Kedudukan Perjanjian Ekonomi Antara Pemerintah Daerah Dengan Lembaga Internasional Ditinjau Dari Hukum Nasional & Hukum Internasional

(1)

KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA

PEMERINTAH DAERAH DENGAN LEMBAGA

INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM NASIONAL &

HUKUM INTERNASIONAL

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat-Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

ANANDA JAKARIA 070200297

DEPARTEMEN HUKUM INTERNASIONAL

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA PEMERINTAH DAERAH DENGAN LEMBAGA INTERNASIONAL DITINJAU DARI

HUKUM NASIONAL & HUKUM INTERNASIONAL Skripsi

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-Tugas dan Memenuhi Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH:

ANANDA JAKARIA 070200297

Mengetahui:

Ketua Departemen Hukum Internasional

NIP. 196403301993031002 Arif, SH, MH

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum Arif, SH, MH

NIP. 197308012002121002 NIP. 196403301993031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN


(3)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat rahmat dan syafa’atnya sehingga saya dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Skripsi ini disusun dalam rangka memenuhi persyaratan untuk mencapai gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Adapun judul yang penulis angkat adalah “Kedudukan Perjanjian Ekonomi Antara Pemerintah Daerah Dengan Lembaga Internasional Ditinjau Dari Hukum Nasional & Huku m Internasional”.

Dalam menyelesaikan skripsi ini banyak tantangan dan hambatan yang dihadapi, tetapi itu semua dapat diatasi berkat motivasi dan bantuan dari berbagai pihak yang terkait, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan secara efektif dan efisien sesuai dengan waktu yang direncanakan.

Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang telah membantu menulis dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini baik moril maupun materiil. Kepada Yang Terhormat:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM, selaku Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

4. Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(4)

5. Arif, SH, M.H., selaku Ketua Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan juga selaku Dosen Pembimbing II yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulisan skripsi ini..

6. Dr. Jelly Leviza, SH, M.Hum, selaku Sekertaris Departemen Hukum Internasional sekaligus Dosen Pembimbing I yang telah memberikan saran dan petunjuk dalam membimbing penulis selama penulisan skripsi ini. 7. Seluruh Civitas Akademika Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah memberikan ilmu terkhususnya ilmu di bidang hukum..

Penulis menyadari skripsi ini belum sempur na di satu sisi karena kesempurnaan hanya milik Allah SWT, oleh sebab itu besar harapan penulis kepada semua pihak agar memberikan kritik dan saran yang konstruktif guna menghasilkan sebuah karya ilmiah yang lebih baik dan sempurna, baik dari segi materi maupun cara penulisannya di masa yang kan datang

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-dalamnya, semoga Allah SWT meridhoi kita semua. Dan semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca dan perkembangan hukum negara Indonesia.

Medan, Juni 2012 Hormat Saya


(5)

ABSTRAK

Dr. Jelly Leviza, SH,M.Hum * Arif, SH, M.H. ** Ananda Jakaria ***

Kebutuhan hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukanya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan zaman yang bergerak cepat. Bagaimana pengaturan kerjasama luar negeri oleh daerah ditinjau dari segi hukum perjanjian. Bagaimana hukum Indonesia mengatur pemberian tanggung jawab kepada daerah serta keterlibatan pemerintah pusat dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri oleh pemerintah.Hambatan apa yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah baik dalam bentuk kerjasama antar kota (sister sity), antar daerah (sister province) dan kerjasama Ekonomi Sub Regional.

Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data Primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 1999, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.32 tahun 2004 diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang hingga tahun 2007 lalu masih belum disahkan. Menteri Luar Negeri sebagai kordinator pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri telah menerbitkan PerMenLu No. 09/A/KP/XII/2006/01 yang mengatur panduan umum tentang tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah. Perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengatasnamakan pemerintah pusat sehingga memerlukan surat kuasa. Hal sama berlaku dalam hukum internasional dimana hanya negara(pemerintah pusat) yang dikenal sebagai subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional sehingga tanggung jawabnya terletak pada negara.

*Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU. **Dosen Pembimbin II, Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU. *** Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum


(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…..………..i

ABSTRAKSI………...iii

DAFTAR ISI………..iv

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………...1

B. Permasalahan ………..8

C. Tujuan Penulisan dan manfaat penulisan………..………....8

D. Keaslian Penulisan ………...9

E. Tinjauan Kepustakaan………...10

F. Metode Penelitian ...12

G. Sistematika Penulisan ………....13

BAB IILANDASAN KONSEPTUAL KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI MENGHADAPI GLOBALISASI A. Teori dan Landasan Konseptual Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi...15

B. Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi Sebagai Isu Global...22

C. Bentuk-Bentuk Kerjasama Antar Daerah dengan Lembaga Internasional...35

D. Penyelenggaraan dan Mekanisme Hubungan Luar Negeri oleh Daerah Menurut Hukum Nasional dan Hukum Internasional...40

BAB III KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI OLEH DAERAH DITINJAU DARI HUKUM PERJANJIAN INTERNASIONAL A. Perjanjian Internasional Sebagai Sumber Hukum Internasional...50

B. Perjanjian Sebagai Instrumen Hubungan Kerjasama Internasional...62

C. Kewajiban dan Tanggung Jawab Negara Dalam Pelaksanaaan Kerjasama Luar Negeri Oleh Daerah...67


(7)

BAN IV KEDUDUKAN PERJANJIAN EKONOMI ANTARA PEMERINTAH DAERAH DENGAN LEMBAGA

INTERNASIONAL DITINJAU DARI HUKUM NASIONAL & HUKUM INTERNASIONAL

A. Kebijakan Desentralisasi Kerjasama Ekonomi Luar Negeri oleh Daerah dalam Rangka Otonomi Daerah...76 B. Hambatan yang Dihadapi dalam Kerjasama Antara Pemerintah Daerah

dengan Lembaga Internasi..onal...86

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ………... 90

B. Saran ………..…91


(8)

ABSTRAK

Dr. Jelly Leviza, SH,M.Hum * Arif, SH, M.H. ** Ananda Jakaria ***

Kebutuhan hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi. Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukanya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan zaman yang bergerak cepat. Bagaimana pengaturan kerjasama luar negeri oleh daerah ditinjau dari segi hukum perjanjian. Bagaimana hukum Indonesia mengatur pemberian tanggung jawab kepada daerah serta keterlibatan pemerintah pusat dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri oleh pemerintah.Hambatan apa yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah baik dalam bentuk kerjasama antar kota (sister sity), antar daerah (sister province) dan kerjasama Ekonomi Sub Regional.

Untuk itu dilakukan penelitian kepustakaan guna memperoleh data Primer dan sekunder dengan mempelajari perundang-undangan, buku-buku teks baik yang sifatnya umum maupun yang bersifat khusus.

Berdasarkan hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 1999, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.32 tahun 2004 diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang hingga tahun 2007 lalu masih belum disahkan. Menteri Luar Negeri sebagai kordinator pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri telah menerbitkan PerMenLu No. 09/A/KP/XII/2006/01 yang mengatur panduan umum tentang tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah. Perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengatasnamakan pemerintah pusat sehingga memerlukan surat kuasa. Hal sama berlaku dalam hukum internasional dimana hanya negara(pemerintah pusat) yang dikenal sebagai subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional sehingga tanggung jawabnya terletak pada negara.

*Dosen Pembimbing I, Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU. **Dosen Pembimbin II, Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum USU. *** Mahasiswa Departemen Hukum Internasional Fakultas Hukum


(9)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.

Manusia sebagai makhluk sosial selalu membutuhkan hubungan dengan manusia lainnya. Di dalam masyarakat bagaimanapun sederhananya, para anggota masyarakat membutuhkan hubungan satu sama lain. Hubungan antara anggota masyarakat ini kemudian meluas tidak hanya terbatas anggota masyarakat dalam satu negara saja tetapi kemudian meluas melewati batas negaranya. Kebutuhan hubungan antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain makin bertambah dengan adanya kemajuan dalam bidang teknologi pengangkutan, komunikasi dan informasi.1

Perubahan peta bumi politik masyarkat internasional melalui lahirnya negara-negara baru sebagai anggota masyarakat internasional serta perkembangan dan kemajuan teknologi telah mengharuskan adanya hubungan-hubungan yang tetap dan terus menerus diantara negara-negara. Adanya kemauan negara-negara (dalam suatu masyarakat internasional) untuk menjalin hubungan kerjasama satu sama lain secara timbal balik merupakan pencerminan keterbatasan dari setiap negara dalam hal memenuhi segala kebutuhannya atau adanya saling ketergantungan diantara semua negara. Disamping kebutuhan dari negara untuk menjaga kelangsungan hidupnya dan penghormatan terhadap kemerdekaan negara, telah mengharuskan negara-negara untuk hidup berdampingan secara

1

Sri Setianingsih Suwardi, Pengantar Hukum Organisasi Internasional. Universitas Indonesia Press. Jakarta. 2004. Hal.1.


(10)

damai melalui hubungan-hubungan internasional yang teratur. Hubungan-hubungan internasional diantara negara-negara sebagai anggota masyarkat internasional yang didasarkan pada kebutuhan, kepentingan dan kemampuan yang berbeda-beda serta keinginan untuk hidup berdampingan secara damai, perlu diatur dan dipelihara. Untuk itu diperlukan hukum demi menjamin kepastian dalam setiap hubungan yang teratur dengan hukum, dan hukum yang mengatur hubungan antar negara adalah hukum internasional.

Menurut Mochtar Kusumaatmadja, hukum internasional itu adalah merupakan keseluruhan kaedah-kaedah dan azas-azas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara-negara antara:

1. Negara dengan negara.

2. Negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.2

Kaedah - kaedah dan azas-azas hukum internasional yang mengatur hubungan-hubungan yang melintasi batas negara tersebut, sumber formalnya secara tegas tercantum dalam Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional (Statute of the International Court of Justice).

Pada Pasal 38 ayat 1 statuta Mahkamah Internasional menempatkan perjanjian internasional pada kedudukan pertama sebagai sumber formal hukum internasional. Hal ini sesuai dengan kenyataan bahwa praktek negara-negara selalu menggunakan perjanjian internasional untuk mengatur hubungan-hubungan diantara negara. Karena itu menjadi jelas, pentingnya perjanjian internasional

2

Mochtar Kusumaatmadja.Pengantar Hukum Internasional.PT. Alumni. Bandung. 2003. Hal 3.


(11)

sebagai sarana bagi pengaturan hubungan-hubungan internasional demi menjaga ketertiban masyarakat internasional. Namun sekalipun ketentuan Pasal 38 ayat 1 Statuta Mahkamah Internasional menempatkan perjanjian internasional sebagai sumber pertama hukum internasional, namun dalam pelaksanaannya tidak semua perjanjian internasional secara langsung menjadi sumber hukum internasional. Dalam hal ini teori hukum internasional membedakan dua golongan perjanjian internasional, yaitu:

1. “law Making treaties” dan 2. “treaty contracts”.

law making treaties” merupakan perjanjian-perjanjian internasional mengandung kaedah-kaedah hukum yang dapat berlaku secara universal bagi anggota-anggota masyarakat bangsa-bangsa; sehingga dengan demikian dikategorikan sebagai perjanjian-perjanjian internasional yang berfungsi sebagai sumber langsung hukum internasional. Di lain pihak perjanjian-perjanjian yang berbentuk “treaty contracts” hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan-hubungan atau persoalan-persoalan khusus antara pihak yang mengadakan saja, sehigga dengan demikian hanya berlaku khusus bagi para peserta perjanjian. Dalam hal ini “treaty contracts” hanya dapat membentuk kaedah-kaedah hukum yang berlaku umum, melalui proses hukum kebiasaan internasional.3

Dalam penulisan ini, perjanjian-perjanjian yang berbentuk “treaty contracts” menjadi landasan pembahasan karena berkaitan dengan persetujuan kerjasama antar daerah/kota, kerjasama provinsi dan kerjasama ekonomi

sub-3


(12)

regional (KERS) yang melintasi batas negara (kerjasama internasional). Hal ini penting karena suatu perjanjian kerjasama internasional yang dilaksanakan oleh daerah/kota, provinsi serta koordinasi kerjasama ekonomi sub regional (KERS) dengan pihak asing hanya mengandung ketentuan-ketentuan yang mengatur hubungan atau persoalan dan hanya berlaku bagi pihak-pihak yang melakukan perjanjian atau kerjasama itu.

Kenyataannya bahwa praktek negara-negara selalu menggunakan perjanjian internasional untuk mengatur hubungan-hubungan antar negara sehingga menempatkannya sebagai sarana bagi pengaturan hubungan internasional, telah mendorong Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan kodifikasi hukum perjanjian internasional dalam suatu konvensi. Keinginan ini diwujudkan dalam Konvensi Wina Tahun 1969, dimana dihasilkan suatu naskah hukum perjanjian yang dikenal dengan nama “Vienna Convention On the Law of the Treaties”.

Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional ini tidak saja mengakomodasi hukum kebiasaan internasional dalam bidang hukum perjanjian, tetapi mengakomodasi hukum kebiasaan internasional dalam bidang hukum perjanjian, tetapi sekaligus mengembangkan secara progresif hukum internasional tentang perjanjian. Di lain pihak, Konvensi Wina 1969 tetap mengakui eksistensi hukum kebiasaan internasional tentang perjanjian, khususnya mengenai masalah-masalah yang tidak atau belum diatur.

Kemudian bagi organ-organ pemerintah yang beritndak atas nama negara dalam melakukan perjanjian internasional, maka utusan-utusan (pejabat organ


(13)

pemerintah) tersebut haruslah mendapatkan kuasa penuh (full power) sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Konvensi Wina 1969. Dalam hal ini seseorang dianggap mewakili suatu negara untuk membuat perjanjian atau dengan tujuan menyatakan setujunya negara terikat pada perjanjian apabila:

a. Ia memperlihatkan “Full Power” yang layak.

b. Terlihat dari praktek negara tersebut yang menyatakan bahwa orang tersebut dianggap mewakili negara.4

Atas dasar fungsi-fungsi yang dilakukan maka tanpa memperlihatkan “Full Power”, maka dianggap mewakili negara secara langsung:

a. Kepala Negara, Kepala Pemerintahan dan Menteri Luar Negeri. b. Kepala Misi Diplomatik.

c. Wakil-wakil yang dikirim suatu negara ke konfrensi internasional.5

Perkembangan dalam masyarakat internasional dewasa ini menunjukkan bahwa hubungan-hubungan internasional, tidak semata-mata dilakukan antar negara saja, tetapi organ-organ di dalam suatu negara juga melakukan hubungan internasional yang melintasi batas-batas negara. Kenyataannya telah berkembang dengan pesat hubungan-hubungan internasional antar kota-kota dua negara yang dikenal sebagai kerjasama antar kota (Sister City Cooperation). Di samping itu juag dikenal kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan kerjasama daerah dengan luar negeri. Hubungan kerjasama antar kota secara internasional

4

Pasal 7 ayat 1 Konvensi Wina 1969.

5


(14)

dimaksudkan agar terdapat kesamaan strategi bagi pembangunan agar bermanfaat bagi pariwisata, pembangunan sosial ekonomi kota-kota lain.

Kerjasama antar kota/daerah sebagai bagian kerjasama ekonomi dan sosial internasional yang melintasi batas-batas negara, tunduk pada kaedah-kaedah hukum internasional. Dalam hal ini kota/daerah yang mewakili Pemerintah Daerah dapat melakukan tindakan-tindakan hukum berdasarkan hukum internasional, apabila diperkenankan oleh “negara” (pemerintah pusat).

Dalam hal ini kedudukan Pemerintah Daerah sebagai organ negara adalah sebagai badan hukum publik yang mempunyai hak, kewajiban dan tanggungjawab. Sebagai badan hukum publik Pemerintah Daerah dapat melakukan kerjasama antar kota apabila mendapatkan wewenang dari negara (Pemerintah Pusat). Wewenang pemeritah daerah/kota sebagai organ negara untuk melakukan kerjasama antar kota didasarkan pada “mandat” (mandaat) yang diberikan Pemerintah Pusat. Dalam pergaulan hukum, madat merupakan suatu bentuk pemberian kekuasaan (lastgeving) maupun kuasa penuh (volmacht).

Dari segi Hukum Perjanjian Internasional, siapapun dapat diterima sebagai perwakilan suatu negara untuk kepentingan membentuk perjanjian internasional sejauh ia dapat menunjukan /memiliki kuasa penuh (full power) dari negara. Konsekuensi dari pemberi mandat berupa ”full power” dari negara (pemerintah pusat) bertanggung jawab sepenuhnya atas kerjasama tersebut. Dalam hal ini apalagi terjadi pelanggaran kewajiban internasional dalam pelaksanaan kerjasama antar kota, maka tanggung jawab dapat dibedakan kepada negara berdasarkan prinsip “imputability” dalam hukum internasional.


(15)

Pesatnya perkembangan teknologi dewasa ini telah memacu semakin intensifnya interaksi antar negara dan antar bangsa di dunia. Meningkatnya intensitas interaksi tersebut telah mempengaruhi pula potensi kegiatan ekonomi, politik, sosial dan budaya Indonesia dengan pihak luar, baik itu dilakukan oleh Pemerintah, organisasi non-pemerintah, swasta dan perorangan. Kenyataannya ini menuntut tersedianya suatu perangkat ketentuan untuk mengatur interaksi tersebut selain ditunjukan untuk melindungi kepentingan negara dan warga negara serta pada gilirannya memperkokoh Negara Kesatuan Rapublik Indonesia.6

Sehubungan dengan hal tersebut, pemerintah telah mengundangkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional. Kedua undang-undang ini memberikan landasan hukum yang kuat bagi penyelenggara hubungan luar negeri, pelaksaan politik luar negeri dan pembuatan perjanjian internasional. Kedua perangkat hukum ini menandai dibukannya paradigma baru bagi Indonesia dalam melakukan hubungan luar negeri untuk memenuhi tuntutan zaman yang bergerak cepat.

7

Dengan adanya paradigma baru ini, tentunya mengubah pemahaman yang selama ini ada bahwa hubungan luar negeri merupakan monopoli negara (state actors). Sebagai contoh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan kemungkinan daerah untuk mengadakan hubungan dan kerjasama dengan pihak asing.

6

Hasan Wirajuda. Panduan Umum T ata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Sambutan Revisi Tahun 2006

7


(16)

B. Permasalahan.

Berdasarkan latar belakang di atas maka penting untuk diteliti hal-hal sebagaimana berikut ini:

1. Bagaimana penyelenggaraan dan mekanisme kerjasama luar negeri oleh daerah menurut hukum nasional dan hukum internasional?

2. Bagaimana kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah?

3. Hambatan apa yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan.

Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah: 1. Untuk mengetahui bagaimana peyelenggaraan dan mekanisme kerjasama luar

negeri yang dilakukan oleh daerah menurut hukum nasional dan hukum internasional.

2. Untuk mengetahui bagaimana kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah serta keterlibatan pemerintah pusat dalam pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri.

3. Untuk mengetahui bagaimana hambatan yang dihadapi dalam upaya lebih mengefektifkan kerjasama ekonomi luar negeri yang dilakukan pemerintah daerah.


(17)

Manfaat penulisan ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis :

a. Secara Teoritis

Secara teoritis penulisan ini diharapkan berguna sebagai wawasan dan kajian dalam menambah pengetahuan tentang perjanjian ekonomi yang dilakukan pemerintah daerah dengan lemabaga internasional.

b. Secara Praktis

Untuk memberikan sumbangan pemikiran kepada masyarkat khususnya memberikan informasi ilmiah mengenai perjanjian ekonomi yang dilakukan pemerintah daerah dengan lembaga internasional tersebut.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Kedudukan Perjanjian Ekonomi antara Pemerintah Daerah dengan Lembaga Internasional Ditinjau dari Hukum Nasional & Hukum Internasional”. Di dalam penulisan ini penulis memulai dengan melakukan pengumpulan bahan-bahan yang berhubungan dengan masalah perjanjian kerjasama ekonomi, serta lembaga-lembaga internasional baik dari literatur yang diperoleh dari perpustakaan, dari buku yang dimiliki, media cetak maupun media elektronik. Sehubungan dengan keaslian judul skripsi ini penulis melakukan pemeriksaan pada Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara untuk membuktikan bahwa judul skripsi yang saya tulis ini belum ada atau belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(18)

Bila dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang lain dalam bentuk skripsi ini dibuat, maka hal itu akan menjadi tanggung jawab penulis itu sendiri.

E. Tinjauan Kepustakaan.

Di dalam melakukan kerjasama internasional, kita pasti berpendapat bahwa kerjasama yang dilakukan tentunya antara negara. Namun tidak semua kerjasama internasional tersebut subjeknya negara dengan negara, bisa juga negara dengan daerah/kota, provinsi maupun Kerjasama Ekonomi Sub-regional. Ini dapat kita lihat dari Pasal 1 konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian yang telah membatasi berlakunya konvensi hanya pada perjanjian-perjanjian antar negara; dengan mengatakan “The present Convention applies to trieties between states”8

Kemudian ketentuan dalam Pasal 1 Konvensi Wina 1969 tersebut kemudian dipertegas dalam Pasal 6, menyangkut kapasitas dari negra untuk membentuk perjanjian internasional. Secara tegas Pasal 6 Konvensi Wina 1969 menyatakan “every states possesses capacity to conclude treaties

. Hal ini tidak berarti bahwa hanya negara saja yang dapat menjadi peserta dalam perjanjian-perjanjian internasional, melainkan terkandung keinginan untuk mengatur perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh subjek hukum internasional lainnya secara tersendiri. Kenyataanya pada Tahun 1986 telah ditetapkan “vienna convention on the law of the treaties” yang berlaku bagi organisasi Internasional.

9

8

Konvensi Wina 1969, Pasal 1

9

Konvensi Wina 1969, Pasal 6.

. Pengertian “state” (negara) yang dipergunakan dalam Pasal 6 Konvensi Wina 1969 diatas mempunyai pengertian yang sama dengan pengertian “state” yang dipakai dalam


(19)

piagam PBB dan statuta Mahkamah Internasional yaitu “state for the purpose of internasional law”.

Hal ini tidak menutup kemungkinan suatu wilayah yang merupakan bagian dari suatu negara (dalam tulisan ini yang dimaksud adalah Provinsi, Kabupaten/Kota dan Kerjasama Ekonomi oleh Daerah dalam lingkup Sub-Regional) turut serta dalam pembuatan/pembentukan perjanjian internasional, sejauh hukum nasional memperbolehkan.

Dalam kaitan dengan kewenangan suatu negara bagian untuk membentuk perjanjian internasional, D.J Harris memberikan pendapatnya sebagai berikut:

More frequently the treaty-making capacity is vested exclusively in the federal gonverment, but there is no rule of internasional law which precludes the component state from being invested with the power to conclude treaties with third states. Questions may arise in some cases as to wheather the component state or in its own right. But on this point also the solution must be sought in the provisions of the federal constitution.10

Dari pendapat beliau tersebut diatas, dapatlah di tarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Hukum internasional tidak membatasi pemberian wewenang dari pemerintah federal kepada negara bagian dalam pembentukan perjanjian internasional. 2. Pembentukan perjanjian internasional oleh negara bagian selain dilakukan sebagai organ negara pemerintah federal atau dasar hak negara bagian. 3. Penyelesaian masalah tersebut tergantung dari konstitusi federal.

10

D.J Harris, Cases and Materials on internasional law, Sweet & Maxwell, London 1983.hal 53.


(20)

F. Metode Penelitian.

Penelitian merupakan suatu saran pokok dalam mengembangkan ilmu pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan oleh karena penelitian bertujuan untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologis, dan konsisten.11 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu dengan jalan menganalisanya.12Suatu metode merupakan cara kerja atau tata kerja untuk memahami objek yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan yang bersangkutan13

1. Metode yuridis normatif yaitu penelitan yang dilakukan atas norma-norma hukum yang berlaku, yang norma-norma tersebut berasal dari peraturan hukum yang diundangkan.

, dengan demikian metode penelitian adalah upaya ilmiah untuk memahami dan memecahkan suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.

Metode penelitian hukum terbagi atas 2 macam yaitu:

2. Metode yuridis sosiologis yaitu metode yang dilakukan tentang penerapan norma hukum di masyarakat.

Dalam penulisan skripsiini, penulis menggunakan metode penelitian hukum normatif. Karena dalam penelitian ini yang dilakukan penulis membaca, mempelajari, mentransfer dari buku-buku, konvensi-konvensi

11

Soerjono Soekanto, Sri Mamuji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat,

Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2001.hal 1.

12

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika. Jakarta. 1996. Hal 6.

13

Soerjono Soekanto.Ringkasan Metodologi Penelitian Hukum.Raja Grafindo Persada. Jakarta.1990.


(21)

dan sebagainya yang menurut penulis ada hubungannya dengan perjanjian ekonomi antara pemerintah daerah dengan lembaga internasional.

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini terbagi ke dalam bab-bab yang menguraikan permasalahannya secara tersendiri, di dalam suatu konteks yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya. penulis membuat sistematika dengan membagi pembahasan keseluruhan ke dalam lima bab terperinci adapun bagiannya adalah:

Bab I : Pendahuluan yang isinya antara lain memuat: latar belakang, pokok permasalahan, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, sistematika penulisan. Bab II : Landasan konseptual kerjasama ekonomi luar negeri menghadapi

globalisasi, teori dan landasan konseptual hukum pembangunan, pembangunan hukum dan pembangunan ekonomi sebagai isu global, bentuk-bentuk kerjasam antara daerah dengan Lembaga Internasional, penyelenggaraan dan mekanisme hubungan luar negeri oleh daerah menurut hukum nasional dan hukum internasional.

Bab III : Kerjasama ekonomi luar negeri oleh daerah ditinjau dari hukum perjanjian internasional, perjanjian internasional sebagai sumber hukum internasional, perjanjian sebagai instrumen hubungan kerjasama internasional, kewajiban dan tanggung jawab negara dalam pelaksanaan kerjasama luar negeri oleh daerah.

Bab IV : Kedudukan perjanjian ekonomi antara pemerintah daerah dengan lembaga internasional ditinjau dari hukum nasional & hukum internasional. Kebijakan desentralisasi kerjasama ekonomi luar negeri oleh daerah dalam rangka otonomi daerah, hambatan yang


(22)

dihadapi dalam kerjasama antara pemerintah daerah dengan lembaga internasional

Bab V : Kesimpulan dan Saran, dalam bab terakhir tulisan ini akan dirangkum dalam sebuah kesimpulan dan juga saran yang berkaitan dengan kedudukan perjanjian ekonomi antara pemerintah daerah dengan lembaga internasional ditinjau dari hukum nasional & hukum internasional.


(23)

BAB II

LANDASAN KONSEPTUAL KERJASAMA EKONOMI LUAR NEGERI MENGHADAPI GLOBALISASI

A. Teori Landasan Komseptual Hukum Pembangunan.

Pembukaan undang-undang dasar 1945, alinea 4, menetapkan tujuan bernegara dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, antara lain :

“… ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial…”

Ikut melaksanakan ketertiban dunia, merupakan ciri dari Indonesia yang telah merdeka, untuk dapat memelihara hubungan-hubungan internasional dengan negara-negara lain secara baik dalam suasana keerdekaan, persamaan derajat dengan keadilan. Secara teoritis, konsep untuk memelihara eksistensi sebagai negara yang merdeka dan berdaulat, tiap negara termasuk Indonesia mempunyai cita-cita yaitu mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera. Upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan ini ditempuh melalui pembangunan yang merata di segala bidang.

Karena ini menurut Mochtar Kusumaatmadja, tujuan kehidupan bernegara itu dapat dicapai melalui pembangunan nasional menuntut pembaharuan dan pembinaan di segala bidang. Dalam keadaan demikian, hukum harus disesuaikan atau menyesuaikan diri dengan keadaan yang telah berubah.14

14

Mochtar Kusumaatmaadja, Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional, Bandung, 1976, hlm. 6.


(24)

Hukum pada hakekatnya merupakan sarana penunjang perkembangan masyarakat dan pembangunan. Hukum sebagai sarana penunjang pembangunan berarti hukum diperlukan sebagai pemberi patokan serta pengarahan hukum haruslah dapat memberikan kebutuhan hukum masyarakat. Tujuan pembangunan hukum ini dimaksudkan untuk mencapai tujuan hukum itu sendiri yaitu ketertiban. Kebutuhan akan ketertiban ini adalah syarat fundamental bagi adanya suatu masyarakat manusia yang teratur.

Agar pelaksanaan perundang-undangan yang bertujuan untuk pembangunan itu berjalan sebagaimana mestinya, hendaknya aturan perundang-undangan yang dibentuk itu sesuai dengan apa yang menjadi inti pemikiran aliran

sociological jurisprudence, yaitu hukum yang baik hendaknya sesuai dengan hukum yang hidup didalam masyarakat, jadi mencerminkan nilai-nilai yang hidup di masyarakat. Sebab jika ternyata tidak, akibatnya ketentuan tersebut akan tidak dapat dilaksanakan (bekerja) dan mendapat tantangan-tantangan. Hal ini cukup beralasan, karena di satu sisi Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah memberikan peluang bagi daerah untuk mengatur rumah tangganya sendiri, namun di sisi lain ketentuan-ketentuan dari beberapa Pasal tersebut belum sepenuhnya mendukung bagi terlaksananya otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab.

Selain itu, dapat dipelihara pula dari ketentuan Pasal-Pasal yang berkaitan dengan pelaksanaan investigasi di daerah, dimana dalam hal ini daerah “masih dikekang” dan kurang diberikan keterluasan dalam mengeluarkan kebijaksanaan untuk mengeluarkan izin-izin yang berkaitan dengan investigasi. Dengan kata lain


(25)

Undang-undang tersebut tidak aspiratif dan tidak mencerminkan terhadap nilai-nilai yang tumbuh di tengah masyarakat dan terkesan cenderung bersifat sentralistik. Begitu pula halnya dengan UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dimana mungkin terdapat ketentuan-ketentuan yang belum mengakomodir kepentingan masyarakat atau daerah dalam melaksanakan kerjasama ekonomi dengan luar negeri secara efektif dan efisien.

Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik dari pada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata. Karena baik “perubahan” maupun “ketertiban” (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan. Dalam hal adanya suatu masyarakat internasional, saling membutuhkan antara bangsa-bangsa di berbagai lapangan kehidupan yang mengakibatkan timbulnya hubungan yang tetap dan terus menerus antara bangsa-bangsa, mengakibatkan pula timbulnya kepentingan untuk memelihara dan mengatur hubungan yang demikian. Karena kebutuhan antara bangsa-bangsa timbal balik sifatnya, kepentingan memelihara dan mengatur hubungan yang bermanfaat demikian merupakan suatu kepentingan bersama.

Untuk menertibkan, mengatur dan memelihara hubungan internasional ini dibutuhkan hukum guna menjamin unsure kepastian yang diperlukan dalam setiap hubungan yang teratur. Hubungan antara orang atau kelompok orang yang


(26)

bergabung dalam ikatan kebangsaan atau kenegaraan yang berlainan itu dapat merupakan hubungan tak langsung atau resmi yang dilakukan oleh para pejabat negara yang mengadakan berbagai perundingan atas nama negara dan meresmikan persetujuan yang dicapai dalam perjanjian antar negara.

Disamping hubungan antar negara yang resmi demikian, orang dapat juga mengadakan hubungan langsung secara perseorangan atau gabungan di lapangan perniagaan, keagamaan, ilmu pengetahuan, keagamaan, ilmu pengetahuan, olah raga atau perburuhan yang melintasi batas negara. Jika direduksi maka tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan ini sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan objektif bagi setiap manusia.

Masyarakat internasional yang anggotanya terdiri dari negara-negara merdeka dan berdaulat, juga membutuhkan hukum untuk mengatur hubungan-hubungan di antara mereka. Hukum yang mengatur hubungan-hubungan-hubungan-hubungan di antara anggota-anggota masyarakat internasional adalah hukum internasional. Hukum internasional secara langsung mengatur keseluruhan kegiatan hubungan internasional di antara negara-negara sebagai subjek hukum internasional. Hukum internasional secara tidak langsung mempengaruhi jalannya hubungan internasional.

Kebutuhan untuk memelihara ketertiban di dalam masyarakat internasional telah melahirkan hukum internasinal, yang secara terus menerus dikembangkan dan disesuaikan dengan perkembangan, serta ditaati oleh anggota-anggota


(27)

masyarakat internasional berupa negara-negara merdeka dan berdaulat. Atas dasar hidup berdampingan secara damai di antara negara-negara serta berlandaskan pada Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, yang mewajiibkan Indonesia untuk “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial”, maka terbentuklah hubungan-hubungan antara Indonesia dengan negara-negara lain di dunia ini. Hubungan-hubungan internasional ini tidak saja dilakukan dalam bentuk hubungan antar negara, tetapi juga telah berkembang dengan pesat hubungan kerjasama antar kota maupun hubungan antar daerah dengan luar negeri. Adanya hukum suatu masyarakat internasional, yang meliiputi seluruh bangsa-bangsa yang ada didunia ini, benar-benar merupakan suatu kenyataan yang tidak dapat dibantah lagi. Adanya hukum alami yang mengharuskan bangsa-bangsa di dunia hidup berdampingan secara damai, dapat dikembalikan kepada akal sehat manusia (rasio) dan naluri untuk mempertahankan diri dan jenisnya.

Kerjasama internasional sebagai akibat adanya saling ketergantungan, diupayakan dengan menghormati keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional. Penghormatan terhadap keadilan dan kewajiban-kewajiban internasional diupayakan terutama untuk :

a) Memelihara perdamaian dan keamanan internasional;

b) Mengembangkan hubungan persahabatan antar bangsa-bangsa berdasarkan prinsip persamaan hak; serta


(28)

c) Mencapai kerjasama internasional dalam memecahkan persoalan-persoalan internasional di lapangan ekonomi, sosial, kebudayaan atau bersifat kemanusian.15

Bagi Indonesia, kerjasama antar kota (Sister City) maupun Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang merupakan salah satu contoh kerjasama ekonomi daerah dengan luar negeri selain bertujuan untuk mempererat persahabatan antara kedua negara, juga dapat memanfaatkan kemajuan dan kemampuan kota di negara yang menjadi pihak dalam kerjasama untuk kepentingan pengembangan dan pembangunan daerah yang berada di Indonesia. Pelaksanaan kerjasama ekonomi luar negeri oleh daerah ini dilakukan sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan-kepentingan sebagai berikut :

a) Ketertiban, ketentraman dan kepentingan umum; b) Stabilitas politik dalam negeri;

c) Terpeliharanya persatuan dan kesatuan bangsa serta kepribandian nasional.

Dalam kaitan ini maka kerjasama antar kota/daerah harus bermanfaat untuk :

a) Menunjang pelaksanaan program pembangunan nasional di daerah;

b) Membantu meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat;

15


(29)

c) Membantu meningkatkan kemampuan pemerintah dan pembangunan, dan lain sebagainya.

Begitu pula halnya dengan Kerjasama Ekonomi Sub-Regional yang melibatkan beberapa provinsi di Indonesia dalam meghadapi perkembangan ekonomi dunia yang semakin pesat akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi mendorong pihak pemerintah untuk mencari “model” pengembangan ekonominya dalam upaya untuk tetap dapat bersaing dan memanfaatkan peluang-peluang yang ada di daerah dalam rangka mengintensifkan kerjasama antar negara yang telah terjalin.

Sementara itu pembentukan kawasan-kawasan pertumbuhan ekonomi tersebut dapat dilakukan dalam kekosongan hukum, artinya pembentukan dan mekanisme hubungan antar negara yang merupakan anggota dari kawasan tersebut membutuhkan kehadiran perangkat hukum untuk mengesahkan dan mengaturnya. Dengan kata lain, kerjasama ekonomi internasional antar negara selalu memerlukan pengaturan hukum (perjanjian internasional). Di sinilah kemudian kita akan menemukan peran dan fungsi dari hukum ekonomi nasional dan internasional.

Masyarakat, khususnya dunia bisnis sekarang ini sudah merasa yakin bahwa pembangunan ekonomi sangat memerlukan sarana hukum. Supaya pembangunan ekonomi itu benar-benar mencapai tujuan sesuai dengan rencana. Sunaryati Hartono menyatakan : Dalam mencari penyelesaiaan bagi masalah-masalah nasional kita, perlu lebih dikembangkan pendekatan transnasional, yaitu pendekatan yang mengusahakan penyelesaian masalah dengan hanya tidak


(30)

melihatnya dalam konteks nasional saja, akan tetapi juga dengan menempatkannya ke dalam kehidupan masyarakat dunia. Disinilah diperlukan peraturan-peraturan hukum ekonomi Indonesia yang cukup jeli, untuk disatu pihak mengembangkan kerjasama internasional di bidang ekonomi, tetapi dilain pihak memasang rambu-rambu yang cukup ampuh untuk melindungi hajat hidup maupun kepribadian dan jati diri bangsa di dalam badai globalisasi itu. Di sini pula tampak betapa hukum nasional ikut menentukan ketahanan sosial.16

B. Pembangunan Hukum dan Pembangunan Ekonomi sebagai isu Global

Memahami dinamika globalisasi dengan segala dimensinya, maka globalisasi juga akan memberi pengaruh terhadap hukum. Globalisasi hukum akan menyebabkan peraturan-peraturan negara-negara berkembang mengenai investasi, perdagangan, jasa-jasa dan bidang-bidang ekonomi lainnya mendekati negara-negara maju (Convergency). tetapi apapun istilah yang dilekatkan pada globalisasi hukum itu, pada intinya hendak menegaskan bahwa disamping hukum nasional suatu negara bangsa berkembang suatu hukum-hukum yang melampaui batas-batas kedaulatan negara bangsa.

Meskipun saat ini pembicaraan terhadap globalisasi hukum lebih cenderung dalam konteksnya dengan globalisasi dibidang lain. Globalisasi hukum kadang kala dipahami pula sebagai penyesuaian hukum-hukum nasional suatu negara bangsa sebagai dampak dari perkembangan perekonomian global misalnya. Penyesuaian hukum nasional bisa juga dilakukan atas adanya tekanan

16

Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, Bandung, 1991, hlm. 71.


(31)

organisasi internasional atau badan-badan dunia seperti WTO, IMF, World Bank dan lain sebagainya. Meskipun pengaruh sistem hukum yang datang dari dari luar itu bukan barang baru bagi Indonesia, tetapi yang membedakannya dari suatu waktu adalah kondisi dan situasi serta atas kepentingan apa hukum-hukum nasional Indonesia menyesuaikan diri atau memerlukan penyesuaian.

Dalam perspektif perbandingan sistem hukum benar adanya Hari Purwadi,17

Dari sudut perkembangan globalisasi hukum yang demikian tentu bisa dipahami apabila pada abad mendatang akan berkembang apa yang disebut dengan “the era of comparative law”, meskipun saat ini geraknya belum tampak terlalu kuat. Namun demikian, yang terpenting sebenarnya dalam kaitan ini memaksa kita untuk mendalami globalisasi hukum pada satu pihak dan sistem hukum global dipihak lain. Apakah kemudian sistem hukum global menjadi

bahwa Indonesia merupakan laboratorium hukum yang paling execelen

di dunia. Karena memang tidak bisa diingkari, bahwa sebagian besar sistem hukum di Indonesia adalah sistem hukum import sejak dari zaman penjajahan sampai saat ini. Oleh karena itu, globalisasi hukum di Indonesia sudah berlansung sejak lama, akan tetapi globalisasi hukum yang terjadi masa lalu itu hanya menjadi sistem hukum yang hidup dan berkembang dalam suatu negara bangsa yang berdaulat. Globalisasi hukum dalam perkembangannya justeru tumbuh dan berkembang melampau batas-batas kedaulatan negara dan kalau pun ia hidup dalam suatu negara nasional, tetapi perubahan dan penyesuaian sistem hukum itu lahir dari suatu kesepakatan internasional.

17

Hari Purwadi, Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : “Critical Comparative Law” Dan Transplantasi Hukum Di Indonesia, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi,Penerbit PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000, hal 225.


(32)

bagian dari globalisasi hukum atau globalisasi hukum melahirkan sistem hukum global, merupakan tema-tema yang menjadi fokus pada bagian ini. Kalau secara nasional sudah jelas bagaimana pengaruh globalisasi itu menjalar dalam kehidupan sistem hukum nasional. Di Indonesia saja saat ini berkembang beberapa sistem hukum:

1. Civil Law System

2. Common Law Sistem

3. Islamic Law

4. Socialisme Law

5. Customary Law atau Sistem Hukum Adat.18

Oleh karenanya, jika globalisasi hukum bergulir ke ranah publik bersaman dengan pengejewantahan globalisasi, bagi Indonesia tidak sepenuhnya benar, karena jauh sebelum Indonesia merdeka sudah terjadi impor sistem hukum ke Indonesia. Dengan demikian, pembicaraan terhadap globalisasi hukum di Indonesia beberapa waktu belakangan, tampaknya lebih merupakan suatu pembicaraan berkaitan dengan pergerakkan globalisasi di bidang lain. Dalam banyak pembicaraan dan bahasan sering diutarakan, bahwa globaliasi hukum diberbagai bidang, semisal globalisasi di bidang ekonomi, teknologi harus di ikuti dengan globalisasi hukum. Artinya globalisasi hukum berada dibelakang globalisasi bidang lain. Jika disetujui, bahwa globalisasi ekonomi merupakan manifesitasi baru dari perkembangan kapitalisme sebagai sistem ekonomi sosial, dimana transaksi dan lalu lintas ekonomi dan perdagangan tidak lagi terikat pada asal negara dari berbagai sistem hukum dan tradisi, maka globalisasi ekonomi harus diikuti globalisasi hukum. Meskipun demikian, tetap saja ada keraguan, dimana globaliasi hukum itu tetap diharapkan berlangsung pada sistem hukum

18


(33)

yang berbeda. Artinya, model ini tidak menjelaskan apakah globalisasi hukum memiliki sistem sendiri atau sistem hukum yang berbeda menjadi kekayaan dari globalisasi hukum.

Terkait dengan globalisasi itu, Soetandyo Wigjosoebroto mengemukakan,

bahwa proses nasionalisasi saat ini belum selesai, namun proses baru yang dikenali sebagai proses globalisasi sudah memasuki ambang pintu. Ini suatu proses yang lebih berhakikat sebagaiproses ekonomi dan sosial kultural daripada sebatas proses politik, nota bene proses politik yang diilhami oleh semangat dan paham nasionalisme, dengan cita-citanya yang tak mau ditawar untuk mewujudkan kesatuan bangsa di bawah kontrol kepemimpinan yang berlegalitas kuat. Akan tetapi, kini kenyataan telah kian menjadikan cita-cita seperti itu bagaikan ilusi belaka. Kini, perkembangan kehidupan tidak lagi berhenti pada jalannya proses integrasi komunitas-komunitas lokal ke satuan-satuan nasional, melainkan bersiterus ke prosesnya yang kian berlanjut.19

19

Soetandyo Wigjosoebroto, Pluralisme Hukum Dalam Kehidupan Global, Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah (Malang: Bayumedia, 2008), hlm. 237-252

Hal ini memperkuat globalisasi hukum menjadi suatu yang tidak terhindarkan dan akhirnya meminta kita untuk mengamini, bahwa kehidupan nasional di manapun, baik yang menyatukan manusia-manusia yang terbilang ‘bangsa tua’ yang muncul dalam sejarah sebagai bangsa penjajah maupun yang terbilang ‘bangsa muda’ yang terjajah, kini ini telah terkocok ulang dalam suatu kekisruhan yang namun begitu bolehlah tetap direspons secara optimistik sebagai suatu proses yang secara progresif menuju ke bentuk-bentuknya yang baru.


(34)

Dalam perpesktif seperti dikemukakan di atas, bagaimana sistem hukum global memainkan peran dan eksistensinya tidaklah mudah, sementara dilain pihak diyakini global society bukanlah suatu global state. Adanya juga yang menyebut Global state lebih tepat kalau dikatakan sebagai “masyarakat pasar” yang boleh juga disebut a global economy. Hal ini tentu menjadi integral dengan

global society, dimana masyarakat negara bangsa terbebas dari ikatan-ikatan hukum nasional mereka. Dalam perkembangan saat ini, globalisasi berkembang lebih jauh dari pada global state (masyarakat pasar) atau global state dalam pemahaman yang lebih luas sebagai “negara dunia” yang hadir dalam bentuknya yang nyata, tetapi berkembang dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”.

Keadaan itu tampak rumit dibanding memahami globalisasi hukum dalam perspektif tuntutan dari globalisasi ekonomi-perdagangan atau bidang lainnya. Jika, global economy bekerja melampui batas-batas nation state yang selama ini dirasakan sebagai hambatan, sekarang Jika terjadi silang sengketa dalam hubungan kontratual yang tidak bersanksi negara itu, maka penyelesaiannya akan dilakukan lewat apa yang disebut ADR (alternative dispute resolution), mulai dari yang bermodel renegosiasi atau mediasi sampai ke yang disebut arbitrasi. Alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan seperti ini mulai banyak dipilih daripada penyelesaian-penyelesaian adjudikatif lewat litigasi-litigasi di badan-badan peradilan nasional. Pada tataran ini tampak globalisasi hukum sebagai dampak dari globalisasi ekonomi melahirkan suatu sistem hukum. Pilihan penyelesaian sengketa dari hubungan perdanganan dalam ranah globalisasi seperti


(35)

yang terjadi pada bidang ekonomi/perdagangan itu, tentu akan tampak berbeda dalam konteks “global state” yang berwujud dalam tanggung jawab global.

Bagi Indonesia sendiri pengaruh globalisasi itu, selain menuntut penyesuaian sistem hukum nasional, globalisasi hukum sekaligus menghadapkan Indonesia pada berbagai penuntasan persoalan hukum yang harus dilesaikan. Tidak saja menyangkut grand desain hukum nasonal yang belum ada, ada sejumlah keadaan hukum Indonesia atau apa yang dinamakan dengan (the existing legal system)20

1. Dilihat dari substansi hukum, asas dan kaedah, hingga saat ini terdapat berbagai sistem hukum yang berlaku – sistem hukum adat, sistem hukum agama, sistem hukum barat, dan sistem hukum nasional. Tiga sistem hukum yang pertama merupakan akibat politik hukum masa penjajahan. Secara negatif, politik hukum tersebut dimaksudkan untuk membiarkan rakyat tetap hidup dalam lingkungan hukum tradisional dan sangat dibatasi untuk memasuki sistem hukum yang diperlukan bagi suatu pergaulan yang modern.

yang menunjukkan hal-hal sebagai berikut :

2. Ditinjau dari segi bentuk, sistem hukum yang berlaku lebih mengandalkan pada bentuk-bentuk hukum tertulis. Para pelaksana dan penegak hukum senantiasa mengarahkan pikiran hukum pada peraturan-peraturan tertulis. Pemakaian kaidah hukum adat atau hukum Islam hanya dipergunakan dalam hal-hal yang secara hukum ditentukan harus diperiksa dan diputus menurut kedua hukum tersebut. Penggunaan jurisprudensi dalam

20

Bagir Manan, Pembinaan Hukum Nasional , Penerbit Alumni, Bandung, 1999, hal 238 – 245


(36)

mempertimbangkan suatu putusan hanya sekedar untuk mendukung peraturan hukum tertulis yang menjadi tumpuan utama.

3. Hingga saat ini masih cukup banyak hukum tertulis yang dibentuk pada masa Pemerintahan Hindia Belanda. Hukum-hukum ini bukan saja dalam banyak hal tidak sesuai dengan alam kemerdekaan, tetapi telah pula ketinggalan orientasi dan mengandung kekosongan-kekososngan baik ditinjau dari sudut kebutuhan dan fungsi hukum maupun perkembangan masyarakat.

4. Keadaan hukum kita dewasa ini menunjukkan pula banyak aturan kebijakan (beleidsregel). Peraturan-peraturan kebijakan ini tidak saja berasal dari administrasi negara, bahkan ada pula dari badan justisial. 5. Keadaan hukum kita dewasa ini adalah sifat departemental centris.

Hukum- khususnya peraturan perundang-undangan- sering dipandang sebagai urusan departemen yang bersangkutan.

6. Tidak pula jarang dijumpai inkonsistensi dalam penggunaan asas-asas hukum atau landasan teoretik yang dipergunakan.

Keadaan hukum Indonesia sebagaimana digambarkan Bagir Manan di atas, penyesuaian sistem hukum nasional sebagai tuntutan globalisasi, jelaslah merupakan bukan pekerjaan ringan. Disisi lain, arus globalisasi terus mengalir dengan deras. Artinya, beberapa penyesuaian sistem hukum nasional Indonesia saat ini berkenaan dengan tuntutan globalisasi masih menyisakan banyak pekerjaan rumah.


(37)

Bagaimana globalisasi hukum dan perkembangannya merasuki sisten hukum nasional, maka dipihak lain globalisasi hukum pun menampakkan wujudnya sendiri yang tidak sekedar berupa adaptasi yang dilakukan dalam sistem hukum nasional. Bahwa keberadaan ADR sebagai sistem hukum global tentulah tidak akan sama keberadaanya dengan keberadaan Mahkamah Internasional yang mengurusi peradilan atas pelanggaran hak azasi manusia. Globalisasi hukum kemudian memperlihatkan wujudnya yang lain, dimana Mahkamah Internasiona; sebagai sistem hukum global sebagai suatu intrumen negara dunia (global state). Meskipun tidak terang-terangan dimaksudkan demikian, namun pengadilan-pengadilan nasional bukan satu-satunya tempat berproses bagi suatu kejahatan yang meskipin masih dibatasai objek dan subjeknya, tetapi ada lagi Mahkamah Internasional sebagai alternative. Mahkamah Internasionan akan bekerja atas suatu pengaduan/tuntutan, sekalipun yang teradukan adalah suatu tindakan dari pejabat pemerintah negara nasional yang sah.

Berdasarkan dinamika globalisasi yang mempengaruhi bidang hukum, maka globalisasi hukum sepertinya berakar pada dua hal, Pertama globalisasi hukum yang berakar pada globalsiasi ekonomi dan bidang lainnya yang menempatkan global state sebagai “masyarakat pasar. Kedua globalisasi hukum yang berakar pada global state yang menampakkan wujudnya dalam apa yang disebut dengan “tanggung jawab global”. Hal ini mengindikasikan, globalisasi hukum ternyata lebih rumit dibanding globalisasi ekonomi. Globalisasi hukum dalam artian tanggung jawab global telah menempatkan dirinya sebagai alat bagi


(38)

global state. Kondisi ini mirip dengan hukum sebagai alat kekuasaan sebagaimana terjadi pada negara-negara bangsa (negara nasional).

Dengan demikian. globalisasi dan pengaruhnya pada kehidupan hukum, yang kini ini kian tak lagi gampang dikontrol oleh kekuasaan sentral negara nasional, telah mengundang perhatian yang serius dari berbagai pengkaji dan pembuat kebijakan di manapun, baik yang nasional maupun yang internasional. Hukum berformat macam apakah yang kini ini mesti beroperasi di berbagai kancah, mulai yang transnasional, nasional dan juga subnasional. Tatkala negara-negara nasional terpaksa banyak membuka perbatasan-perbatasannya, dan perubahan-perubahan kehidupan ekonomi – yang berimbas ke kehidupan politik, sosial dan kultural – telah meningkatkan jumlah manusia berikut ide dan ideologinya yang melintasi berbagai sekatan, masalah penataan tertib dan kekuasaan struktural penertibnya akan menjadi pekerjaan rumah para pemimpin masa depan. Walaupun globalisasi hukum merupakan sesuatu yang sukar dihindari negara-negara nasional, namun dalam konteks ini menjadi paradoks, sistem hukum global tumbuh dan berkembang, tapi ia tumbuh dan berkembang tidak dalam ruang apa yang disebut dengan global state. Kalaupun kemudian diproyeksikan akan akan suatu era pasca modern dengan paradigmanya sendiri yang lain, maka sistem hukum global yang sekarang berkembang belum menemukan bentuknya yang ideal.

Apakah mungkin mengharapkan globalisasi hukum akan melahirkan suatu sistem hukum global, sementara yang disebut global state itu tidak ada. Suatu kemungkinan yang paling berpeluang untuk terjadi adalah masuknya pengaruh


(39)

sistem hukum suatu negara nasional yang kemudian bertindak atas nama tanggung jawab internasional atau dengan dalih perdagangan global, memaksanakan sistem hukumnya diterima suatu negara-negara bangsa. Kemungkinan itu bisa terjadi apabila terdapat tergantungan ekonomi, perdagangan, investasi, politik dan pertahanan dari suatu negara bangsa pada negara-negara yang selalu tampil dalam memainkan peran tanggung jawab internasional. Untuk saat ini globalisasi hukum yang berakar pada pengejawantahan tanggung jawab internasional itu, maka yang paling logis bisa terjadi adalah impor sistem hukum. Meskipun kita tidak melupakan adanya beberapa kesepakatan internasional yang melahirkan lembaga-lembaga hukum lintas batas negara-negara bangsa seperti Mahkamah Internasional, dan lain sebagainya.

Terlepas dari bagaimana hubungan yang menyelimuti antara hukum nasional dan globalisasi hukum itu, berkaca pada apa yang mengarus pada globalisasi ekonomi, maka globalisasi hukum mengikuti globalisasi ekonomi dalam arti substansi berbagai undang-undang dan perjanjian yang menyebar melewati batas-batas negara. Globalisasi hukum dapat terjadi melalui perjanjian dan konvensi internasional, hukum privat, dan institusi ekonomi baru. Globalisasi hukum itu kemudian diikuti dengan praktek hukum, dimana antara lain konsultan hukum suatu negara dan suatu sistem hukum, dapat bekerja dinegara lain yang mempunyai sistem hukum yang berbeda. Akan tetapi dibalik globalisasi hukum ada hukum global.

Jika demikian halnya, maka dalam bertumbuhnya globalisasi sedemikian rupa suka atau tidak suka pengaturan-pengaturan hukum kita akan dihadapkan


(40)

pada apa yang digambarkan Paul Schiff Berman, “we need to realize that normative conflict among multiple, overlapping legal systems is unavoidable and might even sometimes be desirable, both as a source of alternative ideas and as a site for discourse among multiple community affiliations”.21

Untuk mengoptimalkan nilai manfaat sumberdaya yang berlimpah tetapi tidak merata tersebut bagi pengembangan wilayah nasional secara berkelanjutan dan menjamin kesejahteraan umum secara luas (public interest), diperlukan intervensi kebijakan dan penanganan khusus oleh Pemerintah untuk pengelolaan wilayah yang tertinggal. Hal ini seiring dengan agenda Kabinet Gotong Royong untuk menormalisasi kehidupan ekonomi dan memperkuat dasar bagi kehidupan perekonomian rakyat melalui upaya pembangunan yang didasarkan atas sumber Persoalannya menjadi tidak hanya sekedar menyangkut pertempuran hukum local (baca hukum nasional) yang dihadapan pada globalisasi hukum, tetapi sekaligus dengan hukum global. Persoalannya kemudian, bagaimana sistem hukum global bekerja dan eksis.. hidup berdampingan dengan hukum nasional.

Indnesia memiliki kekayaan sumber daya alam. Kenyataan bahwa sumberdaya yang berlimpah tersebut tidak merata berada di seluruh daerah. Hal yang sama terjadi dengan sebaran sumberdaya manusia yang merupakan “aktor” pembangunan tersebar juga tidak merata. Implikasi dari ketidak-merataan keberadaan kedua sumberdaya tersebut adalah belum baiknya tingkat pelayanan infrastruktur wilayah melayani kebutuhan wilayah dan masyarakat, terutama daerah-daerah terisolir dan tertinggal.

21

Peter Roorda, The Internasional Of The Practice Law, “Wake Forest Law Rieview Vol 28 (1993) hal 141-159.


(41)

daya setempat (resource-based development), dimana baik sumberdaya lautan dan daratan saat ini didorong pemanfaatannya, sebagai salah satu andalan bagi pemulihan perekonomian nasional. Secara sederhana, pembangunan ekonomi dapat dipahami sebagai upaya melakukan perubahan yang lebih baik dari sebelumnya yang ditandai oleh membaiknya faktor-faktor produksi. Faktor-faktor produksi tersebut adalah kesempatan kerja, investasi, dan teknologi yang dipergunakan dalam proses produksi. Lebih lanjut, wujud dari membaiknya ekonomi suatu wilayah diperlihatkan dengan membaiknya tingkat konsumsi masyarakat, investasi swasta, investasi publik, ekspor dan impor yang dihasilkan oleh suatu negara. Secara mudah, perekonomian wilayah yang meningkat dapat diindikasikan dengan meningkatnya pergerakan barang dan masyarakat antar wilayah.

Dalam konteks tersebut, pembangunan ekonomi merupakan pembangunan yang a-spasial, yang berarti bahwa pembangunan ekonomi memandang wilayah nasional tersebut sebagai satu “entity”. Meningkatnya kinerja ekonomi nasional sering diterjemahkan dengan meningkatnya kinerja ekonomi seluruh wilayah/daerah. Hal ini memberikan pengertian yang “bias”, karena hanya beberapa wilayah/daerah yang dapat berkembang seperti nasional dan banyak daerah yang tidak dapat berlaku seperti wilayah nasional. Wilayah Indonesia terdiri sari 33 propinsi dengan 400an kabupaten/kota yang secara sosial ekonomi dan budaya sangat beragam. Keberagaman ini memberikan perbedaan dalam karakteristik faktor-faktor produksi yang dimiliki. Seringkali kebijakan nasional


(42)

pembangunan ekonomi yang disepakati sulit mencapai tujuan dan sasaran yang diharapkan pada semua daerah-daerah yang memiliki karakteristik sangat berbeda. Pembangunan ekonomi wilayah memberikan perhatian yang luas terhadap keunikan karakteristik wilayah (ruang). Pemahaman terhadap sumberdaya alam, sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur dan kondisi kegiatan usaha dari masing-masing daerah di Indonesia serta interaksi antar daerah (termasuk diantara faktor-faktor produksi yang dimiliki) merupakan acuan dasar bagi perumusan upaya pembangunan ekonomi nasional ke depan.

Tantangan pembangunan Indonesia ke depan sangat berat dan berbeda dengan yang sebelumnya. Paling tidak ada 4 (empat) tantangan yang dihadapi Indonesia, yaitu:

1) Otonomi daerah,

2) Pergeseran orientasi pembangunan sebagai negara maritim, 3) Ancaman dan sekaligus peluang globalisasi, serta

4) Kondisi objektif akibat krisis ekonomi.

Pertama, undang-undang otonomi daerah secara tegas meletakkan otonomi daerah di daerah kabupaten/kota. Hal ini berarti telah terjadi penguatan yang nyata dan legal terhadap kabupaten/kota dalam menetapkan arah dan target pembangunannya sendiri. Di satu sisi, penguatan ini sangat penting karena secara langsung permasalahaan yang dirasakan masyarakat di kabupaten/kota langsung diupayakan diselesaikan melalui mekanisme yang ada di kabupaten/kota tersebut. Tetapi, di sisi lain, otonomi ini justru menciptakan ego daerah yang lebih besar


(43)

dan bahkan telah menciptakan konflik antar daerah yang bertetangga dan ancaman terhadap kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kedua, reorientasi pembangunan Indonesia ke depan adalah keunggulan sebagai negara maritim. Wilayah kelautan dan pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, karena dapat diandalkan sebagai salah satu pilar ekonomi nasional.

Ketiga, ancaman dan peluang dari globalisasi ekonomi terhadap Indonesia yang terutama diindikasikan dengan hilangnya batas-batas negara dalam suatu proses ekonomi global. Proses ekonomi global cenderung melibatkan banyak negara sesuai dengan keunggulan kompetitifnya seperti sumberdaya manusia, sumberdaya buatan/infrastruktur, penguasaan teknologi, inovasi proses produksi dan produk, kebijakan pemerintah, keamanan, ketersediaan modal, jaringan bisnis global, kemampuan dalam pemasaran dan distribusi global.

C. Bentuk-Bentuk Kerjasama antara Daerah dengan Lembaga Internasional

Perkembangan dunia yang semakin tak berbatas ini, membuat aktivitas aktor-aktor di suatu negara makin berkembang. Negara tak lagi menjadi aktor utama dalam melaksanakan peran-perannya dalam kancah hubungan internasional. Pergeseran kedudukan negara telah digantikan dan diisi oleh aktor-aktor lain, mulai dari organisasi internasional sampai ke tingkat individu.22

22


(44)

Salah satu bentuk peningkatan kapasitas diri adalah dengan melalui kerjasama. Keinginan untuk bekerjasama tidak terbatas hanya dengan pemerintah negara saja, tetapi mulai merambah ke pemerintah daerah di negara lain atau denan Lembaga Internasional. Adanya kebijakan otonomi daerah menuntut pemerintah daerah untuk lebih mandiri, tidak selalu tergantung pada pemerintah pusat. Hal ini mendorong pemerintah daerah untuk mengembangkan potensi daerahnya, baik yang berupa potensi alam maupun manusia, untuk memaksimalkan pendapatan asli daerah agar dapat melaksanakan pembangunan demi meningkatkan taraf hidup masyarakat. Caranya adalah dengan mengadakan kerjasama dengan daerah otonom lain. Tidak hanya kerjasama antar daerah otonom di Indonesia, tetapi juga kerjasama dengan daerah (propinsi, kabupaten, kota) di luar negeri maupun dengan Lembaga Internasional.

Kerjasama ini sangat menarik untuk dibicarakan, karena merupakan suatu bentuk kerjasama internasional yang dapat dirasakan lebih dekat manfaatnya karena bersifat lokal-internasional. Bisa dikatakan bahwa bentuk kerjasama ini adalah praktek dari konsep think globally, act locally. Kerjasama ini bisa juga dikatakan sebagai “pembumian” dari konsep hubungan internasional yang sangat luas dan besar.

Kerjasama begitu sangat dibutuhkan, perkembangan dan masa depan negara akan menjadi lebih sulit bila tanpa menutup dirinya untuk tidak mengadakan kontak kerja sama dengan negara lain. Itu sudah kodratnya, tidak ada satu pun negara yang akan sanggup menjamin eksistensinya ke depan bila dalam


(45)

penyelesaian masalah yang dihadapi dengan sendirian, mereka butuh kerja sama (Co-operate), terutama di bidang Ekonomi.

Pada awalnya, kerjasama ekonomi hanya sebatas pada kegiatan ekspor dan impor saja. Tetapi dengan makin luasnya pengaruh globalisasi ekonomi, semakin dirasakan dampaknya terhadap aktivitas pembangunan suatu negara. Bentuk kerja sama antar negara yang akan kita bahas saat ini, tentunya tidak hanya terpaku pada sektor trading (perdagangan) saja, tetapi bisa meluas sampai pada usaha untuk ikut aktif dalam aktivitas pembangunan seperti investasi atau pendirian cabang usaha baru di negara lain. Agar kerja sama tersebut berhasil dan menguntungkan, maka kerja sama antarnegara tersebut diatur dalam suatu bentuk organisasi resmi.23

1. Kerja Sama Bilateral

Bentuk-bentuk kerjasama antarnegara dapat digolongkan sebagai berikut :

Kerja sama bilateral merupakan kerja sama antar dua negara. Misalnya, kerja sama ekonomi yang terjalin antara Indonesia dengan Singapura atau Amerika dengan Arab Saudi. Kerja sama bilateral bertujuan untuk membina hubungan yang telah ada serta menjalin hubungan kerja sama perdagangan dengan negara mitra. Pemerintah Indonesia sendiri telah mentandatangani perjanjian perdagangan dan ekonomi di Kawasan Asia Pasifik dengan 14 negara, di Afrika dan Timur Tengah dengan 10 negara, di Eropa Timur dengan 9 negara, di Eropa Barat dengan 12 negara dan di Amerika Latin dengan 7 negara.24

23

Sobri, Ekonomi Internasional, Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Jogjakarta, 1999, hal 46.

24


(46)

Kerja sama bilateral, yang dikoordinasikan oleh Bagian Kerja Sama Bilateral, lazimnya dapat dilaksanakan antara Indonesia dan suatu negara yang memiliki hubungan diplomatik dengan Indonesia dan keduanya telah menandatangani “Persetujuan” atau Agreement, yang akan menjadi payung bagi semua bentuk kerja sama bilateral. Kerja sama bilateral dalam bidang pendidikan, pemuda dan olahraga dituangkan dalam Nota Kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MOU), yang diikuti dengan kesepakatan pelaksanaannya yang dituangkan dalam “Pengaturan Pelaksanaan” atau Implementational Arrangements bersama Rencana Aksinya ( Action Plan ). 25

Kerja sama regional merupakan kerja sama antara negara-negara sewilayah atau sekawasan. Tujuannya tidak lain adalah untuk menciptakan perdagangan bebas antara negara di suatu kawasan tertentu. Bentuk kerja sama regional sudah dijajaki oleh PBB melalui pembentukan komisi regional yang dimulai dari Eropa, Asia Timur dan Amerika Latin. Komisi ini mengembangkan kebijakan bersama untuk masalah pembangunan khususnya pada bidang ekonomi. Kerja sama secara regional biasanya lebih pada hubungan dengan lokasi negara serta berdasarkan alasan historis, geografis, teknik, sumber daya alam dan pemasaran.

2. Kerja Sama Regional

26

Kerja sama regional pada dasarnya berkenaan dengan kerja sama antarnegara-negara di Asia Tenggara yang dalam bidang pendidikan, ilmu

25

Ibid. hal 27.

26

Mochtar Kusumatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasinal, Penerbit PT. Alumni, Bandung, 2003, hal. 115.


(47)

pengetahuan dan kebudayaan dimulai pada Tahun 1965 ketika SEAMEO ( South-East Asia Ministers of Education Organization ) dibentuk dengan lima negara anggota, yaitu Filipina, Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Thailand. Sekarang anggota SEAMEO telah bertambah lima , yaitu Brunei Darussalam, Myanmar , Kamboja, Laos , dan Vietnam . Di samping itu, organisasi ini memiliki enam associate members : Australia , Belanda, Kanada, Jerman, Perancis, dan Selandia Baru. Selain itu, ada satu affiliate member, yaitu Norwegia. Sekretariat SEAMEO, yang disebut SEAMES ( South-East Asia Ministers of Education Secretariat ), yang berkantor di Bangkok , dipimpin oleh seorang Direktur dengan masa bakti 3 (tiga) Tahun, yang direkrut dari negara-negara anggota secara bergiliran.

3. Kerja sama Multilateral

Kerja sama multilateral, yang dikoordinasikan oleh Bagian Kerja Sama Multilateral, berurusan dengan kerja sama dengan badan-badan dunia yang melibatkan sejumlah negara. Dalam melaksanakan program-program pendidikan, pemuda dan olahraga yang memerlukan bantuan teknis asing, Depdiknas bekerja sama dengan ADB ( Asian Development Bank ), WB ( World Bank ), dan IDB (

Islamic Development Bank) melalui program kemitraan. Kerja sama dengan badan-badan dunia ini dapat berupa pemberian hibah atau pinjaman, untuk mendukung program-program yang dilaksanakan di dalam negeri maupun di luar negeri, seperti pelatihan jangka pendek dan pendidikan pascasarjana. Kedua bentuk kerja sama ini memerlukan persiapan yang melibatkan berbagai instansi terkait, terutama BAPPENAS, KEMENKEU, KEMENLU, dan Sekretariat Negara, serta perwakilan badan-badan dunia terkait. Di samping itu, kerja sama


(48)

multilateral juga dapat dilakukan dengan badan-badan dunia lain, seperti UNICEF dan UNESCO.27

D. Penyelenggaraan Dan Mekanisme Hubungan Luar Negeri Oleh Daerah Menurut Hukum Nasional Dan Hukum Internasional.

Globalisasi akan diwarnai dengan peningkatan hubungan ekonomi, sosial dan budaya (EKOSOSBUD), dimana peran Pemerintah Pusat akan memudar dan diambil alih oleh Pemerintah Daerah sejalan dengan diberlakukannya otonomi daerah berdasarkan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

Otonomi daerah bermakna kemandirian, dimana fenomena sistem pemerintahan yang selama ini bersifat sentralistik bergulir ke arah desentralisasi yang memberikan kewenangan kepada daerah untuk dapat mengelola daerahnya sendiri secara mandiri.28

1. Otonomi adalah bentuk pemerintahan sendiri yaitu hak untuk memerintah atau menentukan nasib sendiri (the right of self goverment, self determination).

Istilah otonomi itu sendiri menurut Sidik Jatmika berasal dari bahasa Yunani yaitu “outonomos” yang berarti keputusan sendiri (self goverment), di mana di dalam istilah tersebut terkandung beberapa pengertian :

2. Otonomi adalah pemerintahan sendiri, diakui dan dijamin tidak adanya control oleh pihak lain terhadap fungsi daerah (local internal affairs) atau terhadap minoritas suatu bangsa.

27

Ibid, hal. 115.

28

Barkah Syahroni, “Analisis Jabatan, Implementasi dan Prospek Dalam Era Otonomi Daerah di Llingkungan Pemerintah Provinsi DIY”, Makalah dalam Bimtek Analisis Jabatan Pemerintah Provinsi DIY, 2005, hlm. 4.


(49)

3. Pemerintahan otonomi memiliki pendapatan yang cukup untuk menentukan hasil sendiri, memenuhi kesejahteraan hidup maupun mencapai tujuan hidup secara adil.

4. Pemerintahan otonomi memiliki supremasi dominasi kekuasaan (supremacy of authority) atau hukum (rule) yang dilaksanakan sepenuhnya oleh pemegangkekuasaan di daerah.29

Lebih jelas lagi pengertian atau definisi tentang otonomi daerah secara formal ditetapkan dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 pada Pasal 1 angka 5 yang menyebutkan : “Otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.30

Dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah di Negara Kesatuan RI digunakan atau diberlakukan prinsip otonomi daerah yang seluas-luasya serta otonomi nyata dan bertanggungjawab. Prinsip otonomi seluas-luasnya dimaksudkan bahwa daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan diluar yang menjadi urusan pemerintah pusat. Sedangkan prinsip otonomi yang nyata yaitu prinsip otonomi dimana untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan

29

Sidik Jatmika, Otonomi Daerah, Perspekti f Hubungan Intenasional, Penerbit Bigraf Publishing, Yogyakarta, 2001, hlm. 1.

30

Undang-undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, Penerbit BP Panca Usaha Putra, Jakarta, 2004, hlm. 6.


(50)

kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.31

Semangat otonomi daerah menempatkan Pemerintah Daerah sebagai pusat penggerak ekonomi khususnya sektor riil, dan selanjutnya Pemerintah Daerah menjadi koordinator dalam mensinergikan para pelaku EKOSOSBUD di

Dapat disimpulkan menurut pengertian prinsip otonomi yang nyata ini, tentunya isi dan jenis otonomi untuk setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya karena masing-masing daerah mempunyai kekhasan kultur dan karakter daerah sendiri sendiri.

Melalui prinsip-pinsip otonomi tersebut di atas diharapkan daerah dalam penyelenggaraan kegiatan pemerintahan daerah mampu meningkatkan daya saing dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan serta potensi dan keaneka-ragaman daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Keberadaan suatu daerah di Indonesia secara jelas diatur dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang mengamanatkan perhatian hubungan dan kerjasama daerah yang saling menguntungkan. Dalam Pasal 195 ayat 1 dinyatakan bahwa “Dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, daerah dapat mengadakan kerjasama dengan daerah lain yang didasarkan pada pertimbangan efisiensi dan efektifitas pelayanan publik, sinergi dan saling menguntungkan”.

31


(51)

daerahnya dan menerjemahkan potensi daerahnya ke manca negara dalam rangka menjalin kerjasama dengan lembaga-lembaga manca negara.32

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Hubungan dan Kerjasama Dengan Pihak Luar Negeri di Jajaran Departemen Dalam Negeri. Dalam konsideran Permendagri dimaksud disebutkan bahwa : “Hubungan kerjasama luar negeri yang diselenggarakan oleh jajaran Departemen Dalam Negeri pada dasarnya adalah perwujudan dan penjabaran kebijaksanaan politik luar negeri Pemerintah RI yang bebas dan aktif”.

Meski dalam Undang-undang tentang Pemerintahan Daerah tersebut tidak secara tegas mengatur tentang hubungan dan kerjasama pemerintah daerah dengan luar negeri, namun dalam ketentuan Pasal yang lain disebutkan secara jelas aturan mekanismenya, artinya bahwa dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah ada kegiatan hubungan dan kerjasama internasional antara pemerintah daerah dengan pihak luar negeri. Dalam Pasal 42 ayat (1) pada huruf (f) yang antara lain dinyatakan : ”DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan pendapat dan pertimbangan kepada Pemerintah Daerah terhadap rencana pernjanjian internasional di daerah”, selanjutnya dalam ayat (1) huruf (g) dinyatakan : “DPRD mempunyai tugas dan wewenang memberikan persetujuan terhadap rencana kerjasama internasional yang dilakukan oleh Pemerintah Daerah”.

33

32

Damos Dumoli Agusman, Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Departmen Luar Negeri, Jakarta, 2007, hlm 9

33

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Hubungan dan Kerjasama Dengan Pihak Luar Negeri, Biro Hukum Setjen Depdagri, Jakarta, 2000, hlm. 5


(52)

Menurut ketentuan ini kiranya lebih memperjelas peranan Pemerintah Daerah dalam penyelenggaraan hubungan kerjasama dengan luar negeri, karena Pemerntah Daerah merupakan lembaga yang berada di bawah jajaran Departemen Dalam Negeri dan merupakan bagian dari Negara Kesatuan RI.

Lebih lanjut dalam Bab II Pasal 3 dinyatakan : “Penyelengaraan hubungan dan kerjasama luar negeri ditujukan untuk menunjang pelaksanaan program pembangunan nasional dan daerah, membantu meningkatkan taraf hidup, kesejahteraan dan kecerdasan masyarakat serta membantu meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan”.34

Selain itu ditegaskan pula bahwa : “Kerjasama luar negeri merupakan pelengkap dalam melaksanakan pembangunan nasional dan daerah, dan pelaksanaannya harus tetap memperhatikan asas persamaan dan saling memberi manfaat serta tidak boleh merugikan kepentingan ketertiban, ketenteraman dan kepentingan umum, stabilitas politik dalam negeri, persatuan dan kesatuan bangsa serta kepribadian nasional”.

Jika dikaitkan dengan tujuan penyelenggaraan hubungan dan kerjasama dengan pihak luar negeri, maka ketentuan-ketentuan Permendagri tersebut menjadi instrumen daya dukung pelaksanaan otonomi daerah guna meningkatkan kemampuan Pemerintah Daerah dalam melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan.

35

34

Ibid. Hal 7.

35


(53)

Konsep otonomi daerah dengan prinsip otonomi seluas-luasnya serta otonomi yang nyata dan bertanggungjawab menempatkan pemerintah daerah yang merupakan bagian dari perilaku birokrasi dalam tatanan pemerintahan Indonesia untuk dapat lebih mampu melaksanakan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan dalam mencapai tujuan nasional. Untuk melaksanakan tugas-tugas tersebut di antaranya melakukan hubungan dan kerjasama dengan daerah lain termasuk juga hubungan dan kerjasama dengan pihak manca negara.

Selain itu, pelaksanaan hubungan kerjasama luar negeri harus aman dari berbagai segi, yaitu:

1. Politik (tidak bertentangan dengan politik luar negeri dan kebijakan hubunganluar negeri pemerintah pusat pada umumnya).

2. Keamanan (tidak menggangu dan mengancam stabilitas negara) 3. Yuridis (adannya jaminan kepastian hukum).

4. Teknis (tidak bvertentang dengan kebijakan yang ditetapkan departemen yang terkait).36

Menurut Garis-garis Besar Haluan Negara 1999-2004, arah kebijakan Propenas dalam Sub Bidang Hubungan Luar Negeri adalah:

1. Menegaskan arah politik luar negeri Indonesia yang bebas dan aktif dan berorientasi pada kepentingan nasional, menitikberatkan pada solidaritas antarnegara berkembang, mendukung perjuangan kemerdekaan bangsa-bangsa, menolak penjajahan dalam segala

36


(54)

bentuk, serta meningkatkan kemandirian bangsa dan kerjasama internasional bagi kesejahteraan rakyat.

2. Dalam melakukan perjanjian dan kerjasama internasional yang menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak harus dengan persetujuan lembaga perwakilan rakyat.

3. Meningkatkan kualitas dan kinerja aparatur luar negeri agar mampu melakukan diplomasi pro aktif dalam segala bidang untuk membangun citra positif Indonesia di dunia internasional, memberikan perlindungan dan pembelaan terhadap warganegara dan kepentingan Indonesia, serta memanfaatkan setiap peluang positif bagi kepentingan nasional.

4. Meningkatkan kualitas diplomasi guna mempercepat pemulihan ekonomi dan pembangunan nasional, melalui kerjasama ekonomi, regional maupun intternasional dalam rangka stabilitas, kerjasama dan pembangunan kawasan.

5. Meningkatkan kesiapan Indonesia dalam segala bidang untuk menghadapi perdagangan bebas, terutama dalam menyongsong pemberlakukan AFTA, APEC dan WTO.

6. Memperluas perjanjian ekstradisi dengan negara-negara sahabat serta memperlancar prosedur diplomatik dalam upaya melaksanakan ekstradisi bagi penyelesaian perkara pidana.37

37

Damos Dumoli Agusman, Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Ditjen Hukum dan Perjanjian Internasional Departmen Luar Negeri, Jakarta, 2007, hlm 24.


(1)

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan.

1. Hukum nasional dalam hal ini pemerintah telah mengeluarkan sejumlah peraturan perundang-undangan yang terkait dengan masalah internasional oleh pemerintah daerah yakni, Undang-Undang No. 37 Tahun 1999, Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 dan Undang-Undang No.32 Tahun 2004. Peraturan perundang-undangan ini seyogyanya diikuti dengan Peraturan Pemerintah yang hingga Tahun 2007 lalu masih belum disahkan. Menteri Luar Negeri sebagai kordinator pelaksanaan politik dan hubungan luar negeri telah menerbitkan PerMenLu No. 09/A/KP/XII/2006/01 yang mengatur panduan umum tentang tata cara hubungan dan kerjasama luar negeri oleh pemerintah daerah.

2. Perjanjian internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah mengatasnamakan pemerintah pusat sehingga memerlukan surat kuasa. Hal sama berlaku dalam hukum internasional dimana hanya negara(pemerintah pusat) yang dikenal sebagai subjek hukum internasional yang dapat membuat perjanjian internasional sehingga tanggung jawabnya terletak pada negara. Dengan demikian baik hukum nasional maupun hukum internasional telah memberikan kepada kesempatan kepada pemerintah daerah untuk melakukan hbungan kerjasama luar negeri, namun menyangkut pembentukan hukum internasional (Perjanjian internasional) maka semuanya kembali dalam


(2)

kekuasaan negara. Dalam perspektif ekonomi hubungan kerjasama internasional yang dilakukan oleh pemerintah daerah seharusnya bukan untuk mempererat persahabatan atau persaudaraan anatar kota/provinsi namun juga memberikan manfaat yang nyata bagi pembangunan daerah. 3. UU No. 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional dan

Undang-Undang No. 37 Tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri dimana mungkin terdapat ketentuan-ketentuan yang belum mengakomodir kepentingan masyarakat atau daerah dalam melaksanakan kerjasama ekonomi dengan luar negeri secara efektif dan efisien. Perubahan yang teratur melalui prosedur hukum, baik ia berwujud perundang-undangan atau keputusan badan-badan peradilan lebih baik dari pada perubahan yang tidak teratur dengan menggunakan kekerasan semata-mata. Karena baik “perubahan” maupun “ketertiban” (keteraturan) merupakan tujuan kembar dari masyarakat yang sedang membangun, hukum menjadi suatu alat yang tidak dapat diabaikan dalam proses pembangunan.

B. Saran.

Hal yang perlu diperhatikan adalah semua proses hubungan luar negeri sebaiknya dilakukan melalui 1 pintu (one door policy), yakni melalui Kementrian Luar Negeri (Kemenlu) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 UU no. 37 Tahun 1999. Dalam hal ini perlu dipertimbangkan kehadiran Kemenlu di daerah-daerah melalui suatu kebijakan nasional. Kemenlu dapat berperan sebagai konsultan bagi pelaku hubungan internasional di daerah baik itu lokal maupun asing. Seperti contoh negeri RRC yang membuka kementerian luar negeri mereka di


(3)

daerah-daerah. Pemerintahan daerah sendiri harus juga bersiap termasuk persiapan Sumber Daya Manusia dalam menjalin hubungan kerjasama luarnegeri agar tidak menggangu stabilitas kepentingan nasional atau melanggar norma-norma hukum nasional maupun internasional.


(4)

DAFTAR PUSTAKA A. BUKU – BUKU.

Adolf, Huala .2005. Hukum Perdagangan Internasional, PT Raja Gafindo Persada, Jakarta.

Agusman Dumoli Damos, 2007.Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Dalam Kerangka Otonomi Daerah, Ditjen Huku m dan Perjanjian Internasional Departmen Luar Negeri, Jakarta.

Booysen, Hercules. 1999 International Trade Law on Goods and Service, (Pretoria: Interlegal).

Guruh Syahda. 2000. LS.Menimbang Otonomi vs Federal- mengembangkan wacana federalisme dan otonomi luas menuju masyarakat madani

Indonesia.Pemuda Rosdakarya. Bandung.

Harris D.J, 1983. Cases and Materials on internasional law, Sweet & Maxwell, London.

Houtte, Hans Van. 1995. The Law of International Trade, London, Sweet and Maxwell

Jatmika Sidik, 2001. Otonomi Daerah, Perspekti f Hubungan Intenasional,

Penerbit Bigraf Publishing, Yogyakarta.

Kusumaatmadja Mochtar. 2003. Pengantar Hukum Internasional.PT. Alumni. Bandung.

---.1976. Hukum Masyarakat dan Pembangunan Hukum Nasional. Bandung

---. 1962. Masalah Lebar Laut Teritorial Dalam Konfrensi- konfrensi Hukum Laut Jenewa. Tahun 1958 dan tahun 1960. Bandung.

Koswara, E. 2011. Otonomi Daerah: Untuk Demkrasi dan Kemandirian Rakyat, Yayasan PARIBA, Jakarta.

Manan, Bagir. 1999. Pembinaan Hukum Nasional (Dalam Mochtar

Kusumaatmadja: Pendidik & Negarawan, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 Tahun Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, SH., LL.M.), Penerbit Alumni, Bandung.


(5)

Manan, Bagir. 1990. Hubungan antara Pusat dan Daerah Berdasarkan Asas Desentralisasi Menurut UUD 1945, Disertase, Unpad, Bandung. Marzuki, Peter Mahmud. 2009. Penelitian Hukum. Preneda Media Group. Jakarta. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa

Indonesia edisi keempat. Balai Pustaka. Jakarta.

Purwadi Hardi, 2000, Pendekatan Baru Dalam Studi Perbandingan Hukum : “Critical Comparative Law” Dan Transplantasi Hukum Di

Indonesia, dalam Wajah Hukum di Era Reformasi,Penerbit PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung.

Radjagukguk, Erman. Peranan Hukum Dalam Pembangunan Pada Era Globalisasi, Jurnal Hukum, No. II Vol 6

Rudy May T.. 2002. Hukum Internasional. PT. Refika Aditama. Bandung. ---. 2002. Hukum Internasional 2. PT. Refika Aditama. Bandung. Santoso, Ananda, Priyanto, S. 2010. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Kartika

Putra Press. Jakarta.

Starke, J.G. 2008. Pengantar Hukum International, Sinar Grafika. Bandung. Sinaga Obsatar.2010.Makalah Implementasi Hubungan Luar Negeri Oleh

Pemerintah Daerah Dalam Konteks Otonomi Daerah dan Hubungannya Dengan Kebijakan One Door Policy Departemen Luar Negeri Republik Indonesia.Universitas Padjajaran, Bandung. Suwardi Setianingsih Sri, 2004. Pengantar Hukum Organisasi Internasional.

Universitas Indonesia Press. Jakarta.

Suradinata, E. Maya. 1993 Kebijakan Pembangunan dalam Pelaksanaan Otonomi

Daerah, Ramadan, Bandung.

Soekanto Soerjono, Sri Mamuji, 2001.Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada. Jakarta.

Sondakh, Lucky W. 2003. Globalisai dan Desentralisasi, Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Jakarta.

Sobri, Ekonomi Internasional, 1999. Badan Penerbit Fakultas Ekonomi UGM, Jogjakarta.


(6)

Syahroni Barkah, 2005. “Analisis Jabatan, Implementasi dan Prospek DalamEra Otonomi Daerah di Llingkungan Pemerintah Provinsi DIY”,

Makalah dalam Bimtek Analisis Jabatan Pemerintah Provinsi DIY Waluyo Bambang, 1996. Penelitian Hukum Dalam Praktek. Sinar Grafika.

Jakarta.

Wigjosoebroto, Soetandyo. 2008. Pluralisme Hukum Dalam Kehidupan Global,

Hukum Dalam Masyarakat:Perkembangan dan Masalah..

Bayumedia, Malang.

Wirajuda Hasan. Panduan Umum T ata Cara Hubungan dan Kerjasama Luar Negeri Oleh Pemerintah Daerah, Sambutan Revisi tahun 2006.

.B. PERATURAN PERUNDANG – UNDANGAN

Konvensi wina 1969.

Konvensi Vienna tahun 1968

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan

Hubungan dan Kerjasama Dengan Pihak Luar Negeri, Biro Hukum Setjen

Depdagri, Jakarta, 2000,

Undang-Undang RI Nomor 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional. Undang-Undang RI Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah,

Penerbit BP Panca Usaha Putra, Jakarta, 2004.

C. INTERNET

tanggal 17 Mei 2012 pukul 20.00 wib.

tanggal 18 Mei 2012 pukul 13.00 wib. http:// deplu.go.id