pemberontak tersebut. Meskipun pemberian pengakuan terhadap pemberontak tidak memberikan status hukum yang tegas terhadap mereka, namun
diharapkan denagn pengakuan tersebut pemerintah akan memperlakukan mereka sesuai dengan tuntutan perikemanusiaan.
Bila pemberobtakan tidak dapat segera dipadamkan oleh pemerintah pusat, dan kaum pemberontak telah bertambah kuat kedudukannya sehingga mampu
menguasai secara de facto suatu wilayah yang cukup luas dan telah mempunyai pemerintahan sendiri, maka dalam literature hukum internasional
dikenal dengan adanyan pengakuan terhadap belligerent . pada umumnya ada empat unsur yang harus dipenuhi oleh kaum pemberontak untuk mendapatkan
pengakuan sebagai billegerent, yaitu: a. Terotganisir secara rapi dan teratur diwilayah kepemimpinan yang jelas.
b. Harus menggunakan tanda pengenal yang jelas yang menunjukkan
identitasnya c. Harus sudah menguasai secara efektif sebagian wilayah sehingga wilayah
tersebut benar- benar telah dibawah kekuasaanya d. Harus mendapat dukungan dari rakyat diwilayah yang didudukinya.
15
C. Pembuatan Perjanjian Internasional
Berkaitan dengan masalah pembuatan perjanjian internasional telah diatur secara yuridis dalam aturan perjanjian internasional yaitu dalam konevnsi Wina
1969 dan dalam Undang- Undang Nomor 24 Tahun 2000. Di dalam konvensi Wina 1969 sebagaimana yang telah disebutkan dalam Bab II Pasal 6 konvensi
Wina 1969 menyebutkan bahwa: “setiap negara memiliki kapasitas untuk membuat perjanjian”. Dalam pasal 6 Konvensi Wina 1969 tersebut dengan tegas
menyebutkan bahwa yang dapat melakukan perjanjian baik perjanjian internasional ataupun perjanjian lainnya adalah negara, yaotu negara yang telah
merdeka dan telah diakui oleh dunia internasional. Sedangkan dalam pasal 4 sampai dengan pasal 8 UU nomor 24 Tahun
2000 tentang perjanjian internasional di Indonesia mengatur mengenai tata cara pembuatan perjanjian internasioanal dan yang berhak melakukan perjanjian
15_____________________ Ibid. Hlm: 178.
10
internasional. Hal ini dapat dilihat sebagaimana bunyi pasal 4 ayat 1 dan 2 UU nomor 24 tahun 2000, yaitu:
Pasal 4 1. Pemerintah Republik Indonesia membuat perjanjian internasional dengan
suatu negara atau lebih, organisasi internasional, atau subyek hukum internasional lain berdasarkan kesepakatan, dan para pihak berkewajiban
untuk melaksanakan perjanjian tersebut dengan iktikad baik.
2. Dalam melakukan perjanjian internasional, pemerintah Republik Indonesia berpedoman pada kepentingan nasional dan berdasarkan
prinsip- prinsip persamaan kedudukan, saling menguntugkan, dan memperhatikan , baik hukum nasional maupun hukum internasional
yang berlaku.
Berdasarkan isi pasal 4 di atas dapat disimpulkan bahwasanya negara dapat melakukan perjanjian internasional dengan siapa pun asalkan dengan salah
satu subyek hukum internasional, serta para pihak yang terkait dalam perjanjian internasional tersebut harus melaksanakan hak dan kewajibannya sebagaimana
yang telah disepakati dalam perjanjian internasional tersebut dengan iktikad baik tanpa adanya niat buruk atau merugikan salah satu pihak.
Selanjutnya dalam Pasal 6 ayat 1 UU nomor 24 tahun 2000 juga menjelaskan secara tegas tahapan- tahapan pembuatan perjanjian internasional,
yaitu sebagai berikut: a. Tahap penjajakan
b. Tahap perundingan c. Tahap perumusan naskah
d. Tahap penerimaan, dan e. Tahap penandatangan.
Setelah semua tahapan tersebt terlaksana dengan baik oleh para pihak pembuat perjanjian internasional, selanjutnya naskah perjanjian internasional
tersebut ditanda tangani oleh para pihak pembuat perjanjian. Di Indonesia, yang melakukan penandatanganan dalam suatu naskah perjanjian internasional harus
mendapatkan surat kuasa dan surat kekercayaan, kecuali jika naskah perjanjian internasional tersebut ditanda tangani oleh presiden atau menteri. Hal ini
sebagaimana diatur dalam pasal 7 ayat 1 – 5 UU nomor 24 tahun 2000.
11
Mochtar Kusumaatmadja dalam bukunya “Pengantar Hukum Internasional” menegaskan tiga tahap dalam melakukan perjanjian internasional,
yaitu: 1. Perundingan Negotiation, Perundingan dilakukan oleh wakil-wakil
negara yang diutus oleh negara-negara peserta berdasarkan mandat tertentu. Wakil-wakil negara melakukan perundingan terhadap masalah
yang harus diselesaikan. Perundingan dilakukan oleh kepala negara, menteri luar negeri, atau duta besar. Perundingan juga dapat diwakili oleh
pejabat dengan membawa Surat Kuasa Penuh full power. Apabila perundingan mencapai kesepakatan maka perundingan tersebut meningkat
pada tahap penandatanganan. 2. Penandatangan Signature, Penandatanganan perjanjian internasional
yang telah disepakati oleh kedua negara biasanya ditandatangani oleh kepala negara, kepala pemerintahan, atau menteri luar negeri. Setelah
perjanjian ditandatangani maka perjanjian memasuki tahap ratifikasi atau pengesahan oleh parlemen atau dewan perwakilan rakyat di negara-negara
yang menandatangani perjanjian. 3. Pengesahan Ratification, Ratifikasi dilakukan oleh DPR dan pemerintah.
Pemerintah perlu mengajak DPR untuk melakukan pengesahan perjanjian karena DPR merupakan perwakilan rakyat dan berhak untuk mengetahui
isi dan kepentingan yang termuat dalam perjanjian tersebut.
16
Pasal 11 UUD 1945 menyatakan bahwa masalah perjanjian internasional harus mendapatkan persetujuan dari DPR. Apabila perjanjian telah
disahkan atau diratifikasi dengan persetujuan DPR maka perjanjian tersebut harus dipatuhi dan dilaksanakan dengan penuh tanggung jawab.
Sebagaimana bunyi pasal 11 UUD 1945 sebagai berikut:
16_____________________ Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Jakarta: Binacipta, 1982. Hlm:
12
Pasal 11 1. Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan
perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain 2. Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang
menimbulkan akibat yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan atau mengharuskan
perubahan atau pembentukan undang- undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat
3. Ketentuan lebih lanjut tentang perjanjian internasional diatur dengan undang- undang.
BAB III ANALISIS STATUS HUKUM MOU ANTARA GAM DENGAN