Wayang Topeng

2.3.8 Wayang Topeng

Pada zaman kerajaan Demak, Sunan Kalijaga salah seo- rang dari Wali Sanga menciptakan topeng yang mirip dengan wa- yang Purwa pada tahun 1586 (1508 Caka, dengan sengkalan: ha- ngesti sirna yakseng bawana). Topeng ciptaan Sunan Kalijaga terse- but luas dan hingga dewasa ini masih hidup dan berkembang seba- gai seni budaya tradisional dengan corak tersendiri di tempat topeng tersebut berkembang.

Penampilan topeng tersebut dilakukan bersama dengan pentas wayang, baik wayang Purwa maupun wayang Gedog sehing-

ga pertunjukan itu dikenal sebagai wayang Topeng atau dengan se- butan suatu nama daerah dimana wayang Topeng tersebut berkem- bang, misalnya wayang Topeng Malang, wayang Topeng Madura, wayang Topeng Cirebon, dan lain-lainnya. Kemudian sebutan to- peng menjadi nama suatu pertunjukan seperti halnya dengan sebut- an wayang.

2.3.8.1 Topeng Malang

Topeng Malang merupakan suatu pertunjukan wayang Ge- dog, yang pementasannya mengenakan topeng. Pertunjukan terse- but berkembang di desa Kedungmonggo dan desa Polowijen, Blim- bing, Malang-Jawa Timur, yang kemudian disebut dengan nama To- peng Jabung, yang akhirnya terkenal disebut Topeng Malang.

Pementasan wayang Topeng Malang inipun menggunakan sebuah tirai (langse) yang terbelah di tengah untuk pintu keluar dan masuknya penari-penari topeng. Cerita-cerita Panji, seperti Sayem- bara Sada Lanang atau Walang Sumirang sering kali dipakai seba- gai cerita pementasan dengan pemakaian topeng tokoh-tokoh Panji, seperti Panji Inu Kertapati, Klana Sewandana, Dewi Ragil Kuning,

Raden Gunungsari dan lain-lain. Hingga dewasa ini sebagai iringan pergelaran menggunakan gamelan dengan laras Pelog.

2.3.8.2 Topeng Dalang Madura

Topeng dalang Madura merupakan salah satu kesenian rakyat yang paling populer dan klasik di Madura. Kesenian tersebut merupakan pengganti pergelaran wayang kulit yang telah lama le- nyap sebelum Jepang menduduki Indonesia dan tidak aneh bila ben- tuk atau figur topeng yang dipakai sebagai modelnya diambil dari fi- gur wayang kulit. Begitu pula cerita yang ditampilkan pada umumnya adalah Ramayana dan Mahabharata.

Diperkirakan kesenian rakyat Madura tersebut telah ber- kembang sejak abad ke XV, pada saat Prabu Menaksunoyo, cucu Prabu Brawijaya dari kerajaan Majapahit yang memerintah Paropo, Pamekasan, ingin menghidupkan pewayangan dan seni pedalangan di Madura. Topeng Dalang yang di Madura lebih dikenal segabagai topeng saja, merupakan perpaduan antara wayang kulit dan wayang orang.

Seluruh dialog dari pergelaran topeng tersebut, diucapkan oleh sang dalang, sedang para pemain wayangnya hanya menggu- nakan bahasa isyarat mengikuti dialog ki dalang belaka, seolah-olah pemain wayangnya yang berbicara. Gerakan setiap pelaku pentas pada dasarnya berupa gerakan panto-mimik dan sendra tari yang di- sesuaikan dengan isyarat dalang. Seperangkat gamelan yang terdiri dari kendang, gambang, saron, gong, kenong, gender, ponggang, bonang dan peking serta ada kalanya ditambah dengan terompet khas Madura (Sronen). Sronen juga berarti satu perangkat gamelan untuk kerapan sapi. Sejak zaman dulu setiap pementasan Topeng Madura selalu diawali dengan penampilan tari Gambu. Menurut ceri- ta yang terdapat dalam babad Sumenep, tari Gambu tersebut sudah sering dipentaskan sejak zaman pemerintahan Arya Wiraraja (Adipa- ti Sumenep) yang diangkat oleh Kartanegara (1268 – 1292), raja Si- ngasari pada tahun 1269.

Perjalanan Topeng Dalang tersebut berawal sebagai kese- nian kraton dan dalam buku babad Madura dinyatakan bahwa teater topeng berkembang pada abad ke-XV di Jamburingin, Pamekasan- Madura, atas prakarsa Prabu Menaksunoyo, seorang bupati di ba- wah kerajaan Majapahit.

2.3.8.3 Topeng Jawa

Ciri khas dari suatu tari, baik tari Jawa, Sunda, ataupun Bali, adalah penggambaran karakter atau perwatakan manusia da- lam bentuk tari. Perwatakan tersebut dituangkan dalam bentuk tari, dari tipe satriya, wanita, raksasa ataupun tipe binatang dan sebagai- nya yang menggambarkan tingkah laku makluk-makluk hidup pada masa lampau.

2.3.8.4 Wayang Wong

Wayang Wong Yogyakarta yang diciptakan oleh Hamengku Bhuwana I (1755 – 1792) merupakan dramatari penuh dengan ka- rakteristik. Visualisasi karakter dituangkan dalam bentuk ragawi pe- nari, tata busana, tata rias serta gerak.

Pengekspresian gerak dari tokoh-tokoh wayang untuk pe- ran kera, raksasa dalam pentas Ramayana dan Mahabharata dileng- kapi pula dengan pemakaian topeng, sedangkan untuk wanita serta peran satria tidak menggunakan topeng. Dalam topeng Jawa, kita jumpai dua macam jenis topeng untuk pementasan Ramayana versi Yogyakarta, yaitu jenis raksasa dan jenis kera. Begitu juga topeng untuk pementasan cerita Panji antara lain jenis Klana, Panji dan Pa- nakawan.

2.3.8.5 Topeng Cirebon

Cirebon memberi kesan seperti asal-usul namanya caruban yang berarti campuran. Suatu misal pada sebuah benda antik atau pusaka yang biasa dianggap keramat dan ada isinya karena pening- galan para leluhur yang berupa ukiran berhuruf arab dan berisikan petikan ayat suci Al Quran, mewujudkan tokoh wayang Purwa Hindu- Budha dilengkapi dengan pola hias seperti batu padas dan cawan adri dari Cina. Tiga unsur kebudayaan tersebut diantaranya yaitu ke- budayaan Islam, Jawa, dan Cina, telah mempe-ngaruhi kebudayan dan kesenian yang ada di Cirebon, sehingga Cirebon merupakan tempat pertemuan beberapa corak kebudayaan.

Topeng Cirebon berkembang di desa-desa, meskipun ciri-ciri sebagai unsur kesenian yang lahir di kraton masih menjadi pola da- sarnya. Konsep yang mendasar pada tari Topeng Cirebon tersebut bersifat mengalir, yang dapat dihubungkan dengan gerak tari atau kesenian wayang Golek Jawa Barat, hemat gerak dengan bentuk gerak yang patah-patah.

2.3.8.6 Topeng Betawi

Pementasan Topeng Betawi sangat berbeda dengan pe- mentasan topeng-topeng lainnya seperti Topeng Malang, Topeng Madura, ataupun Topeng Jawa (Yogyakarta) yang dalam pementa- sannya menggunakan topeng. Pengertian topeng di sini bukanlah kedok atau tutup muka, melainkan sebuah pertunjukan belaka dan pementasanyapun tidak ada hubunganya dengan cerita-cerita pewa- yangan baik Purwa maupun Gedog Panji.

Pementasan teater-teater topeng tersebut pada umumnya dilakukan sebagai hiburan rakyat di pedesaan dengan cara menga- men (pertunjukan keliling) atau panggilan karena hajatan. Sebagai alat penerangan digunakan sebuah lampu coleng yang bersumbu ti-

ga dan bertiang kaki tiga pula setinggi dada manusia atau dengan penerang lampu petromak.

Tema cerita dari teater-teater rakyat tersebut tidak lepas dari kehidupan rakyat kecil dengan segala penderitaannya, angan- angan serta impiannya antar lain tentang kebahagiaan rumah tangga dan lain-lain. Sebagai iringan pergelaran digunakan gamelan yang bernadakan ke Sundaan, dan sebelum pertunjukan dimulai terlebih dahulu di adakan pertunjukan tari topeng oleh penari wanita sebagi tari pembuka, dan besar kemungkinan, karena adanya tari topeng sebagai pembuka pentas itulah, maka teater rakyat tersebut dinama- kan Topeng.