2.3.9. Prognosis Dispepsia Dispepsia, yang sejak awal telah ditegakkan klasifikasinya sebagai dispepsia
fungsional, berdasarkan penunjang diagnostik yang akurat, mempunyai prognosis yang baik Djojoningrat, 2014. Namun menurut Mahadeva 2011 dalam Abdullah
2012, prognosis dispepsia fungsional, dari segi kualitas hidup, lebih rendah dibandingkan dengan individu dengan dispepsia organik. Hal ini disebabkan oleh
tingginya kemungkinan bagi pasien dispepsia fungsional untuk mengalami depresi dan gangguan psikiatri lainnya.
Pasien dispepsia organik karena tukak peptik membutuhkan penangan yang adekuat. Jika penanganan yang diberikan tidak adekuat maka kemungkinan
mengalami komplikasi tetap ada, yakni perdarahan mencapai 15 – 25 , perforasi
mencapai 6 – 7 dan stenosis pada pylorus lambung mencapai 1 – 2
Djojoningrat, 2014.
2.4. Tidur
Menurut Kozier 2004 dalam Indrawati 2012, tidur merupakan suatu proses fisiologis normal dimana seseorang mengalami ketidaksadaran periodik sehingga
mengalami penurunan respon danm persepsi tehadap stimulus dari lingkungan eksternal. Pengaruh tidur yang sangat penting dapat diperhatikan pada fakta bahwa
seseorang menghabiskan kira – kira sepertiga dari siklus hidup hariannya untuk tidur
Kumar, 2008.
2.4.1. Fungsi Tidur
Tidur memiliki berbagai fungsi yang penting. Menurut Timby 2009 dalam Indrawati 2012, tidur berfungsi mengurangi kelelahan, memperbaiki dan
mneyeimbangkan suasana hati, memelihara mekanisme perlawanan terhadap penyakit, meningkatkan perbaikan sel, meningkatkan kemampuan menyimpan
Universitas Sumatera Utara
memori dan belajar. Fungsi lain menurut Kozier 2004 dalam Indrawati 2012, tidur dapat mengembalikan energi seseorang sehingga seseorang dapat kembali
beraktivitas secara optimal dan baik.
2.4.2. Faktor Yang Mempengaruhi Tidur
Baik atau tidaknya kualitas tidur seseorang dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain faktor usia, kebiasaan hidup, lingkungan tempat berlangsungnya tidur,
faktor konsumsi dan ada atau tidaknya penyakit organik yang mempengaruhi. Masing – masing faktor tersebut antara lain sebagai berikut.
2.4.2.1. Faktor Usia Usia mempengaruhi tidur seseorang, karena semakin usia seseorang
bertambah, maka kebutuhan waktu tidur yang diperlukan leh orang tersebut akan semakin berkurang Indrawati, 2012. Bayi baru lahir membutuhkan tidur selama 16
jam dan terbagi dalam 7 periode setiap harinya. Bayi butuh tidur selama 12 – 14 jam
dan akan terbangun setiap 3 – 4 jam untuk beraktivitas seperti makan, untuk
kemudian tertidur lagi. Anak usia prasekolah atau berusia 3 – 5 tahun butuh tidur
selama 11 jam setiap harinya. Anak usia sekolah atau berusia 9 – 10 tahun butuh
tidur selama 10 jam setiap harinya. Remaja membutuhkan tidur setidaknya 8 – 10
jam. Orang dewasa butuh tidur selama 7 – 8 jam setiap harinya. Para lansia
membutuhkan tidur setidaknya 6 jam setiap malamnya. Chokroverty, 2010.
2.4.2.2. Faktor Kebiasaan Hidup Kebiasaan hidup memiliki pengaruh terhadap tidur seseorang. Kebiasaan
hidup tersebut meliputi aktivitas fisik sehari – hari, gaya hidup yang dilakukan dan
menjadi kebiasaan sehari – hari, termasuk diantaranya adalah pola tidur seseorang,
dan stres. Menurut Potter 2006 dalam Indrawati 2012, seseorang yang melakukan suatu aktivitas fisik akan menimbulkan terjadinya kelelahan fisik yang pada akhirnya
akan mempengaruhi kebutuhan tidur, yakni semakin meningkat, terutama aktivitas
Universitas Sumatera Utara
fisik yang berbentuk olahraga dan latihan fisik yang menenangkan di siang hari. Namun kelelahan fisik yang berlebihan justru dapat menyebabkan kesulitan dalam
memulai atau mempertahankan tidur yang optimal Agustin, 2012. Gaya hidup dapat mempengaruhi tidur seseorang, terutama pada gaya hidup di
malam hari. Sesorang yang melakukan aktivitas berlebihan di malam hari akan mengalami kesulitan dalam memenuhi kebutuhan dirinya terhadap tidur Indrawati,
2012. Pola tidur di siang hari juga turut berpengaruh terhadap tidur seseorang. Menurut Potter 2006 dalam Indrawati 2012, pola tidur yang berlebihan di siang
hari akan berpengaruh terhadap siklus keterjagaan dan tidur di malam hari. Stres, yang menimbulkan keadaan ansietas berlebihan, dapat menimbulkan terganggunya
tidur seseorang.
2.4.2.3. Faktor Lingkungan Tempat Berlangsungnya Tidur Lingkungan tidur yang tidak mendukung akan mengganggu proses terjadinya
tidur Indrawati, 2012. Lingkungan tidur tersebut antara lain posisi, kekerasan dan ukuran tempat tidur serta suasana dalam ruang tidur seperti kebisingan, suhu yang
terlalu panas atau terlalu dingin, ventilasi udara yang tidak mumpuni dan cahaya Agustin, 2012. Menurut Pengayoman 2008 dalam Indrawati 2012, pengaruh
cahaya terhadap tidur terletak pada produksi melatonin oleh kelenjar pineal. Pengaruh melatonin terhadap tidur antara lain membantu neningkatkan kualitas tidur yang lebih
baik, mengurangi kemungkinan terjadinya bangun yang mendadak saat tidur di malam hari dan membantu seseorang untuk tidur lebih nyenyak di malam hari.
2.4.2.4. Faktor Konsumsi Faktor konsumsi, seperti makanan dan obat
– obatan tertentu, dapat mempengaruhi tidur seseorang. Menurut Potter 2006 dalam Indrawati 2012,
konsumsi kafein dan alkohol yang berlebihan dapat menimbulkan terjadinya gangguan dalam tidur dan mimpi buruk di malam hari. Menurut LaJambe 2005
dalam Agustin 2012, konsumsi kafein berlebih dapat mengurangi kedalaman tidur,
Universitas Sumatera Utara
mengurangi jumlah waktu tidur dan meningkatkan jumlah waktu terjaga. Makan makanan berat yang berlemak dan berbumbu pada malam hari juga dapat
menyebabkan seseorang sulit untuk memulai tidur. Pola konsumsi makan yang dapat menyebabkan kelebihan berat badan atau obesitas juga dapat menyebabkan
perubahan waktu tidur. Seseorang yang memiliki berat badan berlebih akan menyebabkan peningkatan jumlah waktu tidur, sedangkan orang yang mengalami
penurunan berat badan cenderung akan mengalami pengurangan jumlah waktu tidur. Menurut Kozier 2004 dalam Agustin 2012 menyebut bahwa obat golongan
beta bloker dapat menyebabkan keadaan insomnia atau mimpi buruk, sedangkan obat golongan narkotik seperti morfin dapat memungkinkan terjadinya frekuensi
terbangun dari tidur di malam hari.
2.4.2.5. Faktor Penyakit Organik Berbagai penyakit organik dapat menimbulkan terganggunya kualitas tidur
seseorang. Dampak dari penyakit organik tersebut terletak pada rasa ketidaknyamanan saat tidur dimalam hari akibar rasa nyeri dan ketidaknyamanan
fisik karena penyakit organik tersebut Indrawati, 2012. Gangguan tersebut, misalnya, sulit bernapas, mendengkur atau batuk saat tidur akibat adanya hambatan
pada saluran napas bagian atas seperti pada obstructive sleep apnea, berkemih di malam hari yang sering dialami penderita diabetes melitus atau nyeri pada daerah
tubuh tertentu yang disebabkan oleh adanya kelainan atau penyakit di daerah tersebut Agustin, 2012.
2.4.3. Mekanisme Tidur
Keadaan tidur dan terjaga merupakan suatu siklus yang berlangsung secara teratur dan terus
– menerus selama hidup. Siklus bangun dan tidur atau irama sirkadian adalah suatu siklus normal yang berhubungan dengan kesadaran seseorang
terhadap lingkungan. Tidur, berbeda dengan dalam keadaan terjaga, tidak memiliki kesadaran terhadap lingkungan eksternal, meski dalam tidur, seseorang juga dapat
Universitas Sumatera Utara
memiliki kesadaan internal, seperti mimpi, sehingga dalam tidur, tingkat kerja otak tidak bekurang dibandingkan ketika keadaan tejaga, tetapi justru sebaliknya, terjadi
suatu aktivitas pada bgaian otak tertentu, yang pada saat dan waktu tertentu dalam tidur, justru lebih aktif dibandingkan saat keadaan terjaga Sherwood, 2012.
Siklus bangun dan tidur diatur oleh berbagai mekanisme pada sistem neural yang bersifat ritmis Kumar, 2008. Siklus ini mengatur berbagai fungsi sistem tubuh
dan sistem tersebut saling berkoordinasi dan mempengaruhi seseorang dari segi humoral, psikologis maupun tingkah laku, yang pada akhirnya akan mempengaruhi
keadaan seseorang pada saat tidur maupun saat terjaga Regulasi dari siklus bangun tidur dimodulasi oleh dua faktor utama yang saling berlawanan fungsi, yaitu
pengaruh faktor homeostatik yang memiliki kecenderungan untuk mengatur tidur dalam jangka periode yang lebih lama, dan pengaruh faktor sirkadian yang mengatur
keadaan terjaga dan kewaspadaan Chokroverty, 2010. Keseluruhan faktor ini diatur oleh suprachiasmatic nucleus pada hipotalamus Lovell, 2008. Pada pagi hari,
setelah terbangun dari tidur, faktor homeostatik untuk tidur akan berkurang dan faktor sirkadian untuk keadaan terjaga akan meningkat, dibuktikan oleh aktivitas
suprachiasmatic nucleus yang berkurang pada pagi hai, namun sebaliknya, aktivitas suprachiasmatic nucleus akan meningkat pada malam menjelang berakhirnya hari,
sehingga faktor homeostatik akan aktif kembali, menimbulkan terjadinya onset tidur Chokroverty, 2010. Selain dipengaruhi suprachiasmatic nucleus pada hipotalamus
sebagai penginduksi tidur, siklus bangun dan tidur juga dipengaruhi oleh reticular activating system pada batang otak yang mengatur keterjagaan, dan pusat tidur
paradoksal di batang otak yang aktif sewaktu tidur REM Sherwood, 2012. Tidur, selain diatur oleh suatu irama sirkadian, juga dipengaruhi oleh sitokin
dari sistem imun. Beberapa sitokin seperti IL – 6, INF – α dan TNF – α dipercaya
membantu proses terjadinya tidur. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh meningkatnya konsentrasi sitokin tersebut pada saat tidur. Sitokin yang membantu
proses tidur ini disebut sebagai faktor tidur. Pada kasus infeksi bakteri dan virus, kejadian meningkatnya waktu tidur harian atau excessive daytime sleepiness diketahui
Universitas Sumatera Utara
berhubungan dengan meningkatnya sitokin tertentu akibat infeksi. Selain sitokin, faktor tidur lainnya antara lain delta sleep
– inducing peptides, peptida muramil, kolesistokinin, arginin vasotosin, peptida vasoaktif intestinal, growth hormone-
releasing hormone GHRH, somatostatin, prostaglandin D2 dan adenosin Chokroverty, 2010.
Berlangsungnya tidur terbagi dalam tua tahap utama yaitu rapid eye movement REM atau tidur gelombang lambat, dan non
– rapid eye movement NREM atau tidur paradoksal. NREM sendiri terbagi dalam empat tahap, yaitu tahap 1 atau disebut
juga tidur ringan, hingga mencapai tahap 4 yang juga disebut tidur gelombang lambat Lovell, 2008. Setiap tahapan tidur memiliki karakteristik EEG beserta frekuensi dan
amplitudo yang berbeda, terdiri dari gelombang alfa dengan frekuensi 8 – 13 Hz dan
amplitudo 50 – 100 V, gelombang beta dengan frekuensi 13 Hz dan amplitudo
50 V, gelombang teta dengan frekuensi 4
– 8 Hz dan amplitudo 100 – 200 V, dan gelombang delta dengan frekuensi 4 Hz dan amplitudo 150
– 250 V Kumar, 2008.
Ketika seseorang terjaga, EEG mencatat gelombang yang bervariasi antara alfa, yang menandai seseorang dalam keadaan sadar namun beristirahat dengan
pikiran melayang dan mata tertutup, dan beta, yang menandai adanya kewaspadaan dengan kelopak mata yang terbuka dan proses penglihatan yang terjadi, yang tercatat
dalam EOG. Selama waktu terjaga berlangsung, catatan EMG akan bervariasi tergantung pada tingkat aktivitas otot. Ketika memasuki tahap 1 NREM, EEG
mencatat penurunan aktivitas alfa, penurunan voltase, frekuensi yang bervariasi antara 3
– 7 Hz. EOG mencatat tidak ada aktivitas penglihatan, namun teladang dijumpai pergeakan bola mata secara lambat. EMG mencatat penurunan aktivitas otot
ringan maupun moderat. Ketika memasuki tahap 2 NREM, EEG mencatat adanya sleep spindle, yang merupakan gelombang mirip alfa, dengan penurunan voltase,
frekuensi bervariasi antara 10 – 14 Hz dan amplitudo 50 V. EOG jarang mencatat
adanya pergerakan bola mata dan EMG mencatat penurunan aktivitas otot ringan
Universitas Sumatera Utara
maupun moderat. Ketika memasuki tahap 3 NREM, EEG mencatat gelombang delta dengan frekuesni yang lebih rendah dan amplitudo yang meningkat, namun EOG dan
EMG tidak mengalami perubahan yang berarti dibandingkan dengan kedua tahap sebelumnya. Ketika memasuki tahap 4 NREM, EEG mencatat gelombang delta yang
besar dengan perlambatan yang maksimum Kumar, 2008. Selama tahap NREM secara keseluruhan, mimpi jarang terjadi dan seseorang yang sedang tidur pada tahap
ini akan mudah dibangunkan. Berbicara dan berjalan pada saat tidur biasanya berlangsung selama NREM Sherwood, 2012.
Timbulnya tidur gelombang lambat pada EEG dipengaruhi oleh adanya rangsangan pada daerah
– daerah subkorteks, yaitu zona tidur diensefalon, zona sinkronisasi medula dan zona tidur prosenfalon bagian basal. Perangsangan pada zona
tidur diensefalon, yang berada di hipotalamus posterior dan intralaminar, serta nukleus talamus anterior, harus berada pada frekuensi yang lebih rendah atau sekitar
8 Hz, karena perangsangan dengan frekuensi lebih cepat akan menimbulkan keterjagaan. Perangsangan pada zona tidur diensefalon sama dengan zona
sinkronisasi medula, yang terletak pada formasio retikularis di medula oblongata, tepatnya setinggi nukleus traktus solitarius. Perangsangan pada zona tidur
prosenfalon bagian basal, yang mencakup daerah praoptik dan jalur diagonal Broca, berbeda dengan dua daerah sebelumnya, karena perangsangan pada daerah ini akan
menimbulkan tidur, baik pada frekuensi rendah maupun tinggi Ganong, 2008. Ketika memasuki tahap REM, EEG mencatat gelombang yang cepat, sehingga
disebut juga tidur paradoksal dan bervoltase rendah, yang mirip dengan yang dijumpai pada tahap 1 NREM Kumar, 2008. Karakteristik lain dari EEG pada REM
adalah adanya suatu ponto geniculo occipital spike atau PGO. PGO ini merupakan potensial fasik besar yang terdiri dari 3 hingga 5 gelombang. Potensial ini berasal dari
tegmentum pons lateral, lalu berpindah ke korpus genikulatum lateral, lalu menuju korteks oksipital Ganong, 2008. Tahapan ini disebut REM karena gerakan bola
mata yang cepat dan acak berlangsung selama tahap ini Kumar, 2008. Bruksisme atau kertakan gigi dapat terjadi selama REM Ganong, 2008. EMG mencatat
Universitas Sumatera Utara
absennya aktivitas otot. Mimpi secara visual biasanya berkaitan dengan tahap ini Kumar, 2008.
Selama tahap – tahapan tidur berlangsung, berbagai perubahan fisiologis dan
perilaku akan mengalami perubahan. Pada sistem saraf otonom, sistem parasimpatis akan meningkat dan sistem simpatis akan menurun selama NREM Kumar, 2008.
Tonus otot pada NREM masih cukup tinggi aktivitasnya sehingga seseorang masih sering mengganti posisi tidurnya, sedangkan pada REM, otot akan mengalami
relaksasi total tanpa gerakan Sherwood, 2012. Perubahan ini akan terjadi lebih nyata dan signifikan selama REM. Kecepatan pernapasan akan menurun selama NREM dan
REM. Tonus otot pada saluran napas atas akan menurun selama NREM, dan penurunan ini akan terjadi lebih nyata dan signifikan, bahkan tonus dapat hilang,
selama REM, sehingga resistensi saluran napas atas akan meningkat pada tahap ini. Selama NREM, respon terhadap hipoksia dan hiperkapnia akan menurun, dan lebih
menurun lagi selama REM. Selama NREM dan REM, ventilasi di alveolus akan menurun sehinggak kadar oksigen dalam darah dapat menurun dan karbondioksida
dapat meningkat. Tekanan darah, heart rate, cardiac output dan resistensi vaskuler di perifer akan menurun selama NREM dan menurun lebih signifikan selama REM.
Pengaturan suhu tubuh akan tetap berlangsung selama NREM, namun akan berkurang, bahkan hilang, selama REM. Tahapan ereksi pada penis terutama
berlangsung selama REM Kumar, 2008. Berbagai perubahan hormonal akan terjadi selama tahap
– tahapan tidur berlangsung. Hormon pertumbuhan atau GH akan meningkat sekresinya saat NREM,
terutama pada sepertiga pertama dari seluruh waktu tidur di malam hari. Prolaktin akan meningkat 30 hingga 90 menit setelah tidur dimulai. Testosteron akan
meningkat pada pria saat tidur, demikian pula pada melatonin yang diproduksi olek kelenjar pineal. Selama proses tidur, sekresi kortisol dan hormon tiroid akan menurun
Kumar, 2008. Kedua tahapan tidur, yaitu REM dan NREM berlangsung dalam satu siklus
yang berlangsung selama 90 sampai 110 menit dan siklus ini akan berulang hingga 4
Universitas Sumatera Utara
sampai 6 siklus selama tidur pada orang dewasa Chokroverty, 2010. Pada saat seseorang memulai tidur, seseorang memasuki tahap 1 dari NREM hingga mencapai
tidur gelombang lambat pada tahap 4 NREM selama 30 hingga 45 menit, lalu memasuki tidur REM selama 10 hingga 15 menit, lalu tahapan REM akan kembali
berulang dan selanjutnya kembali memasuki REM, lalu kembali memasuki REM, demikian seterusnya Sherwood, 2012. Siklus ini akan terus berlangsung hingga
menjelang pagi, waktu berlangsungnya REM akan bertambah dan tahap 3 serta 4 dari NREM akan berkurang Ganong, 2008. Komposisi dari kedua tahapan tidur dalam
satu siklus berbeda – beda, tergantung dari usia seseorang. Pada bayi yang baru lahir
prematur, 80 dari seluruh waktu tidurnya adalah REM. Pada bayi yang baru lahir dan cukup bulan, 50 dari seluruh waktu tidurnya adalah REM. Persentase REM
terhadap keseluruhan waktu tidur akan menurun seiring bertambahnya usia. Pada anak berusia 2 tahun, 30
– 35 dari seluruh waktu tidurnya adalah REM. Penurunan ini terus berlangsung hingga tersisa 25 sejak usia 10 tahun hingga dewasa dengan
perubahan yang tidak berarti besar Lovell, 2008. Tidur, seperti yang telah dijelaskan diatas, memiliki berbagai fungsi yang
sangat penting bagi tubuh Indrawati, 2012. Jika terjadi gangguan dalam tidur, maka akan timbul efek merugikan, baik pada jangka pendek maupun jangka panjang. Efek
jangka pendek dari gangguan dalam tidur antara lain terganggunya perhatian dan konsentrasi, menurunnya kualitas hidup, termasuk produktivitas kerja sehari
– hari. Efek jangka panjang gangguan dalam tidur antara lain dapat menimbulkan berbagai
penyakit seperti hipertensi, stroke, penyakit jantung koroner, diabetes mellitus, berat badan berlebih dan gangguan memori. Beberapa penyakit yang dipicu oleh
terganggunya tidur dapat meningkatkan morbiditas dan mortalitas bagi seseorang Chokroverty, 2010.
2.4.4. Klasifikasi Gangguan Tidur
Menurut International Classification of Sleep Disorders atau ICSD, gangguan tidur dapat dibagi kedalam klasifikasi sebagai berikut.
Universitas Sumatera Utara
1. Insomnia
A. Gangguan Insomnia Kronis
B. Gangguan Insomnia Jangka Pendek Short Term
C. Gangguan Insomnia Lainnya
D. Isolated Symptom and Normal Variant
2. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Pernapasan
A. Obstructive Sleep Apnea
a. Obstructive Sleep Apnea pada Orang Dewasa
b. Obstructive Sleep Apnea pada Anak – Anak
B. Sindroma Sleep Apnea
a. Central Sleep Apnea yang Disertai dengan Pernapasan Cheyne Stokes
b. Central Sleep Apnea yang Berhubungan dengan Penyakit Medis Tanpa
Disertai dengan Pernapasan Cheyne Stokes c.
Central Sleep Apnea yang Berhubungan dengan Periode Napas di Ketinggian
d. Central Sleep Apnea yang Berhubungan dengan Pengobatan dan Obat –
Obatan e.
Central Sleep Apnea Primer f.
Central Sleep Apnea Primer pada Bayi g.
Central Sleep Apnea Primer pada Bayi Prematur h.
Treatment – Emergent Central Sleep Apnea C.
Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Hipoventilasi a.
Sindroma Hipoventilasi pada Obesitas b.
Sindroma Hipoventilasi Alveolus Kongenital c.
Hipoventilasi dengan Disfungsi Hipotalamus d.
Sindroma Hipoventilasi Alveolus Idiopatik e.
Gangguan Tidur karena Hipoventilasi yang Berhubungan dengan Pengobatan dan Obat
– Obatan
Universitas Sumatera Utara
f. Gangguan Tidur karena Hipoventilasi yang Berhubungan dengan
Penyakit Medis D.
Gangguan Tidur karena Gangguan Hipoksemia E.
Isolated Symptom and Normal Variant a.
Mendengkur b.
Katatrenia Nocturnal Groaning atau Menerang Merintih di Malam Hari saat Tidur
3. Gangguan Hipersomnolen
A. Narkolepsi Tipe I
B. Narkolepsi Tipe II
C. Hipersomnia Idiopatik
D. Sindroma Kleine Levin
E. Hipersomnia yang Berhubungan dengan Penyakit Medis
F. Hipersomnia yang Berhubungan dengan Pengobatan dan Obat – Obatan
G. Hipersomnia yang Berhubungan dengan Gangguan Psikiatri
H. Insufficient Sleep Syndrome
4. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Irama Sirkadian
A. Gangguan Fase Bangun Tidur yang Terlambat
B. Gangguan Fase Bangun Tidur yang Terlalu Cepat
C. Irama Bangun Tidur yang Ireguler
D. Gangguan Irama Bangun Tidur Non 24 Jam
E. Gangguan yang Berhubungan dengan Pergeseran Waktu Kerja Shift Work
F. Gangguan Jet Lag
G. Gangguan Irama Bangun Tidur yang Tidak Spesifik
5. Parasomnia
A. Parasomnia yang Berhubungan dengan NREM
a. Gangguan Arousal dari Tidur NREM
b. Confusional Arousal
c. Sleepwalking Somnambulisme
Universitas Sumatera Utara
d. Sleep Terrors
e. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Makan
B. Parasomnia yang Berhubungan dengan REM
a. Gangguan Perilaku Tidur REM
b. Recurrent Isolated Sleep Paralysis
c. Gangguan Mimpi Buruk
C. Parasomnia Lainnya
a. Exploding Head Syndrome
b. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Halusinasi
c. Sleep Enuresis
d. Parasomnia yang Berhubungan dengan Penyakit Medis
e. Parasomnia yang Berhubungan dengan Pengobatan dan Obat – Obatan
f. Parasomnia yang Tidak Spesifik
D. Isolated Symptom and Normal Variant
a. Sleep Talking
6. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Pergerakan
A. Restless Legs Syndrome
B. Periodic Limb Movement Disorders
C. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Leg Cramps
D. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Bruksisme
E. Gangguan Tidur yang Berhubungan dengan Gerakan Ritmis
F. Benign Sleep Myoclonus of Infancy
G. Propriospinal Myoclonus at Sleep Onset
H. Gangguan Tidur Terkait dengan Pergerakan Berhubungan dengan
Pengobatan dan Obat – Obatan
I. Gangguan Tidur Terkait dengan Pergerakan Berhubungan dengan Penyakit
Medis J.
Gangguan Tidur Terkait dengan Pergerakan yang Tidak Spesifik
Universitas Sumatera Utara
2.4.5. Penegakan Diagnostik Gangguan Tidur
Dalam menegakkan diagnosis dari gangguan tidur, seorang dokter haru melakukan berbagai tahapan, yang diawali dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Hal – hal yang perlu ditanyakan kepada pasien dan dieksplorasi antara lain kebiasaan
hidup sehari – hari, riwayat penyakit, baik yang sekarang ini diderita maupun yang
dulu pernah diderita, riwayat merokok dan konsumsi alkohol serta riwayat gangguan tidur dalam keluarga. Kebiasaan hidup sehari
– hari yang harus dieksplorasi adalah kebiasaan hidup dalam 24 jam, baik saat tidur di malam hari dan pada waktu di luar
malam hari, maupun saat tidak tidur atau saat beraktivitas. Hal – hal yang berkaitan
dengan kebiasaan tidur adalah adanya kesulitan dalam memulai initial dan mempertahankan tidur intermittent atau terbangun setelah tidur di malam hari yang
terlalu dini dan selanjutnya tidak dapat tidur kembali terminal Chokroverty, 2010. Waktu berlangsungnya gangguan tidur dapat dieksplorasi, yaitu gangguan tidur yang
transient jika berlangsung kurang dari 7 hari, gangguan tidur short term jika berlangsung antara 7 hari hingga 3 minggu, dan gangguan tidur long term jika
berlangsung selama lebih dari 3 minggu atau bulan Japardi, 2002. Hal – hal lain
yang dapat dieksplorasi tentang kebiasaan tidur antara lain sebagai berikut. 1.
Hal yang berkaitan dengan gejala kesulitan tidur, meliputi onset, faktor predisposisi, durasi, frekuensi, keparahan
2. Hal yang berkaitan dengan gejala nokturnal, antara lain berkaitan dengan
pernapasan mendengkur, sulit bernapas, sakit kepala di pagi hari, bernapas melalui mulut, refluks asam lambung, kongesti pada hidung, nokturia,
disfungsi ereksi, dispnea nokturnal, perilaku saat tidur di malam hari sleep walking, sleep talking, sleep eating, gerakan tungkai, mimpi, bruksisme,
terbangun saat tidur di malam hari waktu – waktu terbangun di malam hari,
durasi, frekuensi, aktivitas setelah terbangun, dan lain – lain rasa tidak
nyaman pada tungkai, rasa urgensi untuk bergerak, paralisis yang terjadi ketika tidur di malam hari
3. Waktu atau periode tertentu di malam hari ketika gejala gangguan tidur terjadi
Universitas Sumatera Utara
4. Hal yang berkaitan dengan aktivitas di siang hari, meliputi rasa mengantuk di
siang hari, gangguan dalam bekerja atau belajar, menurunnya kewaspadaan saat berkendara, gangguan dama hubungan sosial dengan orang lain,
menunrunnya konsenstrasi dan kemampuan memori, halusinasi 5.
Hal yang berkaitan dengan jadwal tidur, meliputi waktu yang dihabiskan untuk tidur di malam hari, latensi tidur, waktu ketika bangun di pagi hari,
waktu ketika mulai bangkit dari tempat tidur di pagi hari, deskripsi tentang aktivitas yang dilakukan setelah terbangun di malam hari
6. Penggunaan stimulan atau zat yang dapat membantu agar tidur dapat
diperoleh, meliputi kafein, minuman berenergi dan obat – obat tertentu
Shelgikar, 2013.
Guna memperoleh indikasi yang pasti tentang kebiasaan tidur, maka kebiasaan tidur tersebut disarankan untuk diperhatikan dan dicatat keberulangannya
selama 2 minggu. Riwayat penyakit yang perlu dieksplorasi antara lain riwayat penyakit neurologis, pernapasan dan kardiovaskular, termasuk gangguan psikiatri.
Untuk mengetahui adanya gangguan tidur di malam hari dan menilai tingkat kekantukan di siang hari, dapat menggunakan berbagai instrumen secara subjektif
Chokroverty, 2010. Salah satu instrumen yang dapat digunakan untuk mengetahui kualitas tidur seseorang, khususnya pada orang dewasa adalah dengan menggunakan
Pittsburgh Sleep Quality Index PSQI. PSQI akan menilai baik atau buruknya kualitas tidur seseorang berdasarkan tujuh kriteria pertanyaan yang dieksplorasi
selama kurang lebih 1 bulan terakhir yaitu kualitas tidur orang tersebut secara subjektif, latensi tidur, durasi tidur, kebiasaan dalam tidur, gangguan
– gangguan yang dirasakan orang tersebut selama tidur, penggunaan obat
– obat tertentu untuk tidur dan adanya gangguan dalam beraktivitas sehari
– hari sebagai dampak dari adanya gangguan kualitas tidur. Instrumen lain yang dapat diberikan adalah Epworth
Sleepiness Scale. Instrumen ini menyediakan 8 pertanyaan yang berkaitan dengan gangguan aktivitas di siang hari akibat gangguan tidur, dan masing
– masing
Universitas Sumatera Utara
pertanyaan diberi skor sesuai dengan skala Likert, yaitu dari nilai 0 – 3. Jika skor
yang diperoleh adalah 10 – 24 maka dapat disimpulkan bahwa telah timbul rasa
kantuk yang berlebihan saat beraktivitas di siang hari. Instrumen lain, yang dikhususkan untuk gangguan tidur pada anak, adalah Pediatric Sleep Questionnaire,
yang memiliki 22 daftar pertanyaan yang diisi oleh orang tua, dana dapat mendeteksi faktor resiko dari gangguan tidur pada anak. Pada kasus obstructive sleep apnea,
kuesioner STOP BANG dapat diberikan. Kuesioner ini terdiri atas 4 pertanyaan yang dapat mengeskplorasi adanya mendengkur saat tidur di malam hari, rasa kantuk
berlebih saat beraktivitas di siang hari, adanya apnea saat tidur di malam hari dan adnya tekanan darah tinggi. Pada kasus restless legs syndrome, instrumen berupa
kuesioner International Restless Legs Syndrome Study Group Rating Scale IRLS dapat diberikan. Pada kasusu insomnia, kuesioner Insomnia Severity Index dapat
diberikan Shelgikar, 2013. Beberapa keluhan yang dialami dapat pula merupakan gejala spesifik ke arah
salah satu jenis gangguan tidur. Terbangun di malam hari yang cukup sering disertai dengan mendengkur dan sensasi sulit bernapas selama tidur di malam hari disertai
dengan mudah lelah saat beraktivitas di siang hari lebih mengarahkan diagnosis pada sindroma sleep apnea. Narkolepsi ditandai oleh perasaan kantuk yang berlebihan
disertai dengan keinginan yang tak tertahankan untuk tidur di siang hari dan diikuti dengan perasaan segar setelah keinginan untuk tidur tersebut terpenuhi. Berbagai
gangguan parasomnia yang berhubungan dengan NREM seperti somnambulisme, sleep terrors dan confusional arousal ditandai dengan berbagai perilaku dan
pergerakan tubuh yang abnormal, sesuai dengan jenis gangguan parasomnia yang diderita, selama sepertiga pertama dari keseluruhan waktu tidur di malam hari,
sedangkan parasomnia yang berhubungan dengan REM bergejala dama dengan yang berhungan dengan NREM, namun berlangsung di tengah malam saat tidur, bukan di
awal menjelang tidur. Perasaan tidak nyaman saat berbaring di tempat tidur atau saat memulai onset tidur lebih mengarahkan diagnosis kepada restless legs syndrome.
Periodic limb movement disorders ditandai dengan adanya leg jerks atau hentakan
Universitas Sumatera Utara
kaki yang berulang atau periodik di saat tidur di malam hari. Untuk mendapatkan berbagai jawaban yang mumpuni tentang kebiasaan tidur pasien, pertanyaan perlu
juga ditanyakan pada keluarga, khususnya yang tidur dalam satu kamar dengan pasien, misalnya pada orang tua juga pasien adalah anak
– anak Chokroverty, 2010. Pemeriksaan fisik dapat dilakukan setelah anamnesis dilakukan Chokroverty,
2010. Pemeriksaan fisik dilakukan sesuai dengan indikasi yang diperoleh melalui anamnesis. Pemeriksaan antropometri yang meliputi tinggi badan, berat badan, indeks
massa tubuh BMI dan lingkar leher, tekanan darah dan nadi rutin dilakukan untuk berbagai jenis gangguan tidur. Pemeriksaan satuts mental dapat dilakukan pada
gangguan tidur yang menyebabkan gangguan memori, konsentrasi, bekerja dan belajar serta gangguan dalam hubungan sosial dengan orang lain.
Pemeriksaan tambahan dapat dilakukan setelah anamnesis dan pemeriksaan fisik dilakukan Chokroverty, 2010. Beberapa pemeriksaan tambahan yang dapat
dilakukan antara lain sebegai berikut. 1.
Polisomnografi PSG untuk malam hari Overnight 2.
Multiple Sleep Latency Test MSLT 3.
Aktigrafi 4.
PSG Video 5.
Maintenance of Wakefulness Test MWT 6.
Elektroensefalografi EEG, baik yang standar maupun video 7.
Foto Pencitraan Imaging 8.
Pencitraan untuk Saluran Napas Atas 9.
Neuroimaging dan Angiografi Serebral 10.
Positron Emission Tomography PET dan Single – Photon Emission Computed Tomography SPECT
11. Tes Fungsi Paru
12. Antigen Leukosit Histokompatibilitas
13. Kadar Hipokreatin 1 pada Cairan Serebrospinal
Universitas Sumatera Utara
14. Kadar Feritin dan Besi dalam Serum
15. Elektromiografi Chokroverty, 2010.
Berbagai pemeriksaan tambahan, seperti yang telah diuraikan diatas, dilakukan sesuai dengan indikasi yang telah diarahkan pada anamnesis maupun
pemeriksaan fisik yang telah dilakukan sebelumnya. Setiap pmeriksaan tambahan yang dilakukan diharapkan mampu untuk mendiagnosis jenis gangguan tidur yang
dialami sekaligus menetukan ada atau tidaknya penyakit sekunder yang mencetuskan gangguan tidur Shelgikar, 2013. Dari keseluruhan pemeriksaan tambahan yang ada
untuk mendiagnosis gangguan tidur, terdapat dua pemeriksaan yang rutin dilakukan untuk berbagai jenis gangguan tidur, yakni PSG dan MSLT. PSG efektif untuk
mendiagnosis gangguan tidur karena PSG mencatat berbagai kondisi tidur dengan lengkap, termasuk posisi tidur, gerakan
– gerakan tubuh yang terjadi selama tidur, perilaku tidur dan atau atau tidaknya mendengkur. Pemeriksaan PSG untuk malam
hari dapat dilakukan untuk menetukan diagnostik obstructive sleep apnea, narkolepsi dan parasomnia. Terkadang pemeriksaan PSG juga disertai dengan pemeriksaan
EKG, EMG, EEG dan EOG Chokroverty, 2010. Selain PSG, MSLT juga rutin dilakukan untuk mendiagnosis gangguan tidur.
MSLT akan mencatat berbagai kondisi kantuk yang dialami penderita gangguan tidur. Variasi lain dari MSLT adalah MWT yang dapat mengukur kemampuan seseorang
untuk tetap dalam kondisi terjaga. Aktigrafi dapat dilakukan untuk mengetahui adanya gangguan tidur dengan cara mencatat adanya adanya percepatan atau
perlambatan gerakan tangan atau kaki, melalui suatu alat yang dipasang pada pergelangan tangan dan pergelangan kaki, dan secara tidak langsung pemeriksaan ini
akan menunjukkan adanya gangguan pada siklus bangun dan tidur Chokroverty, 2010.
Untuk mengetahui adanya penyebab skunder yang melatarbelakangi timbulnya gangguan tidur, pemeriksaan yang spesifik dapat dilakukan, selain
Universitas Sumatera Utara
pemeriksaan PSG dan MSLT Chokroverty, 2010. Neuroimaging dapat dilakukan untuk menyingkirkan adanya kelainan neurologis yang mempengaruhi sikus bangun
dan tidur. Tes fungsi paru dapat dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan terjadinya gangguan tidur yang berhubungan dengan gangguan pernapasan.
Pemeriksaan antigen leukosit histokompatibilitas dan kadar hipokreatin 1 pada cairan serebrospinal dapat dilakukan untuk mendiagnosis terjadinya narkolepsi.
Kemungkinan terjadinya restless legs syndrome dapat disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan kadar feritin dan besi dalam serum serta pemeriksaan EMG
Shelgikar, 2013.
2.4.6. Penatalaksanaan Gangguan Tidur
Prinsip utama dalam menangani kasus gangguan tidur adalah harus mengetahui penyebab primer yang mendasari terjadinya gangguan tidur, sehingga
dapat diberikan terapi yang spesifik untuk mengatasi terlebih dahulu penyebab primer tersebut. Apabila gangguan tidur yang terjadi bersifat sekunder. Apabila penyebab
primer tersebut tidak diketahui atau tidak ada penatalaksanaan yang spesifik untuk penyebab primer tersebut atau gangguan tidur tersebut bersifat primer, maka
penanganan yang diberikan ditujukan secara langsung kepada gangguan tidur tersebut secara spesifik Chokroverty, 2010.
Terdapat beberapa terapi yang dapat dilakukan sebagai penatalaksanaan gangguan tidur yang tidak bersifat primer. Terapi tesebut antara lain group therapy,
light therapy, sleep hygiene, sleep restriction, self – control techniques dan
biofeedback mechanisms. Group therapy dapat berguna dalam memungkinkan bagi penderita untuk mengeksplorasi kemungkinan penyebab psikologis yang mendasari
terjadinya gangguan tidur terhadap dirinya. Light therapy dapat berguna, terutama pada penderita gangguan tidur yang berhubungan dengan irama sirkadian, untuk
membantu penderitanya memulai tidur pada waktu yang tepat Chokroverty, 2010. Sleep hygiene terdiri atas pola kebiasaan yang baik dilakukan untuk memperbaiki
Universitas Sumatera Utara
kondisi tidur yang buruk, seperti membiasakan tidur dalam waktu yang teratur setiap malamnya, menghindari tidur yang berlebihan pada siang hari, tidak mengkonsumsi
kafein pada malam hari, melakukan olahraga ringan menjelang tidur pada malam hari, menghindari makan menjelang tidur namun tetap menghindari tidur saat perut
kosong, bangun dari tempat tidur bila tidak dapat tidur dalam 15 hingga 30 menit, menghindari timbulnya perasaan stres menjelang tidur dan mengupayakan kondisi
ruang tidur yang baik dan menunjang untuk tidur, baik dari segi cahaya, suhu, posisi, kekerasan dan letak tempat tidur, atau tingkat kebisingan ruang tidur Japardi, 2002.
Sleep restriction merupakan terapi yang dilakukan dengan waktu total yang penderita habiskan di tempat tidur, terutama untuk penderita yang menghabiskan waktu selama
10 jam di atas tempat tidur namun hanya mengambil waktu sekitar, atau kurang dari 6 jam saja untuk benar
– benar tertidur. Pada penderita gangguan tidur yang dipicu oleh kecemasan dan menimbulkan terjadinya gangguan pada suhu tubuh, rekaman EEG,
maupun ketegangan otot tubuh, self – control techniques dan biofeedback
mechanisms dianjurkan untuk dilakukan. Biofeedback mechanisms dapat melatih penderita untuk mengontrol gangguan
– gangguan pada suhu tubuh, rekaman EEG dan ketegangan otot tubuh, yang ditimbulkan oleh kecemasan tersebut, sedangkan
pada self – control technique, terapi yang diberikan lebih bertujuan untuk mengontrol
kecemasan yang dialami, bukan dampak dari kecemasan yang sedang terjadi tersebut Chokroverty, 2010.
Obat golongan sedatif hipnotik dapat digunakan sebagai terapi sementara untuk menangani gangguan tidur, selama proses identifikasi penyebab primer yang
mendasari terjadinya gangguan tidur tersebut, namun tidak dianjurkan untuk digunakan sebagai terapi utama. Obat ini hanya dapat memperbaiki kondisi tidur
seseorang yang buruk tanpa memperbaiki penyebab primer yang mendasari gangguan tidur tersebut. Obat ini dapat menekan aktivitas reticular activating system namun
penggunaan yang tak terkontrol akan menimbulkan efek yang merugikan dalam melakukan aktivitas di hari berikutnya. Selain itu, penggunaan obat ini, jika
berlangsung dalam jangka waktu lama, dapat menyebabkan timbulnya gejala putus
Universitas Sumatera Utara
obat atau withdrawl. Oleh sebab itu, obat yang digunakan harus yang cepat menimbulkan efek yang diharapkan dan sebisa mungkin penggunaannya sesingkat
mungkin hingga gangguan tidur yang terjadi dapat teratasi, yakni sekitar 1 hingga 3 hari pada gangguan tidur transient, kurang dari 2 minggu pada gangguan tidur yang
short term dan pada gangguan tidur yang long term, penggunaan obat ini dievaluasi sambil menghentikan penggunaannya secara bertahap setelah efek yang diharapkan
telah ada untuk mencegah timbulnya gejala putus obat atau withdrawl akibat pengunaannya yang jangka panjang Japardi, 2002.
2.5. Dispepsia Fungsional dan Gangguan Tidur