Dispepsia Hubungan Dispepsia Fungsional dengan Kualitas Tidur pada Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2.3. Dispepsia

Istilah dispepsia berasal dari dua kata dalam bahasa Yunani, yakni kata dys yang berarti buruk dan kata pepsis yang berarti pencernaan. Istilah ini, menurut Konsensus Rome II tahun 2000, digunakan untuk menggambarkan berbagai gejala yang dirasakan sebagai rasa ketidaknyamanan yang terpusat pada abdomen bagian atas Djojoningrat, 2014. Menurut Tarigan 2014, dispepsia merupakan suatu kumpulan gejala dari berbagai penyakit pada saluran cerna seperti mual, muntah, kembung, nyeri pada ulu hati, sendawa, rasa seperti terbakar, rasa penuh pada ulu hati dan cepat merasa kenyang. Istilah lain yang dapat menggambarkan klinis yang sama dengan dispepsia adalah indigesti Friedman, 2012. Menurut ada atau tidaknya etiologi atau penyebab munculnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi dua yaitu dispepsia organik dan dispepsia fungsional Djojoningrat, 2014. 2.3.1. Klasifikasi Dispepsia Berdasarkan ada atau tidaknya penyakit organik yang menyertai timbulnya gejala dispepsia tersebut, dispepsia dapat dibagi menjadi dua bagian besar yaitu dispepsia fungsional dan dispepsia organik Djojoningrat, 2014. Kedua bagian dari dispepsia tersebut adalah sebagai berikut. 2.3.1.1. Dispepsia Fungsional Menurut Konsesus Rome III, dispepsia fungsional didefinisikan sebagai suatu sindroma yang mencakup satu atau lebih dari gejala perasaan penuh pada perut setelah makan, cepat kenyang, nyeri pada ulu hati epigastrium atau rasa terbakar di ulu hati epigastrium, yang berlangsung sedikitnya dalam 3 bulan terakhir, dengan awal mula munculnya gejala tersebut sedikitnya timbul 6 bulan sebelum diagnosis ditegakkan dan tidak ada suatu bukti kelainan struktural yang dapat menjelaskan penyebab gejala tersebut muncul Abdullah, 2012. Istilah dispepsia fungsional juga Universitas Sumatera Utara diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai evaluasi klinis tidak dapat mengungkapkan penyebab timbulnya gejala dispepsia tersebut Friedman, 2012. Sebelum ada Konsesus Rome III, disepsia fungsional dibagi menjadi tiga yaitu ulcer like dyspepsia yang didominasi nyeri epigastrium dan mirip dengan gejala tukak peptik namun tidak ditemui kelainan organik seperti tukak saat pemeriksaan diagnostik, dismotility like dyspepsia yang didominasi keluhan kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang namun tidak ditemui kelainan organik seperti dismotilitas saluran cerna saat pemeriksaan diagnostik, serta dispepsia non spesifik yang tidak disertai dengan dominannya salah satu keluhan. Setelah adanya Konsesus Rome III, dispepsia fungsional dibagi menjadi dua, yaitu post – prandial distress syndrome yang keluhannya didominasi oleh perasaan penuh pada perut dan cepat kenyang setelah makan dalam porsi yang umumnya tidak menimbulkan keluhan tersebut, dan epigastric pain syndrome yang keluhannya didominasi perasaan nyeri dan terbakar yang hilang timbul di ulu hati epigastrium Djojoningrat, 2014. 2.3.1.2. Dispepsia Organik Istilah dispepsia organik diartikan sebagai suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berkaitan dengan berbagai penyakit pada saluran cerna maupun pada sistem organ lain Friedman, 2012. Menurut Tarigan 2014, dispepsia organik secara klinis dapat dibagi atas dispepsia akibat gangguan motilitas, dispepsia akibat tukak, dispepsia akibat refluks dan dispepsia yang tidak spesifik. Pengertian lain dari dispepsia organik yakni dispepsia yang berkaitan dengan penyakit organik seperti gastritis dan tukak peptik Djojoningrat, 2014. Menurut Prio 2011 dalam Anggita 2012, istilah gastritis berasal dari bahasa Yunani, yakni gastro yang berarti perut atau lambung, dan itis yang berarti peradangan. Gastritis merupakan suatu proses inflamasi pada mukosa maupun submukosa lambung Hirlan, 2014. Gastritis bukanlah suatu penyakit tunggal, Universitas Sumatera Utara melainkan suatu kelompok penyakit yang memiliki perubahan peradangan pada mukosa lambung yang sama, namun memiliki ciri klinis, karakteristik histologik dan patogenesis yang berlebihan McGuigan, 2012. Tukak peptik merupakan suatu kumpulan penyakit ulseratif yang berlokasi pada saluran cerna bagian atas, utamanya adalah bagian proksimal dari lambung dan duodenum. Tukak biasanya lebih dalam, setidaknya hingga lapisan sub mukosa. Hal ini berbeda dengan erosi, yang umumnya superfisial dan hanya ada pada lapisan mukosa saja. Tukak peptik yang sering terjadi adalah tukak lambung dan tukak duodenum McGuigan, 2012. Tukak lambung merupakan suatu luka yang berbentuk bulat atau oval dengan ukuran lebih besar dari 5 mm dengan pinggirnya yang oedem, disertai dengan indurasi dan dasarnya ditutupi debris. Kedalaman dari tukak lambung ini mencapai lapisan sub mukosa lambung sehingga terjadi pemutusan pada kontinuitas lapisan mukosa lambung yang terletak di atasnya Tarigan, 2014. Biasanya disekeliling ulkus lambung terdapat gambaran peradangan atau gastritis McGuigan, 2012. Tukak duodenum merupakan suatu kerusakan atau luka pada lapisan mukosa dan sub mukosa duodenum, bahkan dapat mencapai lapisan muskularis mukosa hingga serosa pada duodenum sehingga bisa menimbulkan perforasi Akil, 2014. Diameter luka biasanya lebih dari 5 mm namun kurang dari 1 cm, dalam, berbatas tegas, dan disertai hilangnya epitel superfisial pada daerah tukak tersebut. Bentuk tukak umumnya bulat atau oval, namun dapat juga tidak teratur McGuigan, 2012. Dismotilitas saluran cerna juga bisa memicu dispepsia organik. Dismotilitas saluran cerna merupakan kumpulan gejala pada saluran cerna yang disebabkan oleh gangguan motilitas saluran cerna sehingga otot dan saraf pada saluran cerna tidak bekerja dengan baik. Dismotilitas saluran cerna yang dapat menyebabkan timbulnya dispepsia terutama jika terjadi di saluran cerna bagian atas, utamanya pada lambung dan duodenum Simadibrata, 2014. Dispesia dapat berlangsung secara fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional yaitu post – prandial distress syndrome Djojoningrat, 2014. Meski demikian, kasus ini dapat pula terjadi sebagai Universitas Sumatera Utara komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik Simadibrata, 2014. 2.3.2. Faktor Risiko Dispepsia Banyak hal – hal yang menjadi faktor, yang memiliki pengaruh terhadap timbulnya dispepsia bagi seseorang. Faktor tersebut dapat terbagi menjadi faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal tersebut meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat – obatan, sedangkan faktor internal meliputi faktor jenis kelamin , faktor usia, faktor genetik, faktor hormonal dan faktor stres Djojoningrat, 2014. Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut. 2.3.2.1. Faktor Eksternal Faktor eksternal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi faktor makanan, faktor minuman, faktor lingkungan dan faktor obat – obatan Djojoningrat, 2014. Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut. 2.3.2.1.1. Faktor Makanan Pola makan yang tidak teratur dan kurang baik dapat menimbulkan timbulnya gejala dispepsia. Ketidakteraturan pola makan tersebut meliputi jeda waktu makan yang tidak menentu, tidak terbiasa untuk sarapan setiap hari, terbiasa mengonsumsi makanan selingan dan biasa membatasi makan. Suatu penelitian case control oleh Susanti 2011 mengemukakan bahwa pola dan kebiasaan makan pada kelompok kontrol yang tidak mengalami dispepsia ternyata lebih baik dibanding kelompok kasus yang mengalami dispepsia, meskipun tingkat persentasinya masih mayoritas di kedua kelompok tersebut, yakni 91.7 terhadap 60 sampel kontrol dan 76.7 terhadap 60 sampel kasus. Penelitian lain yang dilakukan oleh Andre 2013 terhadap Universitas Sumatera Utara 40 penderita dispepsia juga mengemukakan hal yang sama yaitu pola makan pada penderita dispepsia lebih banyak yang tidak teratur yakni sebanyak 57.5 berbanding 42.5 yang teratur. Kedua hasil penelitian ini mendukung penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Reshetnikov 2007 dengan subyek penelitian sebanyak 1562 orang dewasa, berhasil menyimpulkan bahwa pola makan yang tidak teratur berkaitan dengan timbulnya gejala dispepsia Susilawati, 2013. Menurut Firman 2009 dalam Anggita 2012, pola makan yang tidak teratur sangat besar dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, karena pola makan yang teratur setiap harinya akan memudahkan lambung dalam mengenal waktu makan tertentu yang teratur sehingga produksi asam lambung akan teratur pula, sesuai dengan pola makan tersebut. Selain pola makan yang tidak teratur, konsumsi jenis makanan tertentu juga dapat menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia. Makanan tersebut terutama yang banyak mengandung lemak dan minyak Anggita, 2012. Selain itu makanan pedas dan asam juga dapat berpengaruh terhadap kambuhnya gejala dispepsia. Suatu penelitian case control oleh Susanti 2011 mengemukakan bahwa 78,3 dari 40 penderita dispepsia sering mengkonsumsi makanan pedas, sedangkan kebiasaan makan makanan asam sekitar 55 dari 40 penderita dispepsia. Makanan yang diketahui sering menimbulkan dispepsia antara lain makanan yang mengandung laktosa dan fruktosa, green salad dan sayuran yang menyerupai kacang – kacangan Tandon, 2012. 2.3.2.1.2. Faktor Minuman Beberapa jenis minuman dapat menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia. Minuman tersebut antara lain minuman yang berkarbonasi dan minuman mengandung kafein seperti kopi dan teh Anggita, 2012. Namun suatu penelitian case control oleh Susanti 2011 mengemukakan bahwa kebiasaan meminum kopi, teh, minuman berkarbonasi ataupun kombinasi dari ketiganya ternyata kurang begitu Universitas Sumatera Utara dominan dampaknya dalam menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia, yaitu masing – masing dari jenis minuman atau kombinasi dari minuman – minuman tersebut hanya berada dalam kisaran 3.3 sampai dengan 20, 8 dari 60 penderita dispepsia. 2.3.2.1.3. Faktor Lingkungan Berdasarkan lingkungan tempat tinggal, kasus dispepsia lebih banyak terajdi di kawasan yang padat penduduknya serta negara – negara berkembang yang tingkat sosial ekonominya masih tidak sebaik negara – negara maju. Prevalensi kasus dispepsia di negara berkembang berada di kisaran 10 , dibandingkan dengan di negara maju yang berada di kisaran 1 Anggita, 2012. 2.3.2.1.4. Faktor Obat – Obatan Suatu penelitian case control oleh Susanti 2011 menyatakan kebiasan mengonsumsi obat – obatan pada kelompok kasus lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol, yaitu sebesar 33,3 dari 60 sampel kasus dan hal ini tidak dijumpai pada 60 sampel kontrol, namun lebih dari setengah terhadap total 60 sampel kasus, yaitu 53,3 dan lebih dari setengah terhadap total 60 sampel kasus kontrol, yaitu 84 , tidak termasuk dalam kategori pengguna obat dokter harian sehingga faktor ini tidak begitu signifikan dalam mepengaruhi, jika dibandingkan dengan faktor lainnya. 2.3.2.2. Faktor Internal Faktor internal yang dapat mempengaruhi timbulnya gejala dispepsia meliputi faktor jenis kelamin, faktor usia, faktor genetik, faktor hormonal dan faktor stres Djojoningrat, 2014. Masing – masing faktor tersebut adalah sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara 2.3.2.2.1. Faktor Jenis Kelamin Sejumlah penelitian menyatakan bahwa perempuan lebih banyak mengalami gejala dispepsia dibanding laki – laki. Sebuah penelitian oleh Tarigan 2003 menyatakan bahwa 59,1 pasien dispepsia fungsional di RSUP Adam Malik adalah perempuan, dibanding dengan laki – laki sebesar 40,9 . Penelitian lain oleh Dwigint 2010 menyimpulkan bahwa perempuan lebih berisiko menderita dispepsia dibanding laki – laki. Kedua penelitian ini ternyata mendukung teori yang menyatakan bahwa perbandingan kasus dispepsia menurut jenis kelamin adalah 2 : 1 Harahap, 2007. 2.3.2.2.2. Faktor Usia Dispepsia terutama terjadi pada usia produktif yaitu usia 20 tahun ke atas. Hal ini dilatarbelakangi oleh pola hidup di kalangan kelompok masyarakat usia produktif yang kurang teratur dibandingkan dengan kelompok masyarakat usia lain Anggita 2012. 2.3.2.2.3. Faktor Genetik Terdapat berbagai faktor genetik yang turut berperan dalam menimbulkan gejala dispepsia dan faktor yang mencetusnya. Menurut Camilleri 2009 dalam Tandon 2012, saat ini telah dilaporkan bahwa terdapat single – nucleotide polymorphism pada alel 825T dari gen second messenger GNB 3, yang turut mendukung adanya hipersensitifitas viseral yang pada akhirnya dapat memicu dispepsia fungsional. 2.3.2.2.4. Faktor Hormonal Faktor hormonal terhadap terjadinya dispepsia masih belum begitu jelas dan masih membutuhkan riset lebih lanjut. Beberapa riset yang telah ada sebelumnya mengemukakan bahwa penurunan motilin dapat menyebabkna gangguan motilitas lambung dan duodenum, progesteron, estradiol dan prolaktin memiliki pengaruh Universitas Sumatera Utara terhadap kontraktilitas otot polos di lambung. Kolesistokinin dan sekretin diketahui juga memiliki pengaruh terhadap dispepsia fungsional Djojoningrat, 2014. 2.3.2.2.5. Faktor Stres Menurut Tarigan 2003 dalam Susanti 2011, faktor stres juga turut berpengaruh dalam menimbulkan gejala dispepsia. Hal ini disebabkan dengan kaitan yang erat antara stres dan berbagai reaksi tubuh yang merugikan kesehatan. Berbagai gangguan mekanisme hormonal seperti penurunan serotonin dan katekolamin serta peningkatan asetilkolin akan menimbulkan hiperasimtomatik sistem gastrointestinal yang akan meningkatkan peristaltik dan sekresi asam lambung. Hal tersebut akan menyebabkan terjadinya produksi asam lambung yang lebih tinggi dan terjadilah hipeasiditas lambung. Hiperasiditas lambung yang juga disertai meningkatnya cadangan glukosa darah akibat pengaruh hormonal menyebabkan berkurangnya nafsu makan sehingga mengakibatkan timbulnya pola makan yang tidak teratur sehingga bisa menimbulkan kambuhnya gejala dispepsia Susanti, 2011. Salah satu penelitian yang mendukung teori tentang faktor stres terhadap dispepsia adalah suatu penelitian case control oleh Susanti 2011 yang menyatakan bahwa 63,3 dari 60 sampel kasus berada pada tingkat stres kategori sedang, dibandingkan dengan 51,7 dari 60 sampel kontrol. Hal sebaliknya terjadi untuk tingkat stres kategori rendah sebesar 28,3 dari 60 sampel kasus, dibandingkan dengan 48,3 terhadap 60 sampel kontrol Susanti, 2011. 2.3.3. Etiologi Dispepsia Dispepsia dapat disebabkan oleh berbagai hal, yang mana pberdasarkan penyebab itulah, maka timbulnya gejala dispepsia dapat dibagi menjadi dispepsia fungsional dan dispepsia organik Djojoningrat, 2014. Etiologi dari dispepsia antara lain sebagai berikut. Universitas Sumatera Utara 2.3.3.1. Dispepsia Fungsional Dispepsia fungsional adalah suatu gejala klinis dispepsia yang timbul dan berbagai sarana diagnostik, baik yang baku maupun yang konvensional, tidak dapat menunjukkan adanya gangguan – gangguan patologik struktural atau biokimiawi Djojoningrat, 2014. Berdasarkan pada pengertian tersebut, maka tidak ada suatu penyebab organik yang menyebabkan timbulnya dispepsia fungsional Friedman, 2012. Terdapat berbagai hipotesis tentang dispepsia fungsional seperti pengaruh hiperasiditas lambung, pengaruh gangguan motorik, pengaruh infeksi, pengaruh hipersensitifitas viseral, pengaruh gangguan psikologik, pengaruh intoleransi makanan, pengaruh dari gangguan sistem imun dan faktor genetik Tandon, 2012. Etiologi lain yang tidak jauh berbeda dengan hipotesis di atas adalah karena sekresi asam lambung yang berlebih, infeksi Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal yang juga dipengaruhi olehambang rangsang persepsi, disfungsi otonom, gangguan relaksasi fundus dan pengaruh aktivitas miolektrik lambung yang abnormal, pengaruh hormonal, faktor dietetik dan pengaruh psikologis Djojoningrat, 2014. 2.3.3.2. Dispepsia Organik Sejumlah dugaan tentang penyebab gastritis yang pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia, antara lain karena infeksi dari Helicobacter pylori yang prevalensinya cukup tinggi di negara berkembang, gangguan fungsi sistem imun, infeksi virus seperti Enteric rotavirus dan Calicivirus serta Cytomegalovirus, dan infeksi jamur seperti Candida species, Histoplasma capsulatum dan Mukonaceae, yang terutama menginfeksi pasien immuno compromized Hirlan, 2014. Pemakaian obat – obatan seperti aspirin dan obat golongan obat anti – inflamasi non steroid atau NSAID serta etanol diketahui memiliki mekanisme kerja yang dapat mencederai mukosa lambung McGuigan, 2012. Universitas Sumatera Utara Terdapat beberapa teori tentang hal – hal yang menyebabkan tukak lambung yang pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia. Menurut teori No Acid No Ulcer yang dikemukakan oleh Schwarst tahun 1910, tukak lambung lebih disebabkan oleh hiperasiditas lambung saja, namun teori lain yang bernama Shay and Sun : Balance Theory tahun 1974 mengemukakan tukak akan terjadi jika ada gangguan keseimbangan antara faktor agresif dan faktor defensif, yaitu jika faktor agresif mengalami peningkatan dan faktor defensif mengalami penurunan. Faktor agresif tersebut terdiri dari asam dan pepsin, sedangkan faktor defensif tersebut terdiri dari mukus, bikarbonat, aliran darah dan prostaglandin Tarigan, 2014. Teori lain yang lebih terbarukan tentang penyebab tukak lambung adalah teori No HP No Ulcer yang dikemukakan oleh Warren dan Marshall pada tahun 1983. Menurut teori tersebut, tukak lambung lebih disebabkan oleh infeksi bakteri Helicobacter pylori, suatu bakteri patogen gram negatif yang berbentuk kurva atau S – shaped, mikroaerofilik, berflagel, hidup di lapisan epitel antrum dan bermigrasi ke proksimal lambung. Infeksi bakteri ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor host itu sendiri, lamanya infeksi berlangsung, faktor bakteri itu sendiri dan juga lingkungan tempat infkesi berlangsung. Faktor lamanya infeksi meliputi lokasi infeksi dan respon inflamasi yang terjadi setelah infeksi. Faktor bakteri tersebut antara lain virulensi dan struktur bakteri tersebut. Faktor lingkungan tempat infeksi berlangsung meliputi keberadaan asam lambung dan faktor lain yang dapat mengiritasi mukosa lambung Tarigan, 2014. Konsentrasi NSAID dalam lambung dan konsentrasi cairan empedu akibat regurgitasi isi duodenum ke dalam lambung juga dapat menyebabkan tukak lambung McGuigan, 2012. Penyebab tukak duodenum tidak jauh berbeda dengan tukak lambung, yaitu disebabkan oleh faktor – faktor agresif yang dapat menimbulkan kerusakan pada mukosa duodenum, antara lain infeksi Helicobacter pylori, NSAID, asam lambung dan pepsian, serta faktor lingkungan dan kelainan pada satu atau lebih dari faktor pertahanan mukosa duodenum Akil, 2014. Universitas Sumatera Utara Pada dismotilitas saluran cerna bagian atas pada akhirnya menimbulkan munculnya gejala dispepsia, pada umumnya tidak disertai dengan penyebab yang jelas mengenai kerusakan organik, sehingga biasanya berlangsung fungsional dan masuk dalam kategori dispepsia fungsional Djojoningrat, 2014. Meski demikian, kasus ini dapat pula terjadi sebagai komplikasi dari diabetes, penyakit Parkinson, setelah operasi lambung atau karena pseudoobstruksi pada saluran cerna bagian atas. Hal ini menimbulkan terjadinya dispepsia organik Simadibrata, 2014. 2.3.4. Manifestasi Klinis Dispepsia Keluhan utama yang terjadi saat gejala dispepsia timbul adalah rasa nyeri dan atau rasa tidak nyaman pada perut bagian atas, seperti kembung, mual, muntah, rasa penuh dan cepat kenyang. Keluhan yang berlangsung dapat lebih dominan ke salah satu gejala sehingga dispepsia yang terjadi dapat mengarah ke salah satu tipe dispepsia sesuai dengan klasifikasinya Abdullah, 2012. Klasifikasi tersebut adalah ulcer like dyspepsia atau epigastric pain syndrome dan dismotility like dyspepsia atau post – prandial distress syndrome yang merupakan klasifikasi dari dispepsia fungsional. Epigastric pain syndrome didominasi oleh rasa nyeri dan perasaan seperti terbakar di daerah ulu hati, sedangkan post – prandial distress syndrome didominasi oleh rasa penuh, cepat kenyang, kembung, mual dan muntah Djojoningrat, 2014. Jika dispepsia disebabkan oleh kelainan organik, maka lokasi nyeri dapat menjadi penentu letak dimana terjadi kelainan organik tersebut. Nyeri di daerah substernal biasanya timbul akibat kelainan di esofagus atau kardia dari lambung, sedangkan nyeri epigastrium biasanya berasal dari bagian lambung selain kardia, duodenum, kantung empedu atau pankreas. Nyeri yang timbul dapat disertai dengan rasa terbakar atau heartburn atau pirosis. Heartburn yang timbul dapat terjadi mulai dari epigastrium dan menjalar hingga ke atas dari epigastrium dan substernal, yang dapat dicetuskan oleh aktivitas motorik yang abnormal pada esofagus sehingga dapat terjadi refluks dari isi lambung ke dalam esofagus atau esophageal reflux Friedman, 2012. Universitas Sumatera Utara Dispepsia yang disebabkan oleh gangguan organik berupa gangguan motilitas saluran cerna bagian atas tukak, baik di lambung maupun duodenum memiliki gejala yang tidak jauh berbeda dengan dispepsia fungsional. Tukak lambung didominasi oleh rasa nyeri di ulu hati Tarigan, 2014. Nyeri ini dapat ditimbulkan oleh makan, sehingga dapat timbul rasa keenganan untuk makan sehingga terjadilah anoreksia. Efek penurunan rasa nyeri setelah pemberian antasida tidak sebesar pada pemberian terhadap penderita tukak duodenum McGuigan, 2012. Demikian pula dengan tukak duodenum, namun nyeri yang dirasakan, terutama seperti terbakar dan sangat perih, saat lapar, nyeri tidak terlokalisir dan nyeri akan berkurang setelah makan Akil, 2014. Nyeri yang timbul dapat dirasakan sebagai perasaan seperti ditusuk atau dibor dan dapat membangunkan penderitanya di tengah malam saat tidur. Nyeri ini akan berkurang dengan pemberian antasida McGuigan, 2012. Khusus untuk tukak yang disebabkan oleh NSAID maupun pada kalangan lanjut usia, tukak ini seringkali tidak bergejala dan baru menimbulkan gejala setelah terjadi komplikasi seperti perdarahan atau perforasi Tarigan, 2014. Pada dispepsia yang disebabkan gangguan motilitas saluran cerna bagian atas, keluhan yang timbul terjadi akibat gangguan dari pengosongan lambung, baik terlambat maupun terlalu cepat. Keluhan akibat keterlambatan pengosongan lambung akan menimbulkan gejala dispepsia pasca prandial, antara lain cepat kenyang, rasa penuh, sendawa, kembung, mual dan muntah. Keluhan ini dapat disertai dengan nyeri epigastrium, anoreksia, rasa terbakar, dan penurunan berat badan. Jika terjadi percepatan pengosongan lambung, maka akan terjadi keluhan ansietas, lemah, takikardia, dizziness, berkeringat, flushing dan penurunan kesadaran. Keluhan ini akan timbul segera atau setidaknya dua jam setelah makan Simadibrata, 2014. Pada kasus gastritis pada umumnya tidak menimbulkan gejala yang khas, namun yang paling sering dikaitkan dengan gastritis adalah keluhan nyeri, panas dan pedih di daerah ulu hati. Keluhan ini dapat disertai dengan mual atau muntah Hirlan, 2012. Universitas Sumatera Utara 2.3.5. Etiopatogenesis dan Patofisiologi Dispepsia Timbulnya gejala dispepsia dilatar belakangi oleh berbagai etiologi, yang masing – masing dari etiologi tersebut memiliki mekanisme yang saling berbeda hingga menimbulkan dispepsia. Masing – masing dari mekanisme tersebut antara lain mekanisme yang dipengaruhi oleh sekresi asam lambung, Helicobacter pylori, dismotilitas gastrointestinal, hipersensitifitas viseral, psikologis dan obat – obatan Djojoningrat, 2014. Masing – masing mekanisme tersebut antara lain sebagai berikut. 2.3.5.1. Sekresi Asam Lambung Penderita dispepsia fungsional pada umumnya memiliki tingkat sekresi asam lambung yang normal, tidak berlebih. Jika pasien mengalami gejala nyeri didaerah epigastrium, diduga hal tersebut disebabkan oleh sensitivitas mukosa lambung terhadap asam lambung yang meningkat Djojoningrat, 2014. Hal ini berbeda dengan pandangan sebelumnya yang menyatakan bahwa asam lambung turut terlibat secara dalam terhadap mekanisme terjadinya nyeri pada epigastrium, seperi pada kasus tukak peptik, sehingga banyak pasien dispepsia fungsional yang diterapi dengan acid suppresion Tandon, 2012. Namun pada tukak lambung yang juga menyebabkan dispepsia organik, khususnya pada teori No Acid No Ulcer yang dikemukakan Schwarst pada tahun 1910, terjadi sekresi asam lambung dan pepsin yang berlebih. Histamin yang berperan dalam perangsangan sel parietal untuk menghasilkan asam lanbung juga dapat meningkat. Peningkatan sekresi asam lambung dapat dipengaruihi faktor genetik yang berpengaruh pada massa sel parietal atau sekresinya yang leboh banyak Tarigan, 2014. 2.3.5.2. Helicobacter pylori Helicobacter pylori merupakan suatu bakteri gram negatif berbentuk kurva dengan panjang kurang lebih 3 µm dan diameter 0,5 µm dan berflagel. Bakteri ini pada umumnya ditularkan secara fekal oral atau oral oral Akil, 2014. Ketika bakteri Universitas Sumatera Utara ini memasuki saluran cerna, bakteri ini akan bertahan dalam suasana asam di dalam lambung, yaitu dengan memproduksi urease yang berperan dalam menghidrolisis urea menjdai karbondioksida dan amonia, dengan demikian bakteri ini dapat tahan hidup dalam suasana lambung yang asam. Selain itu keberadaan flagel akan membuat bekteri ini memiliki kemampuan motilitas yang baiksaat berkolonisasi dan bergerak dalam permukaan mukosa lambung yang tidak rata. Adanya mekanisme ini akan memuat bakteri ini mudah dalam menembus lapiasn mukus lambung dan melekat pada epitel permukaan lambung Rani, 2014. Dalam proses perlekatannya terhadap sel epitel lambung, bakteri ini memiliki struktur di permukaannya yaitu adhesin BabA yang memperantarai proses perlekatannya. Guna menunjang hidupnya, bakteri ini dapat mengeluarkan eksotosin VacA atau vacuolating cytotoxin yang dapat membentuk suatu saluran pada membran sel epitel, dan melalui saluran tersebut, anion organik dan bikarbonat akan dilepaskan untuk memenuhi nutrisi bakteri tersebut. Bakteri ini, dalam perlekatannya, akan terikat dengan MHC atau Major Histocompatibility Complex kelas II yang ada pada permukaaan sel epitel lambung. Hal ini akan memicu terjadinya apoptosis atau kematian sel epitel tersebut Rani, 2014. Jika bakteri ini berhasil melekatkan dirinya ke sel epitel permukaan mukosa lambung dan selanjutnya berkolonisasi, maka akan terjadi proses inflamasi pada mukosa lambung. Molekul – molekul seperti neutrofil, sel PMN limfosit serta makrofag dan sel plasma akan meningkat di sekitar sel yang mengalami kerusakan akibat keberdaan bakteri tersebut, diikuti dengan meningkatnya berbagai macam mediator inflamasi atau sitokin seperti interleukin atau IL – 1 , IL – 2, IL – 6, IL – 8 dan tumor necrosis factor atau TNF α Rani, β014. Bakteri ini juga akan menghasilkan berbagai sitotoksin yang juga akan membantu proses inflamasi yang lebih buruk yaitu vacuolating cytotoxin Vac A gen dan cytotoxin associated gen A Cag A gen yang akan langsung merusak epitel mukosa saluran cerna. Selain itu, terdapat juga enzim seperti urease yang akan memecah urea menjadi amonia yang bersifat toksik pada epitel mukosa, protease dan fosfolipase yang akan menurunkan Universitas Sumatera Utara sekresi mukus lambung yang berperan dalam proteksi mukosa lambung Akil, 2014. Proses inflamasi ini akan mengakibatkan terjadinya proses produksi antibodi yang meningkat, yang bukannya menurunkan tingkatan terjadinya proses inflamasi dan infeksi bakteri tersebut, namun justru menimbulkan terjadinya kerusakan jaringan setempat. Selain itu juga akan terjadi peningkatan respon imun yang berperan dalam perlindungan mukosa lambung dari kerusakan tahap lanjut akibat perlekatan bakteri tersebut, berupa timbulnya sel T helper immatur atau sel Th0 yang akan mengalami proses diferensiasi menjadi dua bentuk yaitu sel Th1 yang nantinya akan mensekresikan IL – β dan interferon atan INF , dan sel Thβ yang akan mensekresikan IL – 4, IL – 5, dan IL – 10. Diharapkan nantinya respon Th2, yang menstimulasi sel B sebagai dampak dari adanya bakteri patogen di luar sel, akan lebih dominan berlangsung, dibanding dengan respon sel Th1 yang muncul karena adanya bakteri patogen intrasel. Hal ini terjadi karena Helicobacter pylori jarang melakukan invasi ke intrasel epitel, namun hanya melakukan perlekatan di ekstrasel epitel mukosa lambung Rani, 2014. Pada kasus dispepsia fungsional, faktor infeksi dari Helicobacter pylori sudah banyak diteliti. Menurut Moayyedi 2003 dalam Tandon 2012, infeksi Helicobacter pylori konsisten pengaruhnya dalam menyebabkan dispepsia fungsional, namun tidak begitu signifikan pengaruhnya, jika dibandingkan dengan faktor lainnya. Suatu penelitian oleh Rhee 1999 dalam Tandon 2012 mengemukakan bahwa hubungan antara Helicobacter pylori dan dispepsia fungsional tidak terlihat. Namun penelitian lain dari O’Morain β010 dalam Tandon β01β justru mengemukakan bahwa Helicobacter pylori banyak terdeteksi pada kelompok kasus dispesia fungsional dibandingkan dengan kelompok kontrol yang tidak menderita dispesia fungsional. Kedua penelitian diatas menyimpulkan bahwa Helicobacter pylori memang memegang peranan penting, namun hanya dalam sebagian kecil penderia dispepsia fungsional Tandon, 2012. Universitas Sumatera Utara Helicobacter pylori dapat menyebabkan terjadinya gastritis dan tukak peptik. Gastritis sendiri dibagi menjadi dua yaitu gastritis kronik non atropi predominasi antrum, yang ditandai dengan peradangan mukosa yang sedang atau berat pada di antrum namun dikorpus tidak ada peradangan atau hanya peradangan ringan saja, dan gastritis kronik atropi multifokal yang ditandai dengan peradangan pada mukosa yang terjadi hampir di seluruh bagian lambung Hirlan, 2014. Gatritis yang kronis dapat mengakibatkan terjadinya tukak peptikum, yakni tukak lambung dan tukak duodenum, dengan mekanisme yang tidak jauh berbeda Tarigan, 2014. Prevalensi infeksi bakteri ini cukup tinggi di Indonesia. Hampir 100 kasus tukak duodenum berhubungan dengan infeksi bakteri ini. Pada tukak lambung dan gastritis, sebanyak, masing – masing 80 dan 40 kasus, berhubungan dengan infeksi bakteri ini Rani, 2012. 2.3.5.3. Dismotilitas Gastrointestinal Kasus dispepsia fungsional yang diakibatkan oleh dismotilitas fungsional cukup tinggi yaitu berada dalam kisaran setengah dari seluruh kasus. Bentuk – bentuk dismotilitas tersebut antara lain berupa perlambatan pengosongan lambung sebesar 23 dari seluruh kasus dispepsia fungsional, yang berdampak pada rasa mual, muntah dan penuh Djojoningrat, 2014. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Delgado – Aros 2004 yang menyimpulkan ada kaitan antara perlambatan pengosongan lambung dan dispesia fungsional Tandon, 2012. Dispepsia fungsional juga ada kaitannya dengan hipersensitifitas terhadap distensi lambung, sebesar 35 dari seluruh kasus disepsia fungsional yang berdampak pada rasa nyeri ulu hati Djojoningrat, 2014. Dispepsia fungsional juga dapat berkaitan dengan gangguan akomodai makanan di lambung. Akomodasi merupakan kemampuan lambung dalam melebarkan ukuran volume isinya sesuai dengan volume makanan yang dikonsumsi dan waktu – waktu makan yang diharapkan berpola teratur. Adanya gangguan dalam Universitas Sumatera Utara proses akomodasi lambung akan berdampak pada perasaan nyeri selama proses makan berlangsung atau cepat kenyang Tandon, 2012. Sebuah penelitian oleh Tack 1998, yang diperbarui oleh Bredenoord 2003 dalam Tandon 2012 mengemukakan bahwa 40 - 47 dari seluruh pasien dispepsia fungsional berkaitan dengan gangguan akomodasi lambung dengan menggunakan alat penunjang single photon emission computed tomography atau SPECT dan pasien tersebut menunjukkan gejala cepat kenyang. Penelitian lain menungkapkan bahwa sebesar 40 dari seluruh kasus disepsia fungsional berkaitan dengan gangguan akomodasi lambung Djojoningrat, 2014. Aktivitas mioelektrik pada lambung yang abnormal dan gangguan relaksasi fundus bisa menyebabkan dismotilitas pada lambung. Aktivitas mioelektrik lambung yang abnormal atau disritmia yang memiliki pengaruh terhadap dismotilitas pada lambung antara lain takigastria dan bradigastria. Gangguan relaksasi fundus yang memiliki pengaruh adalah menurunnya kapasitas relaksasi fundus dari lambung Djojoningrat, 2014. Disfungsi pada saraf otonom, terutama nervus vagus, yang juga mempersarafi saluran cerna bagian atas, bisa menyebabkan dismotilitas pada lambung. Hal ini dapat menyebabkan gangguan relaksasi lambung bagian proksimal ketika menerima makanan. Hal ini akan berakibat pada rasa cepat kenyang ketika makan Djojoningrat, 2014. 2.3.5.4. Hipersensitifitas Viseral Beberapa kasus dispepsia fungsional dapat dilatar belakangi oleh hipersensitifitas viseral yang disebabkan oleh peningkatan ambang rangsang persepsi terhadap berbagai reseptor di saluran cerna, seperti reseptor kimiawi dan mekanik, sehingga meningkatnya sensitifitas ini dapat dipicu oleh distensi volume lambung yang mempengaruhi reseptor mekanik dan pengaruh makanan yang mempengaruhi reseptor kimiawi. Mekanisme terjadinya hal ini masih belum banyak dipahami Universitas Sumatera Utara Djojoningrat, 2014. Teori ini didukung oleh riset yang telah ada sebelumnya. Sebuah penelitian oleh Kindt 2003 dalam Tandon 2012 menyimpulkan hubungan yang erat hipersensitifitas viseral dengan timbulnya gejala dispepsia. Gejala dispepsia itu adalah rasa penuh dan cepat kenyang akibat hipersensitifitas lambung terhadap distensi. Hipersensitifas viseral juga dapat disebabkan oleh adanya disfungsi pada saraf otonom, terutama nervus vagus yang juga mempersarafi saluran cerna bagian atas. Hal ini dapat menyebabkan gangguan relaksasi lambung bagian proksimal ketika menerima makanan. Hal ini akan berakibat pada rasa cepat kenyang ketika makan Djojoningrat, 2014. 2.3.5.5. Psikologis Faktor piskologis seperti stress ternyata memiliki pengaruh terhadap fungsi sistem pencernaan Barry, 2006. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya aktivitas daru dua bagian otak yang berperan dalam aktivitas stres, yaitu hipotalamus dan locus ceruleus. Meningkatnya aktivitas hipotalamus oleh stres sendiri dipengaruhi oleh aktvitas sistem limbik, khususnya amigdala dan hippocampus, dan juga aktivitas dari locus ceruleus di batang otak. Sistem limbik merupakan bagian bagian dari otak yang berpengaruh dalam emosi dan perilaku primitif yang esensial seperti mencari makan, berkelahi dan melarikan diri untuk pertahanan dan perlindungan diri serta reproduksi. Amigdala yang berpengaruh dalam emosi kemarahan dan kegusaran cukup penting dalam mekanisme ini. Aktivasi amigdala akan menyebabkan teraktivasinya hippocampus, cingulate cortex dan bagian lain dari sistem limbik, yang pada akhirnya juga mengaktivasi hipotalamus dalam melepas corticotropin releasing factor atau CRF Mertz, 2000. Pelepasan CRF oleh hipotalamus juga dipengaruhi oleh aktivasi locus ceruleus, yang merupakan bagian dari batang otak. Locus ceruleus merupakan sumber dari sebagian besar neurotransmiter norepinephrine yang mengaktivasi sistem saraf, sehingga jika locus ceruleus teraktifkan, maka norepinephrine akan dilepaskan Universitas Sumatera Utara dan mengaktivasi bagian dari otak yang mengakibatkan meningkatnya kewaspadaan dan kesiagaan Hal ini juga dapat turut berperan dalam mengaktivasi hipotalamus dalam melepas corticotropin releasing factor atau CRF Mertz, 2000. Pelepasan CRF sebagai respon dari stres akan mengaktifkan hypothalamic – pituitary – adrenal axis atau HPA aksis. Pelepasan CRF oleh hipotalamus akan merangsang kelenjar pituitari untuk melepaskan adrenocorticotropin hormone atau ACTH yang juga akan merangsang kelenjar adrenal dalam melepaskan kortisol. Kortisol yang dilepaskan tersebut akan menimbulkan terjadinya retensi cairan dan garam dalam tubuh, sehingga bisa menyebabkan hipertensi, dan juga dapat mengganggu fungsi imun tubuh. Selain pengaruh kortisol, meningkatnya neurotransmiter norepinephrine yang dihasilkan sebagai akibat dari aktivasi locus ceruleus akan mengaktivasi berbagai sistem dalam tubuh sehingga akan berpengaruh dalam takikardi, hipertensi, ketegangan otot, spasme pada saluran pencernaan dan dispepsia Mertz, 2000. Keseluruhan mekanisme ini dapat dilihat pada gambar 2.6. Respon stres terhadap fungsi saluran pencernaan pada manusia memiliki kemiripan dengan hewan seperti mencit. Dalam suatu penelitian dengan menggunakan mencit sebagai hewan coba, diberikan perlakuan yang dapat memicu terjadinya stres pada hewan tersebut, yaitu dengan menempatknnya dalam suatu tempat yang sangat sempit. Hal ini menyebabkan perubahan dari motilitas saluran cerna, yakni menurunnya motilitas di saluran cerna bagian atas, yang ditandai dengan menurunnya kemampuan pengosongan lambung dan meningkatnya motilitas pada saluran cerna bagian bawah, yang ditandai dengan buang air besar yang lebih sering Micut, 2012. 2.3.5.6. Obat – obatan Penggunaan obat – obatan seperti NSAID, aspirin dan etanol dalam jangka panjang dapat menyebabkan terjadinya inflamasi pada mukosa saluran cerna, terutama lambung dan duodenum. Hal ini disebabkan efek dari NSAID yang akan Universitas Sumatera Utara menghambat kerja enzim siklooksigenase atau COX, terutama COX – 1 yang beperan dalam produksi prostaglandin. Prostaglandin sendiri turut berperan dalam fungsi perlindungan mukosa melalui pengaturan akiran darah di mukosa, proliferasi sel epitel, sekresi mukus dan bikarbonat dan fungsi imun mukosa. Jika terjadi gangguan dalam produksi prostaglandin, maka akan terjadi kerusakan pada lapisan mukosa Akil, 2014. Gambar 2.6. Hypothalamic – Pituitary – Adrenal Axis Sumber : Stress and the Gut, Mertz, 2000 Kerusakan lapisan mukosa ini berlangsung dalam berbagai tahapan, yaitu berkurangnya aliran darah di lapisan mukosa dan kerusakan mikorvaskuler serta sekresi mukus dan bikarbonat yang menurun Akil, 2014. Aspirin juga dapat menyebabkan kerusakan lapisan mukosa lambung Hal ini disebabkan karena rusaknya pembuluh darah di mukosa melalui mekanisme penghambatan dari pembentukan tromboksan pada dinding pembuluh darah, pembentukan tromboksan oleh trombosit, dan pembentukan sodium salisilat yang merupakan hasil metabolisme aspirin dalam sistem sirkulasi, yang dapat merusak kerja sel, melalui gangguan pada fungsi respirasi dan fosforilasi oksidatif oleh sel, Universitas Sumatera Utara sehingga dapat menyebabkan kerusakan sel endotel dan juga sel epitel mukosa McGuigan, 2012. Efek etanol pada kerusakan mukosa lambung biasanya terlihat dari adanya perdarahan subepitel mukosa, disertai dengan edema yang mengelilinginya. Hal ini dapat disertai juga dengan meningkatnya sel – sel peradangan mukosa, namun hal ini hanya bersifat ringan sampai sedang sehingga pengaruhnya tidak begitu besar McGuigan, 2012. 2.3.6. Penegakan Diagnostik Dispepsia Dalam menegakkan diagnosis dari dispepsia, perlu dilakukan anamnesis yang baik. Keluhan yang paling sering dikeluhkan dalam dispepsia adalah rasa tidak nyaman pada perut bagian atas. Rasa tidak nyaman pada perut bagian atas tersebut perlu dieksplorasi penyebab dan bentuk serta sifat ketidaknyamanan tersebut, guna mengklasifikasikan, apakah keluhan tersebut merupakan bagian dari dispepsia fungsional atau dispepsia organik Abdullah, 2012. Selain itu perlu dieksplorasi juga frekuensi dan waktu tertentu ketika serangan terjadi, kaitan antara timbulnya serangan dan makanan, keadaan – keadaan yang dapat menyebabkan serangan muncul dan berkurang serta gejala – gejala lain yang dapat menyertai munculnya serangan seperti mual, muntah, diare, steatore atau melena. Status nutrisi, berat badan beserta selera makan pasien juga perlu dinilai Friedman, 2012. Tujuan dari anamnesis ini adalah untuk mendeteksi adanya tanda atau gejala yang berbahaya. American College of Gastroenterology Guidelines for the Management of Dyspepsia 2005 menyatakan bahwa tanda bahaya tersebut adalah gejala dispepsia yang baru muncul pada usia lebih dari 55 tahun, penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya, anoreksia, rasa cepat kenyang, muntah, disfagia progresif, odinofagia, perdarahan, anemia, ikterus, massa abdomen, pembesaran kelenjar limfe, riwayat keluarga dengan kanker saluran cerna atas, ulkus peptikum, pembedahan lambung, dan keganasan Abdullah, 2012. Universitas Sumatera Utara Jika dijumpai tanda bahaya yang diperoleh melalui anamnesis, maka pemeriksaan penunjang diagnostik dapat dilakukan. Pemeriksaan penunjang diagnostik yang dapat dipergunakan adalah sebagai berikut. 1. Esofagogastroduodenoskopi Esofagogastroduodenoskopi atau EGD merupakan bagian dari pemeriksaan endoskopi saluran cerna, yakni sistem pemeriksaan dengan menggunakan alat endoskop, guna memeriksa organ di dalam tubuh manusia secara visual dengan cara mengintip melalui alat tersebut rigid fiber scope atau langsung melihat pada layar monitor skop Evis sehingga kelainan yang ada pada organ tersebut dapat diliha dengan jelas Simadibrata, 2014. Endoskopi juga bisa digunakan untuk biopi jaringan pada saluran cerna bagian atas, terutama berguna untuk pemeriksaan bakteri Helicobacter pylori Tarigan, 2014. EGD bertujuan untuk melihat secara detail struktur mukosa saluran cerna bagian atas Syam, 2014. Pemeriksaan EGD diindikasikan, selain untuk dispesia, juga untuk disfagia, gastroesophageal reflux disease atau GERD, adanya tumor, benda asing, tindakan terapeutik seperti ligasi dan sklerosing pada varises di saluran cerna bagian atas, serta tindakan bedah yang bersifat minimal seperti polipektomi, endoscopic mucosal resection atau EMR dan endoscopic submucosal disection ESD. Terdapat kontraindikasi untuk pemeriksaan EGD seperti infark miokard akut, serangan asma bronkial akut, gagal jantung kongestif dan keadaan hemodinamik yang tidak baik dan stabil Syam, 2014. Pemeriksaan EGD efektif sebagai pemeriksaan diagnostik tukak peptik, terutama jika pemeriksaan radiologis tidak dapat mendiagnosis tukak peptik karena diameter lesi yang terlalu kecil atau dangkal. Pemeriksaan ini, secara visual, dapat menetapkan lokasi dan ukuran pada tukak lambung McGuigan, 2014. Pemeriksaan EGD memiliki kelebihan dibanding radiologi, antara lain dapat melihat lesi kecil yang dimeternya kurang dari 0,5 cm, dapat melihat lesi yang tertutupi gumpalan darah dan jika dibandingkan dengan pemeriksaan Universitas Sumatera Utara radiologis, EGD lebih bisa menentukan tingkat keganasan dari suatu tukak Tarigan, 2014. Pemeriksaan EGD untuk penegakan diagnosis gastritis berperan untuk mengetahu adanya perdarahan pada mukosa, adanya kerapuhan dan sumbatan, serta erosi McGuigan, 2012. 2. Pemeriksaan radiologis Pemeriksaan radiologis dapat digunakan untuk memeriksa tukak peptik. Gambaran radiologis yang diperlihatkan berupa kawah berbatas jelas dengan lipatan mukosa yang teratur dan keluar dari pinggiran tukak Tarigan, 2014. Pemeriksaan radiologis dengan barium bisa digunakan juga pada tukak peptik. Teknik barium kontras tunggal dapat mendeteksi hingga 70 sampai 80 , namun dengan teknik barium kontras ganda, tukak dapat terdeteksi hingga 90 dengan sinar X. Untuk ulkus yang disebabkan oleh NSAID, ulkus kurang dapat terdeteksi dengan mudah pada pemeriksaan radiologis. Gambaran radiologis kurang dapat menentukan tingkat keganasan tukak, karena terdapat sekitar 4 gambaran tukak jinak pada pemeriksaan radiologis ternyata merupakan tukak ganas McGuigan, 2012. 3. Urea Breath Test Pemeriksaan Urea Breath Test atau UBT merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik yang bersifat non invasif, sekaligus sebagai pemeriksaan baku emas untuk pemeriksaan diagnostik infeksi bakteri Helicobacter pylori. Dalam pemeriksaan ini, pasein diminta untuk menelan urea yang mengandung isotop karbon, yang akan dihasilkan isotop karbon dioksida dan dikeluarkan melalui pernapasan apabila terdapat kerja urease yang berasal dari bakteri Helicobacter pylori, lalu hasil kenaikan ekskresi isotop tersebut dibandingkan nilai dasar. Untuk isotop karbon 13C, hasil dianggap positif jika ada kenaikan minimal 0,01 kadar isotop normal yang biasa ditemukan yaitu 1,11 Rani, 2014. Universitas Sumatera Utara 4. Histopatologi Pemeriksaan histopatologi dapat digunakan untuk menentukan tingkat keganasan pada tukak peptikum. Biasanya pemeriksaan histopatologi menggunakan sampel biopsi. Sampel ini dapat diambil dari pinggir dan dasar tukak, setidaknya empat sampel untuk dua daerah tersebut, namun bila ukuran dari tukak tersebut cukup besar, maka dapat diambil setidaknya enam sampel untuk tiga daerah, yaitu dasar pinggir dan sekitar tukak Tarigan, 2014. Sampel biopsi dapat juga dipergunakan untuk memeriksa adanya infeksi bakteri Helicobacter pylori. Perwanaan sampel jaringan pada umumnya menggunakan hematoksilin dan eosin, karena akurasinya cukup tinggi, yakni mencapai 92 , namun mendapatkan gambaran metaplasia yang lebih jelas, dapat dipergunakan pewarnaan Genta atau Giemsa. Pemeriksaan histopatologi untuk melihat bakteri ini efektif jika pasien tidak mengkonsumsi antibiotik sebelumnya Rani, 2014. 5. Biopsy Urease Test Pemeriksaan ini bertujuan untuku mendeteksi adanya bakteri Helicobacter pylori. Pemeriksaan ini menggunakan sampel biopsi, yang kemudian akan dilakukan pemeriksaan terhadap ada atau tidaknya amonia sebagai hasil dari perubahan urea oleh urease. Keberadaan amonia yang bersifat basa akan ditandai dengan warna merah. Sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi, mencapai 98 , bahkan 100 Rani, 2014. 6. Serologi Pemeriksaan serologi merupakan salah satu pemeriksaan diagnostik infeksi bakteri Helicobacter pylori yang bersifat non invasif. Komponen yang paling sering diperiksa adalah antibodi IgG terhadap bakteri Helicobacter pylori dengan menggunakan berbagai macam teknik seperti ELISA, Westernblot, fiksasi komplemen, dan imunofluoresen Rani, 2014. Universitas Sumatera Utara 7. Pemeriksaan mikrobiologi Pemeriksaan mikrobiologi dengan kultur dapat dilakukan untuk mendeteksi bakteri Helicobacter pylori, namun karena sensitivitasnya yang rendah yaitu hanya dikisaran 68 , makan pemeriksaan ini tidak rutin dilakukan Rani, 2014. 8. Polymerase Chain Reaction Pemeriksaan Polymerase Chain Reaction atau PCR cukup efektif untuk mendeteksi adanya bakteri Helicobacter pylor, termasuk dengan densitas yang rendah. Sampel dari pemeriksaan ini adalah sampel biopsi. Sensitivitas dan spesifisitasnya cukup tinggi, mencapai 94 , bahkan 100 Rani, 2014. Jika tidak dijumpai kelainan organik apapun melalui pemeriksaan diatas, maka keluhan dispepsia tersebut merupakan dispepsia fungsional. Jika diagnosis dari dispepsia fungsional telah ditegakkan, maka perlu dieksplorasi apa bentuk ketidaknyamanan pada perut bagian atas tersebut, guna mengklasifikasikan keluhan dispepsia fungsional tersebut kedalam ulcer – like dyspepsia atau dysmotility – liker dyspepsia. Apabila keluhan dispepsia tidak dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari klasifikasi ulcer – like dyspepsia atau dysmotility – liker dyspepsia, maka keluhan tersebut dimasukkan ke dalam dispepsia non spesifik Abdullah, 2012. Pemisahan gejala dispepsia dalam klasifikasi ini diperlukan dalam penatalaksanaan yang berbeda nantinya. Kriteria diagnostik dispepsia menurut Rome III adalah sebagai berikut. Dispepsia Fungsional Kriteria diagnostik terpenuhi bila 2 poin dibawah ini seluruhnya terpenuhi: 1. Salah satu atau lebih dari gejala dibawah ini seluruhnya terpenuhi: a. Rasa penuh setelah makan yang mengganggu b. Perasaan cepat kenyang c. Nyeri ulu hati d. Rasa terbakar di daerah ulu hati epigatrium Universitas Sumatera Utara 2. Tidak ditemukan bukti adanya kelainan struktural yang menyebabkan timbulnya gejala termasuk yang terdeteksi saat endoskopi saluran cerna bagian atas. Kriteria terpenuhi bila gejala – gejala diatas terjadi sedikitnya dalam 3 bulan terakhir dengan awal mula gejala timbul sedikitnya 6 bulan sebelum diagnosis.

a. Postprandial distress syndrome