145
Bab 9 Apresiasi
“Ya, tetapi kemudian ibuku mengutukku.” “Bagaimana anak tahu?”
“Karena aku menderita.” “Doa orang tua untuk anaknya memang selalu
didengarkan Tuhan.” “Mendoakan atau mengutuk?”
“Si perempuan meringis, “Apa yang terjadi pada anak?”
“Seluruh harta yang kukumpulkan bertahun-tahun hancur berkeping-keping dihantam ombak. Betapa
teganya ibuku.” “Mungkin Anak telah membuat beliau sakit hati.”
“Tetapi, bagaimana dengan peribahasa ‘kasih ibu – bapak sepanjang jalan, kasih anak sepanjang
penggalan’?” “Tak ada yang salah dengan peribahasa itu, Nak.”
“Jika peribahasa itu benar, tentu ibuku tidak mengutukku, ‘kan?”
“Sulit menjelaskannya, Nak.” “Aku akan menuntut ibuku.”
“Kenapa?” “Karena telah membuatku menderita.”
“Apa kutukan kutukan yang diberikan beliau untuk anak?”
“Menjadikan aku batu.”
PAGI. Masyarakat Pantai Air Manis dikejutkan
tentang berita Malin Kundang yang kembali menjadi manusia. Berita pun langsung menyebar
dari mulut ke mulut. Seorang kaya di kampung itu, bahkan mengirimkan faks ke redaksi media
cetak dan elektronik. Karuan saja para wartawan dari seluruh penjuru Indonesia, bahkan luar negeri,
berdatangan ke pantai di selatan kota Padang itu. Mereka berebutan mewawancarai Malin Kundang.
Sebuah stasiun swasta Amerika, malah menawarinya uang 10 juta bila ia bersedia menjadi bintang tamu
acara talk show andalan mereka. Tetapi Malin Kundang menolak, “Saya tidak percaya orang
bule. Mereka selalu berbohong dan munafik.” Dia memilih menggelar konferensi pers supaya tidak ada
yang diistimewakan. “Benar Anda lelaki yang pernah menjadi batu?” tanya
para wartawan yang mengerubungi Malin Kundang. “Ya.”
“Apa buktinya?” “Lihatlah, batu yang selama ini diyakini sebagai
tubuhku sudah tidak ada.” “Bisa saja segerombolan orang telah mengangkatnya,
‘kan? Mungkin anak buah Anda.” “Buktikan saja.”
“Mungkin juga kaki tangan orang kaya dari kota yang berniat menjuial batu itu kepada kolektor barang
seni.” “Buktikan kalau bisa.”
“Baiklah, lalu tahun berapakah Anda menjadi batu?”
“Saat itu kami tidak mengenal tahun.” “Bagaimana kejadiannya hingga Anda menjadi
batu?” “Seperti cerita yang dikenal di masyarakat.”
“Termasuk yang ditulis di buku-buku cerita?” “Ya.”
“Bagaimana Anda tahu ada benda yang bernama buku cerita?”
“Selama ini aku tidak mati. Aku hidup, aku bernapas, aku bisa melihat meski tubuhku menjadi batu dan tanpa
makan-minum. Itulah, kalian terlalu meremehkan benda-benda mati dan tidak menghargai .”
“Jadi, Anda juga tahu kalau kisah hidup Anda pernah difilmkan?”
“Tentu.” “Jadi benar Anda anak Durhaka?”
“Jika itu dianggap durhaka.” “Anda menolak sebutan itu?”
“Tentu saja.” “Kenapa?”
“Puluhan tahun merantau, siang-malam bekerja keras tanpa pernah melihat wajah ibuku, telah membuatku
lupa pada banyak hal. Jadi, begitu melihat perempuan itu, aku yakin bahwa dia bukan ibuku.”
Di unduh dari : Bukupaket.com Di unduh dari : Bukupaket.com
146
Bahasa dan Sastra Indonesia untuk SMAMA Kelas XI Program Bahasa
“Ohhh....” “Seingatku, ibuku adalah perempuan muda yang
berbadan kuat. Bukan nenek-nenek.” “Bukankah umur manusia bertambah?”
“Ya, tentu.” “Jadi ibu Anda yang ketika Anda kecil adalah
perempuan muda, setelah Anda dewasa tidak mungkin tetap menjadi muda, ‘kan?”
“Tetapi aku lupa wajah ibuku.” “Keterlaluan sekali Anda. Padahal ibu Anda saja tidak
lupa wajah Anda.” “Maklumlah puluhan tahun aku tidak melihat
wajahnya.” “Berarti Anda memang anaknya ‘kan? Kalau bukan
tidak mungkin itu menjadi kenyataan. Iya, ‘kan?” “Ya....”
“Dan luka di kening itu yang juga dimiliki Malin Kundang ketika kecil jatuh membentur panci kayu.”
“Bagaimana Anda tahu?” “Aku membaca buku tentang legenda Anda.”
“Ya ... ya.” “Lalu untuk apa setelah kaya raya Anda datang ke
pulau ini.” “Aku hanya ingin mengunjungi tanah kelahiranku.”
“Bukan untuk mengunjungi ibu Anda?” “Jika ia masih hidup, tentu aku akan bertemu ibuku,
‘kan?” “Tapi begitu Anda melihatnya, kenapa Anda tidak
mengakuinya?” “Sudah kukatakan, maklumlah, puluhan tahun aku
tidak melihat ibuku. Wajar saja jika tidak ingat lagi wajahnya.”
“Ya. Ya, terselahlah.” “Saat itu seharusnya dia tidak segera mengutukku.”
“Maksudnya?” “Seharusnya dia tahu, puluhan tahun merantau, siang
malam bekerja keras tanpa pernah melihat wajahnya, wajar saja jika aku lupa.”
“Nyatanya tidak ada yang tahu tentang Anda diperantauan. Tidak ada yang mengirim kabar, dan
tidak ada yang mencari kabar. Hanya ibu Anda yang selalu mendoakan keselamatan Anda, juga
selalu bertanya pada setiap nakhoda yang kapalnya bersandar di pulau ini. Tetapi, kabar tentang Anak
tidak juga ada.” “Lalu.”
“Ibu Anda hanya tahu Anda anak durhaka.” “Tetapi, seharusnya dia tidak mengutukku.”
“Ya, ya, ya, lalu apa yang akan Anda lakukan?’ “Tentu aku akan menuntut ibuku.”
“Tapi dia sudah meninggal, ratusan tahun yang lalu.”
“Ya, tentu saja.” “Ibu Anda meninggal tidak lama setelah Anda
menjadi batu.” “Lalu?”
“Jadi Anda tidak perlu menuntutnya ‘kan?” “Aku akan menuntutnya di hadapan Tuhan.”
“Kapan itu?’ “Setelah aku mati, di akhirat tentu saja.”
“Ibu Anda sudah ada di surga.” “Karena mengutuk anaknya seseorang masuk
surga?” Para wartawan tidak menjawab. Mereka hanya
saling pandang dan kasak-kusuk, seperti biasanya. Ini benar-benar di luar dugaan semua orang.
“Apa jadinya kalau ia menuntut ibunya?” “Iya, ya...?”
“Lalu apa kata Tuhan nantinya?” “Lagipula siapa sih yang menghidupkan dia
kembali?’ “Barangkali saja penyihir.”
“Ngaco” “Tetapi tak apalah.”
“Ya, memang tak apa, karena malah menguntungkan kita jadi dapat berita bagus untuk diliput. Ya
‘kan?’ “Ya, ya.”
Akan tetapi, Malin Kundang sudah melenggang pergi dan tinggal di Pulau Pisang Kecil yang
letaknya tidak jauh dari Pantai Air Manis, bersama monyet-monyet penghuninya. Setiap hari, lima
Di unduh dari : Bukupaket.com Di unduh dari : Bukupaket.com
147
Bab 9 Apresiasi