MASKULINISASI LOBSTER AIR TAWAR (Cherax quadricarinatus) DENGAN EKSTRAK STEROID TERIPANG PASIR (Holothuria scabra) PADA UMUR LARVA YANG BERBEDA

(1)

(2)

ABSTRAK

Maskulinisasi dengan cara sex reversal merupakan salah satu teknik pembalikan jenis kelamin pada lobster air tawar karena lobster jantan lebih cepat pertumbuhannya dibanding betina. Ekstrak steroid teripang pasir (Holothuria scabra) berperan dalam proses maskulinisasi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui umur larva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang paling efektif dalam pembentukan kelamin jantan melalui perendaman dalam larutan ekstrak steroid teripang pasir. Penelitian dilakukan dengan metode rancangan acak kelompok (RAK) dan umur larva lobster sebagai perlakuan kelompok, tiap perlakuan dengan 4 kali ulangan. Perlakuan menggunakan umur larva lobster air tawar berbeda: 0,7,14 dan 21 hari dan dilakukan perendaman dalam larutan ekstrak steroid teripang pada konsentrasi 2 ppm selama 18 jam. Larva lobster air tawar kemudian dipelihara selama 40 hari setelah perendaman. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perbedaan umur larva berpengaruh nyata terhadap pembentukan monoseks jantan (maskulinisasi) pada umur larva 0 hari 66,25%, 7 hari 48%, 14 hari 93,25% dan 21 hari 77,24% dibandingkan dengan kontrol (30%). Berdasarkan hasil analisis ragam dan beda nyata terkecil (P ≤ 0,05), terdapat perbedaan antar perlakuan dalam pembentukan monoseks jantan pada umur yang berbeda. Larva umur 14 hari memiliki persentase tertinggi dalam proses maskulinisasi yaitu 93,25% dan terendah pada larva umur 7 hari yaitur 48%. Selama penelitian kelulushidupan larva lobster air tawar pada semua perlakuan bervariasi antara 26-75%, tertinggi pada larva umur 21 hari yaitu 75% dibandingkan dengan yang lain dan terdapat peningkatan rerata pertumbuhan harian spesifik yang meliputi berat total dengan pertambahan 1,34 gr dan panjang total dengan pertambahan 2,98 cm. Dari penelitian dapat disimpulkan, umur berpengaruh terhadap pembentukan maskulinisasi larva lobster air tawar dan umur larva lobster 14 hari yang paling efektif dalam pembentukan monoseks jantan.


(3)

(4)

(5)

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

HALAMAN JUDUL ... iii

HALAMAN PERSETUJUAN ... iv

HALAMAN PENGESAHAN ... v

RIWAYAT HIDUP ... vi

PERSEMBAHAN ... viii

SANWACANA ... ix

DAFTAR ISI ... xiii

DAFTAR TABEL ... xvii

DAFTAR GAMBAR ... xviii

I. PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Tujuan Penelitian ... 4

C. Manfaat Penelitian ... 4

D. Kerangka Pemikiran ... 4

E. Hipotesis ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 7

A. Lobster Air Tawar ... 7

1. Klasifikasi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) ... 7

2. Anatomi dan Morfologi Lobster Air Tawar ... 8

3. Ekologi Lobster Air Tawar ... 11

4. Perkembangan dan Ciri Kelamin Lobster Air Tawar ... 12

5. Kualitas dan Lingkungan Hidup Lobster Air Tawar ... 13

B. Teripang Pasir (Holothuria scabra) ... 15

1. Klasifikasi Teripang Pasir ... 15

2. Biologi Teripang Pasir ... 17

3. Habitat dan Penyebaran Teripang Pasir ... 19

4. Biokimia Teripang Pasir ... 20

C. Sex Reversal (Pembalikan Kelamin) ... 21

D. Hormon Steroid Teripang Pasir ... 22

III. METODE PENELITIAN ... 25

A. Waktu dan Tempat Penelitian ... 25

B. Alat dan Bahan ... 25


(7)

4. Seleksi Larva Lobster ... 27

5. Pelaksanaan Penelitian ... 28

a. Parameter Utama ... 28

b. Parameter Penunjang ... 29

6. Rancangan Penelitian ... 31

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 32

A.Hasil Pengamatan ... 32

1. Tingkat Maskulinisasi Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) Pada Umur Larva Yang Berbeda ... 32

2. Tingkat Kelulushidupan Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) Setelah Perendaman Ekstrak Steroid Teripang Pasir (H. scabra) 33 3. Laju Pertumbuhan Spesifik dan Kecacatan Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) ... 35

1. Berat dan Laju Pertambahan Berat Larva Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) ... 35

2. Panjang dan Laju Pertambahan Panjang Larva Lobster Air Tawar (C. quadricarinatus) ... 37

3. Tingkat Kecacatan Larva Lobster Air Tawar C. quadricarinatus ... 38

4. Kondisi Kualitas Air Media Pemeliharaan ... 39

B.Pembahasan ... 41

V. KESIMPULAN ... 49

DAFTAR PUSTAKA ... 50


(8)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Komoditas ikan-ikan air tawar sejak beberapa waktu lalu sedang naik daun

karena memiliki daya tarik yang sangat kuat, salah satu jenisnya adalah

lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) atau lobster capit merah (red claw). Hewan ini mudah dibudidayakan dan tidak seperti udang galah atau jenis udang tawar lainnya, harga jualnyapun cukup tinggi. Oleh karena itu

tidak heran jika semakin banyak orang yang berminat untuk mengembangkan

komoditas ini (Satyantini dan Mukti, 2006).

Indonesia memiliki potensi yang sangat besar untuk budidaya lobster air

tawar karena iklim dan siklus musim yang memungkinkan lobster dapat

dibudidaya sepanjang tahun. Selain itu potensi sumber makanan yang

melimpah di alam dan mudah diperoleh. Indonesia menjadi salah satu negara

produsen utama sekaligus pemasok terbesar lobster air tawar di pasar

internasional (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Sektor usaha lobster air tawar

di Indonesia cukup prospektif untuk dikembangkan seiring dengan

meningkatnya permintaan kebutuhan pasar dunia artinya permintaan lobster

konsumsi tidak hanya datang dari dalam negeri, tetapi juga luar negeri.

Beberapa negara diantaranya Jepang, Hongkong, Malaysia, Singapura,


(9)

komoditi ini (Bisnis Indonesia , 2006). Saat ini harga lobster air tawar ukuran

konsumsi ± 300 gram mencapai Rp 200.000 – Rp 300.000/kg. Untuk memenuhi kebutuhan pasar maka perlu dilakukan budidaya lobster secara

kontinyu (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).

Jenis lobster yang saat ini banyak dipilih oleh peternak adalah red claw (Cherax quadricarinatus) yang berasal dari Australia (Lukito dan Prayugo, 2007). Lobster air tawar tersebut ditemukan hidup di danau, rawa, atau

sungai yang terletak di kawasan Papua, Papua New Guinea, dan Australia.

Tempat hidup lobster air tawar ini umumnya memiliki ciri khusus seperti

sungai yang tepinya dangkal dan bagian bawahnya atas campuran lumpur,

pasir, dan bebatuan, serta dapat juga ditemukan di sungai atau danau yang

banyak ditumbuhi tanaman air (Setiawan, 2010).

Budidaya lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) mulai berkembang sejak tahun 2000, dengan teknik pemeliharaan yang mudah, sehingga banyak

pembudidaya yang tertarik untuk mengembangkan produksi lobster air tawar

ini. Oleh karena itu, budidaya lobster berkembang cukup pesat, dan sudah

banyak berdiri sentra budidaya di beberapa Provinsi seperti Jakarta, Jawa

Barat, DIY Jogjakarta, dan Jawa Timur karena permintaan pasar yang

semakin meningkat (Potensi Negri Kami, 2010).

Lobster memang dianggap sebagai komoditas udang konsumsi yang mewah

dibandingkan dengan udang konsumsi lainnya. Selain daging yang padat,

gurih, empuk, lobster air tawar juga memiliki kandungan gizi yang sangat


(10)

lobster dapat berkhasiat meningkatkan kemampuan seksual (Bisnis Indonesia,

2006).

Hasil penelitian dari Sarida (2008) dan Hakim (2008) menunjukkan bahwa

individu jantan lobster air tawar lebih cepat berkembang dan tumbuh

dibandingkan dengan betina. Hal ini dapat diketahui bahwa lobster jantan

usia 7-8 bulan dapat mencapai berat 30 gr/ ekor, sedangkan pada betina 20 gr/

ekor pada umur yang sama. Untuk itu, memproduksi individu jantan

(monoseks)lebih banyak dilakukan karena lebih menguntungkan (Sukmajaya

dan Suharjo, 2003).

Dalam perkembangannya budidaya hewan tersebut dapat dilakukan dengan

teknik sex reversal yaitu cara pembalikan arah perkembangan kelamin yang seharusnya jantan diarahkan perkembangan gonadnya menjadi betina atau

sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat sebelum terjadinya diferensiasi

gonad ikan secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas.

Sex reversal merubah phenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya (Masduki, 2010).

Penelitian Hakim (2008) tentang monoseks jantan (maskulinisasi) lobster air

tawar (Cherax quadricarinatus ) dengan pemberian hormon metil testosteron dengan dosis yang berbeda menghasilkan pembentukan monoseks jantan

tertinggi sebesar 61,13% pada dosis 2 ppm. Berdasarkan hasil penelitian

tersebut maka penelitian ini dilakukan pada lobster air tawar (Cherax

quadricarinatus) dengan menggunakan hormon alami ekstrak steroid teripang pasir (Holothuria scabra) dengan dosis 2 ppm pada umur larva yang berbeda.


(11)

B. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. mengetahui umur larva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang paling efektif dalam pembentukan kelamin jantan dengan perendaman

dalam larutan ekstrak steroid teripang pasir (Holothuria scabra).

2. mengetahui kelulushidupan, berat total dan panjang total larva lobster air

tawar (Cherax quadricarinatus) selama pengamatan.

3. mengetahui kualitas air selama masa pemeliharaan.

C. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi ilmiah mengenai umur

larva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang paling efektif dalam pembalikan kelamin sebagai usaha pengembangan dalam budidaya.

D. Kerangka Pemikiran

Indonesia saat ini memiliki prospek budidaya perikanan yang sedang

berkembang menuju ke arah spesies-spesies yang mempunyai komoditi ekspor

yang cukup tinggi. Salah satu spesies yang sudah banyak dikembangkan yaitu

jenis lobster air tawar (Cherax quadricarinatus). Hewan ini banyak diminati oleh pembudidaya karena memiliki nilai ekonomi yang cukup tinggi dan

budidayanya mudah. Namun dalam pertumbuhannya diketahui bahwa pada

umur yang sama lobster air tawar jantan lebih cepat dan memiliki ukuran


(12)

jantan lebih diminati oleh pembudidaya. Salah satu cara untuk mendapatkan

individu jantan yaitu melakukan sex reversal atau pembalikan kelamin dimana individu anakan diberi stimulus biokimia untuk menghasilkan individu dengan

jenis kelamin yang diinginkan oleh pembudidaya. Salah satu cara untuk

melakukan sex reversal atau pembalikan kelamin yaitu menggunakan hormon yang merupakan salah satu stimulus biokimia yang diberikan pada larva. Pada

pembalikan kelamin buatan dapat diarahkan dengan menggunakan hormon

steroid sintesis. Hormon dapat mengatur beberapa fenomena reproduksi

misalnya proses diferensiasi gonad, pembentukan gamet, ovulasi, perubahan

morfologis atau fisiologis pada musim pemijahan atau produksi feromon.

Diferensiasi gonad terjadi lebih dahulu diikuti fenomena lain.

Steroid seks yang berfungsi mengubah jenis kelamin adalah androgen

(testosteron dan metiltestoteron) yang memberikan efek maskulinitas dan

estrogen (estron dan estrodiol) yang memiliki pengaruh feminitas. Androgen

dihasilkan oleh testis, korteks adrenal dan ovari. Salah satu hormon alami

androgen adalah testosteron. Derivat dari hormon ini yang merupakan

hormon steroid sintetis dan telah berhasil digunakan untuk merangsang

perubahan jenis kelamin dari betina menjadi jantan adalah 17α metiltestoteron.

Hasil penelitian sebelumnya tentang maskulinisasi lobster air tawar yang

menggunakn hormon metiltestosteron dengan dosis 2 mg/L dan umur larva

yang berbeda telah mendapatkan umur yang terbaik yaitu larva 10 hari dengan


(13)

menggunakan hormon alami yang berasal dari ekstrak steroid teripang pasir

(Holothuria scabra) dengan dosis 2 ppm. Pada umur larva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang berbeda diduga dapat mempengaruhi rasio pembentukan anakan lobster yang berkelamin jantan.

E. Hipotesis

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengetahui umur larva yang paling efektif dalam pembentukaan

monoseks jantan lobster air tawar.

2. Mengetahui kelulushidupan, berat total dan panjang total lobster air tawar

setelah perlakuan.

3. Mengetahui nilai kualitas air yang cocok selama 40 hari pemeliharaan


(14)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Lobster Air Tawar

1. Klasifikasi Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus)

Lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) atau fresh water crayfish merupakan salah satu genus yang termasuk ke dalam kelompok udang

tawar (Crustacea), yang secara alami memiliki ukuran tubuh besar dan seluruh siklus hidupnya di lingkungan air tawar. Lobster air tawar

memiliki beberapa nama internasional, yaitu crawfish dan crawdad. Berdasarkan penyebarannya di dunia, terdapat 3 famili lobster air tawar

yaitu famili Astacidae, Cambaridae, Parastacidae (Handoko, 2013). Tubuh lobster air tawar dilapisi oleh kutikula yang mengandung zat kapur

(Gambar 1).

Gambar 1. Morfologi lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) (Lukito dan Prayugo, 2007).


(15)

Menurut Tim Karya Tani Mandiri (2010), lobster air tawar capit merah

memiliki klasifikasi sebagai berikut:

Kingdom : Animalia

Phylum : Arthropoda

Subphylum : Crustacea

Class : Malacostraca

Ordo : Decapoda

Subordo : Pleocyemata

Superfamily : Parastacoidea

Famili : Parastacidae

Genus : Cherax

Spesies : Cherax quadricarinatus (Holthius, 1949 )

2. Anatomi dan Morfologi Lobster Air Tawar

Tubuh lobster dibagi menjadi dua bagian, yaitu kepala dada

(chepalothoraks) dan badan (abdomen) (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).


(16)

Chepalothoraks diselubungi oleh karapas yang memanjang dari somit terakhir sampai mata, kadang-kadang membentuk rostrum yang menonjol di atas mata. Pada bagian lateral, karapas menutupi ruang branchial sehingga melindungi insang.

Chepalothoraks terdiri atas 14 somit yang mengalami fusi, masing-masing dengan sepasang kaki gerak, 6 somit pertama terdiri dari chepalon, dan 8 terakhir pada thoraks (Gambar 2). Kaki gerak pada thoraks mencakup mata, antena dan antenula, mulut, serta 5 pasang kaki jalan ( Lukito dan

Prayugo, 2007).

Mata lobster air tawar cukup besar, berupa mata majemuk yang terdiri dari

ribuan mata yang didukung oleh tangkai mata (stalk). Pergerakan mata bisa dilakukan dengan cara memanjang dan memendek. Namun pada beberapa

jenis lobster yang matanya tidak bisa digerakkan sama sekali atau bahkan

sama sekali tidak ada. Lobster air tawar memiliki 2 pasang antena (sungut),

satu pasang berukuran pendek (antennula) dan satu pasang lainnya

berukuran lebih panjang yang berada dibagian luar. Antena pendek

berfungsi sebagai sensor kimia dan mekanis, yaitu alat perasa air atau

makanan. Antena panjang berfungsi sebagai alat peraba, perasa dan

pencium. Selain itu antena juga digunakan sebagai alat proteksi (Aulina. L,

2013).

Ciri lain yang terdapat pada lobster air tawar adalah rostrumnya hampir


(17)

tersebut. Dilihat dari organ tubuh luar, lobster air tawar memiliki beberapa

alat pelengkap sebagai berikut :

1. Sepasang antena sebagai perasa dan peraba terhadap pakan dan

kondisi lingkungan.

2. Sepasang antenula untuk mencium pakan, 1 mulut dan sepasang

capit (cheliped).

3. Enam ruas badan (abdomen).

4. Ekor, 1 ekor tengah (telson) terletak di semua bagian tepi ekor. serta 2 pasang ekor samping (uropod).

5. Enam pasang kaki renang (pleopod) yang berperan dalam melakukan gerakan renang.

6. Enam pasang kaki untuk berjalan (pereiopod) (Aulia. L, 2013).

Lobster air tawar tidak memiliki tulang dalam (internal skeleton), tetapi seluruh tubuhnya terbungkus oleh cangkang (eksternal skeleton) (Tim Karya Tani Mandiri, 2010).

Bagian mulut pada lobster air tawar mencakup mandibel, maksila, dan

maksiliped. Mulut berfungsi untuk menghancurkan makanan dengan cara

menggerakkan dari samping kiri ke samping kanan. Pada bagian perut

terdapat 5 pasang kaki renang. Dibandingkan kaki jalan dan capit, ukuran

kaki renang jauh lebih kecil dan pendek. Pada lobster betina, 4 pasang

kaki renangnya bisa digunakan untuk memegangi telur yang melekat pada

perutnya. Masing-masing kaki tersebut akan bertautan melingkari


(18)

seperti gerakan mengipas. Gerakan tersebut dapat memberikan suplai

oksigen yang dibutuhkan untuk telur yang digendongnya (Wiyanto dan

Hartono,2003; Lukito dan Prayugo, 2007).

3. Ekologi Lobster Air Tawar

Habitat asli lobster air tawar adalah danau, rawa, atau sungai air tawar.

Di samping itu, habitat alam yang selalu ditempati lobster air tawar juga

harus dilengkapi tumbuhan air atau tumbuhan darat yang memiliki akar

atau batang terendam air dan daunnya berada di atas permukaan air.

Beberapa spesies lobster air tawar hidup dengan suhu air minimum 8◦C.

Namun banyak spesies lobster air tawar dapat hidup di lingkungan dengan

suhu air 26-30◦C (Tim Karya Tani Mandiri, 2010). Lobster air tawar

umumnya aktif mencari makan pada malam hari (nokturnal) dan juga termasuk jenis pemakan segala (omnivora) (Wiyanto dan Hartono, 2003).

Dalam pertumbuhannya, lobster air tawar juga melakukan proses

pergantian kulit (molting), yang merupakan proses alami yang terjadi. Hewan tersebut mempunyai kerangka luar (eksoskeleton), sehingga perlu mengganti kerangkanya bila badannya tumbuh membesar, karena

kerangka bagian luar yang bersifat kaku tidak ikut tumbuh. Frekuensi

molting pada lobster air tawar selalu beriringan dengan pertambahan umur dan tingkat laju pertumbuhan. Semakin baik pertumbuhan maka akan

semakin sering melakukan molting (Lukito dan Prayugo, 2007).

Fungsi dari molting adalah untuk percepatan pertumbuhan, percepatan pematangan gonad, dan regenerasi bagian tubuh yang cacat seperti capit


(19)

yang patah. Molting pertama terjadi seminggu setelah burayak

melepaskan diri dari induknya, atau sekitar berumur 2-3 minggu. Lobster

memiliki waktu molting yang bervariasi, sesuai dengan umur lobster. Lobster yang masih muda biasanya hanya butuh waktu beberapa detik

untuk molting, sementara lobster yang lebih dewasa memerlukan waktu sekitar 3-4 menit untuk molting (Wiyanto dan Hartono, 2003).

Proses molting merupakan proses yang rumit karena melibatkan berbagai proses yang bersifat hormonal, ada dua jenis hormon yang bertanggung

jawab terhadap proses molting yaitu hormon ecdysis dan MIH (moult inhibiting hormone). Ecdysis berperan dalam memicu proses molting, sedangkan MIH berfungsi sebaliknya, yaitu menghambat proses molting. Proses molting melalui 4 tahapan yaitu preecdysis, ecdysis, metaecdysis, dan intramolting (Lukito dan Prayugo, 2007).

4. Perkembangan dan Ciri Kelamin Lobster Air Tawar

Lobster air tawar merupakan spesies dimorfisme, yakni terdiri dari jenis

kelamin jantan dan betina. Jenis kelamin jantan dan betina dapat

dibedakan secara pasti jika telah mencapai 2 bulan dengan panjang total

rata- rata 5 s/d 7 cm. Ciri-ciri primer pembeda jenis kelamin calon induk

lobster air tawar adalah bentuk tertentu yang terletak pada tangkai kaki

jalan dan ukuran capit, sedangkan ciri-ciri sekunder yang dapat dilihat

secara visual adalah kecerahan warna tubuhnya (Royadi, 2011).

Calon induk jantan memiliki tonjolan di dasar tangkai kaki jalan ke-5 jika


(20)

lobster air tawar betina adalah adanya lubang bulat yang terletak pada

dasar kaki ke-3 yaitu thelicum (Gambar 3). Berdasarkan capitnya, calon induk jantan memiliki ukuran capit 2-3 kali lebar buku pertama (tangkai

capit) dan calon induk betina memiliki ukuran capit yang sama atau 1,5

kali buku pertama (KPH Jember, 2006).

Alat kelamin jantan Alat kelamin betina (pethasma) (thelicum)

Jantan (pethasma) betina(thelicum)

Gambar 3. Perbedaan Alat Kelamin Jantan dan Betina Lobster Air Tawar (Lukito dan Prayugo, 2007).

5. Kualitas Dan Lingkungan Hidup Lobster Air Tawar

Udang jenis ini toleran terhadap kandungan oksigen yang sangat

rendah. Kadar oksigen terlarut dalam air yang bagus untuk lobster 2-4

mg/L. Sebenarnya dalam kadar 0,5 mg/L lobster masih bisa hidup tetapi mengalami tekanan yang sangat besar. Setiap perubahan kadar oksigen

terlarut dalam air sebanyak 1 mg/L, baik naik maupun turun akan

membuat loster stres bahkan mati (Duniadinu, 2010). Selain itu lobster air

tawar toleran terhadap suhu sangat dingin mendekati beku, sehingga untuk


(21)

24-30 0C, sedangkan pertumbuhan optimum akan dicapai pada suhu

25-290C (KPH Jember, 2006).

Kisaran pH yang baik untuk pertumbuhan lobster air tawar yaitu sedikit

alkalin dengan kisaran pH 7-9 atau pH yang paling ideal yaitu 8.

Kesadahan (kandungan kapur) air yang diperlukan adalah sedang hingga

tinggi. Hal ini untuk menjaga kandungan kalsium terlarut cukup tinggi

untuk membantu pembentukan cangkang (Fatih. A, 2013). Apabila pH

terlalu tinggi diperlukan penambahan asam fosfor, sedangkan bila pH

rendah diperlukan penambahan kapur (CaCO3) (Setiawan, 2010).

Kesadahan air yang diperlukan adalah sedang hingga tinggi. Hal ini

diperlukan untuk menjaga kandungan kalsium terlarut yang tinggi untuk

menjamin pembentukan cangkang mereka dengan baik (KPH Jember,

2006). Kesadahan yang optimal agar lobster air tawar ini dapat hidup

dengan optimal yaitu 10-20 dH (Wiyanto dan Hartono, 2003).

Sumber air untuk pengairan terbagi menjadi dua yaitu air tanah dan air

permukaan. Bila sumber air berasal dari sungai maka harus disaring

terlebih dahulu. Sumber air yang dianggap lebih baik adalah mata air

(artesis) karena sumber airnya lebih mudah dijaga dari bahaya pencemaran

(Setiawan, 2010). Lobster air tawar bersifat sensitif terhadap beberapa

bahan kimia perairan yaitu,

1. Klorin (Cl) dengan kadar tinggi terutama pada individu lobster muda

dapat dicegah dengan air yang didiamkan terlebih dahulu sebelum


(22)

2. Merkuri (Hg) karena lobster dapat mengakumulasi Hg dalam kadar

tertentu, sehingga hewan ini sering dijadikan sebagai indikator

pencemaran lingkungan.

3. Pestisida, terutama dari golongan organoklorin, serta residu-residu

minyak (Anonim, 2010).

B. Teripang Pasir

1. Klasifikasi Teripang Pasir (Holothuria scabra)

Teripang pasir (Holothuria scabra) adalah kelompok hewan invertebrata laut dari kelas Holothuroidea (Filum Echinodermata), tersebar luas di lingkungan laut di seluruh dunia, mulai dari zona pasang surut sampai laut

dalam terutama dilautan India dan lautan Pasifik Barat. Sekitar 1250 jenis

teripang telah didiskripsikan, dibedakan dalam enam ordo yaitu

Dendrochirotida, Aspidochirotida, Dactylochirotida, Apodida, Molpadida, dan Elasipoda (Johan, 2013). Beberapa jenis hidup membenamkan diri dalam pasir dan hanya menampakkan tentakelnya. Jenis-jenis teripang

komersil biasanya hidup pada substrat pasir, substrat keras, substrat kricak

karang dan substrat lumpur (Darsono, 2005).

Klasifikasi teripang pasir menurut Sutaman (1993) adalah sebagai berikut:

Phylum : Echinodermata

Sub phylum : Echinozoa

Class : Holothuroidea


(23)

Ordo : Aspidochirota

Family : Holothuridae

Genus : Holothuria

Species : Holothuria scraba

Teripang memiliki tiga kaki tabung pada tiga bagian ventral tubuh untuk

berjalan dan dilengkapi dengan mangkuk penghisap seperti pada kelas

Asteroidea, memiliki tentakel berbentuk kaki tabung di sekeliling mulut tanpa adanya pediselaria dan duri. Hewan ini memiliki alat respirasi

berupa alat bercabang yang terdiri dari banyak tabung, serta memiliki

daerah rektum dan kloaka yang dapat menggembung dan mengerut untuk

menghisap air ke dalam anus dan mendorongnya ke atas menuju tabung

respirasi. Selanjutnya oksigen diekstrak dari sejumlah air yang diabsorbsi

dari tabung ke tubuh untuk membangun bentuk tubuh melalui prinsip

tekanan (Gambar 4) (Romimohtarto dan Juwana, 2005).

Gambar 4. Morfologi Teripang Pasir (Holothuria scabra) (Satrio. A, 2009).


(24)

Gonad pada teripang pasir terletak pada satu sisi tubuh dan membuka ke

arah dorsal pada ujung belakang anterior tubuh melalui gonophore tunggal. Sistem pohon respiratori untuk keperluan pernapasan terletak

pada bagian posterior tubuh dan membuka ke arah kloaka. Keseluruhan

dinding tubuh teripang pasir mencakup 56% dari total berat tubuh

(Aquafarm, 2009). Keistimewaan spesies-spesies dari kelas ini adalah

perilaku mengeluarkan sebagian besar isi perut melalui anus dan mulut

jika dipegang secara kasar (Romimohtarto dan Juwana, 2005).

Teripang pasir dapat bergerak dengan bantuan kaki tabung berjumlah 10

buah yang terdistribusi pada bagian ventral serta melalui pergerakan otot

pada dinding tubuh. Habitat umum teripang adalah ekosistem terumbu

karang. Hewan ini menyukai perairan bersih dan jernih dengan

salinitas 30 - 33 ppt dengan dasar perairan berpasir halus dengan tanaman

pelindung, terlindung dari hempasan ombak, dan lingkungan hidupnya

kaya akan detritus. Makanan utamanya berupa detritus dan zat organik

dalam pasir, serta makanan pelengkapnya berupa plankton, bakteri dan

berbagai biota mikroskopis (Arisandi, 2007).

2. Biologi Teripang Pasir

Teripang merupakan salah salah satu hewan berduri, tetapi tidak semua

teripang memiliki duri. Duri pada teripang merupakan rangka atau skelet

yang terdiri dari zat kapur. Badan teripang pasir berbentuk bulat panjang

dan lunak. Pada bagian perut berwarna kuning dan bagian punggung


(25)

melintang sepanjang punggungnya. Hewan ini memiliki struktur kulit

yang kasar, dan biasa ditemukan di sela-sela karang yang masih hidup atau

sudah mati dengan dasar yang berpasir (Martoyo et al, 1994).

Hewan ini merupakan salah satu hewan filum Echinodermata yang

semuanya hidup di laut. Bentuk tubuh dari anggota kelas ini tidak

berlengan, lembek, mulut dan anus berada di daerah yang berlawanan.

Mulut terletak pada ujung anterior dan anus pada ujung posterior (aboral).

Di sekeliling mulut terdapat tentakel yang bercabang sebanyak 10 sampai

30 buah. Tentakel dapat disamakan dengan kaki tabung bagian oral pada

Echinodermata lainnya. Tiga baris kaki tabung di bagian ventral

digunakan untuk bergerak dan dua baris di bagian dorsal berguna untuk

melakukan pernafasan. Memiliki banyak endoskeleton yang tereduksi.

Tubuhnya juga memanjang tertutup oleh kulit yang berkutikula dan tidak

bersilia di bawah kulit terdapat dermis yang mengandung osikula, selapis

otot melingkar, dan 5 otot ganda yang memanjang (Pratiwi, 2010).

Teripang memiliki 2 mulut yang terdapat dikedua ujung bagian tubuhnya

yaitu bagian kepala dan anus, dan memiliki kaki tabung yang jumlahnya

tiga pada bagian ventral untuk berjalan yang dilengkapi dengan tabung

penghisap seperti pada kelas Asteroidea. Teripang memiliki alat respirasi

yang berbentuk tabung dan bercabang, dengan perolehan oksigen dari

hasil penggembungan dan mengkerut dari tubuh teripang tersebut,

sehingga dapat menyerap air dari anusnya dan mendorong ke tabung


(26)

Teripang pasir dapat tumbuh sampai ukuran 40 cm dengan bobot 1,5 kg.

Kematangan gonad hewan air berumah dua (diocieaus) ini pertama kali terjadi pada ukuran panjang rata-rata 220 mm. Seekor teripang betina

mampu menghasilkan telur dalam jumlah yang sangat banyak hingga

mencapai 1,9 juta butir telur. Daur hidup hewan ini dimulai dengan telur

yang dibuahi yang akan menetas dalam waktu sekitar 2 hari (Hobikan,

2009).

3. Habitat Dan Penyebaran Teripang Pasir

Teripang pasir memiliki penyebaran yang cukup luas di Indo-Pasifik, yaitu

Madagaskar, Asia dan Australia (Chrism, 2010). Di Indonesia sendiri

penyebaran juga cukup luas yaitu meliputi perairan pantai Madura, Aceh,

Bali, Lombok, Bengkulu, Bangka, Riau dan sekitarnya, Maluku,

Kalimantan (bagian Barat, Selatan, dan Timur), Sulawesi Timur, dan

kepulauan Seribu (Martoyo et al, 1994). Teripang ditemukan dalam jumlah besar dan terlindung pasir dangkal di daerah tropis (Kithakeni dan

Ndaro, 2002).

Pada habitatnya, ada jenis teripang yang hidup berkelompok dan ada pula

yang hidup soliter (sendiri) misalnya, teripang putih membentuk

kelompok antara 3 - 10 ekor dan Holothuria nobilis hidup berkelompok antara 10 - 30 ekor. Makanan utama teripang adalah organisme-organisme

kecil, detritus (sisa-sisa pembusukan bahan organik), Diatomae, Protozoa,

Nematoda, Alga, Kopepoda, Ostrakoda, dan rumput laut. Jenis makanan


(27)

hancuran-hancuran karang, dan cangkang-cangkang hewan lainnya

(Darsono, 2005).

4. Biokimia Teripang Pasir

Teripang kaya akan zat yang mampu menstimulasi pertumbuhan sehingga

dapat memperbaiki sel-sel rusak. Kandungan protein mencapai 82% dan

asam lemak essensial mujarab memperkuat sel hati untuk mengeluarkan

antibodi, sehingga teripang (gamat) kerap disebut imunomodulator yaitu cara memperbaiki fungsi sistem imun tubuh dengan menggunakan bahan

yang merangsang atau meningkatkan kerja imun tersebut. Teripang

mempunyai kandungan kolagen yang tinggi, dan mampu melakukan

regenerasi sel secara singkat. Ekstrak teripang larut dalam air dan

langsung dapat diserap di hati tanpa mengalami detoksifikasi (Bisnis

UKM, 2011). Menurut Subroto dalam Bisnis UKM (2011), teripang

memiliki kandungan protein yang tinggi mencapai 82%, dan baik

diberikan pada penderita diabetes karena akan meningkatkan kinerja

insulin untuk meregenerasi sel β pankreas.

Teripang memiliki nilai penting sebagai sumber biofarma potensial

maupun makanan kesehatan. Kandungan kimia teripang basah terdiri dari

44-45 % protein, 3-5 % karbohidrat dan 1,5-5% lemak. Teripang-juga

mengandung asam amino esensial, kolagen dan vitamin E. Kandungan

asam lemak penting teripang adalah asam eikosapentaenoat (EPA) dan asam dekosaheksaenoat (DHA) yang berperan dalam perkembangan saraf otak dan agen penyembuh luka dan antitrombotik (Ramadhan, 2008).


(28)

C. Sex Reversal (Pembalikan Kelamin)

Sex reversal merupakan cara pembalikan arah perkembangan kelamin ikan yang seharusnya berkelamin jantan diarahkan perkembangannya menjadi

betina atau sebaliknya. Teknik ini dilakukan pada saat sebelum terjadi

diferensiasi seksual secara jelas antara jantan dan betina pada waktu menetas. Sex reversal merubah phenotip ikan tetapi tidak merubah genotipnya

(Masduki, 2010).

Sex reversal dapat dilakukan melalui terapi hormon (cara langsung) dan melalui rekayasa kromosom (cara tidak langsung) (Aquakultur, 2011). Pada

terapi langsung hormon androgen dan estrogen mempengaruhi phenotip tetapi

tidak mempengaruhi genotip. Metode langsung dapat diterapkan pada semua

jenis ikan apapun pada seks kromosomnya dan dapat meminimalkan jumlah

kematian ikan. Kelemahan dari cara ini adalah hasilnya tidak bisa seragam

dikarenakan perbandingan alamiah kelamin yang tidak selalu sama, misalkan

pada ikan hias, nisbah kelamin anakan tidak selalu 1:1 tetapi 50% jantan :

50% betina pada pemijahan pertama, dan 30% jantan : 50% betina pada

pemijahan berikutnya (Aquakultur, 2011).

Menurut Tripod (2010) dalam penelitiannya menyatakan bahwa ada beberapa

keuntungan dan kerugian dalam teknik sex reversal, yaitu:

Keuntungannya adalah

1. Teknologi ini dapat menghasilkan ikan-ikan jantan secara massal.


(29)

3. Biaya yang dibutuhkan tidak terlalu besar dibanding hasil yang

bisa didapat.

4. Menghasilkan keuntungan yang berlipat ganda dari hasil penjualan

ikan jantan.

5. Teknologi ini juga digunakan untuk mendapatkan induk jantan

super (YY), yang selanjutnya dapat menghasilkan anak ikan

dengan jenis kelamin jantan semua.

Kerugiannya adalah

1. Teknologi ini bersifat spesifik, sehingga dalam penerapannya harus

tepat, jenis dan dosis hormon, lama perendaman, serta waktu mulai

perendaman.

2. Pemberian dosis hormon yang kurang tidak akan mempengaruhi

jenis kelamin ikan, sementara pada pemberian hormon yang

berlebihan dapat menyebabkan tingkat kematian yang tinggi dan

atau ikan keturunan menjadi steril.

3. Ikan jantan yang dihasilkan melalui proses sex reversal tidak bagus bila dijadikan induk.

D. Hormon Steroid Teripang Pasir

Senyawa steroid teripang kelas Holothuroidea belum banyak diteliti. Saat ini

baru sekitar 20 senyawa dari 1200 jenis steroid yang terisolasi. Beberapa jenis

steroid teripang yang sudah teridentifikasi antara lain steroid teripang


(30)

Holothuria nobilis, Trochostoma orientale dan Bathyplotes natans, teripang Synapta maculate, Cladolabes bifurcatus dan Cucumaria sp dan teripang Stichopus mollis. Jenis asam amino dalam teripang seperti saponin, sterol bebas dan sterol yang berikatan (triterpen glukosida), mempunyai banyak

kegunaan bagi kesehatan. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa

senyawa tersebut pada teripang mempunyai aktifitas antitoksik, antibakteri

pada teripang Cucumaria frondosa, anti jamur pada teripang Psolus patagonicus, anti tumor dan mempunyai aktivitas anti inflamasi (Artikel Kimia, 2010).

Penelitian Riata (2010) menunjukkan 4 senyawa bioaktif yang merupakan

steroid dominan yang ditemukan dalam jenis Holothuria scabra atau teripang pasir. Senyawa steroid tersebut yaitu :

1. 24-ethylidenecholest-25-en-ol mempunyai rumus molekul

C29H48O. Senyawa ini juga ditemukan pada Bathyplotes natans (teripang) dan juga terisolasi dari koral Sinularia gyropsa.

2. Lanost-9 (11)-en-3-ol mempunyai rumus molekul C30H52O dikenal

juga dengan sebutan dihydroparkeol yang mempunyai efek

mencegah reaksi inflamasi, infeksi bakteri, arterosklerosis, dan

juga kanker.

3. Cholestane-3,4,6,15,24-pentol atau

28-O-(4-O-Methyl-D-xylopyranoside) atau certonardoside H2 ini mempunyai rumus

molekul C34H40O9. Senyawa ini merupakan suatu senyawa


(31)

disakarida. Pada senyawa ini monosakarida yang terikat adalah

xylosa, senyawa ini mempunyai aktivitas sitotoksik. Senyawa

certonardoside H2 ini juga ditemukan pada bintang laut

Certonardoa semiregularis.

4. 24-O-[2,4-Di-O-methyl-D-xylopyranosyl-(12)-d-xylofurinoside]

atau disebut juga certonardoside H1 atau culcitoside ini,

mempunyai rumus molekul C39H68O13, merupakan suatu senyawa

saponin, dimana pada senyawa tersebut terikat disakarida yang

terdiri dari xylosa dalam bentuk furanosa dan piranosa.

Culcitoside juga ditemukan pada bintang laut jenis Certonardoa semiregularis, senyawa ini mempunyai aktivitas sitotoksik.


(32)

III. METODE PENELITIAN

A.Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksananakan pada bulan Juli – September 2013 di laboratorium penelitian Biologi Akuatik Gedung MIPA Terpadu Fakultas

Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Lampung.

B. Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu bak fiber untuk

pemeliharaan induk lobster dengan kapasitas volume 100 liter. Bak fiber

untuk pemijahan dan aklimasi dengan kapasitas volume air 48 liter. Bak kaca

untuk perlakuan dan pengamatan dengan kapasitas volume 5 liter. Loop

untuk pengamatan morfologi lobster larva. Cawan petri untuk wadah

pengamatan morfologi lobster. Neraca digital untuk pengukuran berat tubuh

larva lobster. Milimeter block dan jangka sorong untuk pengukuran panjang

tubuh larva lobster. Pengukuran kualitas air menggunakan pHmeter untuk

mengukur pH, DO meter untuk mengukur oksigen terlarut/dissolved oxygen (DO), termometer untuk mengukur suhu air, dan refraktometer untuk

mengukur salinitas. Pengeringan ekstrak steroid teripang menggunakan

rotary vacum evaporator. Labu ukur 500 mL dan gelas becker 250 mL untuk wadah ekstrak steroid teripang. Lembar kerja untuk pencatatan data


(33)

parameter pengamatan dan kalkulator untuk perhitungan dan hasil

pengamatan.

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah hewan uji berupa larva

lobster air tawar capit merah (Cherax quadricarinatus) dengan perlakuan umur larva yang berbeda 0, 7, 14 dan 21 hari. Ekstrak organ dalam teripang

pasir (Holothuria scabra) yang digunakan sebagai sumber ekstrak steroid. Pakan berupa cacing sutera dan pelet. Air media pemeliharaan dalam bak

pengeraman, bak pemijahan aklimasi, maupun bak perlakuan, etanol, aseton,

dietil eter, fenol ftelin, dan kalium hidroksida untuk ekstraksi teripang.

C. Prosedur Penelitian

1. Persiapan Tempat dan Air Media Pemeliharaan

1. Media pemeliharaan dilakukan dengan mempersiapkan bak

pengeraman dan pemijahan aklimasi. Seluruh bak berukuran (63 x 40 x

40) cm3 dengan pembagian sebagai berikut:

a. Bak pemeliharaan lobster berjumlah 3 unit dengan pengisian air

sebanyak 50 liter dan jumlah lobster per bak yaitu 3 ekor (1 jantan

dan 2 ekor betina).

b. Bak pengeraman induk lobster berjumlah 3 unit dengan pengisian air

50 liter dengan jumlah induk 1 ekor yang sudah siap menetas.

c. Bak pemijahan aklimasi berjumlah 1 unit dengan pengisian air 20

liter.


(34)

2. Pengeraman Telur Lobster dan Aklimasi Larva Lobster

Pengeraman telur lobster dilakukan selama 3-5 minggu dengan kondisi

pemeliharaan bak induk disesuaikan dengan kehidupan optimal lobster di

alam. Pemisahan anakan dilakukan pada saat telur lobster telah menetas

menjadi larva pada abdomen induk dan larva sudah tampak lepas dari

abdomen induknya pada bak pemijahan. Selanjutnya aklimasi dilakukan

pada larva lobster pada umur yang berbeda dengan pemberian pakan,

suplai oksigen, dan sanitasi bak yang dianggap memadai.

3. Pembuatan Ekstrak Steroid Teripang

Pembuatan ekstrak steroid teripang dilakukan dengan cara mengekstraksi

lemak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol dengan

perbandingan teripang dan etanol 1 : 2. Lemak yang diperoleh kemudian

disabunkan menggunakan kalium hidroksida 1 M dan dilakukan refluks

dengan suhu 700 C selama 1 jam. Untuk mendapatkan ekstrak steroid

dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut dietil eter sebanyak tiga kali.

Pengeringan ekstrak steroid teripang dilakukan dengan menggunakan

rotary vacum evaporator pada suhu 550C (Riata, 2010).

4. Seleksi Larva Lobster

Seleksi larva lobster air tawar dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi

lobster larva tersebut, seperti panjang tubuh dan kelengkapan organ.

Larva yang diseleksi yaitu larva yang berumur 0-3 minggu setelah


(35)

5. Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam bak pemeliharaan larva lobster air

tawar, yang diberi perlakuan perendaman ekstrak steroid teripang dengan

umur larva yang berbeda yaitu 0, 7, 14 dan 21 hari pada konsentrasi 2 ppm

serta lama perendaman 18 jam. Kepadatan larva dalam bak pemeliharaan

yaitu 20 ekor per 4 liter air. Setelah dilakukan perendaman dengan umur

larva yang berbeda (0, 7, 14 dan 21 hari), lobster dipelihara selama 40 hari

dengan kepadatan 20 ekor per 4 liter air. Selama pemeliharaan lobster

diberi pakan berupa pelet yang sudah dihancurkan dengan pemberian

pakan 2 kali sehari yaitu pagi dan sore. Setelah itu dilakukan pengamatan

parameter yaitu parameter utama meliputi pembentukan kelamin jantan

yang diamati setiap 10 hari sekali dan kelulushidupan pada awal dan akhir

pengamatan, serta parameter penunjang yaitu laju pertumbuhan yang

diamati setiap 10 hari sekali dan pengukuran kualitas air pada pagi dan

sore hari selama pemeliharaan.

a. Parameter Utama

1. Jumlah pembentukan alat kelamin jantan yang diamati secara

morfologi. Pengamatan jenis kelamin jantan dilakukan dengan

menggunakan loop berdasarkan ciri-ciri yang ada yaitu memiliki

pethasma yang terdapat di kedua pangkal pereiopod kelima. Pengamatan dilakukan 20 hari sekali setelah pemberin hormon


(36)

Menurut Effendi (1979), rasio pembentukan kelamin jantan dapat

ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :

J (%) = (A/T) x 100%

Keterangan : J = presentase jenis kelamin jantan (%)

A = jumlah lobster berkelamin jantan

T = jumlah sampel lobster yang diamati

2. Survival rate (kelulushidupan) dimana menentukan jumlah larva lobster yang mati dari awal perlakuan sampai akhir penelitian.

Selanjutnya dapat ditentukan dengan menghitung rasio

kelulushidupan dengan rumus sebagai berikut :

SR (%) = x 100%

Keterangan :

SR = survival rate / rasio kelulushidupan larva (%)

Nt = total lobster hidup pada akhir penelitian

No = total lobster hidup pada awal penelitian

(Effendi,1979).

b. Parameter Penunjang

1. Pertumbuhan lobster air tawar dihitung setiap 10 hari dimulai setelah

pemberian perlakuan terhadap 20 sampel larva, dimana yang

dihitung yaitu pertambahan panjang dan berat larva lobster air tawar.


(37)

sorong (sesuai dengan ukuran larva lobster), sedangkan pertambahan

berat tubuh larva lobster ditimbang dengan neraca O’Hauss,

kemudian rata – rata pertumbuhan yang dihitung berdasarkan waktu pemeliharaan. Menurut Tacon (1987) untuk menentukan

pertumbuhan lobster air tawar dapat dilakukan perhitungan sebagai

berikut :

SGR= x 100 %

Keterangan :

SGR = Standard Growth Rate / laju pertumbuhan standar larva

Wt = berat tubuh larva pada pengamatan terakhir

Wo = berat tubuh larva pada pengamatan awal

T = waktu antar pengamatan

2. Jumlah lobster yang cacat atau mengalami kelainan morfologi

diamati dengan menggunakan loop pada hari ke 40, kemudian

dihitung presentase lobster yang cacat dengan menggunakan

perhitungan menurut Sarida (2008), sebagai berikut :

C (%) = (A / T) x 100%

Keterangan :

C = presentase lobster cacat (%)

A = jumlah lobster cacat


(38)

3. Pengukuran kualitas air diamati 2 kali sehari pada pukul 06.00 WIB

dan 17.00 WIB yang meliputi:

1. Dissolved oxygen (DO) yang diukur dengan DO meter elektrik.

2. pH yang diukur dengan pH meter elektrik.

3. suhu yang diukur dengan termometer.

4. salinitas air yang diukur dengan refraktometer.

6. Rancangan Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental

dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dan umur larva yang berbeda

sebagai kelompok yaitu 0, 7, 14, dan 21 hari dengan perlakuan pemberian

ekstrak steroid teripang pasir (Holothuria scabra) dengan dosis 2 ppm dan dilakukan perendaman selama18 jam. Masing – masing perlakuan diulang sebanyak 4 kali, dan setiap akuarium digunakan untuk memelihara 20 ekor

larva. Data hasil perlakuan akan diuji dengan analisis ragam (Anara) dan jika

terdapat perbedaan nyata maka diuji dengan uji BNT (Beda Nyata Terkecil)


(39)

V. KESIMPULAN Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tentang penggunaan ekstrsak steroid teripang

pasir pada umur larva yang berbeda terhadap keberhasilan pembentukan

monoseks jantan lobster air tawar, maka dapat disimpulkan.

1. Umur larva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang paling efektif dalam pembentukan monoseks jantan adalah 14 hari sebesar 93,25%.

2. Kelulushidupan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) tertinggi pada kontrol 86% dan umur 21 hari 75%, sedangkan terendah pada larva umur 0

hari 26%.

3. Berat total lobster air tawar tertinggi pada umur 21 hari (2,0125 gr) dan

panjang total lobster air tawar tertinggi pada umur 14 (3,89 cm) dan 21

hari (3,9025 cm).

4. Kualitas air selama 40 hari pemeliharaan masih dalam kisaran baik yaitu

suhu 27,71 – 28,45 oC, DO 5,77 – 7,71 mg/L dan pH yaitu 6,05 – 6,81.

Saran

Saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian ini adalah :

dilakukan penelitian lanjutan dengan lobster air tawar (Cherax

quadricarinatus) khusus umur 14 hari dengan konsentrasi steroid teripang pasir yang beragam.


(40)

DAFTAR PUSTAKA

Affandi,R., dan U. Tang. 2006. Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau . Riau. 217p. Anonim. 2010. Seri Budaya Ternak :Pedoman Budidaya Lobster Air Tawar.

Nuansaaulia. Bandung.

Aquafarm. 2009. Sand fish. http://www.aquafarm.biz/index.php?s=11&x=1. Diakses pada Selasa, 15 Maret 2011, pukul 10.05 WIB.

Aquakultur, B. 2011. Seks Reversal. http://riradevhinya.blogspot.com/2011/03/ seks-reversal.html. diakses pada tanggal 06 Oktober 2011

pada pukul 11.38 WIB.

Arisandi, A.2007. Efektivitas Ekstrak Steroid Teripang Untuk Memanipulasi Kelamin Udang Galah. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Artikel Kimia. 2010. Identifikasi Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Indonesia. http://www.artikelkimia.info/identifikasi-steroid-teripang-pasir-holothuria-scabra-indonesia-03522102102011. Diakses pada 06 Oktober 2011 pukul 22.36 WIB.

Aulina, L. 2013. Anatomi dan Morfologi Lobster. http://lytauliana.wordpress com/2013/04/10/anatomi-morfologi-lobster/. Di akses 2 November 2013 15. 20 WIB.

Bisnis Indonesia. 2006. Perikanan: Pasar Lobster Air Tawar Makin Bergairah. http://www.lobsterairtawar.com/berita_lat.htm. Diakses pada 08 Oktober 2011 pukul 22.56 WIB.

Bisnis U.K.M. 2011. Potensi Teripang dan Segudang Manfaatnya.

http://bisnisukm. com/potensi-teripang-dan-segudang-manfaatnya.html. Diakses pada 05 Oktober pukul 01.04 WIB.

Boyd. C.E., 2003. Bottom Soil and Water Quality Management in Shrimp Ponds. The Haworth Press, Inc. pp. 11-33.

Chrism. 2010. The Ecology of Holothuria scabra! The CUKE-SEAGRASS Connection. http://echinoblog.blogspot.com/2010/06/ecology-of-holothuria-scabra-cuke-sea.html. Diakses pada 04 Oktober 2011 pada 20.37 WIB.


(41)

Cittleborough, R.G. 1975. Environmental Factors, Panulirus longipes (Milne Edwards) Aust. J. Mar And Freswater. Res. 26 : 177-196.

Darsono, P. 2005. Teripang (Holothurians) Perlu Dilindungi. Bidang Sumberdaya Laut, Puslit Oseanografi – Lipi, Jakarta.

Duniadinu. 2010. Kualitas Air Untuk Budidaya. http://duniadinu.blogspot.com /2010/10/sumber-dan-kualitas-air-untuk-budidaya.html. Diakses 10 Oktober 2013pukul 12.23 WIB.

Effendi, M. S. 1979. Metode Biologi Perikanan. PT GramediaPustaka Utama. Jakarta.

Fatih.A. 2013. Cara Mudah Budidaya Lobster Air Tawar.http://kencanalobster. blogspot.com /2013/02/cara-mudah-budidaya-lobster-air-tawar.html. Diakses 10 Oktober 2013 pukul 12.36 WIB.

Fulierton, D.S. 1980. Steroid dan Senyawa Terapetik Sejenis. Buku teks Wilson dan Gisvold. Kimia Farmasi dan Medicinal Organik. Editor : Doerge R.F. Edisi VIII, Bagian II. J.B. Lippincott Company. Philadelphia – Toronto. USA. Hal. 675-754.

Gasper’s, V., 1991. Metode Perancangan Percobaan. Armico. Bandung. Guerrero, R.D. 1982. Sex Use of Androgens for The Production of All Male

Tilapia aurea (Steindachner). Reprinted from Transaction of The American Fisheries Society. Vol. 104.

Hakim, R.R.2008. Peningkatan Keberhasilan Pembentukan Monosex Jantan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Melalui Pemberian Hormon Metiltestosteron dengan Lama Perendaman yang Berbeda. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian-Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang.

Handajani, H. 2006. Pengujian Hormon Metiltestosteron Terhadap Keberhasilan Monosex Jantan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy). Jurnal Protein Fakultas Peternakan-Perikanan UMM, Vol. 13 No. 1 Malang.

Handoko. 2013. Habitat Dan Penyebaran Lobster Air Tawar. http://carabudidaya lobsterairtawar.blogspot.com/2013/05/habitat-dan-penyebaran-lobster-air-tawar.html. Di aksespada 3 November 2013 pukul 15.00 WIB. Hobikan. 2009. Teripang pasir. http://hobiikan.blogspot.com/2009/05/budidaya


(42)

Holthius, L.B. 1949. Decapoda Macrura with revision of the New Guinea parastacidae. Zoological result of the dutch New Guinae Expedition. Nova guinea: 59. 289 – 328

Johan Setiawan. 2013. Teripang. http://makalahteripang.blogspot.com/. Diakses pada 22 November 2013 pukul 19.00 WIB.

Kithakeni.T dan S.G.M. Ndaro. 2002. Some Aspects of Sea Cucumber, Holothuria scabra (Jaeger,1935), along the Coast of Dar es Salaam. Department of Zoology and Marine Biology, University of Dar es Salaam. Western Indian Ocean.

KPH Jember. 2006. Habitat Dan Penyebaran Lobster AirTawar.http://kphjember. com/files/CARA%20BUDIDAYA%20LOBSTER.pdf. Diakses pada 09 Oktober 2011 pukul 01.29 WIB.

Kustiariyah. 2006. Isolasi dan Uji Aktivitas Biologis Senyawa Steroid dari Teripang Sebagai Aprodisiaka Alami. Thesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Lukito, A dan S Prayugo. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Jakarta. Penebar Swadaya.

Matty, A.J. 1985. Fish Endrocinology. Timber press. Portland.

Martoyo, J., N. Aji dan T. Winanto.1994. Budidaya Teripang. Penebar Swadaya. Bogor.

Masduki, E. 2010. Sex Reversal. SUPM Negeri Bone. Sulawesi Selatan.

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. Croom Helm. Timbes Press. Oregon. USA. 264 pp.

Piferrer, F., S. Januy, M. Carrillo, I. I. Solar, R. H. Devlin and E. M. Donaldson. 1994. Brief Treatment With An Aromatase Inhibitor During Sex Differentiation Causes Chromosomally Female Salmon To Develop As Normal, Functional Males. Journal of Experimantal Zoology, 270:255-262. Wiley-Liss. Inc.

Potensi Negri Kami. 2010. Tekhnik Budidaya Lobster Air Tawar. http:// potensikami.blogspot.com/2010/07/teknik-budidaya-lobster-air-tawar.html. Diakses pada 08 Oktober 2011 pukul 23.06 WIB.

Pratiwi. 2010. Arthropoda. http://fahmilikhsan.blogspot.com/. Diakses pada 04 Oktober 2011 pukul 11.17 WIB.


(43)

Racotta, I.S., E. Palacios, and M.A Ibarra. 2003. Shrimp Larval Quality in Relation to Broodstock Condition. Aquaculture. 227 : 107 – 130. Ramadhan, W. 2008. Teripang Pasir Sebagai Sumber Testosteron Alami.

http://wahyuramadhan.blogspot.com/2008/08/teripang-pasir-sebagai-sumber.html. diakses pada 06 Oktober 2011 pukul 11.15 WIB.

Riata, R. 2010. Isolasi Steroid Teripang Pasir (Holothurias scabra). http://ritariata.blogspot.com/2010/01/isolasi-steroid-pada-teripang-pasir.html. Diakses pada 06 Oktober 2011 pukul 13.57 WIB. Rouse, D. B. 1997. Production of Australian Red Claw Crayfish. Auburn

University Alabama. UA. 11 halaman.

Royadi, 2011. Ciri Ciri Lobster Jantan dan Betina. http://lobster83.blogspot. com/2011/07/lobster-air-tawar.html. Diakses Tanggal 22 November 2013 Pukul 12.30 WIB.

Rumimoharto, K dan S. Juwana. 2005. Biologi Laut: Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Djambatan. Jakarta.

Sarida, M. 2008. Efektifitas Ekstrak Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Dalam Produksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man) Jantan. Jurusan Budidaya Perikanan. Fakultas Pertanian Universitas Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi –II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008. Hlm 197-208.

Satrio.A. 2009. Klasifikasi dan Struktur Anatomi Molusca . http://asatrio.

blogspot.com/2009/11/laporan-prakikum-biologi-klasifikasi.html. Diakses 2 November 2013 pukul 15. 30 WIB.

Satyantini, W.H., dan Mukti, A.T., 2006. Maskulinisasi Larva Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) dengan menggunakan 17α-Metiltestosteron. Kumpulan abstraksi pada seminar nasional hasil penelitian Perikanan dan Kelautan. Fakultas Perikanan. Universitas Brawijaya. Malang.

Setiawan,C. 2010. Jurus Sukses Budidaya Lobster Air Tawar. AgroMedia Pustaka. Jakarta.

Studivianto, G., 2007. Pengaruh Perendaman Benih Lobster Air Tawar Capit Merah (Cherax Quadricarinatus) Pada Umur Yang Berbeda Dalam Hormon Sintetik 17 Alpha Metiltestosteron Terhadap Persentase Kelamin Jantan. http://adln.lib.unair.ac.id/. Diakses pada tanggal 3 November 2013.

Sukmajaya, Y dan Suharjo. 2003. Mengenal Lebih Dekat Lobster Air Tawar, Komoditas Perikanan Prospektif. Agromedia Pustaka Utama. Sukabumi.


(44)

Sutaman, 1993. Petunjuk Peraktis Budidaya Teripang. Kanisius. Yogyakarta.

Tacon, A. 1987. The Nutrition and Feeding of Farmed and Shrimp – A Training Manual 3. Feeding Methods. The Field Document N0. 7/B.,

FAO-Italy.208 p.

Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Budidaya Lobster Air Tawar. Bandung. Nuansa Aulia.

Tripod. 2010. Tekhnik Budidaya (Secara Sex Reversal). http://mitra-bisnis. tripod.com/hiasbd.html. Diakses pada 06 oktober 2011 pukul 22.23 WIB.

Widha W. 2003. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lobster Air Tawar Jenis Red Claw (Cherax quadricarinatus, Von Martens; Crustace;

Parastacidae). Tesis. Bogor. Sekolah Pascasarjana. IPB.

Wiyanto, R.H. dan R. Hartono. 2003. Merawat Lobster Hias di Akuarium. Penebar Swadaya. Jakarta.

Yamamoto, T.O. 1969. Sex Differentiation. In: Fish Physiology (W.S.Hoar and D.J. Randall, eds), vol 3, pp. 117-175. Academic Press. New York.

Yoshikawa H, M. Oguri. 1981: Ovarian Differentiation In The Medaka, Oryzias Latipes, With Special Reference To The Gradient of The

Differentiation. Bull Jpn Soc Sci Fish 47:43–50.

Zairin, M.Jr. 2004. Memproduksi Benih Ikan Jantan atau Betina. Penebar Swadaya. Jakarta.


(45)

(46)

Tabel 1. Data hasil rasio pembentukan individu jantan pada 30 dan 40 hari pengamatan.

No Bak Rasio kelamin (%)(kelamin individu/jumlah sampel

2 Juni 2012 12 Juni 2012

J B J B

1 O-1 20 80 30 70

2 O-2 20 80 30 70

3 O-3 30 70 25 75

4 O-4 40 60 35 65

Rerata 27,5 62,5 30 70

1 A-1 66.66 33.34 66.66 40

2 A-2 60 40 60 28.58

3 A-3 66.66 33.34 66.66 25

4 A-4 71.42 28.52 71.42 22.23

Rerata 48.09 33.8 66.18 28.95

1 B-1 42.85 57.15 42.85 44.45

2 B-2 66.66 33.34 66.66 27.27

3 B-3 40 60 40 42.86

4 B-4 42.85 57.15 42.85 45.45

Rerata 48.09 51.91 48.09 40.00

1 C-1 100 0 100 0

2 C-2 100 0 100 0

3 C-3 82.35 17.65 82.35 17.65

4 C-4 81.81 18.19 90.90 9.1

Rerata 91.04 8.96 93.3125 6.68

1 D-1 78.94 21.06 78.94 21.06

2 D-2 62.5 37.5 62.5 37.95

3 D-3 81.81 18.19 81.82 18.18

4 D-4 71.42 28.52 85.71 14.29


(47)

Tabel 2. Rerata hasil penelitian rasio maskulinisasi juvenil lobster air tawar pada hari ke-40 pemeliharaan (16 Mei 2012)

Perlakuan

Ulangan SD

1 2 3 4

Control 30% 30% 25% 35% 120% 30% 4,082%

0 hari 66.66% 60% 66.66% 71.42% 265% 66.25% 4,694%

7 hari 42.85% 66.66% 40% 42.85% 192% 48% 12,452%

14 hari 100% 100% 82.35% 90.90% 373% 93.25% 8,474%

21 hari 78.94% 62.50% 81.82% 85.71% 309% 77.24% 10,212%

318% 319% 296% 326% 1259% 315% 39,914%

Keterangan : = rerata data

SD = standar deviasi data

Tabel 3. Hasil analisis ragam maskulinisasi lobster air tawar C.quadricarinatus dengan ekstrak steroid teripang pasir H. scabra pada umur yang berbeda pada hari ke-40

SK Derajat

Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung F Tabel

Kelompok 0.010299116 3 0.003433039 0.409245 3.490295

Perlakuan 0.977257203 4 0.244314301 29.1242* 3.259167

Galat 0.100664449 12 0.008388704

Total 1.088220768 19

Koefisien keragaman = ( 0,83/63) x 100% =1,446 %

Tanda * menunjukkan berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 5%

Tabel 4. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dalam taraf kepercayaan (α) = 5% maskulinisasi lobster air tawar C.quadricarinatus dengan ekstrak steroid teripang pasir H. scabra pada umur yang berbeda

Ket. S.E.M = Standard Error Mean data. Huruf yang tidak sama menunjukkan berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 95%

Perlakuan (perbedaa umur lobster air tawar)

Rasio juvenil jantan (%) ± S.E.M

0 hari (kontrol) 30±2,04e

0 hari 66,25±2,34c

7 hari 48±6,22d

14 hari 93,25±4,23a


(48)

Tabel 5. Data kelulushidupan juvenil lobster selama 40 hari pemeliharaan

No Bak 0 Kelulushidupan (rerata individu per bak = x / 20) 10 20 30 40

1 0 – 1 20 19 18 17 17

2 0 – 2 20 19 19 18 18

3 0 – 3 20 18 17 17 17

4 0 – 4 20 18 18 18 17

Rerata 100% 96,25% 95% 88% 86%

0 10 20 30 40

5 A – 1 20 17 9 3 3

6 A – 2 20 15 9 5 5

7 A – 3 20 18 11 6 6

8 A – 4 20 14 10 7 7

Rerata 100 80 9.75 5.25 5.25

0 10 20 30 40

9 B – 1 20 16 11 7 7

10 B – 2 20 14 14 9 9

11 B – 3 20 15 9 6 5

12 B – 4 20 17 10 7 7

Rerata 100% 15.5 11 7.25 7

0 10 20 30 40

13 C – 1 20 18 16 15 15

14 C – 2 20 18 17 15 15

15 C – 3 20 19 18 17 17

16 C – 4 20 15 13 11 11

Rerata 100% 17.5 16 14.5 14.5

0 10 20 30 40

17 D – 1 20 19 19 19 19

18 D – 2 20 18 18 16 16

19 D – 3 20 19 15 11 11

20 D – 4 20 19 14 14 14


(49)

Tabel 6. Rerata hasil penelitian kelulushidupan maskulinisasi lobster air tawar C.quadricarinatus dengan ekstrak steroid teripang pasir H. scabra pada umur yang berbeda pada hari ke 40 pengamatan

Perlakuan

Ulangan SD

1 2 3

Control 85% 90% 85% 85% 345% 86% 2,500%

0 hari 15.00% 25% 30.00% 35.00% 105% 26% 8,539%

7 hari 35.00% 45.00% 25% 35.00% 140% 35% 8,165%

14 hari 75% 75% 85.00% 55.00% 290% 73% 12,583%

21 hari 95.00% 80.00% 55.00% 70.00% 300% 75% 16,832

305% 315% 280% 280% 1180% 295% 48,619%

Keterangan : = rerata data

SD = standar deviasi data

Tabel 7. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dalam taraf kepercayaan

(α) = 5% maskulinisasi lobster air tawar C.quadricarinatus

dengan ekstrak steroid teripang pasir H. scabra pada umur yang berbeda

SK Derajat Bebas

Jumlah Kuadrat

Kuadrat Tengah

F Hitung F Tabel

Kelompok 0.019 3 0.006333333 0,483306836248023 3.490294821

Perlakuan 1.13175 4 0.2829375 21,5914149443562* 3.259166727

Galat 0.15725 12 0.013104167

Total 1.308 19

Koefisien keragaman = ( 1,31/59) x 100% =1,939%

Tanda * menunjukkan berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 5%

Tabel 8. Hasil uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dalam taraf kepercayaan (α) = 5% maskulinisasi lobster air tawar C.quadricarinatus dengan ekstrak steroid teripang pasir H. scabra pada umur yang berbeda

Ket. S.E.M = Standard Error Mean data. Huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata dalam taraf kepercayaan 95%

Perlakuan (perbedaa umur lobster air tawar)

Rasio juvenil jantan (%) ± S.E.M

0 hari (kontrol) 86 ± 1.25a

0 hari 26± 4,27e

7 hari 35± 4.08d

14 hari 73± 6,29c


(50)

Tabel 9 . Data berat total juvenil lobster air tawar selama 40 hari pemeliharaan (rerata berat total individu per bak)

No Bak Berat total / gram (rerata individu per bak)

0 10 20 30 40

1 0 – 1 0,06 0,09 0,13 0,15 0,17

2 0 – 2 0,05 0,10 0,13 0,19 0,23

3 0 – 3 0,04 0,10 0,14 0,15 0,17

4 0 – 4 0,05 0,11 0,13 0,15 0,19

Rerata 0,05 0,10 0,13 0,16 0,19

0 10 20 30 40

5 1 – 1 0,06 0,09 0,16 0,76 1,00

6 1 – 2 0,06 0,15 0,19 0,65 3,00

7 1 – 3 0,04 0,12 0,17 0,48 2,15

8 1 – 4 0,04 0,12 0,30 0,33 0,70

Rerata 0,05 0,12 0,21 0,55 1,71

0 10 20 30 40

9 2 – 1 0.9 0.20 0.45 0.97 1.33

10 2 – 2 0.10 0.23 0.55 1.02 1.40

11 2 – 3 0.13 0.18 0.57 0.93 1.26

12 2 – 4 0.12 0.23 0.63 1.0 1.37

Rerata 0.3125 0.21 0.55 0.98 1.34

0 10 20 30 40

13 3 – 1 0.13 0.33 0.84 1.05 1.50

14 3 – 2 0.21 0.41 0.87 1.06 1.62

15 3 – 3 0.24 0.35 0.77 1.09 1.43

16 3 – 4 0.27 0.47 0.81 1.05 1.44

Rerata 0.2125 0.39 0.8225 1.0625 1.4975

0 10 20 30 40

17 4 – 1 0.43 0.67 1.00 1.78 2.00

18 4 – 2 0.44 0.66 1.01 1.78 2.01

19 4 – 3 0.43 0.71 1.01 1.77 2.03

20 4 – 4 0.44 0.63 1.04 1.80 2.01


(51)

Tabel 10. Data panjang total juvenil lobster air tawar selama 40 hari pemeliharaan (rerata berat total individu per bak)

No Bak 0 Panjang total / Cm (rerata individu per bak) 10 20 30 40

1 0 – 1 1,00 1,26 1,40 1,85 2,00

2 0 – 2 0,90 1,36 1,50 1,77 2,13

3 0 – 3 0,90 1,30 1,50 1,22 2,00

4 0 – 4 0,80 1,30 1,48 1,80 2,13

Rerata 0.9 1.305 1.47 1.66 2.065

0 10 20 30 40

5 1 – 1 0.90 1.10 1.40 2.00 2.50

6 1 – 2 1.00 1.30 1.50 2.10 2.70

7 1 – 3 0.90 1.30 1.50 1.70 3.00

8 1 – 4 0.90 1.10 1.30 1.60 2.40

Rerata 0.925 1.2 1.425 1.85 2.65

0 10 20 30 40

9 2 – 1 1.10 1.70 2.7 2.20 3.30

10 2 – 2 1.00 1.20 1.90 2.40 3.60

11 2 – 3 1.20 1.30 1.80 2.50 3.30

12 2 – 4 1.10 1.30 1.90 2.70 3.50

Rerata 1.1 1.375 2.075 2.45 3.425

0 10 20 30

13 3 – 1 1.50 2.57 3.08 3.43 3.87

14 3 – 2 1.65 2.50 3.07 3.58 3.89

15 3 – 3 1.71 3.31 3.40 4.00 4.16

16 3 – 4 1.65 3.11 3.28 3.37 3.67

Rerata 1.6275 2.8725 40 3.595 3.8975

0 10 20 30 40

17 4 – 1 1.90 2.45 2.97 3.36 3.89

18 4 – 2 1.87 2.61 2,90 3.40 3.79

19 4 – 3 1.90 2.58 3.00 3.40 3.90

20 4 – 4 2.10 2.40 2.87 3.45 4.03


(52)

Tabel 11. Data suhu bak perlakuan selama 40 hari pemeliharaan

No Bak

Suhu oC

10 20 30 40

1 0 – 1 27.58 28.3 27.62 28.48

2 0 – 2 27.6 28.8 27.83 28.28

3 0 – 3 28.4 28.73 27.9 27.6

4 0 – 4 28 28.3 28.2 28.1

Rerata 27.895 28.5325 27.8875 28.115

5 1 – 1 28.5 28.3 27.6 26.9

6 1 – 2 28.2 28.1 27.3 28

7 1 – 3 27.5 27.78 27.1 28.1

8 1 – 4 27.1 27.4 28.2 27.4

Rerata 27.825 27.895 27.55 27.6

9 2 – 1 27.9 27.6 28.7 28

10 2 – 2 28.1 27.2 27.53 28.2

11 2 – 3 27.9 28.2 27.9 28.4

12 2 – 4 28.3 27.9 27.6 27.8

Rerata 28.05 27.725 27.9325 28.1

13 3 – 1 27.7 28.6 28.2 28.6

14 3 – 2 28.2 27.6 27.9 28

15 3 – 3 27.15 28.1 27.7 28.3

16 3 – 4 27.8 28.5 27.8 28.9

Rerata 27.7125 28.2 27.9 28.45

17 4 – 1 27.5 28.5 27.1 28.6

18 4 – 2 27.8 28.3 27.4 28.4

19 4 – 3 27.3 28.2 27.4 28.3

20 4 – 4 28.6 28 27.8 28.5


(53)

Tabel 12. Data pH bak perlakuan selama 40 hari pemeliharaan

No Bak

pH

10 20 30 40

1 0 – 1 6.43 6.37 6 6.2

2 0 – 2 6.36 6.38 6.1 6

3 0 – 3 6.07 6.38 6 6.4

4 0 – 4 6.36 6.37 6.5 6

Rerata 6.305 6.375 6.15 6.15

5 1 – 1 6.75 7 6.25 6.75

6 1 – 2 6.5 6.25 6.7 6.3

7 1 – 3 6.24 6.7 6.8 6

8 1 – 4 7 6.4 4.69 7

Rerata 6.6225 6.5875 6.11 6.5125

9 2 – 1 7 6.25 6.8 6.3

10 2 – 2 6.75 7 7 6.5

11 2 – 3 6.5 6.25 6.4 6.75

12 2 – 4 7 6.55 6 6.85

Rerata 6.8125 6.5125 6.55 6.6

13 3 – 1 6.5 6.36 7 6.13

14 3 – 2 6.17 6.33 6 6

15 3 – 3 6.25 6.29 6.5 6.1

16 3 – 4 6.08 6.4 6 6

Rerata 6.25 6.345 6.375 6.0575

17 4 – 1 6.33 6.35 6.15 6

18 4 – 2 6.17 6.33 6 6

19 4 – 3 6.89 6.73 6.17 6.12

20 4 – 4 6.17 6.33 6.16 6.15


(54)

Tabel 13. Data DO / oksigen terlarut bak perlakuan selama 40 hari pemeliharaan

No Bak

DO mg/L

10 20 30 40

1 0 – 1 6.31 6.01 6.36 5.04

2 0 – 2 5.36 5.82 6.48 6.59

3 0 – 3 6 6.69 6.25 5.07

4 0 – 4 5.43 6.59 5.67 5.68

Rerata 5.775 6.2775 6.19 5.595

5 1 – 1 6.54 6.46 6.57 6.13

6 1 – 2 6.62 6.57 6.29 7.02

7 1 – 3 5.78 6.82 6.22 5.89

8 1 – 4 5.9 6.87 6.2 6.99

Rerata 6.21 6.68 6.32 6.5075

9 2 – 1 7.03 7.16 7.15 6.85

10 2 – 2 6.75 6.3 6.73 6.17

11 2 – 3 6.77 6.44 6.82 7.07

12 2 – 4 6.85 6.83 6.24 6.72

Rerata 6.85 6.6825 6.735 6.7025

13 3 – 1 6.62 6.41 5.76 6.4

14 3 – 2 7.21 6.72 5.61 6.14

15 3 – 3 7.09 6.69 7.5 7.25

16 3 – 4 5.83 6.77 7.25 6.86

Rerata 6.6875 6.6475 6.53 6.6625

17 4 – 1 7.3 6.72 7.12 7

18 4 – 2 6.67 7.13 6.74 6.52

19 4 – 3 6.21 6.78 7.77 7.03

20 4 – 4 7.01 7.38 7.06 6.3


(55)

Tabel 14. Persentase jumlah juvenil lobster air tawar yang cacat pada hari ke-40 pemeliharaan

No Bak

% Juvenil

LAT Cacat

1 0 - 1 25

2 0 - 2 25

3 0 - 3 25

4 0 - 4 25

Rerata 25

5 1-Jan 33.3

6 2-Jan 20

7 3-Jan 0

8 4-Jan 0

Rerata 13.325

9 1-Feb 14.2

10 2-Feb 0

11 3-Feb 0

12 4-Feb 14.2

Rerata 7.1

13 1-Mar 20

14 2-Mar 26.6

15 3-Mar 35.3

16 4-Mar 9.1

Rerata 22.75

17 1-Apr 0

18 2-Apr 18.75

19 3-Apr 0

20 4-Apr 50


(56)

1. Pengeluaran dan pemisahan jeroan teripang dari daging teripang diikuti pengawetan sementara dalam freezer 4o C selama 24 jam

2. Ekstraksi lemak teripang dengan maserasi pada jeroan teripang dengan pelarut etanol menggunakan cara refluks dengan perbandingan bahan dan pelarut = 1 : 2 (berat / volum) yan dilakukan pada suhu 40o - 50o C selama 3 - 4 jam atau hingga pelarut habis, kemudian dipanaskan hingga seluruh pelarut terpisah dari ( suhu 55o C)

3. Supernatan hasil sentrifugasi dicampur dengan 50 mL KOH 1 M dan

direfluks kembali dalam suhu 70o C selama 1 jam, kemudian campuran hasil refluks didinginkan dengan penambahan aquadest sebanyak 100 mL

4. Campuran refluks dimasukkan ke dalam tabung pemisah dan disabunkan dengan dietil eter sebanyak 100 mL, kemudian dikocok dan diendapkan hingga diperoleh supernatan dan residu. Residu dipisah dan disabunkan kembali dengan cara yang sama hingga diperoleh supernatan kedua dan ketiga

5. Semua supernatan yang diperoleh digabungkan, dimasukkan ke dalam corong untuk dicuci dengan aquades 40 mL sebanyak 3 kali

6. Residu yang diperoleh dipisahkan dan ditambah dengan KOH 0,5 M 40 mL dan 1 tetes pp, kemudian dikocok dan didiamkan hingga terbentuk dua fasa 7. Dua fasa yang terbentuk dipisah, kemudian supernatan yang diperoleh

ditambahkan 40 mL aquades, dikocok, dan didiamkan kembali hingga terbentuk dua fasa, lalu dipisahkan kembali

8. Supernatan ditambah KOH 0,5 M 40 mL, dikocok, dan didiamkan kembali hingga terbentuk dua fasa, lalu dipisahkan kembali

9. Larutan yang diperoleh kemudian didestilasi hingga seluruh pelarut menguap (suhu 55 oC)

10. Ekstrak steroid dari teripang yang diperoleh selanjutnya dicampur dengan etanol 2,5 mL/L ekstrak sebagai pelarut


(57)

Gambar 15. Hasil Maserasi Ekstrak Organ Dalam Teripang Sebelum Proses Reflux


(58)

Gambar 17. Aquades, Labu Ukur dan Erlenmayer Untuk Pengukuran

Campuran Ekstrak Steroid Teripang Pasir

Gambar 18. Tata Letak Bak Percobaan


(59)

A B E

C D

Gambar 20. Peralatan Ukur Parameter Selama Penelitian Keterangan : A. Kaca Pembesar

B. Do Meter

C. Milimeter Blok Dan Mistar D. Neraca O’hauss

E. Thermometer


(60)

(1)

1.2. Pengeraman telur lobster dan aklimasi larva lobster

Pengeraman telur lobster dilakukan selama 3-5 minggu dengan kondisi pemeliharaan bak induk disesuaikan dengan kehidupan optimal lobster di alam. Pemijahan anakan dilakukan pada saat telur lobster telah menetas menjadi larva pada abdomen induk dan larva sudah tampak lepas dari abdomen induknya pada bak pemijahan. Selanjutnya aklimasi dilakukan pada larva lobster selama 2 minggu dengan pemberian pakan, kebutuhan oksigen, dan sanitasi bak yang dianggap konstan. 1.3. Pembuatan Ekstrak Steroid Teripang

Pembuatan ekstrak steroid teripang dilakukan dengan cara mengekstraksi lemak dengan metode maserasi menggunakan pelarut etanol dengan perbandingan teripang dan etanol 1:2. Lemak yang diperoleh kemudian disabunkan menggunakan kalium hidroksida1 M dan dilakukan refluks dengan suhu 700 C selama 1 jam. Untuk mendapatkan ekstrak steroid dilakukan ekstraksi menggunakan pelarut dietil eter sebanyak tiga kali. Pengeringan ekstrak steroid teripang dilakukan dengan menggunakan rotary vacum evapirator pada suhu 550C (Riata, 2010).

1.4. Seleksi Larva Lobster

Seleksi larva lobster air tawar dilakukan dengan melihat ciri-ciri morfologi lobster larva tersebut, seperti panjang tubuh yaitu 10 – 12 mm, dan kelengkapan organ. Larva yang diseleksi yaitu larvae yang berumur 0-2 minggu setelah pemijahan.

Pelaksanaan Penelitian

Pelaksanaan penelitian dilakukan dalam bak pemeliharaan larva lobster air tawar, yang diberi perlakuan perendaman ekstrak steroid teripang dalam bak pengamatan dengan umur larva yang berbeda yaitu 0,7,14 dan 21 hari dengan konsentrasi 2 ppm serta lama perendaman 18 jam. Kepadatan larva dalam bak pemeliharaan yaitu 20 ekor per 4 liter air. Setelah dilakukan perendaman dengan umur larva yang berbeda (0,7,14 dan 21 hari), lobster dipelihara selama 40 hari dengan kepadatan yang sama yaitu 20 ekor per 4 liter air dengan pemberian pakanberupa pelet pada pagi dan siang hari setelah itu dilakukan pengamatan sesuai parameter yang diinginkan. Parameter yang diamati yaitu :

Parameter Utama

Jumlah pembentukan alat kelamin jantan yang diamati secara morfologi. Pengamaatan jenis kelamin ini dilakukan dengan menggunakan lup berdasarkan ciri-ciri yang ada yaitu memiliki pethasma yang terdapat di kedua pangkal pereiopod kelima. Pengamatan dilakukan 20 hari sekali setelah perlakuan selesai.

Menurut Effendi (1979), rasio pembentukan kelamin jantan dapat ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :

J (%) = (A/T) x 100%

Keterangan : J = presentase jenis kelamin jantan (%)

A = jumlah lobster berkelamin jantan T = jumlah sampel lobster yang diamati Survival rate (kelulus hidupan) dimana menentukan jumlah larva lobster yang mati dari awal perlakuan sampai akhir penelitian. Selanjutnya dapat ditentukan dengan menghitung rasio


(2)

kelulushidupan dengan rumus sebagai berikut :

SR (%) = x 100% Keterangan :

SR = survival rate / rasio kelulushidupan larva (%)

Nt = total lobster hidup pada akhir penelitian

No = total lobster hidup selama penelitian (Effendi,1979).

Parameter Penunjang

Pertumbuhan lobster air tawar dihitung setiap 10 hari sekali dimulai setelah perlakuan selesai terhadap 20 sampel larva, dimana yang dihitung yaitu pertumbuhan panjang dan berat larva lobster air tawar. pertumbuhan panjang diukur dengan milimeter blok dan jangka sorong (sesuai dengan ukuran larva lobster), sedangkan pertambahan berat tubuh larva lobster ditimbang dengan neraca O’Hauss, kemudian rata– rata pertumbuhan yang disesuaikan dengan waktu pemeliharaan, Menurut Tacon (1987) ditentukan dengan perhitungan sebagai berikut :

SGR= x 100 %

Keterangan :

SGR = Standard Growth Rate / laju pertumbuhan standar larvae

Wt = berat tubuh larva pada pengamatan terakhir

Wo= berat tubuh larva pada pengamatan awal

T = waktu antar pengamatan

Jumlah lobster yang cacat atau mengalami kelainan morfologi diamati dengan menggunakan loop pada hari ke 60 pengamatan yang kemudian dihitung presentasenya dengan menggunakan

perhitungan menurut Sarida (2008), sebagai berikut :

C (%) = (A / T) x 100% Keterangan :

C = presentase lobster yang cacat (%) A = jumlah lobster cacat

T = jumlah sampel lobster yang diamati Pengukuran kualitas air yang diamati setiap 2 kali sehari pada pukul 06:00 WIB dan 17:00 WIB yang meliputi: 1. Dissolved oxygen (DO) yang diukur dengan DO meter elektrik

2. pH yang diukur dengan pH meter elektrik

3. suhu yang diukur dengan termometer 4. salinitas air yang diukur dengan refraktometer.

Hasil dan Pembahasan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa pemberian hormon steroid teripang pasir pada dosis yang sama (2 ppm) dengan perendaman selama 18 jam pada umur larva berbeda memberikan pengaruh yang nyata terhadap keberhasilan pembentukan monoseks jantan (maskulinisasi) lobster air tawar (P>0,05). Selanjutnya untuk mengetahui perbedaan masing-masing perlakuan dilakukan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) dan diketahui persentasi pembentukan monosex jantan tertinggi terdapat pada larva umur 14 hari (93,25%) dan terendah pada kontrol (30%). Padalarva umur 21 hari tingkat maskulinisasi lobster air tawar mencapai 77,24%. berbeda nyata (P>0,05) dengan larva umur 14 hari. Umur larvae 7 hari lebih rendah dibandingkan dengan larva umur 0 hari untuk tingkat rasio maskulinisasinya Hal ini sesuai dengan penelitian Sarida (2006) bahwa hormon steroid yang


(3)

diinduksi pada Crustacea dapat menstimulasi peningkatan tingkat testosteron, sehingga mengarahkan pada maskulinisasi. Guerero (1982) menyatakan bahwa keberhasilan pembentukan kelamin tergantung pada jenis dan dosis hormon, umur ikan (spesies), metode pemberian, waktu kontak dan lama pemberian. Pemberian dosis 2 mg/10 ekor yang menghasilkan persentase pembentukan monosex jantan tertinggi ini sesuai dengan harapan peneliti, yaitu dengan dosis yang rendah tetapi mampu menghasilkan kelamin jantan tertinggi. Selain itu pendapat dari Handajani (2006) menyatakan bahwa ada dua hal yang perlu diperhatikan untuk perangsangan yang efektif pada sex reversal, yaitu pertama, steroid yang diberikan ketika gonad masih belum terbentuk dan perlakuan dilakukan terus sampai terdifferensiasi, dan kedua, dosis yang digunakan harus cukup sesuai.

Perlakuan (perbedaan Umur lobster air tawar)

Presentase larva jantan (%)± S.E.M

Survival rate(%) X± S.E.M

0hari (kontrol)

30±2,04e 86 ± 1.25a

0 hari 66,25±2,34c 26± 4,27e

7 hari 48±6,22d 35± 4.08d

14 hari 93,25±4,23a 73± 6,29c

21 hari 77,24±5,10b 75± 8,41b

Tabel 1. Hasil perlakuan perbedaan umur larva lobster air tawar dengan perendaman ekstrak steroid teripang pasir terhadap ratio jantan dan sintasan/ survival rate.

Gambar 1. Tingkat ratio maskulinisasi (%) lobster air tawar (C. quadricarinatus) setelah perendaman dalam ekstrak steroid teripang pasir (H. scabra) dosis 2ppm selama 18 jam pada umur larva yang berbeda selama 40 hari pemeliharaan. (nilai rerata ± SD). Huruf berbeda menunjukkan adanya perbedaan antar antar perlakuan.

Dari hasil uji BNT terhadap umur larva yang berbeda menunjukkan perbedaan pemberian hormon steroid teripang pasir pada umur larva 14 hari memberikan hasil yang terbaik dalam pembentukan monosex jantan losbter air tawarsebesar 93,31 %. Hal ini menunjukkan bahwa umur larva lobster air tawar mempunyai pengaruh nyata terhadap pembentukan monosex jantan. Umur lobster air tawar 14 hari merupakan umur yang mulai menunjukan pengaruh hormon Steroid dalam meningkatkan testosteron. Pada saat larva umur 14 sudah mengalami difrensiasi kelamin, sehingga persentase pembentukan kelamin jantan memiliki angka tertinggi.

Tingkat kelulushidupan jumlah individu lobster pada perlakuan berbeda nyata antara perlakuan 0 hari (26%), 7 hari (35 %), 14 hari (73%) dan 21 hari (75%). Diduga karena perbedaan umur mempengaruhi tingkat kelulushidupan lobster air tawar, sehingga tingkat kelulushidupan lobster terus meningkat.


(4)

Affandi dan Tang (2006) menyatakan bahwa faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya kelulushidupan adalah faktor biotik antara lain kepadatan populasi, umur dan kemampuan organisme untuk beradaptasi dengan lingkungan, serta factor abiotik lingkungan pemeliharaan. Selain itu peningkatan agresifitas individu lobster yang terjadi secara acak pada individu lobster dalam pemeliharaan mungkin sebagai efek sekunder hormon.

Laju pertumbuhan spesifik lobster air tawar

Hasil pengukuran laju pertumbuhan spesifik (SGR) dan rerata pertumbuhan larva lobster selama 40 hari pemeliharaan didasarkan pada berat total dan panjang total, sedangkan jumlah larva lobster yang cacat ditentukan pada hari ke 40 (Gambar 2 dan Gambar 3).

Gambar 2. Rerata berat total larva lobster air tawar pada umurlarva yang berbeda selama 40 hari pemeliharaan

Gambar 3. Rerata panjang total larva lobster air tawar pada umur larva yang berbeda selama 40 hari pemeliharaan Rerata berat total larvae lobster air tawar tertinggi terdapat pada larva umur 21 hari yaitu 2,0125 gr dengan lama pengamatan 40 hari. Berat total larva umur 0 hari rerata selama 40 hari pengamatan mencapai 1,71 gr. Kemudian pada larva umur 14 hari rerata beratnya mencapai 1,49 gr selama 40 hari pengamatan. Selanjutnya rerata berat terendah terdapat pada kontrol yaitu 0,19 gr selama 40 hari pengamatan. Menurut Handajani (2006) bahwa rendahnya tingkat pertumbuhan pada perlakuan ini disebabkan tidak adanya pengaruh hormon steroid yang mempengaruhi aktivitas metabolisme, sehingga agresifitas makan ikan pada perlakuan ini tidak sebesar perlakuan yang diberi hormon.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata panjang total lobster air tawar selama 40 hari pengamatan meningkat pada semua perlakuan. Gambar 5 menunjukkan bahwa rerata panjang total antara larva umur 14 dan 21 hari cenderung sama yaitu 3,9 cm selama 40 hari pengamatan. Sedangkan rerata panjang total pada larva umur 7 hari mencapai 3,425 cm selama 40 hari pengamatan, selanjutnya rerata panjang total terendah pada kontrol yang hanya mencapai 2,065 cm selama 40 hari pengamatan. Pertumbuhan panjang memberikan pengaruh yang berbeda. Ini diduga karena hormon steroid menambah level androgen sehingga berpengaruh pada mekanisme kerja hormon pertumbuhan yang lebih cepat pada akhirnya menghasilkan laju pertumbuhan yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan kontrol yang tanpa pemberian ektrak steroid. Hal ini sesuai dengan pendapat Handajani (2006) bahwa hormon steroid


(5)

mempengaruhi pertumbuhan ikan baik jantan maupun betina. Namun untuk pertumbuhan lobster air tawar jantan lebih cepat dibandingkan dengan lobster pada umur yang sama. Perbedaan utama lobster air tawar terdapat pada pertumbuhan jantan dan betina yang tampak jelas dan telah menjadi karakteristiknya (Widha, 2003).

Tabel 1menunjukkan bahwa kecacatan tertinggi terjadi pada kontrol (25%) dan terendah pada umur larva 7 hari (7,1%). Hal ini menunjukkan bahwa ekstrak hormon steroid teripang pasir mengurangi resiko kecacatan. Pengamatan ini sesuai denganpenelitian Sarida (2008) dan Hakim (2008), yang menyebutkan bahwa penggunaan hormon steroid alami menghasilkan lebih sedikit residu hormon yang bersifat sitotoksik.

Nilai kualitas air selama 40 hari pemeliharaan lobster air tawar berada dalam kisaran yang cukup baikmeskipun terjadi peningkatan dan penurunan kualitas air selama penelitian. Suhu air berkisar antara 27,7 -28, 5 oC merupakan kisaran suhu yang masih baik karena tidak terlalu fluktuatif. Kandungan oksigen terlarut berkisar antara 5,7- 7,2 mg/l masih dalam kisaran baik. Kandungan pH yaitu 6,1-6,8pH cenderung mendekati pH normal 7.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan.

1. Umur larva lobster air tawar (Cherax quadricarinatus) yang paling efektif dalam pembentukan monoseks jantan adalah 14 hari 93,25%.

2. Kelulushidupan lobster air tawar (Cherax quadricarinatus)

tertinggi pada kontrol dan umur 21 hari.

3. Kualitas perairan pemeliharaan masih dalam kisaran baik.

Pustaka

Affandy,R., dan Tang, U. 2006. Fisiologi Hewan Air. Universitas Riau . Riau.217p.

Effendi, M. S. 1979. Metode Biologi Perikanan. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta

Guerrero, R.D. 1982. Sex Use of Androgens for The Production of All Male Tilapia aurea (Steindachner). Reprinted from Transaction of The American Fisheries Society. Vol. 104.

Hakim, R.R.2008. Peningkatan Keberhasilan Pembentukan

Monosex Jantan Lobster Air Tawar (Cherax quadricarinatus) Melalui Pemberian Hormon

Metiltestosteron dengan Lama Perendaman yang Berbeda. Jurusan Perikanan Fakultas Pertanian-Peternakan. Universitas Muhammadiyah Malang. Malang Handajani, H. 2006. Pengujian Hormon

Metiltestosteron Terhadap Keberhasilan Monosex Jantan Ikan Gurami (Osphronemus gouramy. Jurnal Protein Fakultas Peternakan-Perikanan UMM, Vol. 13 No. 1 Malang

Lukito, A dan S Prayugo. 2007. Panduan Lengkap Lobster Air Tawar. Penebar Swadaya, Jakarta. Masduki, E. 2010. Sex Reversal. SUPM


(6)

Riata, R. 2010. Isolasi Steroid Teripang Pasir (Holothurias scabra).

http://ritariata.blogspot.com/2010/0 1/isolasi-steroid-pada-teripang-pasir.html. Diakses pada 06 Oktober 2011 pukul 13.57 WIB Sarida, M. 2008. Efektifitas Ekstrak

Steroid Teripang Pasir (Holothuria scabra) Dalam Produksi Udang Galah (Macrobrachium rosenbergii De Man) Jantan. Jurusan Perikanan Fakultas Perikanan Universitas Lampung. Prosiding Seminar Nasional Sains Dan Teknologi –II 2008 Universitas Lampung, 17-18 November 2008. Hlm 197-208. Setiawan,C. 2010.Jurus Sukses

Budidaya Lobster Air Tawar. AgroMedia Pustaka. Jakarta. Sukmajaya, Y dan Suharjo. 2003.

Mengenal Lebih Dekat Lobster Air

Tawar, Komoditas Perikanan Prospektif. Agromedia Pustaka Utama. Sukabumi.

Tacon. A. G. J. 1987. Nutrition and Feeding of Farmed Fish and Shrimp, Goverment Cooperative Programme (FAO), Brasil. 79-80 pp.

Tim Karya Tani Mandiri. 2010. Pedoman Budidaya Lobster Air Tawar. Nuansa Aulia. Bandung. Tripod. 2010. Tekhnik Budidaya

(Secara Sex Reversal).

http://mitrabisnis.tripod.com/hiasbd .html. [06 oktober 2011]

Widha W. 2003. Beberapa Aspek Biologi Reproduksi Lobster Air Tawar Jenis Red Claw (Cherax quadricarinatus, Von Martens; Crustace; Parastacidae). Tesis. Sekolah Pascasarjana. IPB, Bogor.