Menerima dana Kepengaturan Negara Membayangka

Menerima ‘Kepengaturan’ Negara, Membayangkan Kemakmuran: Etnografi Tentang Pemukiman dan Perubahan Sosial Orang Suku Laut

di Pulau Bertam, Kepulauan Riau

Tesis

Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Sarjana S2 Program

Studi Antropologi

Diajukan oleh: Khidir Marsanto Prawirosusanto 11/323297/PSA/02457 PROGRAM PASCASARJANA ANTROPOLOGI FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

Accepting State Governmentality and Its Benefits: The Ethnography of Settlement Process and the Social Change of the

Orang Suku Laut in Bertam Island, Riau Islands Province

Thesis

To Fulfill Partial Requirements in Pursuing Master Degree at Department of

Anthropology

Proposed by: Khidir Marsanto Prawirosusanto 11/323297/PSA/02457 GRADUATE PROGRAME OF ANTHROPOLOGY FACULTY OF CULTURAL SCIENCE UNIVERSITAS GADJAH MADA YOGYAKARTA

2014

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tulisan dalam naskah tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan dalam derajat apapun di suatu perguruan tinggi manapun, dan sepengetahuan saya pula tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain sebagaimana naskah tesis ini, kecuali yang secara tertulis saya acu dalam naskah tesis ini dan saya sebutkan di dalam daftar pustaka.

Yogyakarta, Mei 2014

Khidir Marsanto Prawirosusanto

KATA PENGANTAR

Bukan lautan, hanya kolam susu Kail dan jala cukup menghidupimu, Tiada badai, tiada topan kau temui,

Ikan dan udang, menghampiri dirimu Koes Ploes, “Kolam Susu”

Petikan lirik salah satu lagu pop-klasik grup musik Koes Ploes di atas, untuk saya menyiratkan satu pesan: barangkali sampai hari ini masih banyak di antara kita yang membayangkan lantaran begitu melimpahnya sumber daya alam di Nusan- tara ini sehingga kita dapat dengan mudah memungut hasil alam tersebut. Dalam tulisan ini, saya menunjukkan bahwa angan-angan indah seperti itu kini hanyalah sebuah mitos atau khayali belaka. Dan di sini, saya memberi penjelasan menga- pa laut kini tidak lagi dapat ‘menghidupi’ saudara kita yang disebut Orang Suku Laut seperti di masa lalu, di masa mereka masih mengembara dengan kelompok sampannya.

Selain itu, satu hal yang penting untuk saya sampaikan adalah, pertama, mengenai otentisitas ide penelitian dan penulisan tesis ini. Bahwa yang saya kerjakan bukan merupakan gagasan orisinal saya. Dalam pengertian, berbagai studi terdahulu mengenai Orang Laut di Kepulauan Riau-lah yang memberi saya inspirasi untuk merumuskan kembali pertanyaan penelitian dan mengupas feno- mena ini dalam fieldwork dengan lingkup yang lebih spesifik, bahkan sedikit berbeda. Meski demikian, saya sangat sadar tesis ini belum dapat berbicara banyak dalam perdebatan teoretis yang dihasilkan dari studi tentang Orang Suku Laut sebelumnya.

Kedua, segala hal yang saya bahas di sini, dalam pengertian tertentu pula, bukanlah yang pertama kali. Topik-topik pembahasan dalam tesis ini sedikit banyak juga telah dikerjakan oleh beberapa peteliti (antropolog) terdahulu. Hanya saja yang membedakan ialah pada isyu, kerangka teori, masa penelitian, dan tingkat kedalaman data yang saya peroleh. Kedua hal itu perlu saya sampai- kan, sebab, mengingat pesan Prof. P.M. Laksono di salah satu perkuliahannya, bahwa menjadi ilmuan sosial-budaya hendaknya bersikap jujur, apapun konse- kuensinya. Selain kedua hal itu, saya juga menyadari bahwa masih banyak segala kekurangan atau kelemahan dalam tulisan ini dan bahwa tulisan ini bukan Kedua, segala hal yang saya bahas di sini, dalam pengertian tertentu pula, bukanlah yang pertama kali. Topik-topik pembahasan dalam tesis ini sedikit banyak juga telah dikerjakan oleh beberapa peteliti (antropolog) terdahulu. Hanya saja yang membedakan ialah pada isyu, kerangka teori, masa penelitian, dan tingkat kedalaman data yang saya peroleh. Kedua hal itu perlu saya sampai- kan, sebab, mengingat pesan Prof. P.M. Laksono di salah satu perkuliahannya, bahwa menjadi ilmuan sosial-budaya hendaknya bersikap jujur, apapun konse- kuensinya. Selain kedua hal itu, saya juga menyadari bahwa masih banyak segala kekurangan atau kelemahan dalam tulisan ini dan bahwa tulisan ini bukan

Warouw, Foucault, dan Appadurai. Sedikit bercerita ke belakang, sebagian besar teman sejawat saya di Program Studi S2 Antropologi umumnya mengenal konsep “kepengaturan” atau governmentality-nya Michel Foucault dari dua karya Tania Li dalam buku The Will to Improve (2012) mengenai masyarakat di Sula- wesi Tengah atau artikel teoretis “Governmentality” (2007). Buku ini cukup popu- ler di kalangan mahasiswa antropologi, terutama bagi mereka yang mengambil kuliah-kuliah di klaster A, yakni kajian dalam topik-topik atau persoalan ekonomi- politik. Pengalaman saya dengan buku ini agak lain. Ketika itu, sebagaimana mahasiswa antropologi lain yang perlu mengisi perpustakaan pribadinya dengan berbagai karya etnografi terbaru, maka saya sempatkan membeli buku ini pada acara peluncurannya di FIB. Kala itu, saya tidak berminat segera membacanya, kecuali pada bagian kata pengantar (dan itu lebih dikarenakan Mas Pujo yang menulis) dan pendahuluan. Alasannya, saya mengambil kuliah-kuliah di klaster

C, yang memfokus pada isu-isu kesenian, budaya pop, konsumerisme, agama, perkotaan, etnografi tafsiriah, dan politik identitas. Lantas, di semester kedua tahun 2012, di satu kuliah Dr. Nicolaas Warouw—untuk kali pertama sekaligus terakhir sebagai mahasiswa beliau di UGM—saya berkenalan dengan konsep dari Foucault itu. Namun bukan dari karya Li, melainkan dari artikel Arjun Appadurai soal bagaimana warga pemukiman kumuh (slums) di Mumbai, India mengorganisasi (mengelola) diri mereka dalam rangka mempertahankan hak mukim di “tanah tak bertuan” yang diklaim milik negara.

Dalam bulan Januari 2013, di tengah-tengah mengerjakan beragam makalah akhir semester, hinggap di telinga saya bahwa ada kans untuk penelitian Orang Laut dan menuliskannya sebagai tesis. Seketika itu pula, saya mencoba menulis proposal tesis soal Orang Laut. Akan tetapi, yang terjadi justru munculnya kegeli- sahan dan kekhawatiran dalam diri saya, karena selama masa kuliah saya tidak mengakrabi wacana antropologi ekonomi-politik. Sementara sederet topik yang disodorkan dalam skema itu seputar isu ‘kemakmuran’. Saya kemudian berpikir: apa yang menarik dari fenomena kelautan pada Orang Laut hari ini, di mana mereka sudah tidak lagi hidup mengembara. Kepustakaan yang tersedia dalam Dalam bulan Januari 2013, di tengah-tengah mengerjakan beragam makalah akhir semester, hinggap di telinga saya bahwa ada kans untuk penelitian Orang Laut dan menuliskannya sebagai tesis. Seketika itu pula, saya mencoba menulis proposal tesis soal Orang Laut. Akan tetapi, yang terjadi justru munculnya kegeli- sahan dan kekhawatiran dalam diri saya, karena selama masa kuliah saya tidak mengakrabi wacana antropologi ekonomi-politik. Sementara sederet topik yang disodorkan dalam skema itu seputar isu ‘kemakmuran’. Saya kemudian berpikir: apa yang menarik dari fenomena kelautan pada Orang Laut hari ini, di mana mereka sudah tidak lagi hidup mengembara. Kepustakaan yang tersedia dalam

Pikir saya waktu itu, katakan saja bahwa studi ini akan berbeda dengan literatur yang ada, sebab informasi yang mungkin saya dapatkan ialah informasi pasca-Reformasi di mana Orang Laut telah menjalani kehidupan di bawah pemerintah otonomi daerah. Selain itu, saya melihat bahwa Kepri terutama Batam sebagai kawasan perdagangan bebas ternyata tidak banyak berubah, kendati secara administratif dan politik tidak lagi seperti di masa Orde Baru. Dengan kerangka teori “governmentality”-nya Foucault, secuil hal itulah yang saya sangka akan pas kalau saya mencoba mengaitkan konteks makro tersebut dengan efek yang muncul pada kehidupan Orang Suku Laut dewasa ini. Akan tetapi, lagi-lagi, bagaimana caranya mengoperasikan perspektif yang lahir dari pemikiran ‘awang-awang’ itu untuk riset etnografi? Akhirnya, saya menemukan buku yang secara spesifik mengupas hal-hal itu: Anthropologies of Modernity: Foucault, Governmentality, and Life Politics (2006) di perpustakaan! Ceritera soal dua sumber itulah yang menjadi awal pijakan saya mengapa kemudian beberapa gagasan Foucault mengemuka dan agak dominan dalam tesis ini. Walaupun saya bukan Foucauldian, saya merasa ketika sebuah konsep atau pemikiran tertentu didalami dengan serius dan dicoba untuk diaplikasikan ke dalam suatu penelitian dan analisis tertentu, maka yang akan kita hadapi adalah kenyataan bahwa kerja ini tidak sesederhana seperti hasil-hasil penelitian yang kita baca dalam beberapa artikel.

Dari semua hal di atas, saya hendak menghaturkan rasa terima kasih kepada pihak-pihak yang secara langsung maupun tidak mendukung saya melanjutkan studi ke jenjang S2 Antropologi di UGM. Atas izinnya dan dukungan dana selama perkuliahan, saya mengucapkan terima kasih kepada Prof. Dr. Wiendu Nuryanti, M.Arch. (Arsitektur UGM), Ibu Eni Ratnadewi (Stuppa Indonesia), Ir. Hernowo Mulyawan, M.Sc. (Stuppa Indonesia), dan mbak Dewi dan mbak Watik di bagian administrasi dan keuangan Stuppa Indonesia.

Selama berkuliah, saya mengucapkan terima kasih kepada para guru saya: Prof. Dr. Suhardi, Prof. Dr. Hari Poerwanto (Alm.), Prof Dr. Heddy Shri Ahimsa- Putra, Prof. Dr. P.M. Laksono, Dr. Lono Lastoro Simatupang, Dr. Pujo Semedi, Dr. Nicolaas Warouw, Dr. Setiadi, Prof. Dr. Irwan Abdullah, Dr. Suzie Handayani, Dr. Laksmi Savitri, dan tentu saja kepada pembimbing akademik saya, Dr. Atik Triratnawati.

Dalam persiapan proposal penelitian, saya mengucapkan terima kasih atas diskusi dan pembacaan kritis dari Dr. Pujo Semedi, Prof. Heddy Shri Ahimsa- Putra, Prof. P.M. Laksono, Dr. Setiadi, Des Christy, Bakti Utama, Aryo Yudanto, L. Hanny Widjaja, Gaffari Rahmadian, Runavia, mbak Sita Hidayah, Lukman Solihin (Puslitbangbud, Kemendikbud Jakarta), Imam Ardhianto (Antropologi, FISIP UI Jakarta), Geger Riyanto (Sosiologi, FISIP UI Jakarta), Mirwan Andan (ruangrupa Jakarta), Afthonul Afif, dan Ibnu Nadzir (LIPI Jakarta).

Atas kesempatan penelitian dari skema dana penelitian master In Search of Balance (ISB) yang merupakan kerja sama antara UGM dan the University of Agder (UiA), saya haturkan terima kasih kepada Dr. Pujo Semedi (Dekan FIB), Dr. Wening Udasmoro, M.Hum., D.E.A. (Sastra Prancis), serta pengurus harian ISB, Dr. Agus Suwignyo dan Arum Chandra, M.A. yang dengan sabar menunggu laporan perkembangan saya yang kerap mepet deadline.

Kepada mereka yang mendukung saya selama penelitian di Batam: Keluarga Andi Fahrizal, mbak Binar, Nenek, Andri Mainu, Keluarga Palu Mainu di Baloi Mas, Yayasan Pendidikan Anak Bangsa di Sekupang, para staf Dinas Sosial Kota Batam, Bapak Baswir, S.Sos, dan saudara Agus dari Dinas Sosial Provinsi Kepulauan Riau di kota Tanjung Pinang. Di Pulau Bertam, saya berterimakasih kepada Keluarga Pak Mohtar, Keluarga Pak Rahman, Keluarga Pak Beloh, Keluarga Pak Seran, Keluarga Pak Husein, Keluarga Bang Endi, Udin, Azan, Jeki, Nenek Nur, Keluarga Pak Jalil, Keluarga Mas Slamet, Keluarga Datuk Madan, Keluarga Bang Akim, serta kawan-kawan saya orang Buton, Bugis, dan orang Laut di Pulau Lingka, Pulau Gara, dan Pulau Bulang.

Dalam proses penulisan, saya sangat berterimakasih atas deretan komentar kritis dan konstruktif kepada pembimbing saya Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa- Putra, Dr. Pujo Semedi, Des Christy, Lukman Solihin, Bakti Utama, L. Hanny

Widjaja, Realisa D. Massardi, Manggala Ismanto, Aryo Yudanto, kepada Elan Lazuardi yang membantu mengedit materi poster, Frida, mbak Sita Hidayah, Ibnu Nadzir, Mirwan Andan, Gde Dwitya Arief Metera (Northwestern University, Chicago), Topik (Sejarah UGM), Endy Saputro (CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM). Juga kepada Tante Ira yang memungkinkan saya mendapat pinjaman printer selama mengerjakan tesis, Mas Sarwo untuk kemudahan yang semudah- mudahnya mengakses ruang dan buku-buku di perpustakaan antropologi, dan Pak Dharmono di administrasi Jurusan Antropologi UGM dan para staf administrasi pasca-sarjana FIB UGM. Teman-teman @sekitarkandhang dan se- alma mater, Argo, Sofyan, Ichsan Rahmanto, Toni, Dano, Ariep, Obi, Doni, dan beberapa anonimus yang kerap memberi tawa di tengah penatnya otak. Kalian ini seperti yang Aristoteles sering katakan, “friendship is the highest good.” Thanks dude!

Saya juga secara khusus menyampaikan rasa terima kasih yang besar atas kebaikan Dr. Cynthia Chou (Copenhagen University) yang telah memberikan izin untuk mengutip dan menampilkan ulang peta, gambar, dan tabel dari sejumlah karyanya termasuk yang ditulis bersama Dr. Vivienne Wee.

Menutup bagian ini, saya harus mengatakan bahwa kerja ini barangkali tidak akan selesai dengan baik tanpa dukungan dan doa keluarga batih dan luas saya. Terima kasih kepada Mami (ibunda) saya, Mama Tuti-Papa Aryo kedua mertua saya, kakak-kakak: Mas Andi, Mbak Dhani, Mbak Arin, Mas Er, dan Mbak Hanny. Rasa syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Oke dan segala bentuk pujian kepada-Nya, sebab telah memberi saya pasangan hidup yang luar biasa: Rani Ariana, dan juga pejantan sebagai generasi penerus kami: Lakshmana Ken- Djnana, yang selalu mendukung dengan penuh kesabaran dan doa yang tak pernah henti.

Dayu Permai, April 2014

Khidir M. Prawirosusanto

DAFTAR TABEL

Tabel 2.1. Kategori Masyarakat Terasing dan Ciri-cirinya Menurut Pemerintah

44 Tabel 2.2. Langkah-langkah Teknis Pemukiman dan Pembinaan Orang Laut di Bertam oleh Pemerintah ……………………………………….……….

48 Tabel 2.3. Perkembangan Pembangunan Infrastruktur dan Pembinaan Suku Laut di Pulau Bertam Tahun 1985 – 1999 …………………………..…

58 Tabel 2.4. Populasi Komunitas Suku Laut dan Persebarannya di Daerah Perbatasan Riau ………………………………………………………….

68 Tabel 2.5. Populasi Orang Suku Laut di Wilayah Riau dan Kepulauan ………...

70 Tabel 2.6. Cacah Jiwa Per Kepala Keluarga di Pulau Bertam Tahun 2013 ……

72 Tabel 3.1. Klasifikasi Mata Pencaharian Laut Orang Bertam ……………………

107 Tabel 3.2. Kisaran Modal Nelayan Untuk Satu Kali Kerja Bilis ………………….

116 Tabel 3.3. Mata Pencaharian Rangkap (Kerja Laut dan Darat) Orang Bertam ..

123 Tabel 3.4. Klasifikasi Mata Pencaharian Darat Orang Bertam ………………….

125 Tabel 3.5 Fase-fase Perubahan Mata Pencaharian Orang Bertam ……………

134 Tabel 4.1. Klasifikasi Makna Teritori dalam Pandangan Orang Bertam ………..

156 Tabel 4.2. Kepemilikan Perahu & Mesin Sebagai Alat Produksi dan Transportasi ……………………………………………………………….

163 Tabel 4.3. Tingkatan Kesejahteraan (Wealth Rank) Orang Bertam …………….

171 Tabel 4.4. Daftar Nama Pemilik dan Nomor Rumah Pada Gambar 4.3. & 4.4. .. 182

DAFTAR PETA DAN GAMBAR

Skema 1.1. Relasi Negara dan Orang Suku Laut dalam Pembangunan ………..

16 Peta 2.1.

33 Peta 2.2.

Persebaran Orang Suku Laut di Provinsi Kepulauan Riau ………….

67 Peta 4.1.

Persebaran Orang Suku Laut di Wilayah Pulau Batam ……………..

Jaringan Kerabat dan Teritori Sumber-sumber Daya Maritim Orang Laut di Kepulauan Riau …………………………………………………

143

Gambar 2.1. Sampan Beratap Kajang Orang Suku Laut di Kepulauan Riau ……

53 Gambar 2.2. Layar di Sampan Orang Suku Laut di Kepulauan Riau …………….

54 Gambar 2.3. Pembangunan Permukiman Orang Suku Laut di Bertam pada akhir tahun 1980an ……………………………………………………..

63 Gambar 2.4. Denah Kampung Orang Suku Laut Pulau Bertam Tahun 1987 – awal 1990an …………………………………………………………….

64 Gambar 2.5 Permukiman Orang Suku Laut di Bertam pada akhir tahun 1980an

65 Gambar 3.1. Contoh Bangunan Rumah Yang Dianggap Pemerintah Tidak Layak Huni: Rumah milik Udin dari Program Pemukiman FKKS 1980an (Kiri) dan Rumah Buatan Binson yang Diusulkan Untuk Mendapatkan Bantuan Rehabilitasi RTLH (Kanan) …………………

85 Gambar 3.2. (Kiri) Di kala air surut, perempuan Bertam biasa ‘turun’ mencari udang di pagi hari untuk dikonsumsi. (Atas) Sekarang, aktivitas melaut tak hanya dikerjakan oleh para lelaki, namun bersama anaknya dan perempuan dapat menemani suaminya bekerja laut. (Kiri Bawah) Seorang perempuan Bertam sedang memasang umpan pada kail pancingnya. (Kanan Bawah) Sepulang sekolah, sebagian anak Suku Laut dijemput ibunya, dan sangat biasa jika banyak anak lain yang menumpang ………………………………….

109 Gambar 4.1. Jenis-jenis Sampan dan Alat Kayuh Orang Suku Laut …………….. 158 Gambar 4.2. Denah Kampung Orang Suku Laut Pulau Bertam Tahun 1987 –

awal 1990an …………………………………………………………….. 179 Gambar 4.3 Denah Kampung Orang Suku Laut Pulau Bertam Tahun 2013 …... 180 Gambar 4.4. Formasi Kampung Orang Suku Laut Berdasar Aliansi Kekerabatan

di Pulau Bertam ………………………………………………………… 181 Gambar 4.5. Struktur Kepemimpinan Tradisional Orang Laut ……………………. 187

ABSTRAKSI

Tesis ini mendiskusikan alasan-alasan di balik mengapa Orang Suku Laut di Pulau Bertam, Provinsi Kepulauan Riau, Indonesia, memerima ‘kepengaturan’ negara (Foucault 1991) dengan jalan lebih memilih hidup di permukiman yang ditawarkan pemerintah melalui Program Pemukiman di pertengahan tahun 1980an. Di masa itu, Orang Laut dianggap pemerintah sebagai sukubangsa terbelakang, lemah, sekaligus miskin sehingga pemerintah merasa perlu mem- benahi sendi-sendi kesejahteraan dalam kehidupan mereka.

Program pemukiman itu memantik berbagai konsekuensi pada kehidupan sehari- hari Orang Laut. Mengingat ini, maka wajar ketika saya mengajukan pertanyaan: mengapa sukubangsa pengembara laut ini tetap memilih untuk tinggal di darat daripada kembali menjalani pola kehidupan tradisional mereka sebagai ‘orang sampan’ yang merupakan jati diri mereka? Dalam cara atau proses seperti apa persepsi atau pemaknaan mereka atas pola kehidupan laut ini beralih dan akhir- nya mampu beradaptasi dengan pola kehidupan darat? Dalam kasus tesis ini, agaknya jawaban atas sejumlah pertanyaan saya terletak pada hal-hal yang merupakan implikasi-implikasi dari pilihan mereka untuk mengusung ‘identitas baru’: sebagai Orang Bertam.

Identitas baru ini tampak dalam berbagai bidang kehidupan mereka. Hubungan sosial tidak lagi dibangun berdasarkan relasi kekerabatan dalam satu sampan, melainkan dari rumah-rumah yang tersusun dalam kampung. Mereka juga tidak lagi menganut sistem kepemimpinan Batin, yang diubah ke Ketua RT. Dengan begini, sejumlah keuntungan bisa mereka peroleh dari pemerintah. Lebih dari itu, menjadi Orang Bertam atau hidup di darat mereka maknai sebagai satu jalan untuk terus meraih keuntungan dari program-program bantuan pemerintah, karena status mereka sebagai nelayan miskin. Itulah mengapa saya berpendapat bahwa dengan menerima kepengaturan negara mereka membayangkan dapat meraih kesejahteraan dan dengan sendirinya mengikis citra negatif yang selama ini melekat pada komunitas Orang Suku Laut ini.

Kata Kunci: Orang Suku Laut, ‘kepengaturan’ negara, pembangunan nasional,

program pemukiman, perubahan sosial, budaya maritim.

ABSTRACT

This thesis discusses the reasons why the nomadic sea tribe, Orang Laut, in Riau Islands Province, Indonesia, accepted state governmentality (Foucault 1991) by choosing to live in a land settlement offered by a Resettlement Program in the mid-1980s. In the age of nation-states, the Indonesian government characterised the Orang Laut as an 'isolated and impoverished community', and took it upon itself to improve the community's welfare.

The Resettlement Program has had many negative repercussions for the Sea Nomads' everyday lives. Considering these, it only becomes natural to ask why the nomads chose life as land dwellers instead of returning to boat-dwelling and retaining their sea tribe identities. In which ways did their perceptions of the space of boat-dwellers transform so as to adapt to the life of land dwellers? In this Indonesian case study, the answer lies in the implications of the community's political choices to acquire "new identities": as Orang Bertam.

This identities redefinition demonstrated how in relation to their clan association, transformation of the Sea nomads' perception of space as boat-dwellers to one of land-dwellers is quite different from the original government design. They no longer maintain Batin as their traditional leader based on his inherent advanta- ges. Furthermore, to live on land means that they will continue to gain benefits from their "new identity" as poor fishermen in the form of Resettlement Program aids.

Keywords: Orang Suku Laut, state governmentality, national development, Resettlement Program, social change, maritime culture.

BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Orang Suku Laut (selanjutnya disingkat OSL dan secara bergantian disebut juga Orang Laut) di Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) telah berubah seiring dengan agenda pembangunan (Kompas 23/02/2013). Mereka tidak lagi hidup dalam kultur zeeno- maden—hidup mengembara dengan sampan di lautan bebas, tidak pula melakukan aktivitas ekonomi subsisten. Mereka kini hidup dalam paradoks: hendak menjadi manusia ‘modern’ atau bertahan dengan ‘tradisi’ moyang mereka dengan segala konsekuensinya (Bettarini 1991; Chou 1997, 2010; Kompas 23/02/ 2013; Lenhart 1997, 2002, 2004; Trisnadi 2002). Fakta ini tidak tercipta secara ‘alamiah’—misal lantaran munculnya kesadaran tertentu dari dalam diri OSL, melainkan merupakan konsekuensi dari suatu proses sosial dan sejarah yang membuat mereka berubah dari pola hidup tertentu ke pola hidup yang lain, yang pada gilirannya melahirkan kesadaran baru—yang bagi saya merupakan kesadaran buatan.

Dalam konteks pembangunan tersebut, negara merupakan salah satu entitas yang berkuasa untuk mengubah realitas kehidupan warganya. Vivienne Wee dan Cynthia Chou berpendapat bahwa, “(state) power is the authority to define and thereby shape realities is also the power to make history and create discourse” (Wee dan Chou 1997:528, 531). Wujud otoritas negara dalam menentukan kehidupan warganya berupa campur-tangan mereka terhadap arah perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat lokal dan “komunitas suku-suku terasing”, seperti komunitas OSL di seluruh Kepri. Sehubungan dengan penelitian saya, kondisi kehidupan komu- nitas OSL di Pulau Bertam, Kepri saat ini menjadi salah satu bukti besarnya campur- Dalam konteks pembangunan tersebut, negara merupakan salah satu entitas yang berkuasa untuk mengubah realitas kehidupan warganya. Vivienne Wee dan Cynthia Chou berpendapat bahwa, “(state) power is the authority to define and thereby shape realities is also the power to make history and create discourse” (Wee dan Chou 1997:528, 531). Wujud otoritas negara dalam menentukan kehidupan warganya berupa campur-tangan mereka terhadap arah perubahan sosial yang terjadi pada masyarakat lokal dan “komunitas suku-suku terasing”, seperti komunitas OSL di seluruh Kepri. Sehubungan dengan penelitian saya, kondisi kehidupan komu- nitas OSL di Pulau Bertam, Kepri saat ini menjadi salah satu bukti besarnya campur-

Kendati negara bukan agen tunggal perubahan sosial di sana, Pulau Bertam merupakan salah satu pulau yang pernah menjadi ‘pilot project’ program permu- kiman bagi mereka yang digolongkan sebagai komunitas suku terasing di Kepri pada pertengahan dekade 1980an. Ketika itu, proyek Pulau Bertam ini menjadi tanggung jawab FKKS (Forum Komunikasi dan Konsultasi Sosial) Batam, yang sebelumnya dipegang oleh beberapa organisasi seperti Kosgoro (Bettarini 1991:10-11). Oleh sebab itu, Pulau Bertam dengan komunitas OSL di dalamnya bagai monumen yang melambangkan ‘domestikasi sosial’ komunitas pengembara laut oleh negara secara sistematis.

Pembangunan kawasan ekonomi industri di Pulau Batam pada akhir 1970an mempengaruhi perubahan corak kehidupan komunitas OSL yang berada di seluruh perairan Kepulauan Riau (Mubyarto 1997:542). Dengan menciptakan Otorita Batam sebagai satelit pemerintah pusat (kini bernama Badan Pengusahaan [BP] Batam), konsentrasi pemerintah dan pihak-pihak swasta rekan pemerintah terkuras dalam mengubah kekayaan alam (daratan dan maritim) yang mulanya ‘tak bernilai ekonomi’ menjadi modal pembangunan yang bernilai ekonomi (Chou 2003:132, 2010:128; Chou dan Wee 2002:323; Dhakidae 2009:2; Ong 2005:94-96; Wee dan Chou 1997: 533-537). Ketika itu, Pulau Batam disiapkan sebagai area perdagangan bebas dan kawasan pelabuhan internasional, sekaligus industri multinasional (Wee dan Chou 1997).

Setelah berjalan kurang lebih sepuluh tahun, pembangunan dilanjutkan dengan konsep yang lebih mutakhir, yaitu rencana pembangunan kawasan ekonomi Indone- Setelah berjalan kurang lebih sepuluh tahun, pembangunan dilanjutkan dengan konsep yang lebih mutakhir, yaitu rencana pembangunan kawasan ekonomi Indone-

Beberapa ahli mengatakan bahwa pembangunan kawasan ekonomi merupakan satu model “pembangunan dari atas”, dan oleh karenanya berpeluang menimbulkan masalah-masalah sosial-budaya bilamana tidak diimbangi dengan “pembangunan dari bawah”. “Pembangunan dari bawah” salah satunya bertujuan menyiapkan masyarakat lokal agar ‘mampu bertahan’ (jika bukan ‘mampu bersaing’) terhadap situasi perubahan sosial-ekonomi yang begitu pesat. Lebih dari itu, “pembangunan dari bawah” mengandaikan aktivitas pembangunan yang disesuaikan dengan aspi- rasi masyarakat sasaran pembangunan (cf. Appadurai 2002). Namun, hal ini belum diupayakan pemerintah Indonesia pada masa-masa itu.

Di Kepri, OSL merupakan satu komunitas yang disasar pembangunan agar paling tidak sebagian besar dari kelompok mereka mulai hidup menetap. Dengan hidup menetap, mereka dibayangkan setidaknya dapat dikontrol dan diawasi secara administratif, sebelum kemudian diberi program-program penyetaraan taraf hidup (Dove 1985; Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Mempertimbangkan pemikiran Stephen Collier dan Andrew Lakoff (2005 dalam Jiménez 2008:16), situasi semacam ini meru- Di Kepri, OSL merupakan satu komunitas yang disasar pembangunan agar paling tidak sebagian besar dari kelompok mereka mulai hidup menetap. Dengan hidup menetap, mereka dibayangkan setidaknya dapat dikontrol dan diawasi secara administratif, sebelum kemudian diberi program-program penyetaraan taraf hidup (Dove 1985; Scott 1998a, 2009; Tsing 1998). Mempertimbangkan pemikiran Stephen Collier dan Andrew Lakoff (2005 dalam Jiménez 2008:16), situasi semacam ini meru-

Sehubungan dengan itu, pemerintah menyiapkan dengan rinci dasar menjalan- kan program penyetaraan taraf hidup ‘masyarakat sederhana’. Salah satunya adalah dengan merumuskan kategorisasi sosial tertentu agar strategi penyetaraan taraf hidup ini dapat diberlakukan dengan tepat (Colchester 1989). Masyarakat sederhana seperti komunitas OSL tersebut lantas dikategorikan sebagai masyarakat terasing, terbelakang, dan tertinggal (Mubyarto 1995; Ong 2005:92). Dari sini, pemerintah dapat menerapkan program IDT sebagai ancang-ancang pemerataan pembangunan ekonomi berskala nasional dan, “the Orang Laut must be transformed and resettled in urban settings” (Chou 2010:132). Dengan demikian, hal-hal semacam itu saya kira sejalan dengan gagasan Michel Foucault (1991) mengenai “governmentality”.

Melalui skema Pembinaan Kesejahteraan Masyarakat Terasing (PKMT) di akhir periode 1980an hingga pertengahan 1990an, sebagian besar komunitas OSL di Kepri berhasil dimukimkan lewat program pemukiman. Orang Laut kemudian menjadi penduduk tetap kepulauan, bukan lagi masyarakat nomadik (lihat Chou 2010). Keberhasilan ‘mendaratkan’ berbagai klan dari komunitas OSL ini diklaim oleh negara sebagai satu kesuksesan dari sekian rangkaian program pembangunan nasional semasa Orde Baru (Bettarini 1991; Chou 1997, 2010; Colchester 1989:89;

cf. Haba 2002; Lenhart 1997, 2002; Mubyarto 1995; Sembiring 1993, 1995; Trisnadi 2002). Beberapa ahli mengungkapkan bahwa ‘dirumahkannya’ komunitas OSL lewat program pemukiman dan pembinaan oleh Direktorat Bina Masyarakat Terasing (DBMT), Departemen Sosial kala itu (Bettarini 1991; Chou 2003, 2010; Lenhart 1997,

2002) secara umum berdampak pada dua aspek: sosial-kultural dan ekonomi-politik (Chou 2006, 2010; lihat Bab III dan IV).

Dari uraian singkat ini, dengan demikian, kita dapat menduga bahwa ide ‘kepeng- aturan’ negara di balik penyiapan Provinsi Kepri dalam pembangunan yang berorien- tasi pada global market economy mengabaikan kesejahteraan rakyatnya (Chou dan Wee 2002; Mubyarto 1997). Mimpi terdistribusinya kemakmuran secara merata bagi semua pihak melalui pembangunan ekonomi nasional buyar, sebab fakta bahwa hak-hak komunitas OSL sebagai penduduk lokal terhadap teritori kulturalnya justru semakin dibenamkan (Chou 2003:6, 2010; Chou dan Wee 2002:354-355; Mubyarto 1997; Wee dan Chou 1997:533; Ong 2005:100). Oleh karena itu, untuk menciptakan warga negara yang patuh, tertata, stabil, dan terkendali semacam ini, Aihwa Ong mengatakan negara hampir selalu secara sengaja mengaburkan (kalau tidak hendak dikatakan menghilangkan) hak-hak warga negara (Ong 2005:86).

B. PERMASALAHAN

Uraian di atas memberi gambaran mengenai dua hal. Pertama, latar belakang sejarah sosio, politik, dan ekonomi komunitas Orang Suku Laut yang dimukimkan oleh negara dan sengaja membuat mereka tidak mempunyai otoritas penuh meng- akses sumber daya alam maritim di teritori tertentu. Kedua, alieniasi OSL dalam relasi dengan negara seperti itu dipicu juga oleh program-program pemerintah yang hingga hari ini masih berorientasi pada model top-down. Oleh karena itu, dalam penelitian ini saya hendak menerangkan transformasi nilai-nilai sosial-kultural dalam praktik sehari-hari mereka sebagai konsekuensi dari hubungan Orang Laut dengan negara.

Dalam tujuan itu, penelitian akan saya mulai dari proses bermukimnya komunitas OSL di Bertam dan kemudian masuk pada konsekuensi pasca-program pemukiman tersebut. Oleh karenanya, setidaknya ada tiga rumusan masalah dalam penelitian ini, yaitu (1) mengapa dan dalam konteks apa komunitas OSL dimukimkan di Pulau Bertam? Ketika proses pemukiman berlangsung, (2) perubahan-perubahan sosial- budaya apa yang terjadi pada kehidupan Orang Bertam? Berangkat dari asumsi bahwa manusia merupakan makhluk yang kompleks dengan berbagai faktor yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak (Winarno 2010), maka (3) apa pemakna- an dan reaksi Orang Laut atas pelbagai perubahan sosial-budaya yang membuat mereka bertahan di “darat” dan tidak kembali berperilaku sebagai “orang sampan”?

C. TINJAUAN PUSTAKA

Untuk menempatkan posisi studi saya terhadap studi-studi terdahulu, dalam kajian pustaka saya akan mendiskusikan dimensi paradigma yang terdapat pada sejumlah kajian mengenai Orang Suku Laut di Kepri dan komunitas serupa di kawasan Asia Tenggara. Oleh karenanya, perhatian saya ialah pada konsep-konsep yang digunakan dalam memahami dan menerangkan fenomena kebudayaan dalam penelitian mereka. Saya juga akan melihat pada beberapa temuan penelitian dan kesimpulannya. Sebagaimana akan saya tunjukkan di bawah, pendekatan yang paling banyak digunakan dalam penelitian berkaitan dengan fenomena Orang Laut adalah paradigma-paradigma perubahan sosial-budaya yang berbasis epistemologi positivisme, historisisme, dan fenomenologi.

Jikalau kita lihat pada beberapa karya klasik mengenai suku pengembara laut di kawasan Asia Tenggara, sudut pandang historis dan perbandingan kebudayaan mendominasi di sejumlah tulisan (lihat Chou 2006; Shoper 1977; White 1982 [1922]).

Dengan pendekatan ini, mereka mencoba merekonstruksi asal usul komunitas ini, mendeskripsikan ciri-ciri kebudayaan secara holistik dan rinci, dan menunjukkan bagaimana pola migrasi sea gypsies ini terjadi di kawasan Asia Tenggara. Sedang- kan pada tulisan White, ia mengupas secara genealogis kehidupan Mawken (Orang Laut) yang tersebar di beberapa lokasi di Semenajung Melayu (daerah pesisir Siam [Thailand] dan Burma [Myanmar]), perairan Laut Cina Selatan. Baik Sopher maupun White berargumen bahwa kebudayaan Orang Laut terbentuk atas proses migrasi dan adaptasi di lingkungan tempat mereka berlabuh. Menurut saya, keduanya dekat ke paradigma partikularisme historis jalur Boasian (lihat Ahimsa-Putra 2008:13) atau bisa juga digolongkan sebagai studi regional comparison (lihat Barnard 2010:206).

Pada karya lain kita temui pendekatan historis melalui esai James Warren (2003) dan Barbara Andaya (1997). Warren memahami konstruksi identitas melalui per- bandingan riwayat Orang Laut di akhir abad ke-18 dan permulaan abad ke-20. Dari persebaran mereka di Asia Tenggara, Warren menunjukkan bahwa identitas Orang Laut di masa lalu dibentuk dalam relasi hierarkis dengan kesultanan Melayu di selat Malaka dan interaksi antarkomunitas lewat mobilitas mereka. Namun, identitas orang sampan berubah seiring berakhirnya era monarki dan kolonialisme di abad ke-20, yang diganti oleh sistem negara modern (Warren 2003:5-6; lihat juga Wee dan Chou 1997:528). Sedangkan studi Andaya lebih melihat dinamika ekonomi politik dalam konteks hadirnya nation-state di akhir abad ke-20. Ia mengatakan bahwa komunitas lokal di kawasan Riau (salah satunya Orang Suku Laut) sebagai “pemilik” tanah atau wilayah harusnya dilibatkan dan diposisikan setara dengan pihak-pihak lain (teruta- ma para kaum pemodal) dalam proses pembangunan.

Selain paradigma bercorak historis, beberapa tulisan menggunakan kerangka berpikir interpretif (tafsir kebudayaan)—baik model Victor Turner maupun Clifford Geertz, untuk menerangkan relasi-relasi simbolik yang mewujud dalam budaya material maupun pola relasi yang terjalin dalam praktik kehidupan suatu masyarakat. Pendekatan simbol à la Turner muncul pada tulisan François-Robert Zacot (2008) yang mendeskripsikan secara rinci sistem kebudayaan Orang Bajo yang terwujud dalam simbol-simbol kebudayaan mereka, dan bagaimana intensitas interaksi Orang Bajo dengan “orang darat” yang mempengaruhi kesadaran mereka tentang penanda- penanda identitas tertentu. Sementara Michael Southon (1995) dengan paradigma interpretifnya Geertz (1973) mencoba menerangkan bahwa gagasan orang Buton Laut memiliki asosiasi-asosiasi simbolik di dalam praktik sosial mereka. Gagasan (nilai-nilai) tertentu menjadi model atas realitas, dan realitas merupakan perlambang proses transformasi dari gagasan tersebut. Dia menyimpulkan, perahu merupakan lambang “roda ekonomi” Buton Laut sehingga nilai-nilai kultural tampak pada bentuk relasi-relasi di dalam keluarga batih dan antarawak perahu. Relasi-relasi ini merepre- sentasikan mekanisme produksi dalam menentukan keberhasilan ekonomi rumah tangga mereka. Oleh sebab itu, “ekonomi perahu” berperan besar dalam membentuk pranata-pranata sosial-politik dan juga hierarki sosial Orang Buton Laut.

Lebih lanjut, paradigma strukturalisme juga mewarnai kajian-kajian mengenai suku bangsa seafaring. Varian analisis strukturalisme setidaknya dapat dikelompok- kan ke dalam dua tradisi pemikiran, yaitu strukturalisme Lévi-Strauss dan analisis strukturalnya Edmund Leach yang mengarah pada studi-studi mengenai simbolisme kebudayaan serta perdebatan systems of exchange dan ekonomi dalam tradisi Marcell Mauss (lihat Carrier 2010:274). Khusus untuk corak yang kedua, mereka berasumsi bahwa, “the symbols of certain societies can be shown to form master Lebih lanjut, paradigma strukturalisme juga mewarnai kajian-kajian mengenai suku bangsa seafaring. Varian analisis strukturalisme setidaknya dapat dikelompok- kan ke dalam dua tradisi pemikiran, yaitu strukturalisme Lévi-Strauss dan analisis strukturalnya Edmund Leach yang mengarah pada studi-studi mengenai simbolisme kebudayaan serta perdebatan systems of exchange dan ekonomi dalam tradisi Marcell Mauss (lihat Carrier 2010:274). Khusus untuk corak yang kedua, mereka berasumsi bahwa, “the symbols of certain societies can be shown to form master

Pendekatan strukturalisme Lévi-Strauss muncul pada studi Orang Bajo Laut di Sulawesi Selatan (Ahimsa-Putra 2006, 2011). Obyek material yang menjadi perha- tian Ahimsa-Putra adalah dongeng-dongeng (mitos) sehingga cara pandang struk- turalisme Lévi-Strauss-lah yang dipandang strategis membedah makna mitos-mitos itu. Diskusi di dalam kedua esainya kurang lebih mengatakan bahwa orang Bajo Laut dengan sadar menciptakan dongeng sebagai strategi mengatasi berbagai persoalan hidup yang sulit mereka pecahkan pada kehidupan nyata. Melalui mitos pula mereka membangun dan memproyeksikan konektivitas asal-usul (leluhur) dan kedekatannya dengan nilai-nilai budaya orang Bugis (darat).

Dalam studi yang lain, kerangka pikir struktural dan simbolisme dikerjakan oleh Cynthia Chou (2003) untuk melihat persoalan konstruksi makna pertukaran dan poli- tik identitas di kalangan OSL. Secara simbolis, primordialisme Orang Laut muncul dalam kontestasi wacana antara siapa Melayu ‘asli’ dan ‘tidak asli’ di dalam relasinya dengan orang Melayu. Siasat-siasat Orang Laut atas pilihan beragama, kepemilikan atas sesuatu (things), hingga hubungan ekonomi-pertukaran baik di lingkup kerabat Orang Laut maupun dengan pihak di luar kelompoknya menjadi bukti bahwa simbol- Dalam studi yang lain, kerangka pikir struktural dan simbolisme dikerjakan oleh Cynthia Chou (2003) untuk melihat persoalan konstruksi makna pertukaran dan poli- tik identitas di kalangan OSL. Secara simbolis, primordialisme Orang Laut muncul dalam kontestasi wacana antara siapa Melayu ‘asli’ dan ‘tidak asli’ di dalam relasinya dengan orang Melayu. Siasat-siasat Orang Laut atas pilihan beragama, kepemilikan atas sesuatu (things), hingga hubungan ekonomi-pertukaran baik di lingkup kerabat Orang Laut maupun dengan pihak di luar kelompoknya menjadi bukti bahwa simbol-

Pendekatan lain, yaitu konstruksionisme dipakai untuk mendiskusikan pergeser- an pandangan (kesadaran) Orang Laut mengenai orientasi sosial, spasial, dan tem- poral dalam konteks pembangunan Masyarakat Terasing (Lenhart 1997, 2002). Ketiganya menurut Lenhart merupakan aspek-aspek pembeda identitas kesukuan mereka dengan Orang Melayu. Teori “situational definitions” dipakai Lenhart untuk membaca bahwa tekanan pemerintah mendorong Orang Laut berakulturasi (dan berstrategi) ke dalam adat orang Melayu (Lenhart 1997, 2002). Serupa dengan Lenhart, Kemkens (2009) secara fenomenologis melihat perubahan sosial pada hubungan antara kesadaran identitas (simbol-simbol) Orang Bajo di Tinakin Laut, Kepulauan Banggai, Sulawesi Tengah dengan realita lingkungannya yang berubah seiring dengan program resettlement pemerintah. Kemkens menyimpulkan bahwa konstruksi identitas Orang Bajo berubah, karena faktor dorongan kuat dari pemerin- tah untuk mengubah sistem kepercayaan dan teknologi produksi yang dipakai dalam sistem ekonomi tradisional sehingga, “cash economies has replaced by subsistance fishing economies” (Kemkens 2009:56-65). Sedangkan paradigma fungsional muncul pada tulisan Lenhart (2004) yang mengangkat persoalan relasi sosial dalam konteks seks dan gender dan fungsi-fungsinya dalam organisasi sosial Orang Laut di Kepri bahwa kesemua unsur tersebut merupakan satu kesatuan (sistem) yang terkait erat satu dengan lainnya dan berperan menjaga keutuhan identitas kultural, terutama organisasi sosial, mereka.

Perspektif ekonomi-politik merupakan paradigma yang paling banyak dikerjakan untuk melihat perubahan sosial pada komunitas Orang Laut dalam hubungannya

dengan negara dan sistem ekonomi global. Asumsinya, OSL sebagai minoritas dipandang tidak memiliki kekuatan untuk bernegosiasi sehingga mereka termarjinal- kan (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Granbom 2005; Wee dan Chou 1997). Beberapa peneliti ini juga menempatkan persoalan suku bangsa ini ke dalam konteks isu-isu politik ekologi dan globalisasi ekonomi. Mereka mengarahkan telaah- nya pada isu tarik-menarik antara penguasa (negara dan pemilik kapital) dengan Orang Laut mengenai siapa yang berhak mengatur teritori dan sumber daya alam. Dalam konteks historis dan ekonomi-politik, mereka kurang lebih menyimpulkan bahwa jika hak-hak Orang Laut atas teritori kultural dan cara-cara hidup (produksi dan reproduksi) di lingkungan mereka tidak diakui dan dipaksakan sejalan dengan pembangunan, maka cita-cita tergapainya kesejahteraan bagi komunitas ini tidak akan tercapai (Andaya 1997; Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Mubyarto 1997; Wee dan Chou 1997).

Studi dalam perspektif perubahan sosial-budaya lainnya yang berangkat dari asumsi dasar bahwa kebudayaan itu berubah karena dipengaruhi oleh berbagai faktor eksternal, dapat kita jumpai pada beberapa karya (Bettarini 1991; Marsanto 2010a, 2010b; Sembiring 1993, 1995; Suyuti 2011; Trisnadi 2002). Dengan fokus analisis dalam teori strategi adaptasi, Bettarini (1991) dan Suyuti (2011) menekankan bahwa setiap individu dalam komuntias OSL memiliki kemampuan beradaptasi melalui perangkat pengetahuannya untuk mengklasifikasi situasi sosial tertentu serta memahami kebaruan lingkungan sosial yang dihadapinya. Perubahan pola hidup Orang Laut terjadi setelah mereka bermukim: dari tinggal di sampan ke rumah-apung di pesisir pantai serta perubahan pemaknaan atas nilai-nilai kulturalnya (cf. Haba 2002). Sementara itu, Trisnadi (2002) menekankan pada perubahan dalam proses (tahap-tahap) sosialisasi (enkulturasi) Orang Laut dalam mendidik anak-anaknya.

Dalam konteks pembangunan semasa Orde Baru, secara prosesual Trisnadi menyinggung soal perubahan fungsi-fungsi (peran) anggota keluarga yang diasumsi- kan sebagai kunci pola asuh anak-anak Suku Laut pasca-program ‘pemukiman kembali’, terutama ketika mereka mulai mengenyam pendidikan formal. Hasilnya, perubahan hanya terjadi pada tataran material saja, sebab orientasi Orang Laut hidup sebagai nelayan dengan ekologi lautnya merupakan masa depan mereka (cf. Lenhart 2002, 2004). Tulisan terakhir, Sembiring (1993, 1995) berpendapat bahwa fase peradaban Orang Laut secara evolutif dinilai lamban apabila dibandingkan dengan kondisi masyarakat Indonesia pada umumnya. Oleh karena itu, Orang Laut perlu dibina pemerintah dengan intens melalui program-program tertentu agar dapat ‘mengimbangi kemajuan’ zaman.

Dalam beberapa studi Orang Laut di Indonesia dalam konteks perubahan sosial dan pembangunan umumnya menyinggung berbagai implikasinya, termasuk isu-isu kemiskinan dan kemakmuran. Semasa pemerintah Orde Baru (terutama pada Pelita

IV) memang sedang digalakkan program relokasi dan pemukiman (settlement dan resettlement process) kepada berbagai sukubangsa yang dikategorikan sebagai masyarakat terasing. Berkenaan dengan hal ini, literatur yang saya jumpai—hampir semuanya sudah saya uraikan di atas, umumnya dibingkai dalam kerangka berpikir perubahan sosial dan strategi adaptasi (Bettarini 1991; Haba 2002; Kemkens 2009; Lenhart 1997, 2002; Sembiring 1992, 1995), ekologi politik dan konstruksionisme (fenomenologi) (Chou 1997, 2010; Kemkens 2009; Lenhart 1997, 2002), sosial ekonomi (Mubyarto 1997), dan ekonomi-politik dan globalisme (Chou 1997, 2010; Chou dan Wee 2002; Wee dan Chou 1997).

Kendati berbagai literatur di atas menunjukkan fakta-fakta historis dan etnografis mengenai realitas sehari-hari Orang Laut di Kepri dan kasus suku pengembara laut di wilayah lain secara komprehensif dan dianalisis dengan beragam pendekatan, studi-studi itu tetap menyisakan hal-hal yang perlu diperdalam dengan perspektif yang agak lain sehingga muncul insights yang berbeda pula. Sampai kajian terbaru (misal Chou 2010), Orang Laut sebagai obyek sasaran pembangunan dalam tujuan untuk mengentaskan kemiskinan dan keterbelakangan masih diasumsikan (dan di- deskripsikan) sebagai subyek pasif yang seolah-olah menerima program pemerintah begitu saja tanpa ada, misalnya, penolakan-penolakan tertentu, baik secara simbolik maupun terbuka (cf. studi politik pembangunan Scott 1998a, 1998b, 2009:9).

Dengan kata lain, kita dapat berprasangka bahwa sebagai komunitas yang di tengah keterdesakan, keterbatasan, dan “kemiskinan”, Orang Laut atau komunitas lain yang dikenai program pembangunan negara sesungguhnya melancarkan siasat tertentu supaya kehidupan tetap berada di jalur logika kebudayaan mereka dan tentu saja menguntungkan mereka (cf. Lenhart 1997, 2002). Kita dapat membandingkan dengan riset Anthony Reid (2004a) mengenai alasan-alasan para penguasa di Sula- wesi Selatan (Bugis dan Makassar) menerima Islam di abad ke-17 sebagai agama mereka, yang salah satu motifnya adalah pertimbangan “ekonomi”, yaitu agar relasi niaga mereka dengan Malaka terjaga dengan baik. Selain itu, dapat dipertimbangkan pula riset etnohistoris David Henley (2004, lihat juga Henley dan Caldwell 2008) bahwa konsep stranger-king di Sulawesi Tengah dan Utara, yang diadopsi dari studi Marshall Sahlins (1981) pada sistem politik masyarakat kepulauan Pasifik, masuk akal, sebab mereka menghendaki keadilan dan keteraturan sosial-politik dengan jalan menjadikan pihak asing (koloni Belanda) sebagai pemimpin yang mengatur keseimbangan kehidupan politik mereka. Artinya bahwa dalam kasus Orang Laut di

Indonesia pada umumnya, kita perlu bersikap kritis bahwa jangan-jangan anggapan mengenai keberhasilan negara “memberadabkan” komunitas Suku Laut sebetulnya merupakan situasi yang OSL ciptakan semata-mata demi keuntungan mereka (lihat Lenhart 1997, 2002).

Melalui etnografi James Ferguson (2009) di Lesotho, kita dapat menyangka bahwa fenomena kemiskinan Orang Bertam boleh jadi disebabkan oleh governmen- tality atau ‘kepengaturan’ negara yang dikendalikan oleh lembaga donor tertentu. Dalam agenda pembangunan kita melihat bahwa ada tarik-menarik gagasan dan nilai-nilai tentang modern – tradisional, maju – terbelakang, miskin – makmur, hidup layak – tidak layak, menetap – mengembara, lingkungan darat – laut, dan seterusnya yang secara dialektis mengubah aspek-aspek sosial dan kebudayaan komunitas ini. Dengan demikian, saya perlu melihat mengapa dan bagaimana negara menerapkan rancangan-rancangan pembangunannya terhadap Orang Laut, sekaligus cara-cara OSL merespon pembangunan yang muncul dalam keseharian mereka.

D. KERANGKA TEORI

Dalam tulisan ini sejumlah persoalan dan segelintir fakta yang saya sodorkan di atas menunjukkan setidaknya terdapat tiga hal yang berhubungan. Pertama, state governmentality mewujud dalam pembangunan nasional atau yang dalam istilah lain dapat dimaknai sebagai upaya modernisasi ekonomi. Kedua, dalam pembangunan pemerintah mencetuskan dan menjalankan berbagai program secara top-down agar tujuan-tujuan pembangunan segera tercapai. Dalam tujuan demikian, satu program yang saya diskusikan ialah pemukiman bagi “komunitas tribal”, yang menyasar pada komunitas Orang Laut. Meskipun dianggap berjalan mulus, dari program semacam Dalam tulisan ini sejumlah persoalan dan segelintir fakta yang saya sodorkan di atas menunjukkan setidaknya terdapat tiga hal yang berhubungan. Pertama, state governmentality mewujud dalam pembangunan nasional atau yang dalam istilah lain dapat dimaknai sebagai upaya modernisasi ekonomi. Kedua, dalam pembangunan pemerintah mencetuskan dan menjalankan berbagai program secara top-down agar tujuan-tujuan pembangunan segera tercapai. Dalam tujuan demikian, satu program yang saya diskusikan ialah pemukiman bagi “komunitas tribal”, yang menyasar pada komunitas Orang Laut. Meskipun dianggap berjalan mulus, dari program semacam

Sk e m a 1 .1 . Re la si N e ga ra da n Ora ng Suk u La ut da la m Pe m ba nguna n

Skema 1.1. di atas merupakan upaya atau praktik negara mengelola berbagai bidang kehidupan warganya. Hal ini dikonsepsikan Michel Foucault (1991) sebagai ‘the art of government’ atau ‘governmentality’. Colin Gordon (1991) menyebut dalam istilah lain sebagai ‘governmental rationality’, yakni gagasan mengenai relasi kekua- saan yang diimplementasikan untuk menata, mengatur, dan mengendalikan individu-

individu atau masyarakat sesuai dengan kehendak penguasa (baca: negara). ‘The conduct of conduct’ atau ‘pengarahan perilaku’ (Li 2012:9) yang dapat mengerti pula sebagai suatu, “… calculated and systematic ways of thinking and acting that aim to shape, regulate, or manage the comportment of others” (Inda 2005:1). Serupa dengan Jonathan Inda, Gordon mendefinisikannya sebagai, “a form of activity aiming to shape, guide, regulate or affect the conduct of some person or persons” (Gordon 1991:1). Melalui beberapa penggalan definisi itu, dengan demikian, negara tampak menginginkan segenap subyek yang dikuasainya (yakni rakyatnya) bertindak sesuai dengan perangkat-perangkat kepengaturan tertentu yang mengikat, karena dirumus- kan dan ditetapkan negara, misal melalui undang-undang sebagai produk hukum yang sah (Foucault 1991; lihat juga Scott 2005).

Foucault menerangkan bahwa manusia-manusia yang hidup di dalam teritori negara akan menjadi target kekuasaannya. Meski demikian, ada hal yang lebih pen- ting dari sekedar menguasai manusia-manusia tersebut, yaitu mengenai relasi-relasi mereka dengan sesuatu (Foucault 1991:93). Premis ini membawa kita untuk tidak hanya mendiskusikan siapa menguasai siapa, melainkan mengenai siapa menguasai siapa dalam hubungannya dengan sesuatu. Mengenai relasi manusia dengan sesua- tu dan dalam motivasi seperti apa negara perlu mengelola hal-hal itu, Foucault men- jelaskan,

“What government has to do with is … a sort of complex composed of men and things. The things … with which government is to be concerned are in fact men, but men in their relations, their links, their imbrication with those things that are wealth, resources, means of subsistence, the territory with its specific qualities, climate, irri- gation, fertility, and so on; men in their relation to those other things that are customs, habits, ways of acting and thinking, and so on; and finally men in their relation to those still other things that might be accidents and misfortunes such as famine, epi- demics, death, and so on” (Foucault 2000:208–209 dalam Inda 2005:3-4).