KETENTUAN DASAR TAJDID (PEMBARUAN AGAMA) YANG BENAR
B. KETENTUAN DASAR TAJDID (PEMBARUAN AGAMA) YANG BENAR
Tajdid adalah amal Islami yang disyariatkan dalam koridor pengertiannya yang benar, namun tidak semua yang mengaku melakukan tajdid dikatakan mujaddid, karena harus memiliki syarat-syarat mujaddid. Demikian juga usaha tajdid hanya diakui bila sesuai dengan ketentuan-ketentuan dasar yang telah digariskan para ulama, di antaranya:
• Seorang mujaddid harus dari Ahlus Sunnah wal Jamaah yang bebas dari kebid'ahan dan berjalan di atas manhaj Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabatnya dalam seluruh urusannya. Oleh karena itu, tidak boleh menetapkan ahlu bid'ah dan tokoh sekte sesat sebagai mujaddid, walaupun telah mencapai ketinggian derajat dalam ilmu. Seorang ulama besar India bernama Syaikh Syamsul Haq al-'Azhimabadi
rahimahullah (wafat tahun 1858 M) menyatakan, “Sungguh aneh yang dilakukan penulis kitab Jami' al-Ushul dengan memasukkan Abu Ja'far al-Imami asy-Syi'i dan al-Murtadha termasuk mujaddid”. Lalu beliau lanjutkan, “Sangat jelas bahwa memasukkan kedua orang ini ke dalam kelompok mujaddid adalah kesalahan besar dan jelas; karena ulama Syi'ah walaupun mencapai martabat mujtahid dan ketinggian dalam martabat ilmu serta masyhur sekali, namun mereka tidak pantas menjadi mujaddid. Bagaimana mereka pantas, mereka rahimahullah (wafat tahun 1858 M) menyatakan, “Sungguh aneh yang dilakukan penulis kitab Jami' al-Ushul dengan memasukkan Abu Ja'far al-Imami asy-Syi'i dan al-Murtadha termasuk mujaddid”. Lalu beliau lanjutkan, “Sangat jelas bahwa memasukkan kedua orang ini ke dalam kelompok mujaddid adalah kesalahan besar dan jelas; karena ulama Syi'ah walaupun mencapai martabat mujtahid dan ketinggian dalam martabat ilmu serta masyhur sekali, namun mereka tidak pantas menjadi mujaddid. Bagaimana mereka pantas, mereka
• Memiliki sumber pengambilan ilmu dan manhaj istidlal (metodologi pengambilan dalil) yang benar. Hal ini dilihat kepada metodologi dalam belajar dan pengambilan dalil yang dibangun di atas al-Qur`an, sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ijma', qiyas yang shahih (benar) dan tinjauan maslahat yang tidak bertentangan dengan nash syariat. • Memiliki ilmu syar'i yang benar, hal ini karena di antara aktivitas tajdid adalah mengajarkan agama, menebarkan ilmu syar'i dan membela sunnah dan ahlinya, serta menghancurkan kebid'ahan. Seorang mujaddid harus seorang alim yang pakar dalam agama, dai yang cerdas yang
mampu menjelaskan al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam yang shahih kepada manusia. Juga jauh dari kebid'ahan dan memperingatkan manusia dari perkara- perkara yang diadakan dalam Islam, serta mengembalikan mereka dari penyimpangan kepada jalan yang lurus yaitu kepada al-Qur`an dan sunnah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa salam (Fatawa al-Lajnah ad-Da`imah, 2169).
• Mampu menempatkan dengan pas dan tepat nash-nash syariat pada realita dan peristiwa yang terjadi. • Memiliki manhaj (metodologi) dan kaidahnya yang jelas. Seorang mujaddid harus menyertai dalam aktivitas tajdid-nya dengan manhaj dan kaidah yang jelas dalam segala keadaannya. Sebab, mujaddid menisbatkan dirinya kepada Islam. Ini adalah nisbat ilmu dan ittiba', bukan sekadar pengakuan dan klaim. Dari sini, maka kebenaran nisbatnya tersebut dibangun di atas kaidah memahami Islam berdasarkan manhaj tidak benar memahami Islam kecuali dengannya. Inti metodologi ini ada pada empat bidang:
1. Ushul lughah Arabiyah
2. Ushul at-tafsir
3. Ushul as-sunnah
4. Ushul al-fiqh Sehingga, tidaklah menjadi mujaddid orang yang mengenal segala sesuatu kecuali
Islam atau yang mengetahi Islam dengan selain manhaj ini.
Di samping memiliki ilmu syar'i yang benar dan kejelasan manhaj, juga harus dihiasi dengan akhlak yang mulia dan memiliki kecintaan dan kasih sayang kepada manusia. Juga berusaha untuk merealisaikan kemaslahatan dan semangat menyelesaikan permasalahannya serta zuhud dan qana'ah dengan yang ada.
Mengamalkan ilmunya, komitmen terhadap perintah dan larangan syariat dan menjaga semua kewajiban dan perkara sunnah, serta menjadi suri teladan yang baik untuk orang lain. Ini semua adalah sifat para ulama yang masuk dalam pengertian Ahlus sunnah wal Jama'ah. Tidak dipungkiri lagi, mujaddid termasuk thaifah manshurah yang dijelaskan dalam sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
َنوُ ِه َ ْ ُهَو ِ ا ُ ْ َأ ْ ُ ََِْ َ ِس ا ََ َ ِ ِه َ ِ ُأ ْ ِ ٌمْ"َ َلاََ ْ َ
“Akan senantiasa ada kaum dari umatku yang muncul atas manusia, hingga datang kepada mereka hari Kiamat dan mereka dalam keadaan menang.” (HR. al-Bukhari).
Sangat antusias dalam menjaga ushuluddin dan cabangnya dan tidak meremehkan satu perkara agamapun.
Seorang mujaddid memiliki keinginan adanya perubahan nyata pada umat, sehingga ia menggerakkan umat ini dari realita yang buruk dan menyimpang menuju jalan perbaikan dan kesuksesan dunia dan akhirat.
Menjadi imam dalam agama dan memiliki sifat sabar dan yakin sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
ِإ َ ِ' ُ(ِْ ََْ)ْاَو ٍ ُْ َأ َة ُ َِ -رُذَو َِاَوْزَأ ْ ِ ََ ْ1َه َ2َر َن"ُ"ُ'َ َ ِ3 اَو ً َ
“Dan orang orang yang berkata, 'Ya Tuhan Kami, anugerahkanlah kepada Kami isteri-isteri Kami dan keturunan Kami sebagai penyenang hati (Kami), dan Jadikanlah Kami imam bagi orang-orang yang bertakwa.” (Qs. al-Furqan: 74). Dan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala,
َن"ُِ"ُ َِ َ َ5ِ2 ا"ُﻥ َآَو اوُ َ8َ9 (َ َﻥِ ْ َِ2 َنوُ:ْ َ ً;(ِ<َأ ْ ُ ِْ ََْ)ََو
“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami.” (Qs. as- Sajdah: 24).
Membedakan antara perkara tsawabit (yang tidak berubah) dengan al-mutaghayyirat (yang bisa berubah).
Ushul aqidah, rukun-rukun Islam dan nash-nash syariat semuanya adalah tsawaabit tidak mungkin berubah atau hukumnya berganti. Yang dimaksud tajdid di sini adalah menghidupkan kembali pemahaman yang benar dan menghilangkan semua syubhat dan kerancuan seputar itu yang ada dalam akal manusia, serta mengembalikan hal ini untuk menjadi hukum bagi manusia.
Sedangkan peristiwa yang baru, maka ia tunduk kepada nash-nash syariat untuk dihukumi dan tidak sebaliknya sebagaimana pengakuan para pengagum pembaharuan Islam yang ada.
Ibnu Hazm rahimahullah menjelaskan bahwa apabila ada nash dalam al-Quran atau sunnah yang shahih tentang satu perkara atas satu hukum tertentu, maka ia adalah benar tidak ada pengaruhnya perubahan waktu dan tempat, serta keadaan. Semua yang telah ditetapkan, maka ia akan tetap berlaku selamanya dalam segala zaman, tempat dan keadaan, hingga datang nash syariat yang memalingkannya dari hukum tersebut di waktu, tempat atau keadaan lainnya (Al-Ihkam Fi Ushuul al-Ahkam, 5774). Demikianlah hal ini, karena hukum-hukum syariat ada dua jenis:
Hukum-hukum yang ditetapkan oleh nash-nash asli yang gamblang. Jenis ini akan diberlakukan sepanjang zaman disemua tempat dan tidak mengalami perubahan.
Hukum-hukum yang ditetapkan melalui ijtihad yang bersumber kepada qiyas atau adat atau maslahat yang tidak ada nash syariatnya atau juga adat yang hukum syariat tidak dibangun di atasnya. Inilah yang dijelaskan Imam asy-Syathibi rahimahullah dalam ungkapan beliau: Norma-norma yang berlaku ada dua:
Norma-norma agama (al-'awa`id asy-syar'iyah) ditetapkan dalil syar'i atau ditolak dalam pengertian syariat memeritahkan hal tersebut secara wajib atau sunnah, melarangnya secara makruh atau haram atau mengizinkannya untuk diwujudkan dan ditinggalkan.Hukum- hukum yang berlaku di antara manusia yang tidak ada dalil syar'i yang menolak dan menetapkannya.
Yang pertama ini diberlakukan selamanya… Sedangkan kedua norma-norma tersebut kadang diberlakukan secara tetap dan kadang berubah (Al-Muwafaqat Fi Ushul asy-Syari'at, 2283-284).
Mujaddid munculnya setiap permulaan abad. Kemunculan ini tidak dilihat kepada kelahiran atau kematiannya, namun melihat kepada keahlian dan munculnya ia menjadi ulama.
Imam al-Munawi rahimahullah menyatakan, “Aaa satu hal yang penting yang harus diperhatikan, yaitu semua yang berbicara tentang hadits
( َ َ ِد َ َ ُد-:َ?ُ ْ َ ٍ;ََ ِ;َ< ِ -Aُآ ِسْأَر ََ ِ; ُْا ِBِ3َ ِ ُCَ)ْ8َ َ ا نِإ)
hanya menetapkan berdasarkan pengertian diutus setiap awal abad dengan kematiannya di awal abad tersebut. Padahal, Anda pasti tahu yang dapat dicerna langsung dari hadits ini adalah al-ba'tsu (pengutusan) dan irsaal (kemunculan) ada di awal abad... Pengertian kemunculan seorang alim adalah kemampuannya untuk maju ke depan memberikan manfaat kepada orang dan majunya ia dalam menyebarkan hukum-hukum syariat. Kematian seorang alim di awal abad adalah diambil bukan diutus.
Demikianlah ketentuan dasar penting dalam penentuan tajdid dan mujaddid yang disampaikan para ulama, semoga memberikan wacana dan pencerahan dalam masalah ini.