UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP OLEH TIM DETASEMEN KHUSUS 88 DALAM KASUS DUGAAN TERORISME

UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP OLEH TIM DETASEMEN KHUSUS

88 DALAM KASUS DUGAAN TERORISME (Jurnal Skripsi) Oleh GITO NUGROHO FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG BANDAR LAMPUNG 2017

ABSTRAK UPAYA PERLINDUNGAN HUKUM TERHADAP KORBAN SALAH TANGKAP OLEH TIM DETASEMEN KHUSUS

88 DALAM KASUS DUGAAN TERORISME Oleh: Gito Nugroho, Maroni, Eko Raharjo.

  (Email Banyaknya rangkaian peristiwa pemboman yang dilakukan oleh terorisme di wilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut bagi masyarakat luas. akan tetapi tidak diimbangi dengan penegakan hukum yang baik karena masih banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penulisan ini adalah: Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam kasus dugaan terorisme oleh tim Detasemen Khusus 88 berdasarkan hukum di Indonesia? Bagaimanakah upaya korban salah tangkap dalam menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi terhadap tindakan Detasemen Khusus 88? Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan empiris. Penelitian normatif dilakukan terhadap hal-hal yang bersifat teoritis asas-asas hukum, sedangkan pendekatan empiris yaitu dilakukan untuk mempelajari hukum dalam kenyataannya baik berupa penilaian perilaku Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan maka dapat diketahui bahwa : Perlindungan hukum bagi korban salah tangkap terhadap terduga terorisme di Indonesia yakni dengan berbagai cara salah satunya adalah mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri., Kemudian mengajukan permohonan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, dan mengajukan restitusi. dan Upaya korban salah tangkap dalam menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi terhadap tindakan Detasemen Khusus 88 ketika warga menjadi korban adalah melaporkan ke bagian Provost untuk segera ditindak bagi oknum yang melakukan tugas tidak sesuai dengan prosedur.

  Berdasarkan uraian diatas maka yang menjadi saran penulis adalah: Hendaknya dalam peraturan perundang-undangan tersebut juga harus memuat mengenai sanksi yang tegas bagi aparat Densus 88 agar tidak terjadi korban salah tangkap; dan Hendaknya Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diamandemen dan perlu memperhatikan prinsip Ultimum Remidium dengan mengintegrasikan pendekatan penal dan non-penal. Hal ini dikarenakan pendekatan non-penal memegang peranan yang sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, terutama terhadap tindak pidana terorisme

  Kata Kunci: Kata Kunci : Perlindungan Hukum, Korban Salah Tangkap, Terorisme

  

LEGAL PROTECTION AGAINST ONE VICTIM BY TEAM CAPTURE

SPECIAL DETACHMENT 88 IN CASE OF ALLEGED TERRORIST

ABSTRACT

A large series of bombings carried out by terrorism in the territory of the

Republic of Indonesia has raised fears for the wider community. but does not

offset the good law enforcement because there are many violations committed by

Detachment 88 Anti-Terror. As for the problems in this paper is: What legal

protection for victims of wrongful arrests in cases of alleged terrorism by a team

of Special Detachment 88 is based on the laws in Indonesia? How are victims of

wrongful arrests in demanding compensation and rehabilitation to the actions of

Special Detachment 88 .

This research used normative and empirical approaches. The normative approach

was conducted to study the theoretical aspects of law principles, while the

empirical approach was conducted to study law in practical in form of behavior

assessment.

  

Based on the results of research and discussion it can be seen that: The legal

protection for victims of wrongful arrests against the alleged terrorism in

Indonesia, namely in various ways one of which is submitted to the District Court

pretrial., Then apply to the Witness and Victim Protection Agency, and filed

restitution. Efforts to victims of wrongful arrests and in demanding compensation

and rehabilitation to the actions of the Special Detachment 88 when citizens

become victims are reported to the Provost for immediate action for persons who

perform duties not in accordance with the procedure.

  .

  

Based on the description above, the author's suggestion is: Should the legislation

also must contain strict penalties for Densus 88 officers in order to avoid the

victim of false arrest; and Eradication of Terrorism It should immediately be

amended and should pay attention to the principle of integrating approaches

ultimium remedium with penal and non-penal. This is because the non-penal

approach a very important role in the eradication of terrorism, especially against

terrorism Keywords: Legal Protection, Victim One Arrest, Terrorism

  Banyaknya rangkaian peristiwa pemboman yang dilakukan oleh terorisme diwilayah Negara Republik Indonesia telah menimbulkan rasa takut bagi masyarakat luas, yang mengakibatkan hilangnya nyawa serta kerugian harta benda, sehingga menimbulkan pengaruh yang besar pada kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan hubungan dengan dunia internasional.

  Undang-Undang khusus yang mengatur tindak pidana terorisme tepatnya pada tanggal 18 Oktober 2002, yaitu melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan diubah menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.

  undang mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, salah satu usaha Indonesia dalam permberantasan teroris adalah dengan membentuk suatu Badan Anti Teroris yaitu Detasemen Khusus 88 (Densus 88) yang merupakan suatu Unit Anti Teroris dibawah naungan Kepolisian Republik Indonesia yang memiliki tugas mengatasi gangguan terorisme mulai dari ancaman bom sampai penyanderaan.

  Satuan ini diresmikan oleh Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya Inspektur Jenderal Firman Gani pada tanggal 26 Agustus 2004. Detasemen 88 yang awalnya beranggotakan 75 1

  http://advokathandal.wordpress.com,

  orang, dan sekarang memiliki 400 personil. Namun kinerja Densus 88 dalam memberantas terorisme pada akhir- akhir ini mendapatkan perhatian yang serius yang mana dalam memburu mereka yang diduga terlibat teroris, Densus 88 kerap melanggar HAM. Dimana Densus 88 dalam menangani dan memberantas isu-isu terorisme tersebut melakukan banyak kesalahan dan aksi-aksi yang tidak sesuai prosedur. Fakta yang tak bisa dipungkiri, puluhan orang ditembak mati oleh Densus 88 tanpa peradilan.

I. PENDAHULUAN

  2 Pelanggaran yang dilakukan oleh

  Densus 88 ini yang dialami oleh Siyono warga Klaten yang ditangkap Densus 88 Pada 8 Maret 2016 bahwa penangkapan Siyono tanpa dibekali surat perintah penangkapan. Siyono yang diduga teroris asal Dusun Brengkungan, Desa Pogung, Kecamatan Cawas, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah tewas setelah dibawa oleh Densus 88 pelanggaran pidana kasus Siyono terindikasi sejak proses penangkapan. Siyono ditangkap oleh Densus 88 di Masjid dekat rumahnya saat berdoa. Padahal KUHAP melarang penangkapan di dalam rumah ibadah (Pasal 35 KUHAP.

1 Bahwa selain mengesahkan undang-

  Berdasarkan hasil otopsi tim dokter ahli forensik yang diterjunkan ada indikasi jelas Siyono mengalami penyiksaan penyiksaan Siyono yaitu akibat pukulan benda tumpul yang meremukan tulang dadanya sehingga merusak bagian jantung miliknya.

  3 2 http://www. rmol.com, diakses, tanggal 01 Juni 2014. Anggota densus yang melakukan pelanggaran hukum yakni penembakan mati terhadap dua terduga teroris M Hidayah atau Dayah Alias Kim dan Rizal atau eko di Jalan Pahlawan, Kota Tulung Agung pada 22 Juli 2013 oleh sepuluhan personel Densus Anti Teror. Bahwa dalam hal ini Komnas HAM menemukan fakta bahwa dua terduga teroris tersebut ditembak dalam kondisi tidak berdaya dan tidak ada perlawanan. Menurut data Komnas HAM sejauh ini sudah sekitar 110 korban yang ditembak mati Densus

  88 Anti Teror tanpa proses pengadilan. Komnas HAM menemukan fakta bahwa sebagian besar korban ditembak dalam kondisi tidak berdaya seperti halnya Dayah dan Rizal.

  terhadap salah tangkap yang dilakukan oleh Densus 88 Anti Teror tersebut, tingkat bahaya yang dialami oleh korban ketika ia memberikan keterangannya yang menjadi korban kesewenang-wenangan aparat penegak hukum, jelas harus diperlukan penanganan khusus untuk melindungi hak korban tersebut selama ini perlindungan diberikan kepada korban yang menjadi korban tindak pidana dari kejahatan, akan tetapi bagaimana perlindungan yang diberikan kepada korban untuk melindungi korban dari keterlibatan aparat penegak hukum yang menyalahi aturan dan bertindak

   diakses pada Tanggal 15 November 2016 4 Nasional. Kompas. com/read/2013/08/04/1651331/Komnas HAM. Penembakan. Terduga. Terorisme.

  TulungAgung. Langgar. HAM. Diakses

  sewenang-wenang dalam melakukan tugasnya Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi rumusan masalah adalah: 1) Bagaimana perlindungan hukum terhadap korban salah tangkap dalam kasus dugaan terorisme oleh tim Detasemen Khusus 88 berdasarkan hukum di Indonesia?

  2) Bagaimanakah upaya korban salah tangkap dalam menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi terhadap tindakan Detasemen Khusus 88?

  Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, dan juga dilakukan wawancara kepada narasumber sebagai penunjang data sekunder. Sumber data adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh secara langsung dari penelitian di lapangan yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti.

4 Esensi nilai perlindungan korban

  5 Data

  primer ini akan diambil dari wawancara yang akan dilakukan dengan Subdit

  I Kamneg Ditreskrimum Polda Lampung Staf Advokasi LBH Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan yang meliputi buku- buku, literatur, Peraturan Perundang- Undangan, dokumen-dokumen resmi dan seterusnya. Dalam menentukan narasumber, penulis menggunakan metode purposing sampling, yaitu metode yang diambil sample melalui 5 Soerjono Soekanto

  , “Pengantar Penelitian proses penunjukan berdasarkan tujuan yang ingin dipenuhi melalui responden, maka yang dijadikan sample sebagai responden adalah 3 orang yakni Subdit I Kamneg Ditreskrimum Polda Lampung Staf Advokasi LBH Bandar Lampung dan Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung.

  Sebelum pada pembahasan permasalahan dalam skipsi ini maka yang diutarakan terlebih dahulu karakteristik responden-responden untuk memperoleh gambaran secara objektif dari responden. Responden dalam penelitian ini adalah 3 orang yakni 1 orang Subdit I Kamneg Ditreskrimum Polda Lampung, 1 orang Staf Advokasi LBH Bandar Lampung dan 1 orang Dosen Hukum Pidana Universitas Lampung.

  Penelitian responden diatas dengan pertimbangan bahwa responden tersebut dapat mewakili dan menjawab permasalahan dalam penulisan skripsi ini.

  • –undang ini tentang:

  88 berdasarkan hukum di Indonesia

  Bahwa dari hasil penelitian menurut Menurut Suharto selaku Kanit 1 Subdit Kamneg pada ditreskrimum Polda Lampung peraturan perundang-undangan mengatur mengenai adanya ganti kerugian yang dialami oleh korban sebagai berikut:

  1. Pengaturan Mekanisme Ganti Kerugian Melalui Praperadilan Dalam KUHAP Praperadilan tersebut tidak merupakan badan tersendiri, tetapi merupakan suatu wewenang saja dari pengadilan. Pengertian praperadilan diatur Pasal 1 ayat (10) KUHAP Praperadilan adalah wewenang pengadilan negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini, tentang:

II. HASIL DAN PEMBAHASAN

  a. Sah atau tidaknya penangkapan dan/atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka;

  b. Sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegak hukum dan keadilan; c. Permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau diajukan ke pengadilan. Wewenang pengadilan untuk mengadili yaitu praperadilan Pasal

  77 Pengadilan Negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang

A. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Dalam Kasus Dugaan Terorisme Oleh Tim Detasemen Khusus

  a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan; b. Ganti kerugian dan/atau rehabilitasi bagi seorang yang perkara pidananya dihentikan pada tingkat penyidikan atau penuntutan. Tata cara mengajukan praperadilan berkenaan dengan sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan di dalam Pasal 79 KUHAP yakni: Permintaan pemeriksaan tentang sah atau tidaknya suatu penangkapan atau penahanan diajukan oleh tersangka, keluarga atau kuasanya kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. Adapun mengenai tata cara mengajukan praperadilan berkenaan ah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan Pasal 80 KUHAP yakni: Permintaan untuk menerima sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.

  Berkenaan dengan Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sah penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan sesuai dengan Pasal 81 KUHAP yakni: Permintaan ganti kerugian dan/atau rehabilitasi akibat tidak sah penangkapan atau penahanan atau akibat sahnya penghentian penyidikan atau penuntutan diajukan oleh tersangka atau oleh pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasanya. Bagi korban salah tangkap dapat mengajukan ganti rugi dan rehabilitasi seperti yang tercantum dalam pasal-pasal KUHAP berikut ini Pasal 1 ayat (22) Ganti kerugian adalah hak seorang untuk mendapat pemenuhan atas tuntutannya yang berupa imblan sejumlah uang karena karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Ketentuan ganti kerugian diatur Pasal 95 ayat (1), ayat (2),dan ayat (3).

  Pasal 1 ayat (23) Rehabilitasi adalah hak seorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang- undang ini.Ketentuan mengenai rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 ayat (1), ayat (2),dan ayat (3).

  Dasar hukum dari pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi adalah tercantum di dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman. Penjelasan mengenai

  Pasal 9 ayat (1) yang dimaksud dengan “rehabilitasi” adalah pemulihan hak seseorang berdasarkan putusan pengadilan pada kedudukan semula yang menyangkut kehormatan, nama baik, atau hak-hak lain.

  Apabila diatas dibicarakan tuntutan ganti kerugian atas penangkapan/ penahanan dan dilaksanakannya tindakan lain yang tidak sah, maka dibawah ini akan dibicarakan tentang ganti kerugian sebagai akibat dan dilakukannya tindak pidana. Sebagai perbandingan maka sekedar akan diuraikan mengenai penggabungan gugatan ganti kerugian yang disebabkan oleh dilakukannya suatu tindak pidana dibeberapa negara baik dari negara-negara Europa, Amerika Latin, dan beberapa negara Asia, Timur Jauh, seperti diuraikan dalam buku “Compensationof the Victims of

  Crimes

  ” yang merupakan hasil suatu survey. Menurut hasil survey tersebut maka disimpulkan adanya lima sistem ganti kerugian tersebut, sebagai berikut: 1) Ganti kerugian tersebut dipandang bersifat perdata dan diberikan pada prosedur perdata;

  2) Ganti kerugian bersifat perdata tetapi diberikan pada prosedur pidana;

  3) Ganti kerugian yang sifatnya perdata tetapi terjalin dengan sifat pidana dan diberikan pada prosedur pidana;

  4) Ganti kerugian yang sifatnya perdata dan diberikan pada prosedur pidana tet api pembayaran menjadi tanggung jawab negara;

  5) Ganti kerugian yang sifatnya netral dan diberikan dengan prosedur khusus pula. Secara normatif KUHAP hanya memperhatikan hak-hak pelaku kejahatan, tanpa memberi ruang kepada korban untuk memperjuangkan hak-haknya. Sebagaimana dikemukakan pada bab-bab terdahulu, korban dalam KUHAP hanya diatur dalam beberapa Pasal saja yaitu Pasal 98 sampai dengan Pasal 101 KUHAP.

  2. Pengaturan Perlindungan Hukum Korban Kejahatan Dalam KUHP Bentuk perlindungan korban dalam Kitab Undang- Undang Hukum Pidana (KUHP) terdapat dalam Pasal 14 c, yang berisi: Dengan perintah yang dimaksud Pasal 14a, kecuali jika dijatuhkan pidana denda, selain menetapkan syarat umum bahwa terpidana tidak akan melakukan tindak pidana, hakim dapat menetapkan syarat khusus bahwa terpidana dalam waktu tertentu, yang lebih pendek dari masa percobaannya, harus mengganti segala atau sebagian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tadi.

  3. Pengaturan Perlindungan Hukum Korban Kejahatan dalam Undang- Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.

  Dari kesekian banyak bentuk- bentuk perlindungan kepada korban, masih ada bentuk perlindungan resmi yang diberikan pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 sebagaimana dirubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban terhadap Pasal yang dibawah ini:

  Pasal 1 Ayat (3), Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan: “Korban adalah orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana”. Pasal 1 Ayat (11) Undang- Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan: “Restitusi adalah ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga”.

  Pasal 3 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Perlindungan Saksi dan Korban berasaskan pada:

  a. penghargaan atas harkat dan martabat manusia; b. rasa aman;

  c. keadilan;

  d. tidak diskriminatif; dan e. kepastian hukum.

  4. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut Undang-Undang Hak Asasi Manusia

  Menurut Yahya Harahap bahwa kekeliruan dalam penangkapan mengenai orangnya diistilahkan

  disqualification in person yang

  berarti orang yang ditangkap atau ditahan terdapat kekeliruan, sedangkan orang yang ditangkap tersebut telah menjelaskan bahwa bukan dirinya yang dimaksud hendak ditahan atau ditangkap.

  mendefenisikan bahwa korban salah tangkap adalah seseorang atau sekelompok orang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan atau kerugian ekonomi yang diakibatkan kesalahan aparat negara dalam hal ini kepolisian dalam menangkap pelaku sebenarnya dengan kesewenang- wenang atau tidak berdasarkan undang- undang”. Menunjukkan bahwa hukum yang berlaku secara 6 M. Yahya Harahap. Pembahasan Dan

  Penerapan KUHAP. Sinar Grafika. Edisi

  pasti belum mampu menjamin kepastian dan rasa keadilan.

  5. Perlindungan Hukum Terhadap Korban Salah Tangkap Menurut Undang-Undang Terorisme

  1). Rehabilitasi Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme terdapat hak untuk mendapatkan rehabilitasi, yaitu hak seseorang yang mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau persidangan karena ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan Undang-Undang atau karena alasan kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan. Berbeda dengan KUHAP, rehabilitasi pada Pasal 37 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme diartikan sebagai berikut, “setiap orang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Selanjutnya dalam penjelasannya disebutkan, rehabilitasi dalam Pasal ini adalah pemulihan pada kedudukan semula, misalnya kehormatan, nama baik, jabatan atau hak-hak lain termasuk pengembangan dan pemulihan fisik atau psikis serta perbaikan harta benda.

6 Sementara itu Sugeng

B. Upaya Korban Salah Tangkap Dalam Menuntut Ganti Rugi Maupun Rehabilitasi Terhadap Tindakan Detasemen Khusus

  menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi terhadap tindakan Detasemen Khusus 88 ketika warga menjadi korban kesewenang- wenangan pihak berwajib maka sudah ada instrument yang mengaturnya di internal kepolisian sendiri ada yang dinamakan Provost yakni kesatuan yang khusus menangani apabila ada anggota kepolisian yang menjalankan tugas dengan sewenang-wenang tugas Provost tersebut dapat memberikan hukuman apabila ada anggota yang melakukan tugas tidak sesuai dengan prosedur.

  Menurut peneliti upaya bagi korban salah tangkap dalam memperjuangkan ganti kerugian dan rehabilitasi tidak semudah yang dibayangkan dari bunyi undang- undang apalagi yang menjadi korban tersebut adalah orang yang tidak mampu secara finansial sehingga mereka yang menjadi korban salah tangkap tidak terpikir untuk memperjuangkan memulihkan nama baik apalagi minta ganti kerugian. Hal tersebut jelas akan menambah beban dan trauma bagi mereka. Untuk itu diperlukan sosialisasi dan pendampingan bagi mereka yang menjadi korban salah tangkap jangan sekedar wacana belaka. Hal tersebut demi terwujudnya penegakan hukum yang berkeadilan.

88 Upaya korban salah tangkap dalam

III. SIMPULAN

  Berdasarkan pembahasan di atas maka di dapat kesimpulan sebagai berikut:

  1. Perlindungan hukum bagi korban salah tangkap terhadap terduga terorisme di Indonesia yakni dengan berbagai cara dalah satunya adalah mengajukan praperadilan kepada Pengadilan Negeri.. Dalam hal putusan praperadilan dimenangkan oleh korban salah tangkap oleh hakim yang memeriksa dan memutus tuntutan tersebut maka korban salah tangkap oleh Densus 88 tersebut berhak menerima ganti kerugian dan rehabilitasi tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 95 dan Pasal 97 KUHAP, kemudian mengajukan permohonan kepada Lembaga

  Perlindungan Saksi dan Korban untuk meminta keselamatan diri, meminta perlindungan, dan juga meminta ganti rugi terhadap oknum yang mengakibatkan kerugian bagi korban, dan juga yang terakhir ada juga mekanisme restitusi yakni ganti kerugian yang diberikan kepada Korban atau Keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga;

  2. Upaya korban salah tangkap dalam menuntut ganti rugi maupun rehabilitasi terhadap tindakan Detasemen Khusus 88 ketika warga menjadi korban kesewenang-wenangan pihak berwajib maka sudah ada instrument yang mengaturnya di internal kepolisian sendiri ada yang dinamakan Provost yakni kesatuan yang khusus menangani apabila ada anggota kepolisian yang menjalankan tugas dengan sewenang-wenang tugas Provost tersebut dapat memberikan hukuman apabila ada anggota yang melakukan tugas tidak sesuai dengan prosedur.

DAFTAR PUSTAKA

  M. Yahya Harahap. Pembahasan

  UI-Press Jakarta, 1984

  ,

  , “Pengantar Penelitian Hukum

  Terorisme. TulungAgung. Langgar. HAM. Diakses Pada Tanggal 11 Desember 2016 Soerjono Soekanto

  Grafika. Edisi Kedua Jakarta , 2000 http://advokathandal.wordpress.com, diakses, tanggal, 05 Agustus 2013. http://www. rmol.com, diakses, tanggal 01 Juni 2014. diakses pada Tanggal 15 November 2016 Nasional. Kompas. com/read/2013/08/04/1651331/Kom nas HAM. Penembakan. Terduga.

  Dan Penerapan KUHAP. Sinar

  Berdasarkan kesimpulan di atas maka di dapat saran sebagai berikut:

  1. Hendaknya dalam peraturan perundang-undangan tersebut juga harus memuat mengenai sanksi yang tegas bagi aparat Densus 88 agar tidak terjadi korban salah tangkap dari kesewenang-wenangan Densus 88 sehingga tidak terjadi korban yang ditembak mati dan dianiaya dalam melaksanakan tugasnya;

  penal memegang peranan yang

  dikarenakan pendekatan non-

  penal dan non-penal. Hal ini

  mengintegrasikan pendekatan

  Remidium dengan

  2. Hendaknya Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme segera diamandemen dan perlu memperhatikan prinsip Ultimum

  sangat penting dalam pemberantasan tindak pidana terorisme, terutama terhadap tindak pidana terorisme