Kuatnya Struktur Adat

5.3.3. Kuatnya Struktur Adat

  Menurut Koentjaraningrat (1987:85) nilai budaya adalah nilai budaya terdiri dari konsepsi-konsepsi yang hidup dalam alam fikiran sebahagian besar warga masyarakat dalam hal-hal yang mereka anggap amat mulia. Sistem nilai yang ada dalam suatu masyarakat dijadikan orientasi dan rujukan dalam bertindak. Oleh karena itu, nilai budaya yang dimiliki seseorang mempengaruhinya dalam mengambil alternative, cara- cara, alat-alat dan tujuan-tujuan pembuatan yang tersedia. Koentjaraningrat (2000: 180) Pada perkembangan, penerapan budaya dalam kehidupan, berkembang pula nilai-nilai yang melekat dimasyarakat yang mengatur keserasian, keselarasan, serta keseimbangan. Nilai tersebut dikonsepsikan sebagai nilai budaya. Pemahaman nilai budaya yang di uangkapkan oleh Koentjaraningrat seakan mempertegas bahwa nilai budaya yang terjadi dalam rumah adat merupakan konsepsi-konsepsi dari masyarakat Sumba khususnya yang

  36 Wawancara bersama nenek Rato Yusuf di desa dokaka tanggal 16-12-2016 36 Wawancara bersama nenek Rato Yusuf di desa dokaka tanggal 16-12-2016

  Durkheim mengatakan bahwa pembagian antara yang sakral dan yang profan ini menjadi ciri khas pemikiran religius. Kepercayaan, mitos, dogma dan legenda-legenda merupakan representasi atau sistem representasi yang mengekspresikan hakikat hal-hal yang sakral, kebaikan, dan kekuatan-kekuatan yang dihubungkan padanya; sejarah dan hubungan antara sesama hal-hal yang sakral sama dengan hubungannya dengan hal-hal yang profan. Hal-hal yang sakral tidak bisa disederhanakan dengan mengatakannya sebagai sesuatu yang personal yang disebut dewa-dewi atau roh-roh. Batu, pohon, mata air, batu kerikil, potongan kayu, rumah, pokoknya segala sesuatu bisa saja menjadi hal yang sakral. Sebuah ritus bisa saja memiliki kesakralan; dan memang, pada tingkat tertentu tidak ada ritus yang tidak memilikinya. Ada kata, ungkapan, mantra-mantra tertentu yang hanya bisa diucapkan oleh figur yang sakral, ada juga gestur-gestur tubuh dan gerakan-gerakan tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang (Durkheim, 1992: 65-67).

  Namun kelihatannya kesakralan yang dimaksud oleh Durkheim bisa saja akan menjadi luas makna dan bisa berubah dalam konteks rumah adat. Durkheim berpendapat bahwa sesuatu yang sakral itu bersifat universal dan tidak mengenal gender atau dengan kata lain bahwa sakral dalam konteks rumah adat seharusnya tidak hanya pada perempuan saja harusnya semua yang tinggal dalam rumah adat tidak boleh memasuki tempat-tempat tersebut tetapi laki-laki juga. Ini bisa menjadi bahwa sakral dalam konteks rumah adat bisa bersifat luas dan tidak statis seperti yang dingkapkan oleh Durkheim.

  Menurut rato Yusuf Lele Wadda sebagai rato tertua loli, Sejarah rumah adat dan pembagian posisinya, sudah dimulai sejak nenek moyang di Tanjung Sasar, pada saat terciptanya rumah adat beserta adat istiadatnya. Dalam adat istiadat tersebut membagi tempat laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan dua kayu yang tidak diikat atau tidak dikenakan tali, satu dibagian atas yang merupakan simbol kayu laki-laki dan satunya dibagian bawah adalah simbol kayu perempuan. Sama hal yang diungkapkan Rato Lado Lado sebagai Rato adat di kampung Tarung, adat istiadat dalam rumah adat Menurut rato Yusuf Lele Wadda sebagai rato tertua loli, Sejarah rumah adat dan pembagian posisinya, sudah dimulai sejak nenek moyang di Tanjung Sasar, pada saat terciptanya rumah adat beserta adat istiadatnya. Dalam adat istiadat tersebut membagi tempat laki-laki dan perempuan yang ditandai dengan dua kayu yang tidak diikat atau tidak dikenakan tali, satu dibagian atas yang merupakan simbol kayu laki-laki dan satunya dibagian bawah adalah simbol kayu perempuan. Sama hal yang diungkapkan Rato Lado Lado sebagai Rato adat di kampung Tarung, adat istiadat dalam rumah adat

  Namun Dalam Posisi dan peran perempuan dalam rumah adat yang terjadi di kampung Tarung tentunya memiliki faktor yang mempengaruhi kondisi-kondisi terkait posisi dan peran perempuan dalam rumah adat. Salah satunya Adat dan istiadat yang dipertahankan masyarakat di kampung Tarung, itu terlihat jelas dengan eksistensi rumah adat yang masih terjaga dan ritual-ritual adat yang masih terus dijalankan, itulah sebabnya kenapa kampung Tarung masih tradional, seperti yang dikatakan Rato Lado ; “Banyak Rumah adat di Sumba yang sudah mulai berganti dan mulai menghilang itu karena mereka tidak melakukan ritual, jadi hilang sudah adat istiadatnya”. Kondisi budaya yang begitu kental dan masih terjaga sehingga mempengaruhi posisi perempuan dalam rumah adat. Menurut Rato Lado;

  “Faktor ada larangan-larangan atau aturan terkait posisi dan peran perempuan dalam rumah adat itu dari leluhur-leluhur sampai kepada nenek moyong dan turun temurun sampai sekarang, dan dilakukan disetiap kabissu di Loli, ini berkaitan dengan

  kepercayaan terhadap Marapu. 37

  Bentuk dari kesakralan dalam rumah adat terletak pada Marapu yang berada dalam rumah, dalam konteks rumah adat wujud Marapu biasanya dalam bentuk benda- benda pusaka dan Nukku Sara yang merupakan tempat dari jiwa-jiwa atau roh-roh para leluhur dalam rumah adat tersebut. Inilah yang menyebabkan sehingga adanya kesakralan dalam rumah adat. Kesakralan ini juga ikut dijaga dan dihargai oleh orang-orang yang berada dikampung Tarung yang sudah memeluk agama yang diakui oleh Negara seperti yang terlihat pada table 4.2 pada halaman 25.

  Ajaran marapu sebagai falsafah dasar segala urusan dalam kehidupan masyarakat Sumba khusunya di Kampung Tarung. Marapu merupakan suatu keperayaan kepada arwah para leluhur yang diyakini mampu memberikan keselamatan dan ketentraman serta kekuatan tertinggi yang disebut amawolu amarawi yang secara harafiah berarti yang

  37 Wawancara bersama Rato Lado di kampung Tarung tanggal 5-11-2016 37 Wawancara bersama Rato Lado di kampung Tarung tanggal 5-11-2016

  Roh para leluhur yang telah meninggal dunia dipercaya masih tetap menentukan kehidupan masyarakat sehingga mereka memperlakukan arwah nenek moyang tersebut sebagai dewa (Marapu). Marapu biasanya disimbolkan dengan benda-benda sakral yang telah dikuduskan sehingga tidak seorang pun boleh menyentuhnya kecuali Rato yang telah ditentukan.