Pendekatan ‘Irfani
3. Pendekatan ‘Irfani
Sementara itu, melalui pendekatan ‘irfani (perenialis-ersoteris-intuitif) diharapkan mampu mengungkap hakikat atau makna terdalam dibalik teks dan konteks (Hendar Riyadi 2003: PR 24 Februari). ‘Irfan mencoba untuk mencari makna hakikat dibalik sebuah teks. Dan ini tidak dapat dilakukan oleh paradigm bayani dan burhani tadi. ‘Irfan mengandung beberapa pengertian antara lain: ‘ilmu atau ma’rifah, metode ilham dan kashf yang telah dikenal jauh sebelum Islam, para ahli al-‘irfan mempermudah masalah ini melalui pembeciraannya mengenai, al-naql dan al-tawzif; upaya menyingkap wacana Qur’ani dan memperluas ibrah- nya untuk memperbanyak makna. Jadi, pendekatan ‘irfan adalah salah satu pendekatan yang digunakan dalam kajian pemikiran Islam oleh para mutasawwifin dan ’arifin untuk mengeluarkan makna batin dari lafz dan ibrah; ‘irfan juga merupakan istinbath al-ma’rifah al-qalbiyah dari Al-Qur’an (Hendar Riyadi 2003).
Pendekatan ‘irfan adalah pendekatan pemahaman yang bertumpu pada instrument pengenalan batin, dhawq, qalb, wijdan, basirah, dan intuisi. Sedangkan metode yang digunakan meliputi manhaj kashfi, dan manhaj ikhtisafi. manhaj kashfi disebut juga manhaj ma’rifah yang tidak menggunakan inder atau akal, tetapi kashf dengan riyadh dan mujahadah. Manhaj ikhtisafi disebut juga al-mumathilah (analogi) yaitu metode untuk menyikap dan menemukan rahasia pengetahuan melalui analogi-analogi. Analogi dalam manhaj ini mencakup: pertama, analogi berdasarkan angka atau jumlah seperti ½ = 24 = 48, dan seterusnya. Kedua, tamthil yang meliptui silogisme dan induksi. Dan Ketiga, surah dan askhal.
Pendekatan ‘irfani juga menolak atau menghindar dari mitologi. Kaum ‘irfaniyyun tidak berusan dengan mitologi, bahkan justru membersihkannnya dari persoalan-persoalan agama dan dengan ‘irfani pula irfaniyyun lebih mengupayakan menangkap hakikat yang terletak dibalik sya’riah, dan yang batin (al-dalalah al-isharah, wa al-ramziyah). Dengan memperhatikan dua metode diatas, dapat diketahui bahwa sumber pengetahuan dalam ‘irfan mencakup ilham intuisi dan teks (yang dicari makna batinnya melalui ta’wil) (Amin Abdullah 2002).
Contoh kongkrit dari pendekatan ‘irfani lainnya adalah falsafah ishraqi yang memandang pengetahuan diskursif (al-hikmah al-bathiniyah) harus dipadu secara kreatif, harmonis dengan pengetahuan intuitif (al-hikmah aldhawuqiyyah). Dengan perpaduan tersebut, pengetahuan yang diperoleh menjadi pengetahuan yang mencerahkan, bahkan akan mencapai al-hikmah al-haqiqah. Pengalaman batin Rasul SAW. dalam menerima wahyu Al- Qur’an merupakan contoh kongkrit dari pengetahuan ‘irfan. Namun dengan keyakinan yang dipegang selama ini, ‘irfan dikembangkan dalam kerangka ittiba’al-rasul.
Implikasi ‘irfan dalam konteks pemikiran Islam, adalah menghampiri agama-agama pada tataran subtantif dan esensi spiritualitasnya dan menggabungkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the ortheness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama. Kedekatan pada Tuhan yang trans-historis, trans-historis, dan trans religious dibagi dengan rasa empati dan simpati kepada orang lain secara elegan dan setara. Termasuk di dalamnya kepekaan terhadap problem-problem kemanusiaan, pengembangan budaya dan peradaban yang disinari oleh pancaran fitrah illahiyah.
Ketiga pendekatan itu, dirumuskan Muhammadiyah guna lebih mengembangkan pola gerakan tajdid yang lebih dinamis dan peka zaman. Ketiga pendekatan di atas memiliki
Hubungan ini bisa membentuk lingkaran dialogis yang melingkar (sirkular-dialektika). Memahami teks (bayani) tidak terlepas dari pemahaman konteks, tidak terlepas dari pemahaman teks itu sendiri. Sementara pemahaman makna terdalam (‘irfani) memerlukan pemahaman terhadap teks dan konteks sekaligus.
Muhammadiyah sebagai