masih sangat kuat. Mo dan Mak Mo merupakan sepasang suami-isteri dari sebagian Orang Bertam yang menga- lami hidup di laut dengan sampan. Mereka mengisahkan dengan detil fungsi- fungsi sampan pada saya. Menurut mereka, sampan besar beragam ukurannya, dan yang paling besar sepanjang 10 meter dengan lebar rata-rata satu setengah meter (cf. Nimmo 1972). Ruang dalam sampan dibagi ke dalam tiga bagian: bagian depan untuk menaruh obor dan bekerja laut (menombak ikan, penyu, dan sebagainya), bagian tengah untuk keluarga (makan bersama, tidur, dan sebagai- nya), dan bagian belakang untuk menyimpan cadangan makanan (hasil laut), air,

Orang Laut juga mengaitkan sampan dengan ritual tertentu (lihat Chou 2003). Mo mengatakan terutama ketika mereka berkomunikasi dengan hantu laut atau mambang laut sebagai cara memperoleh bantuan dalam mencari ikan di laut. Saat ini, menurut beberapa informan, para nelayan kadangkala masih mem- praktikkan ritual tersebut agar mendapat ikan dalam jumlah banyak, terlebih dalam persaingan antarnelayan. Namun, mereka tidak seterbuka dulu dalam mengungkapkan cara-cara semacam itu. Hal ini karena pengaruh ajaran Islam yang menganggap mengundang hantu atau mambang laut untuk mendukung pekerjaan dianggap sebuah penyimpangan dari nilai Islam. Mo, yang juga seo- rang dukun, mengatakan kepada saya bahwa ia bisa saja ketika melaut memberi pepakan (sesaji) kepada para mambang laut agar dibantu dalam mendapatkan ikan. Namun, Mo lebih memilih berserah kepada Tuhan, sebab ia mengatakan bahwa rejeki sudah ada yang mengatur selama kita melakukan pekerjaan deng- an sebaik-baiknya.

Lebih lanjut, Tabel 4.2. di bawah merupakan gambaran umum stratifikasi sosial dari seluruh Orang Bertam jika diukur dari jumlah kepemilikan perahu dan Lebih lanjut, Tabel 4.2. di bawah merupakan gambaran umum stratifikasi sosial dari seluruh Orang Bertam jika diukur dari jumlah kepemilikan perahu dan

Tabel 4.2. Kepemilikan Perahu & Mesin Sebagai Alat Produksi dan Transportasi Strata

Indikasi Kepemilikan Alat Produksi dan Transportasi Jumlah

(Perahu dan Mesin)

(KK)

• Memiliki lebih dari satu pancung atau

6 • Memiliki satu pancung atau satu speed boat fiber dan

Kelas Atas beberapa sampan jenis lepet atau belodok, dan (Rich)

• Memiliki mesin Yamaha 15 pk lebih dari satu atau memiliki

mesin Yamaha 15 pk dan jenis mesin lainnya. • Memiliki satu pancung, atau

7 • Memiliki satu perahu pompong, atau

Kelas Menengah • Memiliki lebih dari satu sampan lepet atau belodok atau (Average)

kombinasi, dan • Memiliki satu mesin jenis Yamaha 15 pk atau satu mesin

ketinting. • Hanya memiliki satu sampan lepet atau

22 • Hanya memiliki satu sampan belodok, dan

Kelas Bawah

• Memiliki satu mesin ketinting tetapi sebagian tidak memakai

(Poor) mesin karena rusak atau tidak mampu membeli bahan bakar minyak.

Di tengah perbincangan itu, Seran tiba-tiba mengatakan bahwa dia berenca- na membeli pancung baru seharga 6 juta rupiah yang belum dipoles (dicat). Dengan rokok mengepul di mulut, kaos dilinting setinggi dada sehingga perut buncitnya tampak, ia berkata, “Tak boleh itu Dir pancung 12 juta rupiah (sambil menunjuk pancung lawasnya yang mengapung di samping rumah). Dulu Bapak beli itu 8 juta rupiah. Itu payah betul (untuk sampai bisa membeli pancung se- Di tengah perbincangan itu, Seran tiba-tiba mengatakan bahwa dia berenca- na membeli pancung baru seharga 6 juta rupiah yang belum dipoles (dicat). Dengan rokok mengepul di mulut, kaos dilinting setinggi dada sehingga perut buncitnya tampak, ia berkata, “Tak boleh itu Dir pancung 12 juta rupiah (sambil menunjuk pancung lawasnya yang mengapung di samping rumah). Dulu Bapak beli itu 8 juta rupiah. Itu payah betul (untuk sampai bisa membeli pancung se-

Selain itu, sebagian besar dari perahu-perahu mereka kini bermesin. Dari informasi Tabel 4.2. di atas boleh dikatakan bahwa seluruh mesin ketinting— semacam mesin bubut rumput, merupakan sumbangan dari Dinas Kehutanan, Pertanian dan Perikanan (KP2) Kota Batam dan sebagian bantuan dari provinsi. Sedangkan untuk mesin merk Yamaha 15 pk ialah hasil pembelian dari kantong masing-masing nelayan, baik yang membeli baru seharga hampir dua puluh juta rupiah, maupun yang membeli bekas seharga sekitar lima sampai sepuluh juta rupiah. Semua mesin berbahan bakar bensin yang dicampur dengan oli mesin (mereka menyebut kastrol, diambil dari satu merk pelumas Castrol). Setelah ke- naikan harga BBM bersubsidi beberapa waktu lalu, beberapa Orang Bertam kini tidak memakai mesin ketika melaut. Hal ini dikarenakan: (1) mesin benar-benar rusak, dan manakala mesin rusak mereka tidak memiliki biaya untuk memer- baikinya di bengkel yang ada di Lingka, pulau di seberang Barat Bertam ataupun ke bengkel yang bagus di Pulau Belakang Padang. Berbeda dengan Seran atau Mo yang termasuk nelayan kaya, mereka sanggup membawa mesinnya ke salah satu bengkel terbaik. (2) Mesin tidak rusak atau dalam kondisi dapat dipakai tetapi mereka tidak memiliki cukup uang untuk membeli bahan bakar (lihat uraian BLSM di Bab III). Dengan demikian, hal ini membuat sebagian dari mereka kembali menggunakan ciau (kayuh atau dayung) bagi yang memakai sampan belodok, dan perayoh untuk sampan apolonya.

Tentang Rumah. Di masa lalu, Orang Laut hanya mengistirahatkan sampan mereka dan menetap sementara waktu di darat ketika musim angin Utara tiba.

Mereka membangun sapao (gubuk) di pulau tempat mereka singgah dan akan meninggalkan sapao tersebut kala musim itu berakhir (Sembiring 1993:330). Oleh karena itu, telah sedikit disinggung pada Bab II mengapa peralihan dari hidup di laut ke darat tidak semudah yang dibayangkan pemerintah. Masalah dari sisi pemerintah adalah ketika beberapa keluarga Orang Laut tetap melakukan aktivitas pengembaraan dan tinggal di laut dengan sampan selama berhari-hari bahkan sampai beberapa bulan daripada menetap di permukiman yang disedia- kan pemerintah sehingga ketika itu rumah-rumah mereka kerap kosong (Chou 2003:19; Lenhart 1997). Untuk sebagian Orang Laut yang lain, mereka dengan sukarela mengikuti anjuran pemerintah bermukim dan meninggalkan kebiasaan hidup mengelana di laut (Colchester 1986; Lenhart 1997), dan Orang Bertam adalah satu contoh kelompok Orang Laut yang sukarela bermukim dan beralih menjadi “orang pulau”.

Mengenai konsep rumah, telah banyak ahli antropologi yang membahasnya, dan antropologi mengenai ‘rumah’ salah satunya berangkat dari pemikiran ulang mengenai kajian-kajian kekerabatan, yang memfokus pada keterkaitan antara rumah dengan ciri khas arsitektural tertentu dan manusianya sebagai kreator dan penghuni (Thomas 2010:356). Philip Thomas (2010:354) membedakan rumah menjadi dua hal, “the house as built environment with the ‘house’ as a category and idea central to the conceptualization and practice of social relations.” Dari definisi ini, konsepsi mengenai rumah dapat diletakkan dalam konteks sosial, ekonomi, dan kultural yang berbeda-beda, yaitu (1) rumah sebagai bangunan (fisik) dan (2) ‘rumah’ yang berasosiasi dengan konseptualisasi (ide) dan praktik dari relasi sosial tertentu (perilaku). Dalam uraian di bagian selanjutnya, saya menjelaskan bahwa organisasi sosial Orang Laut memiliki ciri khas: satu rumah

tangga (household) adalah juga satu keluarga batih (nuclear family), dan rumah tangga ini berada dalam lingkup satu sampan. Artinya, sampan adalah rumah sekaligus basis fundamental sosial dan kebudayaan mereka. Selain itu, sampan merepresentasikan hubungan sosial mereka yang berkenaan dengan aktivitas ekonomi dan kosmologi kelautannya (Chou 2010; Lenhart 2004). Oleh sebab itu, ketika mereka didorong pemerintah bermukim di permukiman rumah darat dan meninggalkan sampan mereka sebagai tempat tinggal, dalam arti tertentu hal ini mau tidak mau juga akan mengubah pola relasi dalam organisasi sosial mereka sekaligus persepsi Orang Laut mengenai “rumah” itu sendiri. Dengan demikian, kepemilikan rumah melambangkan proses peralihan identitas Orang Laut dari sampan ke rumah.

Dengan memiliki rumah, Orang Bertam hari ini tidak lagi hidup dalam lingkup keluarga batihnya saja, melainkan kelompok itu dapat meluas walaupun hanya terbatas pada kerabat dekatnya. Atau, meluas dengan hadirnya orang asing (non-kerabat non-Orang Laut) di rumahnya (lihat urian Organisasi Sosial di bawah). Oleh karena itu, organisasi sosial Orang Bertam yang mulanya berbasis sampan beralih menjadi, dalam konsepsi Lévi-Strauss, ‘house-based societies’ (sociétés á maison) (Carsten 1991:426; Thomas 2010:355). Sama seperti ketika di laut, menjadi orang pulau memiliki konsekuensi harus memiliki rumah, yang analog dengan konsepsi sampan sebagai tempat tinggal. Transformasi hidup di sampan ke rumah ini ditandai dengan tidak mendirikannya rumah-rumah mereka di atas “tanah” atau lokasi yang benar-benar darat, misalnya tepi pantai atau bukit. Melainkan, mereka cenderung membangun rumah di muka pantai, yang merupakan kategori ruang bukan daratan dan juga bukan lautan, yaitu "ruang antara” (lihat Tabel 4.1.).

Dari pengamatan saya di sejumlah pulau di sekitar Pulau Bertam, mereka sebisa mungkin membangun rumah di darat (pandangan mereka tentang “darat” adalah “mendekat ke darat”, bukan berada di atas tanah) dengan muka rumah (pintu depan) selalu menghadap ke lautan. Serupa dengan deskripsi etnografi Chou, ketika Orang Bertam membangun rumah, minimal rumah memiliki dua pintu: pintu pertama menghadap ke laut, agar dengan mudah mereka pergi melaut dan memarkir perahu-perahunya ketika pulang, sekaligus berfungsi sebagai jalan masuk bagi tamu yang mendatangi mereka. Kemudian, pintu kedua ialah pintu yang menghadap ke pelantar, jalan kampung yang meng- hubungkan satu rumah dengan rumah lainnya dan terbuat dari papan-papan kayu yang disusun berseri dengan lebar bervariasi (cf. Chou 2010:30-31). Agak berlainan dengan rumah yang masih berada di sepanjang pelantar lama konstruksi pemerintah yang menghubungkan daratan dengan pelabuhan (lihat Gambar 4.2). Rumah-rumah di sepanjang pelantar ini menghadap arah jalan pelabuhan, bukan ke laut. Menariknya, pintu-pintu rumah mereka (“depan” dan “belakang”) hampir tidak pernah ditutup atau dibiarkan terbuka selama ada orang di situ. Oleh karenanya, di antara mereka bisa dengan mudah keluar-masuk rumah orang lain dan juga siapapun dapat mampir ke rumah dengan pintu ter- buka. Terkecuali bila penghuni rumah sedang bepergian, maka pintu rumah akan ditutup dan dikunci.

Hampir semua rumah Orang Bertam merupakan bantuan pemerintah, sebab itu rata-rata rumah Orang Bertam berukuran 5 m x 6 m dengan bentuk seder- hana bahkan beberapa tanpa sekat kamar tidur. Orang Bertam yang tinggal di rumah seperti ini, umumnya membagi rumah di dalamnya dua sampai tiga ruang: ruang tamu/ ruang berkumpul, ruang tidur, dan dapur. Selain keluarga dengan Hampir semua rumah Orang Bertam merupakan bantuan pemerintah, sebab itu rata-rata rumah Orang Bertam berukuran 5 m x 6 m dengan bentuk seder- hana bahkan beberapa tanpa sekat kamar tidur. Orang Bertam yang tinggal di rumah seperti ini, umumnya membagi rumah di dalamnya dua sampai tiga ruang: ruang tamu/ ruang berkumpul, ruang tidur, dan dapur. Selain keluarga dengan

Dalam kasus lima keluarga tersebut, secara fungsional rumah tidak hanya mensubstitusi fungsi sampan sebagai tempat tinggal keluarga batih, melainkan lebih sebagai lambang tingkat kemakmuran tertentu bagi Orang Bertam. Sebagai contoh, Mo sebagai Ketua RT memiliki tiga rumah, satu di antaranya dibangun dengan biaya sendiri dan dua rumah lain dibangun atas perpaduan antara biaya sendiri dan bantuan pemerintah. Satu rumah dihuni oleh ibu mertuanya (Yati isteri Mano almarhum, Ketua RT sebelumnya), satu rumah untuk anak pertama dan suami, satu lagi rumah yang ia tinggali bersama isteri dan anak bungsunya. Ketiganya menghadap laut, artinya berada di sisi depan permukiman kampung. Lain halnya dengan Seran yang memiliki satu rumah, tetapi relatif luas dengan tiga kamar di dalamnya ditambah satu ruang untuk warung. Kemampuan eko- nominya membuat rumahnya paling mencolok dibanding rumah yang lain, sebab ia membuat teras rumah dengan agak luas dengan beberapa kursi malas di sana dan menghiasinya dengan belasan tanaman hias dalam pot-pot plastik yang disusun berjajar mengikuti alur pagar rumah. Selain bentuk, letak rumah me- mengaruhi penanda kelas sosial di Bertam. Mo dan Seran ini merupakan dua dari sepuluh KK di Bertam yang memiliki rumah menghadap ke muka laut tanpa terhalang oleh rumah orang lain (lihat denah kampung, Gambar 4.3.).

Perlengkapan atau perabot yang dimiliki pada setiap rumah tangga juga bisa dimaknai sebagai petanda status sosial Orang Bertam. Oleh karena Bertam belum dialiri listrik oleh PLN, rumah dengan generator set (genset) menyiratkan

strata sosial tertentu. Dari 37 KK di Bertam, hanya delapan keluarga yang memiliki genset: tiga keluarga memiliki genset berukuran besar dan lima yang lain dengan genset kecil. Daya listrik mesin genset besar mampu mengaliri lebih dari tiga rumah, sedangkan yang kecil maksimal dipakai untuk dua rumah. Di kampung Bertam, terdapat dua puluh tiga rumah penduduk yang beraliran listrik, sedangkan tiga belas rumah lainnya tidak atau belum dialiri listrik sehingga malam hari mereka masih menggunakan lampu minyak. Genset dihidupkan saat petang, atau ketika mereka sedang memerlukan listrik untuk pekerjaan di siang hari, seperti bertukang. Selain itu, beberapa keluarga menyalakan listrik di siang hari untuk memutar video CD di televisi mereka. Biasanya, mereka memutar video CD dangdut atau menyetel musik dangdut dengan volume suara yang kencang. Bagi yang rumahnya tidak beraliran listrik, mereka memanfaatkan untuk menumpang mengisi baterai telepon selular (ponsel) di rumah beraliran listrik. Bagi yang menyambung listrik, dalam setiap minggunya wajib membayar iuran minyak solar ke pemilik genset sekitar Rp10.000,- sampai Rp20.000,-. Besaran iuran ditentukan oleh pemilik genset, yang ia hitung dengan perkiraan saja. Tidak ada hitungan pasti untuk uang pengganti sedikit-banyaknya pemakai- an minyak solar sebagai bahan bakar genset tersebut. Mereka yang berkewajib- an membayar hampir tidak pernah memprotes besaran tagihan yang ditetapkan oleh pemilik genset.

Dari rumah berlistrik, dapat kita lihat bahwa sebagian besar konsumsi listrik mereka untuk penerangan rumah. Selain itu, sebagian dari rumah yang berlistrik, biasanya mereka memiliki televisi, radio, pemutar CD. Perangkat hiburan ini satu paket, sebab mereka gemar mendendangkan lagu pop Melayu atau dangdut, baik secara visual maupun audio. Mereka juga sangat suka menonton film video

CD, yang salah satu film favorit mereka adalah film-film lawak populer Malaysia yang diaktori oleh P. Ramlee—bintang film Malaysia awal abad ke-20 yang oleh beberapa pengamat perfilman Asia Tenggara disebut sebagai Benyamin Sueb- nya Negeri Jiran. Film ini diputar berulang-kali tanpa ada perasaan bosan dari mereka. Satu-dua Orang Bertam memiliki laptop tetapi hampir tidak pernah digu- nakan, dan hampir semua orang dewasa dan remaja memiliki ponsel bermerk Tiongkok. Keluarga yang tidak memiliki televisi, cenderung memiliki ponsel yang berfungsi menyaksikan acara televisi atau pemutar musik dan radio. Kadang- kadang, lewat ponsel mereka menyaksikan pertandingan sepak bola di malam hari setelah pukul dua belas malam ketika genset sudah mulai dimatikan.

Bagi mereka yang rumahnya tidak berlistrik, dan yang tidak pergi melaut, mereka menghabiskan malam hari dengan berbincang, bertukar pikiran, dan ber- gosip dengan siapa saja di teras rumah atau bertandang ke rumah orang lain yang sedang menyalakan televisi atau video CD. Ini berlaku untuk laki-laki dan perempuan. Persoalan bertandang ini satu hal yang menarik, sebab menunjuk- kan bahwa interaksi mereka tidak eksklusif atau relatif terbuka. Misalnya, sese- orang melewati rumah si X dan ia melihat ada beberapa orang yang sedang berkumpul dan bercakap-cakap di situ, maka dia dapat langsung bergabung dalam kelompok itu untuk berbincang-bincang apa saja atau mengikuti topik yang sedang dibicarakan d situ. Kemudian, ia dapat pergi bergabung (kalau ada) dengan kumpulan orang di rumah yang lain meskipun orang-orang yang berkum- pul di rumah yang ia singgahi pertama kali belum bubar.

Dari uraian mengenai perahu dan sampan, mesin perahu, rumah, genset, dan perabot rumah tangga di atas kita dapat mencocokkan dengan Tabel 4.3. di bawah, yang saya susun berdasar pandangan beberapa informan yang saya wa-

Tabel 4.3. Tingkatan Kesejahteraan (Wealth Rank) Orang Bertam

Indikator

Jumlah Strata

Usaha, Alat Produksi, & Hal Lainnya Keluarga Ekonomi

Rumah, Mesin Genset, & Tanah

Sampan & Mesin

- Rumah dibangun atas bantuan pemerintah,

5 KK tetapi mereka merenovasi dengan uang sendiri,

- Memiliki lebih dari satu

- Memiliki warung (besar)

pancung atau memiliki

- Memiliki kios minyak

- Bentuk dan luas rumah berbeda dari rumah lain

pancung dan sampan

- Memiliki kios penimbang dan penampung ikan

Kelas Atas

yang berukuran 5 m x 6 m (standar rumah layak

apolo / lepet

- Memiliki dapur memasak ikan bilis

(Rich)

- Memiliki kolam ikan di laut (kelong / keramba) - Letak rumah langsung menghadap laut, atau

huni bantuan pemerinah)

- Memiliki mesin Yamaha

bertenaga 15 pk.

- Berprofesi sebagai dukun

berada di paling depan permukiman - Memiliki kemampuan membeli air bersih, tanpa perlu - Memiliki mesin genset besar

mengambil di sumur umum.

- Memiliki sertifikat kepemilikan tanah di Pulau - Memiliki peralatan melaut paling komplit, atau hampir Bertam berkisar 1000 m 2 semua jenis alat penangkap dan memancing ikan - Rumah dibangun atas bantuan pemerintah

- Memiliki satu pancung,

- Memiliki warung (kecil)

- Sebagian mempunyai genset kecil, sedang yang

atau pompong, atau satu –

- Selain nelayan, beberapa dari mereka berprofesi sebagai 6 KK

Kelas

lain menumpang pada genset besar.

dua sampan apolo atau

tukang, buruh pabrik atau guru.

Menengah

- Tidak memiliki sertifikat tanah di Pulau Bertam

belodok

- Air bersih kadang beli, tetapi mereka tergantung pada

(Average)

- Relatif sering memakai

sumur umum.

mesin sampan sebab

- Memiliki beberapa peralatan melaut tergantung pada jenis

memiliki kemampuan

ikan yang dicari.

dalam membeli bahan bakar

- Rumah dibangun atas dasar bantuan

- Hanya menggantungkan hidupnya pada hasil laut atau pemerintah atau bahkan tidak memiliki rumah

- Hanya memiliki satu jenis

sampan (kebanyakan jenis

sebagai pembantu tukang jika ada pekerjaan.

Kelas

sama sekali

apolo / lepet)

- Air bersih sangat tergantung pada sumur umum di dua titik 26 KK

Bawah

- Tidak memiliki genset dan tidak ikut

- Tidak memiliki mesin, atau

mata air di Bertam dan beberapa pulau lain di sekitar

(Poor)

menyambung listrik ke pemilik genset karena

- Memiliki mesin namun tidak

Bertam

- Kepemilikan peralatan melaut sebagian besar disediakan - Tidak memiliki hak atas tanah di Pulau Bertam

tidak mampu membayar iuran mingguan

mampu membeli bahan

bakar dan memperbaiki

dari bantuan pemerintah, sebab itu mereka mencari ikan

mesin rusak

tergantung pada alat yang mereka terima dari pemerintah. Atau, mereka memakai alat “bekas” nelayan lain.

wancarai dalam waktu berlainan. Tabel ini dihasilkan dengan metode wealth rank survey skala kecil yang dikenalkan oleh Bank Dunia untuk mengidentifikasi, menilai, dan mengklasifikasi pandangan emik soal tingkat kemakmuran pada komunitas tertentu (Mulyasari 2013:13). Penilaian mengenai kemampuan ekono- mi antaranggota komunitas dalam kampung berdasarkan, salah satunya, jumlah kepemilikan aset ekonomi (alat produksi). Selain itu, mengenai label “status sosial” biasanya berdasarkan kemampuan ekonomi secara “permukaan” (dengan beragam indikasi dalam tabel tersebut). Dari hasil survei ini kita dapat melangkah lebih jauh, misalnya mengidentifikasi strata ekonomi kelompok mana yang ter- masuk keluarga menengah atau kaya dan kelompok keluarga mana yang ter- masuk miskin. Saya mengidentifikasi indikasi-indikasi empiris, seperti yang telah ditunjukkan pada beberapa hal dalam tulisan ini: yaitu rumah, kepemilikan sampan dan jenisnya, jenis usaha selain sebagai nelayan, dan sebagainya dengan beberapa modifikasi dari saya sendiri agar lebih tampak mengapa si X disebut “kaya” sedangkan si Y dipandang sedang-sedang saja atau bahkan miskin. Dengan metode ini, penunjukan si kaya, menengah, dan miskin sebetul- nya tidak benar-benar akurat dan tentu saja dalam pandangan tertentu bersifat relatif. Akan tetapi, cara pengelompokkan semacam ini mampu membantu mem- berikan gambaran umum kondisi warga Orang Laut di Bertam.

Lebih lanjut, dari tabel tersebut dalam realitanya juga mencerminkan atau menunjukkan relasi-relasi tertentu yang terbangun di antara mereka. Sebagai contoh, bahwa keluarga-keluarga yang tergolong miskin amat bergantung pada empat keluarga kaya. Selain itu, pada kelima keluarga kaya itulah orang-orang Bertam melabelinya sebagai kelas sosial menengah-atas: Mo sebagai ketua RT, Mahadan sebagai tetua adat Orang Laut, Seran sebagai tauke kecil, dan Juti Lebih lanjut, dari tabel tersebut dalam realitanya juga mencerminkan atau menunjukkan relasi-relasi tertentu yang terbangun di antara mereka. Sebagai contoh, bahwa keluarga-keluarga yang tergolong miskin amat bergantung pada empat keluarga kaya. Selain itu, pada kelima keluarga kaya itulah orang-orang Bertam melabelinya sebagai kelas sosial menengah-atas: Mo sebagai ketua RT, Mahadan sebagai tetua adat Orang Laut, Seran sebagai tauke kecil, dan Juti

Orang Bertam tidak lagi hidup mengembara dan sebagian dari mereka kini berupaya mengakumulasi kekayaan yang hampir tidak pernah mereka lakukan sebelumnya. Jika dulu mereka mengumpulkan atau menyimpan harta-benda, sampan-sampan mereka akan menanggung beban yang lebih berat (Ahimsa- Putra 2011). Maka itu, barangkali ada benarnya ungkapan “dunia Orang Laut selingkar sampan” yang disematkan kepada mereka, karena merepresentasikan kehidupan mereka yang sederhana dan hanya untuk bertahan hidup. Ahimsa- Putra (2011:iii-xiv) mengatakan, “semakin ‘sederhana’ hidup mereka, semakin lincah mereka bergerak di lautan, dan semakin mampu bertahan hidup. Sebaliknya, semakin ‘mewah’, lebih banyak harta, membuat mereka semakin sulit hidup di laut.” Dengan hidup menetap di rumah-rumah dalam kampung, dunia mereka kini tidak hanya “selingkar sampan”.

A.3. Kampung Bertam dan Konfigurasi Baru Permukiman

Dalam bagian terakhir Bab II (lihat mulai halaman 46), saya mendeskripsikan tentang kemunculan kampung Bertam. Di situ, saya dengan jelas menunjukkan bahwa kampung ini dirancang dan diciptakan secara khusus melalui program permukiman (PKMT) untuk menampung beberapa komunitas Orang Suku Laut di Kepulauan Riau yang dikategorikan negara sebagai masyarakat terasing. Tujuan dan alasan pemerintah dalam uraian itu juga sangat jelas, bahwa tidak lain

adalah memberadabkan (to civilized) mereka, agar pola-pola perilaku kelautan mereka sebagian ditinggalkan, terutama pola hidup berpindah-pindah. Di bagian berikutnya, tentang organisasi sosial, akan saya kupas seperti apa kelompok pengembara laut di masa lalu: berapa jumlah kelompok pengembara dan terdiri dari siapa saja di dalamnya. Namun, di sini saya hanya akan memfokuskan pada uraian mengenai kampung Bertam dan pola permukimannya. Pertanyaan muncul ketika saya melihat rancangan awal permukiman Bertam dari informan saya yang menunjukkannya, dan mencoba membandingkannya dengan pengamatan saya atas perkampungan mereka saat ini. Mengapa rancangan awal pemerintah yang tersusun sedemikian rapi kemudian berubah menjadi ‘berantakan’ atau ‘tidak beraturan’ di mata orang awam?

Penghuni Pulau Bertam hanya enam keluarga batih di medio tahun 1980an. Masing-masing keluarga inti tersebut satu sama lain terkait oleh ikatan kelompok keluarga luas. Kelompok pertama dipimpin oleh Mano, yang merupakan salah satu batin (ketua) komunitas Orang Laut di perairan Pulau Boyan sampai Pulau Buluh. Mano kala itu ditunjuk oleh pemerintah dan pihak FKKS sebagai kepala kampung pertama, atau Ketua RT. Setelah rombongan pertama, enam keluarga lain menyusul dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan. Sebagian dari enam keluarga baru yang menghuni ini juga masih ada hubungan kerabat dengan kelompok keluarga luas Mano (Bettarini 1991:85). Dalam rencana pengembang- an permukiman di Bertam yang digarap oleh Fakultas Teknik Sipil dan Perenca- naan, Jurusan Teknik Arsitektur, Institut Teknologi Bandung yang bekerja sama dengan FKKS Batam, rencana rumah yang akan dibangun di Bertam mencapai 100 unit dengan beberapa tahap pembangunan. Meskipun, pada pelaksanaan- nya rencana itu tidak pernah benar-benar terimplementasi (lihat Bab II).

Memasuki tahun 1991, rumah yang dibangun di Bertam hanya bertambah 24 unit (Chou 2010:138). Saat ini, jumlah penduduk di Bertam hampir mencapai 40 rumah atau keluarga. Kita dapat melihat secara permukaan bahwa dari

perbandingan antara Gambar 4.2. dengan 4.3. di bawah menunjukkan kampung Bertam di akhir tahun 1980an ke kampung tahun 2013 terjadi perubahan formasi kampung. Hal ini terjadi seiring dengan pertambahan jumlah penduduk di Bertam dan tidak dapat dimungkiri bertambahnya jumlah penduduk membuat orang memerlukan rumah-rumah baru.

Selain karena alasan pertambahan jumlah penduduk, perubahan pola per- mukiman juga berkenaan dengan pola perkawinan. Menurut Chou (2010:32) adalah hal wajar di kalangan mereka menikah, bercerai, lalu menikah kembali (remarriage). Apabila mereka menikah, mereka akan membangun rumah baru yang bisa ditinggali sementara waktu atau permanen. Hal ini tergantung pada “kenyamanan” mereka, yang biasanya mereka akan merasa nyaman jika tinggal berdekatan dengan kerabat dekatnya. Jika mereka bercerai, maka rumah sangat mungkin ditinggal begitu saja atau dibongkar. Manakala mereka menikah lagi, mereka akan membangun rumah baru di lokasi di mana mereka suka. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila formasi permukiman di Bertam tidak serapi desain yang dirancang pemerintah (lihat Gambar 4.1.).

Sejarah bermukimnya Orang Laut di Bertam menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Bukan soal kegagalan para perencana program membangun 100 rumah hunian, melainkan lebih pada ketidakpahaman pemerintah pada elemen budaya organisasi sosial Orang Laut. Ketidakmengertian pemerintah ini menyebabkan dalam proses memukimkan kelompok Orang Laut di beberapa pulau ternyata justru, “.. members of rival Orang Laut groups have been resettled on the same Sejarah bermukimnya Orang Laut di Bertam menarik untuk didiskusikan lebih jauh. Bukan soal kegagalan para perencana program membangun 100 rumah hunian, melainkan lebih pada ketidakpahaman pemerintah pada elemen budaya organisasi sosial Orang Laut. Ketidakmengertian pemerintah ini menyebabkan dalam proses memukimkan kelompok Orang Laut di beberapa pulau ternyata justru, “.. members of rival Orang Laut groups have been resettled on the same

Dalam Gambar Denah Kampung 4.2. dan 4.3. di bawah kita dapat melihat bahwa hari ini pola pemukiman yang tampak tidak beraturan ternyata memiliki dasar logikanya tersendiri, yang hanya bisa dipahami melalui sistem organisasi sosial mereka. Pemerintah tidak pernah menyadari bahwa ratusan Orang Laut yang tersebar di Kepri “tidak tunggal”, homogen, dan di antara mereka terdapat suatu kelompok-kelompok yang berbeda. Oleh sebab itu, kebijakan pemukiman OSL di akhir 1980an sampai 1990an justru membuat komunitas OSL terjerat ke dalam persoalan-persoalan sosial baru. Mengenai hal ini Chou menjelaskan,

“the structural continuity of the village layout … rest on the development of the families. … As members of the village are kin, they share a deep emotional bonding. They are in contact with one another and live together. … This is not to say that all members get along harmoniously with each other, nor that everyone regards the other with great warmth. What is an unspoken rule in the social organization and relations of the people, though, is a network steeped in obli- gations to help and share. Everyone observes this unspoken rule to show group solidarity.” (Chou 2010:33).

Dari kutipan ini jelas terlihat bahwa terdapat hal pokok dalam organisasi sosial Orang Laut, yaitu hubungan-hubungan dalam jaringan kerabat di antara mereka yang mengekspresikan perilaku pertukaran (exchange) (Chou 2010:33-35).

Sehubungan dengan hal itu, apa yang terjadi di masa lalu tampaknya menguat kembali bahwa lokasi rumah di Bertam menunjukkan kedekatan kerabatnya. Hal ini tampak dari balon-balon berwarna yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Dalam catatan saya, di situ terdapat tiga kelompok kerabat yang berbeda. Pertama, kelompok keluarga dalam balon berwarna coklat adalah kelompok “keluarga rumah belakang”, yaitu rumah Beloh yang dikelilingi oleh rumah anak dan menantunya: Akim dan Thomas. Begitu juga dengan Rahman Sehubungan dengan hal itu, apa yang terjadi di masa lalu tampaknya menguat kembali bahwa lokasi rumah di Bertam menunjukkan kedekatan kerabatnya. Hal ini tampak dari balon-balon berwarna yang ditunjukkan pada Gambar 4.4. Dalam catatan saya, di situ terdapat tiga kelompok kerabat yang berbeda. Pertama, kelompok keluarga dalam balon berwarna coklat adalah kelompok “keluarga rumah belakang”, yaitu rumah Beloh yang dikelilingi oleh rumah anak dan menantunya: Akim dan Thomas. Begitu juga dengan Rahman

Dalam kasus permukiman di Bertam mengenai siapa membangun rumah di mana sebetulnya tidak menjadi persoalan. Namun, suatu kali Mak Mo mendapati laporan dari Adi, adiknya, yang mengatakan bahwa Mahadan, pamannya, akan melaporkan Mo ke Ibu Soedarsono soal penataan rumah di Bertam yang tidak lagi tertata dengan rapi, seperti Bertam di tahun 1980an. Menurut Mahadan, dulu rumah-rumah di Bertam dibangun saling berhadapan sejalur dengan pelantar dari pelabuhan menuju daratan, dan seharusnya kampung Bertam tetap seperti itu. Sama halnya dengan desain yang belum lama ini dibuat sebagai proposal renovasi kampung Bertam yang dibuat serupa dengan tatanan lama. Mahadan merencanakan akan melapor ke Ibu Soedarsono bahwa Mo sebagai Ketua RT tidak mampu mengatur orang-orang hingga menyebabkan ketidakrapian tatanan bangunan rumah-rumah di kampung. Mengenai hal ini, Mak Mo menanggapi demikian,

“kalaupun (Da)tuk Madan benar melaporkan ke Ibu Dar, maka Mak Mo akan jelaskan (bahwa) seperti Taher, Ahu, dan Am memang atas maunya sendiri pindah rumah. Same seperti Tuk Madan yang pindah rumah dari samping pe- lantar ke sisi ujung Barat pulau. Dulu Dir, semasa Juti, Titi, dan beberapa anak Tuk Madan masih kecil memang cukup tinggal satu rumah di situ. Tetapi, ketika mereka dewasa, dan satu demi satu menikah, rumah jadi penuh sesak. (Jadi) perlu rumah lain, dan ini berarti perlu tempat lain untuk dibangun rumah baru. Apa Tuk Madan lupe dengan pengalaman diri dia sendiri?”

Mak Mo mempertanyakan keberatan Mahadan, apakah salah kalau beberapa orang memang ingin pindah dan membuat rumah di tempat lain. Di kampung ini, Mak Mo mempertanyakan keberatan Mahadan, apakah salah kalau beberapa orang memang ingin pindah dan membuat rumah di tempat lain. Di kampung ini,

Persoalan pindah rumah ini menarik, sebab kebanyakan orang lebih memilih tinggal di muka laut dibanding membangun rumah di bibir pantai (darat). Persoal- annya sederhana, jika air kering (surut) lokasi rumah di darat akan sangat jauh dari garis batas air laut. Garis batas ini adalah ujung pelabuhan. Dengan jauhnya rumah dari air laut, maka ketika air surut sampan mereka tidak dapat diparkir berdekatan dengan rumah mereka, melainkan harus diikat di tiang di dekat pela- buhan. Baru setelah air mulai pasang, mereka menuju ke pelabuhan dan mem- bawa sampan mereka masuk ke rumah.

Lain halnya dengan mereka yang memiliki rumah di muka laut, mereka tidak perlu kerepotan memindahkan sampannya. Jika malam tiba, mereka dapat lang- sung beristirahat tanpa perlu memindahkan sampannya seperti ‘orang darat’. Selain itu, mereka yang tinggal di muka laut tak ada keharusan bertegur-sapa dengan orang lain. Berbeda dengan ‘orang darat’, dalam lalu-lintas sampannya di tengah kampung ada semacam keharusan untuk saling bertegur-sapa dengan orang yang mereka lewati rumahnya. Beberapa sentimen atau perseteruan menguat di kalangan orang-orang Bertam karena beberapa hal, dan tak jarang karena urusan sepele dan prasangka tanpa dasar yang jelas (kasak-kusuk, gosip, yang beredar di antara mereka) (lihat juga Chou 2010:34).

Gambar 4.2.

Gambar 4.3.

Gambar 4.4.

Tabel 4.4. Daftar Nama Pemilik dan Nomor Rumah Pada Gambar 4.8. dan 4.9. Nomor Rumah Nama Kepala Keluarga Nomor Rumah Nama Kepala Kelurga

1 Rano

21 Tamel

2 Nenek Yati

22 Nenek Meriah

27 Nenek Alah

10 Hamzah (Am)

34 Rudi Simong

19 Kusnadi (Akim)

20 Mansur

Bilamana semua orang di Pulau Bertam hendak tinggal di tepi laut, maka biaya pembangunan rumah yang ditanggung tidak sedikit. Untuk membangun rumah di tepi laut harus membuat tiang-tiang rumah yang kokoh, pelantar untuk menghubungkan satu rumah ke rumah lain, dan sebagainya. Belum lagi jika bibir pantai itu penuh dengan bakau, maka ia harus membabatnya sampai bersih. Tidak semua Orang Bertam mampu secara finansial menyiapkan material rumah ditambah ongkos untuk tenaga pembantu. Sebagian rumah mereka toh juga dibangun atas bantuan pemerintah (lihat Bab III). Beberapa orang tampak rela menerima lokasi rumah yang sudah ada atau menempel bibir pantai, meskipun tetap punya keinginan untuk membangun rumah di muka laut.

B. PERUBAHAN ORGANISASI SOSIAL ORANG SUKU LAUT DI BERTAM

Semula, puluhan komunitas Orang Suku Laut tersebar di perairan Kepulauan Riau hidup berkelompok (divisi), yang tersusun atas sejumlah unit keluarga batih (sampan-sampan) dan dipimpin oleh seorang ketua (senior dan laki-laki) dalam mengelola jejaring sosial dan organisasi ekonominya (Chou 2010:11; Lenhart 2004; Sopher 1977). Di era pembangunan nasional, karena dianggap sebagai non-state people (Scott 2009) atau “suku terasing”, berbagai divisi kelompok Orang Laut ini lantas diintegrasikan ke dalam ‘kantung-kantung’ permukiman pemerintah agar mereka dapat berakulturasi dengan elemen dari masyarakat Indonesia yang lain (Chou 1997; Lenhart 1997). Sebagai konsekuensi dari dimukimkannya Orang Laut ialah berubahnya beberapa prinsip organisasi sosial mereka. Bagian ini akan mendiskusikan perubahan-perubahan organisasi sosial Orang Laut yang bermukim di Pulau Bertam.

Menurut Raymond Firth (1951 via Nimmo 1972:1-2) organisasi sosial dapat dimengerti sebagai “(the) systematic ordering of social relations by acts of choice and decision”. Pengertian dari Firth ini mengandaikan bahwa individu atau seke- lompok individu dalam tatanan sosial tertentu, sadar atau tidak, akan memilih, memutuskan, dan bertindak sesuai dengan sejumlah prinsip aturan dan nilai (struktur sosial) yang berlaku dalam kelompok tersebut. Aturan-aturan dan nilai- nilai, yang merupakan pandangan ideal dalam suatu masyarakat, salah satunya direpresentasikan dan dipraktikkan melalui organisasi sosial. Akan tetapi, dalam situasi tertentu keputusan atas pilihan-pilihan dan tindakan-tindakan tersebut mungkin saja tidak sesuai dengan aturan-aturan ideal yang berlaku sehingga berefek pada- atau memicu perubahan di tataran struktur sosialnya (Nimmo 1972:91). Oleh karena itu, Nimmo (1972:2) berpendapat, “… when enough mem- bers of a society begin to choose an alternative pattern of behavior, the structure of that society will alter accordingly.”

Dalam konteks subbab ini, organisasi sosial Orang Bertam yang akan saya diskusikan meliputi institusi keluarga, yaitu keluarga batih sebagai unit sosial terkecil Orang Laut, sistem perkawinannya, dan kecenderungan pola penge- lompokkan sosial mereka: yaitu aliansi kekerabatan. Ketiga hal ini terkait erat dengan sistem politik mereka (kepemimpinan) dan corak atau pola permukiman (kampung) di Pulau Bertam (seperti dalam uraian subbab di atas). Dari pola permukiman yang tampak tidak beraturan dan tidak sesuai dengan rancangan permukiman pemerintah, misalnya, dapat dibaca sebagai satu isyarat bahwa pola pikir dan perilaku Orang Bertam di masa lalu sebagai ‘orang sampan’ masih beroperasi hingga hari ini kendati mereka didorong oleh pemerintah untuk ber- laku sebagai ‘orang kampung’ atau ‘orang pulau’ (Chou dan Wee 2002).

B.1. Transformasi Kepemimpinan: Dari Batin ke Ketua RT

Program pemukiman membawa perubahan signifikan dalam elemen organi- sasi sosial Orang Suku Laut yang lain, yaitu aspek kepemimpinan (leadership). Secara empiris, hal ini dapat dilihat dengan membandingkan figur pemimpin keti- ka mereka masih hidup berkelompok mengembara di laut dengan setelah mere- ka bermukim di darat. Di masa lalu, kepemimpinan Orang Laut bersifat ‘informal’, karena institusi politik inheren dengan organisasi sosial yang berbasis kerabatan. Berbeda manakala mereka menetap di darat, kepemimpinan bersifat lebih ‘for- mal’, lantaran kampung terikat pada satu sistem administratif pemerintahan desa (kelurahan) dan pemimpin dapat dipilih secara langsung oleh warga kampung tanpa perlu mempertimbangkan faktor hubungan kekerabatan atau dapat juga berdasarkan atas penunjukan langsung oleh lurah (kepala desa) setempat.

Secara umum, Lenhart (2004:754) menjelaskan bahwa hingga hari ini ciri dari “social structures of Orang Suku Laut society are neither male-oriented nor fema- le-oriented”. Oleh sebab itu, kendali kekuasaan di dalam kelompok mereka relatif tidak bias gender, karena menerapkan prinsip kesejajaran (equality) (Lenhart 2002:298-299, 2004:754). Namun, benar bahwa seorang pemimpin di kalangan mereka selalu laki-laki dan yang paling senior (elderly males) di antara anggota kelompoknya. Selain itu, ia memiliki kemampuan berbicara yang cukup baik vis- à-vis dengan kelompok Orang Laut dan sukubangsa lain maupun pemerintah dibanding anggota lain. Selebihnya, ia biasanya dibekali kemampuan istimewa lainnya, seperti kemampuan pengobatan secara tradisional (bomoh atau dukun) (Sembiring 1993:336-7), meskipun seorang dukun Orang Laut tidak selalu laki- laki (Chou 2003:19-20).

Kendati seorang batin atau kepala kampung selalu laki-laki, hal ini bukan berarti wanita tidak memiliki pengaruh kuat. Para wanita yang dituakan umumnya mempunyai kekuasaan dan pengaruh tertentu serta berfungsi sebagai pemberi nasihat atau pertimbangan-pertimbangan dalam penyelesaian masalah mereka, baik yang di sampan maupun yang di darat (Lenhart 2004:755). Oleh karenanya, kepemimpinan model ini merupakan sesuatu yang ‘informal’, yang dibangun ber- dasarkan pada rasa hormat oleh mereka yang lebih muda. Bagi Orang Laut, para orang tua dipandang memiliki pengetahuan tertentu yang diturunkan dari para pendahulunya, pengalaman, dan kebijaksanaan yang lebih matang untuk me- mertimbangkan dan memutuskan sesuatu (Lenhart 2004:753-4).

Lebih dari itu, pada Orang Laut tidak berlaku pemimpin yang berkuasa dan memayungi seluruh suku bangsa ini di kawasan Kepulauan Riau (superordinate leader), dan tidak pula bagi sejumlah kelompok pengembara dalam skala lebih kecil. Pemimpin Orang Laut hanya berlaku di tataran satu kelompok pengembara laut, biasanya kelompok keluarga luas (kin groups), yang memiliki aktivitas eko- nomi bersama dalam keseharian, dan pada tingkat ini tidak kentara relasi gender yang timpang (asimetris). Dari fakta historis, Lenhart (2004:755) mengatakan bahwa di masa lalu pernah ada the superordinate position yang dipegang oleh laki-laki dan disebut sebagai batin atau penghulu laut, yang mewakili beberapa kelompok pengembara laut dari sejumlah kawasan tertentu. Namun, dalam ku- rang lebih dua sampai tiga dekade ke belakang, batin dalam fungsinya seperti itu tidak pernah ditemukan lagi.

Dalam satu dasawarsa terakhir, dari kasus yang ditemui Chou (2003:18-19), menunjukkan bahwa seorang batin tidak lebih dari sekadar kepala kelompok pengembara di teritori laut tertentu, dan pemakaian istilah batin dapat berlainan Dalam satu dasawarsa terakhir, dari kasus yang ditemui Chou (2003:18-19), menunjukkan bahwa seorang batin tidak lebih dari sekadar kepala kelompok pengembara di teritori laut tertentu, dan pemakaian istilah batin dapat berlainan

Gambar 4.5. Struktur Kepemimpinan Tradisional Orang Laut

Keterangan:

T–I : Tingkat keluarga batih (nuclear family) dengan seorang kepala keluarga. T – II A : Tingkat kelompok kerabat luas (extended families) pengembara laut dengan seorang

pemimpin kelompok yang disebut batin. T – II B : Tingkat kelompok kerabat luas (extended families) setengah menetap atau menetap di

satu wilayah (pulau) tertentu dengan pemimpin kampung yang disebut kepala atau ketua kampung.

T – III : Tingkat komunitas Orang Suku Laut di seluruh Kepulauan Riau tanpa figur pemimpin.

Dari gambar di atas, kita dapat melihat bahwa secara sosial Orang Laut tidak lebih dari kelompok keluarga luas, baik yang di darat maupun yang di laut. Di luar kelompok keluarga luas tersebut, bukan berarti mereka tidak saling mengenal dan menjalin hubungan tertentu. Kalau kita lihat uraian cognatic descent system Dari gambar di atas, kita dapat melihat bahwa secara sosial Orang Laut tidak lebih dari kelompok keluarga luas, baik yang di darat maupun yang di laut. Di luar kelompok keluarga luas tersebut, bukan berarti mereka tidak saling mengenal dan menjalin hubungan tertentu. Kalau kita lihat uraian cognatic descent system

Mengenai hal-hal yang berkenaan dengan batin atau kepala tersebut terkon- firmasi melalui beberapa kisah Mo yang pernah mengalami masa kepemimpinan batin semasa hidup mengembara di laut. Ia mengisahkan,

“batin sekarang sudah tak ada lagi, sudah lama. Mungkin ada 30 - 40 tahun yang lalu. Ia adalah pemimpin suku (klen). Kalau kemarin (dulu), macam mana ya, kami paling patuh (kepada batin). Apa kata dia, kami (me)nurut. Dia dipilih, kira- kira (dengan kriteria) orang yang sanggup menghadapi kelompok (klen) lain. Kalau sekarang ni, sudah tinggal di permukiman, jadi orang sudah bisa bergaul sendiri-sendiri. Kalau kemarin, ketua ini tadi jadi pemimpin (yang menentukan) kita hendak (mengembara) ke mana, makanya kita akan berkumpul di situ (di pulau tertentu). Sampan-sampan itu kan berpencar, pisah-pisah, lalu dia yang menentukan hari kapan kita berkumpul lagi di pulau (tertentu). Misalnya besok jadwal berkumpul, hari ini sudah ada semua di situ. Ketika kita berkumpul, biasanya kita bercerite tentang pengalaman, dan macam-macam. Jadi sama ketua ni, kita diajar bagaimana bise berbagi. Tidak hanya soal ikan (makanan), rokok, jajan untuk anak orang lain, bahkan kayu bakar pun harus berbagi se- sama rombongan (anggota kelompok). Jadi kita masing-masing (keluarga inti) kasih (mengumpulkan) ke batinnya dulu, baru dia yang bagi.

Pernah, Pak Mo suatu kali dapat ikan duyong. Beso (besar). Gigi duyong untuk ubat. Daging ikan ini hendak dibagi rata, tetapi ada satu-dua keluarga tak nam- pak, masih melaut (di daerah tertentu), maka batin akan menyuruh salah satu anggotanya untuk mengantarkan ke keluarga sampan yang masih melaut tadi. Dan pasti sampai. Tak ada main beli-beli (tukar pakai uang), tak ada yang lokek (pelit). Fungsi batin itu beri nasihat, masukan, penyelesai masalah, dan kalau ada urusan dengan pemerintah dia yang hadapi. Kalau sekarang tak tahu lagi, semenjak tinggal di darat. Kalau sudah dipimpin oleh ketua kelompok (batin) ini, ibarat seperti kaki kanan dan kaki kiri. Kalau kanan yang kena, kiri terasa sakit. Kalau sekarang kan tidak, masa bodoh saja. Kehidupan di laut sama di darat ini betul-betul jauh (berbeda). Kalau di laut, tidak ada (di antara) kami saling iri.

Orang-orang yang masih belum kawin masih dididik sama kepala. Pokoknya, semua hormat sama orang tua. Jarang ada yang bantah perintah orang tua.”

Menurut Mo, kelompok Orang Laut yang bermukim di Bertam berasal dari ber- bagai kelompok pengembara yang berbeda. Namun, pada masa awal mereka bermukim di Bertam antara kelompok satu dengan lainnya tidak pernah ada masalah, batin satu dengan yang lain saling bekerja sama mengikuti arahan pemerintah. Walaupun eksistensi batin atau kepala tidak ada lagi, peran-peran batin atau kepala kampung dalam deskripsi di atas masih terasa hingga hari ini. Hanya bedanya, dalam konteks negara (state), seorang kepala kampung tertentu lebih dikenal sebagai Ketua Rukun Tetangga (cf. Chou 2010:29; Sembiring 1993:342).

Gambar 4.6. Struktur Kepemimpinan dalam Administrasi Desa (Kelurahan)

Keterangan: T–I

: tingkat Keluarga, terdiri dari Kepala Keluarga dengan sejumlah anggotanya sesuai yang tertera dalam Kartu Keluarga.

T – II : tingkat Rukun Tetangga (RT), terdiri dari beberapa kepala keluarga dipimpin oleh seorang Ketua RT.

T – III : tingkat Rukun Warga (RW), terdiri dari beberapa RT dan dipimpin oleh Ketua RW. T – IV : tingkat Desa dipimpin oleh seorang Lurah atau Kepala Desa yang menaungi beberapa

RW.

Gambar 4.6. di atas menerangkan struktur kepemimpinan yang berlaku pada Orang Laut di Pulau Bertam saat ini. Dari gambar tersebut, kita melihat bahwa status Ketua RT jelas berhubungan dengan administrasi pemerintahan, bukan lagi bertalian dengan organisasi sosial Orang Laut. Struktur kepemimpinan di tingkat RT atau kampung memiliki kesamaan dengan struktur kepemimpinan tradisional Orang Laut, karena Ketua RT merupakan pemimpin dari beberapa keluarga inti. Namun, dalam formasi penduduk kampung Bertam, kumpulan keluarga-keluarga batih tersebut bukan satu kelompok keluarga luas yang sama seperti pengelompokkan keluarga pengembara laut. Melainkan, di Bertam terdiri dari beberapa kelompok keluarga luas dengan masing-masing seniornya—kalau tidak dikatakan sebagai kepala-nya. Oleh karena itu, jabatan pemimpin atau Ketua RT di Pulau Bertam hampir selalu menjadi polemik kampung.

Dalam kasus Orang Bertam, batin tidak lagi ada setelah mereka bermukim di pulau ini kendati dalam praktiknya peran batin ini ada pada Ketua RT. Berkenaan dengan aturan pewarisan tampuk kepemimpinan batin sebisa mungkin kepada anak sulung laki-laki. Mano seorang batin di Bertam kenyataannya tidak memiliki anak sulung laki-laki melainkan perempuan. Anak laki-laki Mano adalah anak ke dua dan ketiga, bukan pertama. Entah mengapa Mano tidak menurunkan kepada anak laki-lakinya, tetapi justru menurunkan kepemimpinannya sebagai Ketua RT kepada Mohtar (Mo), suami dari anak pertama Mano, sekaligus menurunkan ilmu-nya sebagai bomoh. Dari pengalaman pewarisan kekuasaan ini, ternyata tidak selalu anak kandung laki-laki menjadi prioritas, namun ia harus termasuk kerabat dekat (affinal kin).

Hal ini menunjukkan bahwa dimensi kekerabatan masih beroperasi dalam kehidupan sehari-hari Orang Bertam. Saya berpendapat bahwa peralihan dalam Hal ini menunjukkan bahwa dimensi kekerabatan masih beroperasi dalam kehidupan sehari-hari Orang Bertam. Saya berpendapat bahwa peralihan dalam

Perubahan dalam struktur kepemimpinan Orang Laut semacam itu membawa pada perubahan relasi sosial Orang Bertam dengan kepala kampung atau Ketua RT di tingkat lokal. Sebagai contoh, rumah kepala kampung menjadi tempat berkumpul untuk sekadar berbincang sambil-lalu dan bermusyawarah menyele- saikan sejumlah masalah mereka, dengan sang ketua sebagai penengah. Fungsi semacam batin ini masih berlaku, hanya di Bertam tidak semua persoalan disele- saikan di rumah kepala kampung. Di Bertam, terdapat individu lain yang dituakan (senior) dari kelompok kerabat tertentu sehingga kelompok ini enggan berkunjung ke rumah Ketua RT untuk memecahkan masalahnya, melainkan justru menghadap ke “senior”nya.

Contoh lain, sejak bermukim dan memeluk Islam, Orang Bertam memiliki tradisi gotong royong bersih kampung, pantai, dan pemakaman setiap menjelang bulan puasa. Waktu itu Kamis siang, Mo meminta Tata untuk mengabarkan dari mulut ke mulut bahwa seluruh laki-laki warga Bertam diminta ikut bergotong- royong membersihkan semak-belukar di pantai, kebun di sekitar Sekolah Dasar, dan pemakaman pada Jumat pagi. Bagi yang wanita, Mo meminta membersih- kan di sekitar rumah mereka tanpa perlu ke kebun. Keesokan harinya, hanya ada Contoh lain, sejak bermukim dan memeluk Islam, Orang Bertam memiliki tradisi gotong royong bersih kampung, pantai, dan pemakaman setiap menjelang bulan puasa. Waktu itu Kamis siang, Mo meminta Tata untuk mengabarkan dari mulut ke mulut bahwa seluruh laki-laki warga Bertam diminta ikut bergotong- royong membersihkan semak-belukar di pantai, kebun di sekitar Sekolah Dasar, dan pemakaman pada Jumat pagi. Bagi yang wanita, Mo meminta membersih- kan di sekitar rumah mereka tanpa perlu ke kebun. Keesokan harinya, hanya ada

Lebih lanjut, sebagaimana seorang kepala, Ketua RT selalu dijabat oleh laki- laki. Namun, wanita senior tetap memiliki pengaruh dan menyumbang pendapat- pendapat yang dipertimbangkan atas penyelesaian berbagai persoalan di dalam kampung (cf. Lenhart 2004:754). Di Bertam, Mak Mo sebagai isteri Ketua RT, ia termasuk wanita yang dituakan oleh Orang Bertam sehingga banyak memberi pengaruh terhadap pemecahan persoalan bersama, seperti dalam persoalan perkawinan antarsuku dan antaragama Obin dan Piti. Ketika pihak keluarga Piti dari Pulau Sarang datang ke Bertam untuk menjemput paksa Piti, Mak Mo men- jadi juru bicara yang mewakili keluarga Obin, padahal Mak Mo tidak memiliki ikatan darah apapun dengan Juti, orang tua Obin. Di situ, Mak Mo diposisikan sebagai perwakilan keluarga sekaligus mewakili warga Bertam.

Lenhart (2004) mengatakan bahwa berkembangnya dominasi laki-laki dalam organisasi sosial mereka disebabkan sejak mereka menetep di lokasi permukim- an pemerintah. Salah satu indikasinya ialah ketika mereka kedatangan tamu (entah orang pemerintah atau yang lain) biasanya para wanita tidak di depan, melainkan menyingkir ke belakang atau ke pinggir. Selain itu, andil pemerintah dalam perubahan relasi gender semacam ini ketika pemerintah hampir selalu mencari laki-laki sebagai orang yang dianggap paling kompeten untuk urusan- urusan tertentu, seperti perihal menerima bantuan pemerintah.

Selain itu, jabatan Ketua RT di Bertam menjadi isu penting dalam kehidupan sosial mereka, karena status Ketua RT cukup prestisius. Oleh karena itu, jabatan Ketua RT diperebutkan walaupun posisi Ketua RT selalu ditunjuk langsung oleh Lurah Kasu. Pergantian Mano, bapak mertua Mo, sebagai Ketua RT pertama di Bertam karena ia meninggal dunia. Lurah Kasu pada waktu itu dikenal dekat dengan Mano dan keluarganya, dan sang lurah menganggap Mano, yang juga merupakan batin dan bomoh, adalah salah satu kepala kampung tauladan. Sejak awal bermukim, Mano mampu memimpin Orang Bertam tanpa memunculkan masalah-masalah berarti, terlebih tindakan kriminal. Artinya, pemerintah melihat Ketua RT ini mampu membuat Orang Bertam patuh kepada negara.

Meninggalnya Mano membuat Lurah Kasu harus segera mencari Ketua RT pengganti. Lurah dihadapkan pada beberapa calon kuat Ketua RT: Mahadan, Husein, Rahman, dan Mohtar. Keempatnya adalah senior di kalangan Orang Bertam. Mahadan merupakan yang tertua di antara calon lain, salah satu dari sekian Orang Laut generasi pertama yang menetap di Bertam, sekaligus ia dikenal sebagai tokoh adat Orang Laut. Mahadan juga masih saudara sepupu dengan Mano. Husein dan Rahman meski sama-sama tua, namun dalam pan- dangan Lurah mereka kurang pandai dan temperamen, terlebih Husein buta huruf. Sedangkan nama terakhir, Mohtar. Mohtar yang usianya kurang lebih sama dengan Husein ialah menantu Mano dan sepupu Mahadan yang dikenal sebagai nelayan ikan bilis, tukang, dan dukun ulung. Lurah yang Orang Melayu ini lantas memutuskan untuk menunjuk Mohtar sebagai “Ketua RT Sementara”. Alasannya sederhana, bukan lantaran kedekatan lurah dengan keluarga Mano sehingga menantunya yang diangkat sebagai Ketua RT, melainkan karena Mohtar beragama Islam, sedangkan Mahadan Kristen Protestan. Oleh karena Meninggalnya Mano membuat Lurah Kasu harus segera mencari Ketua RT pengganti. Lurah dihadapkan pada beberapa calon kuat Ketua RT: Mahadan, Husein, Rahman, dan Mohtar. Keempatnya adalah senior di kalangan Orang Bertam. Mahadan merupakan yang tertua di antara calon lain, salah satu dari sekian Orang Laut generasi pertama yang menetap di Bertam, sekaligus ia dikenal sebagai tokoh adat Orang Laut. Mahadan juga masih saudara sepupu dengan Mano. Husein dan Rahman meski sama-sama tua, namun dalam pan- dangan Lurah mereka kurang pandai dan temperamen, terlebih Husein buta huruf. Sedangkan nama terakhir, Mohtar. Mohtar yang usianya kurang lebih sama dengan Husein ialah menantu Mano dan sepupu Mahadan yang dikenal sebagai nelayan ikan bilis, tukang, dan dukun ulung. Lurah yang Orang Melayu ini lantas memutuskan untuk menunjuk Mohtar sebagai “Ketua RT Sementara”. Alasannya sederhana, bukan lantaran kedekatan lurah dengan keluarga Mano sehingga menantunya yang diangkat sebagai Ketua RT, melainkan karena Mohtar beragama Islam, sedangkan Mahadan Kristen Protestan. Oleh karena

Sejak saat itu, Mo menuai banyak kritik dari pihak keluarga lain, terutama dari lingkaran keluarga Mahadan, Husein, dan Rahman. Muncul upaya-upaya dari mereka untuk menjatuhkan Mo dari jabatan Ketua RT dengan jalan mendesak lurah agar mengadakan pemilihan Ketua RT. Beberapa informan yang saya tanyai mengenai keberatan mereka terhadap Mo sebagai Ketua RT justru mengarah pada persoalan personal yang tidak bisa mereka buktikan berbagai tuduhannya. Menghadapi ini Mo mengatakan pandangannya kepada saya,

“… macam mana Dir, kalau Pak Mo bisa, Pak Mo memilih tidak usah jadi Ketua RT. Tetapi, sampai lurah yang sekarang bilang sendiri ke Pak Mo kalau tidak usah orang lain dulu karena susah kalau mengurus macam-macam. Pak Mo sudah meminta mereka (Orang Bertam yang tidak setuju Mo menjadi ketua RT) untuk melapor dan meminta lurah segera mengadakan pemilihan Ketua RT. Lurah lalu tanya ke mereka, memangnya ada masalah ape? Orang-orang yang protes itu tak bisa menjelaskan dan membuktikan sangkaan-sangkaan mereka terhadap Pak Mo. Lurah jelas menolak karena tak ade bukti. Orang lain menyangka Pak Mo korupsi, makan uang bantuan, macam-macam lah. Mereka selalu curiga dari mana Pak Mo bisa punya uang untuk merenovasi rumah, bisa beli lepet dan pancung baru, padahal Pak Mo kelihatan tak pernah cari ikan.

Kalau Khidir pikir, kalau Pak Mo mau korupsi sudah Pak Mo lakukan dari dulu, kenape baru sekarang di saat bantuan pemerintah sudah tidak banyak lagi. Mereka tidak berpikir Pak Mo dan Mak Mo ini selalu menabung, menyisihkan uang hasil kerja dari dulu (sambil menunjukkan buku tabungan dan juga tabung pelampung plastik untuk keselamatan di laut yang mereka gunakan sebagai tempat penyimpan uang). Kalau mereka, mana pernah menabung. Dapat uang, lenyap. Besok dapat uang sikik, lenyap lagi. Pak Mo ini jarang punya hutang. Mereka juga tidak pernah tahu Dir, kalau beberapa kali Pak Mo mengobati orang dari Singapura, Malaysia atau orang Cina dari Batam dan pada akhirnya mereka sembuh tanpa Pak Mo minta (Mo memang tidak pernah meminta upah dalam praktik berdukunnya) mereka tak jarang beri kami hadiah. Kadang uang, kadang makanan, bahkan ada orang Singapura yang kembali rujuk dengan suaminya pernah kasi jalan-jalan ke Singapura buat kami sekeluarga … ”

Mengapa jabatan ini demikian berharga di mata Orang Bertam? Saya melihat terdapat beberapa hal yang membuat Ketua RT sangat diinginkan. Pertama,

bahwa Ketua RT merupakan jalan memperoleh akses atau informasi terhadap bantuan tertentu, baik pemerintah maupun dari pihak lain. Berkaitan dengan hal ini, Ketua RT mempunyai kuasa atas distribusi bantuan tersebut. Bantuan bisa berupa barang tertentu, peralatan, atau pekerjaan, dan persoalan siapa memper- oleh pekerjaan tambahan (lihat uraian kerja di bab sebelumnya) menjadi penting, karena Ketua RT yang akan mengatur siapa yang memperoleh itu. Kedua, Ketua RT ialah orang yang dipercaya langsung oleh Lurah. Oleh karena itu, Ketua RT dipandang Orang Bertam sebagai bagian dari “negara”, karena perintah dari Lurah atau Sekretaris Desa akan langsung tertuju kepadanya. Kesan saya dari beberapa perbincangan dengan para informan adalah mereka akan merasa bangga jika dipandang sebagai “orang penting”. Ketiga, setiap Ketua RT akan memperoleh insentif dari pemerintah daerah sebesar Rp200,000 per bulan yang dibayarkan setahun sekali, dan insentif diberikan di pertengahan tahun oleh lurah. Keempat, selain menjadi “kepanjangan tangan” lurah, Ketua RT di Bertam adalah juga orang yang dipercaya oleh Ibu Soedarsono, pendiri sekaligus ketua FKKS Batam. Dengan demikian, tidak mengherankan jikalau sebagian Orang Bertam mendambakan menjabat sebagai Ketua RT, lantaran perannya sangat mirip dengan sejumlah fungsi batin di masa lalu.

B.2. Keluarga, Perkawinan, dan Aliansi Kekerabatan

Keluarga dan Perkawinan. Unit sosial terkecil dalam sistem organisasi sosial Orang Laut, dan sebagaimana pola umumnya kebudayaan Orang Bajo, ialah keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family) (Chou 2010; Lenhart 2002, 2004; Nimmo 1972). Idealnya, keluarga batih terdiri atas seorang bapak, ibu, dan anak(-anak) mereka yang belum menikah (Lenhart 2002:297, 2004:750; Nimmo 1972:17). Di masa lalu, dalam satu rumah tangga Orang Laut kira-kira tersusun Keluarga dan Perkawinan. Unit sosial terkecil dalam sistem organisasi sosial Orang Laut, dan sebagaimana pola umumnya kebudayaan Orang Bajo, ialah keluarga inti atau keluarga batih (nuclear family) (Chou 2010; Lenhart 2002, 2004; Nimmo 1972). Idealnya, keluarga batih terdiri atas seorang bapak, ibu, dan anak(-anak) mereka yang belum menikah (Lenhart 2002:297, 2004:750; Nimmo 1972:17). Di masa lalu, dalam satu rumah tangga Orang Laut kira-kira tersusun

Lain halnya dengan mereka yang kini sudah hidup di darat. Meskipun bukan gejala umum, karena ruang rumah di darat atau rumah apung (pile-dwelling) relatif lebih lebar, rumah memungkinkan tidak hanya ditinggali oleh satu keluarga batih. Sebagaimana sudah dijelaskan di atas, bahwa ukuran sampan tidak sera- gam, namun memiliki ukuran yang relatif sama. Hal ini yang membuat sampan tidak bisa memuat lebih dari satu keluarga batih. Namun, bagi sampan yang berukuran cukup besar memungkinkan untuk memuat lebih dari satu keluarga batih kendati hal ini cukup jarang ditemui (Nimmo 1972:17). Selain itu, bisa saja dalam satu keluarga batih memiliki beberapa sampan, tergantung pada jumlah anggota dalam rumah tangga tersebut. Manakala beberapa anak sudah mulai beranjak remaja sehingga kapasitas sampan induk tidak lagi memungkinkan menampung keberadaan mereka, maka anak-anak mereka dibuatkan sampan- sampan kecil yang ditarik oleh sampan induk ketika mengembara.

Karakteristik khas lain dalam organisasi sosial Orang Laut adalah setiap keluarga batih mandiri secara ekonomi, dalam arti kebutuhan hidup mereka tidak bergantung pada komunitas pengembaranya. Walau hidup dalam kemandirian, Karakteristik khas lain dalam organisasi sosial Orang Laut adalah setiap keluarga batih mandiri secara ekonomi, dalam arti kebutuhan hidup mereka tidak bergantung pada komunitas pengembaranya. Walau hidup dalam kemandirian,

Di dalam keluarga batih, Lenhart (2004:752-753) menjelaskan tentang posisi anak-anak mereka bahwa laki-laki dan perempuan diperlakukan setara. Selain oleh orang tua, mereka juga dibesarkan dan dididik oleh saudara tuanya (older siblings), kakek-nenek, dan anggota kelurga lain yang masih dalam satu lingkup keluarga luas pengembara laut atau bisa juga oleh kelompok keluarga dekat mereka yang telah menetap di pulau tertentu. Dalam mekanisme sosialisasi semacam ini, mereka dibentuk agar di kemudian hari dapat menjadi nelayan (fishermen and fisherwomen) yang handal (Trisnadi 2002). Pelajaran ini juga merupakan modal mereka ketika kelak mereka kawin dan mengelola keluarga intinya sendiri, dan juga merawat orang tua mereka pada usia tua untuk menye- diakan ketercukupan kebutuhan hidupnya (economic security). Terkait dengan economic security ini, terdapat tiga “nenek” yang sangat tua dan tidak banyak beraktivitas di Bertam. Mereka umumnya memiliki rumah berdekatan (bersebe- lahan) dengan anak kandung perempuan yang telah menikah (Chou 2010:35). Nenek Yati dengan keluarga Mak Mo, Nenek Alah dengan keluarga Titi, dan Nenek Biyah dengan keluarga Tamel (lihat denah kampung). Ketiganya setiap hari dirawat dan bergantung pada makanan yang disediakan oleh anak mereka.

Tentang pemberian nama, nama tidak terlalu penting di kalangan Orang Laut sampai hari ini, karena nama tidak berfungsi sebagai pembeda garis kekerabat-

an atau kelompok keturunan, melainkan hanya untuk membedakan antara satu individu dengan yang lain. Nama mereka berikan sesaat setelah mereka lahir dan secara spontan merujuk pada keadaan alam di sekitar mereka saat itu (misal Kilat, Rih [guntur], atau Azan). Saat ini pemberian nama kepada generasi yang dilahirkan ketika sudah hidup di darat umumnya merujuk pada nama-nama agama yang mereka anut (misal Robert, Robin, Iqbal, Mansur, dan sebagainya). Selanjutnya, mereka dianggap dewasa atau diizinkan menikah (sexual matura- tion) setelah menginjak usia antara 13 – 17 tahun. Di masa lalu, semenjak masa pertumbuhan anak-anak mereka biasanya telah “dijodohkan” dengan sepupu satu atau sepupu dua dari kerabat dekat. Namun sekarang, pertunangan dan perkawinan dilakukan setelah mereka menginjak masa dewasa dan tidak selalu dengan sepupunya (Lenhart 2004:753).

Oleh karena ekonomi dan aktivitas-aktivitas kelompok Orang Laut dibangun dalam basis ikatan kerabat dekat (close kinship ties), persoalan garis keturunan dan kekerabatan menempati posisi sentral dalam masyarakat Orang Laut. Pada mereka berlaku sistem cognatic descent atau bilateral, yaitu dalam menarik atau menelusuri garis keturunan dapat merujuk dari garis bapak maupun garis ibu, “they can trace their descent from either their mother’s or father’s suku, switch suku affiliation through intermarriage or express certain cultural traits in order to identify with more prestigious suku” (Chou 2010:25-28; lihat Lenhart 2004:754; Sembiring 1993). Prinsip dasar dari sistem ini adalah seseorang dapat menjadi anggota dari dua kelompok keluarga sekaligus: kelompok keluarga dari bapak (paternal) dan kelompok keluarga dari ibu (maternal) (Chou 2010:27). Gambar di bawah mengilustrasikan sistem cognatic descent tersebut.

Gambar 4.7. Cognatic Lineages

Sumber: James Fox 1966:47 dalam Chou 2010:27 Dalam sistem cognatic descent yang berlaku di kalangan Orang Laut, bentuk

perkawinan yang paling baik atau ideal (must do) dalam kelompok mereka ialah dengan sepupu satu dan dua, baik cross cousins (sepupu silang) maupun parallel cousins (“sepupu sejajar”). Alasannya, selain berfungsi melindungi atau menjaga keutuhan kelompok, pasangan seperti ini dianggap memiliki kebiasaan yang sama dengan pemahaman baik atas lingkungan laut tempat mereka hidup dan bekerja. Lebih dari itu, sistem perkawinan ini dipandang dapat menghindari perpecahan (splitting up) di kalangan kelompok pengembara itu sendiri. Anjuran lainnya, laki-laki yang dinikahi harus lebih tua dari si perempuan. Dari aturan dalam sistem ini Orang Laut mengenal larangan dalam perkawinan (incestuous), yaitu mereka dapat menikahi siapa saja kecuali (1) kakak atau adik laki-laki dan perempuan dari orang tua, (2) kakak atau adik laki-laki dan perempuan dari kakek dan nenek, (3) kakek dan nenek, (4) anak dari kakak atau adik kandung laki-laki maupun perempuan (kemenakan, nieces/nephews), dan tentu saja (5) anggota keluarga batih. Dari keterangan tentang siapa saja yang terlarang untuk perkawinan yang paling baik atau ideal (must do) dalam kelompok mereka ialah dengan sepupu satu dan dua, baik cross cousins (sepupu silang) maupun parallel cousins (“sepupu sejajar”). Alasannya, selain berfungsi melindungi atau menjaga keutuhan kelompok, pasangan seperti ini dianggap memiliki kebiasaan yang sama dengan pemahaman baik atas lingkungan laut tempat mereka hidup dan bekerja. Lebih dari itu, sistem perkawinan ini dipandang dapat menghindari perpecahan (splitting up) di kalangan kelompok pengembara itu sendiri. Anjuran lainnya, laki-laki yang dinikahi harus lebih tua dari si perempuan. Dari aturan dalam sistem ini Orang Laut mengenal larangan dalam perkawinan (incestuous), yaitu mereka dapat menikahi siapa saja kecuali (1) kakak atau adik laki-laki dan perempuan dari orang tua, (2) kakak atau adik laki-laki dan perempuan dari kakek dan nenek, (3) kakek dan nenek, (4) anak dari kakak atau adik kandung laki-laki maupun perempuan (kemenakan, nieces/nephews), dan tentu saja (5) anggota keluarga batih. Dari keterangan tentang siapa saja yang terlarang untuk

Gambar 4.8. Cognatic descent, Sumber James Fox 1966:148 dalam Chou 2010:28 Sehubungan dengan itu, terdapat persamaan soal larangan ini di kalangan

Orang Laut di Kepri dari fakta etnografi Chou dan Lenhart dengan kalangan Orang Bajo di Laut Sulu, Filipina yang ditulis oleh Nimmo. Orang Bajo di Pulau Tawi-tawi di Laut Sulu tidak dianjurkan menikahi sepupu dari ayah (patrilateral parallel cousins) karena dianggap masih satu kelompok dan dinilai sebagai tinda- kan inses. Sama halnya dengan Orang Laut di Kepri, Chou mengatakan bahwa garis laki-laki ditabukan, karena secara keturunan (blood-line) anak dari dua laki- laki bersaudara dianggap “sama-sama kuat” sehingga perkawinan antarmereka dilarang (Chou 2010:37). Saya mengilustrasikan hal ini lewat Gambar 4.9. di bawah, bahwa seorang laki-laki (Ego) tidak bisa menikahi anak perempuan dari saudara laki-laki bapak atau FBD-nya. Sama halnya dengan saudara perempuan Ego (Z) yang tidak boleh mengawini anak laki-laki dari saudara laki-laki bapak atau FBS-nya. Akan tetapi, Ego dapat mengawini anak perempuan dari saudara

Gambar 4.9. Hubungan Patrilateral Parallel Cousins

Keterangan:

E : Ego FZD : Father’s Sister’s Daughter Z : Sister

FZS : Father’s Sister’s Son FBD : Father’s Brother’s Daughter FBS : Father’s Brother’s Son

perempuan bapak (FZD-nya). Selain itu, pada Orang Laut juga berlaku larangan menikahi sepupu-satu (first cousins) yang dibesarkan dalam rumah tangga atau sampan yang sama atau disusui oleh ibu yang sama (Chou 2010:37). Hal ini dapat muncul ketika sebuah keluarga mengadopsi anak dari saudara kandung (baik laki-laki atau perempuan) bapak atau ibu (lihat uraian mengenai adopsi di bawah) (Lenhart 2004:758).

Selanjutnya, mengenai pesta dan prosesi perkawinan, Orang Laut yang telah menetap di darat umumnya mengadopsi corak upacara perkawinan dari tradisi orang Melayu (Lenhart 2004:758). Sedangkan di masa lalu, perkawinan terjadi cukup setelah sepasang Orang Laut mendapat restu dari kedua belah pihak orang tua. Bila terjadi perkawinan antara dua kelompok pengembara yang ber- beda, maka orang yang menikah biasanya akan tinggal sementara waktu di Selanjutnya, mengenai pesta dan prosesi perkawinan, Orang Laut yang telah menetap di darat umumnya mengadopsi corak upacara perkawinan dari tradisi orang Melayu (Lenhart 2004:758). Sedangkan di masa lalu, perkawinan terjadi cukup setelah sepasang Orang Laut mendapat restu dari kedua belah pihak orang tua. Bila terjadi perkawinan antara dua kelompok pengembara yang ber- beda, maka orang yang menikah biasanya akan tinggal sementara waktu di

Hingga sekarang, Lenhart mengatakan Orang Laut melarang seseorang memiliki lebih dari satu pasangan dalam satu waktu (extramarital relations), baik laki-laki maupun perempuan, dan sejauh ini saya tidak menemukan gejala poli- gami ataupun poliandri di kalangan mereka. “Ideally, the Orang Suku Laut are monogamous, and marriage should last for a lifetime” (Lenhart 2004:757). Di sisi yang lain, Chou (2010:37) mengatakan Orang Laut diperbolehkan memiliki lebih dari satu isteri, dan konsekuensinya pada biaya yang ditanggung sangat mahal. Selain itu, aktivitas seksual pranikah (premarital sexual intercourse) sebetulnya tidak diperkenankan. Akan tetapi, jika mengingat bahwa di masa lalu dalam masa kanak-kanak mereka telah dijodohkan dan pernikahan segera dilakukan ketika mereka menginjak dewasa (yakni antara usia 13 – 17 tahun), maka dapat dimengerti jika persoalan aktivitas seksual pranikah tidak mengemuka (Lenhart 2004:757).

Baik di masa lalu maupun di masa sekarang, pasangan dipilih berdasarkan kapasitas dan kemampuan dalam bekerja, selain juga persetujuan antara kedua belah pihak orang tua mempelai yang menjadi pertimbangan utama. Apabila ada satu pihak orang tua yang tidak setuju, maka pernikahan batal. Namun, di masa lalu, ketika salah satu pasangan (perempuan) dibawa pergi dan kembali dalam keadaan hamil, maka perkawinan biasanya akan diizinkan. Perkawinan sering diawali dengan pertunangan, yang telah dilangsungkan satu bulan atau satu tahun sebelumnya. Dalam masa pertunangan ini, calon suami dianggap sudah Baik di masa lalu maupun di masa sekarang, pasangan dipilih berdasarkan kapasitas dan kemampuan dalam bekerja, selain juga persetujuan antara kedua belah pihak orang tua mempelai yang menjadi pertimbangan utama. Apabila ada satu pihak orang tua yang tidak setuju, maka pernikahan batal. Namun, di masa lalu, ketika salah satu pasangan (perempuan) dibawa pergi dan kembali dalam keadaan hamil, maka perkawinan biasanya akan diizinkan. Perkawinan sering diawali dengan pertunangan, yang telah dilangsungkan satu bulan atau satu tahun sebelumnya. Dalam masa pertunangan ini, calon suami dianggap sudah

Dalam urusan ketika salah satu pasangan meninggal dunia, si janda atau si duda akan menikah lagi dengan segera kecuali bagi si janda yang masih berusia muda, karena biasanya ia akan kembali kepada orang tuanya. Jika memungkin- kan, umumnya, individu yang ditinggal mati pasangannya akan menikah untuk kali kedua dengan saudara dari mendiang suami (bagi janda) atau isteri (bagi duda). Perceraian di kalangan Orang Laut sangat jarang terjadi, dan hampir tidak mungkin perceraian dilakukan ketika si isteri dalam masa kehamilan. Kalaupun suatu pasangan bercerai, biasanya karena mereka tidak memiliki keturunan atau anak. Perceraian hanya dilakukan atas persetujuan atau sepengetahuan kedua pihak orang tua (keluarga), atau bisa pula terjadi sebagai bentuk lain perceraian adalah jika seseorang meninggalkan pasangannya dan tidak kembali (Lenhart 2004:758). Selain hal-hal itu, oleh karena kepemilikan bendawi (property) dalam konteks Orang Laut bisa dibilang minim, warisan bukan persoalan di kalangan mereka (Lenhart 2004:754), kecuali benda ‘pusaka’ (heirloom) tertentu (seperti koin, keris, gong, atau benda lain) yang dianggap keramat atau punya kekuatan supranatural (Chou 2003:77-80, 2010:60). Benda-benda semacam ini diturunkan kepada anak (consanguinal) atau kerabat dekatnya seperti menantu (affinal kindreds).

Kalau dahulu perkawinan adalah pada kerabat dekat (sepupu), dewasa ini Orang Bertam membuka kemungkinan-kemungkinan perkawinan dengan kelom- pok lain dan bahkan sukubangsa lain sejauh itu disetujui oleh kedua belah pihak. Hal ini mulai berlaku sejak mereka bermukim di darat. Sebagai contoh dapat kita

lihat pada Sita, anak Mo yang dinikahi Slamet (Jawa). Tidak ada lagi tuntutan dari keluarga batih untuk menerima menantu sesama Orang Laut terlebih dari keluarga dekat, dan juga menantu tidak harus memiliki kemampuan dalam mencari ikan. Dalam bahasa Jawa, Slamet menuturkan pada saya, “Pisanan teko kene, aku biyen yo ora mudeng kepriye carane Wong Laut. Aku gur matur neng bapak (Mo) nek aku mung gawa niatan apik ngelamar Sita. Dan bapak karo ibu (Mak Mo) pasrahake keputusane neng Sita. (Pertama kali datang di Bertam, aku sama sekali tidak mengerti bagaimana cara Orang Laut [mencari ikan]. Aku hanya mengatakan kepada bapak bahwa aku hanya membawa niat baik untuk melamar Sita. Bapak dan ibu ketika itu menyerahkan sepenuhnya [soal diterima atau tidak] lamaran ini ke Sita).”

Slamet yang berasal dari Pacitan, Jawa Tengah, sehari-hari berprofesi sebagai buruh di salah satu pabrik galangan kapal di kawasan industri Tanjung Uncang, Batam, dan ia juga seorang tukang bangunan, karena punya riwayat bekerja di toko meubel dan beberapa kali menjadi tukang di proyek pembangu- nan perumahan di Batam. Setiap pagi, ia diantar isterinya dengan sampan apolo menyebrang dari Bertam ke pelabuhan Pandan Bahari, Batam. Begitu pula ketika ia pulang bekerja di sore hari. Selain pengalaman Sita dan Slamet, beberapa Orang Bertam memiliki pasangan di luar kelompoknya: Azan akan menikah dengan orang Melayu dari Pulau Bintan; Intan, anak perempuan Seran, akan menikah dengan Asok, lelaki asal Sangir-Talaud, Sulawesi yang bekerja sebagai anak-buah kapal. Anak perempuan pertama Beloh, Kas menikah dengan Ustad Akim, imam masjid Bertam yang orang Sunda. Seri, anak laki-laki pertama Bari, mendapat gadis keturunan Bima, Nusa Tenggara Barat. Endi, anak laki-laki kedua Bari, memperisteri Tari, wanita Jawa asal Bantul, Yogyakarta dan telah Slamet yang berasal dari Pacitan, Jawa Tengah, sehari-hari berprofesi sebagai buruh di salah satu pabrik galangan kapal di kawasan industri Tanjung Uncang, Batam, dan ia juga seorang tukang bangunan, karena punya riwayat bekerja di toko meubel dan beberapa kali menjadi tukang di proyek pembangu- nan perumahan di Batam. Setiap pagi, ia diantar isterinya dengan sampan apolo menyebrang dari Bertam ke pelabuhan Pandan Bahari, Batam. Begitu pula ketika ia pulang bekerja di sore hari. Selain pengalaman Sita dan Slamet, beberapa Orang Bertam memiliki pasangan di luar kelompoknya: Azan akan menikah dengan orang Melayu dari Pulau Bintan; Intan, anak perempuan Seran, akan menikah dengan Asok, lelaki asal Sangir-Talaud, Sulawesi yang bekerja sebagai anak-buah kapal. Anak perempuan pertama Beloh, Kas menikah dengan Ustad Akim, imam masjid Bertam yang orang Sunda. Seri, anak laki-laki pertama Bari, mendapat gadis keturunan Bima, Nusa Tenggara Barat. Endi, anak laki-laki kedua Bari, memperisteri Tari, wanita Jawa asal Bantul, Yogyakarta dan telah

Selain perkawinan antarsuku diizinkan, bagi mereka perkawinan antaragama tidak dipersoalkan, karena pada prinsipnya pilihan individu terhadap agama ter- tentu bukan menjadi masalah di antara mereka (Chou 2010, Lenhart 2002). Dari keluarga Husein, misalnya, dua dari tiga anak perempuan dari isteri pertama (sudah meninggal) menikah dengan keluarga Orang Laut Kristen dari pulau lain. Udin, sebagai anak laki-laki bungsu, menceritakan bahwa alasan sang bapak menerima pinangan itu bukan lantaran perbedaan agama, melainkan pada besaran mahar (sejumlah uang) yang dibayarkan sesuai harapan Husein. Sama halnya ketika Udin mengawini wanita Suku Laut beragama Katholik dari satu pulau di Kepulauan Daik-Lingga. Menurut Udin, Husein tidak mempersoalkan menantunya ini beragama apa, selama mahar yang diberikan ke pihak keluarga wanita tidak terlampau mahal (hanya sekitar satu juta rupiah) dan pihak laki-laki tidak menanggung pesta perkawinannya.

Pada kasus perkawinan lainnya, agama hanya akan menjadi masalah ketika masuk ke dalam hubungan antara dua sukubangsa. Contohnya pada perkawinan Obin (Kristen, Orang Bertam) dan Piti (Islam, orang Melayu dari Pulau Sarang) yang terbentur soal perbedaan agama dari dua pihak keluarga. Bagi keluarga Piti yang Melayu, hampir tidak mungkin anak gadisnya menikah dengan Obin yang Orang Laut dan Kristen. Dalam perbincangan saya dengan sepasang kekasih ini, Piti mengaku rela menjadi Kristen, dan ia pun telah menjalani sekolah Kristen di gereja di Pulau Lingka sebagai prasyarat pernikahan mereka. Pihak keluarga

Obin telah menerima niatan Piti untuk pindah ke Kristen, meskipun, menurut Obin dan ibunya, tidak ada keharusan bagi Piti meninggalkan Islam. Masalah menjadi pelik ketika muncul isyu penculikan yang disebarkan oleh keluarga Piti sebagai upaya mengikat Piti agar tetap berada di tengah keluarganya di Pulau Sarang: bahwa Obin menculik anak gadisnya dan bahwa Piti sudah menikah dengan lelaki dari Pulau Belakang Padang. Kedua keluarga tidak menemui jalan tengah, dan akhirnya persoalan ini melibatkan polisi dan pihak KUA Kecamatan Belakang Padang. Akhirnya, Obin pun masuk bui dua hari semalam karena tuduhan penculikan isteri orang.

Kasus Obin-Piti mengingatkan saya pada analisis Lenhart yang menerang- kan bahwa keagamaaan bagi Orang Laut bukan hal penting, namun persoalan- nya terletak pada relasi sosial atau “basic interethnic problem” (Lenhart 2002: 306) di mana tidak dibenarkan jika wanita Melayu menikah dengan suku bangsa yang “status sosialnya lebih rendah”, yakni Orang Laut (lihat Chou 2003). Orang Laut kesan saya secara prinsip sangat toleran dengan pilihan beragama, walaupun secara terbuka oleh mereka yang muslim mengatakan bahwa akan baik jika orang kita (sesama Orang Laut) bisa masuk Islam, sama halnya dengan yang Kristiani. Sikap toleran muncul ketika masalah itu menyangkut “keseim- bangan” kehidupan kampung atau mengancam nama baik Orang Bertam, seperti kasus Obin dan Piti di atas. Mereka mulai bicara soal agama merupakan hak tiap pemeluknya. Mak Mo mengatakan kepada saya bahwa seseorang yang telah dewasa berhak menentukan hidupnya, baik itu soal agama atau yang lain. Oleh sebab itu, ketika Mak Mo bernegosiasi dengan keluarga Piti di rumah Juti, ia mengatakan sebagai orang tua semestinya dengan bijak mendukung keputusan- Kasus Obin-Piti mengingatkan saya pada analisis Lenhart yang menerang- kan bahwa keagamaaan bagi Orang Laut bukan hal penting, namun persoalan- nya terletak pada relasi sosial atau “basic interethnic problem” (Lenhart 2002: 306) di mana tidak dibenarkan jika wanita Melayu menikah dengan suku bangsa yang “status sosialnya lebih rendah”, yakni Orang Laut (lihat Chou 2003). Orang Laut kesan saya secara prinsip sangat toleran dengan pilihan beragama, walaupun secara terbuka oleh mereka yang muslim mengatakan bahwa akan baik jika orang kita (sesama Orang Laut) bisa masuk Islam, sama halnya dengan yang Kristiani. Sikap toleran muncul ketika masalah itu menyangkut “keseim- bangan” kehidupan kampung atau mengancam nama baik Orang Bertam, seperti kasus Obin dan Piti di atas. Mereka mulai bicara soal agama merupakan hak tiap pemeluknya. Mak Mo mengatakan kepada saya bahwa seseorang yang telah dewasa berhak menentukan hidupnya, baik itu soal agama atau yang lain. Oleh sebab itu, ketika Mak Mo bernegosiasi dengan keluarga Piti di rumah Juti, ia mengatakan sebagai orang tua semestinya dengan bijak mendukung keputusan-

Aliansi kekerabatan dan “ Fictive” Kinship. Sehubungan dengan uraian di atas, dalam sistem cognatic descent, setiap individu Orang Laut memungkinkan menjadi anggota dari kelompok kerabat tertentu, baik garis bapak maupun garis ibu. Oleh sebab itu pula Chou (2010:27) mengatakan the mode of group recruit- ment is cognatic sehingga diperbolehkan bagi seseorang, baik wanita dan laki- laki, mereproduksi kelompok kerabatnya. “If Orang Laut can recall group affilia- tions of four grandparents, he has four changes of membership and if he can recall the group affiliations of his eight great grandparents, he has eight oppor- tunities of membership and so on” (Chou 2010:28). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pengelompokan mereka bisa mengacu pada kerabat siapa saja selama mereka dapat menelusuri garis keturunan mereka.

Selain itu, Chou (2010:28) menjelaskan bahwa anak perempuan yang telah menikah diperbolehkan memilih tinggal di keluarga batihnya dan membawa suaminya, dan begitu pula dengan anak laki-laki. Hal terpenting dari persoalan rekrutmen semacam ini ialah bahwa dalam kelompok kerabat pengembara laut tidak terjadi ketimpangan dalam jumlah yang besar antara wanita dan laki-laki di dalam suatu unit kelompok pengembara. Hal-hal yang mendorong mengenai keputusan seseorang untuk berada dalam kelompok kerabat tertentu bergantung pada rasa nyaman sekaligus ikatan emosional tertentu pada kerabatnya, karena ini berkaitan dengan kepentingannya sebagai mitra hidup dan bekerja (Chou 2010:28). Pendek kata, baik ketika masih di laut maupun setelah di darat, mereka hidup berdampingan dengan orang tua, orang tua dari bapak-ibunya (parent’s parent), saudara kandung, para sepupu, dan para kemenakan, “… Selain itu, Chou (2010:28) menjelaskan bahwa anak perempuan yang telah menikah diperbolehkan memilih tinggal di keluarga batihnya dan membawa suaminya, dan begitu pula dengan anak laki-laki. Hal terpenting dari persoalan rekrutmen semacam ini ialah bahwa dalam kelompok kerabat pengembara laut tidak terjadi ketimpangan dalam jumlah yang besar antara wanita dan laki-laki di dalam suatu unit kelompok pengembara. Hal-hal yang mendorong mengenai keputusan seseorang untuk berada dalam kelompok kerabat tertentu bergantung pada rasa nyaman sekaligus ikatan emosional tertentu pada kerabatnya, karena ini berkaitan dengan kepentingannya sebagai mitra hidup dan bekerja (Chou 2010:28). Pendek kata, baik ketika masih di laut maupun setelah di darat, mereka hidup berdampingan dengan orang tua, orang tua dari bapak-ibunya (parent’s parent), saudara kandung, para sepupu, dan para kemenakan, “…

Selain mengenai ‘real’ kinship, dalam organsasi sosial Orang Bertam juga mengenal ‘fictive’ kinship. Beberapa ahli antropologi mengatakan ‘fictive’ kinship merupakan wujud replikasi, duplikasi, atau analogi dari kerabat sungguhan. Ia kadang disebut sebagai figurative kinship (Barnard dan Spencer 2010:7). Pene- litian Janet Carsten (1991:425) pada Orang Pulau Langkawi, Malaysia menunjuk- kan bahwa, “kinship may begin with something you are born with, but it may not. Kinship can be viewed as a process of becoming, and this process involves a complex of ideas which centre on shared consumption in one ‘house’.” (cetak tegak penekanan dari saya). Jadi, relasi keluarga tidak hanya berangkat dari hubungan darah atau biologis (keturunan), melainkan juga memungkinkan diben- tuk oleh pola hubungan non-keturunan. Gagasan tentang kekerabatan semacam ini juga muncul dalam etnografi Mac Marshall tentang konstruksi “kin” dalam

masyarakat Truk di Pacific yang didasari pemikiran tentang “berbagi”, “kinship is notion of sharing: the nature of nurture and sharing, … (hence) kinship is not "natural" but "cultural," representing an intense experience of love and of obliga- tion between individuals” (Terrell dan Modell 1994:157).

Jika pengertian mengenai figurative kinship di atas disepakati, setidaknya terdapat dua jenis relasi kerabat yang termasuk dalam kategori ‘fictive’ kinship: adoption dan fostering. Agak sulit ketika kedua konsep ini dialihbahasakan ke dalam bahasa Indonesia, karena keduanya bisa sama-sama berarti “memungut”,

“mengambil”, atau “mengangkat” orang lain sebagai anak atau saudara. Di dalam antropologi kedua istilah ini dibedakan menurut proses dan motifnya. Alan Barnard dan Jonathan Spencer (2010:6-7) menjelaskan, “… fostering involves a parent or set of parents looking after someone else’s child, often on a long-term basis, whereas adoption involves in addition the acquisition of a ‘kin’ relationship between such parents and their (adopted) children”.

Tentang adoption, sejak masih hidup di laut, Orang Bertam sudah mengenal mekanisme ini seperti yang saya singgung sedikit di awal. Lenhart menerangkan, baik di masa lalu maupun sekarang, adoption merupakan satu cara yang lazim dan diperbolehkan Orang Laut untuk mengatasi persoalan seseorang yang tidak mampu secara biologis melahirkan anak (problem of childlessness). Persoalan ini bagi mereka disebabkan oleh individu yang secara biologis memang mandul (infertile) atau dianggap sebagai konsekuensi dari kutukan arwah nenek-moyang mereka kepada satu dari sepasang suami-isteri. Oleh karena itu, mengadopsi anak dari kerabat dekat, yakni umumnya anak dari saudara si laki-laki atau si perempuan, merupakan alternatif atau jalan keluar dari persoalan itu, dan dalam urusan adopsi ini tidak ada preferensi jenis kelamin di kalangan mereka, anak laki-laki atau perempuan dianggap sama saja (Lenhart 2004:758).

Dalam kondisi tidak memiliki anak kandung, bisa saja suatu keluarga Orang Laut mengadopsi anak dari kerabat dekatnya, anak dari saudara suami atau isteri. Pada umumnya, anak yang diadopsi mengetahui siapa orang tua biologis- nya. Meski begitu, ikatan emosional antara orang tua angkatnya (social parents) dengan si anak lebih kuat ketimbang dengan orang tua kandungnya. Manakala orang tua angkat ini pada akhirnya memiliki anak biologis, mereka tetap memper- lakukan si anak angkat (adopted child) dengan kasih-sayang yang setara dengan Dalam kondisi tidak memiliki anak kandung, bisa saja suatu keluarga Orang Laut mengadopsi anak dari kerabat dekatnya, anak dari saudara suami atau isteri. Pada umumnya, anak yang diadopsi mengetahui siapa orang tua biologis- nya. Meski begitu, ikatan emosional antara orang tua angkatnya (social parents) dengan si anak lebih kuat ketimbang dengan orang tua kandungnya. Manakala orang tua angkat ini pada akhirnya memiliki anak biologis, mereka tetap memper- lakukan si anak angkat (adopted child) dengan kasih-sayang yang setara dengan

Pada Orang Bertam kasus semacam itu terjadi pada beberapa keluarga. Sebagai contoh, Rahman yang merupakan suami kedua Patimah tidak dikaruniai anak. Sepasang suami isteri ini kemudian memutuskan untuk mengadopsi anak. Diambillah dua anak laki-laki Orang Laut yang telah dewasa dari pulau lain, tidak lama setelah orang tua biologis kedua anak ini meninggal dunia. Kakak-beradik bernama Tamel dan Mustafa akhirnya dibawa ke Pulau Bertam. Hanya saja, saya tidak mengetahui hubungan antara orang tua biologis mereka dengan Rahman atau Patimah. Selain mengadopsi dua anak laki-laki, Rahman juga mengadopsi satu anak perempuan Melayu dari Riau daratan, yaitu Normah. Ia awalnya merupakan guru bantu yang kini telah menjadi PNS dan menjabat sebagai kepala sekolah SD Bertam. Ketika saya mensurvei anggota rumah tangga penduduk Pulau Bertam, sejumlah informan yang saya tanyai tidak sedikitpun menyinggung dan membedakan anak kandung dan anak angkat (adopted child). Informasi mengenai siapa anak kandung dan anak angkat baru mengemuka di lain hari di dalam perbincangan lain. Tampaknya bagi Orang Laut baik anak adopsi maupun anak kandung bukan menjadi isyu penting, meskipun di masa lalu hal ini berkaitan dengan penentuan jodoh ideal mereka. Dalam kaitan adopsi dengan konsepsi mengenai fictive kinship di atas, saya sependapat dengan Barnard dan Good yang mengatakan bahwa, “adoption is described as a Pada Orang Bertam kasus semacam itu terjadi pada beberapa keluarga. Sebagai contoh, Rahman yang merupakan suami kedua Patimah tidak dikaruniai anak. Sepasang suami isteri ini kemudian memutuskan untuk mengadopsi anak. Diambillah dua anak laki-laki Orang Laut yang telah dewasa dari pulau lain, tidak lama setelah orang tua biologis kedua anak ini meninggal dunia. Kakak-beradik bernama Tamel dan Mustafa akhirnya dibawa ke Pulau Bertam. Hanya saja, saya tidak mengetahui hubungan antara orang tua biologis mereka dengan Rahman atau Patimah. Selain mengadopsi dua anak laki-laki, Rahman juga mengadopsi satu anak perempuan Melayu dari Riau daratan, yaitu Normah. Ia awalnya merupakan guru bantu yang kini telah menjadi PNS dan menjabat sebagai kepala sekolah SD Bertam. Ketika saya mensurvei anggota rumah tangga penduduk Pulau Bertam, sejumlah informan yang saya tanyai tidak sedikitpun menyinggung dan membedakan anak kandung dan anak angkat (adopted child). Informasi mengenai siapa anak kandung dan anak angkat baru mengemuka di lain hari di dalam perbincangan lain. Tampaknya bagi Orang Laut baik anak adopsi maupun anak kandung bukan menjadi isyu penting, meskipun di masa lalu hal ini berkaitan dengan penentuan jodoh ideal mereka. Dalam kaitan adopsi dengan konsepsi mengenai fictive kinship di atas, saya sependapat dengan Barnard dan Good yang mengatakan bahwa, “adoption is described as a

Selain kasus adopsi, ada pula kasus fostering di Bertam. Kategori fostering menurut saya sedikit agak rumit dalam praktik sehari-harinya, terlebih ketika hendak mengaitkan dengan relasi kekerabatan tertentu. Saya mencoba mengacu pada riset Carsten (1991:425) yang sudah saya singgung di atas bahwa kekera- batan dapat dilihat sebagai sebuah “process of becoming”. Dari etnografinya, Barnard dan Spencer menafsirkan, “people are thought to become kin through sharing common food, and thus common substance, and widespread fostering can be related to other ideas about the fluidity and mutability of kinship” (Barnard dan Spencer 2010:7, cetak tegak penekanan dari saya). Khusus dalam konteks fostering, menjadi kerabat tidak ditentukan oleh sejumlah aturan organisasi sosial yang ketat, melainkan ‘proses menjadi kerabat’ bisa sangat longgar, cair, karena hal ini dapat dibangun melalui laku berbagi di antara dua pihak yang tidak ber- talian darah dan proses ini bersifat timbal-balik atau reciprocal.

Hal semacam ini saya jumpai pada beberapa Orang Bertam, seperti Seran yang mengambil (fostering) anak Suku Laut berusia delapan tahun dari Pulau Lingka. Kaki tauke ini memiliki tiga anak kandung, yang pertama dan terakhir perempuan dan yang tengah adalah laki-laki. Kedua anak perempuan Seran, sehari-hari bertugas sebagai pengelola warung kelontong sekaligus mengatur segala aktivitas di depot penimbangan ikan yang letaknya bersebelahan dengan warung itu, sedangkan anak kedua memiliki cacat mental sehingga ia tidak dapat membantu kerja laut ayahnya. Selain karena alasan ini, Seran mengambil anak dari kerabat isterinya untuk membantu ekonomi keluarga mereka yang miskin.

Hanya saja, Seran tidak mengadopsi bocah ini sebagaimana Rahman meng- adopsi dua anak laki-laki. Meski bocah ini tidak tinggal di rumah Seran, dalam keseharian ia tetap didaku dan dianggap sebagai anak Seran (“anak angkat”) oleh Orang Bertam. Bocah ini tetap pulang ke rumah kedua orang tuanya di Pulau Lingka jika malam tiba atau ketika sudah tidak ada urusan lagi dengan Seran. Bocah ini sehari-hari, setelah bangun tidur, karena tidak sekolah, ia lekas berada di sekitar rumah atau kelong (keramba) milik Seran dan siap sedia mem- bantunya bekerja: mulai dari membersihkan pancung atau menyiapkan peralatan melaut sejauh kemampuan fisik si bocah ini. Sebagai anak-anak, ia juga tampak bermain dengan anak-anak lain di kampung Bertam. Namun, yang membedakan dengan bocah seusianya adalah dia sudah dipercaya Seran mengemudikan pancung bermesin, karena pada umumnya anak-anak seusianya hanya diper- bolehkan untuk mengayuh sampan-sampan mini tanpa mesin bermotor.

Fosterage pada Orang Laut di Bertam juga dapat dilihat dari pengalaman keluarga batih Mo dengan saya. Saya datang sebagai “orang asing”, lalu tinggal bersama keluaga Mo, dan menjalin relasi perkawanan dengan banyak orang di sana di luar keluarga inti Mo. Setelah beberapa hari bersama keluarga Mo, saya mulai terlibat dalam banyak hal: bekerja, termasuk di dalamnya membantu membersihkan rumah, mengambil air bersih, mengangkut material bangunan rumahnya, dan sebagainya. Dua bulan berselang, saya ikut mereka mendatangi pesta perkawinan salah satu sepupu jauh Mo di Pulau Panjang, sebelah barat kampung Orang Laut Tiang Wang Kang di dekat jembatan Barelang I, Batam. Di tengah acara, Mo mengenalkan saya kepada sanak-saudaranya sebagai “anak angkat”, bukan memperkenalkan saya sebagai mahasiswa dari Jawa yang sedang penelitian di Bertam atau semacamnya (cf. Chou 1994:116). Saya

menanyakan mengapa Mo mengenalkan saya sebagai “anak angkat”. Mo mengatakan karena saya “telah menjadi bagian dari keluarga Orang Laut Bertam (baca: keluarga Mo)”. Relasi serupa terjalin antara saya dengan Endi, yang secara terbuka menganggap saya sebagai adik angkat laki-lakinya, atau Udin yang menganggap saya sebagai kakak angkat laki-laki. Dengan demikian, alasan yang melatari hal-hal ini saya rasa sedikit banyak berhubungan dengan yang dijelaskan Carsten di atas. Dengan demikian, menurut saya argumen Carsten di atas sedikit banyak ada benarnya, bahwa pengakuan kepada orang asing (non- kerabat non-Orang Suku Laut) sebagai “anak angkat” atau “saudara” hanya memungkinkan terjadi bila di antara mereka memiliki pengalaman “berbagi”, “memberi”, dan “membantu” dalam banyak urusan atau kebutuhan tertentu.

C. KESIMPULAN

Dalam bab ini saya telah menunjukkan perubahan-perubahan sosial dan budaya pada tiga bidang kehidupan Orang Laut di Bertam yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu teritori (lingkungan fisik) laut dan darat; budaya material (sampan dan rumah) dan formasi permukiman kampung Bertam; organisasi sosial: yang terdiri dari sistem kepemimpinan dan sistem kekerabatan (keluarga, perkawinan, dan aliansi kerabat). Kesemua hal ini saya uraikan dalam model perbandingan antara yang berlaku di masa lalu dengan kondisi setelah mereka bermukim. Berkenaan dengan teritori, saya berpendapat bahwa kini Orang Laut memiliki orientasi keruangan dalam tiga kategori: lingkungan laut, darat, dan ‘wilayah antara’ atau zona transisi kata Sopher. Berangkat dari pemikiran tentang basis ekonomi (Gudeman 2005) dan situs produksi, teritori maritim maupun darat memiliki fungsi dan makna berlainan bagi Orang Laut walau keduanya saling Dalam bab ini saya telah menunjukkan perubahan-perubahan sosial dan budaya pada tiga bidang kehidupan Orang Laut di Bertam yang satu sama lain saling berkaitan, yaitu teritori (lingkungan fisik) laut dan darat; budaya material (sampan dan rumah) dan formasi permukiman kampung Bertam; organisasi sosial: yang terdiri dari sistem kepemimpinan dan sistem kekerabatan (keluarga, perkawinan, dan aliansi kerabat). Kesemua hal ini saya uraikan dalam model perbandingan antara yang berlaku di masa lalu dengan kondisi setelah mereka bermukim. Berkenaan dengan teritori, saya berpendapat bahwa kini Orang Laut memiliki orientasi keruangan dalam tiga kategori: lingkungan laut, darat, dan ‘wilayah antara’ atau zona transisi kata Sopher. Berangkat dari pemikiran tentang basis ekonomi (Gudeman 2005) dan situs produksi, teritori maritim maupun darat memiliki fungsi dan makna berlainan bagi Orang Laut walau keduanya saling

Pertama adalah pada budaya materialnya, terutama sampan dan rumah. Di masa lalu, sampan berasosiasi dengan ruang laut, dan berfungsi sebagai alat transportasi, tempat tinggal, sekaligus representasi dari institusi ekonomi dan unit terkecil dalam rumah tangga mereka (satu keluarga batih). Sedangkan ‘rumah’, hanya berlaku manakala mereka sedang berlabuh di suatu pulau dalam musim tertentu. Saat ini, sampan tidak lagi mewakili banyak sektor kehidupan Orang Laut, melainkan ia hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan alat produksi ketika mereka melaut. Sedangkan fungsi sampan sebagai tempat tinggal dan rumah tangga telah digantikan dengan rumah, baik yang disediakan pemerintah maupun yang mereka dirikan sendiri. Ketika mereka di darat, sampan kemudian berlaku sebagai lambang status sosial Orang Bertam. Kepemilikan jenis sampan dan dalam jumlah tertentu menjadi indikasi pembeda secara ekonomi antara keluarga satu dengan lainnya, di mana hal ini tidak pernah terjadi ketika di laut. Sama halnya dengan rumah. Fungsi rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan ia (dengan ukuran, bentuk, letak, dan perabot tertentu) merupakan penanda kemampuan ekonomi seseorang sekaligus status sosial tertentu.

Kedua, peralihan hal-hal di atas juga membawa perubahan organisasi sosial mereka. Walaupun sistem kekerabatan bilateral Orang Laut masih berlaku, saat ini prinsip-prinsip lama yang harus ditaati, seperti perkawinan antar sepupu satu

atau dua, serta preferensi pengelompokkan pada kerabat dekat mulai memudar. Hal ini ditunjukkan, misalnya, dengan diizinkannya menerima hubungan kerabat selain Orang Laut, baik melalui perkawinan atau hubungan persaudaraan angkat. Perubahan ini dapat kita bayangkan, (1) dengan mereka tinggal di darat (rumah) yang relatif tetap, maka mereka hampir tidak mungkin menolak atau menghindar dari datangnya orang asing ke tempat tinggal (rumah atau kampung) mereka. (2) Oleh karena kini mereka cenderung tidak hanya hidup di lingkungan laut, maka memungkinkan mereka melakukan aktivitas selain hal-hal yang berhubungan dengan laut. Selain sistem kekerabatan dan perkawinan, berubahnya beberapa prinsip lama juga tampak dalam persoalan kepemimpinan. Dalam urusan tertentu sistem kepemimpinan Ketua RT di Bertam masih mirip dengan batin, pemimpin tradisional Orang Laut. Akan tetapi, dalam heterogenitas Orang Bertam seperti hari ini memungkinkan mereka untuk melakukan resistensi terhadap kepala kampungnya.

Sebagai persoalan ketiga, hal itu membawa perubahan pada formasi per- mukiman. Pola permukiman kampung berhubungan dengan aliansi kekerabatan mereka, karena mereka memiliki kecenderungan rasa nyaman untuk tinggal berdekatan dengan kelompok kerabat dekatnya. Di masa mereka mengembara di laut, kelompok pengembara terdiri dari beberapa keluarga batih yang diikat dalam kelompok keluarga dekat dan dipimpin oleh seorang senior. Ketika mereka bermukim di darat, tampaknya mereka secara tidak sadar mengelompok dalam komposisi semacam itu. Akibatnya, tatanan permukiman yang telah dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi “kacau-balau”, karena pemerintah tidak menyadari realitas kultural Orang Laut itu tidak tunggal. Dari sederet contoh kehidupan Orang Laut di atas, dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa Sebagai persoalan ketiga, hal itu membawa perubahan pada formasi per- mukiman. Pola permukiman kampung berhubungan dengan aliansi kekerabatan mereka, karena mereka memiliki kecenderungan rasa nyaman untuk tinggal berdekatan dengan kelompok kerabat dekatnya. Di masa mereka mengembara di laut, kelompok pengembara terdiri dari beberapa keluarga batih yang diikat dalam kelompok keluarga dekat dan dipimpin oleh seorang senior. Ketika mereka bermukim di darat, tampaknya mereka secara tidak sadar mengelompok dalam komposisi semacam itu. Akibatnya, tatanan permukiman yang telah dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi “kacau-balau”, karena pemerintah tidak menyadari realitas kultural Orang Laut itu tidak tunggal. Dari sederet contoh kehidupan Orang Laut di atas, dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa

BAB V KESIMPULAN

Etnografi ini berangkat dari rasa keingintahuan saya mengenai kehidupan, yang dalam perspektif tertentu juga dapat disebut kebudayaan, Orang Suku Laut di Kepulauan Riau—atau yang di wilayah lain disebut Orang Bajo atau Orang Sama. Namun persoalannya, hal apa yang menarik untuk dikaji dari kehidupan suku bangsa yang pernah memiliki tradisi sebagai pengembara lautan sekaligus pemburu dan peramu biota laut ini, padahal pada bagian pertama tesis ini saya menunjukkan bahwa studi mengenai Orang Suku Laut dalam berbagai topik telah banyak dikerjakan oleh para ahli antropologi, sejarah, linguistik, maupun ilmu sosial lainnya.

Dari seluruh studi yang saya peroleh, dan khususnya yang mengusung topik mengenai perubahan sosial dan budaya, tampaknya belum ada peneliti yang mencoba menerangkan fenomena Orang Suku Laut dengan kerangka teori ‘governmentality’-nya Michel Foucault (1991). Walaupun harus diakui bahwa pada beberapa aspek dan bidang yang diperhatikan dalam perspektif govern- mentality memiliki banyak kemiripan dengan pendekatan ekonomi-politik dan globalisasi ekonomi (lihat Chou 1997, 2010; Chou & Wee 2002; Wee & Chou 1997), pemikiran Foucault tersebut menurut saya menawarkan pengelompokkan masalah yang lebih jelas, terutama pada persoalan-persoalan yang mengemuka dari hubungan antara ‘rakyat’—sebagai subyek yang diatur dan dikuasai, dengan ‘negara’—sebagai subyek yang berkuasa dan berwenang untuk mengatur.

Kejelasan pemikiran Foucault terletak pada penyebutan beberapa kata kunci yang berguna untuk menelusuri konstruksi kekuasaan di tingkat negara yang

dioperasikan di tingkat rakyat. Konstruksi kekuasaan seperti ini menimbulkan dampak tertentu: bisa positif, bisa negatif, atau keduanya. Beberapa kata kunci yang saya maksud adalah ketika Foucault (1991) menyebut (1) “… men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, resources, means of subsistence, the territory with its specific qualities …”. Kalimat ini ber- makna saat kita hendak melihat sejauhmana negara mengatur aspek-aspek yang merupakan basis ekonomi (kesejahteraan) Orang Laut dalam kaitannya dengan wilayah kultural atau teritori maritim mereka yang mengandung sumber daya alam tertentu. Selanjutnya, Foucault juga berbicara mengenai (2) “… men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking …”. Di sini, negara melalui program-program tertentu secara langsung memiliki kepentingan untuk mengatur organisasi sosial, seks dan perkawinan, perilaku, sampai kebiasaan Orang Laut, yang tadinya memiliki pola hidup di sampan (laut) kemudian diupayakan untuk beralih ke pola hidup darat. Terakhir ialah, (3) “… men in their relation to those still other things that might be acci- dents and misfortunes such as famine, epidemics, death, …”, bahwa eksistensi pola kehidupan Orang Suku Laut di sampan dipandang negara jauh dari standar kelayakan ketercukupan pangan dan kesehatan sehingga negara perlu menga- tasi kedua hal ini dengan cara mereka sendiri.

Sebagaimana telah saya uraikan pada bab-bab sebelumnya, dalam kasus Orang Suku Laut di Kepri kita dapat melihat benang-merah praktik kepengaturan negara pada sejumlah studi yang mengkritik pembangunan. Di situ, dikatakan bahwa kebijakan yang mereka rancang dan terapkan tanpa memertimbangkan aspirasi dan realitas sosial-budaya Orang Laut. Hal inilah yang saya diskusikan pada Bab II. Saya mencoba melihat alasan-alasan yang melatari hal itu sekaligus Sebagaimana telah saya uraikan pada bab-bab sebelumnya, dalam kasus Orang Suku Laut di Kepri kita dapat melihat benang-merah praktik kepengaturan negara pada sejumlah studi yang mengkritik pembangunan. Di situ, dikatakan bahwa kebijakan yang mereka rancang dan terapkan tanpa memertimbangkan aspirasi dan realitas sosial-budaya Orang Laut. Hal inilah yang saya diskusikan pada Bab II. Saya mencoba melihat alasan-alasan yang melatari hal itu sekaligus

Di dalam Bab II, kita dapat melihat bahwa sejumlah argumen di balik pem- bangunan nasional, seperti “pembangunan manusia Indonesia seutuhnya” dan “sesuai dengan falsafah Pancasila”, membawa negara merumuskan Kebijakan Pemukiman yang diterjemahkan dalam program PKMT. Kedua hal ini menjadi alat pemerintah mendefinisikan, mengklasifikasi, dan melabeli suatu kelompok masyarakat dengan ciri-ciri tertentu. Dari sini, pemerintah membayangkan akan dapat membenahi dan mengubah kondisi ekonomi masyarakat yang dianggap terbelakang dan serba kekurangan menuju masyarakat dengan kondisi ekonomi yang lebih ‘modern’.

Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah lantas menerapkan program PKMT dengan menyasar pada bidang-bidang kehidupan kelompok masyarakat terasing dan mengenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah hal-hal yang dinilai sebagai “keterbelakangan”. Nilai-nilai baru diajarkan dan disebarkan melalui kegiatan- kegiatan pembinaan masyarakat terasing dalam tujuan untuk mengganti pan- dangan-pandangan “tradisional”, seperti berkenaan dengan aktivitas ‘ekonomi subsistensi’ ke ‘ekonomi produksi’ (Chou 2003). Mengenai kepengaturan negara dalam bidang ekonomi ini, salah satu pendapat Foucault menjadi relevan, “… to govern a state will therefore mean to apply economy, to set up an economy at the level of the entire state, which means exercising towards its inhabitants, and the wealth and behaviour of each and all, a form of surveillance and control as attentive as that of the head of a family over his household and his goods” (Foucault 1991:92). Oleh karena itulah mengatasi keterbelakangan sering pula diasosiasikan dengan mengatasi kemiskinan, sebab kemiskinan dipandang sebagai hambatan pem- Untuk mencapai tujuan itu, pemerintah lantas menerapkan program PKMT dengan menyasar pada bidang-bidang kehidupan kelompok masyarakat terasing dan mengenalkan nilai-nilai baru untuk mengubah hal-hal yang dinilai sebagai “keterbelakangan”. Nilai-nilai baru diajarkan dan disebarkan melalui kegiatan- kegiatan pembinaan masyarakat terasing dalam tujuan untuk mengganti pan- dangan-pandangan “tradisional”, seperti berkenaan dengan aktivitas ‘ekonomi subsistensi’ ke ‘ekonomi produksi’ (Chou 2003). Mengenai kepengaturan negara dalam bidang ekonomi ini, salah satu pendapat Foucault menjadi relevan, “… to govern a state will therefore mean to apply economy, to set up an economy at the level of the entire state, which means exercising towards its inhabitants, and the wealth and behaviour of each and all, a form of surveillance and control as attentive as that of the head of a family over his household and his goods” (Foucault 1991:92). Oleh karena itulah mengatasi keterbelakangan sering pula diasosiasikan dengan mengatasi kemiskinan, sebab kemiskinan dipandang sebagai hambatan pem-

Dalam konteks Orang Laut, sejumlah asumsi itulah yang mendorong negara dan para agennya berupaya mengubah kebudayaan masyarakat terasing, walau- pun tidak sedikit rancangan program tertentu dalam pembangunan yang gagal (Chou dan Wee 2002:354-355). Pandangan bahwa proyek pemukiman dinilai sebagai satu solusi atas ketersingkiran ekonomi dan teritori kultural OSL akibat pembangunan ekonomi global, ternyata berkebalikan dengan kenyataan di lapangan. Mengapa? Karena, walaupun suatu program disusun bersama dengan komunitas sasaran, arah capaian, dan hasil (outcome) pembangunan tetap berpulang pada konsepsi negara. Dengan demikian, kita dapat melihat govern- mentality negara pada tataran kebijakan, program, dan implementasinya mau tidak mau harus diakui tetap berpusat pada negara, dan Orang Laut mesti mene- rima kenyataan bahwa penyesuaian-penyesuaian dalam kehidupannya atas ke- hendak negara harus dijalani sebagai komunitas dalam identitasnya yang baru, yakni Orang Bertam.

Melanjutkan diskusi itu, pada dua bab selanjutnya saya memfokuskan pada uraian mengenai kondisi sosial-budaya Orang Laut pasca-program pemukiman yang tengah beralih-nama sebagai Orang Bertam. Ketika pemukiman berlang- sung, tentu saja terdapat sejumlah perubahan pada bidang-bidang kehidupan Orang Bertam. Dalam Bab III saya menunjukkan perubahan pada bidang eko-

nomi Orang Laut sebagai implikasi dari program pemukiman tersebut. Saya berpendapat bahwa keberadaan negara membawa pengaruh pada perubahan relasi Orang Bertam dengan basis ekonominya, yaitu sumber daya maritim. Sebelum menetap di pulau, Orang Bertam memerlakukan hasil laut untuk keper- luan ‘produksi’ dalam makna subsistensi, dan baru ketika terjadi surplus hasil tangkapan mereka akan menjualnya ke para tauke. Pasca-pemukiman, kendati mereka tidak meninggalkan aktivitas ekonomi produksi-subsistennya, umumnya mereka menjual hasil laut sebagai prasyarat mendapatkan alat tukar atau uang. Namun demikian, aktivitas produksi mereka tidak selalu membuahkan hasil opti- mal, karena beberapa faktor eksternal memberi efek negatif pada ekosistem maritim di sekitar tempat tinggal Orang Bertam dan juga faktor mahalnya ongkos produksi menggunakan mesin. Dalam konteks seperti ini, pemerintah menilai bahwa Orang Bertam tampaknya belum memiliki ‘kemandirian’ yang cukup untuk memenuhi beberapa kebutuhan hidup mendasarnya, misalnya memiliki tempat tinggal layak dan ketercukupan pada makanan pokok.

Oleh sebab itu, pemerintah menganggap perlu menyediakan bantuan untuk mengatasi ketidakberdayaan masyarakatnya. Pertama, pemerintah memberikan bantuan perbaikan rumah atau tempat tinggal layak huni. Setiap individu atau keluarga di Pulau Bertam saat ini perlu memiliki rumah, karena secara fungsional rumah telah menggantikan sampan—yang saat ini hanya berguna sebagai alat transportasi dan produksi. Kedua, pada kasus BSLM dan raskin Orang Bertam dianggap pemerintah dalam kondisi serba kekurangan pangan dan tidak berdaya mengatasi kenaikan harga BBM. Untuk itu, pemerintah memilih memberikan uang tunai dengan asumsi bahwa masalah-masalah yang muncul tersebab ke- naikan harga BBM dapat diselesaikan, walaupun yang terjadi justru sebaliknya.

Pada penanganan masalah pangan, pemerintah menyuplai beras bersubsidi dengan kualitas rendah, padahal dari fakta sejarah, kita tahu bekas sukubangsa pengembara ini pernah memiliki alternatif atas bahan makanan pokoknya, seperti sagu, umbi-umbian, dan kelapa.

Terkait dengan hal itu, mata pencaharian (kerja) Orang Bertam kini beralih menjadi aktivitas kerja yang berorientasi hanya pada ekonomi “produksi” untuk meraih penghasilan dan mencapai taraf kemakmuran tertentu, walaupun untuk beberapa hal mereka masih melakukannya untuk subsistensi. Dalam tujuan seperti ini, bekerja kemudian tidak lagi dilakukan dalam bingkai institusi kultural dan ikatan religiositas tertentu, yang memungkinkan terciptanya hubungan per- tukaran antara manusia dengan alam sebagai penyedia sumber daya maritim (Chou 2010), melainkan lebih pada hubungan-hubungan kerja seperti umumnya masyarakat modern di mana tindakan-tindakan ekonomi tiap individu didorong oleh, “… the imperative that it exchange itself for a wage in order to live” (Parry 2005:146).

Oleh sebab itu, perubahan motif dalam aktivitas kerja menyebabkan orientasi ekonomi Orang Bertam dewasa ini kemudian tidak hanya mengenai persoalan pemenuhan kebutuhan dasar—asumsinya kemakmuran tercapai bila kebutuhan dasar terpenuhi. Melainkan juga tentang bagaimana individu-individu tersebut menciptakan kondisi kemakmuran yang lain, lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar. Perubahan juga terjadi pada status sumber daya manusia, yang awalnya sebagai aktor ekonomi kelautan dalam lingkup terbatas (kerabat atau kelompok pengembara) dan beroperasi dalam wilayah laut tertentu sebagai basis ekonominya, lantas bertransformasi sebagai ‘tenaga kerja’ yang terjerat ke dalam mekanisme ekonomi pasar, meskipun masih dalam skala kecil. Atas dasar Oleh sebab itu, perubahan motif dalam aktivitas kerja menyebabkan orientasi ekonomi Orang Bertam dewasa ini kemudian tidak hanya mengenai persoalan pemenuhan kebutuhan dasar—asumsinya kemakmuran tercapai bila kebutuhan dasar terpenuhi. Melainkan juga tentang bagaimana individu-individu tersebut menciptakan kondisi kemakmuran yang lain, lebih dari sekadar pemenuhan kebutuhan dasar. Perubahan juga terjadi pada status sumber daya manusia, yang awalnya sebagai aktor ekonomi kelautan dalam lingkup terbatas (kerabat atau kelompok pengembara) dan beroperasi dalam wilayah laut tertentu sebagai basis ekonominya, lantas bertransformasi sebagai ‘tenaga kerja’ yang terjerat ke dalam mekanisme ekonomi pasar, meskipun masih dalam skala kecil. Atas dasar

Dengan model perbandingan antara yang berlaku di masa lalu dengan kon- disi setelah mereka bermukim, diskusi dalam bab selanjutnya saya memfokus pada perubahan-perubahan sosial dan budaya pada tiga bidang kehidupan Orang Bertam yang lain, yaitu teritori (lingkungan fisik) laut dan darat; budaya material (sampan dan rumah) dan formasi permukiman kampung Bertam; serta organisasi sosial: yang terdiri dari sistem kepemimpinan dan sistem kekerabatan (keluarga, perkawinan, dan aliansi kerabat). Berkenaan dengan teritori, saya berpendapat bahwa kini Orang Bertam memiliki orientasi keruangan dalam tiga kategori: lingkungan laut, darat, dan ‘wilayah antara’ atau zona transisi. Sebagai basis ekonomi dan situs produksi, teritori maritim dan darat memiliki fungsi dan makna berlainan bagi mereka walau keduanya saling terkait dan melengkapi. Oleh sebab itu, hubungan mereka dengan teritori laut dan darat tidak dapat dipisahkan. Dari keterikatan pada spaces semacam itu pula kita tidak hanya dapat menyoal tentang kondisi sumber daya alam dalam kaitannya dengan aktivitas ekonomi kelautan mereka, namun juga melihat gejala perubahan sosial dan kebudayaan pada berbagai aspek kehidupan Orang Laut yang lain.

Pertama pada budaya materialnya, terutama sampan dan rumah. Di masa lalu, sampan berasosiasi dengan ruang laut dan berfungsi sebagai alat trans- portasi, tempat tinggal, sekaligus representasi dari institusi ekonomi dan unit terkecil dalam rumah tangga mereka (satu keluarga batih). Sedangkan ‘rumah’, hanya berlaku manakala mereka sedang berlabuh di suatu pulau dalam musim tertentu (sapao). Saat ini, sampan tidak lagi mewakili banyak sektor kehidupan

Orang Laut, melainkan ia hanya berfungsi sebagai alat transportasi dan alat produksi ketika mereka melaut. Sedangkan fungsi sampan sebagai tempat tinggal dan rumah tangga telah digantikan dengan rumah. Ketika mereka ‘men- darat’, sampan lantas berlaku sebagai lambang status sosial Orang Bertam, karena kepemilikan atas jenis sampan dalam jumlah tertentu menjadi indikasi atau pembeda secara ekonomi antara keluarga satu dengan lainnya, di mana hal ini tidak pernah terjadi ketika di laut. Sama halnya dengan rumah. Fungsi rumah tidak hanya sebagai tempat tinggal, melainkan ia (dengan ukuran, bahan, ben- tuk, letak, dan perabot tertentu) merupakan penanda kemampuan ekonomi sese- orang sekaligus status sosial tertentu.

Kedua, peralihan hal-hal tersebut juga membawa pada perubahan organisasi sosial mereka. Walaupun sistem kekerabatan bilateral Orang Laut masih berlaku, saat ini prinsip-prinsip lama yang harus ditaati mulai memudar, seperti per- kawinan antarsepupu-satu atau sepupu dua dan preferensi pengelompokkan pada kerabat dekat. Hal ini ditunjukkan dengan mereka menerima hubungan kerabat non-Orang Laut, baik melalui perkawinan atau hubungan persaudaraan angkat. Perubahan ini dapat kita bayangkan, (1) dengan mereka tinggal di darat (rumah) yang relatif tetap, mereka hampir tidak mungkin menolak atau meng- hindar dari datangnya orang asing ke tempat tinggal (rumah atau kampung) mereka. (2) Oleh karena kini mereka cenderung tidak hanya hidup di lingkungan laut, maka memungkinkan Orang Bertam melakukan aktivitas selain hal-hal yang berhubungan dengan laut. Selain sistem kekerabatan dan perkawinan, berubah- nya beberapa prinsip lama juga tampak dalam persoalan kepemimpinan. Dalam urusan tertentu sistem kepemimpinan Ketua RT di Bertam masih mirip dengan batin, pemimpin tradisional Orang Laut. Akan tetapi, dalam heterogenitas dan Kedua, peralihan hal-hal tersebut juga membawa pada perubahan organisasi sosial mereka. Walaupun sistem kekerabatan bilateral Orang Laut masih berlaku, saat ini prinsip-prinsip lama yang harus ditaati mulai memudar, seperti per- kawinan antarsepupu-satu atau sepupu dua dan preferensi pengelompokkan pada kerabat dekat. Hal ini ditunjukkan dengan mereka menerima hubungan kerabat non-Orang Laut, baik melalui perkawinan atau hubungan persaudaraan angkat. Perubahan ini dapat kita bayangkan, (1) dengan mereka tinggal di darat (rumah) yang relatif tetap, mereka hampir tidak mungkin menolak atau meng- hindar dari datangnya orang asing ke tempat tinggal (rumah atau kampung) mereka. (2) Oleh karena kini mereka cenderung tidak hanya hidup di lingkungan laut, maka memungkinkan Orang Bertam melakukan aktivitas selain hal-hal yang berhubungan dengan laut. Selain sistem kekerabatan dan perkawinan, berubah- nya beberapa prinsip lama juga tampak dalam persoalan kepemimpinan. Dalam urusan tertentu sistem kepemimpinan Ketua RT di Bertam masih mirip dengan batin, pemimpin tradisional Orang Laut. Akan tetapi, dalam heterogenitas dan

Ketiga, pola permukiman kampung berhubungan dengan aliansi kekerabatan mereka, sebab mereka cenderung memiliki rasa nyaman untuk tinggal berdekat- an dengan kelompok kerabat dekatnya. Di masa mereka mengembara di laut, kelompok pengembara hanya terdiri atas beberapa keluarga batih yang diikat dalam koloni keluarga dekat dan dipimpin oleh seorang senior. Ketika mereka bermukim di darat, tampaknya mereka secara tidak sadar mengelompok dalam komposisi semacam itu. Akibatnya, tatanan permukiman yang telah dirancang sedemikian rupa oleh pemerintah menjadi “kacau-balau”, karena pemerintah tak menyadari bahwa realitas kultural Orang Laut itu tidak tunggal. Dari sederet contoh kehidupan Orang Laut di atas, dengan demikian, kita dapat mengatakan bahwa realitas sosial dan kultural Orang Laut di Bertam dewasa ini semakin beragam sehingga persoalan yang dihadapinya juga semakin kompleks.

Kompleksitas persoalan yang Orang Bertam hadapi di darat dan dari penga- laman-pengalaman yang berlawanan dengan tradisi hidup di laut agaknya tidak membuat mereka lantas kembali berperilaku sebagai “orang sampan”. Hal ini menarik, sebab barangkali benar apa yang dikatakan Lenhart bahwa apa yang dipilih dan dijalani oleh Orang Bertam saat ini dapat dibaca sebagai upaya untuk membalikkan atau menghilangkan stigma negatif yang dilekatkan oleh pemerin- tah dan Orang Melayu di masa lalu sebagai ‘orang sampan’ yang inferior, miskin, terbelakang, tidak beradab, dan sebagainya (Lenhart 1997, 2002). Strategi me- lepaskan predikat-predikat tersebut untuk menyetarakan (mengangkat) status sosial ini mereka tempuh melalui berbagai jalan, sebagaimana telah dijelaskan di tulisan ini, yaitu dengan menerima governmentality atau ‘kepengaturan’ negara.

Dengan demikian, pengikisan rasa inferioritas dalam diri Orang Bertam dalam konteks ini “difasilitasi” oleh negara dengan cara bermukim. Bermukim kemudian merupakan transformasi identitas itu sendiri. Mempertimbangkan principle dalam konsep heterotopia (Foucault 1984), bahwa Orang Bertam mengalami peralihan dari ‘ruang kultural’ (yaitu laut) menuju ‘ruang fantasmatik’ (yaitu ‘darat’, kampung Bertam). Ruang fantasmatik ini dimengerti sebagai ‘ruang impian’ Orang Laut pra-pemukiman yang mereka bayangkan akan mendapatkan suatu keuntungan dengan jalan menerima anjuran pemerintah untuk bermukim. Inilah mengapa saya katakan bahwa proses perubahan identitas Orang Laut menjadi Orang Bertam tidak serta-merta merupakan bentuk ketertundukan mereka pada negara, melainkan lebih pada perwujudan konkret dari imajinasi mereka tentang ‘kemak- muran’ yang dicapai melalui jalinan relasi yang mereka bangun dengan negara. []