Definisi Jenis Coping Stres

individu merancang coping untuk lebih percaya diri atau percaya pada orang lain serta yakin akan pertolongan Tuhan. Selanjutnya adalah individu yang merasa memiliki internal locus of control lebih berhasil melakukan coping dibanding mereka yang tidak memiliki kontrol dalam hidupnya. Social skills yang efektif membantu individu tidak hanya berinteraksi tetapi juga mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan yang dimiliki, meminta bantuan ketika sedang membutuhkan, dan mengurangi permusuhan saat menghadapi situasi yang tegang. Social support sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi coping bisa mencegah efek stres akibat perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan kelebihan beban kerja. Saat berhadapan dengan stresor, teman dan keluarga memberi dukungan sehingga bisa mengimbangi perubahan hidup seseorang. Faktor pendukung lainnya adalah material resources dimana saat individu mengatasi stres maka uang dan barang lain yang bisa dibeli dengan uang dapat menjadi sumber daya yang nyata. Uang meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia untuk menghilangkan stresor atau mengurangi efek stres.

2.3 Mahasiswa

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia 1991, mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang terdaftar dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi. Mahasiswa erat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan mahasiswa, termasuk di dalamnya kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di luar perguruan tinggi. Havighurst dalam Sumanto, 2014 menyatakan bahwa mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai hidup masa remaja akhir hingga membawanya pada masa dewasa awal dan menjadikannya pemantapan pendirian hidup. Mahasiswa dikatakan sebagai individu yang sedang dalam tahap perkembangan dewasa awal pada usia 18-25 tahun. Masa ini ditandai dengan kegiatan yang bersifat eksperimen dan eksplorasi sehingga terjadi perubahan yang berkesinambungan. Transisi dari sekolah hingga ke perguruan tinggi sering kali melibatkan karakteristik positif maupun negatif pada mahasiswa Santrock, 2011. Di perguruan tinggi, para mahasiswa cenderung merasa dirinya telah dewasa, mampu meluangkan waktu lebih banyak dengan teman sebaya, memiliki lebih banyak peluang untuk mengeskplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai berbeda, lebih terbebas dari pengawasan orangtua, serta tertantang secara intelektual oleh tugas-tugas akademis. Meski demikian, studi yang dilakukan Asosiasi Kesehatan Universitas Amerika pada tahun 2008 menunjukan bahwa lebih dari 90.000 mahasiswa di 177 perguruan tinggi mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki harapan, merasa kewalahan dengan aktivitas akademik dan non akademik, mengalami kelelahan mental, sedih, bahkan merasa depresi. Brouwer dalam Siswanto, 2007 mencatat beberapa masalah yang berkaitan dengan status sebagai mahasiswa. Permasalahan-permasalahan ini menimbulkan tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, yaitu perbedaan cara belajar, perpindahan tempat, mencari teman baru atau hal lain yang berkaitan dengan pergaulan, perubahan relasi, pengaturan waktu, dan nilai-nilai hidup. Perbedaan cara belajar di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Memasuki perguruan tinggi, perpindahan tempat membutuhkan energi yang besar untuk melakukan penyesuaian karena sebagian besar mahasiswa dituntut untuk mandiri akibat perpisahannya dengan orangtua. Mahasiswa memiliki kualititas hubungan yang cenderung menurun dengan teman lamanya sehingga mencari teman baru yang cocok dari berbagai latar belakang budaya di perguruan tinggi akan dilakukan pada masa ini. Kegagalan mendapatkan teman bisa menimbulkan perasaan kesepian. Permasalahan lain yang muncul dalam pertemanan dan pergaulan adalah masalah seksualitas. Secara biologis, mahasiswa telah mencapai kematangan seksual namun norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku seksual secara penuh. Ketika mahasiswa menjalin relasi dengan lawan jenis, ia dituntut untuk membuat keputusan atau pilihan sendiri dan dalam hal ini seksualitas muncul menjadi masalah yang serius. Mahasiswa mengalami perubahan relasi dari yang sifatnya personal menjadi fungsional. Relasi orangtua-anak diganti dengan relasi dosen-mahasiswa. PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI Begitu pula relasi teman sepermainan diganti dengan relasi antar-mahasiswa. Perubahan relasi ini dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa. Mahasiswa juga memiliki kebebasan dalam mengatur waktu karena tidak ada orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan mengatur waktu antara kegiatan kuliah, belajar, bermain, atau mengurus rumah tangga bagi mahasiswa yang sudah menikah, dan aktivitas lainnya dapat mengakibatkan masalah lain yang berkaitan dengan tugas belajar. Di samping itu, informasi yang diterima di perguruan tinggi biasanya lebih terbuka dan kemungkinan mahasiswa mengalami krisis nilai hidup. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi dihadapkan dengan nilai baru yang ditemui yang dirasakan mahasiswa justru lebih sesuai. Tidak jarang selama masa krisis ini, mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan membawa setidaknya dampak negatif bagi kelangsungan hidupnya. Menurut Siswanto 2007, apabila mahasiswa yang bersangkutan berhasil menangani tekanan atau masalah dengan sukses, maka dia akan dapat menjalani kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan lancar. Sebaliknya, bila mahasiswa tersebut gagal dalam melakukan penanganan atas permasalahan yang dihadapinya, maka peranannya sebagai mahasiswa akan mengalami gangguan atau hambatan.