Keadaan Daerah Penelitian Discharge and Sedimentation Prediction by MWSWAT Model In Upper Citarum Sub Watershed, West Java Province

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Keadaan Daerah Penelitian

Peninjauan terhadap keadaan wilayah sub-DAS Citarum Hulu dimaksudkan untuk memberikan informasi umum tentang lokasi penelitian. Ada 6 karakteristik DAS utama yang dibutuhkan oleh model MWSWAT sebagai input data maupun pembanding pada proses validasi. Karakteristik tersebut antara lain; 1 kondisi fisiografi DAS; 2 iklim; 3 kondisi hidrologi DAS; 4 penggunaan lahan; 5 karakteristik tanah, dan 6 sedimentasi. 1. Kondisi Fisiografi Sub-DAS Citarum Hulu adalah salah satu bagian dari DAS Citarum dan terletak di bagian paling hulu dari aliran Sungai Citarum. Sungai Citarum merupakan sungai induk sepanjang 269 km yang bermula di Situ Cisanti di daerah Gunung Wayang, dan mengalir melalui 9 kabupaten Kab. Bandung, Kab. Bandung Barat, Kab. Cianjur, Kab. Purwakarta, Kab. Karawang, Kab. Bekasi, Kab. Subang, Kab. Indramayu, Kab. Sumedang dan 3 kota Kota Bekasi, Kota Bandung dan Kota Cimahi. Sungai Citarum bermuara di Muara Gembong, Kab. Karawang. Di sungai tersebut terdapat 3 waduk yaitu Jatiluhur 1963, Saguling 1986 dan Cirata 1988. Ketiga waduk ini dimanfaatkan untuk berbagai kegiatan dan salah satunya adalah sebagai PLTA yang menghasilkan tenaga listrik 1400 MW. Di bidang pertanian, Sungai Citarum dimanfaatkan untuk mengairi areal pertanian seluas 420000 ha http:www.citarum.org , 2010. Sub-DAS Citarum Hulu yang dijadikan wilayah penelitian berada pada 7 o 3`7`` – 7 o 14`56`` LS dan 107 o 37` 41`` – 107 o 48` 43`` BT. Ditinjau dari batas administrasinya, di sebelah selatan dan timur sub-DAS Citarum Hulu berbatasan dengan Kabupaten Garut, sedangkan di sebelah utara dan barat berbatasan dengan Kabupaten Bandung. Menurut data spasial yang diperoleh dari Pusat Penelitian Limnologi LIPI – Bogor, kawasan sub-DAS Citarum Hulu yang diteliti termasuk kedalam bagian sub-DAS Hulu yang lebih besar. Garis batas sub-DAS daerah penelitian tidak tepat berimpit dengan batas DAS Hulu Citarum milik Limnologi – Bogor, hal ini disebabkan perbedaan penggunaan software GIS dalam mendelineasi batas sub- DAS. Sebagian kawasan Hulu Citarum juga pernah dikaji oleh Yusuf 2010, di lokasi DAS Cirasea menggunakan model MWSWAT. Titik outlet sungai yang digunakan adalah PDA Cirasea – Cengkrong, sehingga apabila titik outlet PDA Cirasea – Cengkrong dan titik outlet PDA Majalaya didelineasi posisinya bersebelahan dengan sedikit terjadi overlap bertumpangan. Delineasi kedua titik outlet tersebut dapat dilihat pada Gambar 15. Gambar 15. Lokasi sub-DAS penelitian terhadap sub-DAS Cirasea Sub-DAS observasi berada pada rentang elevasi 670 – 2591 mdpl. Sebagian besar merupakan dataran tinggi yang berada pada 1000 – 2000 mdpl sebanyak 75 dari luas keseluruhan dan sisanya adalah daerah perbukitan bergelombang. Kondisi tersebut adalah wajar, mengingat lokasinya yang dikelilingi deretan pegunungan. Aliran sungai bermula dari deretan pegunungan di Kab Bandung bagian selatan. Di sebelah barat terdapat Gunung Wayang 2162 m dan Gunung Malabar 2321 m, di sebelah selatan terdapat Gunung Kencana 2182 m dan Gunung Kendeng 2608 m, sedangkan di sebelah timur terdapat punggung- punggung tak beraturan akibat intrusi yang berujung di Gunung Guntur 2248 m. Kawasan dikelilingi oleh deretan pegunungan tersebut berdampak pada hampir semua anak sungai yang berinduk di Citarum mempunyai lereng terjal dan jalur yang pendek. Sifat tersebut berbeda dengan sifat aliran sungai utamanya. Kondisi kemiringan lereng sangat memengaruhi karakteristik hidrologi. Air hujan yang jatuh ke tanah akan cepat terkonsentrasi dan dengan sistem drainase yang lambat mengakibatkan potensi terjadinya banjir di hulu. Sub-DAS Citarum Hulu memiliki dataran rendah di bagian hilir yang mengarah ke tengah cekungan Bandung yang dikelilingi deretan pegunungan. Visualisasi kondisi topografi sub- DAS pada Gambar 16. Gambar 16. Peta topografi sub-DAS Citarum Hulu Sub-DAS Citarum hulu memiliki kondisi kemiringan lereng berkisar antara datar hingga sangat curam, dengan rentang dalam satuan derajat 0 o – 65 o . Wilayah kelerengan yang relatif curam berada pada wilayah yang memiliki elevasi tinggi, yaitu daerah di sekeliling Pegunungan Bandung bagian selatan. Kemiringan lereng daerah penelitian yang diklasifikasikan menjadi 6 kelas rentang slope kemiringan lereng dalam satuan derajat pada Gambar 17. Gambar 17. Peta kemiringan lahan sub-DAS Citarum Hulu Faktor panjang dan kemiringan lereng merupakan komponen yang sangat mempengaruhi karakteristik aliran air dalam suatu kawasan DAS. Kedua faktor tersebut menentukan besar dan kecepatan volume run-off Asdak, 2002. Kedua elemen tersebut melengkapi pembentukan HRU di dalam model MWSWAT. 2. Iklim Ada 6 elemen penyusun iklim yang datanya dibutuhkan sebagai input model MWSWAT, yaitu curah hujan harian, temperatur udara maksimum – minimum, kecepatan angin, kelembaban relatif, dan radiasi surya. Data iklim diperoleh dari BMKG Pusat – Jakarta ditambah data curah hujan harian dari stasiun Cibeureum Dinas PSDA dan stasiun Paseh PLN. Kondisi iklim rata- rata bulanan di daerah penelitian pada rentang waktu tahun 2004 sampai 2008 pada Tabel 5. Tabel 5. Kondisi iklim rata-rata bulanan daerah penelitian tahun 2004 – 2008 Bulan Parameter Iklim CH mm Temp o Kelembaban Kec. Angin mdet Radiasi Surya MJ.m -2 .hari -1 Januari 6.7 18.9 65.1 4.7 11.4 Februari 10.0 23.0 84.2 4.7 9.0 Maret 6.1 23.5 82.0 4.3 11.0 April 10.0 23.2 83.2 3.6 10.3 Mei 5.4 23.3 80.4 3.2 10.8 Juni 3.6 23.0 78.9 3.2 13.8 Juli 1.1 18.3 61.3 3.3 15.2 Agustus 0.9 23.0 74.5 3.3 16.0 September 2.1 23.8 73.8 3.9 12.0 Oktober 3.2 19.3 60.1 4.2 13.6 November 7.3 19.0 65.2 3.3 11.0 Desember 10.5 18.5 67.5 3.1 8.10 Sumber : BMKG Pusat – Jakarta 2011 Curah Hujan Wilayah penelitian terletak di daerah pegunungan selatan Bandung, Wilayah yang diwakili oleh stasiun Paseh dan stasiun Cibeureum ini mengalami musim kemarau pada bulan Juni sampai Agustus. Menurut sistem klasifikasi Oldeman, daerah ini termasuk Zona Agroklimat C2. Pada zona tersebut bulan kering curah hujan 100 mm terjadi selama 3 – 4 bulan dan bulan basah curah hujan 200 mm berlangsung selama 5 – 6 bulan. Stasiun Bandung mewakili dataran Bandung yang termasuk zona Agroklimat E3. Perbedaan tersebut wajar mengingat letaknya yang berjauhan dari DAS yang diteliti. Berdasarkan sistem klasifikasi iklim Schmidth – Ferguson, daerah penelitian digolongkan pada tipe iklim D, dengan bulan basah yang berlangsung selama 6 bulan dan bulan kering selama 4 bulan dan tingkat kebasahan sedang. Distribusi stasiun hujan, PDA dan stasiun iklim di lokasi penelitian ditunjukkan pada Gambar 18. Sebaran curah hujan pada ketiga stasiun hujan yang digunakan datanya tidaklah sama dan memiliki variasi. Grafik yang ditunjukkan pada Gambar 19 berikut memperlihatkan curah hujan rata-rata bulanan tahun 2001. Dari grafik terlihat bahwa rata-rata curah hujan terbesar dalam satu tahun terjadi pada stasiun Cibeureum 15.5 mm. Gambar 18. Lokasi stasiun hujan, PDA dan stasiun iklim di daerah penelitian Air hujan yang jatuh ke dalam DAS ditransformasi menjadi debit sungai melalui aliran permukaan dan aliran di dalam tanah, selain menguap kembali melalui proses evapotranspirasi. Berdasar posisinya terhadap wilayah penelitian, curah hujan yang turun ke DAS didominasi oleh curah hujan yang datanya tercatat pada stasiun Paseh dan Cibeureum. Meskipun letaknya berdekatan namun curah hujan yang tercatat di kedua stasiun ini berbeda. Variasi beberapa curah hujan beberapa stasiun hujan di dalam kawasan DAS yang dimodelkan akan dihitung ulang oleh MWSWAT menggunakan metode polygon Thiessen. 0.0 5.0 10.0 15.0 20.0 25.0 Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember P m m Bulan Bandung Paseh Cibeureum Gambar 19. Curah hujan rata-rata bulanan tahun 2001 di tiap stasiun hujan 3. Kondisi Hidrologi DAS Data debit harian Sungai Citarum Hulu yang digunakan untuk melihat kondisi hidrologi sungai diperoleh dari PDA milik Dinas PU Pengairan. PDA yang digunakan sebagai titik outlet pencatatan data debit adalah PDA yang terletak di Kecamatan Majalaya – Kabupaten Bandung koordinat 07 o 24` 00`` LS – 107 o 34` 00`` BT. Besarnya aliran debit ditentukan oleh lengkung aliran menggunakan Metoda Hymos Manning dengan persamaan yang dibuat berdasarkan data pengukuran debit dari tahun 2001 sampai dengan tahun 2009, dengan H adalah ketinggian muka air sungai yang tercatat, Balai Hidrologi dan Tata Air, 2010. Pemilihan lokasi outlet sungai didasarkan oleh ketersediaan data debit sungai dan sedimentasi yang memadai dibanding PDA lainnya. Bentuk delineasi batas area sub-DAS Citarum Hulu yang merupakan daerah tangkapan pada Gambar 20. Gambar 20. Daerah tangkapan air daerah penelitian Gambar 21 menggambarkan fluktuasi debit rata-rata bulanan dari tahun 1990 sampai 2009 di PDA Majalaya. Berdasarkan gambar tersebut debit aliran minimum terjadi di bulan September 1.01 m 3 det dan maksimum di bulan April 10.88 m 3 det. Pada bulan Mei hingga Oktober debit rata-rata bulanan berada di bawah nilai rata-ratanya 5.16 m 3 det . 2 4 6 8 10 12 Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des Q m 3 d e t Bulan Gambar 21. Debit bulanan rata-rata di PDA Majalaya tahun 1990 – 2009 Gambar 22 menunjukkan debit sungai harian dari tahun 1999 sampai 2009. Debit aliran tertinggi yang dicapai pada rentang tahun tersebut adalah 60.29 m 3 det. Diagram batang pada posisi 0 m 3 det menunjukkan kekosongan data pencatatan debit, antara lain terjadi pada bulan September 2002, bulan Desember 2003, dan bulan April 2005. Pada tahun-tahun yang terdapat kekosongan data debit dapat digunakan untuk set-up dan kalibrasi model MWSWAT dengan memisahkan menjadi bulan basah – bulan kering. 10 20 30 40 50 60 70 01-Jan-99 01-Jan-00 01-Jan-01 01-Jan-02 01-Jan-03 01-Jan-04 01-Jan-05 01-Jan-06 01-Jan-07 01-Jan-08 01-Jan-09 Q m 3 d e t Tanggal Gambar 22. Debit aliran sungai harian PDA Majalaya tahun 1999 – 2009 Kondisi debit di sub-DAS penelitian juga dapat diidentifikasi melalui nilai Coefficient of River Regime CRR. CRR atau KRS adalah suatu koefisien yang merupakan perbandingan antara debit harian rata-rata maksimum dan debit harian rata-rata minimum di suatu sungai. Nilai koefisien tersebut menyatakan kestabilan aliran sungai dari tahun ke tahun. Semakin kecil koefisien CRR, semakin baik kondisi hidrologi DAS tersebut Asdak, 2002. Kurva CRR aliran sungai daerah penelitian tahun 1999 – 2009 pada Gambar 23. Penggambaran kurva terputus karena kurang lengkapnya pencatatan data pada bulan-bulan tertentu dalam periode tahunan tertentu. 40 80 120 160 200 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Q m a x Q m in Tahun Qmin Qmax CRR Gambar 23. Kurva CRR daerah penelitian tahun 1999 – 2009 Jika melihat pola pergerakan kurva CRR, dapat diperkirakan nilai koefisien berada di atas 50 sejak tahun 2005 dan mulai meningkat lebih besar hingga kemudian akhirnya menurun hingga mencapai nilai 16.87 pada tahun 2009. Pada rentang 10 tahun tersebut CRR tertinggi sebesar 188.53 dicapai tahun 2007. Kondisi DAS dalam kondisi baik salah satu kriterianya bila CRR 50. 4. Penggunaan Lahan Kondisi penggunaan lahan di suatu DAS dideskripsikan melalui peta penggunaan lahan. Fungsi peta adalah memberikan informasi spasial penyebaran beberapa tipe penggunaan lahan yang ada di kawasan DAS yang diteliti, sebagai salah satu basis dalam perhitungan besarnya erosi dan sebagai input bagi model MWSWAT. Berdasarkan peta penggunaan lahan tahun 2001 yang diperoleh dari BAPPEDA Provinsi Jawa Barat, teridentifikasi 9 klasifikasi penggunaan lahan, yaitu; hutan, perkebunan, kebun campuran, padang rumputilalang, semak belukar, ladangtegalan, sawah, kawasan pemukiman dan kawasan industri. Penyebaran berbagai jenis penggunaan lahan tersebut disajikan pada Gambar 24. Gambar 24. Penggunaan lahan daerah penelitian tahun 2001 Data statistik penggunaan lahan dari daerah seluas 20524.73 ha diberikan pada Tabel 6. Penggunaan lahan yang terluas di wilayah penelitian adalah perkebunan 39.28 yang tersebar mengelilingi sub-DAS di bagian barat dan timur. Kawasan hutan berada pada dataran tinggi pegunungan. Luasan hutan tersebut belum mencapai 30 kawasan konservasi dari wilayah yang diteliti. Kemudian, kegiatan pertanian kebun campuran merupakan porsi terluas ketiga 15.43 yang letaknya tersebar di bagian tengah DAS hingga hilir. Tabel 6. Jenis penggunaan lahan dan luasnya tahun 2001 Penggunaan Lahan Luas ha Hutan 3759.15 18.32 Kawasan industri 35.73 0.17 Kawasan pemukiman 784.23 3.82 Kebun campuran 3166.61 15.43 Ladangtegalan 2000.08 9.75 Perkebunan 8060.17 39.28 Sawah 2399.75 11.69 Semak belukar Padang rumput 10.80 0.00 0.05 0.00 Penggunaan lahan berupa sawah 11.69 umumnya berada dekat dengan alur tepian sungai, sedangkan semak belukar merupakan penggunaan lahan yang tersempit di wilayah DAS 0.05. Semak belukar tersebut dapat berasal dari kegiatan pertanian yang telah ditinggalkan ataupun hutan yang baru dibuka untuk berladang. Berdasar pengamatan spasial pada peta tersebut, di tahun 2001 di wilayah penelitian belum terdapat penggunaan lahan padang rumput. Pola kegiatan pertanian di sub-DAS Citarum Hulu bervariasi secara umum bergantung pada fisiografi, iklim, kondisi lahan, dan kebiasaan petani. Kegiatan bertani dominan adalah padi dan sayur, jenis sayur yang ditanam terutama di wilayah Kertasari adalah jenis wortel, kol, kentang, daun bawang dan bawang. Waktu tanam sayuran bergilir sesuai musim. Selain itu, tanaman hias juga merupakan komoditas yang diusahakan oleh petani. Sedangkan kegiatan berladang umumnya merupakan tumpangsari tanaman palawija, sehingga tanaman yang banyak dijumpai di area ladang adalah padi yang ditumpangsarikan dengan jagung, singkong dan beberapa adalah ubi jalar. 5. Karakteristik Tanah Klasifikasi tanah yang terdapat dalam peta tanah adalah Taksonomi Tanah Puslitanak, 1992 atau Keys to Soil Taxonomy Soil Survey Staff, 1990. Berdasarkan peta tanah semi detail skala 1:250000 yang diperoleh dari Limnologi LIPI, terdapat 11 SPT Satuan Peta Tanah di sub-DAS Citarum Hulu yang dikelompokkan kedalam 3 Ordo yang terpisah, yaitu; 1 Inceptisols; 2 Andisols; dan 3 Mollisols. SPT merupakan satuan lahan dengan satuan-satuan tanahnya yang diteliti dan ada kaitannya dengan kemungkinan penggunaan lahan secara maksimum Puslittanak, 1993. Satu SPT dapat terdiri dari satu sampai 4 satuan tanah. Karakteristik tanah yang diambil sebagai database karakteristik tanah adalah yang paling dominan. Daftar SPT, keterangan dan kode ID di dalam database MWSWAT diberikan pada Tabel 7. Model MWSWAT menyesuaikan database karakteristik tanah melalui SOIL_ID yang telah ditambahkan di dalam kolom attributes peta tanah. Jenis tanah dan formasinya dianggap tidak berubah pada periode yang lama sehingga peta tanah ini dapat digunakan sebagai input yang sama pada simulasi menggunakan skenario penggunaan lahan di tahun-tahun yang berbeda. Tabel 7. Satuan Peta Tanah SPT dan SOIL_ID yang digunakan pada database MWSWAT No. SPT Keterangan IDSEQN SNAM ORDO 1. 2 Aeric Tropaquepts 6999 aetpq-6999 Inceptisols 2. 8 Typic Eutropepts 7000 tyeup-7000 Inceptisols 3. 22 Oxic Humitropepts 7001 oxhtp-7001 Inceptisols 4. 24 Thaptic Hapludands 7002 thhpd-7002 Andisols 5. 30 Eutric Hapludands 7003 euhpd-7003 Andisols 6. 33 Typic Hapludands 7004 tyhpd-7004 Andisols 7. 38 Aquic Hapludolls 7005 aqhdl-7005 Mollisols 8. 43 Typic Hapludolls 7006 tyhte-7006 Mollisols 9. 44 Typic Hapludolls 7007 thah-7007 Mollisols 10. 45 Oxic Argiudolls 7008 oath-7008 Mollisols 11. 46 Oxic Argiudolls 7009 oatt-7009 Mollisols Tanah ordo Mollisols merupakan jenis tanah yang paling banyak ditemukan di wilayah penelitian 62,sedangkan yang paling sedikit adalah jenis tanah ordo Inceptisols 7. Peta tanah di wilayah penelitian diberikan pada Gambar 25. Tanah-tanah di daerah penelitian merupakan tanah yang bahan asalnya berupa bahan vulkanis dan termasuk kedalam fisiografi aluvial, sehingga sebagian besar termasuk tanah yang potensial untuk kegiatan pertanian. Meskipun potensial, kondisi topografi menjadi salah satu faktor pembatas, terutama di wilayah berbukit dan pegunungan yang memiliki lereng yang curam. Keadaan topografi tersebut memerlukan tindakan konservasi tanah. Gambar 25. Peta tanah sub-DAS Citarum Hulu 6. Sedimentasi Data sedimen observasi yang diperoleh merupakan data suspended sediment sedimen melayang. Besarnya angkutan sedimen melayang dihitung dari besarnya debit air yang mengalir di sungai dengan menggunakan persamaan: Balai Hidrologi dan Tata Air, 2010. Rumus ini diperoleh berdasarkan data pengukuran tahun 2008. Dengan persamaan tersebut dan berdasarkan data debit aliran sungai harian maka data angkutan sedimen melayang harian setiap tahun di PDA Majalaya dapat dihitung. Hal yang sama dilakukan untuk data sedimen yang digunakan untuk proses kalibrasi di tahun 2001. Kurva lengkung yang menggambarkan hubungan debit dan sedimen melayang diberikan pada Gambar 26. Qs = 10.091Qw 0.7718 R² = 0.9576 1 10 100 1 10 100 A n g k u ta n S e d im e n M e la y a n g to n h r Debit Aliran Sungai m 3 det Gambar 26. Rating curve suspended sediment di PDA Majalaya Fluktuasi sedimen melayang yang terangkut aliran Sungai Citarum Hulu pada tahun 2007 beserta grafik debit disajikan pada Gambar 27. Dari kedua kurva pada Gambar 27 terlihat bahwa fluktuasi sedimen melayang memiliki kecenderungan yang sama dengan fluktuasi debit aliran sungai yang mengalir. 40 80 120 160 200 240 10 20 30 40 50 60 01-Jan-07 01-Feb-07 01-Mar-07 01-Apr-07 01-Mei-07 01-Jun-07 01-Jul-07 01-Agust-07 01-Sep-07 01-Okt-07 01-Nop-07 01-Des-07 S u sp e n d e d s e d im e n t t o n h a ri Q m 3 d e t Tanggal Discharge Suspended sediment Gambar 27. Debit aliran sungai dan sedimen melayang PDA Majalaya

4.2 Model MWSWAT