Catatan Akhir
6. Catatan Akhir
Soetandyo Wignjosoebroto (2000) pernah menulis, 13 azas teritorialitas dalam sistem pengorganisasi pemerintah di tingkat komunitas diintroduksikan oleh Pemerintah Hindia-
Belanda, termasuk cara desa-desa memperoleh kepalanya, melalui pemerintah ad interim Inggris (1812–1817). Kebijakan itu nyata kalau dimaksudkan untuk membuka apa yang dinamakan ruang publik (public sphere) yang menjadi prasyarat kehidupan demokratis. Lebih lanjut dikatakan bahwa, sekalipun tidak pernah dinyatakan secara eksplisit dalam wacana-
13 Soentandjo Wignjosoebroto, “Menggagas Perundangan Baru Tentang Pemerintahan Desa: Demi Terwujudnya Demokratisasi dan Penguatan Fungsi Sosial Desa,” dalam Angger Jati Wijaya, et.al., 2000,
Reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Kerjasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY. Lihat juga Wignjosoebroto, op.cit. dan Soentandjo Wignjosoebroto, “Mengupayakan Terwujudnya Masyarakat Warga di Desa-desa: Sebuah Cita-cita Berikut Tantangannya, dalam Dadang Juliantara, ed.,2000, Arus Bawah Demokrasi, Otonomi dan Pemberdayaan Desa.
Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.
wacana ilmu pemerintahan, patutlah diduga bahwa kebijakan kolonial itu—apabila memang benar mengacu ke model gemeente (yang sepenuhnya merupakan public sphere tempat para warga dalam suasana egalitarian berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat)—mencoba secara berangsur-angsur mendorong kehidupan-kehidupan pedesaan di Jawa ke realitasnya yang pasca feodal dan/atau pasca adat gemeenschap yang kuno. Hanya saja karena pertimbangan-pertimbangan pragmatis (yang bersangkutan dengan masalah pembiayaan dan keuangan) sajalah yang menyebabkan pemerintahan kolonial tak hendak bertindak tergesa- gesa untuk menjadikan orang-orang Jawa di daerah pedesaan menjadi burgers dan desa-desa menjadi burger-gemeenschap. Maka kebijakan colonial—yang karena alasan pragmatis tersebut di muka—hendak menerapkan sistem indirect rule dalam pemerintahan di tanah jajahan, dengan strategi integrasinya (dan bukan strategi asimilasi yang disebut vernederland- sing ) tetaplah bertahan sampai pecahnya Perang Dunia II.
Dikatakan pula, teritorialisasi itu pada asalnya adalah suatu upaya menciptakan zona- zona netral yang bersuasana sebagai ruang publik, tempat manusia-manusia—dengan menanggalkan atribut-atribut primordial mereka masing-masing yang privat, untuk menjelma dalam kapasitas mereka masing-masing yang baru sebagai sesama warga suatu negara bangsa—bisa bertemu dan membuat berbagai kesepakatan. Namun, betapa pun juga terpujinya maksud tersebut, sesiap apa pun orangnya haruslah menyadari bahwa mengubah suatu organisasi kehidupan masyarakat lokal secara mendasar—dari afiliasi-afiliasinya yang kesukuan-primordial atau parokial (yang oleh karena itu juga serba eksklusif) ke afiliasi- afiliasi yang baru, ialah sebagai warga masyarakat nasional yang berjiwa egalitarian (yang oleh sebab itu juga selalu bersikap inklusif) tidaklah semudah membalik telapak tangan. Perubahan seperti itu tidaklah mungkin menghasilkan efek yang diharapkan manakala dilakukan dengan hanya berdasarkan keputusan legislatif saja. Teritorialisasi dan juga demokratisasi, pada hakekatnya adalah suatu proses transformasi sosial-kultural yang akan mengena seluruh tatanan konfigurasi suatu masyarakat, yang oleh sebab itu tidaklah mungkin terwujud kalau cuma dicukupkan sebagai suatu proses transplantasi, bersarankan kekuatan hukum formal yang koersif sekalipun.
Kajian atas kasus-kasus di Kecamatan Golewa dan Aesesa, Kabupaten Ngada, NTT, menunjukkan kepada kita bahwa upaya pembukaan ruang publik (yang bersifat inklusif) pada ruang-ruang kehidupan masyarakat yang masih bersuku-suku dan genealogis, sebab itu pula bersifat primordial (eksklusif), yang telah dimulai sejak awal abad ini, dan semakin gencar pada masa Orde Baru (terutama melalui perangkat UU No. 5/1979 yang telah dicabut itu), nyatanya telah gagal total. Upaya ini dalam kenyataannya bukannya menjadikan ruang hidup yang bersuku-suku itu menjadi hilang, melainkan malah menjadi subur dan tetap eksis, meski dalam satuan sosial yang warganya lebih kecil jumlahnya.
Yang terjadi di lokasi penelitian adalah bahwa wilayah-wilayah pengelolaan ruang kehidupan publik (khususnya kebijakan pembentukan desa sebagaimana yang diatur dalam undang-undang pemerintahan desa yang ada) justru menjadi wahana (baca: basis material) bagi terwujudnya satuan-satuan sosial ‘suku baru’ (yang hubungan-hubungan sosial dan teritorialnya didasarkan pada garis-garis hubungan genealogis tertentu). Dengan demikian, upaya de-suku-isasi itu, yang dilaksanakan oleh negara selama ini, terkadang dengan kekuatan yang represif, justru memunculkan arus pemisahan diri yang mengencang (dengan semangat suku ‘baru’ dan ‘tersendiri’); yang pada akhirnya, logis saja, membuka ruang konflik harizontal sesama suku, sebagaimana yang digambarkan oleh konflik-konflik pertanahan yang telah diuraian di atas.
Sekarang, pemecahan suku ini dapat berlangsung jauh lebih mudah ketimbang masa- masa sebelumnya. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya kekuatan ‘supra suku’, dalam hal ini negara, yang dapat dijadikan suku (baru) sebagai pelindungnya dalam upaya membangun suku-suku baru itu. Itu terutama dilakukan dengan memanfaatkan aturan-aturan Sekarang, pemecahan suku ini dapat berlangsung jauh lebih mudah ketimbang masa- masa sebelumnya. Hal ini dimungkinkan oleh karena adanya kekuatan ‘supra suku’, dalam hal ini negara, yang dapat dijadikan suku (baru) sebagai pelindungnya dalam upaya membangun suku-suku baru itu. Itu terutama dilakukan dengan memanfaatkan aturan-aturan
Pada masa-masa sebelum adanya kekuatan ‘supra suku’ upaya pemisahan diri ini memerlukan kesiapan suku yang amat matang. Seperti soal kesiapan yang diperlukan untuk melakukan ‘perang tanding.’ Sekarang, program pengembangan desa sebagaimana yang diatur oleh perangkat peraturan-perundangan yang ada dapat saja serta-merta menjadi kendaraan yang paling empuk untuk ditunggangi untuk membentuk suku baru.
Meski begitu, proses yang demikian itu menjadikan suku sebagai suatu institusi dalam situasi yang dilematis (ambigu?). Gerak pemisahan diri itu tentu saja dapat dilihat sebagai adanya suatu kapasitas lokal yang sangat pontensial, di mana identitas suku dapat menggerakkan aksi bersama untuk mencapai tujuan bersama (memisahkan diri). Adanya identitas yang dijunjung bersama, tidak hanya sekedar menjadi bagian dari keberadaan suku yang lama, tentunya akan memicu solidaritas suku yang dapat dilairkan menjadi energi sosial kreatif bagi pencapaian tujuan-tujuan bersama susku itu sendiri. Namun, arus pemecahan diri yang demikian itu tentu saja akan menempatkan suku sebagai suatu kekuatan yang ‘kecil- kecil,’ karena gerak pemecahan suku itu bagaimana pun akan disertai dengan gerak pemecahan kekuatan suku yang ada sebelumnya. Kondisi ini tentunya tidak akan ideal, karena, dengan demikian, akan menempatkan negara dalam posisi yang kuat di atas masyarakat (apa lagi bagi suku yang berlindung di balik kehadiran negara itu sendiri). Sementara, masyarakat sendiri akan berada dalam posisi yang saling bertentangan satu sama lainnya (sebagai akibat pemecahan suku itu).
Upaya teritorialisasi justru melahirkan tuan-tuan tanah, terutama karena dikenalkannya konsep ‘Raja’ pada tingkatan Pemerintahan Swapraja. Singgungan dengan pihak luar (negara dan program-programnya) mendorong terjadinya individualiasi jabatan pimpinan dalam tatanan suku (yang sebelumnya kolektif). Bersamaan dengan itu, pemimpin yang makin tunggal ini menjelma pula menjadi tuan tanah (suatu konsep yang sebenarnya tidak dikenal), karena ketika negara dan programnya butuh tanah maka diperlukan pihak penguasa dari dalam suku yang dapat melepaskan pelepasan tanah suku itu (individualisasi jabatan dalam suku). Dalam prosesnya, tuntutan kehidupan berubah. Kebijakan-kebijakan negara juga tidak mendukung kebijakan-kebijakan dalam suku (misalnya hak adat tidak diakui). Kepala suku jadi selfish (egois) dan menjual tanah. Jabatan tuan tanah pun makin diaktifkan. Rakyat jadi terlantar. Hak ulayat yang tadinya bebas berubah menjadi tidak bebas lagi. Tanah ulayat dikuasai para individu, yaitu para tuan tanah itu.
Tentu saja arus besar membangkitkan suku baru tidak semata untuk memperoleh hegemoni budaya semata melainkan untuk memperoleh sumber daya yang dialirkan (oleh negara) kepada desa. Aliran sumber daya ini perlu direbut karena 1) sumber-sumber kehidupan lokal yang memang makin terbatas (sebagian akibat digerogoti negara, melalui pajak-pajak/retribusi/tata niaga yang tidak adil dan penyedotan pengahasilan lokal melalui pembelian barang-barang yang tidak dihasilkan di kepung/pengaruh perubahan gaya hidup maupun karena terjadinya peningkatan kebutuhan dari dalam sendiri); 2) tidak terdistribusinya sumber daya yang masuk itu secara merata (hanya dikuasai oleh pihak-pihak tertentu, umumnya keluarga atau suku-suku dominan dalam desa yang bersangkutan).
Nyatanya sistem pemerintahan swapraja justru ‘mengukuhkan’ nilai-nilai feodal yang semula masih terasa samar-sama saja. Swapraja menjadi pusat orientasi. Karena alasan Nyatanya sistem pemerintahan swapraja justru ‘mengukuhkan’ nilai-nilai feodal yang semula masih terasa samar-sama saja. Swapraja menjadi pusat orientasi. Karena alasan
Lampiran
Rangkuman Beberapa Kasus Sengketa Tanah
1. Kasus Tanah Enek (Desa Mbay II)
Kasus ini berawal dari penetapan batas—yang secara formal tercakup dalam program ‘persehatian batas desa’— antara (semula) desa (sekarang) Kelurahan Mbay I dan (dulu) desa (sekarang) Kelurahan Mbay II yang berlangsung pada tahun 1992 lalu. Masalah muncul ketika sebagian dari wilayah yang disebut ‘Kampung Enek’ menjadi bagian dari wilayah administrasi Kelurahan Mbay I. Menurut para peserta diskusi kelompok terarah yang diselenggarakan di Kelurahan Mbay II, Kampung Enek adalah ‘kampung lama’ (kampung adat) dari warga Kelurahan Mbay II sekarang.
Penetapan batas definitif wilayah ini sebenarnya, ‘secara hukum formal,’ tidak ada masalah. Artinya, meskipun sebidang berada di wilayah administrasi desa tertentu dan ‘penguasa’ dan/atau ‘pemilik’-nya tinggal di desa yang lain, hak ‘penguasaan’ dan/atau ‘pemilikan’ warga yang tinggal di desa lain itu adalah tetap. Para peserta diskusi kelompok terarah pun sepakat bahwa perbedaan status wilayah administrasi pemerintahan desa itu tidak serta merta mengalihkan status penguasaan lahan/tanah. Namun, dalam realitas kehidupan sehari-hari faktanya berbeda dengan wacana yang berkembang itu. Boleh jadi, masalahnya akan menjadi lain ketika hal itu terjadi di dalam konteks sosial tertentu di mana, di satu pihak, status hak itu tidak terjamin secara pasti dalam sistem peraturan-perundangan yang formal; dan di pihak lain, status hak (tradisional) yang dipegang itu beralas pada satuan sosial-budaya yang berbasis pada satuan teritorial tertentu. Sebagaimana yang terjadi di wilayah penelitian ini, dalam hal ini bagi warga Desa/Kelurahan Mbay I, sebagaimana yang dikemukakan oleh warga Desa/Kelurahan Mbay II, penetapan batas ini dikuatirkan memberikan semacam ‘dasar hukum’ bahwa wilayah ‘kampung Enek’ yang setelah ‘persehatian batas desa’ itu menjadi wilayah teritorial ‘milik’ Desa/Kelurahan Mbay I. Menurut warga desa/kelurahan Mbay II, adanya ‘pengakuan pemilikan’ oleh warga Mbay I itu ditandai oleh adanya ‘penyerobotan’ warga Desa/Kelurahan Mbay I terhadap ladang-ladang yang sebenarnya ‘dimiliki’ oleh warga Desa/Kelurahan Mbay II sekarang, hal mana tidak pernah terjadi pada masa-masa sebelum penetapan batas defenitif pada tahun 1992 itu.
Bentuk ‘penyerobotan’ itu adalah ‘ditanaminya ladang-ladang yang, menurut warga Kelurahan Mbay I, tidak digarap;’ ‘dicabutnya pagar-pagar ladang, sehingga ternak mengganggu tanaman yang sedang tumbuh;’ dan ‘dibakarnya rumah milik warga Desa/Kelurahan Mbay II yang berada di lokasi yang disengketakan itu oleh warga Desa/Kelurahan Mbay I.” Beberapa warga Desa/Kelurahan Mbay I malah ada yang membangun rumah dan rumah ladang.
Tindakan ‘penyerobatan’ oleh warga desa/kelurahan Mbay I ini dibalas oleh warga Desa/Kelurahan Mbay II dengan cara yang sama. Pagar-pagar ladang baru dicabut, ladang dirusak, dan ada pula rumah/pondok baru yang dibakar.
Sejauh ini, menurut warga Desa/Kelurahan Mbay II, belum ada korban nyawa di kedua belah pihak. 14 Memang, tidak terlalu jelas apa dampak Sengketa Tanah Enek ini bagi kehidupan warga kedua desa ini sehari- hari. Beberapa warga mengaku bahwa atas tindakan itu “kami, (warga Kelurahan Mbay II) kehilangan lahan garapan. Hidup jadi tambah susah.” Meski begitu, praktis hubungan personal, baik atas dasar hubungan kekerabatan, ketetanggaan, maupun atas dasar hubungan-hubungan sosial lain pada umumnya, menurut berbagai pihak, masih berlangsung seperti sediakala. Warga Mbay II masih bisa lalulalang di wilayah Mbay I. Begitu pula sebaliknya. “Sebenarnya kami ini saling bersaudara semuanya,” ungkap seorang tokoh masyarakat Kelurahan Mbay II.
Hanya saja, suasana akan berubah menjadi lain ketika warga desa diajak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kelangsungan kehidupannya. Seringkali pula suatu ‘ketidaknormalan,’ misalnya ada kasus pembunuhan atau masukkan ternak ke ladang penduduk, dicurigai sebagai bagian dari kasus sengketa tanah Enek ini. Adanya rasa saling curiga antar kedua belah pihak amat terasa dalam pergaulan hidup sehari-hari. Kasus Sengketa Tanah Enek ini mengeraskan sengketa atas nama ‘suku Dhawe’ dan ‘Suku Mbay’ yang ‘dipicu’ oleh kasus gugatan oleh Amir Mandar cs. (lihat uraian dalam bagian-bagian berikut). Kebetulan pula Amir Mandar cs. adalah warga Kelurahan Mbay I sekarang. Tuduhan adanya upaya-upaya ekspansi dari ‘Suku Mbay’
semakin mendapatkan pembenarannya. 15
14 Ketika diskusi kelompok terarah berlangsung terungkap bahwa pernah terjadi sebuah kasus pembunuhan. Terungkap pula dalam diskusi kelompok terarah ‘kasus pembunuhan’ turut meningkatkan
ketegangan antarwarga Mbay I dan Mbay II. Ada dugaan kasus ini terkait dengan kasus Sengketa Tanah Enek ini.
15 Meski begitu, seorang informan yang sempat diwawancarai ‘mengelak’ untuk mengatakan bahwa (mayoritas) warga Mbay II adalah bagian dari ‘suku Dhawe’ ataupun ‘suku Mbay.’ “Kami ini ya suku
Mbay II itulah,” katanya. “Asal kami ya dari Kampung Enek itu,” tambahnya.
Menurut warga Desa/Kelurahan Mbay II yang ikut dalam diskusi kelompok terarah, ‘penyerobotan’ ini bukanlah tindakan warga desa/kelurahan Mbay I orang per orang, melainkan ‘tindakan bersama’ warga Kelurahan Mbay I. Ini terlihat dari keterlibatan aparat pemerintahan dan LKMD Desa/Kelurahan Mbay I dalam ‘merestui’ tindakan-tindakan ‘penyerobotan’ yang dilakukan warga Desa/Kelurahan Mbay I itu. Malah, menurut warga Desa/Kelurahan Mbay II, tanah (sebagian) ‘Kampung Enek’ itu akan dibagi-bagi kepada warga Desa/Kelurahan Mbay I lainnya. Sebab, hasil ‘persehatian batas desa’ antara Kelurahan Mbay I dan Kelurahan Mbay II telah menyebabkan beralihnya ‘hak penguasaan’ (sebagian) tanah Kampung Enek ini pada masyarakat warga Kelurahan Mbay I.
Meski Desa/Kelurahan Mbay I dan Mbay II sudah ada semenjak sebelum tahun 1992 (Desa Mbay I dan Mbay II ada setelah adanya kebijakan penataan desa pada tahun 1960-an), kasus perebutan tanah ini tidak terjadi, karena belum ada ‘batas desa/kelurahan definitif’ itu. Menurut para peserta diskusi kelompok terarah, tidak adanya kasus penyerobotan sebelum tahun 1992 itu terjadi karena pada masa itu, dengan belum adanya ‘persehatian tata batas,’ maka posisi dan/atau status penguasaan lahan masih berada di bawah sistem pengelolaan satuan wilayah administrasi hamente (dalam hal ini hamente Mbay).
Karena itu, warga Desa/Kelurahan Mbay II menuntut batas definitif melalui ‘persehatian batas desa’ tahun 1992 itu dibatalkan, dan memasukkan wilayah yang disengketakan itu menjadi wilayah administratif Desa/Kelurahan Mbay II sekarang. Sebab, menurut warga Mbay II, tanah yang disengketakan itu adalah haknya warga Desa/Kelurahan Mbay II sekarang.
Adapun alasan yang menjadi dasar tuntutan warga Kelurahan Mbay II itu adalah sejarah keberadaan kampung Enek dan Desa—dan kemudian Kelurahan—Mbay II itu sendiri. Pada zaman ‘pemerintahan hamente’ (kira-kira hingga tahun 1950-an) wilayah Kelurahan Mbay I dan Mbay II sekarang termasuk ke dalam wilayah pemerintahan Hamente Mbay. Wilayahnya meliputi ‘ulu Wundu ikong Towak.’ Setelah hamente dihapus, kira- kira awal tahun 1960-an, wilayah Hamente Mbay ini dibagi-bagi ke dalam 3 wilayah yang kemudian disebut desa. Masing-masing adalah: 1) Desa Uluda (meliputi ‘kampung-kampung’ Wundu, Nggolombai, Lelak, dan Mbo’a Tiba); 2) Desa Rungaleke (meliputi ‘kampung-kampung’ Bo’a Ras, Bo’a Maki, dan Mbaling); dan 3) Desa Shagolewa (meliputi ‘kampung-kampung’ Bago, Kolikapa, Towaklaing, dan Enek). Kemudian, berdasarkan sebuah Peraturan Daerah, ketiga wilayah desa ini ‘dilebur’ lagi ke dalam 2 desa (baru), setelah mengurangi wilayah (kampung-kampung) lama/terdahulu dan menambahkannya dengan wilayah (kampung- kampung) baru. Kedua desa itu adalah Desa Mbay I (meliputi ‘kampung-kampung’ Nggolombay, Lelak, Mbo’a Tiba, Bo’a Ras, dan Mbo’a Maki); dan Desa Mbay II (meliputi ‘kampung-kampung’ Bago, Kolikapa, Towaklaing, Enek, dan Mbaling). Sementara ‘kampung’ Wundu di masukkan ke dalam wilayah administrasi Desa Dhawe. Pada tahun 1998/1999, status Desa Mbay I dan Mbay II berubah pula menjadi Kelurahan Mbay I dan Kelurahan Mbay II. Meski begitu, sebelum dilakukannya ‘persehatian batas desa’ pada tahun 1992 itu, batas pasti di antara kedua desa itu tidaklah begitu jelas.
Menurut seorang informan (Yosef Nusa), penetapan batas definitif pada tahun 1992 itu dilakukan tanpa musyawarah dengan warga Desa (ketika itu) Mbay II. Penetapan itu hanya dilakukan oleh camat ketika itu, dengan hanya melibatkan ‘tokoh-tokoh masyarakat’ yang ketika itu menjadi anggota LKMD di masing-masing desa. Pertemuan untuk menetapkan batas defenitif itu tidak melibatkan tokoh-tokoh masyarakat lainnya. Dengan kata lain, penetapan itu hanya melibatkan LKMD yang menurut Yosef Nusa adalah orang-orang yang ditunjuk oleh Kepala Desa ketika itu dan tidak diakui oleh masyarakatt sebagai pihak yang dapat mewakili kepentingan masyarakat ketika itu.
Menurut Yosef Nusa, karena tidak aspiratif, warga masyarakat memprotes keputusan itu. Pada tahun 1993, untuk merespons keberatan warga Desa/Kelurahan Mbay II, diadakan pertemuan di Alorongga yang dihadiri para tokoh adat dari Mbay I dan Mbay II, atas prakarsa Pemerintah Desa Mbay I ketika itu. Anggota panitia penyelenggara pertemuan itu diambil dari warga kedua desa yang tengah ‘bertikai’ itu. Ternyata dalam pelaksanaannya masyarakat Mbay II tidak dilibatkan (Mengapa?). Hal ini menimbulkan protes masyarakat Mbay II. Apalagi dalam pemetaan di Kampung Enek, penitia sempat membongkar salah satu rumah penduduk dengan alasan rumah tersebut berada di jalur jalan yang baru dipetakan itu. Protes masyarakat Mbay II membuahkan upaya pertemuan antara masyarakat kedua desa yang diselenggarakan di Mbay II. Tapi upaya penyelesaian ini macet.
Menurut informasi Lurah Kel. Mbay II sekarang, masalah tanah Kampung Enek ini bisa menimbulkan masalah SARA (khususnya konflik antar agama). Karena warga masyarakat Mbay I mayoritas beragama Islam, sedangkan mayoritas warga Kelurahan Mbay II adalah beragama Katolik.
Adapun pihak-pihak yang terlibat dalam pertemuan di Mbay II itu adalah: Tokoh-tokoh masyarakat kedua desa; Tokoh-tokoh adat kedua desa; Kades kedua desa; Anggota LKMD kedua desa. Upaya lain yang sempat dilakukan warga Desa/Kelurahan Mbay II adalah melaporkan masalah ini ke DPRD Kabupaten Ngada. Upaya ini dilakukan secara bersama oleh Pemerintah Desa Mbay II, tokoh adat dan tokoh masyarakat, dan tokoh pemuda. Adapun isi surat dimaksud berintikan bahwa meminta agar persehatian batas desa dibatalkan saja, dan seluruh wilayah Kampung Enek masuk ke wilayah desa Mbay II. Sementara ini, pihak DPRD meminta data-data tertulis tentang kasus dimaksud; minta peta desa, yang kesemuanya telah dipenuhi.
Pada tahap selanjutnya pihak DPRD telah pula melakukan peninjauan ke lokasi. Setelah itu, belum ada perkembangan yang lain.
2. Kasus Sengketa Lahan antara Suku Rendu dan Suku Raja (Langedhawe)
Kasus ini sudah mulai terjadi sejak tahun-tahun akhir era tahun 1960-an lalu. Lahan yang dipersengketakan adalah lahan yang disebut Nata Bidha. Nata Bidha adalah sehamparan lahan pertanian yang semula merupakan lahan pertanian suku Rendu. Di hamparan ini terdapat pula beberapa wilayah yang merupakan tempat penyelenggaraan ritual keagamaan suku Rendu. Kasus ini diawali oleh kebijakan Pemda Ngada untuk lebih memaksimalkan penggunaan lahan di daerah itu. Kebijakan itu berupa upaya pencetakan sawah baru. Sawah- sawah baru yang dibuka melalui proyek Pemerintah Kabupaten Ngada itu kemudian dibagikan pada warga yang berasal dari suku Raja. Kebijakan ini berkaitan dengan makin banyaknya penduduk Desa Raja (pusat sebuah kecamatan di daerah itu) dan beberapa desa lain yang ada di sekitarnya, sementara lahan garapan terasa makin terbatas.
Pada tahun-tahun akhir era tahun 1960-an itu, di bawah ‘restu’ Pemda Ngada dan ‘pengawalan’ aparat keamanan, sedikit demi sedikit namun pasti, warga suku Raja mulai menggarap bidang-bidang lahan yang ada di Nata Bidha. Termasuk lahan-lahan yang berada di luar proyek pengembangan pertanian yang disponsori Pemda Ngada. Diiringi dengan berbagai bentuk intimidasi sedikit demi sedikit namun juga pasti warga suku Rendu mulai tersingkir.
Pada tahun 1969 mulai ada protes dari warga suku Rendu. Melalui Pemda Kabupaten Ngada warga suku Rendu minta warga suku Raja keluar dari tanah warisan nenek moyangnya itu. Bersamaan dengan itu beberapa warga suku Rendu kembali menggarap tanah-tanah di Nata Bidha. Beberapa di antaranya adalah lahan yang juga tengah digarap suku Raja. “Tapi, pihak Pemda dan keamanan, tampaknya lebih berpihak pada suku Raja. Protes kami bukannya ditanggapi dengan mengusir orang suku Raja tapi malahan kami yang didesak agar mau melepaskan tanah adat kami itu secara adat, walaupun dengan cara-cara yang penuh penipuan,” cerita Vincent Mosa Foa, warga suku Rendu yang sekarang ini jadi ‘motor’ masyarakat Rendu untuk memperjuangkan kembali tanah adat yang telah dirampas oleh suku Raja (Vincent ditunjuk secara adat untuk menjadi juru bicara dan ‘komandan’ berbagai upaya untuk pengembalian tanah adat suku Rendu).
Upaya warga suku Rendu untuk mengembalikan tanah adatnya itu adalah awal dari penderitaan yang berkepanjangan hingga sekarang. Pada tahun 1969, upaya pendudukan kembali tanah adat Suku Rendu oleh warga suku Rendu dibalas dengan berbagai tindakan intimidasi hingga penganiayaan. Pada suatu kejadian pada tahun itu, ada 3 warga yang menjadi motor perjuangan menjadi korban tindakan penganiayaan. Karel Tuza, Piet Tae, dan Bernabas Bope, disergap dikebunnya masing-masing. Meski mereka sempat melarikan diri, setelah diburu-buru oleh banyak orang, beberapa di antaranya kemudian dikenal adalah petugas keamanan yang masih aktif, ketiganya ditangkap dan kemudian dibawa ke Raja. “Karena tetap bekerja, akhirnya mereka bertiga dikejar sampai ke Rendu Ola. Penganiayaan ini disaksikan oleh Mathias Djawa yang kebetulan lewat di tempat kejadian sewaktu pulang sekolah. Ia melihat bapaknya (Barnabas Bope, pen.) sedang dianiaya oleh polisi, dipukul dengan mengunakan bambu yang panjang +2 meter. Barnabas Bope hanya melipat tangan dan bergeming. Darah bercucuran di kening karena didera dan dihantam terus dengan bambu yang sudah pecah. Hal ini menimbulkan kengerian dan trauma bagi warga di Rendu Ola hingga hari ini,” cerita Vincent Mosa Foa.
Di Raja mereka disekap, direndam dalam air, tidak diberi makan, dan dipukuli. Penganiayaan ini berangsung hingga keesokan harinya. Akibat berbagai tindakan kekerasan ini, gigi Karel Tuza rontok semua, hingga tidak bisa makan untuk beberapa waktu. Ketika dilepas keesokan harinya ketiganya dikenakan wajib lapor atas kesalahan yang tidak jelas dan tidak dapat diterima. Mereka juga dengan tegas dilarang melanjutkan kegiatan di Nata Bidha.
Dalam proses itu dikatakan pula bahwa ketiganya telah membangkang terhadap kebijakan pemerintah. Dikatakan membangkang karena, menurut pihak yang memproses ketiga ‘pemberontak’ itu, lahan Nata Bidha sudah dilepaskan secara adat kepada pemerintah. Karena sudah dilepaskan maka pemerintah bebas membagikannya pada pihak-pihak yang dianggap pantas oleh pihak pemerintah. Padahal, menurut para aktivis suku Rendu, penyerahan itu tidak pernah ada. Hanya saja memang ada kejadian, itu berlangsung dalam proses penyelesaian kasus dimaksud, di mana pihak suku Rendu menyerahkan mekanisme penyelesaian kasus itu pada pemerintah. “Masyarakat taunya itu urusan Pemerintah. Masyarakat percaya pada Pemerintah. Jadi, yang diserahkan adalah mekanisme penyelesaiannya. Bukan tanahnya,” kata Vincent. “Tapi, maklumlah, tua-tua adat kami ini kan ‘orang bodoh,’ tidak ada yang bisa baca tulis. Di suruh tanda tangan, ya tanda tangan. Tidak tahu apa isi surat yang ditanda tangani. Boleh jadi ada yang menukar maksud isi surat-surat itu. Tua-tua adat kami itu tanda tangan saja tidak bisa. Ada tanda tangan yang dipalsukan. Ada juga yang dipaksa untuk memberikan cap jempol,” jelas Vincent.
Sejak kejadian yang menimpa Karel Tuza cs., praktis tidak ada perlawanan lagi dari warga suku Rendu. “Masyarakat benar-benar takut akibat penganiayaan tahun 1969 itu,” kata Vincent. ‘Perlawanan’ baru mulai ada lagi pada tahun-tahun awal 1990-an, sekitar 20 tahun setelah kejadian yang menimpa Karel Tuza cs.
Perlawan baru itu menghasilkan pertemuan di Dena Nunu yang berlangsung tanggal 1993. Dalam pertemuan mereka membacakan semboyan yang dianggap dapat memicu kebangkitan perjuangan suku Rendu. Isinya adalah, “Memang aku rela membelat anah tumpah darah. Tetapi tanahku tidak saya muliakan lebih tinggi dari keadilan. Sebab keadilan itu lekat di puncak tanah tempat darah tertumpah.” Dibacakan juga, “Tidak sesuatu barang lebih lemah dari air, tapi tak ada sesuatu lebih kuat daripadanya, untuk mengalahkan barang keras, kelembutan mengalahkan kekerasan, kebaikan hati mengalahkan kekasaran.” Pertemuan Dena Nunu ini dilanjutkan dengan pertemuan tanggal 29 November 1993. Pertemuan ini sendiri membahas rencana renovasi peo . “Sejak tahun 1969 tidak ada lagi yang pertemuan-pertemuan mengenai kebersamaan kecuali mengenai adat,” jelas Vincent.
Atas upaya-upaya perlawanan baru itu, kasus teror dan penganiayaan kembali terjadi pada tanggal 14 Desember 1993. Kali ini warga Rendu yang dianiaya adalah anak-anak korban penganiayaan yang terjadi pada tahun 1969. Masing-masing adalah Abi Teke, anak Piet Tae; dan Anzel Mane, anak Barnabas Bope (Karel Tuza tidak mempunyai anak). Keduanya dipukuli hingga terluka. Sebelumnya, keduanya juga pernah dirampas (uang tunai). Pernah juga barang-barang dagangan mereka dirampas di tengah jalan, ketika keduanya sedang menuju pasar untuk menjual barang-barang jualannya.
Dalam kejadian tanggal 14 Desember 1993 itu turut pula dianiaya Fabiaus Teke, Laurencius Sa, Kanisius Kewa. Mereka ini dihadang di tengah jalan, ditangkap, lalu dianiaya. “Jumlah uang yang terampas sekitar Rp 10.000,-. Juga berikut sarung dua lembar, dan puluhan kilogram kemiri. Sorenya mereka diantar pulang aparat desa. Pada waktu pulang dari Rendu Ola, mereka (warga Raja yang menganiaya warga Rendu yang berjumlah 36 orang) membakar habis pondok Simon Raja yang saat itu penuh berisi padi, jali, dan jagung,” cerita Vincent.
Pada tanggal 28 Januari 1995 penganiayaan kembali dialami warga suku Rendu. Kali ini dialami oleh Vincent Mosa Foa sendiri. Vincent dicegat dan ditangkap di Watu Bhara, daerah yang menjadi titik batas antara wilayah Rendu dan Raja. “Waktu itu saya sedang datang meninjau masyarakat Rendu yang sedang melaksanakan penghijauan. Melanjutkan penghijauan tanggal 27 Januari 1995 (hari Penghijauan Nasional), atas kerja sama program desa. Saat itu saya sedang membuat foto dan mewawancarai mama Lena Ria yang diteror dan diintimidasi. Sewaktu saya berada di situ, ada tentara dan polisi yang berboncengan (3 motor). Mereka menyuruh untuk jangan bergerak. Pada saat itu belum reformasi. ‘Kamu orang pintar, jangan lari.”
Kemudian mereka mengikat saya dengan tali kuda Rafael Amekal (mantan kepala desa). Saya tolak dan lari. Saya bilang kalau saya diikat, lebih baik saya mati. Saya mau jalan. Akhirnya saya berjalan sambil digiring oleh dua petugas. Sambil berjalan mereka menendang dari belakang. Orang-orang Raja yang sudah membentuk pagar betis dan menonton itu mencabut rambut saya. Begitu tentara datang, mereka membludak keluar, datang ke wilayah Rendu. Jadi mereka ini berlindung di balik tentara dan polisi,” cerita Vincent mengenang-ngenang kejadian yang pernah menimpanya. Matanya tampak menerawang jauh dan berkaca-kaca.
“Saya kemudian di bawa ke Raja. Terus dianiaya oleh sekian banyak perempuan dengan meludahi saya. Waktu itu sambil menunggu oto saya meminta untuk berteduh, tetapi ditolak oleh seorang ibu. “Tidak, tidak boleh. Ini orang tidak layak di saya punya rumah, biarlah dia di luar.” Akhirnya saya diam, sambil berdiri di luar dan mendapat cercaan serta caci maki.
Oto datang, saya dimuat sampai Boawae. Ke Koramil, di sana pakaian saya dilucuti satu-persatu. Diperiksa dan dicari jangan sampai ada batu kebal atau jimat. Ternyata tidak ada dan saya hanya tinggal memakai celana cawat. Saya langsung digiring ke ruangan. Yang melucuti pakaian itu polisi bernama Awis (Babinsa). Dia yang pertama melucuti dan yang pertama menghantam saya. Kemudian dilanjutkan oleh pegawai kecamatan, terus kemudian polisi Nderi.
Yang menganiaya saya di Boawae adalah Awis, Kapolseknya, Joochin Nderi (polisi), dan satu dari Bali (kalau tidak salah Imran Bali). Mereka menghantam saya setengah mati. Dihantam di bagian perut, kemudian pingsan. Disiram dengan air, lalu dihantam lagi sampai babak belur.
Terus saya dimuat dengan oto ke Kodim di Bajawa. Sesampainya di sana saya dimasukkan ke dalam sel. Di sana saya digilir dipukuli dan diinjak-injak (hanya tentara, saya tidak tahu). Dari situ saya diantar ke Intel Zainal Abidin. Saya ditonjok dan dipukul. Kasie Intelnya, Nyoman, menginjak kaki saya. “Ini orang kebal atau tidak?” Kemudian saya dipukul. Adnan juga berkata,”Kalau dia tidak ini (punya jimat maksudnya, pen.), potong saja kupingnya”.
Sekitar jam 7 malam, bibir saya sudah bengkak, babak belur, mata memar. Mereka memberi saya makan. Karena sakit saya tidak memakannya. Mereka memaksa saya makan. Akhirnya dengan rasa perih, saya makan makanan yang pedas itu.
Setelah selesai saya disuruh tunggu di luar, di pos jaga yang terletak di halaman Kodim. Saya kedinginan, capek, lelah. Saya diledekin oleh satu anggota,”Kamu berdoa ya Vincent.” Saya bilang saya tidak berdoa, saya mengantuk, sakit, karena kedinginan.
Dari Kodim saya dibawa ke kantor polisi. Di Polres saya tidak dianiaya. Besok saya menandatangani surat titipan. Isinya bahwa saya meminta bantuan polisi dan itu mereka yang konsep. Sehingga saya menjadi titipan Kodim. Sejak saat itu saya ditahan polisi untuk ditanya sana-sini,” cerita Vincent berpanjang-lebar.
Sementara itu, sehari setelah Vincent ditangkap, berita penangkapan Vincent telah beredar di seluruh desa-desa suku Rendu (awilayah adat suku Rendu terbagi dalam 5 desa). Upaya pembebasan Vinceent pun digagas. Ada 82 orang yang terkumpul untuk mencari Vincent. Menurut cerita Bernadus Geru, “Kami ke Rendu Ola (kampung asal suku Rendu dan kampung adal Vincent) tanggal 29 Januari 1995. Itu hari Minggu). Sampai di sana mereka ada yang cerita, ada yang menangis, Vincent sudah dianiaya.”
“Kami mulai berkumpul di rumah adat, di rumahnya Bernadus Bhia. Kami bahas, bagaimana ini kita punya anak dianiaya. Entah masih di Boawae atau sudah di Bajawa. Lalu bersepakat untuk pergi mencari ke polisi, tentara, atau di rumah sakit. 89 orang langsung berangkat ke Boawae. Di tengah jalan ada 7 orang yang kembali, sehingga tinggal 82 orang yang melanjutkan perjalanan.
Di Boawae kami langsung ke polisi dan ke kecamatan, tetapi katanya Vincent sudah di Bajawa. Waktu itu datang juga tentara satu oto dari Bajawa, lalu merampas kami punya parang. Demikian juga bersamaan dengan datangnya Camat Aesesa dan Kapolres Aesesa Gaspar Doke. Camat Aesesa melihat Bernadus Bhia lalu berkata, ”Ambil ini Garuda, kau lagi (maksudnya: kamu saja, pen.) yang jadi Camat.”
Tentara dari Bajawa ditambah dengan polisi. “Kamu orang Rendu, berhenti di jalan, tidak boleh lari kiri kanan.” Kami tidak bisa buat apa-apa. Lalu kata tentara, ”Buat apa kamu cari Vincent? Vincent itu buronan. Kamu percaya lagi dia, kamu ikut boleh lagi” (ikut ditangkap, pen.). Kami ini orang bodoh, tapi kami kasihan dia. Semua orang Rendu punya barang dirampas (ali, parang), juga dihantam dan dipukul oleh tentara dan polisi yang ada.
Setelah di Boawae, 82 orang Rendu tadi diantar ke Aesesa. Masih juga didera oleh Gaspar Doke dengan berkata, ”Kamu orang Rendu bodoh, ikut lagi Vincent.” Rombongan warga Rendu itu kemudian dibubarkan. Tetapi keesokan harinya wajib lapor jam 7 pagi. Keesokannya, 30 Januari 1995, 82 orang itu datang menghadap Polsek. Pada kesempatan itu Polsek berpesan agar besok lusa tidak boleh buat lagi (maksudnya mencari Vincent). “Kalau buat lagi, kami anggap kamu ini yang buat. Nama-nama kamu sudah dicatat semua,” tutur Bernadus Geru.
Upaya meneror warga Rendu terus berlanjut. Pada tanggal 8 Februari 1996, Bupati ke Jawa Kisa. Bupati menyertakan Vincent dalam rombongannya. Padahal statusnya masih tahanan Polres Bajawa. Dalam dialog dengan warga Jawa Kisa Vincent kemudian dipermalukan Bupati. “Saya dicerca dan digosipkan sebagai buronan dan macam-macam. Tapi Bupati diteriaki masyarakat. Kadang-kadang dalam perjuangan semacam ini, nenek moyang juga ikut merancang. Pak Bupati (John Nani Aoh, pen.) mengatakan, ”Kamu mau lebih percaya Vincent atau percaya Bupati?. Kalau lebih percaya Vincent, sekarang saya pulang.” Waktu itu semua masyarakat yang hadir berteriak, ”Huuuuu…!” Bupati juga mengatakan, “Tidak ada pemerintah yang menyengsarakan rakyatnya sendiri.” “Ah, itu kan kata-kata yang biasa diucapkan untuk menarik perhatian rakyat. Karena itu pada saat kunjungan DPR saya menyatakan, Kami masyarakat adat selama ini kami merasa tidak merdeka, bahkan kami dijajah oleh pemerintahan sendiri. Pemekaran desa, seperti di Rendu ini, bagi kami adalah politik devide et impera,” kata Vincent.
Tanggal 12 Februari 1995 Vincent dilepaskan tanpa ada proses. Vincent diantar pulang ke Rendu oleh tentara, polisi, dan warga Raja. “Mereka itu adalah Goris Ngoe (pamong praja), Yohanes Mamo (tentara), Rafis Bota (Hansip), Erwin (polisi), Rafael Amekae, Balteson Laga, Weus Jo, As Raja, dan Frans Doi datang mengantar Frans Teke (salah satu korban penganiayaan) ke Rendu Ola agar supaya orang Rendu tenang, damai. Begitu pula dengan pembakaran pondok yang mereka lakukan, “ lanjut Vincent menceritakan pengalamannya.
Enam September 1998 ada pertemuan kampung di Rendu Ola bersama LBH Nusra. 8 September 1998 warga Rendu melakukan unjuk rasa di Kecamatan Aesesa. Ketika itu kebetulan ada kunjungan perdana Gubernur. Dalam unjuk rasa itu warga Rendu mengusung spanduk-spanduk bertulisan, “Kembalikanlah Tanah Adat Rendu yang Dirampas Pemda dan Orang Raja;” “Di atas tanah Suku Rendu Telah Dibangun Ketidakadilan;” dan “Tanah Adat Rendu adalah Masalah Nepotisme Pemda Ngada.” Lanjutan dari aksi itu, pada tanggal 17 September-18 September 1998, warga Rendu memasang papan tanda batas lahan yang bertulisan: Di sinilah Batas Tanah Adat Rendu dengan Raja.”
Setelah papan tapal batas terpasang doa puji-pujian pun dipanjatkan. “Tiba-tiba mereka (orang Raja, pen .) datang,” kata Vincent. “Ada yang caci maki, suruh serang,” lanjut Vincent. Menurut Vincent, Orang Rendu tenang saja, karena mereka yakin tidak bersalah, dan karena itu adalah tanah Rendu. “Yang paling ditakuti oleh masyarakat Rendu adalah tentara, karena pernah trauma dengan tentara,” kata Vincent.
Lebih jauh Vincent bercerita, “Rendu hanya bawa satu dua parang. Orang Raja sebenarnya takut juga. Yang buat kekeliruan adalah Meka Viktor Ara. Dia melakukan, dalam bahasa adatnya, ‘buka pintu.’ Sebenarnya untuk menjemput orang-orang Raja. Padahal orang Raja takut maju lebih jauh,” kata Vincent dalam nada menyesal. “Semua orang sudah pada takut. Termasuk Viktor Ara. Untuk menenangkan warga, saya bilang: ini tidak apa-apa. Ini sudah jaman reformasi,” kata Vincent.
Menurut cerita, setelah rombongan pertama datang, berikutnya datang pula orang Raja dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka langsung menyerang. Mereka mulai menganiaya. Yang pertama dianiaya adalah Vincent. “Rupanya mereka punya target bahwa Vincent harus mati,” kata Vincent menjelaskan mengapa dirinya yang pertama diserang. Ada yang menghantam kepala, ada yang memukul dari belakang. Beberapa sabetan Menurut cerita, setelah rombongan pertama datang, berikutnya datang pula orang Raja dalam jumlah yang lebih banyak. Mereka langsung menyerang. Mereka mulai menganiaya. Yang pertama dianiaya adalah Vincent. “Rupanya mereka punya target bahwa Vincent harus mati,” kata Vincent menjelaskan mengapa dirinya yang pertama diserang. Ada yang menghantam kepala, ada yang memukul dari belakang. Beberapa sabetan
“Polisi datang, kami digiring pergi ke oto. Yang parah dalam penganiayaan itu saya (Vincent): kaki patah, perut kembung, mata dan kepala memar. Fodelis Nole, patah tangannya. Servas Padha, tulang belikat patah dan kepala kena parang. Thomas Kaju, kena parang di hidung dan mati. Ia meninggalkan satu istri dengan lima anak. Markus Mosa, kena di kepala. Sampai sekarang seperti orang kena stroke, jalannya tertatih-tatih. Istri saya juga dianiaya. Ia diikat, ditarik dengan kuda, dan diraba-raba dua bagian tertentu tubuhnya oleh Ansel Keli. Juga beberapa perempuan lainnya,” tutur Vincent menguraikan data-data korban dalam ‘pertempuran’ itu. Padahal, ketika itu, istri Vincent tengah hamil muda.
“Sampai di oto istri saya masih kena tusukan bambu/kayu di matanya hingga berdarah. Tetapi oto jalan terus ke Boawae, menuju kantor Polsek. Visum di Puskesmas Boawae, kemudian dibawa ke Bajawa. Di Boawae ia masih menjerit terus. Mungkinnya usus bocor. Sampai di pos polisi terus di bawa ke rumah sakit. Tanggal 22 September 1998, dirujuk ke Ruteng dan dioperasi di sana karena usus bocor. Mengenai biaya, saya harus mengeluarkan dana 4 juta rupiah. Menuntut pihak Pemda, nanti akan diganti. Kenyataannya sampai sekarang tidak ada realisasinya. Akhirnya biaya ditanggung sendiri,” kata Vincent menjelaskan derita yang dialami istrinya. Untunglah kehamilan istri Vincent tidak terganggu. Anak pertama Vincent akhirnya lahir dengan selamat.
Kasus ‘pertempuran’ ini pun kemudian berakhir begitu saja. Tidak ada pihak yang diusut oleh pihak yang berwenang. Padahal ada korban meninggal dunia. Vincent pun ‘menyuarakan’ kasus ini ke pusat. Pada bulan Maret-Mei 1999 Vincent berkeliling ke berbagai lembaga di Jakarta untuk mengkampanyekan masalah yang dihadapi suku Rendu itu. Perjalanan Vincent itu didukung oleh Walhi Eksekutif Daerah NTT. Vincent sempat pula mengadukan kasus yang dialami suku Rendu ini kepada Komisi Nasional Hak Azazi Manusia (Komnas HAM). Atas pengaduan ini Komnas HAM telah pula menyurati berbagai instansi di NTT. Baik ditingkat propinsi maupun kabupaten. Termasuk pada pihak keamanan (surat-surat terlampir). Selain itu Vincent, didukung oleh beberapa LSM dan atau jaringan LSM lainnya kerap pula mengkampanyekannya dilakukan di tingkat lokal dan regional. Misalnya, pada pertemuan masyarakat yang diselenggarakan YS3 (bekerjasama dengan Walhi) dan Rapat Kerja Tahunan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) di Bogor. Untuk menunjang kampanyenya ini, Vincent dan beberapa orang warga suku Rendu ‘terpelajar’ lainnya membentuk sebuah LSM yang berbadan hukum yayasan yang berkedukan di Mbay. Lembaga ini telah pula diberi mandat oleh tua-tua adat suku Rendu menjadi wadah perjuangan suku Rendu untuk merebut kembali tanah Nata Bhada.
Vincent dan warga suku Rendu lainnya mengaharapkan di masa depan masalah tanah Nata Bhada itu dapat diselesaikan dengan seadil-adilnya; dan Nata Bhada dikembalikan kepada warga suku Rendu. Bagi orang Rendu, jika dibandingkan sebagai tubuh manusia, Nata Bhada adalah ubun-ubunnya orang Rendu. Apalagi di tempat itu ada tanah-tanah ritual masyarakat adat Rendu.
Dengan adanya kasus sengketa tanah Nata Badha ini kehidupan sehari-hari suku rendu terusik. “Kami tidak merasa aman. Setiap detik rasanya akan ada saja orang yang mau menyusahkan kami,” keluh Vincent. Kasus ini telah merubah kehidupan banyak warga suku Rendu. “Sebelum ada persoalan ini masyarakat Rendu sangat makmur, terutama dengan ternaknya. Acara-acara ritual masih berjalan dengan baik. Sekarang justru sebaliknya, karena upacara-upacara itu telah dilangkahi atau telah diperkosa warga Rendu sendiri. Ini terjadi karena warga susah. Hidup mereka tidak aman,” keluh Vincent lebih jauh. Vincent juga mengharapkan lebih banyak lagi LSM advokasi yang terjun untuk melakukan investigasi dan proses litigasi. LSM bisa diharapkan karena mereka itu, menurut Vincent, netral. “Tetapi sampai saat ini belum ada yang mau membantu kami lebih jauh. Belum ada LSM-LSM yang bisa memonitor tekanan-tekanan yang dialami oleh masyarakat. Bagaimana pemberdayaan bisa terjadi, karena sampai saat ini masyarakat Rendu masih sangat di bawah,” kata Vincent.
3. Kasus Sengketa Tanah Malawawo (Sangadeto)
Menurut sejumlah informan, kasus ini sudah mulai terjadi sejak tahun 1950-an. Ketika itu terjadi perebutan tanah Malawawo antara warga Woe Are dengan seseorang yang bernama Ngebu Lodo dari suku atau woe Lodo Raghi yang berasal dari Kelurahan Mangulewa. Perkara ini tidak menghasilkan kesepakatan yang memuaskan kedua belah pihak. Namun demikian Woe Are tetap menduduki dan mengusahakan tanaman umur panjang pada lokasi tersebut.
Pada tahun 1991, setelah 40 tahun lebih masalah ini didiamkan, warga suku Lodo Raghi memasuki lokasi tanah Malawawo dan mengusir warga Woe Are yang telah sekian tahun menggarap lokasi tersebut. Setelah mengusir warga Woe Are akhirnya suku Lodo Raghi mulai menggarap tanah Malawawo, yang berbuntut pada pertikaian berdarah antara suku Woe Are dan suku Lodo Raghi.
Pada tahun 1996 Pemda Ngada melalui BPN (Badan Pertanahan Nasional) membagi tanah Malawawo dalam blok-blok untuk diserahkan kepada 4 suku. Ke 4 suku tersebut adalah Suku Menge, Loa, Woe Are, dan Lodo Raghi.
Namun salah seorang warga suku Lodo Raghi dari Raka Laba, yaitu Hisman Wawo tidak menerima pembagian tanah Malawawo pada 4 suku yang dilakukan oleh Pemda Ngada itu. Ia menggugat ke 4 suku diatas dan Pemda Kabupaten Ngada. Selanjutnya ia mengklaim tanah Mala Wawo adalah milik pribadinya.
Kasus Malawawo saat ini sedang dalam proses di Pengadilan Negeri Bajawa, berdasarkan gugatan anggota suku Lodo Raghi dari Raka Laba itu. Untuk mengurus kasus ini suku Woe Are, melalui koordinasi oleh Kepala Desa, bergotong-royong mengumpulkan dana untuk pengurusan perkara. Setiap warga yang punya lahan garapan di tanah Malawawo yang dipersengketakan itu ‘menyetor’ sejumlah uang tertentu per lahan garapan.
Melihat pertikaian berdarah yang telah terjadi, Pemda Kab. Ngada, pada tahun 1991, mulai terlibat untuk menyelesaikan masalah ini dengan membuat peta hamparan Malawawo. Selain itu Pemda berusaha pula memperkuat kerja sama antara kepala desa dan ketua-ketua suku yang ada dalam Woe Are.
Kasus ini dirasakan oleh semua anggota suku dalam Woe Are sebagai penghambat kegiatan perekonomian masyarakat.
Pustaka
Kebeet von Benda-Beckmann (2000), Goyahnya Tangga Menuju Mufakat, Jakarta: PT. Gramedia Widiasarana Indonesia dan Perwakilan Koninklijk Instituut voor Taal-Land- en Volkenkunde. Moore, Sally Falk (1993), 'Hukum dan Perubahan Sosial: Bidang Sosial Semi-Otonom Sebagai Suatu Topik
Studi yang Tepat', dalam T.O. Ihromi, ed., Antropologi Hukum: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Wignjosoebroto, Soentandjo (2000), 'Menggagas Perundangan Baru Tentang Pemerintahan Desa: Demi Terwujudnya Demokratisasi dan Penguatan Fungsi Sosial Desa', dalam Angger Jati Wijaya, et.al., Reformasi Tata Pemerintahan Desa Menuju Demokrasi . Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Kerjasama dengan YAPPIKA dan Forum LSM DIY.
--------------------------------------------, 'Mengupayakan Terwujudnya Masyarakat Warga di Desa-desa: Sebuah Cita-cita Berikut Tantangannya', dalam Dadang Juliantara, ed., Arus Bawah Demokrasi, Otonomi dan Pemberdayaan Desa . Yogyakarta: Lapera Pustaka Utama.