Coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

(1)

COPING STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

Maria Rosaria Angela Moa

ABSTRAK

Pasca seks pranikah, ada berbagai permasalahan yang berdampak pada stabilitas kehidupan wanita dewasa awal yang disebut stresor. Oleh karena itu, untuk mengatasi stresor dibutuhkan coping stres. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur pada dua informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga stresor, yaitu permasalahan internal dan eksternal.

Coping stres yang paling banyak digunakan oleh semua informan untuk mengatasi stresor adalah problem focused coping. Faktor yang mempengaruhi coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah adalah social support, material resources, dan positive beliefs.


(2)

COPING STRESS ON COLLEGE STUDENTS WHO GOT MARRIED IN THE POST OF PREMARITAL SEXUAL INTERCOURSE

Study in Faculty of Psychology, Sanata Dharma University Maria Rosaria Angela Moa

ABSTRACT

In the post of premarital sexual intercourse, there were some issues that gave impact to life stability of students which named stressor. Therefore, coping stress was needed to overcome the stressor. This research aimed to describe coping stress of the college students who got married in the post of premarital sexual intercourse. This study used a qualitative method through a case study approach. The data was collected from semi structured interview to the two informants. The result of the research showed that there were two stressors, which were internal issues and external issues. Problem Focused Coping was mostly used by all of the informants to fix the stressor. Social supports, material resources, and positive beliefs were all the factors which affected to the college students who got married post premarital sexual intercourse.


(3)

COPING

STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH

PASCA SEKS PRANIKAH

Skripsi

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

Disusun Oleh : Maria Rosaria Angela Moa

NIM : 129114092

PROGRAM STUDI PSIKOLOGI JURUSAN PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(4)

(5)

(6)

iv

-

smile, spirit, happiness -

Dari perempuan, oleh perempuan

dan untuk perempuan


(7)

v

Untuk jiwa yang memberi kehidupan,

Kanisius Moa dan Betty Elizabeth Sauyas

Kecemasan sekaligus kebanggaan,

(Alm) Lusia Pratidarmanastiti

Perempuan,

teruntuk mereka yang bertahan


(8)

(9)

vii

COPING STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH

Fakultas Psikologi, Universitas Sanata Dharma

Maria Rosaria Angela Moa ABSTRAK

Pasca seks pranikah, ada berbagai permasalahan yang berdampak pada stabilitas kehidupan wanita dewasa awal yang disebut stresor. Oleh karena itu, untuk mengatasi stresor dibutuhkan coping stres. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif melalui pendekatan studi kasus. Pengambilan data dilakukan melalui wawancara semi terstruktur pada dua informan. Hasil penelitian menunjukan bahwa terdapat tiga stresor, yaitu permasalahan internal dan eksternal.

Coping stres yang paling banyak digunakan oleh semua informan untuk mengatasi stresor adalah problem focused coping. Faktor yang mempengaruhi coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah adalah social support, material resources, dan positive beliefs.


(10)

viii

COPING STRESS ON COLLEGE STUDENTS WHO GOT MARRIED IN THE POST OF PREMARITAL SEXUAL INTERCOURSE

Study in Faculty of Psychology, Sanata Dharma University

Maria Rosaria Angela Moa

ABSTRACT

In the post of premarital sexual intercourse, there were some issues that gave impact to life stability of students which named stressor. Therefore, coping stress was needed to overcome the stressor. This research aimed to describe coping stress of the college students who got married in the post of premarital sexual intercourse. This study used a qualitative method through a case study approach. The data was collected from semi structured interview to the two informants. The result of the research showed that there were two stressors, which were internal issues and external issues. Problem Focused Coping was mostly used by all of the informants to fix the stressor. Social supports, material resources, and positive beliefs were all the factors which affected to the college students who got married post premarital sexual intercourse.


(11)

(12)

x

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kepada Tuhan Yesus Kristus dan Bunda Maria untuk kasih yang menuntun peneliti dapat menyelesaikan skripsi berjudul “COPING

STRES PADA MAHASISWA YANG MENIKAH PASCA SEKS PRANIKAH”. Penyelesaian skripsi ini tak lepas dari peran serta berbagai pihak yang telah mendukung dan membantu. Oleh karena itu, peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada :

1. Alm. Ibu terkasih, Dra. Lusia Pratidarmanastiti. Terima kasih sudah menuntun peneliti di awal proses pengerjaan skripsi. Terima kasih karena telah membimbing peneliti beserta teman-teman lainnya dalam ketegasan yang khas tanpa mengurangi sisi keibuan.

2. Ibu Sylvia Carolina Maria Yuniati Murtisari M.Si yang meluangkan waktu untuk membimbing peneliti di sela kesibukan ibu. Terima kasih banyak untuk perhatian dan bantuan ibu dalam proses pengerjaan skripsi.

3. Bapak Robertus Landung Eko Prihatmoko M.Psi selaku dosen pembimbing yang selalu menjawab kebingungan dan membantu peneliti hingga akhir pengerjaan skripsi ini. Terima kasih untuk canda tawa ringan di ruangan Bapak dan kekerabatan bersama teman lain saat bimbingan di kantin. Joooosss 

4. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si (sekaligus Dosen Pembimbing Akademik) dan Ibu Diana Permata Sari, M.Sc selaku dosen penguji yang memberi banyak masukan sehingga tulisan ini boleh diselesaikan dengan baik.


(13)

xi

5. Kanisius Moa dan Betty Elizabeth Sauyas, terima kasih bapa dan mama yang telah melahirkan, membesarkan, dan mengasihi peneliti. Terima kasih karena tidak pernah menuntut apapun selama menjalani pendidikan sedari dulu hingga boleh selesai saat ini. Dukungan dan doa tulus bapa dan mama kiranya dibalas oleh Tuhan Yesus Kristus.

6. Ketiga kakak laki-laki peneliti, Billy Rivaldo Moa beserta istri, Alfridus Moa, dan Neville Novensius Moa. Terima kasih karena telah melindungi dan menyayangi adik perempuan kalian. Terima kasih juga untuk dukungan, doa, dan bantuannya mencari jurnal hahaha 

7. Keponakan tercinta peneliti. Fanuel Allessandro Christelgo Moa, Margarethieysa Cassandra Olivia Moa, Ezperiensa Della Vita Moa, Alzevanya di Jayapura. Para ‘tuyul’ yang membuat peneliti selalu rindu untuk pulang dan tersenyum kala lelah mengerjakan skripsi.

8. Abang terkasih, Piet Pihara. Terima kasih untuk ketegasan, motivasi, dan doanya. Terima kasih sudah meluangkan waktu mendengarkan keluh kesah peneliti, bersedia diganggu saat sibuk, dan selalu berbagi canda tawa yang diselingi perselisahan.Ah…ngai an oi nyi, eiiiooo eiiioooo 

9. Rock n Roll Kost, ex bapak Har***o. Terima kasih kakak Christiani Natalia Banik untuk ketulusannya membantu peneliti mengerjakan koding yang melelahkan itu hahaha. Terima kasih pada Dian Anggraeni Willianto (selamat sudah berhasil duluan, kecup), kakak Maria Pula Toby (S.Psi soon, ingat skripsi jangan keasikan main), Ratna Indraswari (S.Psi soon, mangats Na! Biar cepat


(14)

xii

dihalalin Yudha), Bernadeta Savitri (selamat sudah berhasil duluan, kecup), dan kak Lydia Haba. Mereka yang memberi motivasi dan ‘kebaperan’ selama berdinamika. Banyak canda tawa dan tangis bersama.

10. Kontrakan Cemara Ceria, Grevia Nanda Charisma Anie, Febby Galih Shintiyani, Franciska Vitriyanti, dan Karmelita Galuh Widya Sesfaot ‘si mendes’ (ini berdasarkan urutan kelahiran, biar tidak ada kecemburuan sosial hahaha). Makasih Ge, makan, tidur, dan kerja skripsi (beberapa kali) sama-sama, Ma Ani sayang ooo. Febby yang menemani peneliti sambil mengerjakan laporannya di ruang tengah, terima kasih sudah memotivasi ya nak, ‘unda sayang deh  buat ‘peliharaan KCC’ Ipo, jangan mendahului kakak-kakak. Ndes, terima kasih sudah banyak membantu, mendengarkan, sharing, dan menjadi editor ‘luar biasa’ hahaha. Tambahan penghuni, Lydia Abineno (Le pu muka macam ade-ade dong, hahaha) terima kasih untuk canda tawa dan dukungannya, Le harus semangat skripsi juga.

11. Maria Karina Wijayanti (Ndutski), Chlara Rekaasta Indah Graha, Regina Giovani, Bernadeta Intan Setya Rosari, Mbak Devi Putri Sari, Rosalia Stefani Making. Terima kasih kalian ‘gossipers’ cantik cucok semester satu sampe saat ini jadi pejuang skripsi sama-sama (kecuali BM yang udah duluan, hihihi). Tetap semangat ya, sukses buat kita semua pokoknya.

12. Lydia Andronixoes Christiani, kawan senasib sepenanggungan. Pertemuan kita yang tidak pernah terduga, kocak, terima kasih untuk segala cerita yang diukir bersama saat pertama kali mencicipi dunia perkuliahan hingga saat ini. Jangan


(15)

xiii

pernah patah semangat, hidup skripsi! Semoga rumah tangganya dengan suami selalu langgeng dan jauh dari masalah berat.

13. Asvita Kharisma, teman seperjuangan dari jaman Alm. Bu Lusi sampai sekarang. Makasih untuk sharing dan energi positifnya ya. Teruntuk Delvianty Parinding, terima kasih sudah saling membantu selama ini, rempong bersama hehehe. Maria Grasia Deivi yang bersama melewati masa akhir menuju sidang hingga ACC wkwkwk 

14. Radytia Paramitha Takwa sang malaikat, untuk 27 Mei 2017 bersama Louis Itho Oematan, Amel, dan Febby. Entah harus ngomong apa, intinya pengalaman kita ‘’luar biasa’’. Hahahhaha… salam OT.P.

15. Malika English Course, thanks for positive dynamic together and “laughing never end”. Hahahahaha… Thanks for helping and the process to learned with Amel, Itho, Edwind, Aresi, Dus, Ipo. Special thanks to Miss Lea who was humble to share her studies. I’ll always remember this moment.

16. NP dan AN yang bersedia untuk berbagi pengalaman dalam penelitian ini. Seribu terima kasih karena telah banyak membantu. Tetap semangat, Tuhan berkenan membalas kebaikan kalian.

17. Para perempuan yang dengan rendah hati dan mau untuk bertanggung jawab atas peran gandanya, kalian hebat kalian luar biasa.

18. Dan untuk pihak lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu. Terima kasih banyak atas segala bentuk bantuan selama proses mengerjakan skripsi.


(16)

xiv

Kesadaran bahwa skripsi adalah karya pertama, tidaklah menjadi lengkap tanpa kritik dan saran yang membangun dari para pembaca. Semoga karya sederhana ini dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan dan perempuan pengenyam peran ganda.

Yogyakarta, 16 Februari 2017 Peneliti


(17)

xv

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN DOSEN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN MOTTO ... iv

HALAMAN PERSEMBAHAN ... v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vi

ABSTRAK ... vii

ABSTRACT ... viii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xviii

DAFTAR LAMPIRAN ... xix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Tujuan Penelitian ... 7

1.4 Manfaat penelitian ... 7

1.4.1 Manfaat Teoritis ... 7


(18)

xvi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1 Stres ... 9

2.1.1 Definisi Stres ... 9

2.1.2 Penyebab Stres ... 10

2.1.3 Gejala Stres ... 11

2.2 Coping Stres ... 12

2.2.1 Definisi Coping Stres ... 12

2.2.2 Jenis Coping Stres ... 12

2.2.3 Faktor Pendukung Coping Stres ... 15

2.3 Mahasiswa ... 16

2.4 Seks Pranikah ... 20

2.5 Coping Stres Pada Mahasiswa Yang Menikah Pasca Seks Pranikah ... 23

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 26

3.1 Jenis Penelitian ... 26

3.2 Fokus Penelitian ... 27

3.3 Informan Penelitian ... 27

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 28

3.5 Metode Analisis Data ... 30

3.6 Kredibilitas Penelitian ... 31

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 32

4.1 Pelaksanaan Penelitian ... 32


(19)

xvii

4.2.1 Informan Pertama ... 34

4.2.2 Informan Kedua ... 37

4.3 Hasil Penelitian ... 39

4.3.1 Informan Pertama ... 39

4.3.2 Informan Kedua ... 56

4.4 Kesimpulan Analisis Dua Informan ... 72

4.5 Pembahasan ... 78

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 87

5.1 Kesimpulan ... 87

5.2 Keterbatasan Penelitian ... 87

5.3 Saran ... 88

DAFTAR PUSTAKA ... 89


(20)

xviii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Skema Informan Pertama ... 55

Gambar 2. Skema Informan Kedua ... 71

Gambar 3. Skema Kedua Informan ... 76


(21)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Informed Consent ... 93

Lampiran 2. Tabel Verbatim ... 95

Lampiran 3. Tabel Kategori Tema dan Sub-Kategori Tema ... 264


(22)

1

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Seks pranikah merupakan bentuk penyaluran dorongan seksual yang menyimpang (Setiono, 2011). Penyaluran dorongan seksual pada pasangan akan mengakibatkan kehamilan yang mungkin berujung pada pelaksanaan pernikahan secara mendadak. Hal ini justru bertolak belakang dengan idealnya suatu pernikahan terkait persiapan yang matang menyangkut diri sendiri, pasangan, dan perencanaan masa depan. Seks pranikah dinilai sebagai tindakan yang melanggar nilai dan norma yang dipegang masyarakat bahwa aktivitas seksual (senggama) harus dilakukan secara sah, baik dalam hukum agama maupun negara (Endraswara, dalam Handayani, 2010).

Survei menunjukan bahwa seks pranikah banyak dilakukan oleh kaum muda. Survei oleh Lefkowitz & Gillen (dalam Santrock, 2011) pada tahun 2006 di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa lebih dari 60% kaum muda berusia 18 tahun ke atas pernah melakukan hubungan seksual. Sedangkan data dari Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) di Indonesia pada tahun 2014 menyebutkan bahwa 48-51% kelompok siswi berusia 15-19 tahun dan kelompok mahasiswa berusia 20-24 tahun sebanyak 56,2% pernah melakukan hubungan seksual.


(23)

Mereka yang disebut kaum muda oleh Santrock (2002) berada pada rentang usia 18-25 tahun dan sedang menjalani masa transisinya ke perguruan tinggi sebagai seorang mahasiswa. Siswanto (2007) menambahkan bahwa mahasiswa harus melakukan penyesuaian terhadap berbagai situasi dan tuntutan. Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Papalia (2011) karena selama periode perkuliahan mahasiswa memiliki pengalaman intelektual dan pertumbuhan pribadi, terutama dalam keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, dan penalaran moral yang berpengaruh di masa depan.

Menurut Sumanto (2014), idealnya bahwa mahasiswa menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi terlebih dahulu sebelum membina rumah tangga. Pada kenyataannya, seks pranikah yang mengakibatkan kehamilan pada mahasiswa menyebabkan dirinya harus menikah pada saat yang sama. Ia harus menyesuaikan diri dengan beban sebagai ibu muda dan mempertahankan relasi yang memuaskan dengan suami dalam menjalankan perannya sebagai seorang istri (Duvall, dalam Setiono, 2011).

Ada berbagai dampak negatif yang mempengaruhi stabilitas kehidupan mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah. Penelitian oleh Sonata (2014) menyebutkan bahwa di masa kehamilan terjadi ketegangan emosional, muncul perasaan bersalah, malu, dan marah pada diri sendiri akibat seks pranikah. Hasil penelitian juga menunjukan munculnya perasaan sedih dan takut menjalani kehidupannya setelah menikah. Percobaan bunuh diri dan membunuh pasangan


(24)

bahkan muncul dalam benak salah satu informan. Ketegangan emosional akan mempengaruhi kesehatan janin yang mengakibatkan kelahiran prematur, penurunan sistem kekebalan tubuh, atau keterhambatan perkembangan seperti gangguan emosi (Priyoto, 2014).

Penelitian menunjukan bahwa mahasiswa mendapat dukungan dari suami sekaligus mengalami penurunan prestasi akademik karena terganggu dengan urusan rumah tangga (Mukkaromah & Nuqul, 2012). Penelitian Sonata (2014) memperkuat bahwa mahasiswa yang menikah akibat seks pranikah mengalami kesulitan dalam membagi perannya sebagai mahasiswa, istri sekaligus sebagai seorang ibu.

Mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah juga rentan terhadap respon negatif dari keluarga dan lingkungan sekitar. Amarah keluarga, kekecewaan, dan penolakan terjadi pada mereka (Sonata, 2014). Mahmudin (2015) menambahkan bahwa hukuman sosial berupa ejekan, cemoohan, atau tindakan lain yang menunjukan orang lain tidak respek bisa muncul dalam kehidupan sehari-hari. Survei awal yang dilakukan oleh peneliti secara acak pada 22 mahasiswa laki-laki dan perempuan turut memperkuat respon negatif lingkungan. 17 orang memiliki penilaian negatif karena mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dianggap memiliki kontrol diri yang kurang, seharusnya mereka bisa menjaga nama baik sendiri dan keluarga sehingga tidak terjebak dalam pergaulan bebas yang mengakibatkan kehamilan di luar ikatan pernikahan yang sah.


(25)

Setelah menikah, ada tuntutan untuk memenuhi kebutuhan papan, sandang, dan pangan dalam kelangsungan hidup berumah tangga. Pemenuhan kebutuhan ini didukung dengan kesiapan ekonomi yang memadai. Jika kesiapan ekonomi belum cukup memadai maka untuk memenuhi kebutuhan hidup dalam menjalani pernikahan dan membentuk rumah tangga akan bergantung pada orangtua (Duvall, dalam Setiono, 2011). Survei awal melalui wawancara pada mahasiswa dengan kasus yang sama menunjukkan bahwa ia harus merelakan anaknya dirawat oleh sang mertua karena pasangannya belum mampu untuk bertanggung jawab sebagai pencari nafkah utama. Fakta ini membuktikan bahwa kesiapan secara ekonomi menyangkut masa depan pernikahan sangat penting untuk diperhitungan.

Perubahan aspek hidup meliputi perubahan emosional, peran, dan perubahan sosial-ekonomi pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah menyebabkan mereka cenderung mengalami stres. Perubahan ini didukung dengan pendapat Atkinson (2010) bahwa perubahan atas berbagai peristiwa yang terjadi dapat memicu stres, termasuk perubahan akibat pernikahan.

Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah lainnya dalam kehidupan (Ardani, 2007). Pemicu atau sumber stres itu disebut stresor. Menurut Priyoto (2014), stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari. Reaksi fisik yang muncul ketika mengalami stres adalah


(26)

sakit kepala, jantung berdebar, kelelahan, dan sulit tidur. Sementara itu, dampak psikologis yang terjadi pada mereka, yaitu ketidakmampuan untuk berkonsentrasi dan menyelesaikan tugas serta keadaan emosi yang tidak terkendali.

Usaha untuk beradaptasi pada stresor disebut coping. Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000) mendefinisikan coping

stres sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan eksternal maupun internal yang dinilai melebihi kemampuan individu. Passer dan Smith (2007) membagi coping stres menjadi tiga jenis, yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking social support. Problem focused coping adalah strategi individu yang mencoba untuk menghadapi dan menangani tuntutan akan situasi atau usaha untuk mengubah situasi bermasalah sehingga tidak menimbulkan stres. Emotional focused coping adalah usaha individu dengan mencoba untuk mengelola respon emosional dari situasi yang menyebabkan terjadinya stres. Sedangkan Seeking social support yaitu strategi individu dengan cara beralih ke orang lain untuk mencari bantuan dan dukungan emosional pada saat stres. Bantuan dan dukungan dari orang lain bisa dapat berupa materi atau non materi.

Bart Smet (1994) menjelaskan bahwa coping stres yang efektif adalah

coping yang disesuaikan dengan jenis stres dan situasi. Apabila coping stres tidak efektif maka stresor tidak berubah atau kemungkinan mengalami peningkatan yang berdampak pada kestabilan hidup sehari-hari. Hal ini turut menjelaskan


(27)

bahwa apabila mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah tidak menanggulangi permasalahannya (stresor) maka timbul dampak negatif yang mempengaruhi stabilitas kehidupan mereka. Oleh karena itu, penelitian mengenai

coping stres sangatlah penting untuk dilakukan. Siswanto (2007) menambahkan bahwa coping stres penting dilakukan karena coping tersebut membantu seseorang beradaptasi dan bertahan atau keluar dari permasalahan yang mempengaruhi kehidupannya.

Di samping dampak yang mempengaruhi kestabilan hidup setelah menikah, penelitian ini penting dilakukan karena secara statistik seks pranikah pada mahasiswa mengalami peningkatan sesuai dengan pemaparan peneliti di awal. Penelitian ini juga menyajikan kekhususan pada informan yang menjalani peran gandanya sebagai mahasiswa, istri, sekaligus sebagai seorang ibu yang belum pernah diteliti. Kebanyakan penelitian sebelumnya memilih informan yang tidak menikah secara sah lalu melanjutkan pendidikan atau sebaliknya memutuskan untuk tidak melanjutkan pendidikannya di perguruan tinggi dan menikah untuk membina rumah tangga seperti penelitian oleh Hutama (2014). Padahal Papalia (2008) mengungkapkan bahwa pendidikan dan pernikahan itu sendiri berpengaruh positif pada kehidupan di masa yang akan datang terkait skill, pekerjaan dan karier, serta kehidupan dalam menjalani rumah tangga dengan suami dan anak.


(28)

Peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah dengan metode kualitatif. Sejalan dengan pendapat Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) bahwa penelitian kualitatif dengan model studi kasus menekankan eksplorasi yang saling terkait satu sama lain, yaitu eksplorasi atas stresor pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah yang disertai penggalian informasi secara mendalam untuk mendeskripsikan coping stres yang digunakan oleh mereka. Penelitian ini sesuai dengan model studi kasus karena informan penelitian memiliki pengalaman yang unik, yaitu bertanggung jawab dalam menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi sekaligus membina rumah tangga pada saat yang sama.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah ?

1.3 Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan coping stres yang digunakan pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis


(29)

Penelitian ini bermanfaat untuk memberi sumbangan dalam kajian ilmu psikologi perkembangan dan ilmu psikologi pada umumnya mengenai

coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

1.4.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai

coping stres pada mahasiswa lainnya yang memiliki permasalahan serupa sehingga mereka bisa mengurangi dampak negatif yang mempengaruhi stabilitas kehidupannya. Selanjutnya hasil penelitian ini juga diharapkan agar memberi gambaran bagi keluarga atau kerabat dekat dari mahasiswa lainnya untuk lebih memahami keadaan mereka.


(30)

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stres

2.1.1 Definisi Stres

Looker dan Gregson (2004) mendefinisikan stres sebagai suatu keadaan yang dialami ketika ada ketidaksesuaian antara tuntutan yang diterima dengan kemampuan untuk mengatasinya. Stres adalah tekanan internal maupun eksternal serta kondisi bermasalah yang berasal dari berbagai bidang kehidupan (Ardani, 2007).

Priyoto (2014) menyatakan bahwa stres berkaitan dengan kenyataan yang tidak sesuai dengan harapan atau situasi yang menekan. Stres adalah suatu reaksi fisik dan psikis terhadap setiap tuntutan yang menyebabkan ketegangan dan mengganggu stabilitas kehidupan sehari-hari.

Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stres adalah suatu situasi ketika individu mengalami tekanan internal maupun eksternal serta situasi bermasalah lainnya yang tidak sesuai kemampuan individu sehingga menimbulkan reaksi fisik, psikologis, dan reaksi sosial yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.


(31)

2.1.2 Penyebab Stres

Menurut Priyoto (2014), sumber stres atau suatu hal yang menyebabkan stres disebut sebagai stresor. Atkinson (2010) mengungkapkan bahwa banyak peristiwa yang dapat menyebabkan stres. Sebagian darinya adalah perubahan besar yang mempengaruhi banyak orang sekaligus atau peristiwa traumatik, misalnya perang, kecelakaan nuklir, gempa bumi, dan kecelakaan yang mengerikan (tabrakan mobil atau pesawat). Peristiwa lainnya adalah perubahan dalam kehidupan seseorang, seperti pindah ke tempat yang baru, pindah kerja, menikah, kehilangan teman, menderita penyakit serius. Percekcokan sehari-hari juga dirasakan sebagai stresor, misalnya perbedaan pendapat dengan orang lain. Stresor juga berasal dari individu yang merupakan proses internal, yaitu konflik antara tujuan atau tindakan yang tidak sejalan atau bertentangan. Konflik juga dapat timbul jika dua kebutuhan internal atau motif berlawanan di dalam masyarakat.

Sarafino (dalam Smet, 1994) membedakan penyebab atau sumber stres itu dapat berasal dari dalam diri individu, keluarga, komunitas, dan masyarakat. Stres dari individu akan muncul melalui penilaian dari kekuatan motivasional yang melawan, saat individu mengalami konflik. Penyebab stres dari keluarga biasanya muncul karena interaksi antara anggota keluarga. Di komunitas dan lingkungan (masyarakat), penyebab stres yang


(32)

muncul juga akibat interaksi individu dengan lingkungannya, misalnya dalam dunia pekerjaan, pendidikan, komunitas tertentu, atau keadaan lingkungan fisik seperti suhu, cuaca, kecelakaan, dan bencana alam.

Berdasarkan beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa stresor dapat berasal dari berbagai konflik dalam kehidupan individu baik secara internal maupun eksternal.

2.1.3 Gejala Stres

Secara umum, ada dua gejala stres yang sering muncul, yaitu gejala fisik dan psikologis (Priyoto, 2014). Gejala fisik yang muncul ketika stres adalah sakit kepala, mual, jantung berdebar-debar, keringat dingin, lelah, sukar tidur, merasa gerah, alergi, tekanan darah tinggi. Gejala psikologis yang muncul secara kognitif, yaitu cenderung memiliki ingatan yang lemah atau pelupa, sulit berkonsentrasi, merasa tidak berguna, dan tidak mampu mengatasi permasalahan. Individu juga cenderung mengalami ketidakstabilan emosional seperti mudah marah atau sedih, merasa cemas, dan frustasi. Perilaku yang cenderung muncul saat stres adalah peningkatan atau pengurangan perilaku tertentu.


(33)

2.2 Coping Stres

2.2.1 Definisi Coping Stres

Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, Vernoy, dan Vernoy, 2000) mendefinisikan coping stres sebagai usaha secara kognitif dan perilaku yang berubah secara konstan untuk mengelola tuntutan atau tekanan eksternal maupun internal yang dinilai melebihi kemampuan individu.

Siswanto (2007) menambahkan bahwa coping mengarah pada individu yang bereaksi atau menyesuaikan diri ketika menghadapi stres sebagai upaya untuk memecahkan masalah.

Berdasarkan kedua penjelasan sebelumnya, peneliti menyimpulkan bahwa coping stres adalah berbagai usaha untuk menyesuaikan diri atau mengurangi tekanan internal maupun eksternal yang mempengaruhi kehidupan individu dengan melakukan penilaian secara kognitif, bereaksi terhadap sumber tuntutan atau tekanan, dan bertindak untuk memecahkan masalah.

2.2.2 Jenis Coping Stres

Passer dan Smith (2007) membagi coping stres menjadi tiga jenis, yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking social support. Problem focused coping adalah strategi individu yang mencoba untuk menghadapi dan menangani tuntutan akan situasi atau usaha untuk


(34)

mengubah situasi bermasalah sehingga tidak menimbulkan stres. Emotional focused coping adalah usaha individu dengan mencoba untuk mengelola respon emosional dari situasi yang menyebabkan terjadinya stres. Sedangkan Seeking social support yaitu strategi atau usaha yang individu dengan cara beralih ke orang lain untuk mencari bantuan dan dukungan emosional pada saat stres. Bantuan dan dukungan dari orang lain bisa dapat berupa materi atau non materi.

Ada lima bentuk problem focused coping. Pertama, Planning yang merupakan usaha individu untuk menghadapi stresor atau menyelesaikan masalah dengan membuat perencanaan atau beberapa alternatif pemecahan masalah terlebih dahulu. Kedua, Active coping and problem solving yang merupakan tindakan nyata untuk menyelesaikan masalah. Kemudian

suppressing competing activities, yaitu usaha individu untuk melakukan pemusatan perhatian hanya pada suatu masalah yang dihadapi sehingga lebih efektif dalam menyelesaikan masalah. Keempat, exercising restraint

yang adalah pengelolaan stres dengan cara menunggu kesempatan sampai pada waktu yang tepat untuk bertindak dalam menyelesaikan masalah sehingga tidak tergesa-gesa. Bentuk terakhir problem focused coping adalah assertive confrontation, yaitu usaha tegas dari individu dalam menghadapi permasalahan secara langsung untuk menyelesaikannya.


(35)

Pada emotional focused coping, ada tujuh bentuk pengelolaan stres. Pertama adalah positive reinterpretation, yaitu individu menilai kembali permasalahannya secara lebih positif sebagai bagian dari pengembangan pengalaman hidupnya. Selanjutnya adalah acceptance, yaitu penerimaan dari individu karena menyadari bahwa dirinya tidak dapat mengubah situasi. Bentuk ketiga adalah denial yang merupakan penolakan atau penyangkalan pada permasalahan yang dihadapinya. Bentuk keempat adalah repression,

upaya individu menghalangi atau menekan impuls yang muncul untuk menghindari konflik atau permasalahannya sehingga tidak diekspresikan dalam bentuk tingkah laku. Adapula escape avoidance yang merupakan

coping individu dengan menghindar atau melarikan diri dari masalah. Berikutnya adalah wishful thingking, yaitu individu yang menganggap bahwa masih ada harapan untuk menghadapi kembali permasalahannya. Bentuk emotional focused coping yang ketujuh adalah controlling feelings. Controlling feelings adalah coping individu untuk mengatur atau mengontrol perasaan dengan memahami perasaannya sendiri dan mencoba memahami permasalahan yang ada. Carver, Scheier, dan Weintraub (1989) menambahkan dua bentuk emotional focused coping, yaitu turning to religion dan mental disengagement. Turning to religion adalah coping


(36)

keagamaan. Mental disengagement adalah coping alternatif untuk mengalihkan permasalahan dengan melakukan aktivitas lain.

Coping stres yang terakhir adalah seeking social support dalam empat bentuk berbeda. Help and guidance adalah individu yang mencari bantuan dan petunjuk dari orang lain yang menghadapi masalah serupa atau mungkin lebih berpengalaman. Berikutnya adalah emotional support, yaitu upaya individu mencari dukungan sosial sebagai kekuatan untuk bertahan dalam situasi yang bermasalah. Bentuk ketiga adalah affirmation of worth,

yaitu upaya individu mencari penegasan dari orang lain tentang manfaat positif yang bisa diambil dari permasalahannya. Bentuk keempat dari

seeking social support, yaitu tangiable aid yang merupakan usaha individu dengan mencari dukungan dari orang lain berupa materi seperti uang atau penghasilan.

2.2.3 Faktor Pendukung Coping Stres

Lazarus dan Folkman (dalam Huffman, et all., 2000) menyatakan bahwa ada enam faktor pendukung atau sumber coping. Pertama, health and energy dimana kesehatan individu secara signifikan berpengaruh terhadap kemampuannya untuk mengatasi masalah. Semakin kuat dan sehat maka semakin lama mereka bertahan tanpa memasuki tahap kelelahan. Faktor kedua adalah positive belief yang mana citra diri dan sikap positif membantu


(37)

individu merancang coping untuk lebih percaya diri atau percaya pada orang lain serta yakin akan pertolongan Tuhan. Selanjutnya adalah individu yang merasa memiliki internal locus of control lebih berhasil melakukan coping

dibanding mereka yang tidak memiliki kontrol dalam hidupnya.

Social skills yang efektif membantu individu tidak hanya berinteraksi tetapi juga mengkomunikasikan kebutuhan dan keinginan yang dimiliki, meminta bantuan ketika sedang membutuhkan, dan mengurangi permusuhan saat menghadapi situasi yang tegang. Social support sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi coping bisa mencegah efek stres akibat perceraian, kehilangan orang yang dicintai, penyakit kronis, kehamilan, kehilangan pekerjaan, dan kelebihan beban kerja. Saat berhadapan dengan stresor, teman dan keluarga memberi dukungan sehingga bisa mengimbangi perubahan hidup seseorang. Faktor pendukung lainnya adalah material resources dimana saat individu mengatasi stres maka uang dan barang lain yang bisa dibeli dengan uang dapat menjadi sumber daya yang nyata. Uang meningkatkan jumlah pilihan yang tersedia untuk menghilangkan stresor atau mengurangi efek stres.

2.3 Mahasiswa

Di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1991), mahasiswa didefinisikan sebagai orang yang terdaftar dan menjalani pendidikan pada perguruan tinggi.


(38)

Mahasiswa erat dengan segala sesuatu yang berhubungan dengan kegiatan mahasiswa, termasuk di dalamnya kegiatan yang dilakukan di dalam maupun di luar perguruan tinggi.

Havighurst (dalam Sumanto, 2014) menyatakan bahwa mahasiswa menginternalisasi nilai-nilai hidup masa remaja akhir hingga membawanya pada masa dewasa awal dan menjadikannya pemantapan pendirian hidup. Mahasiswa dikatakan sebagai individu yang sedang dalam tahap perkembangan dewasa awal pada usia 18-25 tahun. Masa ini ditandai dengan kegiatan yang bersifat eksperimen dan eksplorasi sehingga terjadi perubahan yang berkesinambungan.

Transisi dari sekolah hingga ke perguruan tinggi sering kali melibatkan karakteristik positif maupun negatif pada mahasiswa (Santrock, 2011). Di perguruan tinggi, para mahasiswa cenderung merasa dirinya telah dewasa, mampu meluangkan waktu lebih banyak dengan teman sebaya, memiliki lebih banyak peluang untuk mengeskplorasi berbagai gaya hidup dan nilai-nilai berbeda, lebih terbebas dari pengawasan orangtua, serta tertantang secara intelektual oleh tugas-tugas akademis. Meski demikian, studi yang dilakukan Asosiasi Kesehatan Universitas Amerika pada tahun 2008 menunjukan bahwa lebih dari 90.000 mahasiswa di 177 perguruan tinggi mengungkapkan bahwa mereka tidak memiliki harapan, merasa kewalahan dengan aktivitas akademik dan non akademik, mengalami kelelahan mental, sedih, bahkan merasa depresi.


(39)

Brouwer (dalam Siswanto, 2007) mencatat beberapa masalah yang berkaitan dengan status sebagai mahasiswa. Permasalahan-permasalahan ini menimbulkan tekanan bagi mahasiswa yang bersangkutan, yaitu perbedaan cara belajar, perpindahan tempat, mencari teman baru atau hal lain yang berkaitan dengan pergaulan, perubahan relasi, pengaturan waktu, dan nilai-nilai hidup.

Perbedaan cara belajar di perguruan tinggi menuntut mahasiswa untuk lebih aktif dalam mempelajari dan memahami materi. Memasuki perguruan tinggi,

perpindahan tempat membutuhkan energi yang besar untuk melakukan penyesuaian karena sebagian besar mahasiswa dituntut untuk mandiri akibat perpisahannya dengan orangtua. Mahasiswa memiliki kualititas hubungan yang cenderung menurun dengan teman lamanya sehingga mencari teman baru yang cocok dari berbagai latar belakang budaya di perguruan tinggi akan dilakukan pada masa ini. Kegagalan mendapatkan teman bisa menimbulkan perasaan kesepian. Permasalahan lain yang muncul dalam pertemanan dan pergaulan adalah masalah seksualitas. Secara biologis, mahasiswa telah mencapai kematangan seksual namun norma sosial masih menghalangi aktualitas perilaku seksual secara penuh. Ketika mahasiswa menjalin relasi dengan lawan jenis, ia dituntut untuk membuat keputusan atau pilihan sendiri dan dalam hal ini seksualitas muncul menjadi masalah yang serius.

Mahasiswa mengalami perubahan relasi dari yang sifatnya personal menjadi fungsional. Relasi orangtua-anak diganti dengan relasi dosen-mahasiswa.


(40)

Begitu pula relasi teman sepermainan diganti dengan relasi antar-mahasiswa. Perubahan relasi ini dapat menjadi kesulitan tersendiri bagi mahasiswa. Mahasiswa juga memiliki kebebasan dalam mengatur waktu karena tidak ada orang lain yang mengontrol. Ketidakmampuan mengatur waktu antara kegiatan kuliah, belajar, bermain, atau mengurus rumah tangga (bagi mahasiswa yang sudah menikah), dan aktivitas lainnya dapat mengakibatkan masalah lain yang berkaitan dengan tugas belajar. Di samping itu, informasi yang diterima di perguruan tinggi biasanya lebih terbuka dan kemungkinan mahasiswa mengalami krisis nilai hidup. Nilai-nilai lama yang dibawa dan dihidupi dihadapkan dengan nilai baru yang ditemui yang dirasakan mahasiswa justru lebih sesuai. Tidak jarang selama masa krisis ini, mahasiswa yang bersangkutan menjadi tidak menentu dan membawa setidaknya dampak negatif bagi kelangsungan hidupnya.

Menurut Siswanto (2007), apabila mahasiswa yang bersangkutan berhasil menangani tekanan atau masalah dengan sukses, maka dia akan dapat menjalani kehidupan dan peranannya sebagai mahasiswa dengan lancar. Sebaliknya, bila mahasiswa tersebut gagal dalam melakukan penanganan atas permasalahan yang dihadapinya, maka peranannya sebagai mahasiswa akan mengalami gangguan atau hambatan.


(41)

2.4 Seks Pranikah

Schulz, Bohrnstedt, Borgatta, & Evans (1977) menyebutkan bahwa seks pranikah atau premarital sexual intercourse adalah salah satu bentuk aktivitas seksual (senggama atau coitus) pada laki-laki dan perempuan yang telah matang secara biologis dan berlangsung tanpa ikatan perkawinan.

Pandangan mengenai aktivitas seksual terbagi dalam tiga kategori utama (Papalia, 2011). Pertama, sikap tradisional atau sikap reproduktif tentang seks bahwa seks hanya diperbolehkan untuk tujuan reproduksi dalam perkawinan. Kedua, pandangan rekreasional tentang seks bahwa selama menyenangkan dan tidak menyakiti orang lain maka sah-sah saja. Ketiga, hampir sebagian menganut pandangan relasional bahwa seks harus disertai dengan cinta dan kasih sayang, tapi tidak harus dengan pernikahan.

Ada empat alasan yang dikemukakan oleh Christopher dan Cate (dalam Sprecher & McKinney, 1993) yang mendasari seseorang berhubungan seksual untuk pertama kalinya. Alasan pertama adalah positive affection atau

communication, yaituhubungan seks (sexual intercourse) sebagai ungkapan cinta pada pasangan meski ada kemungkinan terjadinya perkawinan. Alasan kedua yang mendasari hubungan seks, yaitu arousal atau receptivity (gairah atau keterbukaan) karena adanya rangsangan atau gairah fisik yang diterima segera sebelum terjadinya hubungan seksual. Sedangkan alasan ketiga adalah obligation


(42)

untuk melakukan hubungan seks dengan pasangan atau sebaliknya bahwa ada tekanan yang muncul dari pasangan untuk melakukan hubungan seksual. Selain itu, tekanan akan pengalaman teman yang terlibat dalam sexual intercourse juga turut mendukung alasan seseorang melakukan hubungan seksual. Alasan keempat adalah circumstantial yang merupakan faktor situasional dimana ada peningkatan situasi yang mendukung terjadinya hubungan seksual.

Berkaitan dengan penelitian ini, dorongan yang muncul untuk penyaluran kebutuhan seksual sering kali menyimpang dan mempengaruhi peningkatan seks pranikah terutama di masa perkuliahan (Papalia, 2011). Di Indonesia sendiri, seks pranikah dianggap menyimpang karena hubungan seksual (senggama) menjadi hal yang sakral (seiring dengan masuknya agama Kristen) yang bukan hanya hubungan biologis semata tetapi menjadi fungsi untuk menjaga keharmonisan berumah tangga (Endraswara, dalam Handayani, 2010). Apabila seseorang terlibat seks pranikah maka ia telah melanggar nilai dan norma yang dihidupi dalam budaya Timur bahwa aktivitas seksual (senggama) harus dilakukan secara sah, baik dalam hukum agama maupun negara. Herbert Miles (dalam Djiwandono, 2008) menambahkan bahwa seks pranikah ditolak oleh orangtua, agama, dan masyarakat karena beresiko mengalami infeksi menular seksual, tekanan dari hati nurani dan perasaan bersalah, serta kehamilan diluar pernikahan.

Santrock (2011) menyatakan bahwa mahasiswa yang mengalami transisi pada kehidupan berumah tangga setelah seks pranikah membawa berbagai


(43)

perubahan, diantaranya relasi dengan pasangan, rencana hidup, hak dan tanggung jawab masing-masing pasangan terkait peran sebagai suami maupun istri.

Setelah menikah, pasangan suami istri akan menyesuaikan sistem pernikahan untuk memberi ruang bagi anak dan merawat anaknya (Santrock, 2002). Mereka bertanggung jawab pada keuangan dan tugas rumah tangga meskipun pengalaman dan implikasi dari pernikahan mungkin berbeda bagi suami dan istri. Status sebagai istri disetujui untuk bertanggung jawab atas pekerjaan rumah tangga dan suami seharusnya membantu. Istri merasakan pekerjaan rumah tangga baik secara positif maupun negatif. Pekerjaan rumah tangga yang dilakukan sebagian besar oleh istri adalah yang tidak pernah berakhir, berulang, dan rutin, biasanya mencakup membersihkan, memasak, mengawasi anak, berbelanja, mencuci pakaian, dan beres-beres. Hal ini menjelaskan bahwa beberapa pekerjaan sekaligus kurang membuat mereka santai, merasa tertekan dan tidak menyenangkan, meskipun istri juga menikmati merawat kebutuhan orang yang dikasihinya. Namun pekerjaan rumah tangga sering membuat istri khawatir, melelahkan, hina, berulang dan tidak pernah selesai, terisolasi, tidak dapat dihindari, serta tidak dihargai sehingga mereka memiliki perasaan yang campur aduk. Santrock juga menambahkan bahwa kesulitan ekonomi dapat memberikan tekanan emosional pada pasangan dalam pernikahan.


(44)

2.5 Coping Stres Pada Mahasiswa Yang Menikah Pasca Seks Pranikah

Setiono (2011) menjelaskan bahwa seks pranikah adalah bentuk penyaluran dorongan seksual yang menyimpang karena dapat mengakibatkan kehamilan yang memungkinkan seseorang melaksanakan pernikahan secara mendadak. Hal ini bertolak belakang dengan pernikahan ideal yang melalui persiapan matang menyangkut diri sendiri, pasangan, dan perencanaan masa depan bersama. Endraswara (dalam Handayani, 2010) juga menegaskan bahwa sejarah masuknya agama Kristen di Indonesia berpengaruh terhadap nilai dan norma yang berkembang mengenai aktivitas seksual yang hanya diperbolehkan jika seseorang telah menikah secara sah dalam hukum negara dan agama.

Mereka yang terlibat seks pranikah disebut Santrock (2002) sebagai kaum muda yang menjalani masa transisinya ke perguruan tinggi. Seks pranikah yang mengakibatkan kehamilan pada mahasiswa menyebabkan ia harus menikah dan menyesuaikan diri dengan peran sebagai ibu muda sekaligus mempertahankan relasi dengan suami sebagai seorang istri (Duvall, dalam Setiono, 2011).

Mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah rentan terhadap berbagai masalah. Sonata (2014) menyebutkan bahwa mereka mengalami ketegangan emosional di masa kehamilannya, seperti perasaan bersalah, malu, dan marah pada diri sendiri akibat seks pranikah, serta ketakutan akan masa depan pernikahan. Percobaan bunuh diri dan membunuh pasangan juga muncul dalam benak mereka. Tidak hanya itu, respon negatif dari pihak keluarga atau


(45)

lingkungan sosial seperti rasa kecewa, marah, dan penolakan juga kerap kali terjadi. Duvall (dalam Setiono, 2011) menambahkan bahwa tuntutan untuk memenuhi kebutuhan ekonomi juga semakin meningkat seiring berjalannya kehidupan berumah tangga sehingga apabila tidak mampu terpenuhi maka menimbulkan ketergantungan pada orangtua.

Secara akademik, tuntutan sebagai kaum intelektual membuat mahasiswa harus terlibat secara aktif dalam studi dan lingkungan akademisnya (Papalia, 2008). Hal ini menyebabkan mereka kesulitan untuk membagi peran gandanya sebagai mahasiswa, istri, dan ibu sehingga ada penurunan prestasi akademik karena terganggu dengan urusan rumah tangga (Sonata, 2014).

Keputusan untuk menikah bisa memunculkan berbagai permasalahan, tekanan, tuntutan, atau situasi lain yang tidak menyenangkan karena kurangnya persiapan sehingga berpotensi menimbulkan stres. Atkinson (2010) memperjelas bahwa perubahan yang mendadak termasuk di dalamnya perubahan akibat menikah dapat memicu stres. Dampak negatif yang muncul adalah sakit kepala, kelelahan, sulit tidur, ketidakstabilan emosi, dan ketidakampuan untuk berkonsentrasi serta menyelesaikan tugas (Priyoto, 2014). Oleh karena itu, mahasiswa yang menikah pasca seks pranikahperlu melakukan penanggulangan atau usaha dalam mengolah stresor sehingga mereka dapat bertahan atau mengurangi dampak negatif yang sekiranya berpengaruh pada kelangsungan hidupnya (Siswanto, 2007).


(46)

Usaha untuk menanggulangi stres disebut coping stres. Passer dan Smith (2007) mengemukakan tiga jenis coping stres, yaitu problem focused coping, emotional focused coping, dan seeking social support. Apabila coping stres tidak efektif maka kondisi stres tidak berubah atau kemungkinan meningkat sehingga berdampak pada stabilitas kehidupannya sehari-hari (Smet, 1994).

Berdasarkan penjelasan di atas maka peneliti memfokuskan penelitian ini pada coping stres yang digunakan oleh mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah karena rentan terhadap stres.


(47)

26

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Menurut Creswell (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah yang tujuannya menggali informasi secara lebih mendalam dengan setting alamiah pada individu atau kelompok terkait permasalahan dalam konteks sosial yang dialami. Pada penelitian ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif agar dapat menggali informasi yang lebih mendalam pada informan terkait permasalahan sosialnya, yaitu menggali berbagai informasi mengenai permasalahan yang muncul secara rinci pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah beserta coping stres yang digunakan oleh mereka. Melalui penelitian kualitatif, peneliti juga dapat menyajikan informasi yang murni dari sudut pandang informan dengan prosedur pengumpulan data yang alamiah (Creswell, dalam Herdiansyah, 2015).

Penelitian kualitatif ini menggunakan model penelitian studi kasus yang oleh Creswell (dalam Herdiansyah, 2015) menekankan pada eksplorasi dari suatu sistem yang saling terkait satu sama lain pada beberapa hal dalam satu kasus secara mendetail, disertai dengan penggalian data secara mendalam yang melibatkan beragam sumber informasi yang kaya akan konteks. Ciri khas studi kasus adalah adanya sistem yang saling terkait sehingga hubungan kausal


(48)

(sebab-akibat) antara aspek atau faktor yang membentuk suatu fenomena merupakan sesuatu yang penting untuk dijelaskan. Studi kasus juga memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri dari kasus atau masalah yang diangkat.

Penelitian ini sesuai dengan model studi kasus karena informan penelitian memiliki pengalaman yang unik, yaitu bertanggung jawab dalam menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi sekaligus membina rumah tangga pada saat yang sama pasca seks pranikah. Oleh karena itu, studi kasus sejalan untuk mendeskripsikan coping stres pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

3.2 Fokus Penelitian

Penelitian ini hendak memfokuskan pada penggalian informasi mengenai berbagai masalah yang kemungkinan memicu stres yang disertai dengan coping

pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah.

3.3 Informan Penelitian

Informan penelitian ini adalah tiga mahasiswa yang masih aktif kuliah dan menikah pasca seks pranikah. Rentang usia mereka adalah 18-25 tahun. Mengacu pada kriteria ini, tentunya mahasiswa yang menikah pasca seks pranikahmemiliki potensi stres karena belum menyelesaikan pendidikannya di perguruan tinggi namun pada saat yang sama harus mengemban tanggung jawab sebagai istri


(49)

sekaligus ibu. Pada pelaksanaannya, hanya dua informan yang bersedia untuk ikut serta dalam penelitian ini.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan metode wawancara. Stewart dan Cash (dalam Herdiansyah, 2015) menyatakan bahwa wawancara adalah suatu informasi yang di dalamnya terdapat pertukaran atau sharing aturan, tanggung jawab, perasaan, kepercayaan, motif dan informasi. Wawancara melibatkan komunikasi dua arah antara informan dan peneliti sehingga dapat mencapai tujuan melalui komunikasi tersebut.

Ada tiga bentuk wawancara dalam penelitian kualitatif (Herdiansyah, 2015), yaitu wawancara terstruktur, semi terstruktur, dan wawancara tidak terstruktur. Peneliti menggunakan bentuk wawancara semi-terstruktur karena sifatnya yang fleksibel bagi peneliti untuk menyesuaikan informasi yang berasal dari cerita informan. Terdapat lima tahapan yang dilakukan peneliti dalam melakukan pengambilan atau pengumpulan data. Pertama, peneliti mencari informan yang sesuai dengan kriteria informan penelitian. Kedua, meminta kesediaan informan untuk diwawancarai dan mengatur jadwal pertemuan. Ketiga, peneliti membuat kesepakatan untuk pengambilan data yang jaminan kerahasiannya dituangkan secara tertulis dalam informed consent lalu ditanda tangani kedua belah pihak. Keempat, peneliti membangun rapport dengan


(50)

informan sekaligus menyampaikan tujuan penelitian. Kelima, peneliti mulai melakukan pengambilan data dengan alat perekam dalam proses wawancara.

Pada proses pengumpulan data, peneliti memberikan pertanyaan terbuka namun ada batasan tema dan alur pembicaraan dari panduan wawancara sehingga dapat dijadikan sebagai patokan wawancara. Penduan wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah sub-pertanyaan yang berasal dari pertanyaan penelitian.

Tabel 1. Panduan Wawancara

Pertanyaan Penelitian Panduan Wawancara

Bagaimana suka duka pengalaman anda selama berumah tangga ?

• Bisakah anda menceritakan

aktivitas anda setiap hari ?

• Menurut anda, apa saja

pengalaman yang berkesan ?

• Bagaimana dengan duka atau permasalahan yang pernah terjadi ? Bagaimana usaha atau cara anda

untuk mengatasi permasalahan ?

• Bagaimana menyelesaikan setiap permasalahan yang menghampiri anda ?


(51)

3.5 Metode Analisis Data

Miles dan Huberman (dalam Herdiansyah, 2015) mengemukakan tahapan dalam melakukan analisis data kualitatif, antara lain :

1. Tahap pengumpulan data, yaitu mengumpulkan data berupa hasil wawancara yang sesuai dengan topik penelitian.

2. Tahap reduksi data yang merupakan proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk data menjadi satu bentuk tulisan (script). Rekaman hasil wawancara diubah menjadi bentuk verbatim wawancara kemudian dianalisis oleh peneliti.

3. Tahap display data, yaitu mengolah data setengah jadi yang seragam ke dalam bentuk tulisan dan memiliki alur tema yang jelas melalui tabel akumulasi data. Peneliti lalu membuat matriks kategorisasi sesuai kategori atau pengelompokan tema-tema. Tema yang ada dipecah dalam bentuk yang lebih konkret dan sederhana, yaitu subtema. Setelah itu, peneliti memberi kode

(coding) dari subtema yang sesuai dengan verbatim wawancara.

4. Kesimpulan atau verifikasi merupakan tahapan akhir dalam menganalisis data. Ada tiga cara yang perlu dilakukan dalam tahapan ini. Pertama, menguraikan subkategori tema dalam tabel kategorisasi dan pengodean disertai dengan quote verbatim wawancara. Kedua, memberi penjelasan hasil penelitian yang menjawab pertanyaan penelitian sebelumnya. Ketiga, membuat kesimpulan dari temuan atau hasil penelitian.


(52)

3.6 Kredibilitas Penelitian

Kredibilitas dalam penelitian kualitatif merupakan pengganti konsep validitas. Kredibilitas penelitian kualitatif terletak pada keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting, proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2005). Pada penelitian ini, peneliti menggunakan validitas komunikatif dan validitas argumentatif. Peneliti menggunakan validitas komunikatif agar dapat mengkonfirmasi data dan hasil analisis mengenai permasalahan serta coping stres yang digunakan oleh kedua informan penelitian. Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti dengan baik rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali data mentah. Pada validitas argumentatif, peneliti melakukan diskusi bersama dosen pembimbing terkait data dan hasil analisis dengan harapan bahwa temuan tidak mengandung unsur subjektifitas dari peneliti.

Moleong (2009) menyatakan bahwa kredibilitas suatu penelitian juga bisa dicapai dengan triangulasi. Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data untuk mengecek atau membandingkan data yang ada dengan sumber lain. Pada penelitian ini, triangulasi hendak dicapai dengan menggali informasi perihal kesesuaian data dari kerabat informan, yang dalam hal ini adalah suami informan.


(53)

32

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian berlangsung selama tiga bulan, yaitu pada bulan Juli sampai dengan Oktober 2016. Penelitian ini menggunakan wawancara semi terstruktur untuk memperoleh data dari informan. Peneliti membuat panduan wawancara yang sesuai dengan tujuan penelitian ini, yaitu mendeskripsikan

coping stres yang digunakan pada mahasiswa yang menikah pasca seks pranikah. Informan yang diwawancarai adalah mahasiswa yang aktif kuliah dan menikah setelah seks pranikah.

Peneliti mengalami kesulitan untuk mencari informan yang sesuai kriteria karena beberapa orang yang dihubungi menolak untuk berbagi pengalamannya. Awalnya peneliti memilih tiga orang sebagai informan dalam penelitian ini. Peneliti sebelumnya sudah kenal dengan dua diantara mereka. Peneliti kemudian mencari informan ketiga dengan bertanya pada beberapa teman, namun dua orang yang dihubungi tidak merespon. Pada akhirnya, hanya dua informan yang berkenan untuk terlibat pada penelitian ini.

Peneliti menghubungi kedua informan lalu meminta kesediaan mereka. Peneliti kemudian membuat janji untuk bertemu. Pada pertemuan pertama, peneliti membangun rapport dengan memperbincangkan hal-hal ringan diantara


(54)

informan dan peneliti. Peneliti juga berbagi pengalaman pada informan mengenai alasan peneliti untuk mengangkat kasus seks pranikahmenjadi suatu topik penelitian. Setelah itu, peneliti menyampaikan tujuan dan manfaat dari penelitian ini. Peneliti memberi kesempatan pada informan untuk membaca informed consent lalu kembali menjelaskannya secara lisan dengan singkat dan lebih jelas terutama saat informan menanyakan beberapa hal yang belum jelas. Peneliti meminta persetujuan untuk menggunakan alat perekam selama wawancara berlangsung lalu mulai melaksanakan wawancara.

Peneliti melaksanakan wawancara dengan bertemu secara langsung pada kedua informan. Akan tetapi, informan pertama sedang ada kesibukan sehingga wawancara ketiga dilakukan via telepon. Berikut ini adalah jadwal pelaksanaan wawancara kedua informan.


(55)

Tabel 2. Jadwal Pelaksanaan Wawancara

Waktu Kegiatan Tempat

Rabu, 20 Juli 2016 Wawancara pertama NP

Kos adik NP

Kamis, 28 Juli 2016 Wawancara kedua NP

Kos adik NP

Senin, 19 September 2016

Wawancara ketiga NP

(via telepon)

-

Minggu, 14 Agustus 2016

Wawancara pertama AN

Kos AN

Selasa, 20 September 2016

Wawancara kedua AN

Kos AN

Kamis, 20 Oktober 2016

Wawancara ketiga AN

Kos AN

4.2

Profil Informan

4.2.1

Informan Pertama

Informan pertama adalah NP yang berusia 22 tahun dan saat ini sedang menempuh pendidikannya di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. NP memandang dirinya sebagai orang yang moody dan pencemburu. NP menganut agama Katolik dan memiliki latar belakang suku Jawa. NP merupakan anak pertama dari dua bersaudara. NP pernah


(56)

tinggal bersama adik dan kedua orangtuanya di Papua lalu pindah ke Klaten, Jawa Tengah saat kelas tiga SMP.

NP mengatakan bahwa ia berpacaran dengan suami secara tidak sengaja. NP merasa dirinya terlalu bebas dan kurang bisa menjaga iman karena tergoda dengan gaya pacaran jaman sekarang. Jika keduanya sering bertemu, mereka bisa melakukan hubungan seksual maksimal tiga kali dalam satu bulan di kos suami. Kos suaminya terlihat bebas dan NP pernah melihat salah satu diantara penghuni kos tinggal bersama pasangannya. Pemilik kos tersebut mengetahui kebiasaan mereka yang tinggal di sana tetapi pemilik kos bersikap cuek.

NP menikmati hubungan seksualnya, merasa senang dan tidak ada rasa bersalah. Sadar akan aktivitas seksualnya, NP pernah mencari informasi untuk mencegah kehamilannya agar tidak ada pihak yang dirugikan. NP mulai curiga ketika dirinya terlambat datang bulan. NP mendatangi dokter dan melakukan pemeriksaan dengan testpack lalu terbukti hasilnya positif hamil. NP bercerita bahwa ia kaget, menyesal, sedih, dan merasa dirinya bodoh pada saat itu. NP juga mengatakan bahwa ia berusaha menggugurkan kandungannya namun tetap gagal.

NP dan suaminya merasa takut akibat kehamilan NP sehingga mereka memberitahu orangtua NP melalui sepucuk surat. Menurut ceritanya, NP merasa takut dikucilkan karena ia dan keluarganya aktif di


(57)

lingkungan gereja maupun lingkungan rumah. Orangtua NP merasa kecewa, kaget, dan frustasi setelah mengetahui kehamilannya. Namun, orangtua NP akhirnya menelpon ayah mertua NP untuk bertemu dan mengurus pernikahan mereka.

NP mengungkapkan bahwa pernikahannya di awal tahun 2014 merupakan pernikahan yang tidak direncanakan. NP dan suaminya menikah secara Katolik atas keputusan khusus dari Romo Paroki karena kasus hamil di luar nikah. NP juga menilai bahwa dalam budayanya, kasus pernikahan NP masih dinilai negatif. Setelah menikah, NP bersama anak dan suaminya masih tinggal di rumah orangtua NP. Kebutuhan untuk makan sehari-hari masih ditanggung oleh orangtua NP. Begitu pula biaya susu dan asuransi kesehatan (sebelum suami bekerja) yang dibantu oleh ayah mertua NP.

Membangun sebuah pernikahan membuat NP mengalami beberapa pengalaman yang kurang menyenangkan. NP mengalami perselisihan dengan ibu mertuanya dan dipaksa oleh orangtua untuk bertanggung jawab atas segala pekerjaan rumah. Ketakutan akan urusan akademik dan rumah tangga yang terbengkalai serta konflik dengan suami juga terjadi selama berumah tangga.


(58)

4.2.2

Informan Kedua

Informan kedua adalah AN yang berusia 20 tahun. Menurut AN, ia adalah sosok yang mandiri, tertata, dan tegas. AN juga menilai dirinya sebagai perempuan yang tomboi namun bisa merangkul teman-temannya. AN kuliah di salah satu universitas swasta di Yogyakarta. AN merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan sejak usia 1,5 tahun tinggal bersama eyangnya di Malang karena orangtua AN tidak bisa fokus merawat AN pasca melahirkan sang adik. AN menganut agama Katolik dan memiliki latar belakang suku Jawa. Keluarga AN masih termasuk keturunan ningrat dan memiliki pola asuh yang keras secara turun-temurun. Mereka juga berasal dari keluarga dengan golongan ekonomi menengah ke atas.

AN menjalin hubungan dengan sang suami saat ia masih berpacaran dengan mantan kekasihnya (DN). Setelah putus, AN berpacaran dengan sang suami lalu akhirnya menikah. DN beberapa kali mencoba untuk menghubungi AN sehingga menimbulkan konflik diantara mereka. Satu bulan menikah, AN sulit untuk bangun dari tempat tidur sehingga harus diperiksakan ke dokter. AN merasa kaget saat mengetahui hasil USG bahwa usia kehamilannya mencapai lima bulan dan tidak sejalan dengan usia pernikahannya.

AN menyadari bahwa di masa lalunya ia kerap kali melakukan hubungan seksual dengan DN. AN mau berhubungan seksual dengan DN


(59)

setelah mereka berpacaran lebih dari empat tahun. AN mengatakan bahwa ia mempercayai DN dan merasa lebih nyaman dengan DN dibanding orangtuanya sendiri. AN juga mengatakan bahwa DN membutuhkan sosok seperti dirinya yang dapat berperan sebagai pacar, teman, sekaligus ibu. AN mengungkapkan pula bahwa sikap DN sama seperti ayah AN.

AN dan DN selalu melakukan hubungan seksual di rumah DN karena situasinya yang mendukung. Meski begitu, AN bercerita bahwa ia dan DN tidak langsung melakukan hubungan seksual dengan leluasa. Awalnya mereka hanya melakukan hubungan seksual sekali dalam satu atau dua bulan. Kemudian meningkat menjadi sekali dalam satu atau dua minggu hingga hampir tiap hari melakukan hubungan seksual. AN mengatakan bahwa ia hanya meneteskan air mata dan merasa takut saat pertama kali berhubungan intim.

AN mengakui perbuatannya pada sang suami dan menyatakan bahwa DN adalah ayah biologis dari anak yang dikandungnya. AN menilai suaminya sangat baik dan berjiwa besar karena sang suami mau menerima keadaan AN. Mereka juga sepakat untuk merahasiakan status anaknya dari siapapun.

AN mengungkapkan bahwa dirinya merasa sangat bahagia sekaligus kehilangan selama menjalani pernikahannya. Penuturan AN menunjukan bahwa ia tidak merasa kaget karena terbiasa melakukan


(60)

pekerjaan rumah tangga. AN lebih dimanjakan oleh suaminya karena AN sedang hamil. Kehamilan AN menyebabkannya harus mengambil cuti di awal masa kuliah dan menghambat beberapa kegiatan akademik. AN juga merasa sedih ketika ia tinggal di rumah mertua yang artinya ia harus berpisah dengan eyangnya. AN mengalami perubahan yang mendadak saat harus berpisah dengan sang suami yang melanjutkan pendidikan pasca sarjana di luar negeri. AN juga merasa sedih dan kehilangan saat menghadapi kenyataan ketika mengetahui suaminya meninggal akibat kecelakaan mobil saat pulang ke Indonesia.

4.3

Hasil Penelitian

4.3.1

Informan Pertama

Secara umum, ada dua jenis permasalahan yang muncul, yaitu permasalahan internal dan eksternal. Permasalahan internal pada NP menghasilkan tiga tema, yaitu konflik internal atau konflik dengan diri sendiri, tuntutan ibu rumah tangga, dan hambatan atau tekanan fisik. Permasalahan eksternal yang dialami oleh NP memunculkan enam tema besar diantaranya permasalahan sosial, permasalahan dengan figur otorita, hambatan lingkungan medis, tuntutan akademik, permasalahan dalam kehidupan rumah tangga yang terkait dengan anak dan suami, serta


(61)

permasalahan ekonomi. Berikut ini adalah gambaran permasalahan NP yang disertai dengan upaya dalam menyelesaikan permasalahannya.

a. Permasalahan Internal dan Upaya untuk Menyelesaikannya 1) Konflik Internal atau Konflik dengan Diri Sendiri

Konflik internal berikutnya yang dialami NP, yaitu krisis kepercayaan diri dan krisis kepercayaan akan Tuhan. NP merasa memiliki cobaan yang sangat berat. NP marah dan menyalahkan Tuhan. NP merasa takut jika teman-temannya tidak menerimanya. NP juga memikirkan pendidikannya sekaligus rumah tangganya kelak.

“Terus apa ya kayak istilahnya krisis kepercayaan diri semacam itu. Krisis kepercayaan diri dan kepercayaan akan Tuhan. Sempat beberapa bulan tu kayak sempat apa sih, kenapa bisa seperti ini, apa aku bisa menjalani ini, kok berat banget, istilahnya cobaan. Cobaannya berat banget, apa bisa sampai membesarkan anak dengan baik, terus kuliah dengan, gitu-gitu. Mikir-mikir kayak gitu sih… Mungkin karena udah punya anak kali ya (penyebab krisis kepercayaan diri). Jadi aku mikirnya ntar ke mana ke mana ada batasan, istilahnya kayak batasan waktunya kan harus urus anak dulu. Untuk beberapa saat jarang kumpul sama teman, mungkin sa tuh takut kalo sa pu teman masih tidak welcome gitu lho setelah aku punya anak, takut diomongin apa gimana, tapi ternyata gak sih, biasa aja… Tuhan kok jahat banget sih, Tuhan kok gak kasih bantuan, makanya sempat apa ya kalo di doa tuh sempat marah-marah sendiri itu lho, marah-marah sama Tuhan, istilahnya orang Jawa tu suka ngedumel, kayak ya gitu lah marah-marah sendiri gitu sama Tuhan. Kayak salahkan Tuhanlah, sempat berpikiran kalo ngapain sih aku harus novena, kalo misalkan permohonanku gak dikabulin, ngapain harus novena, aku pernah mikir kayak gitu. Makanya disitu aku mikir kok bisa ya aku krisis, krisis apa ya krisis iman gitu,


(62)

kayak gitu (NP, W2, 28-07-2016, 184-191, 196-198, 202-205, 225-233)”.

NP bertanya dan mencurahkan isi hatinya pada orang lain untuk mengatasi permasalahannya. NP juga diberi motivasi untuk tetap melakukan aktivitasnya.

“Em usaha, saya sering curhat sama orangtua, terus juga sama Romo, kebetulan kan juga dekat sama Romo kan. Terus ditanya-ditanya kayak gini ni gimana ya Romo, terus dinasehatin, kayak gitu sih. Terus ada beberapa orang yang dekat, yang lebih tua dari aku jadi dinasehatin, ini harus kayak gini, kamu harus tetap semangat, kamu harus bisa survive di perkuliahanmu, dan kamu juga harus bisa jadi ibu, kayak gitu… makanya orangtuaku menggalak lagi, memaksakan lagi ayo ikut kegiatan lingkungan lagi, ikut koor-koor lagi, gak usah kamu mikir kamu udah punya anak, gak apa-apa, mereka mau kok, kan anakmu nanti jadi Romo (NP, W2, 28-07-2016, 208-214, 237-240)”.

2) Tuntutan Ibu Rumah Tangga

NP mengungkapkan kesulitannya ketika dirinya usai menyelesaikan tugas hingga larut malam dan harus bangun untuk menyiapkan susu anaknya. Suaminya yang lelah sepulang kerja tidak membantu NP.

“Mungkin awal-awalnya kayak misalnya harus bangun tengah malam, tiba-tiba sedikit-sedikit bangun Tata minta susu. Jadi harus bikin susu. Ee mungkin agak berat karna kan biasanya dulu kan kerja tugas kan kerja tugas sampe malam. Baru mau tidur lima menit sudah bangun lagi dia minta susu, jadi bikin susu kayak gitu soalnya kadang-kadang tuh kalo DM (suami NP) kecapean dia tuh dibangunkan dia tidak mau to… Ya apa ya, cape tapi ya mau gimana lagi (NP, W1, 20-07-2016, 1029-1035, 1047)”.


(63)

Pada saat menghadapi situasi seperti kutipan wawancara di atas, NP tetap menjalani tanggung jawabnya dan belajar untuk mandiri.

“ya harus dijalani sih. Namanya juga udah punya keluarga kan. Jadi ee belajar mandiri lebih dini. Ya kayak gitu (NP, W1, 20-07-2016, 1047-1049)”.

3) Hambatan atau Tekanan Fisik

Tekanan fisik yang dialami NP, yaitu ketika NP hamil dan menyadari dirinya seperti sedang menstruasi. NP mengungkapkan bahwa ia merasa takut. Berikut ini kutipan wawancara dari NP.

“Waktu itu kan udah berapa bulan ya habis itu aku kan di kos ini kan, kan lagi kerja tugas kan. Tiba-tiba tuh kan sa ada tidur (saya sedang tidur). Sa kan baru kerjakan tugas kerja paper itu tiba-tiba kok sa kayak menstruasi gitu kan sa takut…(NP, W1, 20-07-2016, 319-321)”.

Pada saat NP merasa takut akibat kejadian seperti kutipan di atas, NP langsung menelpon orangtuanya dan dijemput bersama sang suami untuk pulang ke Klaten.

“Sa takut sa telpon sa pu orangtua (saya takut lalu menelpon orangtua saya) DM kan lagi kerja tugas akhir to. Sa telpon orangtua, orangtuaku panik langsung dijemput, DM juga dijemput trus akhirnya kita bermalam di rumah sana di Klaten. (NP, W1, 20-07-2016, 321-325)”.

NP juga mengalami kram perut terus menerus ketika mengerjakan tugas. Pada saat yang sama NP mengatakan bahwa dirinya melihat tiga laki-laki bertubuh hitam. Tiga laki-laki tersebut berdiri seolah-olah sedang menungguinya sehingga NP merasa takut.


(64)

“Latihan koor di rumah, sa tuh di dalam kamar. Sa tuh kayak sa lagi kerja tugas sa tuh kayak rasa kram-kram gitu lho kram perut biasa (saya di dalam kamar, merasa kram perut seperti biasa). Tapi tuh sa lihat misalnya sini tuh ee lemari lemari baju, sini tuh tempat tidur (NP membayangkan posisi kamarnya sambil menunjuk arah). Sa rasa tuh sa pas kram-kram itu orang ada, 3 cowo (ketika merasa kram-kram perut, saya seperti merasa ada 3 orang cowo). Cowo gitu hitam-hitam gitu tapi ga kelihatan mukanya itu berdiri, berdiri kayak nungguin saya gitu kan. Sa sudah mulai takut… tapi pas malam itu sa sakit perut terus kan kram trus kayak pengen buang air besar. Tapi kan ga bisa buang air besar (NP, W1, 20-07-2016, 330-341, 347-348)”.

NP yang mengalami kram perut dan ketakutan dengan peristiwa tersebut akhirnya meminta bantuan pada orangtuanya.

“…ruang tamu cuma di depan situ saja langsung telpon mamaku di luar (saya mulai takut, meski ruang tamu dekat saya menelpon mama saya). ‘halo mama kenapa ada orang tiga di sini di dalam kamar ? kakak sakit perut’ trus mamaku datang (NP, W1, 20-07-2016, 341-342)”.

b. Permasalahan Eksternal dan Upaya untuk Menyelesaikannya 1) Permasalahan Sosial

Masalah pertama NP adalah permasalahan komunikasi dengan perusahaan karena tidak ada peraturan yang jelas mengenai jadwal mengajar antara kedua belah pihak. NP merasa marah dengan hal tersebut. NP juga merasa dikecewakan karena gajinya tidak sebanding dengan pengorbanan waktu dan biaya.

“Aktivitas e mungkin komunikasi sama perusahaan. Ya mungkin karena kami tidak membuat MOU, jadi kan tidak ada batasan selesai kapan to jadi suka-suka mereka saja bikin jadwal. Misalnya, 3 hari lalu mereka bilang hari ini ada


(65)

kegiatan, ada les, tapi mereka bisa seenaknya tiba-tiba hari ini juga bilang tidak ada les. Begitu, itu yang tidak enaknya. E.. itu rasanya kayak di-PHP-in pacar ya (NP dan peneliti tertawa bersama) dan sudah berkali-kali sampe emosi sendiri.(NP, W1, 20-07-2016, 55-62, 65-66)… kalau gajinya kecil itu kayak tidak sebanding dengan pengorbanan waktu, kayak pengorbanan bensin kita… Jadi yah sedikit mengecewakan (NP, W2, 28-07-2016, 37-38, 44-45)”.

Ketika NP mengalami situasi bermasalah seperti yang dipaparkan di atas, ia dapat mengambil pengalaman positif dan menganggapnya sebagai bentuk latihan untuk kerja di perusahaan.

“Jadi yah kita jadi latihan kerja. Kita bisa berterima kasih kita bisa dapatkan pengalaman gimana rasanya kalau bekerja di perusahaan… Iya lebih ke pengalaman positif (NP, W2, 28-07-2016, 55-57, 58”

NP sering ijin dan susah ditemui oleh teman-temannya untuk mengerjakan tugas kelompok sehingga mereka kesal padanya. NP mengungkapkan bahwa ia merasa kecewa karena teman-temannya belum bisa memaklumi keadaan NP.

“Mungkin dampaknya itu teman-teman pada kesel sama aku karena susah ketemu kan, terus kayak kerja kelompok, kayak gitu karena aku ijin gitu lah. Kecewa karena mereka belum bisa memaklumi (NP, W2, 28-07-2016, 278-280)”.

Pada saat NP berkonflik dengan teman-temannya, NP mencoba memberi pengertian dan mengerjakan tugasnya dengan baik.

“Sa cuman mencoba kasih pengertian ke mereka dan apa ya berusaha ngerjain bagian tugasku dengan baik karena tidak bisa kerja kelompok, jadi dibagi-bagi kan tugasnya. Sa kerjakan tugas dengan baik terus sa kirim email, begitu (NP, W2, 28-07-2016, 283-286).


(66)

Tekanan sosial lain yang dialami NP, yaitu adanya perlakuan tidak menyenangkan oleh lingkungannya saat NP hamil dan melahirkan. NP merasa sedih dan dikucilkan. NP juga merasa disindir ketika orang lain membicarakan kasus yang sama walau tidak mengatasnamakannya.

“…dari cara mereka apa yaa mungkin kayak aku nyapa, mereka senyum. Tapi dulu yang waktu aku hamil dan melahirkan itu lho, mereka kayak buang muka gitu. Kayak gitu, terus kalo aku lewat mereka biasanya nyapa, mereka tanya lagi ngapain, dari mana. Mereka tu dulu pas awal-awal tu gak kayak gitu, mereka tu cuek aja, pura pura gak liat. Sedih sih, merasa dikucilkan itu tadi. Kok sama lingkungan juga kayak gitu, kayak dikucilkan gitu (NP, W2, 28-07-2016, 556-565). Secara langsung sih belum pernah tetapi mereka tuh ee.. pernah mendengar mereka bercerita tentang kasus seperti saya tetapi mereka tidak apa ya tapi mereka tidak secara langsung membicarakan bahwa itu kasus saya tapi bukan kasus NP, aku.. tapi orang lain tapi kan istilahnya kayak apa ya tersindir gitu lho (NP, W3, 19-09-2016, 91-95)”.

Meskipun NP mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari lingkungan sosial, NP berusaha untuk menyapa dan bergaul dengan tetangganya. NP juga berpikir positif dan tetap aktif dalam kegiatan lingkungan.

“Sering nyapa aja, walaupun mereka sok cuek, gak tau, gak ngeliat, tetap aja disapa. Tetap ikut kegiatan kegiatan di lingkungan, kayak gitu walaupun malu tapi kata orangtuaku ya udah ikut aja, membaur gitu, mereka juga udah tau kamu, ngapain malu. Aku nyoba kayak gitu sih (NP, W2, 28-07-2016, 579-583). Ee mungkin sa pikir positif saja e.. tetap senyumin orang-orang saja, tetap ikut bergaul dengan mereka, apa ya..


(67)

seolah-olah tidak terjadi sesuatu yang salah (NP, W3, 19-09-2016, 104-106)”.

2) Permasalahan dengan Figur Otorita

NP dituntut oleh orangtuanya untuk cepat mandiri. NP menyatakan bahwa ia dipaksa ibunya untuk bertanggung jawab menyelesaikan segala pekerjaan rumah tangga, layaknya memiliki rumah sendiri.

“Setelah menikah.. e mungkin karena orangtuaku lebih kayak ee apa ya memaksa. Memaksa aku untuk lebih.. lebih cepat dewasa, lebih cepat mandiri lah istilahnya. Lagian kan DM kan udah kerja, aku juga udah semester akhir. Harapan orangtuaku tuh aku bisa punya rumah sendiri maksudnya tinggal sendiri, lepas dari orangtua gitu lho harapannya seperti itu. Jadi ya orangtua memaksa entah ya menyuruh aku untuk sering masak sendiri untuk semua keluarga, beres-beres, pokoknya bertanggung jawab atas semuanya. Layaknya punya rumah sendiri seperti itu karena kan sudah punya keluarga sendiri. Pertamanya kesal karena berasa kayak pembantu. (NP, W1, 20-07-2016, 733-743)”.

Tuntutan dari orangtua tidak membuat NP diam, ia justru bertindak mencari dukungan dari suaminya.

“ee.. (NP terdiam sejenak). Aku cerita sama DM dulu, aa ya seperti dulu sih aku cerita sama DM dan apa ya harus gimana-gimana. (NP, W1, 20-07-2016, 749-751)”.

Teman-teman satu angkatan NP sudah banyak yang lulus dan orangtua NP mengharapkannya untuk cepat lulus agar bisa mandiri.

“Tertekan.. em mungkin sekarang. Soalnya kan karena anak-anak jurusanku kan udah banyak yang lulus jadi ee.. orangtuaku sangat berhadap untuk aku lulus. Ikutan lulus juga untuk bisa lebih cepat mandiri (NP, W1, 20-07-2016, 1050-1053)”.


(68)

Ketika dihadapkan dengan situasi yang menekan dirinya, NP memberi pengertian pada orangtuanya dan berusaha untuk cepat lulus dengan menyicil skripsi dan berkonsultasi.

“Kasih pengertian ke orangtua terus tetap usaha untuk cepat lulus kayak nyicil skripsinya, konsultasi, kayak gitu sih, meyakinkan orangtua aja sih (NP, W2, 28-07-2016, 754-756)”.

NP juga memiliki permasalahan dengan ibu mertuanya. Hal ini ditunjukan dari hasil wawancara pada saat NP bercerita bahwa di awal pernikahannya NP dan ibu mertuanya tidak bertegur sapa dan saling cuek. NP merasa sedih sekaligus jengkel.

“Hehe.. judes banget beneran. Heem beneran judes galak banget mukanya. Awal-awalnya tuh apa ya bulan pertama, kedua apa ya istilahnya diem-dieman gitu, cuek-cuekan tapi setelah itu udah biasa (NP, W1, 20-07-2016, 565-567, 575)”.

Ketika mengalami permasalahan seperti di atas, NP menceritakan perasaannya kepada sang suami. NP juga memikirkan cara agar bisa menjalin hubungan yang akrab dengan ibu mertuanya.

“...tapi rasa sedih sama jengkelnya itu aku sering cerita sama DM... Ee aku mikirnya gimana caranya aku bisa deket sama mamanya. Ya apa ya berusaha lebih akrab misalnya disuruh apa ikutin aja (NP, W1, 20-07-2016, 575-576, 598-600)”.

3) Hambatan Lingkungan Medis

NP belum bisa melahirkan sehingga ia diminta oleh bidan untuk jalan menuju ruang bersalin agar mempercepat proses bersalin.


(69)

Namun, bidan tersebut meninggalkannya dan pengajian di lantai dua. NP merasa takut dan sangat marah pada saat itu.

“Trus diperiksa sama bidannya itu baru pembukaan berapa 4 atau 5. Jadi saya tuh harus jalan mondar mandir gitu kan biar cepat pembukaan gitu kan. Terus pas sa sudah sakit sekali mau pembukaan terakhir itu saya disuruh ke ruang operasi ke ruang bersalin. Itu disuruh jalan kaki hahaha pas di tengah jalan sa kaki sudah tidak bisa gerak trus pake kursi roda ke ruang bersalinnya. Trus sampe dicek lagi belum pembukaan lagi padahal itu saya perut sudah kram sakit sekali kayak nahan kencing nahan pup gitu… Kurang ajar skali. Pengajiannya di lantai 2 hahhaha.. (NP, W1, 20-07-2016, 360-370). Apa ya emosi karena kenapa sempat-sempatnya itu harus pengajian padahal kan ada bidan-bidan yang jaga kan soalnya ada pasien juga ada yang mau melahirkan juga, kenapa tidak dijaga, hanya ada office boy saja… Ya emosi itu, emosi marah kenapa tidak ada yang jaga kan sa pengen tau to kenapa sakit perut begitu, kan pengen tau to, takut to akhirnya sa marah-marah (NP, W2, 28-07-2016, 305-313)”.

Pada saat mengalami hambatan di lingkungan medis, NP dibantu oleh ibunya.

“Mamaku cari bidannya kan, ternyata bidannya itu pengajian (NP, W1, 20-07-2016, 368-369)”.

4) Tuntutan Akademik

NP memiliki tugas kelompok membuat artwork yang membutuhkan waktu cukup lama untuk menyelesaikannya. NP hanya bisa pergi ke Jogja jika orangtua dan suaminya tidak sibuk dan bisa menjaga anak.

“Ketika orangtuaku udah free aja, baru aku bisa pergi ke Jogja kayak gitu. Kalo ga ya pas apa ya pas hari Sabtu apa Minggu ketika DM juga free. Kayak misalnya SPD kemaren


(70)

tuh bikin artwork kelompok gitu kan jadi kita harus bikin semut.. semut.. bikin semut gede raksasa gitu... Iya kami bikinnya tuh dari kawat sama kacang kedelai. Jadi harus tempel.. tempel tempel... E eem jadi kawat dilapis gitu trus ditempel gitu pokoknya bikin kayak keadaan semut lagi ada batang-batangnya gitu dia saling membantu gitu kan. Itu kan perlu waktu (NP, W1, 20-07-2016, 1086-1091, 1093-1094, 1096-1098)”.

NP yang memiliki tuntutan akademik menyatakan bahwa ia berusaha untuk membagi waktu antara tuntutan akademik dan tanggung jawab berumah tangga agar dapat terselesaikan. NP juga menilai bahwa teman-temannya dapat memahami keadaan dirinya. Berikut ini merupakan kutipan wawancaranya.

“E.. bagi waktu ya, sa harus pintar-pintar bagi waktu... jadi itu pas minggu ke berapa itu aku nagajakin TT sama DM kita ke Jogja bareng. Trus bantuin e apa ngerjain itu, nyelesein. Kayak gitu sih aku bagi waktunya (NP, W1, 20-07-2016, 1084, 1098-1101)... itu kan kebetulan teman-temanku juga pengertian (NP, W1, 20-07-2016, 1085)”.

NP memiliki tuntutan akademik yang mengharuskannya untuk turun lapangan. Pada saat yang sama, anak NP sakit dan tidak ada yang menjaganya. Sementara itu, teman NP marah dan memaksanya untuk datang dari Klaten ke Yogyakarta.

“Tapi ada kalanya, dulu tuh pas apa ya Manajemen Sekolah apa ya. Itu kan mengharuskan untuk turun ke lapangan, turun ke sekolah gitu jadi bikin biografi sekolah, masukan ke Wikipedia, dan waktu itu pas aku udah melahirkan sih. TT masih kecil masih mudah sakit, flu gitu kan dan temenku itu, temen kelompokku itu ada satu orang dia tuh ga suka banget gitu lho. Sa su bingung waktu itu bagemana cara menyelesaikannya kan. Jadi kan aku ijin, sempat ijin ga bisa


(1)

dalam kehidupan rumah tangga

berjanji untuk tidak memberitahu siapapun mengenai status anak mereka.

Namun informan merasa semakin berat ketika suaminya sudah meninggal. Pada saat informan kembali menjalin hubungan dengan mantan pacarnya, informan tidak bisa membiarkan mantan pacar cemburu pada anaknya sendiri. Informan terpikir untuk cerita pada mantan pacarnya dan mempertimbangkan banyak hal demi masa depan anaknya. Informan merasa gugup, bingung, dan takut dimarahi saat hendak bercerita pada mantan pacarnya

(AN, W1, 14-08-2016, 1007-1009, 1139-1142, 1204-1208) (AN, W3, 20-10-2016, 7-8, 10-16, 18-23)

ketika ia memberitahu mantan pacarnya, informan bisa merasa lega karena tidak menutupi keadaan yang sebenarnya. Informan merasa senang karena sewaktu informan memberitahu hal yang sebenarnya, mantan pacar bisa menerima hal tersebut

(AN, W1, 14-08-2016, 1225-1228)

Coping (PFC) - Planning

11 Permasalahan dalam

Setelah menikah, kedekatan informan dengan suaminya

Informan nonton film (AN, W3, 20-10-2016,

Emotional

Focused Coping

Informan


(2)

kehidupan rumah tangga

semakin intens. Mereka melakukan segala sesuatunya bersama. Pada saat yang sama, suami informan harus pergi ke luar negeri untuk melanjutkan pendidikan pasca sarjananya di sana. Informan merasa terjadi perubahan yang tiba-tiba dan hilang begitu saja. Informan merasa khawatir sekaligus sedih atas kepergian suaminya. Informan merasa bingung dan tidak tenang jika hendak menghubungi suaminya. Informan biasanya menunggu suaminya untuk menghubungi terlebih dahulu. Informan juga mengungkapkan bahwa ia sulit tidur.

(AN, W2, 20-09-2016, 1970-1979, 1988, 1995-2000)

386) (EFC) – Mental

Disengagement

teman kosnya (AN, W3, 20-10-2016, 391-393) (Social Support)

12 Kematian suami

Suami informan meninggal karena kecelakaan mobil. Informan merasa kaget, kesal, sedih sekaligus marah pada

Informan meminta maaf pada ibu mertuanya. Informan juga berdoa dan menyibukan diri

Problem Focused Coping (PFC) – Active Coping & Problem Solving


(3)

mertuanya karena ia tidak diberitahu tentang kedatangan sekaligus kematian suaminya.

Informan merasa kebahagiaannya hilang dengan

sangat cepat. Setelah kematian sang suami, informan ingin membawa anaknya. Informan tahu bahwa ibu mertuanya juga marah dan sedih, namun informan tidak peduli dan tidak bisa menerima keadaan pada saat itu

(AN, W1, 14-08-2016, 1389-1397, 1428-1432)

(AN, W3, 20-10-2016, 52, 54, 73-76)

dengan mengurus anaknya

(AN, W1, 14-08-2016, 1428, 1467-1474)

Emotional Focused Coping (EFC) – Turning to Religion dan Mental

Disengagement

13 Tuntutan ibu rumah tangga

Informan merasa kerepotan karena ia harus bangun lebih pagi untuk mengurus anaknya. Informan mandi terlebih dahulu sebelum mengurus anaknya. Informan seorang diri mengantarkan anaknya ke tempat penitipan bayi pada

Informan mengatur waktu dan berusaha untuk tertata atau merencanakan apa yang harus dilakukan

(AN, W1, 14-08-2016, 1590-1595)

Problem Focused Coping (PFC) – Planning


(4)

pukul setengah tujuh, lalu menjemputnya kembali pukul dua siang. Informan terburu-buru saat hendak menjemput anaknya karena takut bila turun hujan. Selain itu, setiap dua jam sekali informan harus bangun untuk menyiapkan susu dan mengganti celana anaknya yang basah.

(AN, W1, 14-08-2016, 1531-1536, 1542-1545, 1547-1551) 14 Tuntutan ibu

rumah tangga

Informan merasa kerepotan dan sedih karena anaknya sakit hingga anusnya berdarah (AN, W1, 14-08-2016, 1574-1577)

Informan tetap mengurus anaknya seorang diri

(AN, W1, 14-08-2016, 1576)

Emotional Focused Coping (EFC) –

Acceptance 15 Tuntutan ibu

rumah tangga

Anak informan sakit flu Singapur dan menurut informan keadaannya mendesak sehingga informan

pulang ke Madiun

(AN, W1, 14-08-2016, 1611-1612, 1614-1615)

Informan akan mempertimbangkan

waktu atau merencanakannya

terlebih dahulu agar tertata. Informan mengikuti kuis terlebih

dahulu lalu pulang ke

Problem Focused Coping (PFC) – Planning


(5)

Madiun

(AN, W1, 14-08-2016, 1617-1620)

16 Tekanan figur otorita dan tekanan secara internal

Ketika informan pulang ke Madiun, informan tidak diperbolehkan oleh ayahnya untuk berkomunikasi dengan mantan pacarnya. Informan merasa berat dan tertekan ketika menjalin hubungan jarak jauh namun tidak direstui oleh ayahnya. Informan merasa bingung dan sedih ketika harus menceritakannya. Informan mengatakan bahwa ia sakit hati dan terbawa pikiran karena permasalahan ini. Ketika informan tidak berkomunikasi dengan mantan pacarnya, mantan pacarnya akan marah pada informan. Informan merasa ia harus menjaga perasaan ayah dan mantan pacarnya

(AN, W1, 14-08-2016,

1210-Informan hanya memendam sendiri. Informan nekat untuk komunikasi dan sesekali bertemu

(AN, W3, 20-10-2016, 368-369)

Emotional Focused Coping (EFC) -


(6)

1212, 1235-1237, 1242-1254, 1306-1309)