Gender relation and fertility In Neglasari Village, Jasinga Sub-District, Bogor Regency, West Java Province

(1)

1

RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA

NEGLASARI, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN

BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

DIAN EKOWATI

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

2

PERNYATAAN MENGENAI TESIS

DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini penulis menyatakan bahwa tesis penulis yang berjudul “Relasi Gender Dan Fertilitas Di Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat”, adalah karya penulis sendiri dengan arahan dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, April 2012

Dian Ekowati I 353080091


(3)

3

ABSTRACT

DIAN EKOWATI. GENDER RELATION AND FERTILITY IN NEGLASARI VILLAGE, JASINGA SUB-DISTRICT, BOGOR REGENCY, WEST JAVA PROVINCE. Fertility is not merely a biological or demographical issue. Since it is embedded to social relation of human being, it is closely related to their desire and values. Seeing fertility beyond numbers will be useful to explore the desire of each actor, how do they relate to each other and with the community, values and other sociological and psychological aspect embedded in the activity. This research tries to explore the way the relation between gender and fertility work, especially since there is no generic theory has been built on the ground of this subject. The research employed qualitative method to explore and gain understanding on how the women relate to other actor. Taking advantage from previous researches, the framework is built on Mason and Smith (2003) women autonomy aspect, desired fertility and Bongaarts (1982) proximate determinant concept. Proximate determinants are employed to link the gap between social-economic and biological variables, as there is an undeniable fact that fertility is the result of a biological activity. Result of the research shows that although the value in the community as a traditional Islamic community suggests high number of fertility, women in this study area to some extent able to manage their control over fertility. The control is operated through desired fertility and the proximate determinants, i.e. using of contraception and postponing age of marriage which are affected by women autonomy and power aspects as proposed by Mason and Smith (2003). The referred women autonomy and power aspects are women’s economic decision-making power, their family size decision-making power, their physical freedom of movement, community-level gender attitude measures, and their space in household decision-making. The conclusion of study shows that in the area studied, using of contraception is more likely to affect actual fertility than postponing age of marriage.

Keywords: Gender Relation, Fertility, Women Autonomy and Power Aspect, Desired Fertility, Actual fertility, Proximate Determinant


(4)

4

RINGKASAN

Dian Ekowati. Relasi Gender dan Fertilitas di Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Dengan bimbingan; Ekawati Sri Wahyuni dan Said Rusli.

Fertilitas atau kelahiran anak pada manusia bukanlah sebuah isu yang hanya menarik untuk dikaji dari sudut pandang biologi ataupun demografi. Keterlekatannya pada manusia yang memiliki relasi sosial dan nilai-nilai membuat isu ini juga menarik untuk dikaji dari sisi sosiologi, psikologi dan antropologi. Dalam sebuah keluarga, keputusan atas fertilitas mencerminkan relasi kuasa antar aktor yang berada di dalam keluarga dan nilai-nilai yang mereka anut yang merupakan cerminan dari interaksi dengan nilai-nilai yang berlaku di tataran komunitas. Penelitian ini akan mencoba menggali hubungan antara relasi gender dan fertilitas. Relasi gender dalam keluarga menggambarkan bagaimana akses dan kontrol suami dan istri pada setiap keputusan keluarga. Sementara fertilitas yang dirujuk di sini adalah actual fertility yang berarti jumlah anak hidup yang pernah dilahirkan.

Penelitian ini bertujuan untuk menggali bagaimana cara relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas. Upaya untuk mencapai tujuan tersebut dijabarkan ke dalam tiga tujuan, yakni: 1. Mengkaji karakteristik relasi gender pada keluarga-keluarga di desa studi, 2. Mengkaji kondisi fertilitas di desa studi, dan 3. Menjelaskan bagaimana relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas di desa studi. Lokasi penelitian yang dipilih adalah sebuah komunitas desa yang kental dengan atmosfer Islam konservatif. Komunitas tersebut sengaja dipilih karena Islam konservatif dikenal memiliki ajaran yang menempatkan perempuan dalam posisi yang tidak setara dengan laki-laki melalui doktrinnya yang melekatkan perempuan hanya pada fungsi domestik dan reproduksi. Doktrin ini juga dibarengi dengan nilai-nilai dalam Islam konservatif yang menyarankan anak dalam jumlah sebanyak mungkin.

Upaya untuk mengkaji hubungan antara variabel gender dengan fertilitas dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan konsep otonomi dan kuasa perempuan yang diutarakan oleh Mason dan Smith (2003) yang terdiri dari lima aspek, yakni: 1. Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumah tangga, 2. Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan tentang ukuran keluarga, 3. Kebebasan dalam bergerak, 4. Sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu, dan 5. Ruang gerak perempuan dalam pengambilan keputusan. Variabel gender adalah variabel sosial budaya, sementara fertilitas adalah variabel biologis, oleh karena itu untuk menghubungkan keduanya diperlukan proximate determinant sebagaimana diusulkan oleh Bongaarts (1978).


(5)

5 Metode penelitian yang dipilih adalah kualitatif dalam upaya menggali nilai dan makna yang bekerja dalam proses pengambilan keputusan pengambilan anak pada sebuah komunitas Islam konservatif. Metode ini juga bermanfaat untuk menggali bagaimana perempuan, di mana fungsi fertilitas terlekat, berelasi dengan aktor lainnya dalam keluarga dan dengan struktur yang lebih luas.

Penelitian ini menemukan bahwa meskipun nilai-nilai di level komunitas menyarankan anak dalam jumlah yang banyak, tetapi variasi otonomi dan kuasa perempuan di desa studi menghasilkan actual fertility yang berbeda antar individu responden. Di desa studi, hal ini bekerja dengan cara berikut, semakin tinggi aspek otonomi dan kuasa perempuan (terutama aspek kebebasan dalam bergerak), semakin rendah desired fertilitynya. Lalu di antara perempuan dengan desired

fertility rendah tersebut, perempuan-perempuan dengan otonomi dan kuasa yang

tinggi akan lebih leluasa mengambil keputusan atas pengunaan kontrasepsi sehingga actual fertilitynya semakin rendah.

Kata kunci: Relasi Gender, Fertilitas, Aspek Otonomi dan Kuasa Perempuan, Desired Fertility, Actual fertility, Proximate Determinant


(6)

6

© Hak Cipta milik IPB Tahun 2012.

Hak Cipta dilindungi oleh Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar di IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa seizin IPB.


(7)

7

RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA

NEGLASARI, KECAMATAN JASINGA, KABUPATEN

BOGOR, PROVINSI JAWA BARAT

DIAN EKOWATI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada Program Studi Sosiologi Pedesaan

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI PEDESAAN

DEPARTEMEN KOMUNIKASI DAN PEMBERDAYAAN

MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

8 Terima Kasih Kepada Dr. Ir. Saharudin, M.Si,


(9)

9 Judul Tesis : Relasi Gender dan Fertilitas di Desa Neglasari, Kecamatan

Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat.

Nama : Dian Ekowati

NRP : I353080091

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS. Ir. Said Rusli, MA.

Ketua Anggota

Diketahui:

Koordinator Program Studi Mayor Sosiologi Pedesaan

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr. Ir. Arya Hadi Dharmawan, MSc. Agr. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc. Agr.


(10)

(11)

11

PRAKATA

Alhamdulillahirabbil’alamin, segala puji syukur kehadirat Allah SWT, atas segala limpahan rahmat, nikmat dan hidayahnya. Shalawat serta Salam terhaturkan pada junjungan Nabi Muhammad SAW, penulis bersyukur sedalam-dalamnya kepada Allah SWT, karena mendapat kesempatan belajar di Pascasarjana IPB, hingga akhirnya mampu menyesaikan tanggung jawab akademik ini.

Dengan penuh rasa tulus, dalam kesempatan yang mulia ini, penulis ingin mengucapakan terima kasih dan penghargaan sebesar-besarnya khususnya kepada dosen pembimbing, para dosen di lingkungan Sosiologi Pedesaan IPB, teman-teman seangkatan SPD 2008, para keluarga dan sahabat yang telah secara langsung maupun tidak telah memberikan dukungan bagi penyelesaian tesis ini, mereka adalah;

1. Dr. Ir. Ekawati Sri Wahyuni, MS., dan Ir. Said Rusli, MA., selaku Pembimbing Tesis. Terimakasih atas bimbingan, motivasi dan kesabaran luar biasa yang dilimpahkan kepada penulis dalam proses panjang penulisan tesis ini. Kesempatan memperoleh bimbingan langsung dari beliau berdua adalah kesempatan belajar yang luar biasa bagi penulis. 2. Dr. Ir. Arya Hadi Darmawan, Msc. Agr., selaku Ketua Program Studi

Sosiologi Pedesaan dan Dr. Rilus Kinseng, selaku wakil Program Studi, yang selalu memberi motivasi dan memacu penulis untuk menyelesaikan studi di Mayor Sosiologi Pedesaan.

3. Dr. Ir. Saharudin MSi., selaku dosen Penguji Luar Komisi. Terima kasih telah begitu murah hati dalam meluangkan waktu, memberi masukan, kritikan dan motivasi kepada penulis sehingga memacu penulis untuk memperbaiki tesis ini lebih jauh.

4. Sahabat seperjuangan Sosiologi Pedesaan angkatan 2008: Gentini, Eko Cahyono, Usep Setiawan, Aldi Basir, Nendah Kurnisari, Favor A. Bacin, dan Nurul Hayat yang selalu memberikan semangat dan motivasi kepada penulis. Penulis akan selalu merindukan waktu kebersamaan bersama semua anggota keluarga kecil ini, semoga tali kekeluargaan ini tidak terputus begitu saja.

5. Staff administrasi: Mbak Anggra, Ibu Hetty, Ibu Susi, beserta staff Departemen Sains dan Pengembangan Masyarakat Fakultas Ekologi Manusia yang telah sangat membantu proses panjang administrasi. Tanpa kebaikan hati beliau-beliau, tidak mungkin penulis sampai ke titik ini. 6. Keluarga Besar Sajogyo Institute (SAINS), Prof. Sajogyo, Dr. Ir.

Gunawan Wiradi, Prof. M.P. Tjondronegoro, Prof. Dr. Andriatmo Soetarto, terima kasih atas nasehat, keteladanan hidup dan inspirasinya.


(12)

12 Juga kepada rekan-rekan Mbak Laksmi, Mas Shohib, Bang Oji, Dewi, Yusuf, Chindra, Uswatun, Yeni, Nunik, Didi, Saluang, dan Fera yang selalu mendukung dan memberikan kesempatan bagi penulis untuk terus belajar.

7. Persembahan khusus penulis sampaikan untuk masyarakat Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat yang telah menerima penulis dengan tangan terbuka dan memungkinkan penulis untuk belajar dalam komunitas mereka. Ucapan terimakasih penulis sampaikan kepada Ibu Sadawiyah, Ibu Rihana, Bapak Lurah, Ibu Sri, Bapak Juhdi dan warga desa lain yang tidak dapat penulis sampaikan satu persatu, terimakasih atas kemurahan hati Ibu-ibu dan Bapak-bapak.

8. Akhirnya, tesis ini penulis persembahkan untuk orang tua penulis di Wonogiri; Ibu Tuti Trihatmi dan Bapak Edris yang selalu mempercayai, memberikan kesempatan, doa dan dukungan bagi penulis untuk mencapai setiap mimpi penulis. Juga kepada kedua orang tua penulis di Subang; Ibu Ani Rochaeni dan Bapak Didi Achmadi yang selalu mengirimkan doa kepada penulis. Semoga Allah selalu melimpahkan keberkahan dan kebahagiaan bagi mereka berempat. Tesis ini juga penulis persembahkan untuk adik-adik penulis: Ismi, Taufiq, Andina, dan Uci yang selalu memberikan doa dan dukungan demi kemudahan proses penulisan tesis ini.

Secara khusus, penulis hendak menyampaikan terimakasih dan penghargaan kepada pasangan hidup dan suami penulis; Yusuf Rahadian yang selalu memberikan kepercayaan, dukungan, kesabaran, dan semangat bagi penulis untuk menggapai setiap mimpi dan menjadi manusia yang bermanfaat.

Akhirnya, semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca dan menambah pengetahuan di bidang sosial demografi. Semoga Allah SWT, selalu melimpahkan berkah, hidayah dan rejeki kepada kita semua. Amin.

Bogor, April 2012 Dian Ekowati


(13)

13

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di sebuah desa kecil bernama Desa Manjung di Kecamatan/ Kabupaten Wonogiri, Jawa Tengah pada tanggal 8 Mei 1983 dan merupakan anak pertama dari pasangan Bapak Edris dan Ibu Tuti Trihatmi. Penulis menempuh pendidikan dasar di desa yang sama dan melanjutkan pendidikan menengah di Kecamatan Wonogiri, yakni Sekolah Menengah Pertama Negeri (SMPN) 1 Wonogiri dan Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 1 Wonogiri. Penulis lulus dari SMAN 1 Wonogiri pada tahun 2001.

Pada tahun yang sama, penulis diterima di Program Studi Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Jurusan Sosial Ekonomi, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor pada jenjang Strata 1 melalui jalur Penelusuran Minat dan Kemampuan (PMDK). Penulis lulus dari jenjang Strata 1 pada tahun 2006. Setelah lulus, penulis bergiat di Sajogyo Institute sebagai peneliti sampai saat ini. Dalam upaya pembelajaran mengenai sosiologi pedesaan lebih dalam dan inspirasi dari Bapak Sajogyo, pada tahun 2008, penulis memutuskan melanjutkan studi di jenjang Strata 2 pada Program Studi Sosiologi Pedesaan, Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2011, penulis mendapatkan kesempatan kursus pendek mengenai metode penelitian di bidang agraria dan pengembangan pedesaan di Institute of Social Science, Den Haag.

Saat ini penulis bergiat di Sajogyo Institute, melanjutkan minat belajar di bidang gender, sosial demografi serta tetap melanjutkan hobi menikmati buku, film dan musik. Saat ini penulis tinggal bersama keluarga di Ciomas, Bogor dan dapat dihubungi melalui email di dee.ekowati@gmail.com.


(14)

14

DAFTAR ISI

Halaman DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Rumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Kegunaan Penelitian ...

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Keluarga ... 2.2. Relasi Gender dan Fertilitas ... 2.3. Proximate Determinant Fertilitas ... 2.4. Kerangka Pemikiran ... 2.5. Hipotesis Pengarah ...

III. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian ... 3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 3.3. Jenis Data dan Teknik Pengambilan Data ... 3.4. Teknik Analisis Data ...

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Pendahuluan ... 4.2. Provinsi Jawa Barat ...

4.2.1. Konteks Geografis dan Administratif ... 4.2.2. Konteks Demografis ...

1 7 9 10

11 14 16 17 20

21 22 23 25

27 27 27 28


(15)

15 4.2.3. Konteks Sosial Budaya ...

4.3. Desa Neglasari ... 4.3.1. Konteks Geografis dan Administratif ... 4.3.2. Fasilitas Umum ... 4.3.3. Konteks Sosial Budaya... 4.3.4. Konteks Sosial Ekonomi ... 4.3.5. Gejala Tekanan Penduduk ...

V. FERTILITAS DI DESA STUDI

5.1. Pendahuluan ... 5.2. Konteks Demografis ... 5.3. Gambaran Fertilitas di Desa Studi ... 5.4. Usia Kawin ... 5.5. Penggunaan Kontrasepsi ……… ... 5.6. Nilai Fertilitas bagi Perempuan dan Lelaki ... 5.7. Nilai Anak ... 5.8. Desired Fertility... 5.9. Ikhtisar ...

VI. RELASI GENDER DAN FERTILITAS DI DESA STUDI

6.1. Pendahuluan ... 6.2. Relasi Gender dalam Pola Perkawinan ... 6.3. Aspek Otonomi dan Kuasa Perempuan ... 6.3.1. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

Ekonomi Rumah Tangga ... 6.3.2. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan Ekonomi Rumah Tangga dan Fertilitas Aktual ………... 6.3.3. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

tentang Ukuran Keluarga ... 6.3.4. Kuasa Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

tentang Ukuran Keluarga dan Fertilitas Aktual ………... 6.3.5. Kebebasan dalam Bergerak...

36 38 38 40 41 43 47 51 51 54 57 58 60 62 63 65 67 68 69 70 72 72 74 75


(16)

16 6.3.6. Kebebasan dalam Bergerak dan Fertilitas Aktual ...

6.3.7. Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh Individu ... 6.3.8. Sikap Gender di Level Komunitas yang Dipahami oleh

Individu dan Fertilitas Aktual... 6.3.9. Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan

Keputusan ... 6.3.10.Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan Keputusan dan Fertilitas Aktual... 6.3.11.Relasi Gender dan Lapisan Sosial ... 6.4. Ikhtisar ...

VII. PENUTUP

7.1. Pendahuluan... 7.2. Kesimpulan ... 7.3. Saran ……... DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

78

80

87

91

94 95 96

99 101 103


(17)

17

DAFTAR TABEL

Dalam Teks Halaman

Tabel 1

Tabel 2

Tabel 3

Tabel 4

Tabel 5

Tabel 6

Tabel 7

Tabel 8

Tabel 9

Tabel 10

Tabel 11

Tabel 12

Provinsi Jawa Barat Sekilas dalam Angka mengenai Kemiskinan, Gender dan Fertilitas, Tahun 2007 dan 2008

Empat Pola Perkawinan

Indikator Demografi Provinsi Jawa Barat Tahun 1971-2010

Angka Partisipasi Sekolah Provinsi Jawa Barat, Tahun 2008

Tingkat Pengangguran Terbuka Pemuda Menurut Jenis Kelamin dan Wilayah, Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Pulau Jawa, Nasional, Tahun 2007

Kategori Pelapisan Sosial Ekonomi Masyarakat Desa Neglasari

Jumlah Penduduk dan Rumah Tangga Desa Neglasari, Tahun 2008 dan 2011

Sebaran Usia Penduduk Desa Neglasari, Tahun 2011

Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Neglasari, Tahun 2011

Fertilitas Responden Desa Neglasari, Tahun 2011

Angka Bayi Lahir Desa Neglasari, Tahun 2009-2011

Penggunaan Kontrasepsi pada Responden Perempuan dan Jumlah Anak yang Dilahirkan di Desa Neglasari, Responden Usia 45-59 Tahun, Tahun 2011

6

12

31

30

35

45

51

53

53

55

57


(18)

18

Dalam Lampiran Halaman

Tabel 1

Tabel 2

Tabel 3

Tabel 4

Tabel 5

Angka Fertilitas Total (AFT) Menurut Pulau di Indonesia Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1991, 1994, 1998, 1999, dan 2007

Angka Fertilitas Total menurut Provinsi di Pulau Jawa Tahun 1971, 1980, 1985, 1990, 1991, 1994, 1998, 1999, dan 2007

Usia Rata-rata Perempuan Saat Pertama Kawin untuk Provinsi-provinsi di Pulau Jawa, Tahun 1994, 1997, 2002 dan 2003.

Indikator Demografi terkait Fertilitas dan Relasi Gender Provinsi Jawa Barat/Pulau Jawa/Indonesia, Tahun 1971-2007

Penggunaan Kontrasepsi pada Responden Perempuan dan Jumlah Anak yang Dilahirkan, Responden Usia 30-59 Tahun, Tahun 2011

4

5

6

30


(19)

19

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1

Gambar 2

Gambar 3

Kerangka Fikir Penelitian Relasi Gender-Fertilitas

Peta Administratif Jawa Barat

Indikator Demografi terkait Fertilitas dan Relasi Gender Provinsi Jawa Barat/ Pulau Jawa/ Indonesia, tahun 1971-2007

17

29


(20)

20

DAFTAR LAMPIRAN


(21)

21

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Anak dalam sebuah keluarga bukanlah sekedar hasil sebuah kegiatan biologis, tetapi melampaui itu, anak adalah hasil sebuah proses yang kompleks. Kompleksnya proses yang terjadi tercermin dari proses pengambilan keputusan mengenai anak dalam keluarga yang melibatkan keinginan-keinginan, motivasi dan relasi antar aktor yang terlibat di dalamnya. Kekompleksan dimensi dalam kelahiran anak ini telah pula menarik para ahli tidak hanya dari kalangan demografi, tetapi juga telah menarik perhatian ahli dari latar belakang sosiologi, ekonomi, psikologi dan antropologi (Robinson dan Harbinson, 1983).

Kelahiran seorang anak dimulai dengan sebuah proses di dalam keluarga yakni diambilnya keputusan untuk memiliki anak.1 Keputusan ini sendiri merupakan hasil dari sebuah diskusi atau tanpa diskusi; keputusan tanpa diskusi terjadi karena salah satu pihak (suami atau istri) merasa bahwa apapun yang ia putuskan adalah sama dan pasti disetujui oleh pihak lain (suami atau istri). Keputusan tanpa diskusi dapat pula mencerminkan adanya dominasi dari satu pihak (suami atau istri) kepada pihak lain (suami atau istri). Selanjutnya, proses di dalam keluarga untuk menuju kelahiran anak adalah aktivitas biologis yang memungkinkan istri untuk hamil. Selain proses di dalam keluarga, kelahiran seorang anak juga mencakup proses di luar keluarga, di mana kelembagaan komunitas, agama, adat, budaya, dan pemerintah memiliki pengaruh.2 Kelembagaan-kelembagaan di luar keluarga ini mempengaruhi nilai-nilai di dalam keluarga terkait anak.

1

Hal ini merujuk pada kondisi yang umum ditemukan di budaya Indonesia, di mana anak berada dalam wilayah keputusan keluarga yang utamanya terdiri atas suami dan istri, bukan oleh pasangan yang tidak menikah dan tidak membentuk keluarga.

2

Proses dalam keluarga ini dalam periode tertentu pernah hampir tidak berlaku di Indonesia, saat pemerintah Orde Baru mengambil alih hak keluarga untuk memutuskan jumlah anak yang dilahirkan dan melaksanakannya dengan cara yang koersif.


(22)

22 Keputusan dalam keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan disebut dengan istilah desired fertility3. Sebagaimana disinggung dalam paragraf sebelumnya, desired fertility tidak semata-mata ditentukan oleh motivasi dan keinginan aktor-aktor yang berada di dalam keluarga, melainkan juga dipengaruhi oleh kelembagaan-kelembagaan di luar keluarga yang mempengaruhi jumlah anak, nilai anak dan norma-norma mengenai pembatasan kelahiran. Setelah

desired fertility diputuskan, proses yang selanjutnya terjadi adalah apakah hal

tersebut dapat diakomodasi oleh kelembagaan KB (Keluarga Berencana) yang memberikan pelayanan kontrasepsi untuk pembatasan kelahiran dan kesehatan reproduksi. Semakin mudah dan murah akses keluarga terhadap sarana dan prasarana kontrasepsi maka akan semakin mungkin jumlah anak yang dilahirkan (actual fertility) mendekati jumlah anak yang diinginkan (desired fertility). Sebaliknya, jika akses keluarga terhadap sarana dan prasarana kontrasepsi semakin sulit dan mahal, maka jumlah anak yang dilahirkan (actual fertility) akan semakin mendekati jumlah anak potensial dan jumlah anak lahir yang tidak diinginkan (direncanakan) pun akan semakin semakin besar (Easterlin, 1975).

Studi mengenai desired fertility penting, mengingat bahwa Pritchett (1994) dalam Aggarwal (2006) menemukan bahwa 90 persen perbedaan actual fertility antar negara dapat diterangkan dengan desired fertility. Desired fertility adalah hasil keputusan atas jumlah anak dalam keluarga. Sebagaimana keputusan-keputusan dalam keluarga yang lain, keputusan-keputusan ini melalui sebuah proses yang mencerminkan hubungan antar anggota keluarga; terutama hubungan antara suami dan istri, yang memperoleh pengaruh dari luar keluarga. Hubungan antar suami istri tercermin dalam relasi gender dalam keluarga yang merupakan konstruksi dari nilai-nilai dan norma sosial budaya pada level komunitas. Secara umum ditemukan bahwa saat perbedaan peran gender antar perempuan dan laki-laki semakin sedikit, perempuan memperoleh status dan kuasa di dalam masyarakat dan mulai memiliki kontrol atas aspek reproduksinya (Riley, 1997). Lebih lanjut, Riley (1997) menyebutkan bahwa saat perempuan memiliki otonomi lebih besar,

3


(23)

23 kesehatan ibu dan anak semakin meningkat, fertilitas dan kematian anak menurun dan pertumbuhan penduduk akan lebih lambat.

Otonomi perempuan sebagai variabel untuk mengukur relasi gender, adalah hal yang kompleks. Kompleksnya hal ini tercermin dari berbagai penelitian yang memaknai otonomi atau status perempuan dengan cara yang berbeda. Beberapa penelitian melihat otonomi perempuan dari kualitas individual, beberapa contohnya adalah Hakim et al. (2003); Kabir, et al. (tidak ada tahun); dan Mahmoudian (2005). Hakim et al. (2003) memaknai otonomi perempuan dari 2 aspek yakni mobilitas dan pengambilan keputusan domestik. Kabir et al. (tidak ada tahun) memaknai status perempuan dari pendidikan perempuan, pekerjaan perempuan dan perannya dalam diskusi keluarga berencana. Sementara Mahmoudian (2005) memaknai status perempuan melalui pendidikannya.

Mason dan Smith (2003) mengkritik cara melekatkan status perempuan hanya pada kualitas individual sebagaimana dilakukan para peneliti tersebut dan menyarankan untuk melihat otonomi dan kekuasaan perempuan di dalam rumah tangga juga dari konteks sosial budaya di level komunitas. Kritikan ini didasarkan pada temuannya di 5 negara di Asia (India, Malaysia, Pakistan, Thailand dan Filipina) yang menyimpulkan bahwa otonomi perempuan di level individu berkorelasi lemah dengan variabel-variabel terkait fertilitas. Meskipun demikian, menurutnya, perbedaan level sosial ekonomi antar individu perlu mendapatkan perhatian. Mason dan Smith (1999) menyebutkan bahwa dalam sistem sosial budaya di mana komunitas mendorong seklusi dan domestifikasi perempuan, maka situasi sosial ekonomi yang lebih rendah akan memperbesar otonomi perempuan. Namun, dalam sistem sosial budaya yang mendorong inklusi dan kebebasan perempuan, maka situasi sosial ekonomi keluarga yang rendah akan memperendah otonomi perempuan.

Indonesia, negara tempat penelitian ini dilakukan, pernah mengalami penurunan actual fertility yang signifikan. Namun, hal tersebut dilakukan melalui sebuah mekanisme yang tidak melibatkan keluarga dan kelembagaan komunitas di sekitarnya, tetapi semata-mata oleh sebuah lembaga pemerintah negara yang bersifat koersif. Melalui kebijakan KB, pemerintah pusat memberi kewajiban pada


(24)

24 warga negara untuk melakukan pembatasan jumlah anak dan menyediakan sarana untuk melakukan hal ini. Program ini berhasil menurunkan jumlah anak secara signifikan4.

Tabel 1 Lampiran menunjukkan bahwa AFT pada tahun 1971 adalah 6, lalu terus mengalami penurunan menjadi 5 (tahun 1980), 4 (tahun 1985) dan 3 (tahun 1990). Angka tersebut kemudian berhenti pada kisaran 2,6 pada tahun 1998 sampai tahun 2007. Akhir 1970-an sampai awal 1990-an adalah masa di mana pemerintah Orde Baru gencar mencanangkan gerakan KB. Masa itu adalah masa keemasan kesuksesan program KB dalam menurunkan angka kelahiran, tetapi cerita-cerita pemaksaan penggunaan alat pembatasan kelahiran pada akseptor telah merusak keberhasilan itu. Pemaksaan penggunaan kontrasepsi pada masa itu juga menunjukkan bahwa keinginan atas jumlah anak yang sedikit berada di pihak pemerintah, bukan di pihak keluarga, dan bahwa perempuan tidak memiliki hak atas keputusan tersebut.

Saat pemerintahan Orde Baru berakhir, kelembagaan KB yang didirikan oleh pemerintah Orde Baru juga mengalami kemunduran yang signifikan seiring dengan perubahan kebijakan dan era otonomi daerah (pada tahun 1999) yang memungkinkan setiap pemerintah daerah menentukan sendiri prioritas kegiatannya (Permana, 2009). Selain itu, BKKBN menyatakan bahwa sebab utama keberhasilan pelembagaan KB pada Orde Baru adalah karena dukungan dana yang besar dari donor luar negeri yakni World Bank, hal yang tidak lagi diperoleh setelah era 1990-an berakhir (Permana, 2009 dan Munir, 2012). Berdasarkan wilayahnya, Tabel 1 Lampiran menunjukkan bahwa Pulau Bali dan Pulau Jawa memiliki AFT5 terendah (peringkat pertama dan kedua) dibandingkan pulau-pulau lain di Indonesia, yakni 2,1 dan 2,25 pada tahun 2007. Sementara itu di tahun yang sama (2007) Pulau Maluku dan Pulau Nusa Tenggara memiliki AFT tertinggi yakni 3,55 dan 3,50.

4

Program Keluarga Berencana (KB) diinisiasi oleh pemerintah Orde Baru pada akhir tahun 1970-an, data dari BKKBN menunjukkan bahwa presentase peserta KB di Indonesia pada tahun 1970 kurang lebih adalah 5persen lalu meningkat menjadi 26persen, 48persen dan 57persen pada tahun 1980, 1987, 1997 secara berurutan. Angka ini tidak lagi mengalami peningkatan signifikan setelah program KB mengalamai stagnasi di masa reformasi.

5

Angka Fertilitas Total (Total Fertility Rate), didefinisikan sebagai jumlah rata-rata jumlah anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan selama masa suburnya.


(25)

25 Lebih lanjut, data pada Tabel 2 Lampiran menunjukkan bahwa pada tahun 2007, Provinsi Banten dan Jawa Barat memiliki AFT yang jauh lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, yakni berada di angka yang sama: 2,6, sementara AFT rata-rata Pulau Jawa pada tahun yang sama (2007) adalah 2,25. Angka 2,6 yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten menyamai AFT rata-rata nasional tahun yang sama (2007) yakni 2,6. Sebelum Provinsi Banten memisahkan diri dari wilayah Jawa Barat pada tahun 2000, Provinsi Jawa Barat selalu menjadi provinsi dengan AFT tertinggi di Pulau Jawa sejak tahun 1971. Setelah pemisahan Provinsi Banten, Provinsi Jawa Barat dan Provinsi Banten bersama-sama menjadi 2 provinsi di Pulau Jawa dengan AFT tertinggi. Kesenjangan AFT antara Provinsi Jawa Barat dengan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa yang cukup besar menjadikan provinsi ini menarik untuk dikaji lebih jauh.

Penulis menampilkan data lain yang secara sekilas menggambarkan kondisi Provinsi Jawa Barat terkait dengan isu kemiskinan, relasi gender dan fertilitas pada Tabel 1. Merujuk pada Tabel 1 Provinsi Jawa Barat Sekilas dalam Angka mengenai Kemiskinan, Gender dan Fertilitas, tahun 2007 dan 2008, menarik untuk diperhatikan bahwa angka partisipasi sekolah perempuan usia sekolah, pengguna kontrasepsi dan angka kehadiran penolong persalinan terlatih saat persalinan di Provinsi Jawa Barat lebih rendah dari rata-rata nasional. Padahal Provinsi Jawa Barat adalah provinsi yang relatif dekat dengan ibu kota negara; Jakarta. Rendahnya persentase pengguna kontrasepsi dapat disebabkan oleh beberapa hal; tidak ingin melakukan pembatasan kelahiran (desired fertility tinggi) atau tingginya biaya kontrasepsi (Easterlin, 1975).

Sementara itu, rendahnya angka kehadiran penolong persalinan selain dikarenakan oleh faktor sosial ekonomi, dikarenakan pula oleh faktor budaya. Temuan Hartiningsih dan Pambudy (2010) di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat menunjukkan adanya kematian ibu saat persalinan karena budaya setempat yang menyatakan bahwa keputusan pertolongan persalinan ada di tangan suami atau ayah mertua, sementara kedua laki-laki tersebut tidak ada di lokasi saat hari persalinan.


(26)

26 Tabel 1 Provinsi Jawa Barat Sekilas dalam Angka mengenai Kemiskinan, Gender dan Fertilitas, tahun 2007 dan 2008

Persen-tase Pendu-duk Miskin 2007 1

Angka Partisipasi Sekolah Perempuan Usia 13-18

tahun, 2008 2 AFT (Angka

Fertili-tas Total) 2007 3

AKB (Angka

Kemati-an Bayi) 2007 4

Persenta-se perempu-an pengguna kontra-sepsi 5

Persenta-se kelahiran yang ditolong oleh tenaga kesehatan terlatih 6 ,

2007 Usia 13-15 tahun Usia 16-18 tahun Provinsi Jawa Barat

13,01 79,57 46,18 2.6 39 61 61,79

Rata-rata Nasional

15,42 84,69 54,59 2.6 39 61,4 72,53

Sumber: 1

Data dan Informasi Kemiskinan 2007, BPS dalam BPS, 2009b 2

Susenas 2008 dalam Bappenas, tidak ada tahun. 3

, 4 dan 5 SDKI 2007 6

Data dan Informasi Kemiskinan 2007, BPS dalam BPS, 2009b

Hal lain yang dapat dicermati adalah data usia kawin pada Tabel 3 Lampiran yang menunjukkan secara berurutan usia kawin perempuan Jawa Barat pada tahun 1994, 1997, 2002 dan 2003 adalah 17,0; 17,4; 17,8; dan 18,8. Dibandingkan dengan usia kawin pada provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa pada tahun yang sama, usia kawin yang dimiliki oleh Provinsi Jawa Barat berada di golongan terendah bersama Provinsi Jawa Timur dan Provinsi Banten. Usia kawin Provinsi Jawa Barat pada tahun 2007 (18,8) juga lebih rendah dari rata-rata nasional (19,8) (IDHS 2007). Rendahnya usia kawin perempuan Sunda dapat menjadi alasan atas tingginya AFT, selain itu rendahnya usia kawin tersebut dalam batas tertentu mencerminkan rendahnya ruang partisipasi perempuan di ruang publik dan membatasi pilihan mereka. Rendahnya ruang partisipasi perempuan di ruang publik konsisten dengan data partisipasi sekolah untuk perempuan usia 13-18 tahun di Provinsi Jawa Barat yang lebih rendah dibandingkan rata-rata nasional yang mencakup seluruh provinsi di Indonesia.

Kondisi fertilitas secara umum di Indonesia dan sebarannya di tiap wilayah, proses-proses dalam keluarga dan di luar keluarga yang dilalui untuk menghasilkan fertilitas tersebut, mendorong untuk dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh relasi gender dalam keluarga terhadap fertilitas yang mereka miliki. Relasi gender dalam keluarga yang berpengaruh terhadap fertilitas


(27)

27 bukanlah sebuah konsep yang sudah baku, penelitian ini berupaya menelusuri sejauh mana variabel relasi gender yang diperkirakan mempunyai pengaruh dalam fertilitas sebuah keluarga.

1.2. Rumusan Masalah

Pentingnya memperhatikan perempuan dalam isu fertilitas telah dicatat oleh seorang pengamat dari Inggris (dalam Easterlin, 1975) meski tidak secara eksplisit merujuk pada relasi gender. Ia mencatat bahwa pada tahun 1890-an, umumnya seorang ibu kelas pekerja akan menikah pada umur belasan atau awal 20, lalu mengalami sepuluh kehamilan, membutuhkan waktu sebanyak 15 tahun dalam hidupnya untuk hamil dan mengurus bayi. Lalu pada 85 tahun berikutnya (1975) seorang ibu dari kelas yang sama akan mengalami kehamilan yang jauh lebih sedikit sehingga hanya membutuhkan 4 tahun dalam hidupnya untuk hamil dan mengurus bayi. Penurunan yang luar biasa hanya dalam waktu 2 generasi menunjukkan peningkatan kebebasan perempuan yang revolusioner dalam kegiatan reproduksinya.

Hubungan antara relasi gender dan fertilitas adalah hal yang ditelusuri lebih jauh dalam penelitian ini. Meskipun sampai saat ini belum ada kesepakatan mengenai indikator relasi gender yang memiliki pengaruh terhadap fertilitas. Penelitian ini dilakukan pada sebuah komunitas desa dengan konteks Islam konservatif.6 Data dan temuan di komunitas dan negara yang mayoritas penduduknya muslim konservatif menunjukkan bahwa perempuan memiliki otonomi yang relatif terbatas (Mason et al. 1998 dalam Mason dan Smith, 1999). Data lain (United Nations Statistics Division, 2011) juga menunjukkan bahwa

6

Definisi Islam konservatif merujuk pada Islam yang menekankan pada penafsiran doktrin keagamaan secara ketat dan dogmatis, tanpa membuka peluang bagi penafsiran baru sesuai konteks saat ini. Ciri umum aliran ini adalah penekanan ketaatan kepada buku-buku klasik tentang penafsiran Al Quran dan Hadits yang mulai beredar sejak Abad ke 16 (Di Indonesia umum disebut dengan istilah kitab kuning). Kitab ini umumnya dikarang oleh para ulama lelaki. Kritik terhadap pemaknaan ketat kitab kuning dari kalangan feminis terkait penafsiran ayat-ayat Al Quran dan Hadits yang bias lelaki karena kepentingan politik, konteks budaya dan sosial ekonomi yang menjadi setting dari kitab kuning tersebut. Istilah Islam konservatif sering pula disamakan dengan Islam fundamentalis.


(28)

28 angka pertumbuhan penduduk di negara-negara muslim lebih tinggi dibandingkan pada negara-negara yang mayoritas penduduknya bukan penganut muslim.

Sejalan dengan hal tersebut, Mason et al. (1998), dalam Mason dan Smith (1999) menyebutkan bahwa di mana perempuan memiliki gerak yang terbatas, maka akses terhadap kontrasepsi juga terbatas. Fenomena ini dapat dipahami dengan melihat doktrin-doktrin dalam Islam konservatif. Salah satu doktrin Islam konservatif yang terpenting adalah mengenai stereotype yang melekatkan perempuan hanya di ranah domestik, kritik terhadap pembatasan peran perempuan di ranah publik seringkali diartikan sebagai penyerangan terhadap agama Islam (Basya, 2003). Pandangan ini seringpula dibarengi dengan pandangan bahwa dalam agama Islam, lelaki adalah lebih berharga dibandingkan perempuan, dan perempuan seolah-olah kemudian menjadi manusia kelas 2 (Nataprawira dan Pribadi, 2003).

Berdasarkan temuan-temuan tersebut, dapat diharapkan bahwa di sebuah komunitas tradisional yang kental dengan budaya Islam konservatif yang patriarki maka para perempuannya akan memiliki otonomi dan kebebasan yang terbatas serta fertilitas yang tinggi. Sebagaimana dibahas sebelumnya, dapat diketahui bahwa situasi perempuan Provinsi Jawa Barat relatif kurang menguntungkan dibandingkan dengan situasi perempuan di provinsi-provinsi lain. Hal ini dapat dilihat dari rendahnya partisipasi sekolah, AFT, persentase pertolongan kelahiran, persentase pengguna kontrasepsi dan usia kawin, serta tingginya AKB (Angka Kematian Bayi).

Desa Neglasari, tempat penelitian ini dilakukan, adalah sebuah desa di Provinsi Jawa Barat dengan konteks Islam konservatifnya yang masih sangat terasa. Di desa ini terdapat 9 pesantren tradisional7 dengan masing-masing 1 kiai sebagai pemimpin pesantren yang menjadi tokoh informal yang masih berpengaruh di desa meski sudah mengalami penurunan pengaruh dari generasi ke

7

Pesantren tradisional di sini didefinisikan sebagai sebuah pesantren yang fokus pada pendidikan keagamaan, dengan sumber kitab suci dan kitab-kitab kuning. Dalam pesantren ini, pelajaran sesuai kurikulum sekolah tidak didapatkan. Demi memperoleh pendidikan umum, beberapa siswa memilih untuk bersekolah umum di pagi sampai siang hari dan baru “nyantri” setelah pulang sekolah dan sekaligus menginap di pesantren.


(29)

29 generasi. Kuatnya pengaruh ini antara lain dipengaruhi oleh banyaknya santri yang berada di pesantren yang dapat dimobilisasi oleh kiai8. Sejalan dengan kegiatan pesantren oleh para santri, kegiatan pengajian adalah kegiatan rutin yang dilakukan oleh sebagian besar warga. Studi di desa ini kemudian menjadi menarik karena dalam lingkungan yang kental dengan konteks Islam konservatif dan budaya Sunda yang patriarki, para perempuan di desa ini kemudian memiliki kesadaran mengenai pentingnya pembatasan kelahiran, dan lalu mampu beradaptasi dalam lingkup relasi gendernya untuk mempengaruhi fertilitas mereka.

Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut:

1. Bagaimana kondisi fertilitas di desa studi?

2. Bagaimana karakteristik relasi gender pada keluarga-keluarga di desa studi?

3. Bagaimana relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas di desa studi?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah, maka dirumuskan tujuan penelitian sebagai berikut:

1. Mengkaji kondisi fertilitas di desa studi.

2. Mengkaji karakteristik relasi gender pada keluarga-keluarga di desa studi.

3. Menjelaskan bagaimana relasi gender bekerja dalam mempengaruhi fertilitas di desa studi.

8

Salah satu contoh mobilisasi santri adalah saat santri menggerebek penyuluhan Keluarga Berencana dan Kontrasepsi oleh penyuluh kecamatan di balai desa karena kiai menganggap kegiatan tersebut bertentangan dengan nilai-nilai agama. Peristiwa ini terjadi pada Bulan September 2011, saat kegiatan P2WKSS berjalan di desa studi.


(30)

30 1.4. Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan untuk menambah khasanah ilmu pengetahuan, terutama di bidang ilmu kependudukan dan sosiologi, khususnya studi di wilayah gender. Penelitian mengenai fertilitas memang bukanlah hal yang baru; tetapi sejauh ini penelitian-penelitian yang dilakukan belum menemukan teori yang tetap mengenai keterhubungan kedua variabel; relasi gender dan fertilitas. Penelitian ini diharapkan akan memperkaya khasanah ilmu dalam bidang penelitian ini. Pengkayaan ini terutama karena masih jarangnya penelitian yang menghubungkan kedua variabel dengan menggunakan metode kualitatif untuk mengkaji lebih dalam bagaimana variabel relasi gender bekerja mempengaruhi fertilitas.

Saat ini, kebijakan yang bersifat koersif untuk melakukan pembatasan kelahiran sudah tidak ada sehingga kontrol atas jumlah anak tidak lagi berada di tangan pemerintah, keingintahuan kemudian muncul mengenai ke manakah kontrol tersebut kemudian berada. Pengetahuan tentang hal ini berguna untuk mengkaji sejauh mana perempuan memiliki kontrol atas tubuhnya. Pengetahuan tentang hal ini dapat dimanfaatkan untuk pemilihan strategi dalam upaya peningkatan kesehatan ibu dan anak yang saat ini sedang digalakkan oleh pemerintah sesuai dengan konteks sosial budaya yang melatarbelakangi sang ibu.


(31)

31

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Relasi Gender dalam Pengambilan Keputusan Keluarga

Relasi gender di dalam keluarga menggambarkan bagaimana akses dan kontrol suami dan istri dalam setiap keputusan keluarga. Relasi gender dalam keluarga dapat dilihat dari sifat hubungan antara istri dan suami sebagaimana disampaikan oleh Scanzoni dan Scanzoni (1981) dalam Suleeman (2004) yang menyebutkan bahwa terdapat empat macam pola perkawinan yakni owner

property, head complement, senior junior partner dan equal partner. Secara

singkat, perbedaan dari keempat pola perkawinan tersebut disampaikan pada Tabel 2.

Keputusan untuk memiliki anak dan jumlahnya, sebagaimana keputusan-keputusan lain dalam rumah tangga adalah hasil dari sebuah proses pengambilan keputusan antar anggota keluarga, dan dipengaruhi oleh pihak di luar keluarga. Galvin dan Bromel (2000) dalam Jrank (tidak ada tahun) mendefinisikan pengambilan keputusan sebagai sebuah proses di mana sebuah keluarga menentukan pilihan, melakukan penilaian atas pilihan dan menghasilkan keputusan yang akan menjadi acuan atas perilaku anggota keluarga. Proses pengambilan keputusan di dalam keluarga adalah sebuah aktivitas komunikasi yang bersandar pada pengekspresian makna. Aktivitas komunikasi tersebut dapat merupakan aktivitas yang eksplisit (para anggota keluarga duduk bersama dan mendiskusikan keputusan yang akan diambil) atau implisit (saat anggota keluarga menentukan pilihan berdasarkan keputusan sebelumnya dan pertimbangan-pertimbangan lain yang mungkin tidak terucap). Proses pengambilan keputusan dalam keluarga dapat menjadi sebuah proses yang penuh dengan ketegangan, atau proses yang sangat menyenangkan atau suatu proses yang suasananya berada di antara kedua suasana tersebut. Dalam proses pengambilan keputusan, keluarga dapat memecahkan perbedaan antar anggotanya (Galvin dan Brommel, 2000 dalam Jrank, tidak ada tahun). Lebih lanjut, Atkinson dan Stephen (1990) dalam Jrank (tidak ada tahun)menemukan bahwa proses pengambilan keputusan dalam keluarga terkait erat dengan nilai-nilai “nilai-nilai dikomunikasikan di dalam


(32)

32 Tabel 2 Empat Pola Perkawinan

Owner property Head

complement

Senior junior partner

Equal partner

Kedudukan istri - suami

Istri adalah milik suami, sebagaimana barang berharga lainnya. Istri adalah pelengkap suami. Istri adalah teman yang dianggap sebagai “junior” oleh suami. Istri adalah rekan suami.

Tugas istri - suami

Terdapat pemisahan yang tegas antara tugas suami dan tugas istri. Suami bertugas mencari nafkah, sementara istri wajib mengerjakan pekerjaan rumah. Tugas utama suami adalah mencari nafkah dan istri bertugas di rumah, jika suami memiliki waktu luang maka ia dapat membantu istri di rumah. Istri dapat pula bekerja, tetapi harus seizin suami. Istri memiliki kebebasan yang lebih besar dalam melakukan tugas di ruang publik demi

pengembangan dirinya. Namun, sebagai junior, dia tidak boleh melebihi suaminya di ruang publik (misal: dalam bidang pendapatan, karir, pendidikan). Tidak ada pemisahan yang tegas antara tugas istri dan suami. Istri dan suami dapat melakukan tugas sesuai pilihan mereka untuk mencapai tujuan keluarga bersama-sama. Tugas domestik – Tugas di ruang publik Tugas-tugas domestik dianggap memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan tugas-tugas di ruang publik. Tugas-tugas domestik dianggap memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan tugas-tugas di ruang publik. Tugas-tugas domestik dianggap memiliki nilai yang lebih rendah dibandingkan tugas-tugas di ruang publik. Tugas-tugas domestik dinilai sama pentingnya dengan tugas-tugas di ruang publik. Status sosial istri dan pengakuan atas keberadaan-nya

Status sosial istri sesuai status suaminya. Pengakuan diperoleh perempuan jika ia melakukan tugasnya sebagai istri sesuai perintah suami.

Status sosial istri sesuai status suaminya. Pengakuan atas istri sangat tergantung pada pengakuan publik atas kedudukan suami. Istri menjadi pendukung karir suami di ruang publik

Status sosial istri mengikuti status sosial suami.

Status sosial dan pengakuan atas keberadaan istri diperoleh atas kemampuannya sendiri dan tidak dikaitkan dengan status suami.


(33)

33

Owner property Head

complement Senior junior partner Equal partner Pengambil keputusan dalam rumah tangga

Mutlak di tangan suami

Istri dapat memberikan pendapat, tetapi keputusan akhir mutlak di tangan suami. Istri memiliki kontribusi lebih besar dalam keputusan rumah tangga dibandingkan dalam pola perkawinan sebelumnya. Namun suami tetap memiliki kuasa yang sedikit lebih banyak dibanding istri dalam mengambil keputusan akhir.

Baik istri dan suami mempunyai porsi kekuasaan yang sama dalam melakukan pengambilan keputusan dalam rumah tangga.

Dirangkum dari Suleeman (2004)

keluarga dan nilai-nilai tersebut akan menjadi bagian dari dasar asumsi anggota keluarga untuk mengkoordinasikan tindakan mereka masing-masing di masa depan”. Oleh karena itu, pengambilan keputusan dalam keluarga menjangkau berbagai tujuan dan aktivitas keluarga. Pudjiwati Sajogyo (1983) telah pula membuat mengidentifikasi lima pola pengambilan keputusan dalam rumah tangga. Kelima pola tersebut adalah pengambilan keputusan oleh istri atau suami sendiri, bersama setara, dan atau bersama dengan suami atau istri dominan.

Dikaitkan dengan analisis gender, pengambilan keputusan dalam sebuah rumah tangga, adalah merupakan pencerminan dari relasi antar anggota rumah tangga, dengan penekanan pada relasi antar suami dan istri. Secara umum dapat dikatakan bahwa keputusan tersebut adalah cerminan dari keputusan suami atau atau keputusan istri, atau konsensus suami dan istri. Meski, seringkali ditemukan bahwa relasi suami – istri dalam pengambilan keputusan adalah bersifat asimetris (Savitri, 2007). Setiap keputusan akan mempengaruhi seluruh anggota rumah tangga, baik yang merupakan anggota keluarga inti maupun yang bukan anggota keluarga inti.

Savitri (2007) menemukan bahwa pengambilan keputusan dalam rumah tangga adalah bagian dari strategi rumah tangga, dan keputusan dibuat dengan pertimbangan hal baik untuk seluruh anggota keluarga, sehingga anggota rumah


(34)

34 tangga yang lain harus menerima keputusan tersebut dan melaksanakannya. Individu-individu harus mengalahkan kepentingan pribadinya demi tujuan yang lebih besar (Wolf dalam Visanathan et al., 1997 dalam Savitri, 2007); otonomi personal ditekan di bawah kepentingan keluarga (Fernandez–Kelly, 1982 dalam Savitri, 2007). Karena hanya sedikit rumah tangga yang ditemukan bekerja di bawah suasana demokratis, maka strategi rumah tangga seringkali melibatkan relasi kekuasaan, dominasi dan subordinasi (Wolf dalam Visanathan et al. 1997 dalam Savitri, 2007).

Mengenai hubungan antara norma sosial budaya komunitas, faktor sosial ekonomi dan relasi gender dalam keluarga, terdapat semacam spekulasi bahwa jika sistem sosial-budaya menyarankan seklusi dan domestifikasi pada perempuan (sebagaimana ditemukan dalam komunitas patriarki); keluarga dengan kondisi sosial ekonomi yang lebih rendah akan memiliki relasi gender yang lebih setara, vice versa (Mason dan Smith, 1999). Ini sejalan dengan temuan Hull (1975) di sebuah desa di Jawa Tengah. Terlihat dalam pernyataan tersebut bahwa selain variabel sosial ekonomi, norma-norma gender di level komunitas memiliki kemampuan untuk membentuk relasi antara laki-laki dan perempuan dalam sebuah keluarga.

2.2. Relasi Gender dan Fertilitas

Penelitian-penelitian untuk menghubungkan antara variabel gender dan fertilitas telah dilakukan oleh para peneliti terdahulu, beberapa di antaranya adalah Akmam, 2002; Kabir et al.; tidak ada tahun; Hakim et al., 2003; dan Mason dan Smith, 1999. Akmam (2002) menemukan bahwa di Bangladesh, pendidikan perempuan memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap fertilitas. Umumnya pendidikan bekerja mempengaruhi fertilitas melalui keinginan atas jumlah anak, jumlah anak yang dimiliki dan biaya kontrasepsi. Lebih lanjut, Akmam (2002) mengemukakan bahwa pengaruh terbesar dari pendidikan muncul saat level pendidikan perempuan adalah di level menengah; sementara sedikit pendidikan dasar sepertinya tidak memiliki pengaruh signifikan terhadap fertilitas. Dalam kesimpulannya, Akmam (2002) menyebutkan bahwa setelah melewati batas


(35)

35 pendidikan menengah tersebut, semakin tinggi pendidikan perempuan akan mengurangi angka kelahiran.

Kabir et al. (tidak ada tahun) dalam penelitiannya menggunakan data Survey Demografi dan Kesehatan Bangladesh 1999-2000 menemukan bahwa terdapat 3 indikator dalam status perempuan yakni; pendidikan, pekerjaan dan diskusi perencanaan keluarga yang memiliki pengaruh penting dalam meningkatkan penggunaan kontrasepsi dan penurunan fertilitas. Hakim et al. (2003) dengan menggunakan data Survey Fertilitas dan Keluarga Berencana Pakistan Tahun 1996-1997 menyimpulkan bahwa terdapat 3 indikator utama otonomi perempuan yang memiliki pengaruh signifikan terhadap penggunaan kontrasepsi, yakni; mobilitas, pengambilan keputusan mengenai perawatan anak dan pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan. Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa semakin tinggi kontrol perempuan dalam pengambilan keputusan mengenai pembelian makanan memiliki pengaruh paling signifikan dalam menurunkan angka kelahiran dibanding indikator yang lain.

Temuan Hakim et al. (2003) mengenai indikator otonomi perempuan sejalan dengan usulan Mason dan Smith (2003). Dalam tulisannya, Mason dan Smith mengusulkan 5 aspek khusus dalam pemberdayaan domestik yang digali untuk meneliti fertilitas:

1. Kuasa perempuan dalam pembuatan keputusan ekonomi – apakah mereka berpartisipasi dalam keputusan-keputusan ekonomi yang besar dalam keluarga dan apakah mereka memiliki kebebasan dalam membuat keputusan ekonomi yang lebih kecil tanpa harus bertanya ke anggota keluarga yang lain?

2. Kuasa perempuan dalam pembuatan keputusan terkait ukuran keluarga – apakah mereka berpartisipasi atau ikut mengontrol keputusan mengenai jumlah anak yang ingin dimiliki?

3. Kebebasan perempuan untuk melakukan mobilitas fisik – dapatkah mereka mengunjungi tempat-tempat misalnya pasar lokal, layanan kesehatan atau taman di luar desa tanpa harus bertanya terlebih dahulu kepada anggota keluarga yang lain?


(36)

36 4. Kontrol suami terhadap istri melalui intimidasi dan paksaan – apakah mereka takut untuk tidak setuju dengan pendapat suami karena khawatir suami akan marah, dan apakah suami pernah memukul mereka?

5. Selain keempat aspek tersebut, Mason dan Smith (2003) juga mengusulkan aspek kelima dalam menelusuri hubungan relasi gender dan fertilitas, yakni sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu. Hal ini penting karena bagaimanapun, karakteristik perempuan yang tinggal dalam sebuah komunitas, setidaknya sebagian adalah produk dari sistem gender komunitas.

2.3. Proximate determinant Fertilitas

Relasi gender adalah variabel sosial budaya, sementara fertilitas hanya dapat dihasilkan melalui sebuah proses biologis. Oleh karena itu, upaya untuk menghubungkan langsung variabel gender dengan fertilitas seringkali menemukan inkonsistensi. Bongaarts (1978) menyebutkan bahwa cara ini bermasalah dalam aplikasinya; karena sering ditemukan bahwa perbedaan besar dan arah antar kedua variabel dalam setting tempat dan waktu yang berbeda. Kompleksitas ini dimungkinkan karena fertilitas adalah variabel yang bersifat biologis, sementara gender adalah variabel sosial budaya sehingga tidak dapat dihubungkan secara langsung melainkan harus melalui variabel antara.

Untuk mengatasi hal ini, Bongaarts (1978) telah mengusulkan variabel antara (proximate determinant) fertilitas yang ia definisikan sebagai faktor-faktor biologis dan perilaku melalui mana variabel sosial ekonomi, budaya dan lingkungan mempengaruhi fertilitas. Ide Bongaarts ini merujuk pada ide awal yang dilontarkan oleh Davis dan Blake pada tahun 1956 yang mengusulkan 11 variabel. Bongaarts pada awalnya mengusulkan 8 variabel, tetapi kemudian pada kesimpulannya terhadap data nasional beberapa negara maju dan berkembang dengan metode kuantitatif, Bongaarts menemukan bahwa hanya usia menikah, kontrasepsi, aborsi yang disengaja dan infekundabilitas karena laktasi yang menjadi proximate determinant utama. (Bongaarts, 1978)


(37)

37 Beberapa penelitian kemudian mencoba menggali fenomena fertilitas dengan memanfaatkan proximate determinant yang ditawarkan Bongaarts (Baschieri dan Hinde, 2007; Guengant, tidak ada tahun; Moses dan Kayizzi, 2007). Ketiganya melakukan penelitian dalam konteks makro dan menemukan bahwa proximate determinant Bongaart dapat menjelaskan penurunan atau kenaikan fertilitas dengan baik.

2.4. Kerangka Pemikiran

Berdasarkan studi pustaka di atas, dirumuskan sebuah kerangka penelitian untuk menjawab permasalahan penelitian yang telah disebutkan sebelumnya yakni sebagai disampaikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pikir Penelitian Relasi Gender – Fertilitas

Fertilitas sebagai salah satu perhatian dalam ilmu kependudukan adalah sebuah fenomena biologis yang menarik karena keterlekatannya pada manusia yang memiliki relasi sosial. Berbeda dengan fertilitas pada makhluk lain yakni hewan atau tumbuhan, manusia adalah makhluk yang memiliki kemampuan untuk melakukan rekayasa fertilitas sesuai dengan keinginanannya; berdasarkan latar belakang sosial, ekonomi dan budayanya.


(38)

38 Dalam mengkaji fertilitas, melihat relasi gender menjadi penting karena keterlekatan fungsi fertilitas pada perempuan. Penelitian terdahulu telah mengkaji gender dari berbagai aspek, misalnya dari pendidikan perempuan, selisih usia antara suami dan istri, partisipasi perempuan dalam dunia kerja. Namun, sampai saat ini belum ada aspek-aspek relasi gender yang disepakati secara umum memiliki pengaruh terhadap fertilitas. Dalam penelitian ini, peneliti merujuk ke Mason dan Smith (2003) untuk mengukur relasi gender melalui otonomi dan kuasa perempuan. Aspek otonomi dan kuasa perempuan dalam lima hal yakni; 1) Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga, 2) Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan tentang ukuran keluarga 3) Kebebasan dalam bergerak, 4) Kontrol koersif interpersonal dan 5) Sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu (Mason dan Smith, 2003).

Mason dan Smith (1999) telah menguji aspek otonomi perempuan secara kuantitatif dengan menggunakan data survey 56 komunitas pada lima negara Asia, yakni Pakistan (Punjab), India (Uttar Pradesh dan Tamil Nadu), Malaysia, Thailand dan Filipina9. Mereka menemukan bahwa terdapat pola hubungan yang cukup konsisten di level makro bahwa pada komunitas-komunitas di mana perempuan memiliki kekuasaan pengambilan keputusan lebih besar dan kebebasan bergerak, mereka memiliki actual fertility yang lebih rendah, keinginan yang lebih rendah untuk menambah anak, dan penggunaan kontrasepsi yang lebih tinggi. Temuan Mason dan Smith (1999) ini sejalan dengan temuan Hakim et al. (2003) di Pakistan. Hakim et al. (2003) menemukan bahwa di Pakistan, indikator otonomi perempuan sebagaimana yang digunakan oleh Mason dan Smith (1999) berkorelasi positif dengan penggunaan kontrasepsi. Lebih lanjut, Hakim et al. (2003) menemukan bahwa aspek otonomi perempuan yang terkuat pengaruhnya terhadap penggunaan kontrasepsi adalah pengambilan keputusan ekonomi rumah tangga dalam hal pembelian makanan.

Baik Mason dan Smith (1999) maupun Hakim et al. (2003) setuju bahwa bagaimana cara otonomi perempuan mempengaruhi fertilitas belum dapat

9

Pada penelitian ini, Mason dan Smith (1999) merumuskan aspek otonomi perempuan ke dalam 3 indikator, yakni pengambilan keputusan ekonomi, pengambilan keputusan terkait jumlah anak dan mobilitas perempuan. Pada tulisan merekaselanjutnya


(39)

39 dipastikan. Hakim et al. (2003) menyatakan bahwa kepastian ini belum dapat ditemukan karena penelitian kualitatif yang menggali mengenai hubungan antara kedua variabel ini belum dilakukan. Penelitian kualitatif diperlukan untuk mengetahui makna di balik otonomi dan kuasa perempuan yang akhirnya dapat mempengaruhi actual fertilitynya. Pada komunitas-komunitas yang berbeda, akan terdapat norma-norma komunitas yang mengatur relasi gender secara berbeda. Meski demikian, keunikan antar individu dalam sebuah komunitas memungkinkan adanya variasi relasi gender antar individu-individu di dalamnya.

Pada kerangka penelitian tersebut, kemudian aspek otonomi dan kuasa perempuan melalui 2 jalan sebelum akhirnya mempengaruhi actual fertility. Pertama, aspek otonomi dan kuasa perempuan terlebih dahulu mempengaruhi

desired fertility perempuan. Lalu di antara para perempuan yang kemudian

menginginkan jumlah anak yang sedikit tersebut, akan ada upaya pembatasan jumlah anak melalui proximate determinant yakni aborsi dan penggunaan kontrasepsi. Aborsi dan penggunaan kontrasepsi ini pada akhirnya akan mempengaruhi actual fertility yang dimiliki oleh perempuan. Kedua, aspek otonomi dan kuasa perempuan langsung mempengaruhi proximate determinant yakni usia kawin dan infekundabilitas setelah melahirkan. Usia kawin dan infekundabilitas setelah melahirkan kemudian akan mempengaruhi actual fertility yang dimiliki oleh perempuan.

Temuan-temuan di atas berupaya menghubungkan variabel relasi gender dengan fertilitas melalui variabel lain, yakni penggunaan kontrasepsi (Mason dan Smith, 1999 dan Hakim, 2003), dan jumlah anak yang dilahirkan, keinginan untuk memiliki anak lagi (Mason dan Smith, 1999). Upaya ini sesuai dengan saran Bongaarts (1978) menyebutkan bahwa cara menghubungkan variabel relasi gender dan fertilitas secara langsung akan bermasalah dalam aplikasinya; karena sering ditemukan bahwa perbedaan besar dan arah antar kedua variabel dalam setting tempat dan waktu yang berbeda. Kompleksitas tersebut dimungkinkan karena fertilitas adalah variabel yang bersifat biologis, sementara kemiskinan adalah variabel sosial budaya sehingga tidak dapat dihubungkan secara langsung melainkan harus melalui variabel antara.


(40)

40 Bongaarts (1978) lalu mengusulkan variabel antara (proximate determinant) fertilitas yang ia definisikan sebagai faktor-faktor biologis dan perilaku melalui mana variabel sosial ekonomi, budaya dan lingkungan mempengaruhi fertilitas. Ide Bongaarts ini merujuk pada ide awal yang dilontarkan oleh Davis dan Blake pada tahun 1956 yang mengusulkan 11 variabel. Bongaarts (1978) pada awalnya mengusulkan 8 variabel, tetapi kemudian pada kesimpulannya terhadap data nasional beberapa negara maju dan berkembang dengan metode kuantitatif, Bongaarts menemukan bahwa hanya usia menikah, kontrasepsi, aborsi yang disengaja dan infekundabilitas karena laktasi yang menjadi proximate determinant utama. Keempat proximate determinant yang diusulkan Bongaarts (1978) inilah yang dimanfaatkan oleh peneliti dalam penelitian ini untuk menjadi variabel antara relasi gender dan actual fertility.

2.5. Hipotesis Pengarah

Berdasarkan rumusan masalah penelitian, tujuan penelitian dan kerangka penelitian yang disampaikan sebelumnya, maka dirumuskan hipotesis penelitian sebagai berikut:

1. Semakin tinggi otonomi dan kuasa perempuan, semakin rendah desired fertilitynya, semakin tinggi aborsi dan pemakaian kontrasepsi sehingga actual fertility akan semakin rendah.

2. Semakin tinggi otonomi dan kuasa perempuan, semakin tinggi usia kawin dan infekundabilitas setelah melahirkan sehingga actual fertility akan semakin rendah.


(41)

41

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Pendekatan Penelitian

Penelitian ini memanfaatkan penggunaan metode kualitatif. Dalam ilmu kependudukan, metode kuantitatif dengan survey telah banyak digunakan, hal ini dikarenakan oleh sifatnya yang banyak bergerak di aras makro. Namun demikian, akhir-akhir ini metode kualitatif telah pula banyak dimanfaatkan dalam disiplin ilmu ini. Randall dan Koppenhaver (2004) menyebutkan bahwa alasan utama diversifikasi metode ini adalah untuk meningkatkan pemahaman atas perilaku dan fenomena dalam kependudukan, alasan lain adalah untuk meningkatkan kualitas data survey, untuk mengumpulkan data mengenai aktivitas ilegal atau sembunyi-sembunyi atau untuk mengumpulkan data dari sub-grup tertentu, misalnya orang tua yang sulit disurvey.

Lebih lanjut, mereka menyebutkan bahwa pendekatan ini terutama telah banyak digunakan untuk studi-studi mengenai persepsi, kegelisahan, dan sikap mengenai suatu subyek, misal fertilitas, keluarga berencana, kesehatan reproduksi, penyakit yang menular secara seksual – Sexually Transmitted Diseases (STD) dan penurunan kekebalan tubuh akibat virus – Human Immuno defficiency Virus (HIV). Penggunaan pendekatan kualitatif dalam isu-isu tersebut terutama dikarenakan pengambilan keputusan tentang kegiatan reproduktif memiliki implikasi kebijakan yang penting dan karena itu memerlukan pemahaman yang mendalam. Selain itu, isu-isu tersebut adalah isu sensitif yang terkait perilaku seksual, yang tidak akan mudah digali melalui survey (Randall dan Koppenhaver, 2004).

Kebutuhan untuk lebih memahami isu-isu sensitif ini dapat dijawab oleh penelitian kualitatif yang memiliki 6 asumsi: 1) Lebih memperhatikan proses dibandingkan hasil, 2) Memperhatikan arti-bagaimana orang memaknai kehidupan, pengalaman dan struktur dunianya, 3) Instrumen utama untuk pengumpulan data dan analisis adalah si peneliti itu sendiri, 4) Melibatkan penelitian lapang, di mana si peneliti secara langsung mengunjungi orang-orang yang diteliti, merasakan settingnya, lokasi dan kelembagaannya sehingga dapat


(42)

42 mengamati perilaku tineliti dalam setting alaminya, 5) Bersifat deskriptif di mana peneliti tertarik pada proses, pemaknaan, dan pemahaman yang diperoleh melalui kata dan gambar, 6) Prosesnya adalah induktif di mana peneliti membangun abstraksi, konsep, hipotesis, dan teori dari detail (Merriam, 1988 dalam Creswell, 1994).

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Lokasi penelitian di Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Desa ini adalah desa yang terletak di ujung barat Kabupaten Bogor, berbatasan dengan Kabupaten Lebak dan digolongkan sebagai salah satu desa miskin di Kabupaten Bogor. Ciri lain dari desa ini adalah aksesnya yang relatif sulit ke luar desa karena wilayahnya tidak terjangkau oleh kendaraan umum. Sebagian besar penduduk memiliki kegiatan di bidang pertanian, meski tidak selalu dianggap sebagai mata pencaharian utama; hasil pertanian di Desa Neglasari sebatas untuk konsumsi pribadi atau dijual dalam lingkup desa atau desa tetangga saja. Sebagian penduduk Desa Neglasari bekerja di luar desa, baik di Kota Tangerang atau Jakarta sebagai buruh pabrik, karyawan toko dan bengkel, dan asisten rumah tangga.

Ciri sosial budaya yang unik ditemukan di Neglasari adalah lekatnya budaya santri di desa ini. Berdasarkan informasi dari penduduk sekitar, terdapat pesantren tradisional di Neglasari yang sudah berdiri sejak tahun 1945, sementara Desa Neglasari yang merupakan hasil pemekaran baru berdiri secara administratif pada sekitar tahun 1980-an. Hal ini menjadikan keberadaan tokoh agama sebagai tokoh informal yang disegani di kalangan penduduk desa.

Penelitian di lapangan dilakukan dengan tinggal di lapangan selama 3-5 hari untuk beberapa periode pada waktu antara Bulan Juni - November 2011. Total kunjungan lapangan adalah kurang lebih total 3 minggu. Penulisan laporan dilakukan sementara dan setelah dari lapangan dan selesai pada Bulan November 2011. Sebelum melakukan penelitian di lapangan, peneliti telah lebih dahulu melakukan studi literatur dan “ketuk pintu” untuk membangun rapport (hubungan baik) dengan tineliti.


(43)

43 3.3. Jenis Data dan Teknik Pengambilan Data

Data yang dikumpulkan adalah data primer dan sekunder. Penelitian ini didahului dengan pengumpulan data sekunder mengenai desa studi, lalu melakukan kunjungan awal untuk memperkenalkan diri sekaligus mengumpulkan informasi awal mengenai desa studi dan menggali keberadaan data sekunder di desa. Data sekunder lain yang digali antara lain adalah berasal dari data Badan Pusat Statistik (BPS), data dari Indonesia Demographic and Health Survey (IDHS), media massa dan penelusuran internet.

Tahap berikutnya adalah menggali data primer dengan melakukan observasi berperan serta, wawancara mendalam dan diskusi kelompok. Peneliti memilih untuk melakukan observasi berperan serta dalam kegiatan sosial ekonomi responden, selain untuk membangun rapport juga untuk memperoleh pandangan orang dalam emic atas persepsi, nilai-nilai dan makna yang terbangun di dalam isu yang diteliti.

Pemilihan responden dilakukan dengan pertimbangan demi mencapai tujuan penelitian, yakni demi memperoleh karakteristik relasi gender yang berbeda dan perbedaan fertilitas. Responden yang dipilih adalah pasangan-pasangan dengan usia perempuan antara 45-59 tahun, sudah menikah dan memiliki anak kandung. Pertimbangan pemilihan responden dengan rentang usia 45-59 tahun adalah:

1. Pada umur tersebut, para perempuan sudah menyelesaikan masa reproduksinya, sehingga fertilitas antar responden dapat diperbandingkan. 2. Dengan usia tersebut, responden mengalami proses program Keluarga

Berencana yang diinisiasi oleh pemerintah pada tahun 1969/1970, sejak gencar-gencarnya sampai mengalami kelemahan saat otonomi daerah. 3. Responden sudah mengalami berbagai kondisi relasi gender dalam

pernikahan mereka.

Aspek kehati-hatian untuk memilah responden perempuan yang sudah mengalami pernikahan lebih dari 1 kali juga diterapkan, untuk menghindari kerancuan dalam analisis data relasi gender dan jumlah anak. Responden yang diwawancara adalah istri dan suami dalam wawancara yang terpisah. Suami juga


(44)

44 diwawancara demi memperoleh gambaran relasi gender yang dipersepsikan oleh masing-masing pihak demi ketebalan informasi.

Selain responden, wawancara juga dilakukan terhadap informan yang dipilih dengan teknik bola salju untuk memperoleh pemahaman atas isu tertentu yang memerlukan pemahaman di aras komunitas; misalnya nilai-nilai budaya yang dianut mengenai relasi suami istri, jumlah anak, dan nilai anak. Selain responden dari golongan umur 45-59 tahun, dilaksanakan pula wawancara pada responden dan informan dari pasangan yang lebih muda, yakni di bawah 45 tahun. Tujuan dari hal ini adalah sebagai perbandingan informasi dan pengkayaan data. Data yang diperoleh dari responden dan informan yang lebih muda juga bermanfaat untuk mengetahui kecenderungan perbedaan dan perubahan relasi gender dan fertilitas antar generasi di desa studi.

Pelaksanaan wawancara mendalam dilakukan dengan menggunakan panduan wawancara. Panduan wawancara bersifat mengarahkan pertanyaan yang diajukan demi upaya mencapai tujuan penelitian. Panduan wawancara dilampirkan pada Lampiran 1.

Upaya untuk mengumpulkan informasi mengenai data yang dibutuhkan dimulai dengan melakukan permohonan izin secara informal kepada kepala desa. Sebelum melakukan penelitian untuk kepentingan tesis S2, peneliti telah melakukan penelitian singkat mengenai sebuah program pemberdayaan perempuan di lokasi penelitian, sehingga pertemuan dengan kepala desa sudah terlebih dahulu dilakukan. Karena itulah, permohonan secara formal sengaja tidak dipilih untuk dilakukan untuk menghindari kecanggungan.

Dalam kunjungan tersebut peneliti juga bertemu dengan Sa seorang perempuan penduduk desa yang peneliti temui selama penelitian sebelumnya. Selanjutnya, Sa menjadi pendamping dan informan di lapangan yang sangat penting bagi peneliti. Waktu tempuh dari tempat tinggal peneliti ke lokasi penelitian adalah 1,5 sampai 3 jam, dengan waktu tersebut, sebenarnya peneliti dapat melakukan penelitian tanpa menginap. Namun strategi menginap dipilih karena peneliti dapat lebih terlibat dalam obrolan informal ibu-ibu setiap pagi dan sore hari saat mereka mengasuh anak. Pendekatan informal sengaja dipilih karena


(45)

45 isu yang dibicarakan merupakan isu sensitif dan tineliti merasa lebih nyaman memberikan informasi dalam situasi informal. Hal ini pernah disebutkan oleh Randal dan Koppenhaver (2004) bahwa responden akan sulit untuk menjawab secara jujur pertanyaan sensitif terkait seksualitas jika suasana bersifat publik dan jawaban ditulis secara formal dalam kuesioner. Dalam upaya menghindari ketidaknyamanan ini pulalah, penggunaan kertas pertanyaan dan menuliskan jawaban langsung di depan responden dihindari oleh peneliti. Untuk menghindari kerancuan data, setiap selesai melakukan 1 wawancara dengan 1 kelompok responden atau 1 individu responden, peneliti langsung pulang dan menuliskan kembali hasil wawancara dalam buku catatan.

3.4. Teknik Analisis Data

Data yang diperoleh melalui wawancara, diskusi dan observasi telah dipilah dan dianalisis sejak di lapangan. Pemilahan data dilakukan dengan pencocokan antara data yang diperoleh yang telah dicatat dalam catatan harian dengan data yang dibutuhkan sesuai dengan tujuan penelitian. Setelah dipilah, analisis mulai dilakukan sesuai kerangka pemikiran yang telah dibuat. Analisis akan menemukan apakah hasil penelitian sesuai dengan hipotesis atau tidak, dengan gambaran yang tebal (thick description) atas simpulan tersebut.


(46)

(47)

47

IV.

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Pendahuluan

Bab ini akan menyajikan gambaran umum lokasi penelitian, dari konteks propinsi kemudian menyajikan gambaran desa penelitian secara lebih mendalam. Informasi yang disajikan secara mendalam terutama adalah informasi yang berkaitan dengan isu penelitian yang sedang dibahas, yakni fertilitas dan gender. Konteks propinsi disajikan karena Propinsi Jawa Barat memiliki karakter budaya yang unik dalam lingkup satu propinsi, yakni budaya Sunda.

4.2. Propinsi Jawa Barat

4.2.1. Konteks Geografis dan Administratif

Menurut Pemerintah Provinsi Jawa Barat (2012) nama Provinsi jawa Barat muncul pertamakali dalam staatblad 1924 Nomor 378 tanggal 14 Agustus 1926 berdasarkan penetapan Pemerintah Hindia Belanda. Setelah deklarasi kemerdekaan, pada tanggal 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) menetapkan untuk membagi kembali Daerah Negara Republik Indonesia menjadi delapan provinsi yang salah satunya adalah Provinsi Jawa Barat. Pembentukan Provinsi Jawa Barat ini lalu ditetapkan kembali oleh Undang-undang Nomor 11 tahun 1950. Tanggal yang kemudian ditetapkan sebagai hari jadi Provinsi Jawa Barat adalah tanggal penetapan PPKI; tanggal 19 Agustus, penetapan ini disahkan dengan Peraturan Daerah No 26 Tahun 2010. (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a)

Propinsi Jawa Barat terletak di Pulau Jawa bagian barat, dengan posisi lintang adalah 5,50’ –7,50’ Lintang Selatan dan 104,48’ – 108,48’ Bujur Timur. Provinsi ini berbatasan dengan Laut Jawa dan Provinsi DKI Jakarta di sebelah utara, dengan Provinsi Jawa Tengah di sebelah timur, dengan Samudera Indonesia di sebelah selatan dan dengan Provinsi Banten di sebelah barat. (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a)


(48)

48 Luas provinsi ini adalah 34.816,96 km2 (BPLHD Jawa Barat, 2004) atau 24,49 persen dari total luas Pulau Jawa10 dan dengan luas tersebut, ia menempati posisi kedua provinsi terluas di Pulau Jawa setelah Provinsi Jawa Timur. Daratan Jawa Barat dapat dibedakan atas wilayah pegunungan curam (9,5 persen dari total luas wilayah Jawa Barat) terletak di bagian Selatan dengan ketinggian lebih dari 1.500 m di atas permukaan laut (dpl); wilayah lereng bukit yang landai (36,48 persen) terletak di bagian tengah dengan ketinggian 10 - 1.500 m dpl; dan wilayah dataran luas (54,03 persen) terletak di bagian Utara dengan ketinggian 0 – 10 m dpl (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a).

Tutupan lahan terluas di Jawa Barat adalah berupa kebun campuran sebanyak 22,89 persen dari luas wilayah Jawa Barat, sawah (20,27 persen), dan perkebunan (17,41 persen). Hutan primer dan hutan sekunder di Jawa Barat mencapai 15,93 persen (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a) dan pemukiman adalah 4,81 persen (Kementrian Pertanian Republik Indonesia, tidak ada tahun). Iklim di Jawa Barat sebagaimana berlaku di Indonesia yaitu tropis, dengan suhu rata-rata berkisar antara 17,4 – 30,7°C dan kelembaban udara antara 73–84 persen. Data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) menyebutkan bahwa sepanjang tahun 2008, turun hujan selama 1-26 hari setiap bulannya dengan curah hujan antara 3,6 hingga 332,8 mm. (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a)

Secara administratif, saat ini Provinsi Jawa Barat terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota; 520 kecamatan; 5.245 desa dan 626 kelurahan (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun a). Lokasi penelitian adalah Desa Neglasari, Kecamatan Jasinga, Kabupaten Bogor. Gambar 2 adalah peta yang menunjukkan peta administratif Provinsi Jawa Barat.

4.2.2. Konteks Demografis

Provinsi Jawa Barat adalah provinsi dengan luasan terbesar kedua di Pulau jawa setelah Provinsi Jawa Timur. Meski bukan provinsi terluas di Pulau Jawa,

10

Dibandingkan dengan total luas Pulau Jawa seluas 142.190 km2 (Pemerintah Provinsi Jawa Barat, tidak ada tahun b).


(49)

49

Sumber: Indonesia-peta.blogspot (2010)

Gambar 2. Peta Administratif Jawa Barat

sejak tahun 1990, jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat adalah yang terbesar dibandingkan provinsi-provinsi lain di Pulau Jawa, dan bahkan dibandingkan dengan seluruh provinsi lain di Indonesia. Pada tahun 2010, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di Provinsi Jawa Barat adalah sebanyak 18,11 persen (diolah dari data BPS, 2009a), meskipun luas wilayahnya hanya 1,8 persen dari total luas wilayah Indonesia.

Jumlah penduduk Provinsi Jawa Barat terus mengalami peningkatan yang pesat, jumlahnya pada sensus penduduk terakhir pada tahun 2010 adalah dua kali lipat dibandingkan jumlah penduduknya pada 40 tahun sebelumnya, tahun 1971. Pertambahan penduduk yang pesat tercermin dari angka pertumbuhan penduduk provinsi Jawa Barat yang selalu lebih tinggi dibandingkan angka pertumbuhan penduduk rata-rata di Pulau Jawa. Hal ini selain disebabkan oleh angka kelahiran Provinsi ini yang memang relatif tinggi dibandingkan provinsi lain di Pulau Jawa, juga disebabkan oleh arus imigrasi ke kota-kota besar yang ada di Provinsi Jawa


(1)

135 LAMPIRAN

Lampiran 1 Panduan Wawancara

Pertanyaan untuk responden perempuan (istri) A. Data terkait fertilitas

1. Berapa usia Anda saat ini? 2. Sudah berapa kali anda menikah? 3. Sudah berapa lama Anda menikah?

4. Berapa anak yang Anda miliki saat ini? Berapa usia mereka? 5. Apakah Anda berencana untuk menambah anak lagi?

6. Di awal menikah, apakah Anda memiliki bayangan/ rencana mengenai jumlah anak yang Anda inginkan? Berapa?

7. Apakah rencana tersebut sesuai dengan kondisi sekarang?

8. Apakah Anda melakukan sesuatu untuk mencapai jumlah anak yang direncanakan? Dengan cara apa?

9. Jika tidak melakukan sesuatu untuk membatasi kelahiran, mengapa? B. Data terkait relasi gender (Mengikuti Mason dan Smith, 2003 dengan

penyesuaian).

B.1. Keterberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga

1. Di dalam rumah tangga Ibu, siapa yang mengambil keputusan mengenai barang yang harus dibeli/ saat mengganti barang-barang? (misal televisi, kulkas, lemari pakaian, kompor, kursi, dll). Mengapa?

2. Kalau Ibu ingin membeli sesuatu untuk kepentingan Ibu (misal baju Ibu, lipstik, sandal, bedak), apakah Ibu harus minta izin suami? Mengapa?

3. Untuk urusan pangan rumah tangga, apakah Ibu bebas mengambil keputusan sendiri?

4. Jika anak sakit, sementara suami tidak ada di rumah, apakah Ibu dapat langsung mengambil keputusan untuk membawanya ke dokter? (keputusan atas anggaran rumah tangga untuk urusan anak)


(2)

136 B.2. Keterberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang

ukuran keluarga

1. Di dalam rumah tangga Anda, siapa yang memutuskan jumlah anak? 2. Saat pertama menggunakan alat KB, apakah Anda melakukannya

dengan seizin suami? Atau apakah suami yang meminta Anda menggunakannya?

3. Untuk penggunaan selanjutnya, apakah Ibu perlu izin suami untuk membeli alat KB?

B.3. Kebebasan dalam bergerak

1. Apakah kalau Ibu pergi kemana-mana harus selalu minta izin suami? (atau tidak perlu karena suami pasti mengizinkan)

2. Jika ada, pergi ke mana yang membutuhkan izin dan mana yang tidak membutuhkan izin? (misal, pasar, bidan, kampung sebelah, desa sebelah, rumah saudara, pengajian ibu-ibu, posyandu, rapat ibu-ibu di desa, dll)

B.4 Kontrol koersif interpersonal

1. Apakah Anda khawatir saat memiliki pendapat yang berbeda dengan suami, suami akan marah, dan ada kemungkinan dia akan memukul Anda?

2. Pernahkan suami memukul Anda?

B.5 Sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu 1. Apakah menurut Anda ada pekerjaan-pekerjaan yang hanya pantas

untuk laki-laki (suami) dan hanya pantas untuk perempuan (istri)? Mengapa?

2. Siapa menurut Anda yang harus memenuhi kebutuhan rumah tangga? (suami, istri, atau bersama) Mengapa?

3. Jika istri sedang bekerja di luar rumah dan suami sedang di rumah, apakah pantas bagi suami untuk membantu pekerjaan rumah? (misal mencuci, memasak, mengasuh anak, menyapu, dll) Mengapa?

Pertanyaan untuk responden laki-laki (suami) A. Data terkait fertilitas

1. Berapa usia Anda saat ini? 2. Sudah berapa kali anda menikah? 3. Sudah berapa lama Anda menikah?


(3)

137 4. Berapa anak yang Anda miliki saat ini? Berapa usia mereka?

5. Apakah Anda berencana untuk menambah anak lagi?

6. Di awal menikah, apakah Anda memiliki bayangan/ rencana mengenai jumlah anak yang Anda inginkan? Berapa?

7. Apakah rencana tersebut sesuai dengan kondisi sekarang? 8. Apakah Anda dan istri Anda melakukan sesuatu untuk mencapai

jumlah anak yang direncanakan? Dengan cara apa?

9. Jika tidak melakukan sesuatu untuk membatasi kelahiran, mengapa? B. Data terkait relasi gender (Mengikuti Mason dan Smith, 2003 dengan

penyesuaian).

B.1. Keterberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga

1. Di dalam rumah tangga Bapak, siapa yang mengambil keputusan mengenai barang yang harus dibeli/ saat mengganti barang-barang? (misal televisi, kulkas, lemari pakaian, kompor, kursi, dll). Mengapa?

2. Apakah istri Anda selalu meminta izin Anda saat beliau ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya sendiri (misal baju Ibu, lipstik, sandal, bedak)? Mengapa?

3. Untuk urusan pangan rumah tangga, apakah Bapak ikut mengambil keputusan atau semua diserahkan kepada keputusan Ibu?

4. Apakah Anda “ridho” jika saat Anda tidak ada di rumah dan anak Anda sakit, istri langsung membawanya ke dokter tanpa sempat memberitahu Anda terlebih dahulu? (keputusan atas anggaran rumah tangga untuk urusan anak)

B.2. Keterberdayaan perempuan dalam pengambilan keputusan tentang ukuran keluarga

1. Di dalam rumah tangga Anda, siapa yang memutuskan jumlah anak? 2. Saat pertama menggunakan alat KB, apakah istri Anda melakukannya

dengan bertanya terlebih dahulu pada Anda? Atau apakah Anda yang meminta istri menggunakannya?

3. Untuk penggunaan selanjutnya, apakah istri Anda selalu memberi tahu Anda untuk membeli alat KB?


(4)

138 B.3. Kebebasan dalam bergerak

1. Apakah Anda mengizinkan istri Anda pergi kemana-mana (dalam lingkup desa dan tetangga desa) tanpa harus selalu minta izin Anda? Terutama saat Anda sulit dihubungi. Atau tidak perlu karena Anda pasti mengizinkan.

2. Jika iya, pergi ke mana yang membutuhkan izin dan mana yang tidak membutuhkan izin? (misal, pasar, bidan, kampung sebelah, desa sebelah, rumah saudara, pengajian ibu-ibu, posyandu, rapat ibu-ibu di desa, dll)

B.4 Sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu 1. Apakah menurut Anda ada pekerjaan-pekerjaan yang hanya pantas

untuk laki-laki (suami) dan hanya pantas untuk perempuan (istri)? Mengapa?

2. Siapa menurut Anda yang harus memenuhi kebutuhan rumah tangga? (suami, istri, atau bersama) Mengapa?

3. Jika istri sedang bekerja di luar rumah dan suami sedang di rumah, apakah pantas bagi suami untuk membantu pekerjaan rumah? (misal mencuci, memasak, mengasuh anak, menyapu, dll) Mengapa? B.5 Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

1. Apakah Anda marah saat istri memiliki pendapat yang berbeda dengan Anda?

2. Saat Anda marah, apakah Anda pernah memukul istri Anda? (pertanyaan disampaikan dengan pertimbangan situasional).

Pertanyaan untuk Informan A. Data terkait fertilitas

1. Menurut Anda, pada usia berapakah sebaiknya perempuan menikah? Bagaimana untuk laki-laki?

2. Menurut Anda, berapa sebaiknya jumlah anak yang dimiliki oleh pasangan suami istri saat ini?


(5)

139 B. Data terkait relasi gender (Mengikuti Mason dan Smith, 2003 dengan

penyesuaian).

B.1. Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan ekonomi rumahtangga

1. Menurut Anda, di dalam rumah tangga, siapa yang sebaiknya

mengambil keputusan mengenai barang-barang yang harus dibeli/ saat mengganti barang-barang? (misal televisi, kulkas, lemari pakaian, kompor, kursi, dll). Mengapa?

2. Menurut Anda, apakah perlu bagi istri saat ingin membeli sesuatu untuk kepentingannya sendiri (misal baju Ibu, lipstik, sandal, bedak) untuk selalu meminta izin suaminya? Mengapa?

3. Menurut Anda , Apakah sebaiknya untuk urusan pangan rumah tangga, istri bebas mengambil keputusan sendiri?

4. Menurut Anda, jika anak sakit, sementara suami tidak ada di rumah, apakah istri dapat langsung mengambil keputusan untuk membawanya ke dokter? (keputusan atas anggaran rumah tangga untuk urusan anak) B.2. Kuasa perempuan dalam pengambilan keputusan tentang ukuran

keluarga

1. Menurut Anda, di dalam rumah tangga, siapa yang sebaiknya memutuskan jumlah anak?

2. Menurut Anda, apakah penggunaan kontraspsi harus merupakan hasil diskusi antara suami dan istri? Atau keputusan salah satu pihak saja? Siapa?

B.3. Kebebasan dalam bergerak

1. Menurut Anda, apakah setiap kali akan pergi kemana-mana, istri harus selalu minta izin suami? (atau tidak perlu karena suami pasti

mengizinkan)

2. Jika tidak, menurut Anda pergi ke mana yang membutuhkan izin dan mana yang tidak membutuhkan izin? (misal, pasar, bidan, kampung sebelah, desa sebelah, rumah saudara, pengajian ibu-ibu, posyandu, rapat ibu-ibu di desa, dll)

B.4 Sikap gender di level komunitas yang dipahami oleh individu 1. Apakah menurut Anda ada pekerjaan-pekerjaan yang hanya pantas

untuk laki-laki (suami) dan hanya pantas untuk perempuan (istri)? Mengapa?

2. Siapa menurut Anda yang harus memenuhi kebutuhan rumah tangga? (suami, istri, atau bersama) Mengapa?


(6)

140 3. Jika istri sedang bekerja di luar rumah dan suami sedang di rumah,

apakah pantas bagi suami untuk membantu pekerjaan rumah? (misal mencuci, memasak, mengasuh anak, menyapu, dll) Mengapa? B.5 Ruang Gerak Perempuan dalam Pengambilan Keputusan

1. Apakah menurut Anda wajar ada perbedaan pendapat dalam rumah tangga?

2. Apakah menurut Anda wajar bagi suami untuk memukul istrinya karena perbedaan pendapat?

3. Apakah Anda pernah mendengar berita kekerasan dalam rumah tangga di desa Anda?


Dokumen yang terkait

Cost Analysis of Madu Odeng in Bantar Jaya Village Bogor District, West Java

0 24 146

Gender Roles of Farmer Families in Vegetable Agro Forestry System (A Case Study At Nanggung SubDistrict, Bogor District, West Java Province)

0 9 17

Utilization of information by the vegetable farmers (Case of Ciaruteun Ilir Village, Cibungbulang Subdistrict, Bogor Regency, West Java Province)

4 19 260

The Response of Smallholder Private Forest Bussines Actors About The Origin Certificate of Wood (Case Studies in Jugalajaya Village, Jasinga District, Bogor Regency, West Java).

0 6 72

Management Model of Islamic Boarding School Forest (A case study in Darunnajah 2 Islamic Boarding School Cipining, Argapura Village, Cigudeg Sub District, Bogor Regency, West Java)

0 10 190

ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 13

INTRODUCTION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 8

LITERATURE REVIEW ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 4 11

CONCLUSION AND RECOMMENDATION ANALYSIS OF IRRIGATION SUB-SYSTEM OF WEST WADASLINTANG PRIMARY CANAL IN PURING SUB-DISTRICT, KEBUMEN DISTRICT, CENTRAL JAVA PROVINCE.

0 2 9

Strategy of Local Government in Household Waste Management in Jatinangor District Sumedang Regency West Java Province

0 0 25