PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERKARA PIDANA (Studi Putusan No: 191/Pid.B(A)/2011/PN.Tk)

(1)

Arsah

ABSTRAK

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK

SEBAGAI KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERKARA PIDANA (Studi Putusan No: 191/Pid.B(A)/2011/PN.Tk)

Oleh Arsah

Penangkapan yang dilakukan penyidik adalah suatu bentuk wewenang istimewa yang diberikan oleh undang-undang dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Namun realitanya proses penangkapan yang dilakukan penyidik terhadap tersangka yang diduga kuat telah melakukan suatu tindak pidana bisa jadi mengalami kekeliruan atau kesalahan-kesalahan sehingga mengakibatkan salah tangkap. Kasus salah tangkap bahkan dapat terjadi pada anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana. Skripsi ini akan membahas beberapa masalah yakni: (1) Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (2) Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana.

Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan yuridis empiris. Responden penelitian terdiri dari Hakim Pengadilan Negeri Kelas IA Tanjung Karang, Advokat Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung, dan Akademisi Fakultas Hukum Universitas Lampung bagian hukum pidana. Prosedur pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan studi lapangan.

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat disimpulkan bahwa (1) Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam sistem peradilan pidana Indonesia baru diatur secara umum belum mendapat perlindungan hukum secara khusus terhadap anak sebagai korban salah tangkap di dalam hukum perlindungan anak. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap tersebut yaitu melalui upaya hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 Ayat 1, 2, 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. (2) Faktor Penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana adalah terjadinya human error

pada penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehingga timbul korban salah tangkap; Aturan hukum yang terbatas


(2)

Arsah

mengenai sanksi terhadap pelaku salah tangkap; dan Masyarakat awam pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan kurang memahami mengenai perlindungan hukum korban salah tangkap.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka saran penulis adalah hendaknya bagi penyidik khususnya aparat kepolisian sebagai pelindung, pengayom, penjaga tertib masyarakat harus benar-benar profesional dalam melakukan prosedur penangkapan, penahanan, serta kekeliruan penerapan hukum terhadap pelaku, benar-benar sesuai dengan prosedur aturan yang berlaku, jangan sampai gegabah menangkap seseorang khususnya anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan. Sebaiknya tersangka tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum dalam praktek dilapangan.


(3)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERKARA PIDANA

(STUDI PUTUSAN NO: 191/PID.B(A)/2011/PN.TK)

Oleh

Arsah

Skripsi

Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar

SARJANA HUKUM

Pada

Bagian Hukum Pidana

Fakultas Hukum Universitas Lampung

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(4)

PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN SALAH TANGKAP DALAM PERKARA PIDANA

(STUDI PUTUSAN NO: 191/PID.B(A)/2011/PN.TK)

(Skripsi)

Oleh

Arsah

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

BANDAR LAMPUNG 2015


(5)

(6)

(7)

Moto

Jangan lihat masa lampau dengan penyesalan, jangan pula lihat masa

depan dengan ketakutan, tapi lihatlah sekitar anda dengan penuh

kesadaran

(James Thuber)

Tidak ada keberhasilan tanpa perjuangan

Dan tidak ada perjuangan tanpa pengorbanan


(8)

PERSEMBAHAN

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah, kupersembahkan karya kecilku ini untuk

orang-orang yang kusayangi :

Ayahandaku Dawas dan ibuku Solbiah tercinta, kasih sayang, segala dukungan,

dan cinta kasih yang tiada terhingga yang tiada dapat kubalas hanya dengan

selembar kertas yang bertuliskan kata cinta dan persembahan. Semoga ini menjadi

langkah awal untuk membuat ibu dan ayah bahagia karna kusadar salama ini

belum bisa berbuat yang lebih. Untuk ibu dan ayah yang selalu membuatku

termotivasi dan selalu menyirami kasih saying, selalu mendo akanku,selalu

menasehatiku menjadi lebih baik,

Terima kassih ibu.... terima kasih ayah....

Untuk kakaku Muhammad soleh dan adik-adikku masdi dan tonang, tiada yang

paling mengharukan saat kumpul bersama kalian, walaupun sering bertengkar tapi

hal itu selalu menjadi warna yang tak akan bisa tergantikan, terima kasih atas

do a dan bantuan kalian selama ini, hanya karya kecil ini yang dapat aku

persembahkan. Maaf belum bisa menjadi panutan seutuhnya, tapi aku akan selalu

menjadi yang terbaik untuk kalian semua.

Keluarga besar saya yang telah memberiku kelonggaran waktu sehingga aku dapat

melaksanakan perkuliahan hingga penyusunan skripsi sampai tuntas

Sahabat-sahabatku seperjuangan dan mengisi hari-hariku melewati suka dan duka

dan semua teman-teman yang tak mungkin penulis sebutkan satu-persatu,

Almamaterku tercinta universitas lampung yang telah mendidik serta


(9)

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama Arsah, dilahirkan di Karangsia Palembang pada tanggal 02 Oktober 1994. Penulis merupakan putra kedua dari empat bersaudara, dari pasangan Bapak Dawas dan Ibu Solbiah. Penulis menempuh pendidikan, Sekolah Dasar Negeri 03 Dwi Warga Tunggal Jaya Tulang Bawang diselesaikan pada tahun 2005, Sekolah Menengah Pertama Negeri 06 Banjar Agung Tulang Bawang diselesaikan pada tahun 2008, sekolah Menengah Atas Negeri 01 Pagar Dewa Tulang Bawang Barat diselesaikan pada tahun 2011, pada tahun 2011 penulis diterima sebagai Mahasiswa Fakultas Hukum Univesitas Lampung.


(10)

i

SAN WACANA

Alhamdulillahirabbil ’alamin, segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat

Allah SWT, sebab hanya dengan kehendaknya maka penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul: “perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (studi putusan no: 191/pid.b(a)/2011/pn.tk)”.

Penulis menyadari pastilah masih banyak kekurangan dan ketebatasan dalam penulisan skripsi ini, oleh karna itu, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan dalam penyempurnaan skripsi ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa selama proses penyusunan sampai dengan terselesaikannya skripsi ini, penulis mendapatkan bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, dalam kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Heryandi, S.H., M.S. selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Lampung

2. Ibu Diah Gustiniati, S.H., M.H., selaku Ketua Bagian Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Lampung

3. Ibu Dr. Erna Dewi, S.H., M.H., selaku pembimbing I yang telah membimbing saya dalam menyelesaikan skripsi ini dengan penuh kesabaran, memberikan saran, serta nasehat yang amat berharga bagi saya


(11)

ii

4. Bapak Gunawan Jatmiko, S.H., M.H., selaku pembimbing II yang sangat sabar membimbing saya, dan meluangkan waktu untuk saya dan memberikan motivasi, jalan, saran dan juga kritik dalam proses penyelesaian skripsi ini 5. Bapak Tri Andrisman, S.H., M.H., selaku pembahas I yang telah memberikan

saran dan kritik yang sangat bermanfaat

6. Bapak Budi Rizki Husin, S.H., M.H., selaku pembahas II masukan dan saran yang diberikan selama proses perbaikan skripsi ini

7. Seluruh dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama menempuh studi

8. Seluruh staf dan karyawan Fakultas Hukum Universitas Lampung yang telah memberikan bantuan kepada penulis selama menempuh studi

9. Ayahanda dan Ibunda tercinta buat segala do’a dan dukungannya baik moril maupun materil sebagai bentuk limpah kasih sayang yang tak terkira telah diberikan kepadaku sampai saat ini juga. Terima kasih atas kesabarannya dalam mendidk saya. Dan mendukungku dalam menyelesaikan skripsi ini 10. Pengadilan Negeri Kelas A1 Tanjung Karang, Advokat Lembaga Bantuan

Hukum Bandar Lampung yang telah memberikan izin penelitian, saran serta masukan kepada penulis demi terselesaikannya skripsi ini

11. Teman-teman seperjuanganku (Yayang, Dika, Tara, Andre Jevvi Surya, Marwan, Ivan, Enaldo, Alsan, Ajo Andri, Adnan, Hilman, Jandri, Shofi, Lady Usa, Mia Nahsya, Prisca Samosir, Cindy Ganesha)

12. Sahabat-sahabat ku (oman, viktor, sapri, rudi, subhan) terima kasih atas semangat yang selalu diberikan kepada penulis


(12)

iii

13. Teman-teman KKN Tematik Unila 2011 Lampung Timur kecamatan Pasir Sakti

14. Seluruh angkatan 2011, terutama teman-teman Jurusan Pidana 2011 atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya

15. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu telah membantu penulis menyelesaikan skripsi ini, terima kasih atas semua bantuan, kerelaan dan dukungannya.

16. Almamater tercinta Universitas Lampung

Hendak kepada Allah SWT memanjatkan doa, semoga semua kebaikan dan amal baik yang telah diberikan kepada penulis akan mendapatkan balasan pahala dari sisi Allah SWT, dan akhir kata penulis berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat.

Bandar Lampung, Agustus 2015 Penulis


(13)

DAFTAR ISI

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup ... 8

1. Permasalahan... 8

2. Ruang Lingkup ... 8

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 8

1. Tujuan Penelitian ... 8

2. Kegunaan Penelitian... 9

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual ... 9

1. Kerangka Teoritis ... 9

2. Konseptual... 13

E. Sistematika Penulisan... 15

II. TINJAUAN PUSTAKA A. Hukum Perlindungan Anak ... 16

B. Korban ... 19

1. Pengertian Korban ... 19

2. Jenis-Jenis Korban ... 20

C. Penangkapan dan Penahanan ... 21

1. Penangkapan ... 21

2. Penahanan ... 22

D. Syarat Sahnya Penangkapan... 24

E. Tinjauan Salah Tangkap (Error in Persona)... 25

F. Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Salah Tangkap ... 26

1. Upaya Hukum Praperadilan ... 26

2. Upaya Hukum Biasa ... 28


(14)

III. METODE PENELITIAN

A. Pendekatan Masalah ... 33

B. Sumber Data dan Jenis Data ... 33

C. Penentuan Responden ... 35

D. Proses Pengumpulan dan Pengolahan Data ... 35

1. Prosedur Pengumpulan Data ... 35

2. Prosedur Pengolahan Data ... 36

E. Analisis Data ... 37

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Karakteristik Responden ... 38

B. Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Salah Tangkap dalam Perkara Pidana (Studi Putusan No. 191/Pid. B(A)/2011/PN.TK) ... 40

C. Faktor Penghambat dalam Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Salah Tangkap dalam Perkara Pidana ... 48

V. PENUTUP A. Simpulan... 55

B. Saran ... 56

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN


(15)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penegak hukum dalam menjalankan tugas memberantas kejahatan atau tindak pidana sesuai dengan kewenangannya mempunyai tujuan untuk melindungi masyarakat dari berbagai macam perbuatan menyimpang yang bertentangan dengan norma hukum di Indonesia. Dalam melaksanakan penegakan hukum, sudah menjadi kewenangan dalam hal berbuat dan bertindak memerangi segala bentuk penyimpangan norma hukum. Kendati demikian penegak hukum juga wajib memperhatikan hak-hak asasi yang dimiliki oleh setiap orang sebagai warganegaranya, hal tersebut sesuai dengan Pasal 28 D Undang-Undang Dasar 1945, yaitu Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. Dengan adanya hal itu menunjukan bahwa setiap warganegara mempunyai hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama di hadapan hukum.

Hukum pidana bertujuan untuk melindungi dan menyelamatkan individu atas adanya kejahatan dalam masyarakat, sehingga tujuan tersebut harus dijaga agar tidak dimungkinkan kejahatan yang lolos disebabkan kesalahan dalam penyidikan atau mungkin sebaliknya tidak ada kejahatan yang oleh karena cara penyidikan yang keliru menyebabkan orang yang tidak bersalah menderita dan di hukum tanpa salah karena dicap sebagai penjahat.


(16)

2

Perkembangan tindak pidana dalam kehidupan masyarakat di Indonesia saat ini semakin meningkat, melihat berbagai macam tindak pidana dengan modus tertentu dan baru serta dilakukan oleh individu maupun secara berkelompok sudah mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat. Peran pemerintah sebagai penegak hukum sangatlah dibutuhkan melihat maraknya kejahatan yang dilakukan semakin meresahkan masyarakat secara universal. Kejahatan yang terjadi saat ini bukan hanya dapat dilakukan oleh orang dewasa saja, melainkan anak-anak pun dapat melakukan tindak pidana.

Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) mencatat sebanyak 2.008 kasus kriminalitas yang dilakukan anak usia sekolah terjadi di sepanjang kuartal pertama 2012. Jumlah itu meliputi berbagai jenis kejahatan seperti pencurian, tawuran, dan pelecehan seksual, dan kejahaan lainnya yang dilakukan siswa SD hingga SMA. Berdasarkan data yang diperoleh Komnas PA, pada 2010 terjadi 2.413 kasus kriminal anak usia sekolah. Jumlah itu kemudian meningkat di 2011, yakni sebanyak 2.508 kasus. 1

Pada tahun 2013 terdapat peningkatan kejahatan yang dilakukan oleh anak yaitu, 3. 339 kasus pelanggaran terhadap anak dan 62 persenmerupakan kejahatan seksual. Dari jumlah 3. 339 kasus pelanggaran terhadap anak, 16 persen diantaranya kejahatan dilakukan oleh anak dengan usia dibawah 14 tahun.

1

puskominfo.bid.humaspoldametrojaya..blogspot.com/2012/05/2.html. Diakses pada 11 Maret 2015 Pukul 12.17 WIB.


(17)

3

Kejahatan yang dilakukan oleh anak seperti pencurian, narkotika dan pemerkosaan.2

Penjelasan umum Undang-undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Anak menyebutkan : “Anak adalah bagian yang tidak terpisahkan dari keberlangsungan hidup manusia dan keberlangsungan sebuah bangsa dan negara. Dalam konstitusi Indonesia, anak memiliki peran strategis yang secara tegas dinyatakan bahwa negara menjamin hak setiap anak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai dengan Pasal 28B Undang- Undang Dasar (UUD) 1945. Oleh karena itu, kepentingan terbaik bagi anak patut dihayati

sebagai kepentingan terbaik bagi kelangsungan hidup umat manusia”.

Konsekuensi dari ketentuan Pasal 28B ayat (2) Undang- Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 perlu ditindak lanjuti dengan membuat kebijakan pemerintah yang bertujuan melindungi anak. Dalam rangka melaksanakan Pasal 28B ayat (2) UUD 1945, Pemerintah Republik Indonesia telah megesahkan diantaranya : Undang-undang No. 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Undang-undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan diubah menjadi Undang- Undang No. 35 tahun 2014, dan Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak atau yang sering disebut sebagai Undang-UndangSPPA.

Negara Indonesia yang juga menjadi pihak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (Convention on the Rights of the Child) yang mengatur prinsip perlindungan

2

http://rri.co.id/post/berita/121954/nasional/gawat_pelaku_kejahatan_yang_melibatkan_ anak_jumlahnya_meningkat.html. Diakses pada 13 Maret 2015 pukul 15.07 WIB


(18)

4

hukum terhadap anak mempunyai kewajiban untuk memberikan perlindungan khusus terhadap anak yang berhadapan dengan hukum.

Anak perlu mendapat perlindungan dari dampak negatif perkembangan pembangunan yang cepat, arus globalisasi di bidang komunikasi dan informasi, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta perubahan gaya dan cara hidup sebagian orang tua yang telah membawa perubahan sosial yang mendasar dalam kehidupan masyarakat yang sangat berpengaruh terhadap nilai dan perilaku anak. Penyimpangan tingkah laku atau perbuatan melanggar hukum yang dilakukan oleh anak, perlu secepatnya di tangani oleh aparat penegak hukum.3

Salah satu lembaga penegak hukum yang ada di Indonesia yaitu Kepolisian Negara Republik Indonesia. Kepolisian adalah hak-ihwal berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kepolisan pada intinya adalah aparat penegak hukum yang bertugas dan bertanggung jawab atas ketertiban umum, keselamatan dan keamanan masyarakat hal ini tertera pada Pasal 4 Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Kepolisan merupakan lembaga yang pertama kali harus dilalui dalam proses peradilan pidana. Oleh karena itu mempunyai wewenang untuk melakukan serangkaian tindakan mulai dari penyelidikan, penyidikan, penahanan, penyitaan, sampai ditemukan suatu kejahatan yang diduga telah di lakukan.

3

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Bandung : PT Refika Aditama, hlm 13.


(19)

5

Kewenangan kepolisan sebagai penegak hukum dalam hal bertindak memerlukan kecermatan dan ketelitian dalam mengungkap suatu tindak pidana. Tanpa wewenang pejabat kepolisian itu tidak dapat melakukan tindakan apapun. Seringkali aparat kepolisian khususnya penyidik dalam mengungkap tindak pidana mengalami kendala dan masalah sehingga menimbulkan suatu tindakan salah tangkap. Tindakan salah tangkap yang dilakukan oleh penyidik kepolisian disebabkan tidak sesuainya prosedur dan ketidak hati-hatian serta mengakibatkan terjadinya penyimpangan hukum. Kurangnya bukti permulaan yang cukup dan didahului dengan tindakan gegabah dapat mengakibatkan tindakan salah tangkap.4 Dewasa ini banyak kasus salah tangkap terjadi di Indonesia.Sebagai contoh yaitu, anak dari kapten Giyarno TNI di Salatiga, Jawa Tengah yang menjadi korban salah tangkap. Caesar Alif Arya Pradana yang berumur 15 tahun, siswa Kelas IX-G SMP Negeri 4 Kota Salatiga, Alif menjadi korban salah tangkap oleh empat anggota Satuan Serse Polsek Tingkir, Kamis pada tanggal 18 September 2014 pukul 06.30 WIB. Dia di tangkap dihadapan teman-teman sekolahnya, tangannya diborgol, mulut ditutup lakban dan matanya di tutup kain. Kronologisnya ialah, pagi itu ada dua polisi yang datang ke sekolah korban dan masuk kedalam ruang kelas korban, lalu kedua polisi itu menggeledah tas korban, setelah menggeledah tas korban, polisi lantas membawa korban ke dalam mobil dengan kondisi diborgol, kemudian korban dianiaya, dipukul menggunakan sandal dan tangan untuk mengakui perbuatan yang tak pernah korban lakukan oleh empat anggota polisi. Mereka memaksa korban untuk mengakui terlibat dalam pencurian sepeda motor.Koban kemudian dibawa ke kawasan hutan karet Setro, di Desa Sukorharjo,

4

Ahmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan ( Judicial Prudence). Jakarta: Kencana. 2009. hlm 204.


(20)

6

Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang.Kemudian diinterogasi dan dianiaya lagi.Sekitar pukul 09.00 WIB, pelaku melepaskan borgol korban, termasuk kain yang menutup mata dan lakban dimulut korban.Korban baru dikembalikan ke sekolah.5Korban mengaku mendapat pukulan di bagian kaki, kepala dan hidungnya, sehingga hidungnya harus di operasi.Operasi dilakukan karena pada bagian hidungnya patah dan selalu mengeluarkan darah.6

Kasus serupa lainnya terjadi di Bandar Lampung, ada seorang anak bernama Deni Saputra yang dibebaskan oleh Pengadilan Negeri Tanjungkarang karena tidak terbukti dalam dakwaan perkara pencurian. Deni Saputra, anak yang sehari-hari menjadi pemulung, diduga menjadi korban salah tangkap. Oleh karena bukti, keterangan saksi dan semua unsur yang didakwaan tidak terbukti maka majelis membebaskan terdakwa saat di persidangan. Terungkap, jaksa Eka Saptarini dari Kejaksaan Negeri Tanjungkarang menunjukkan barang bukti yang tidak tercantum dalam berita acara pemeriksaan dari polisi. Seluruh saksi yang dihadirkan juga tidak ada yang melihat langsung aksi pencurian yang dilakukan oleh Deni, menurut berita acara pemeriksaan dari polisi, Deni mencuri mesin las, kompresor, gerinda dan sejumlah alat bengkel milik Iwan Erliansyah, tetapi di persidangan jaksa hanya menunjukkan bukti berupa satu buah kaleng susu bekas, baju milik terdakwa dan uang sebesar Rp.20.000,00 (dua puluh ribu rupiah).7

5

http://www.kaskus.co.id/thread/541da2ed0d8b465c038b4570/ini-kronologi-anak-tentara-yang-salah-tangkap-oleh-polisi/. Diakses pada tanggal 11 Maret 2015 pukul 12.30 WIB.

6

http://www.invormasi.com/kriminal/korban-salah-tangkap-anak-tni-harus-operasi/. Diakses pada tanggal 12 Maret 2015 Pukul 08.30 WIB.

7

http://article.wn.com/view/2011/03/10/Hakim_Bebaskan_Anak_Korban_Salah_Tangkap/Diakses pada tanggal 11 Maret Pukul 18.20 WIB.


(21)

7

Kronologisnya adalah pada tanggal 8 Januari 2011, berawal saat Deni dan Suharyanto hendak memulung untuk mencari botol minuman ringan di Pasar Kangkung Telukbetung. Di tengah perjalanan tiba-tiba mereka ditangkap oleh salah seorang petugas keamanan dan menyeret ke rumah Iwan Erliansyah. Mereka dihajar habis-habisan atau dianiaya dan dipaksa mengaku telah mencuri oleh sejumlah keluarga korban dan penyidik di markas Kepolisian Sektor Telukbetung Utara, Bandar Lampung. Ada bekas luka sundut rokok dan pemukulan ditubuh Deni. Mereka mengaku kaget dituduh mencuri karena lokasi pencurian yaitu bengkel las milik Iwan Erliansyah hingga saat ini tidak pernah diketahuinya.8

Anak yang sehari-hari bekerja sebagai pemulung itu sudah mendekam di penjara selama dua bulan lebih sejak 9 Januari 2011 lalu dan karena tidak terbukti sebagai pelaku pencurian maka Pengadilan Negeri Tanjungkarang membebaskan Deni dan Suharyanto.

Berdasarkan permasalahan dalam latar belakang tersebut maka perlu diadakan penelitian yang berjudul: Perlindungan Hukum terhadap Anak sebagai Korban Salah Tangkap dalam Perkara Pidana (Studi Putusan No : 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK).

8


(22)

8

B. Rumusan Masalah dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan

Berdasarkan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (Studi Putusan No : 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK)?

2. Apakah yang menjadi faktor penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (Studi Putusan No : 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK)?

2. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dalam penelitian ini adalah kajian hukum pidana, khususnya yang berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tankap dalam perkara pidana. Ruang Lingkup lokasi penelitian padaPengadilan Negeri Tanjung Karang, dan Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung. Ruang lingkup waktu penelitian adalah data yang ada pada tahun 2015.

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang, rumusan masalah dan pokok bahasan di atas , maka tujuan dalam penelitian ini adalah :


(23)

9

a. Untuk mengetahui perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (Studi Putusan No: 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK).

b. Untuk mengetahui apa yang menjadi penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (Studi Putusan No : 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK).

2. Kegunaan Penelitian

a. Kegunaan Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khazanah ilmu hukum, Khususnya hukum pidana yang terkait dengan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh korban salah tangkap dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

b. Kegunaan Praktis

Diharapkan hasil penelitian ini menjadi sumbangsi pemikiran terhadap masyarakat Indonesia, khususnya yang menjadi korban salah tangkap dalam perkara tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis

Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang merupakan abstraksi dan hasil pemikiran atau kerangka acuan yang pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan identifikasi terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan oleh peneliti.9Berdasarkan definisi tersebut maka kerangka teoritis yang digunakan

9


(24)

10

dalam penelitian ini adalah teori perlindungan hukum dan teori faktor-faktor yang menghambat penegakan hukum pidana.

a. Teori Perlindungan Hukum Anak

Menurut Fitzgerald , Teori perlindungan hukum Salmond bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dam mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyrakat karena dalam suatu lalulintas kepentingan, perlindunagn terhadap kepentingan tertentu dapat dilakukan dengan cara membatai berbagai kepentingandi lain pihak.10Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi.11

Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupkan kesepakatan masyarakat tersebut untuk mengatur hubungan prilaku antara angota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat.

Pengertian Perlindungan hukum anak adalah kegiatan yang menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berprestasi secara optimal sesuai dengan harkat manusia, serta mendapatkan perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi sesuai dengan Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. Dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

10

Satijipto Raharjo, Ilmu Hukum, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2000, hlm. 53.

11


(25)

11

perlindungan adalah segala upaya yang ditujukan untuk memberikan rasa aman kepada korban yang dilakukan oleh pihak keluarga, advokat, lembaga sosial, kepolisian, kejaksaan, pengadilan, atau pihak lainnya baik sementara maupun berdasarkan penetapan pengadilan. Sedangkan perlindungan yang tertuang dalam PP No. 2 Tahun 2002 adalah suatu bentuk pelayanan yang wajib dilaksanakan oleh aparat penegak hukum atau aparat keamanan untuk memberikan rasa aman baik fisik maupun mental, kepada korban dan saksi, dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun, yang diberikan pada tahap penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan.

Perlindungan terhadap anak korban salah tangkap dalam perkara pidana harus diperhatikan karena mereka sangat peka terhadap berbagai macam ancaman gangguan mental, fisik, dan sosial. Selain itu, kerap kali mereka tidak mempunyai kemampuan untuk memelihara, membela serta mempertahankan dirinya.

b. Teori Faktor-Faktor yang Menghambat Penegakan Hukum Pidana

Menurut Soerjono Soekanto, penegakan hukum bukan semata-mata pelaksanaan perundang-undangan saja, namun terdapat juga faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu sebagai berikut:

1) Faktor Perundang-undangan (Substansi hukum)

Praktek menyelenggaraan penegakan hukum di lapangan seringkali terjadi pertentangan antara kepastian hukum dan keadilan. Hal ini dikarenakan konsepsi keadilan merupakan suatu rumusan yang bersifat abstrak sedangkan


(26)

12

kepastian hukum merupakan prosedur yang telah ditentukan secara normatif. Kebijakan yang tidak sepenuhnya berdasarkan hukum merupakan suatu yang dapat dibenarkan sepanjang kebijakan tidak bertentangan dengan hukum. 2) Faktor penegak hukum

Salah satu kunci dari keberhasilan dalam penegakan hukum adalah mentalitas atau kepribadian dari penegak hukumnya sendiri. Dalam rangka penegakan hukum oleh setiap lembaga penegak hukum, keadilan dan kebenaran harus dinyatakan, terasa, terlihat dan diaktualisasikan.

3) Faktor sarana dan fasilitas

Sarana dan fasilitas yang mendukung mencakup tenaga manusia yang berpendidikan dan terampil, organisasi yang baik, peralatan yang memadai, keuangan yang cukup. Tanpa sarana dan fasilitas yang memadai, penegakan hukum tidak dapat berjalan dengan lancar dan penegak hukum tidak mungkin menjalankan peran semestinya.

4) Faktor masyarakat

Masyarakat mempunyai pengaruh yang kuat terhadap pelaksanaan penegakan hukum, sebab penegakan hukum berasal dari masyarakat dan bertujuan untuk mencapai dalam masyarakat. Semakin tinggi kesadaran hukum masyarakat maka akan semakin memungkinkan penegakan hukum yang baik.

5) Faktor Kebudayaan

Kebudayaan Indonesia merupakan dasar dari berlakunya hukum adat. Berlakunya hukum tertulis (perundang-undangan) harus mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar hukum adat. Dalam penegakan hukum, semakin


(27)

13

banyak penyesuaian antara peraturan perundang-undangan dengan kebudayaan masyarakat, maka akan semakin mudah menegakannya.12

2. Konseptual

Konseptual merupakan kerangka yang menghubungkan atau menggambarkan konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan dari arti yang berkaitan dengan istilah.13

Agar tidak terjadi kesalahpahaman pada pokok permasalahan, maka dibawah ini penulis memberikan beberapa konsep yang dapat dijadikan pegangan dalam memahami tulisan ini. Diuraikan berbagai istilah sebagai berikut :

a. Perlindunganhukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak asasi manusia.14

b. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.15

c. Korban adalah yang seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.16

12

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, 1986, hlm. 8-10.

13

Ibid.,hlm. 32.

14

Dikdik M, Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Hukum korban kejahatan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 200, hlm. 3.

15

Moeljatno, Perbuatan Hukum dan Pertanggungjawaban dalam Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, 1993, hlm. 40.

16


(28)

14

d. Korban Kejahatan adalah seseorang yang telah menderita kerugian sebagai akibat suatu kejahatan dan atau rasa keadilannya secara langsung telah terganggu sebagai akibat pengalamannya sebagai target (sasaran) kejahatan.17 e. Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik / polisi berupa pengekangan

sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang.18

f. Salah Tangkap adalah suatu tindakan penyidik dalam upaya untuk mencari pelaku tindak pidana ataupun upaya untuk menerangkan suatu peristiwa yang berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa tetapi dengan tanpa cukup bukti ataupun adanya kesalahan prosedur dalam tindakan penangkapan itu, sehingga terjadi salah tangkap terhadap orang yang diduga sebagai tersangka atau terdakwa.19

g. Tindak Pidana adalah suatu kelakuan/hendeling yang diancam pidana, bersifat melawan hukum yang berhubungan dengan kesalahan dan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab. 20

h. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas tahun), termasuk anak yang masih dalam kandungan.21

17

Rena Yulia, Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban Kejahatan, Yogyakarta: Graha Ilmu , 2010, hlm 51.

18

Pasal 1 Ayat (20) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

19

Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Jakarta: Sinar Grafika, 2002, hlm. 45.

20

Molejatno, Asas-Asas Hukum Pidana,Bandung: Rineka Cipta, 1983, hlm 56.

21


(29)

15

E. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dalam penulisan ini bertujuan agar lebih memudahkan dalam memahami penulisan skripsi ini secara keseluruhan. Sistematika penulisannya sebagai berikut :

I. PENDAHULUAN

Bab ini memuat tentang latar belakang permasalahan dan ruang lingkup penelitian, tujuan dan kegunaan, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan.

II. TINJAUAN PUSTAKA

Bab yang berisikan tentang pengertian-pengertian dari istilah sebagai latar belakang pembuktian masalah dan dasar hukum dalam membahas hasil penelitian.

III. METODE PENELITIAN

Bab ini menguraikan langkah-langkah atau cara yang dilakukan dalam penulisam yang meliputi pendekatan masalah, sumber dan jenis data, metode pengumpulan dan penolahan data serta analisis data.

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Bab ini berisi tentang pembahasan berdasarkan hasil penelitian terhadap permasalahan dalam penelitian ini.

V. PENUTUP

Bab yang berisi tentang kesimpulkan dari hasil pembahasan yang berupa jawaban dari permasalahan yang berdasarkan hasil penelitian serta berisikan saran-saran penulis.


(30)

16

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Hukum Perlindungan Anak

Sebuah Masyarakat yang di dalamnya memiliki individu yang mempunyai kepentingan yang tidak hanya sama tetapi dapat bertentangan, untuk itu diperlukan suatu pengaturan berupa hukum atau norma dalam menata kepentingan tersebut, khususnya mengenai kepentingan anak tentunya hal ini perlu diatur oleh ketentuan-ketentuan hukum yang berkaitan dengan perlindungan anak, yang disebut dengan Hukum Perlindungan Anak. Hukum Perlindungan Anak merupakan hukum yang menjamin hak-hak, kewajiban dan tanggung jawab anak. Hukum Perlindungan Anak dapat berupa Hukum Adat, Hukum Perdata, Hukum Pidana, Hukum Acara Perdata, Hukum Acara Pidana, dan peraturan lain yang berkaitan dengan anak.

Menurut Barda, perlindungan anak menyangkut berbagai aspek kehidupan dan penghidupan, agar anak benar-benar dapat tumbuh dan berkembang dengan wajar sesuai dengan hak asasinya memperhatikan berbagai dokumen dan pertemuan internasional, dapat dilihat bahwa kebutuhan terhadap perlunya perlindungan hukum terhadap anak dapat mencakup berbagai bidang/aspek, antara lain:

a. Perlindungan terhadap hak-hak asasi dan kebebasan anak; b. Perlindungan anak dalam proses peradilan;


(31)

17

c. Perlindungan kesejahteraan anak (dalam lingkungan keluarga, pendidikan, dan lingkungan sosial);

d. Perlindungan anak dalam masalah penahanan dan perampasan kemerdekaan; e. Perlindungan anak dari segala bentuk eksploitasi (perbudakan, perdagangan

anak, pelacuran, pornografi, perdagangan atau penyalahgunaan obat-obatan, memperalat anak dalam melakukan kejahatan dan sebagainya);

f. Perlindungan anak-anak jalanan;

g. Perlindungan anak dari akibat-akibat peperangan/konflik bersenjata; h. Perlindungan anak terhadap tindakan kekerasan.1

Republik Indonesia telah memiliki pengaturan hukum yang telah disahkan dan menjadi undang-undang antara lain:

a. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak. b. Undang-Undang No 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

c. Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak. d. Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak mengatur tentang hukum acara dan ancaman pidana terhadap anak atau proses peradilan anak yang mana harus dibedakan dengan orang dewasa. Pembedaan perlakuan tersebut didasarkan atas pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial anak. Sanksi terhadap anak dibedakan berdasarkan perbedaan umur anak yang berarti dalam hal ini adalah pengertian tentang anak dimana menurut Pasal 1 ayat (1)

1

Barda Nawawi Arief. Masalah Perlindungan Hukum Bagi Anak., Makalah, Seminar Nasional Peradilan Anak Fakultas Hukum Universitas Padjajaran, Bandung, 1996, hlm. 3.


(32)

18

Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, anak adalah Orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin. Dalam Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yang menyebutkan bahwa anak nakal adalah :

a. Anak yang melakukan tindak pidana;atau

b. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak, baik menurut peraturan perundang-undangan maupun menurut peraturan hukum lain yang hidup dan berlaki dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pembedaan perlakuan dan ancaman yang diatur dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bertujuan untuk melindungi dan mengayomi anak agar dapat menyongsong masa depan serta untuk memberi kesempatan kepada anak melalui pembinaan ia akan memperoleh jati dirinya untuk menjadi manusia yang lebih bertanggungjawab dan berguna bagi diri sendiri, bangsa dan negara.

Pasal 2 Undang-Undang No.11 Tahun 2012 Tentang Peradilan Pidana Anak dilaksanakan berdasarkan asas:

1. Perlindungan; 2. Nondiskriminasi;

3. Kepentingan terbaik bagi anak; 4. Penghargaan terhadap pendapat anak;

5. Kelangsungan hidup dan tumbuh kembang anak; 6. Pmbinaan dan pembimbingan anak;


(33)

19

7. Proporsional; dan

8. Perampasan kemerdekaan merupakan upaya terakhir

Undang-Undang ini banyak memberikan rambu kepada aparat penegak hukum dalam rangka perlindungan kepada anak sebagai korban, saksi, maupun pelaku tindak pidana

B. Korban

1. Pengertian Korban

Secara etimologis korban adalah merupakan orang yang mengalami kerugian baik kerugian fisik, mental maupun kerugian finansial yang merupakan akibat dari suatu tindak pidana (sebagai akibat) atau merupakan sebagai salah satu faktor timbulnya tindak pidana (sebagai sebab). Sedangkan secara yuridis pengertian korban termaktub dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2006 tentang

perlindungan saksi dan korban, yang dinyatakan bahwa korban adalah “seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Melihat rumusan tersebut yang disebut korban adalah:

1. Setiap orang,

2. Mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau 3. Kerugian ekonomi

4. Akibat tindak pidana.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan saksi dalam pelanggaran Hak Asasi Manusia


(34)

20

yang Berat. “Korban adalah orang perseorangan atau kelompok orang yang yang

mengalami penderitaan sebagai akibat pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror

dan kekerasan pihak manapun”2

2. Jenis-jenis Korban

Perkembangan ilmu viktimologi selain mengajak masyarakat untuk lebih memperhatikan posisi korban juga memilah-milah jenis korban sehingga kemudian muncullah berbagai jenis korban, yaitu sebagai berikut:

a) nonparticipating victims yaitu mereka yang tidak peduli terhadap upaya penanggulangan kejahatan.

b) latent victims yaitu mereka yang mempunyai sifat karakter tertentu sehingga cenderung menjadi korban

c) procative victims yaitu mereka yang menimbulkan terjadinya kejahatan. d) participating victims yaitu mereka yang dengan perilakunya memudahkan

dirinya menjadi korban.

e) false victims yaitu mereka yang menjadi korban karena perbuatan yang dibuatnya sendiri.3

Stephen Schafer mengatakan pada prinsipnya terdapat empat tipe korban dilihat dari peranan korban dalam terjadinya tindak pidana, yaitu sebagai berikut:

a) Orang yang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, tetapi tetap menjadi korban. Untuk tipe ini, kesalahan ada pada pelaku.

b) Korban secara sadar atau tidak sadar telah melakukan sesuatu yang meransang orang lain untuk melakukan kejahatan. Untuk tipe ini, korban dinyatakan turut

2

Arif Gosita, Masalah Korban Kejahatan, Jakarta: PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia, 2004, hlm. 7.

3

Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan, antara Norma dan Realita, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 49.


(35)

21

mempunyai andil dalam terjadinya kejahatan sehingga kesalahan terletak pada pelaku dan korban.

c) Mereka yang secara biologis dan sosial potensial menjadi korban.

Anak-anak, orangtua, orang yang cacat fisik atau mental, orang miskin, golongan minoritas dan sebagainya merupakan orang-orang yang mudah menjadi korban. Korban dalam hal ini tidak dapat disalahkan, tetapi masyarakatlah yang harus bertanggung jawab.

d) Korban karena ia sendiri merupakan pelaku. Inilah yang dikatakan sebagai kejahatan tanpa korban. Pelacuran, perjudian, zina, merupakan beberapa kejahatan yang tergolong kejahatan tanpa korban. Pihak yang bersalah adalah korban karena ia juga sebagai pelaku.4

C. Penangkapan dan Penahanan 1. Penangkapan

Penangkapan adalah suatu wewenang yang diberikan oleh undang-undang kepada penyidik untuk menangkap seseorang yang diduga telah melakukan tindak pidana. Namun, penangkapan tidak dapat dilakukan secara sembarangan karena penangkapan pada hakekatnya merupakan pengurangan hak azazi seorang manusia. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) Pasal 1

ayat 20 disebutkan bahwa, ”Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa

pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal ini serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini”.

4


(36)

22

Masalah penangkapan merupakan bagian dan perhatian yang serius, karena penangkapan, penahanan, penggeledahan merupakan hak dasar atau hak asasi manusia dampaknya sangat luas bagi kehidupan yang bersangkutan maupun keluarganya. Jangka waktu penangkapan hanya berlaku paling lama untuk jangka waktu 1 hari (24 jam). Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan.

Perintah penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir. Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana. Mengenai alasan penangkapan atau syarat penangkapan tersirat dalam Pasal 17 KUHAP : (1) Seorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana


(37)

23

Pasal ini menunjukan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

2. Penahanan

Definisi Penahanan sebagaimana ketentuan Pasal 1 butir 21 KUHAP adalah penempatan tersangka atau terdakwa ditempat tertentu oleh Penyidik atau Penuntut Umum atau Hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur menurut undang-undang. Pada prinsipnya penahanan adalah pembatasan kebebasan bergerak seseorang yang merupakan pelanggaran terhadap hak asasi manusia yang harusnya dihormati dan dilindungi oleh negara.

Penahanan yang dilakukan terhadap tersangka/terdakwa oleh pejabat yang berwenang dibatasi oleh hak-hak tersangka/terdakwa dan peraturan-peraturan yang harus dilaksanakan secara limitatif sesuai dengan ketentuan-ketentuan dalam KUHAP. Adapun pihak-pihak yang berwenang melakukan penahanan dalam berbagai tingkat pemeriksaan sebagaimana ketentuan Pasal 20 KUHAP antara lain:

1. Untuk kepentingan penyidikan, yang berwenang melakukan penahanan adalah penyidik.

2. Untuk kepentingan penuntutan, yang berwenang adalah penuntut umum. 3. Untuk kepentingan pemeriksaan disidang Pengadilan, yang berwenang untuk

menahan adalah Hakim.

Tersangka atau terdakwa berhak mendapatkan Surat Perintah penahanan atau penahanan lanjutan yang berisikan Identitas Tersangkal/Terdakwa, Alasan


(38)

24

Penahanan, Uraian Singkat perkara kejahatan yang dipersangkutkan atau didakwakan, dan Tempat dimana Tersangka/Terdakwa ditahan. Tembusan Surat Perintah Penahanan atau Penahanan Lanjutan atau Penetapan Hakim itu, harus diberikan kepada keluarga tersangka atau terdakwa.

Jenis-jenis Penahanan yang diatur dalam Pasal 22 Ayat (1) adalah Penahanan Rumah Tahanan Negara, Penahanan Rumah serta Penahanan Kota. Penahanan rumah dilaksanakan di rumah tempat tinggal atau rumah kediaman tersangka atau terdakwa dengan mengadakan pengawasan terhadapnya untuk menghindarkan segala sesuatu yang dapat menimbulkan kesulitan dalam penyidikan, penuntutan atau pemeriksaan di sidang pengadilan. Sedangkan Penahanan Kota dilaksanakan di kota tempat tinggal atau tempat kediaman tersangka atau terdakwa, dengan kewajiban bagi tersangka atau terdakwa melapor diri pada waktu yang ditentukan.

D. Syarat Sahnya Penangkapan

Syarat penangkapan adalah seseorang tersangka diduga keras melakukan tindakan pidana dan dugaan kuat itu didasarkan pada permulaan bukti yang cukup.5 Sebelum dilakukan suatu penangkapan oleh pihak kepolisian maka terdapat syarat materiil dan syarat formil yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Yang dimaksud dengan syarat materiil adalah adanya suatu bukti permulaan yang cukup bahwa terdapat suatu tindak pidana. Sedangkan syarat formil adalah adanya surat tugas, surat perintah penangkapan serta tembusannya. Apabila dalam waktu lebih dari 1 x 24 jam, tersangka tetap diperiksa dan tidak ada surat perintah untuk melakukan penahanan, maka tersangka berhak untuk segera dilepaskan. Perintah

5

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan, Jakarta: Sinar Grafika, Hlm. 157.


(39)

25

penangkapan menurut ketentuan Pasal 17 KUHAP dilakukan terhadap seorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup. Berdasarkan penjelasan Pasal 17 KUHAP, definsi dari "bukti permulaan yang cukup" ialah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir .Pasal ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenang-wenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.

E. Tinjauan Salah Tangkap (Error In Persona)

Pengertian mengenai istilah error in persona tidak terdapat dalam KUHAP maupun peraturan perundang- undangan yang lain. Namun secara teori pengertian error in persona nini bisa ditemukan dalam doktrin pendapat ahli- ahli hukum. Secara harfiah arti dari error in persona adalah keliru mengenai orang yang dimaksud atau kekeliruan mengenai orangnya. Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus serta kesalahan dalam mengidentifikasikan korbannya. 6

Kekeliruan itu bisa terjadi pada saat dilakukan penangkapan, atau penahanan, atau penuntutan, atau pada saat pemeriksaan oleh hakim di pengadilan sampai perkaranya diputus. Pengertian ini tersirat dalam Pasal 95 KUHAP yang membahas tentang ganti rugi terhadap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut dan diadili tanpa alasan yang berdasarkan Undang-Undang atau kekeliruan mengenai orangnya.

6


(40)

26

Kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan dengan

disqualification in person yang berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditangkap atau ditahan. Sedangkan menurut yurisprudensi dari Mahkamah Agung berdasarkan Putusan Nomor. 89 KP/PID/2008 terdapat istilah lain tentang menangkap orang dan salah mendakwa orang yang disebut sebagai error in subjectif.7

F. Upaya Hukum yang Dilakukan Korban Salah Tangkap

Menurut Pasal 1 butir (12) KUHAP, Upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (PK) dalam hal serta menurut cara yang diatur-dalam undang-undang ini, atau upaya hukum adalah upaya yang diberikan oleh undang-undang kepada seseorang atau badan hukum untuk dalam hal tertentu melawan putusan hakim.

1.Upaya Hukum Praperadilan

Praperadilan tersebut tidak merupakan badan tersendiri, tetapi merupakan suatu wewenang saja dari pengadilan. Pengertian praperadilan diatur Pasal 1 ayat (10) KUHAP Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang- undang. Praperadilan merupakan salah satu lembaga dalam hukum pidana Indonesia, secara formil diatur dalam Pasal 77 sampai dengan Pasal 83 KUHAP. Dalam praktik digunakan

7


(41)

27

oleh pihak-pihak/institusi yang mengajukan upaya atas ketidakpuasan penerapan hukum atau tindakan/keputusan aparat hukum yang dianggap telah menciderai rasa keadilan dan kepentingan mereka. Berdasarkan ketentuan Pasal 78 Ayat (1) dan (2) KUHAP praperadilan merupakan wewenang pengadilan negeri dan praperadilan tersebut dipimpin oleh hakim tunggal yang ditunjuk oleh ketua pengadilan negeri dan dibantu oleh seorang panitera.8

Adapun kewenangan pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus perkara praperadilan sesuai dengan Pasal 77 KUHAP dimaksud adalah sebagai berikut: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau

penghentian penuntutan.

b. Ganti kerugian dan atau rehabilitasi bagi seseorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan terhadap permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau tentang sah atau tidaknya penahanan hanya diajukan oleh tersangka, keluarga, atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya sedangkan hak untuk mengajukan permintaan untuk dapat diperiksanya sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau sah atau tidaknya penghentian penuntutan adalah penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan dengan menyebutkan pula alasannya sesuai dengan pasal 80 KUHP.

8

M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2003, hlm. 22-25.


(42)

28

Pasal 81 KUHP mengatur mengenai permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sah penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau oleh pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri denganmenyebutkan alasanya.

Atas putusan praperadilan dalam hal sebagaimana dimaksud Pasal 79, dan Pasal 81 KUHAP tidak dapat dimintakan banding, terkecuali putusan praperadilan yang menetapkan tidak sahnya penghentian penyidikan atau tidak sahnya penghentian penuntutan. Putusan banding terhadap pemeriksaan keberatan atas putusan praperadilan pada tingkat pertama yang diajukan penyidik atau penuntut umum atau tersangka, keluarga termasuk kuasanya merupakan putusan akhir (pihak-pihak dimaksud dalam uraian di atas yang dapat mengajukan banding tidak secara eksplisit disebutkan dalam ketentuan KUHAP. Namun demikian, dapat disimpulkan melalui suatu analisa bahwasanya kepentingan siapa yang terganggu atas putusan praperadilan tersebut atau dapat pula diserap suatu ketentuan dari pasal-pasal sebelumnya dalam undang-undang ini.

2. Upaya Hukum Biasa

1) Banding (Pasal 67 KUHAP)

Banding adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk diperiksa ulang pada pengadilan yang lebih tinggi karena tidak puas atas putusan Pengadilan Negeri (Pasal 67 jo 233 KUHAP ). Jika Pasal 233 ayat (1) (KUHAP) ditelaah dan dihubungkan dengan Pasal 67 Kitab Undang - Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), maka dapat disimpulkan bahwa semua putusan pengadilan tingkat


(43)

29

pertama ( Pengadilan Negeri ) dapat dimintakan Banding ke Pengadilan Tinggi oleh terdakwa atau yang khusus dikuasakan untuk itu atau penuntut umum dengan beberapa perkecualiaan. Pasal 21 ayat (2) Undang-Undang nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, mengatakan bahwa terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, yang tidak merupakan pembebasan dari dakwaan atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum dapat dimintakan Banding kepada Pengadilan Tinggi oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila undang- undang menentukan lain. Perkecualian untuk mengajukan Banding menurut Pasal Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah :

1) Putusan bebas.

2) Lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum.

3) Putusan pengadilan dalam acara cepat, kecuali dalam hal perampasan kemerdekaan ( pasal 205 ayat (3) KUHAP ).

Pasal 67 (KUHAP) terlihat sangat memperhatikan hak asasi terdakwa karena lebih membatasi permintaan Banding yaitu apabila putusan dan lepas dari tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum. Tujuan Banding ada dua yaitu untuk menguji putusan pengadilan tingkat pertama tentang ketepatannya dan pemeriksaan baru untuk keseluruhan perkara itu, oleh sebab itu maka Banding sering disebut juga Revisi. Pemeriksaan tingkat Banding merupakan suatu penilaian baru (judicial novum), jadi dapat diajukan saksi- saksi baru, ahli-ahli dan surat- surat baru. KUHAP tidak melarang hal demikian, khususnya jika melihat dalam Pasal 238 ayat (4) (KUHAP).


(44)

30

KUHAP memberikan hak kepada mereka untuk mengajukan upaya banding terhadap putusan pengadilan tingkat pertama kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak (bebas dari segala dakwaan), bebas tidak murni/onslag vanalle rechtvervollging atau lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut masalah kurang tepatnya penerapan hukum dan putusan pengadilan dalam acara cepat (putusan tindak pidana ringan dan perkara pelanggaran lalu-lintas).9

2) Kasasi (Pasal 244 KUHAP)

Terhadap putusan pidana yang diberikan pada tingkat terakhir oleh pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung (pengadilan negeri dan pengadilan tinggi), terdakwa ataupun penuntut umum dapat mengajukan permintaan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung kecuali terhadap putusan bebas murni/vrijpraak. Selanjutnya sebagaimana yang diatur dalam Pasal 253 KUHAP pemeriksaan dalam tingkat kasasi dilakukan oleh Mahkamah Agung atas permintaan para pihak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 244 dan Pasal 248 KUHAP guna menentukan:

1) Apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan atau diterapkan tidak sebagaimana mestinya

2) Apakah benar cara mengadili tidak dilaksanakan menurut ketentuan undang-undang

3) Apakah benar pengadilan telah melampaui batas wewenangnya maka oleh karena itu dalam tingkat kasasi kepada pihak yang mengajukan upaya hukum

Undang-undang ini mewajibkan adanya memori kasasi dalam permohonannya, dan dengan alasan yang diuraikan dalam memori tersebut Mahkamah Agung

9


(45)

31

menerima, memeriksa dan memutus perkara yang diajukan dan dengan sendirinya tanpa memori kasasi permohonan tersebut menjadi gugur.

3. Upaya Hukum Luar Biasa

1. Pemeriksan Tingkat Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Pasal 259 KUHAP) Demi kepentingan hukum terhadap semua putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain daripada Mahkamah Agung dapat diajukan 1 (satu) kali permohonan oleh Jaksa Agung dan putusan kasasi demi kepentingan hukum tidak boleh merugikan pihak yang berkepentingan.

Kasasi Demi Kepentingan Hukum pada umumnya sama saja dengan Kasasi biasa, kecuali dalam Kasasi Demi Kepentingan Hukum ini penasehat hukum tidak lagi dilibatkan. Pasal 259 KUHAP:

1) Demi kepentingan hukum tehadap semua putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dari pengadilan lain selain dari pada Mahkamah Agung, dapat diajukan satu kali permohonan Kasasi oleh Jaksa Agung. 2) Putusan Kasasi Demi Kepentingan Hukum tidak boleh merugikan pihak yang

berkepentingan.

2. Peninjauan Kembali Putusan Pengadilan yang telah Mempunyai Kekuatan Hukum Tetap (Pasal 263 KUHAP)

Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung. Permintaan peninjauan kembali diajukan bersamaan dengan memori peninjauan kembali dan berdasarkan alasan dari pemohon tersebut Mahkamah


(46)

32

Agung mengadili hanya dengan alasan yang telah ditentukan oleh KUHAP sebagai berikut:

1) Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan

2) Apabila dalam berbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain

3) Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata selanjutnya.

Atas dasar alasan yang sama sebagaimana disebutkan dalam poin 1, 2 dan 3 di atas (Pasal 263 Ayat 2 KUHAP) maka terhadap suatu putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dapat diajukan permintaan peninjauan kembali apabila dalam putusan itu secara jelas memperlihatkan bahwa dakwaan telah terbukti akan tetapi pemidanaan tidak dijatuhkan.


(47)

III. METODE PENELITIAN

Penilitian Hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan cara menganalisisnya.1

A. Pendekatan Masalah

Pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan yang menelaah hukum sebagai kaidah yang dianggap sesuai dengan penelitian yuridis normatif atau penelitian hukum tertulis. Pendekatan yuridis normatif dilakukan dengan cara melihat, menelaah hukum serta hal yang bersifat teoritis yang menyangkut asas-asas hukum, sejarah hukum, perbandingan hukum, taraf sinkronisasi yang berkenaan dengan masalah yang akan dibahas. Secara operasional pendekatan ini dilakukan dengan studi kepustakaan dan studi literatur.

B. Sumber Data dan Jenis Data

Jenis data dapat dilihat dari sumbernya, dapat dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Adapun dalam mendapatkan data atau jawaban yang tepat dalam penelitian ini,

1


(48)

34

serta sesuai dengan pendekatan masalah yang digunakan dalam penelitian ini maka jenis data yang digunakan dalam penellitian ini adalah: Data sekunder.

Data sekunder adalah data yang diperoleh dari hasil penelitian kepustakaan dengan cara melakukan studi kepustakaan, yakni melakukan studi dokumen, arsip dan literatur-literatur dengan mempelajari hal-hal yang bersifat teoritis, konsep-konsep, pandangan-pandangan, doktrin dan asas-asas hukum yang berkaitan dengan pokok penulisan, serta ilmu pengetahuan hukum mengikat yang terdiri dari bahan hukum antara lain :

a. Bahan hukum primer yaitu terdiri dari: 1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana 2. Kitab Undang-Undang Hukum acara Pidana

3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

4. Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak 5. Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 6. Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak 7. Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak

8. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban.

b. Bahan hukum sekunder yaitu terdiri dari:

1. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang Pedoman Pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.


(49)

35

c. Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder seperti kamus, bibliografi, karya-karya ilmiah, bahan seminar, hasil-hasil penelitian para sarjana berkaitan dengan pokok permasalahan yang akan dibahas dalam skripsi ini.

C. Penentuan Responden

Responden merupakan sejumlah objek yang jumlahnya kurang dari populasi. Pada sampel penelitiannya diambil dari beberapa orang populasi secara “purposive

sampling” atau penarikan sampel yang bertujuan dilakukan dengan cara mengambil subjek berdasarkan pada tujuan tertentu.2 Adapun Responden dalam penelitian ini sebanyak 6 (enam) orang, yaitu :

Dalam penelitian ini diambil responden sebanyak 6 orang, yaitu :

1. Hakim Pengadilan Negeri Tanjung Karang : 1 Orang 2. Advokat Lembaga Bantuan Hukum Bandar Lampung : 1 Orang 3. Dosen Bagian Hukum Pidana FH Unila :2 Orang +

Jumlah : 4 Orang

D. Proses Pengumpulan dan Pengolahan Data

1. Prosedur Pengumpulan Data

a. Studi Kepustakaan

Studi Kepustakaan dilakukan terlebih dahulu mencari dan mengumpulkan buku-buku literatur yang erat hubungannya dengan permasalahan yang

2


(50)

36

sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan. Teknik wawancara dilakukan secara langsung dan terbuka kepada narasumber.

2. Prosedur Pengolahan Data

Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali secara seksama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan- kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan serta belum lengkap dan lain sebagainya, terhadap data yang telah diperoleh. Pengelolahan data yang dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan Data (Editing)

Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer, dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut sudah cukup dan benar.

b. Pengelompokan Data (Klasifikasi)

Data yang sudah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan jenis dan sifatnya agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.


(51)

37

c. Penyusunan Data (Sistematis Data)

Data yang sudah dikelompokan disusun secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal pembinaan dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Pada pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan atas fakta-fakta yang bersifat khusus lalu diambil kesimpulan secara umum.


(52)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuatkan simpulan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam sistem peradilan pidana Indonesia baru diatur secara umum belum mendapat perlindungan hukum secara khusus terhadap anak sebagai korban salah tangkap di dalam hukum perlindungan anak. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap tersebut yaitu melalui upaya hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 Ayat 1, 2, 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Faktor Penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (Studi Putusan No: 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK) adalah terjadinya kesalahan pada penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehingga timbul korban salah tangkap; Aturan hukum yang terbatas mengenai


(53)

56

sanksi terhadap pelaku salah tangkap; dan Masyarakat awam pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan kurang memahami mengenai perlindungan hukum korban salah tangkap.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Salah Tangkap dalam Perkara Pidana sebagai berikut:

1. Hendaknya bagi penyidik khususnya aparat kepolisian sebagai pelindung, pengayom, penjaga tertib masyarakat harus benar-benar profesional dalam melakukan prosedur penangkapan, penahanan, serta kekeliruan penerapan hukum terhadap pelaku, harus benar-benar sesuai dengan prosedur aturan yang berlaku, jangan sampai gegabah menangkap seseorang khususnya anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana.

2. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan. Dalam praktek dilapangan sebaiknya tersangka tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(54)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Ali. Ahmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence).Jakarta. Kencana.

Anonymus. 2007,KUHAP Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika

Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Ashshofa. Burhan. 2004.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Darma. Wade. Weda. 1996.Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2007.Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan, antara Norma dan Realita, Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Gultom. Maidin. Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana Anak di Indonesia. Bandung. PT Refika Aditama.

Harahap. M. Yahya. 2003.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika.

---. 2007. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, (Penyidikan dan Penuntutan), Buku I, Jakarta: Sinar Grafika.

Molejatno. 1983.Asas-Asas Hukum Pidana.Bandung : Rineka Cipta. Soekanto, Soerjono. 2010.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahata, (Yogyakarta: Graha Ilmu.


(55)

Peraturan Perundang-Undangan

Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang Undang Hukum acara Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Internet

Olivia Sembiring, “Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum”. Tesis Universitas Indonesia, 2006, Jakarta.

Nur Rochaeti, “Model Restorative Justice sebagai Alternatif Penanganan bagi

Anak Delinkuendi Indonesia”,MMH Jilid 37 No. 4, Desember 2008. Puskominfo Bid Humas Polda Metro Jaya Jaya http://humaspoldametrojaya.

Blogspot.com/2012/05/2.html.

http://www.kaskus.co.id/thread/541da2ed0d8b465c038b4570/ini-kronologi-anak tentara-yang-salah-tangkap-oleh-polisi/.

http://www.invormasi.com/kriminal/korban-salah-tangkap-anak-tni-harusoperasi/. Diakses pada tanggal 12 Maret 2015

http://article.wn.com/view/2011/03/10/Hakim_Bebaskan_Anak_Korban_Salah_T angkap/.

http://rri.co.id/post/berita/121954/nasional/gawat_pelaku_kejahatan_yang_melib kan_anak_jumlahnya_meningkat.html. Diakses pada 13 Maret 2015


(1)

sedang dibahas sehingga dapat mengumpulkan data sekunder dengan cara membaca, mencatat, merangkum untuk dianalisa lebih lanjut.

b. Studi Lapangan

Studi Lapangan merupakan penelitian yang dilakukan dengan wawancara (interview) yaitu sebagai usaha mengumpulkan data dengan mengajukan pertanyaan secara lisan. Teknik wawancara dilakukan secara langsung dan terbuka kepada narasumber.

2. Prosedur Pengolahan Data

Keseluruhan Data yang telah diperoleh, baik dari kepustakaan maupun penelitian lapangan kemudian diproses, diteliti kembali dan disusun kembali secara seksama. Hal ini dilakukan untuk mengetahui apakah terdapat kesalahan- kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan serta belum lengkap dan lain sebagainya, terhadap data yang telah diperoleh. Pengelolahan data yang dilakukan dengan cara :

a. Pemeriksaan Data (Editing)

Data yang telah dikumpulkan baik data sekunder maupun data primer, dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui apakah data yang dibutuhkan tersebut sudah cukup dan benar.

b. Pengelompokan Data (Klasifikasi)

Data yang sudah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan jenis dan sifatnya agar mudah dibaca selanjutnya dapat disusun secara sistematis.


(2)

37

c. Penyusunan Data (Sistematis Data)

Data yang sudah dikelompokan disusun secara sistematis sesuai dengan pokok permasalahan konsep dan tujuan penelitian agar mudah dalam menganalisis data.

E. Analisis Data

Proses analisis data adalah usaha untuk menemukan jawaban atas pertanyaan perihal pembinaan dan hal-hal yang diperoleh dari suatu penelitian pendahuluan. Pada pengambilan kesimpulan dan hasil analisis tersebut penulis berpedoman pada cara berfikir induktif, yaitu cara berfikir dalam mengambil kesimpulan atas fakta-fakta yang bersifat khusus lalu diambil kesimpulan secara umum.


(3)

V. PENUTUP

A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah diuraikan, maka dapat dibuatkan simpulan sebagai berikut :

1. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam sistem peradilan pidana Indonesia baru diatur secara umum belum mendapat perlindungan hukum secara khusus terhadap anak sebagai korban salah tangkap di dalam hukum perlindungan anak. Perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap tersebut yaitu melalui upaya hukum praperadilan diatur dalam Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 Ayat 1, 2, 3 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, dan rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.

2. Faktor Penghambat dalam perlindungan hukum terhadap anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana (Studi Putusan No: 191/Pid.B(A)/2011/PN.TK) adalah terjadinya kesalahan pada penegak hukum yang tidak profesional dalam menjalankan tugas dan wewenangnya sehingga timbul korban salah tangkap; Aturan hukum yang terbatas mengenai


(4)

56

sanksi terhadap pelaku salah tangkap; dan Masyarakat awam pada umumnya tidak memiliki pengetahuan dan kurang memahami mengenai perlindungan hukum korban salah tangkap.

B. Saran

Adapun saran yang akan diberikan penulis berkaitan dengan Perlindungan Hukum Terhadap Anak sebagai Korban Salah Tangkap dalam Perkara Pidana sebagai berikut:

1. Hendaknya bagi penyidik khususnya aparat kepolisian sebagai pelindung, pengayom, penjaga tertib masyarakat harus benar-benar profesional dalam melakukan prosedur penangkapan, penahanan, serta kekeliruan penerapan hukum terhadap pelaku, harus benar-benar sesuai dengan prosedur aturan yang berlaku, jangan sampai gegabah menangkap seseorang khususnya anak sebagai korban salah tangkap dalam perkara pidana.

2. Perlu upaya hukum yang dapat dilakukan oleh seorang tersangka yang ternyata merupakan korban terjadinya salah tangkap, maka ia dapat mengajukan upaya hukum berupa upaya pra peradilan. Dalam praktek dilapangan sebaiknya tersangka tidak dipersulit dalam mengajukan upaya hukum tersebut.


(5)

Buku

Ali. Ahmad. 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicial Prudence).Jakarta. Kencana.

Anonymus. 2007,KUHAP Lengkap, Jakarta: Sinar Grafika

Arif Gosita. 2004. Masalah Korban Kejahatan. Jakarta : PT Buana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

Ashshofa. Burhan. 2004.Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT Rineka Cipta. Darma. Wade. Weda. 1996.Kriminologi, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom. 2007.Urgensi Perlindungan

Korban Kejahatan, antara Norma dan Realita, Jakarta. Raja Grafindo Persada.

Gultom. Maidin. Perlindungan hukum terhadap anak dalam sistem peradilan pidana Anak di Indonesia. Bandung. PT Refika Aditama.

Harahap. M. Yahya. 2003.Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP, Edisi kedua, Jakarta: Sinar Grafika.

---. 2007. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHP, (Penyidikan dan Penuntutan), Buku I, Jakarta: Sinar Grafika.

Molejatno. 1983.Asas-Asas Hukum Pidana.Bandung : Rineka Cipta. Soekanto, Soerjono. 2010.Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press.

Yulia, Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan hukum terhadap korban kejahata, (Yogyakarta: Graha Ilmu.


(6)

Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Kitab Undang Undang Hukum acara Pidana

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia

Undang-undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi Dan Korban

Internet

Olivia Sembiring, “Perlindungan Hukum terhadap Anak yang Berkonflik dengan Hukum”. Tesis Universitas Indonesia, 2006, Jakarta.

Nur Rochaeti, “Model Restorative Justice sebagai Alternatif Penanganan bagi

Anak Delinkuendi Indonesia”,MMH Jilid 37 No. 4, Desember 2008.

Puskominfo Bid Humas Polda Metro Jaya Jaya http://humaspoldametrojaya. Blogspot.com/2012/05/2.html.

http://www.kaskus.co.id/thread/541da2ed0d8b465c038b4570/ini-kronologi-anak tentara-yang-salah-tangkap-oleh-polisi/.

http://www.invormasi.com/kriminal/korban-salah-tangkap-anak-tni-harusoperasi/. Diakses pada tanggal 12 Maret 2015

http://article.wn.com/view/2011/03/10/Hakim_Bebaskan_Anak_Korban_Salah_T angkap/.

http://rri.co.id/post/berita/121954/nasional/gawat_pelaku_kejahatan_yang_melib kan_anak_jumlahnya_meningkat.html. Diakses pada 13 Maret 2015