BAB 1 Pendahuluan
1.1. Latar Belakang Masalah
Hak asasi manusia dianggap sebagai hak yang dimiliki setiap manusia, yang melekat atau inheren padanya karena dia adalah manusia. Dalam pembukaan
Kovenan Internasional Hak Sipil dan Politik, dicanangkan: Hak-hak ini berasal dari harkat dan martabat yang melekat pada manusia. Hak ini sangat mendasar atau asasi
sifatnya, yang mutlak diperlukan agar manusia dapat berkembanag sesuai bakat, cita- cita serta martabatnya. Hak ini juga dianggap universal, artinya dimiliki semua
manusia tanpa perbedaan berdasarkan bangsa, ras, agama, atau jender
1
• Hak asasi umumya tidak terkena restrikasi atau batasan .
Dengan meluasnya konsep dalam konteks globalisasi dewasa ini, masalah hak asasi manusia menjadi isu yang hangat dibicarakan di hampir seluruh bagian dunia.
Dalam buku Dasar-dasar Ilmu Politik, Miriam Budiarjo menjelaskan beberapa sifat dari hak asasi, antara lain:
• Hak asasi boleh di restrikasi dalam keadaan darurat • Ada hak asasi yang boleh direstrikasi oleh Undang-undang; Pasal 19
mempunyai pendapat, Pasal 21 berkumpul secara damai, Pasal 22 berserikat
• Ada hak asasi yang tidak boleh di restrikasi dala keadaan apapun; Pasal 6 hak atas hidup, Pasal 7 siksaan, Pasal 8 antiperbudakan, Pasal 11 antipasang
badan, Pasal 15 sifat kadaluwarsa tindakan criminal atau non-retroaktif, Pasal
1
Prof. Miriam Budiarjo. 2008. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal. 211-212
16 pribadi atau person di hadapan hukum, Pasal 18 berpikir, berkeyakinan, beragama.
Masalah hak asasi manusia serta perlindungan terhadapnya merupakan bagian penting dari demokrasi. Makna terdalam dari demokrasi adalah kedaulatan rakyat
sehingga rakyat merupakan pemegang kekuasaan politik tertinggi, ini berarti secara langsung menyatakan adanya jaminan terhadap hak sipil dan politik rakyat
2
Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi tidak mengabaikan nilai-nilai HAM dalam kehidupan bernegaranya. Di Indonesia HAM
bersumber dan bermuara pada Pancasila, artinya bahwa HAM menjadi jaminan filsafat yang kuat dari filsafat bangsa. Beberapa instrumen HAM di Indonesia antara
lain; undang-undang dasar 1945, ketetapan MPR nomor XVIIMPR1998 tentang Hak Asasi Manusia, undang-undang nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia dan instrumennya yaitu Komisi Nasional Hak Asasi Manusia atau Komnas HAM
. Sehingga negara demokratis diukur dari sejauh mana negara menjamin kesejahteraan
warga negaranya serta menjamin hak-hak warga negara dalam mendapatkan kehidupan yang layak. Demokrasi akan terwujud apabila negara mampu menjamin
tegaknya hak asasi manusia.
3
2
Ramlan Surbakit. Demokrasi dan Hak Asasi Manusia. Universitas Airlangga Press. Masyarakat Kebudayaan dan Politik. Th XII. No 2. April 1999. Hal.1
3
Gunawan Setiardja. 1993. Hak-Hak Asasi Manusia Berdasarkan Ideologi Pancasila. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal. 107
.
Dalam perkembangannya, pelaksanaan HAM di Indonesia sering tidak sesuai dengan hal-hal yang tertulis pada konstitusi. Sejalan dengan amanat konstitusi,
Indonesia berpandangan bahwa pemajuan dan perlindungan HAM harus didasarkan pada prinsip bahwa hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial budaya, dan hak
pembangunan merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, baik dalam penerapan, pemantauan, maupun dalam pelaksanaannya. Namun dalam praktiknya,
masih banyak pelanggaran-pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia baik atas nama negara maupun institusi tertentu.
Pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelompok orang termasuk aparat negara baik disengaja atau kelalaian yang secara hukum mengurangi,
menghalangi, membatasi, dan atau mencabut Hak Asasi Manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh undang-undang
4
Salah satu masa dimana masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM di Indonesia adalah pada masa orde baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Di era
yang disebut sebagai Demokrasi Pancasila justru pelanggaran HAM banyak terjadi selama usia kekuasaan itu. Sila “kemanusiaan yang adil dan beradab” adalah sila
yang dikhianati karena pelanggaran HAM dilakukan sedemikian rupa secara harfiah. . Dibandingkan antara
pelanggaran HAM yang dilakukan negara dan perseorangan, negara lebih rentan untuk melakukan pelanggaran HAM karena negara memiliki kekuatan memaksa,
negara berwenang melakukan kekerasan secara fisik. Tidak terkecuali Indonesia.
4
UU No. 26 Tahun 2000 tentang pengadilan HAM
Penangkapan, penahanan, dan penghilangan aktivis atau tokoh kritis secara paksa, pembredelan media cetak, penembakan tanpa alasan dan proses hukum, pembantaian
warga sipil di berbagai daerah merupakan contoh kejahatan kemanusiaan pada masa orde baru
5
Soeharto pada masa pemerintahannya menerapkan tiga kebijakan sekaligus, yaitu; mengekang hak berserikat, berekspresi, dan berpendapat; melakukan eliminasi
dan kebijakan reduksionis konsep – terhadap konsep HAM; dan melakukan pembunuhan dan penghilangan orang secara paksa tanpa alasan hukum. Ketiga hal
tersebut merupakan suatu kesatuan tindakan pelanggaran HAM sebagai bagian politik mempertahankan kekuasaan
.
6
Contoh jelas kasus pelanggaran HAM pada masa Orde Baru adalah mengenai tahanan politik tapol
.
7
5
Dr. Suparman Marzuki.2014. Politik Hukum Hak Asasi Manusia, Jakarta: Penerbit Erlangga. Hal. 24
6
Dr. Suparman Marzuki, Ibid. Hal.106
7
T. Mulya Lubis.1981. Langit Masih Mendung: Laporan Keadaan Hak Asasi Manusia Di Indonesia 1980, Jakarta: PT. Djaya Pirusa. Hal. 55
. Salah satu kasus mengenai tahanan politik yang sering terdengar adalah tahanan politik G30SPKI, tahanan politik G30SPKI berisi orang-
orang yang terlibat langsung dengan Partai Komunis Indonesia ataupun gerakan- gerakan yang dibawahi oleh PKI. Tahanan politik G30SPKI ini disebar ke beberapa
daerah di Indonesia, salah satunya Pulau Buru, namun tidak menutup kemungkinan penyebarannya terjadi di kota-kota lain.
Dasar pijakan hukum penempatan para tapol ke Pulau Buru adalah Keputusan Presiden Soeharto No 16 tahun 1969 tentang pembentukan Komando Operasi
Pemulihan Keamanan dan Ketertiban Kopkamtib yang mempunyai tugas memulihkan keamanan dan ketertiban dari akibat peristiwa pemberontakan
G30SPKI serta kegiatan ekstrim dan subversi lainnya serta mengamankan kewibawaan pemerintah demi kelangsungan hidup Pancasila dan UUD 45.
Prinsip yang digariskan pemerintah untuk pelaksanaan tindakan tersebut, ialah tidak menggangu keamanan nasional, sesuai dengan perundangan yang berlaku, dan
tahanan harus memproduksi sendiri kebutuhannya, sebagai penunjang pelaksanaan pembangunan lima tahun. Pemilihan Pulau Buru didasarkan karena; Pulau Buru
terletak jauh dari suhu politik ibu kota yang sangat peka; untuk meringankan beban keuangan pemerintah demi suksesnya program Pelita. Di Buru diharapkan para
tahanan akan bisa mencukupi kebutuhan hidup mereka sendiri, tanpa tergantung kepada anggaran keuangan Negara dengan bertitik tolak pada gagasan transmigrasi
8
Selanjutnya, walaupun para tahanan politik ini telah bebas mereka masih diberikan pembatasan-pembatasan. Contoh yang paling jelas adalah pemberian tanda
ET Eks Tahanan pada setiap kartu penduduk, dengan tanda ini para tahanan politik dibatasi gerak-geriknya, mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, tidak bisa dipilih,
.
8
Dikutip dari Jurnal Dr. Zeffry Alkatiri berjudul “Tujuh Buku Memoar Tentang Pulau Buru” yang merupakan salah satu isi dari Makalah Konferensi Sejarah Nasional.
dan tidak bisa bebas bepergian. Lebih ironisnya, keluarga bekas tahanan politik ini turut pula menanggung kemalangan berupa tidak bisa sekolah dan bekerja
9
Dari banyaknya tahanan politik yang diasingkan ke Pulau Buru, terdapat lima tahanan yang membuat memoar tentang kehidupan mereka selama menjadi tahanan
politik di Pulau Buru. Lima orang dengan latar belakang dan profesi yang berbeda menuliskan memoar mereka dengan kecenderungan bahasa dan arah masing-masing.
Kelima orang tersebut antara lain .
10
• Pramoedya Ananta Toer Nyanyi Sunyi Seorang Bisu III :
• Hersri Setiawan Memoar Pulau Buru Diburu di Pulau Buru • Adrianus Gumelar Demokrasno Dari Kalong sampai Pulau Buru
• Kresno Saroso Dari Salemba ke Pulau Buru: Memoar Seorang Tapol Orde Baru
• Suyatno Prayitno Kesaksian Tapol Orde Baru: Guru, Seniman, dan Prajurit Tjakra
Dari kelima tahanan yang pernah menuliskan memoar kehidupannya di Pulau Buru, hanya buku dari Pramoedya Ananta Toer yang diterbitkan pada masa Orde
Baru sedangkan tahanan lain bukunya di terbitkan setelah masa Orde Baru. Buku Pramoedya ini sebenarnya diterbitkan pertama kali di Belanda pada tahun 1988 dan
1989 dengan judul Lied Van Een Stome, lalu pada tahun 1995 dan 1997 buku ini di
9
T. Mulya Lubis, Opcit, Hal. 56
10
Dr. Zeffri Alkatiri, Opcit.
terbitkan di Indonesia dengan judul Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, walau pada akhirnya buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu ditarik peredarannya setelah 10 hari terbit karena
mendapat cekalan dari pemerintah Indonesia pada saat itu. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, dikatakan oleh Pramoedya merupakan sebuah
catatan-catatan yang dibuatnya selama menjadi tahanan politik di Pulau Buru atau lebih lengkapnya,
“Buku itu adalah catatan-catatan pribadi sebetulnya, yang semula ditulis untuk anak-anak saya sendiri bukan untuk orang lain. Untuk
memberikan kesaksian bahwa anak-anak saya mempunyai seorang ayah yaitu saya. Catatan-catatan itu saya buat untuk menghadapi
kemungkinan saya mati disana baik mati secara alami maupun dibunuh. Catatan itu saya tulis saat pengawasan terhadap saya
lengang atau tidak ada, begitu selesai ditulis langsung disembunyikan karena jika kedapatan oleh mereka dapat menjadi jaksa dan hakim bagi
saya. Jadi catatan itu tidak pernah saya baca kembali, setelah selesai ditulis disembunyikan dan jika sudah banyak diseludupkan keluar dari
Pulau Buru.”
11
Penulisan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu didasarkan pada pertimbangan apa dan bagaimana pun pengalaman pribadi, apalagi dituliskan, ia menjadi bagian
dari pengalaman suatu bangsa dan umat manusia pada umumnya. Menurut Pramoedya, pengalaman merupakan hak pribadi yang tidak dapat dirampas
12
Pramoedya Ananta Toer sendiri merupakan seorang sastrawan Indonesia yang mempunyai pengaruh cukup signifikan pada kesusasteraan di Indonesia. Begitu nama
Pramoedya Ananta Toer disebut, segera sejumlah kontroversi bermunculan. Bahkan, .
11
Dikutip dari wawancara Pramoedya Ananta Toer oleh radio Democracy Now pada tahun 1999
12
Pramoedya Ananta Toer. 2000. Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Jakarta: Hasta Mitra. Hal. xii
nyaris dari segala segi -karya maupun sosok- Pramoedya selalu memancing kontroversi dan perdebatan, dukungan dan penolakan
13
Pramoedya sebelumya pernah ditangkap dan dipenjara oleh Belanda selama tiga tahun serta dipenjara selama satu tahun pada masa Orde Lama. Di masa Orde
Baru ia dipenjara selama 14 tahun, Pramoedya ditangkap pada 13 Oktober 1965 karena dianggap berafiliasi dengan Lekra dan PKI. Penahanan Pramoedya ke Pulau
Buru dilakukan tanpa pengadilan terlebih dahulu, ia menghabiskan 10 tahun menjadi tahanan politik di Pulau Buru setelah menghabiskan 3 tahun di Nusakambangan.
Kemudian ia bebas dari Pulau Buru pada tahun 1979, dan dipindahkan ke Magelang selama sebulan. Setelah bebas dari penjara, Pramoedya menjadi tahanan rumah di
Jakarta hingga tahun 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga tahun 1999
.
14
Semasa hidunya, Pramoedya telah melahirkan lebih kurang 50 buku dan sudah diterjemahkan ke dalam 41 bahasa. Dari semua bukunya terdapat beberapa
yang sangat terkenal di dalam maupun luar Indonesia, antara lain; Tetratologi Pulau Buru, Gadis Pantai, Arus Balik, Bukan Pasar Malam, Panggil Aku Kartini Saja serta
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu. Pramoedya juga salah satu sastrawan Indonesia yang mempunyai cukup banyak penghargaan dan apresiasi dari luar negri, salah satunya
.
13
Jamal D. Rahman. 2014. 33 Tokoh Sastra Indonesia Paling Berpengaruh. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Hal. 295
14
Jamal D. Rahman. Ibid. Hal. 303
adalah dicalonkannya Pramoedya untuk mendapatkan Nobel Sastra namun gagal karena permasalahan pada hasil terjemahan buku-bukunya yang tidak maksimal.
Ciri khas dari kepujanggan Pramoedya adalah bahwa dia dengan caranya sendiri sebagai sastrawan berkomunikasi dan mencoba menjelaskan kepada bangsa
Indonesia terutama generasi mudanya, mengapa nasib Indonesia menjadi belingsat sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru. Untuk itu dia tetap menggunakan media
bahasa yang menjadi ciri kekuatannya dengan tetap berkukuh berada di wilayah sastra, meski kisah yang dia bawa sarat muatan politik. Dan, lahan serta bahan
ramuan yang dipakai untuk berkomunikasi adalah panggung sejarah Nusantara sendiri
15
. Buku Nyani Sunyi Seorang Bisu merupakan sebuah simbol penolakan
terhadap ketidakadilan, bagaimana Pram tetap menulis semua keluh kesah serta curhatan hatinya walaupun disaat ia diasingkan, dibungkam bahkan kehilangan hak-
haknya sebagai manusia. Pramoedya walaupun dalam setiap bukunya banyak menghubungkan dengan bagian-bagian sejarah, ia pada dasarnya tidaklah sedang
menyajikan sejarah Indonesia dalam bungkus sastra. Ia menyajikan sejarah sebagai bagian untuk dikonfrontasikan dengan situasi nyata Indonesia saat ini. Begitupun
pada buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu, Pramoedya mengungkapkan sejarah yang terlupakan, terpinggirkan, dan tidak dipelakukan dengan adil.
15
Ibid. Hal. 313
1.2.Perumusan Masalah
Nyanyi Sunyi Seorang Bisu adalah satu-satunya karya non-fiksi Pramoedya Ananta Toer yang dibuat semasa tahanan di Pulau Buru. Buku ini ingin
memperlihatkan adanya peristiwa sejarah kemanusiaan yang perlu untuk diingat dan dimasukan dalam bagian dari perjalanan sejarah Indonesia, yang selama ini ada kesan
untuk ditutup-tutupi dan dianggap tidak pernah ada. Buku memoar ini pun sungguh baik untuk dijadikan rujukan sejarah dalam mengungkapkan penahan tapol akibat
peristiwa berdarah tahun 1965. Penerbitan buku memoar ini tentunya juga berusaha untuk mengungkapkan tentang adanya penahanan secara tidak prosedural terhadap
hampir puluhan ribu orang Indonesia dalam periode rezim militer otoritarian Orde Baru di Indonesia.
Maka yang menjadi pertanyaan penelitian yaitu: 1.
Bagaimana bentuk pelanggaran HAM di pulau Buru berdasarkan buku Nyanyi Sunyi Seorang Bisu?
1.3. Pembatasan Masalah