Moralitas Publik

C. Moralitas Publik

Satu prinsip dasar yang dikemukakan Syahrûr bahwa Islam adalah agama fitrah; bahwa kaum Muslim adalah mayoritas penduduk bumi, bahwa iman adalah taklîf dan orang- orang Mu‟min adalah pengikut Muhammad. Berangkat dari formulasi Islam dan Iman yang semacam ini

22 Lihat Muhammad Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al- Qur’ân: Qira’âh Mu’âshirah, (Damaskus: al- Ahâly Lithibâ‟ah wa al-Nasyr wa al-Tauzî‟), h. 713-714.

23 Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al- Qur’ân, h. 445-446. Memang, ada hal yang tak dapat diabaikan, bahwa setelah sekian lama Islam berkembang hingga akhirnya menjadi

sebuah institusi, ada banyak aspek yang berubah. Perubahan ini sebenarnya alamiah sebagaimana juga terjadi pada agama-agama yang lain. Misi kenabian yang dulunya relatif sederhana dan mudah dicerna, lambat laun berubah menjadi dokrin-doktrin teologis yang eksklusif, atau aturan-aturan fiqh yang legal formal. Belum lagi, parsialitas pemahaman substansi ajaran Islam ditambah dengan lekatnya berbagai kepentingan atau interest kelompok maupun golongan politik yang menyertainya. Dengan pengaruh pemahaman yang seringkali parsial ini, maka moral kenabian Islam yang aturannya bersifat universal, inklusif, hanîf, tereduksi hingga menjadi semata-mata ekslusif, partikularistik, legalistik formalistik, dan a historis. Lihat Amin Abdullah, “Etika Dialog antar Agama”, dalam Dian/Interfidei, 1994, Dialog: Kritik dan Identitas Agama, (Yogyakarta: Dian/Interfidei & Pustaka Pelajar), h. 105-106; Mengenai pemahaman agama yang parsial , lihat juga H.A. Mukti Ali, 1991, Metode Memahami Agama Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), h. 32-35; bandingkan dengan Fazlur Rahman, 1984, Membuka Pintu Ijtihad, (Bandung: Penerbit Pustaka).

Signifikansi Rumusan Islam dan Iman 89

memberikan konsekuensi pada pembaruan konsep interaksi antar sesama manusia.

Bagi seorang Muslim- Mu‟min pengikut Muhammad, menurut Syahrûr ada dua tingkatan dalam melakukan interaksi: pertama, tingkatan Islam, yakni tingkatan percaya kepada Allah, hari akhir, tauhid dan matsal ‘ulya. Iman kepada Allah, hari kiamat, dan tauhid merupakan hal yang sifatnya pribadi, maka tidak boleh ada paksaan di dalamnya dan setiap manusia mempunyai pilihan tersendiri. Oleh karenanya, dalam berinteraksi dengan orang lain, yang menjadi dasar adalah matsal ‘ulya islâmiyyah, sebab Islam merupakan mîtsaq (perjanjian) bagi semua manusia, dan bersifat universal. Tingkat pergaulan ini merupakan tingkat pergaulan sosial kemasyarakatan, yakni ruang beribadah kepada Allah

dalam ketaatan atau kedurhakaan. 24 Kedua, tingkatan iman, yakni tingkatan kesaksian bahwa

Muhammad adalah utusan Allah, melaksanakan sholat, mengeluarkan zakat, berpuasa Ramadhan, menunaikan ibadah haji, syûra, dan perang (jihad). Tingkatan ini merupakan taklîf yang dibebankan pada orang- orang Mu‟min pengikut Muhammad. Ini merupakan asas pergaulan antar Mu‟min sebagai tambahan dari tingkatan Islam. Pelaksanakaan ritual merupakan tingkatan individu, sedang syûra dan perang merupakan tingkatan sosial. 25

Interaksi antar masyarakat yang multi kultural dan multi relijius, bagi Syahrûr pada dasarnya harus berpijak pada matsal ‘ulya, sebagai common platform. Matsal ‘ulya merupakan keniscayaan bagi semua

24 Lihat Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 341-342. Hal yang perlu diingat ketika Syahrûr menggunakan terma ibadah, maka yang dimaksud bukanlah ibadah dalam

pemaknaan yang umum dipahami kebanyakan kaum Muslim, yaitu menyembah Allah dengan ritual-ritual tertentu. Terma ibadah yang dikehendaki Tanzîl Hakîm menurut Syahrûr lebih dimaknai sebagai mentaati dan melaksanakan perintah-perintah beserta adanya kemampuan dan peluang untuk mendurhakainya. Beribadah adalah berpijak pada as-shirât al-mustaqîm (jalan yang lurus), yaitu jalan Allah berupa wasiat-wasiat yang mengandung perintah dan larangan sejak Nûh hingga Muhammad. As-shirât al-mustaqîm pada Nûh adalah Tauhid dan berbakti pada orang tua (birr wâlidayn); pada Ibrâhîm adalah Tauhid, berbakti pada orang tua serta bersyukur atas ni‟mat; pada Sulaimân adalah Tauhid, berbakti pada orang tua, syuk ur atas ni‟mat, dan amal saleh. Kemudian ditambahkan lagi persoalan timbangan dan takaran pada masa Syu‟aib, persoalan Sodomi pada masa Lûth; zina dan pembunuhan pada masa Mûsâ, dan seterusnya. Adapun sholat, puasa, dan haji bukanlah persoalan ibadah. Sedang zakat bisa bernilai ibadah dengan menghitungnya sebagai infak. Lihat Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 146-147.

25 Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 342.

90 Rethinking Islam dan Iman

masyarakat yang ingin teratur dan tertib, bagi semua partai yang ingin terbentuk dan bagi semua individu yang ingin berpolitik. Qanun moral adalah matsal ‘ulya kemanusiaan yang masuk dalam mîtsaq al-mujtama’ (perjanjian masyarakat). Dengan demikian masyarakat mana pun, tidak boleh ditarik-tarik agar masuk dalam ideologi Islam, imani atau kebangsaan, atau yang lainnya.

Matsal ‘ulya yang dimaksud, yaitu al-Furqân, yang merupakan ajaran yang senantiasa disampaikan oleh para rasul. Ia adalah aspek ketiga dari „rukun Islam‟ yang sifatnya praksis, yang menjadi indikasi dari keberislaman seseorang. Ia adalah salah satu bagian dari ajaran akhlak sebagai kualitas moral minimal yang harus dimiliki oleh setiap manusia dalam kehidupannya. 26 Ia bagi umat Islam sama dengan The Ten Commandement bagi umat Musa dan „Isa, jika bagi mereka al-Furqân diberikan secara terpisah dari kitab suci, maka bagi umat Muhammad, al- Furqân diberikan secara manunggal dengan al-Kitâb. 27

Al-Furqân menurut Syahrûr berisi intisari ajaran moral, yakni sebagaimana disebut pada Q.S. al- An‟âm: 151-153: (1) jangan menyekutukan Allah dengan suatu apapun; (2) berbuat baik kepada orang tua; (3) jangan membunuh anakmu; (4) jangan mendekati perbuatan maksiat; (5) jangan membunuh orang lain tanpa alasan yang dibenarkan; (6) jangan mempergunakan harta anak yatim dengan tanpa hak; (7) jangan mengurangi timbangan; (8) berbicaralah dengan adil; (9)

tunaikanlah janjimu; (10) ikutlah jalan yang lurus. 28

26 Lihat Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al- Qur’ân, h. 171. 27 Syahrûr, 1990, al-Kitâb wa al- Qur’ân, h. 64 28 Ibid., h. 65. Bandingkan dengan The Ten Commandement, yakni (1) hormati dan

cintai satu Allah saja; (2) sebutlah nama Tuhanmu dengan hormat; (3) kuduskanlah hari Tuhanmu; (4) hormati ibu bapakmu; (5) jangan membunuh; (6) jangan bercabul; (7) jangan mencuri; (8) jangan berbuat dusta; (9) jangan ingin berbuat cabul; dan (10) jangan menginginkan harta orang lain dengan cara tidak halal. Lihat Ensiklopedi Hukum Islam, 1996, (Jakarta: Ikhtiar Baru Van Hoeve), Vol VI, h. 1812. Bandingkan juga dengan kitab keluaran (exodus) 20: 3, 5, 7, 8, 12, 13, 14, 15, 16, dan 17. adapun urutan kesepuluh perintah Tuhan tersebut adalah: (1) Jangan menyembah selain Allah (3); (2) janganlah membuat dan menyembah patung berhala (4 dan 5); (3) jangan menyebut nama Allah dengan sia-sia (7); (4) ingatlah hari Sabat (8); (5) janganlah membunuh (13); (6) hormati ayah ibu (12); (7) janganlah berzinah (14); (8) janganlah mencuri (15); (9) janganlah mengucapkan saksi palsu tentang sesama (16); (10) janganlah menginginkan rumah sesamamu, isterinya dan barang-barang seluruhnya. Lihat Henry P. Smith, 1914, The Religion of Israel an Historical Study, (New York: Charles Scribner‟s, Sons), h. 49

Signifikansi Rumusan Islam dan Iman 91

Semua yang dikemukakan Syahrûr dengan al-Furqân yang menjadi titik temu agama-agama, pada prinsipnya merupakan sumber inspirasi dari perwujudan moralitas publik yang bisa berlaku secara universal. Keberadaan moral sebagai sesuatu yang universal menurut Syahûr merupakan wahyu dari Allah. Moral publik dalam wasiat al-Furqân sejak zaman Mûsa, „Isa dan Muhammad masih berlaku dan dijalankan hingga hari ini diberbagai pelosok dunia, bagaimanapun struktur ekonomi, situasi dan tradisinya. Hal demikian, karena moral merupakan keniscayaan dalam hubungan antara sesama manusia.

Moralitas publik yang dibangun ini, pada prinsipnya merupakan manifestasi dari pilar Islam yang merupakan fitrah manusia. Dan karena pada tiga pilar tersebut, keyakinan pada Allah dan hari akhir merupakan urusan individu seorang manusia kepada Allah, maka pilar yang ketiga, yang merupakan aspek praksis, yaitu matsal ‘ulya atau amal saleh, yang secara naluri pasti disepakati oleh setiap umat beragama, bahkan oleh

kaum atheis sekalipun. 29 Seorang Muslim- Mu‟min yang percaya pada matsal ulya Islamiyyah,

menurut Syahrûr harus percaya bahwa hak-hak asasi manusia adalah bagian dari dirinya. Dan itu harus dilaksanakan sebagai taklîf Islâmi dan îmâni, melalui jalur Syûra atau demokrasi yang pada pelaksanaannya disesuaikan dengan tingkat kemampuan dan perkembangan sejarah. Namun untuk sampai pada tahapan demokrasi dan syûra, harus bebas dari otorianisme akidah (rezki dibagikan dan umur ditentukan); otorianisme pemikiran (memberi kuasa kepada orang lain dengan pemikiran yang menjadi konsernnya); dan otorianisme pengetahuan (menolak kultus perorangan dan mengambil alat-alat pengetahuan

kontemporer). 30 Otoritarianisme politik, aturan-aturan hukum yang diktator, tirani

serta kezhaliman merupakan akibat-akibat dari otoriter-otoriter tersebut

29 Syahrûr menjelaskan bahwa matsal ‘ulya dan qânun moral memiliki karakteristik antara lain, yaitu: (1) menyerupai aturan hakiki bagi manusia (kata hati)

yang pewajibannya disampaikan melalui pendidikan; (2) merupakan hakikat nilai yangtidak memiliki wujud di luar kesadaran manusia, sifatnya yang lemah memungkinkan ia mudah diombang-ambingkan. Karenanya, perlu merubahnya menjadi aturan sosial yang baku untuk menghalang-halangi para penentangnya atau pelaku yang bertujuan melecehkan masyarakat; (3) tidak membutuhkan penjelasan untuk mendakwahkannya, karena sepenuhnya merupakan fitrah; (4) tidak tunduk pada pendapat umum atau pada pendapat tertentu; (5) merupakan nilai dengan cakupan universal. Lihat Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 42-43.

30 Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 363.

92 Rethinking Islam dan Iman

di atas, yang dikukuhkan selama bertahun-tahun yang diawali dengan pembalikan rukun-rukun Islam dengan rukun-rukun Iman, dan berakhir dengan penjauhan Syura dan jihad dari statusnya sebagai bagian dari

rukun-rukun Iman. 31 Berangkat dari gagasan bahwa demokrasi adalah cara paling logis

bagi kehidupan manusia, dan satu-satunya cara yang dapat melestarikan matsal ‘ulya islamiyyah, yang di dalamnya terkandung hak-hak manusia, maka masyarakat Islam kemudian bisa didefinisikan. Syahrûr menyatakan bahwa masyarakat islami adalah masyarakat madani, di mana di sana terdapat kebebasan mengungkapkan pendapat, dan beragamnya partai, pemerintahannya didirikan berdasarkan pemilihan-pemilihan dalam tingkatan yang berbeda, prinsip penggantian kekuasaan, juga pemisahan

tiga kekuasaan. 32 Kondisi riil umat Islam saat ini berada pada tahap yang cukup

memprihatinkan. Mayoritas negara-negara muslim berada pada kondisi terkebelakang dan tertinggal pada hampir semua lini kehidupan. 33 Alih-

alih, berupaya untuk maju, seringkali yang mereka lakukan adalah „memuja‟ masa lalu, dan tenggelam dalan turâts yang mereka dapatkan dari pendahulu mereka. Syahrûr dengan reformulasi Islam dan Imannya, berupaya mengajak umat Islam kembali kepada Tanzîl Hâkim. Pada formula Islam dan Iman yang lama, ada aspek-aspek paling penting yang diabaikan umat, yaitu pada hal amal saleh dan ihsan, yang termanifestasi pada moralitas publik. Dengan menganggap amal saleh bukan sebagai satu bagian dari batas minimal pengakuan seorang hamba pada Tuhan, maka secara tidak langsung bisa memunculkan bahwa kerja terhadap suatu kebaikan bukan hal yang begitu dipentingkan dalam Islam.

31 Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 363. 32 Syahrûr, 2002, Islam dan Iman, h. 367. 33 Menarik uraian Cak Nur tentang kondisi riil umat Islam saat ini. Menurunya

dewasa ini dunia Islam praktis merupakan kawasan bumi yang paling terkebelakang di antara penganut agama-agama besar. Negeri-negeri Islam jauh tertinggal oleh Eropa Utara, Amerika Utara, Australia dan Selandia Baru yang Protestan; oleh Eropa selatan dan Amerika Selatan yang Katolik Romawi; oleh Eropa Timur yang Katolik Ortodoks; oleh Israel yang Yahudi; oleh India yang Hindu; oleh Cina (giant dragon), Korea Selatan, Taiwan, Hongkong dan Singapura (little dragon) yang Budhist-Konfusianis; oleh Jepang yang Budhis Taois; dan oleh Thailand yang Budhist. Praktis tidak satu pun agama besar di muka bumi ini yang lebih rendah kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) nya daripada Islam. Dengan perkataan lain, di antara semua penganut agama besar di muka bumi ini, para pemeluk Islam adalah yang paling rendah dan lemah dalam hal sains dan teknologi. Lihat Nurcholish Madjid, 1997, Kaki Langit Peradaban Islam, (Jakarta: Paramadina), h. 21-22

Signifikansi Rumusan Islam dan Iman 93

Pemahaman semacam ini, secara kasat bisa dilihat pada banyak kecenderungan umat Islam. Mereka lebih suka berdzikir di masjid-masjid atau melakukan ibadah ritual yang „diklaim‟ sebagai rukun Islam, sementara pada saat yang bersamaan cenderung mengabaikan aspek kemanusiaan. Moralitas publik kemudian menjadi sesuatu yang „lebih rendah‟ dibandingkan ibadah ritual. Satu ilustrasi dari Syahrûr, bahwa manakala sisi moral (rukun Islam) diabaikan, dan lebih mengedepankan sisi ritual (rukun Iman), dalam banyak praktik pendidikan yang diajarkan di dalam sebuah keluarga Muslim, maka jadilah meninggalkan puasa di bulan Ramadhan lebih besar dosanya dari berbohong. Pada praktek yang ditemui dari masyarakat Islam, umumnya moralitas publik ini kurang begitu diapresiasi, Umat Islam lebih asyik dalam upayanya membangun moralitas (kesalehan) atas dirinya sendiri lewat ibadah ritual, dan cenderung mengabaikan dalam pembangunan Islam sebagai sebuah sistem sosial, yang dapat memberikan sumbangan yang berharga bagi kemajuan dan kebaikan peradaban umat manusia secara universal.

94 Rethinking Islam dan Iman

Dokumen yang terkait

Studi Kualitas Air Sungai Konto Kabupaten Malang Berdasarkan Keanekaragaman Makroinvertebrata Sebagai Sumber Belajar Biologi

23 176 28

Keanekaragaman Makrofauna Tanah Daerah Pertanian Apel Semi Organik dan Pertanian Apel Non Organik Kecamatan Bumiaji Kota Batu sebagai Bahan Ajar Biologi SMA

26 317 36

FREKUENSI KEMUNCULAN TOKOH KARAKTER ANTAGONIS DAN PROTAGONIS PADA SINETRON (Analisis Isi Pada Sinetron Munajah Cinta di RCTI dan Sinetron Cinta Fitri di SCTV)

27 310 2

PENILAIAN MASYARAKAT TENTANG FILM LASKAR PELANGI Studi Pada Penonton Film Laskar Pelangi Di Studio 21 Malang Town Squere

17 165 2

Analisis Sistem Pengendalian Mutu dan Perencanaan Penugasan Audit pada Kantor Akuntan Publik. (Suatu Studi Kasus pada Kantor Akuntan Publik Jamaludin, Aria, Sukimto dan Rekan)

136 695 18

DOMESTIFIKASI PEREMPUAN DALAM IKLAN Studi Semiotika pada Iklan "Mama Suka", "Mama Lemon", dan "BuKrim"

133 700 21

PEMAKNAAN MAHASISWA TENTANG DAKWAH USTADZ FELIX SIAUW MELALUI TWITTER ( Studi Resepsi Pada Mahasiswa Jurusan Tarbiyah Universitas Muhammadiyah Malang Angkatan 2011)

59 326 21

KONSTRUKSI MEDIA TENTANG KETERLIBATAN POLITISI PARTAI DEMOKRAT ANAS URBANINGRUM PADA KASUS KORUPSI PROYEK PEMBANGUNAN KOMPLEK OLAHRAGA DI BUKIT HAMBALANG (Analisis Wacana Koran Harian Pagi Surya edisi 9-12, 16, 18 dan 23 Februari 2013 )

64 565 20

PENERAPAN MEDIA LITERASI DI KALANGAN JURNALIS KAMPUS (Studi pada Jurnalis Unit Aktivitas Pers Kampus Mahasiswa (UKPM) Kavling 10, Koran Bestari, dan Unit Kegitan Pers Mahasiswa (UKPM) Civitas)

105 442 24

STRATEGI PUBLIC RELATIONS DALAM MENANGANI KELUHAN PELANGGAN SPEEDY ( Studi Pada Public Relations PT Telkom Madiun)

32 284 52