Kajian Teori

3. Hakikat Apresiasi Drama

Kata apresiasi secara etimologis berasal dari bahasa Latin apreciatio yang berarti “menghargai”. Dalam bahasa Inggris appreciation berarti

pemahaman, pengenalan, pertimbangan, penilaian, dan pernyataan yang berisi evaluasi, Hornby (dalam Waluyo dan Nugraheni, 2009:43). Kata apresiasi dalam bahasa Indonesia memilliki makna yang sejajar dengan kata apreciato (Latin), dan appreciation (Inggris) tersebut. Apresiasi sastra berarti berusaha menerima

commit to user

sebagai suatu kebenaran. Dengan demikian berarti apresiasi tidak hanya membutuhkan aspek afektif dan psikomotor tetapi juga aspek kognitif.

Kegiatan apresiasi bisa dilakukan dari tingkat yang paling rendah atau sederhana yaitu tingkat membaca karya sastra, kemudian naik ke tingkatan yang paling tinggi yaitu upaya untuk melakukan tindakan atau kegiatan. Dalam sebuah kegiatan apresiasi drama misalnya, maka kegiatan awal yang paling mudah adalah membaca naskah drama dan memahaminya, kemudian berlanjut ketingkat yang paling sulit atau tinggi yaitu pada waktu memainkan peran suatu tokoh sesuai dengan sifat dan karakter tokoh di atas sebuah panggung.

Secara lebih rinci, Abdul Rozak Z. (Waluyo dan Nugraheni, 2009:44) menjelaskan bahwa apresiasi adalah penghargaan atas karya sastra sebagi hasil pengenalan, pemahaman, penafsiran, penghayatan atas karya sastra tersebut dengan didukung oleh kepekaan batin terhadap nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra tersebut.

Berdasarkan dari beberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa apresiasi drama adalah sebuah kegiatan yang berkaitan dengan perihal memahami, menghayati, dan menghargai karya drama dengan jalan mendengarkan, membaca, menyaksikan, memerankan bahkan sampai pada mementaskan drama serta membuat resensi drama.

Dalam mengapresiasi drama diperlukan kecerdasan, kehalusan perasaan, dan daya khayal yang cukup lincah, demikan juga untuk mementaskannya. Hal itu karena kita harus menangkap makna drama dari dialog-dialog yang kadang- kadang menggunakan bahasa yang bukan bahasa sehari-hari, bahkan kadang- kadang dengan bahasa yang berkadar estetika atau filosofis tinggi (Waluyo, 2003:194).

Fowler (dalam Waluyo, 2006:202) menjelaskan bahwa apresiasi drama, khususnya pementasan drama dan prosa dapat dibagi atas empat tingkat apresiasi.

a. Pembaca yang telah dapat merasakan karya sastra itu sebagai sesuatu yang hidup, dengan pelakunya-pelakunya yang mengagumkan. Mereka dapat terbawa dalam cerita atau drama yang sedang dibacanya, diiringi dengan

commit to user

telah menggemari karya yang dibaca atau ditontonnya.

b. Pembaca drama yang telah dapat melihat dalamnya perasaan manusia atau jika mereka telah dapat mengungkapkan rahasia kepribadian para pelaku suatu drama telah selangkah lebih maju dari pembaca di atas. Pada tingkat ini pembaca drama tidak saja minikmati kejadian-kejadian dalam drama secara badaniah, tetapi lebih banyak pada apa yang terjadi dalam pikiran pelaku, tingkat ini juga dinamakan tingkat menikmati.

c. Pembaca drama yang telah dapat membandingkan satu drama dengan yang lain dapat memberi pendapatnya mengenai satu karya, telah dapat membaca karya yang lebih sulit dengan kenikmatan. Tingkat ini dapat dikatakan tingkat ketiga apresiasi drama, di mana telah dapat reaksi.

d. Pada tingkat keempat apresiasi drama, pembaca telah dapat melihat keindahan susunan dialog, setting simbolis pemakaian kata-kata yang berirama yang disajikan oleh sastrawan. Mereka telah mampu memberi respon pada daya sastra yang merangsang mereka berpikir, diteruskan dengan memberi respon pada seni yang disajikan sastrawan dan juga mereka telah dapat menghasilkan karya sendiri. Tingkat ini disebut tingkat kreatif. Kegiatan apresiasi drama ini menyebabkan seseorang memahami drama secara mendalam, mampu merasakan apa yang ditulis oleh dramawan (penulis naskah drama), mampu menyerap nilai-nilai yang terkandung di dalam drama, menghargai drama sebagai karya seni dengan kekurangan dan kelebihannya.

Dissick (dalam Waluyo dan Nugraheni, 2009:44), menjelaskan ada 4 tingkatan apresiasi, yaitu: (1) tingkat menggemari, (2) tingkat menikmati, (3) tingkat mereaksi, dan (4) tingkat produktif. Seseorang baru pada tingkat menggemari, maka keterlibatan batinnya lebih kuat. Pada tingkat ini, seseorang akan senang jika membaca dan mendengarkan karya sastra. Setelah sampai pada tingkat menikmati keterlibatan batin akan semakin mendalam. Penikmat akan ikut sedih, terharu, bahagia, dan sebagainya jika menikmati karya sastra. Kemudian pada tingkat mereaksi, sikap kritis pembaca terhadap sastra lebih menonjol karena ia telah mampu menafsirkan dengan seksama dan mampu menilai baik-buruknya

commit to user

kekurangan sastra. Pada tingkat memproduksi, seoseorang mampu untuk membuat sastra, atau membuat resensi sastra.

4. Hakikat Pembelajaran Apresiasi Drama

Di awal sudah dijelaskan bahwa drama merupakan salah satu bagian dari karya sastra, oleh karena itu, untuk mempelajari drama kita tidak dapat sepenuhnya lepas dari pembelajaran sastra secara umum, sehingga sebelum membahas secara lebih rinci mengenai pembelajaran apresiasi drama, kita akan membahasa terlebih dahulu pembelajaran apresiasi sastra pada umumnya.

Sastra adalah wujud dari gagasan seseorang yang dinyatakan dalam sebuah tulisan yang berbentuk puisi, prosa, cerpen dan sejenisnya. Karya sastra biasanya merupakan hasil dari pengalaman batin penulis, kejadian disekitar lingkungan penulis, dan bisa juga hasil imajinasi penulis . Wellek dan Austin Warren mengatakan, sastra adalah suatu kegiatan kreatif sebuah karya seni (1995:3). Mereka juga mendefinisikan sastra merupakan segala sesuatu yang tertulis dan tercetak (1995:11).

Dari definisi sastra tersebut, kita tahu bahwa sastra memang sebuah kegiatan kreatif dari sebuah seni. Hal ini bisa terjadi karena seseorang yang membuat sebuah karya sastra berarti dia sedang mengembangkan daya kreatifitasnya untuk merangkai kata, memilih kata, ataupun menyusun kata –kata menjadi indah dan bernilai. Sastra dikatakan seni karena sastra merupakan salah satu perwujudan dari seni.

Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia ialah memperkenalkan kepada peserta didik nilai-nilai yang terkandung di dalam karya sastra dan mengajak peserta didik ikut menghayati pengalaman-pengalaman yang disajikan. Pembelajaran apresiasi sastra Indonesia bertujuan mengembangkan kepada peserta didik terhadap nilai-nilai indrawi, nilai akali, nilai afektif, nilai keagamaan, dan nilai sosial, secara sendiri-sendiri, atau gabungan keseluruhan, seperti tercemin di dalam karya sastra.

commit to user

karena di dalamnya peserta didik tidak hanya diajari teori semata, tetapi juga menemukan hubungan antara proses dan hasil yang nantinya akan dicapai. Drama merupakan salah satu jenis karya sastra yang menjadi bahan ajar pembelajaran Bahasa dan Sastra Indonesia di tingkat Sekolah Menengah Atas. Drama merupakan bentuk karya sastra yang bersifat dialogis, karena berwujud percakapan atau dialog antar tokoh. Pembelajaran apresiasi drama merupakan bagian dari pembelajaran apresiasi sastra. Moody (dalam Rahmanto, 2004: 16-25) mengungkapkan bahwa pembelajaran apresiasi sastra dapat membantu pendidikan secara utuh apabila cakupannya meliputi empat manfaat, yaitu:

a. Membantu keterampilan berbahasa Dengan pengajaran apresiasi sastra, peserta didik dapat melatih keterampilan menyimak dengan mendengarkan suatu karya sastra yang dibacakan oleh guru, teman, atau pita rekaman. Peserta didik dapat melatih keterampilan berbicara dengan ikut berperan dalam suatu drama. Peserta didik dapat juga meningkatkan keterampilan membaca dengan membacakan puisi atau prosa cerita. Peserta didik dapat mendiskusikannya dan kemudian menuliskan hasilnya sebagai latihan keterampilan menulis.

b. Meningkatkan pengetahuan budaya Setiap sistem pendidikan kiranya perlu disertai usaha untuk menanamkan wawasan pemahaman budaya bagi setiap peserta didik. Salah satu tugas yang utama pengajaran adalah memperkenalkan peserta didik dengan sederetan kemajuan yang dicapai manusia di seluruh dunia tanpa merusak kebanggaan atas kebudayaan yang mereka miliki sendiri. Begitu pula dengan pengajaran apresiasi sastra, jika dilaksanakan dengan bijaksana, dapat mengantar peserta didik berkenalan dengan pribadi-pribadi dan pemikir- pemikir besar dunia serta pemikiran-pemikiran utama dari zaman ke zaman.

c. Mengembangkan cipta dan rasa Dalam pengajaran sastra, kecakapan yang perlu dikembangkan adalah kecakapan yang bersifat indra, penalaran, efektif, sosial, dan religius. Pengajaran sastra dapat digunakan untuk memperluas pengungkapan apa yang

commit to user

peraba. Artinya kata-kata yang diungkapkan pengarang melalui karya- karyanya, peserta didik akan diantar untuk mengenali berbagai pengertian dan mampu membedakan satu hal dengan yang lain, misalnya kuning dengan keemasan, bising dengan menggemparkan, harum dengan busuk, serta masih banyak lagi.

d. Menunjang pembentukan watak Dalam nilai pengajaran sastra ada dua tuntutan yang dapat diungkapkan sehubungan dengan watak ini. Pertama, pengajaran sastra hendaknya mampu membina perasaan yang lebih tajam. Seseorang yang telah banyak mendalami berbagai karya sastra biasanya mempunyai perasaan yang lebih peka untuk menunjuk hal mana yang bernilai dan mana yang tak bernilai. Tuntutan kedua, bahwa pengajaran sastra hendaknya dapat memberikan bantuan dalam usaha mengembangkan berbagai kualitas kepribadian peserta didik yang antara lain meliputi ketekunan, kepandaian, pengimajian, dan penciptaan.

Waluyo (2006:165) menyatakan pembelajaran drama sebagai penunjang pemahaman bahasa berarti untuk melatih keterampilan membaca (teks drama) dan menyimak atau mendengarkan (dialog dalam drama, mendengarkan. drama radio, televisi, dan sebagainya. Sementara sebagai penunjang latihan penggunaan bahasa dengan maksud yaitu melatih keterampilan menulis (teks drama, resensi drama, dan sebagainya) dan wicara (dialog-dialog dalam pementasan drama).

Pembelajaran drama di sekolah dapat ditafsirkan menjadi dua macam, yaitu pembelajaran teori dan pembelajaran apresiasi drama. Pembelajaran teori mempelajari mengenai teori pembuatan dan pembacaan teks drama serta teori tentang pementasan drama. Dalam pembelajaran apresiasi drama mempelajari mengenai apresiasi terhadap naskah drama dan apresiasi pementasan drama (Waluyo, 2003:153). Dalam pembelajaran teori menitikberatkan pada kemampuan kognitif peserta didik yang mengutamakan masalah pengetahuan yang sifatnya teoritis. Lain halnya dalam pembelajaran apresiasi menitikberatkan pada kemampuan afektif peserta didik yang mengutamakan kegiatan apresiasi. Namun,

commit to user

drama mulai memasuki kawasan kemampuan psikomotorik, meskipun sebenarnya dalam pengajaran drama di sekolah tidak dapat sepenuhnya lepas dari kemampuan kognitif, sebab bagaimanapun peserta didik pasti diminta untuk dapat menguasai beberapa materi yang bersifat teori.

Dalam pembelajaran drama di sekolah, pembelajaran apresiasi drama juga harus menitikberatkan pada apresiasi peserta didik yaitu kegiatan atau aktivitas peserta didik dalam pembelajaran drama di sekolah. Apresiasi peserta didik itu mencakup tiga hal, yakni kreasi, resepsi, dan ekspresi peserta didik terhadap drama. Adapun kegiatan peserta didik yang berupa kreasi yaitu kegiatan peserta didik ketika menulis naskah drama secara individu atau kelompok yang berupa resepsi yaitu kegiatan peserta didik ketika membaca dan menghafalkan naskah drama yang telah dibuat, sedangkan yang beupa ekspresi yaitu ketika peserta didik mementaskan drama berdasarkan naskah drama tersebut.

Dalam pembelajaran drama ada beberapa strategi yang bisa dilakukan. Pelaksanana pembelajaran akan menjadi semakin mudah apabila mengunakan strategi tertentu dalam penyampaian materi, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Strategi pembelajaran drama yang menjadi patokan pembahasan adalah strategi pembelajan yang berkaitan (1) strategi pembelajaran teks drama, meliputi:

a) strategi Stratta, b) langkah-langkah penyajian, c) strategi induktif model Taba,

d) strategi analisis, e) strategi sinektik (model Gordon), f) role playing (bermaian peran), g) simulasi, dan (2) strategi pembelajaran drama pentas meliputi: a) pementasan drama di kelas, b) pementasan drama oleh teater sekolah, c) teknik pembinaan apresiasi drama, dan d) catatan tambahan tentang pemilihan materi.

a. Strategi Pembelajaran Teks Drama

1) Strategi Stratta Strategi ini diciptakan oleh oleh Lesli StrattaI dan dapat diterapkan untuk drama dan prosa fiksi. Wardani (dalam Waluyo, 2006: 186) menjelaskan bahwa di dalam Strategi Stratta ada tiga tahap pembelajaran, yaitu; (1) tahap penjelajahan, pada tahap ini di dalam pengajaran drama, guru harus memberikan rangsangan untuk mempersiapkan peserta didik untuk

commit to user

bacaan atau tontonan mereka (peserta didik) berdiskusi dengan pertanyaan- pertanyaan yang menggali oleh guru, mengenai kesan mereka, tokoh, latar, watak, dan lain-lain; (3) pada tahap rekreasi, guru melatih peserta didik membaca peran-peranya dan mencoba mementaskan kalau dapat. Kegiatan ini dapat dilakukan dalam kelas tatap muka atau dan dilanjutkan di luar kelas sebagai tugas terstruktur.

2) Langkah-langkah Penyajian Sebelum guru melaksanakan kegiatan pembelajaran drama di kelas harus melakukan persiapan terlebih dahulu. Persiapan tersebut antara lain persiapan memilih bahan yang cocok dalam mengajar dan persiapan guru sebelum membawa bahan tersebut di kelas, supaya dalam pelaksanaan mengajarnya dapat terlaksana dengan baik seperti melakukan penjajagan terlebih dahulu terhadap bahan yang akan diajarkan dan peserta didik yang diajar, interprestasi yang dimaksudkan untuk membandingkan pemahaman atau pendapat peserta didik mengenai drama dengan pendapat yang terdapat dari buku materi, rekreasi ini adalah tingkat pelaksanaan atau praktik bermain drama.

3) Strategi Induktif Model Taba Strategi ini dikemukaan oleh Hilda Taba. Model pengajarannya bersifat induktif dan biasanya strategi ini cocok untuk bagi pembahasan sastra. Data-data sastra langsung diteliti oleh peserta didik, kemudian diadakan penyimpulan-penyimpulan. Hilda Taba mengembangkan model pengajaran yang berorientasi pada pengolahan orientasi. Adapun langkah-langkahnya yaitu, (1) pembentukan konsep, meliputi mendaftar data, mengklasifikasikan, dan memberi nama, (2) penganalisasian data, meliputi menafsirkan, membandingkan, dan menyimpulkan, (3) penerapan prinsip, meliputi menganalisa, membuat hipotesis, menerangkan, dan memeriksa hipotesis.

4) Strategi Analisis Strategi ini menitikberatkan pada proses analisis terhadap tema sebagai hasil akhir, setelah penokohan, plot, hubungan sebab akibat, dan

commit to user

yang abstrak dari naskah drama. Strategi analisis di dalam kelas, menurut Wardani (dalam Waluyo, 2006:193) menempuh tiga langkah, yaitu sebagai berikut.

a) Membaca secara keseluruhan yang menimbulkan kesan pertama bagi peserta didik, dimana mungkin akan timbul kesan yang berbeda-beda.

b) Analisis, yang akan menimbulkan kesan yang lebih objektif.

c) Memberikan pendapat akhir yang merupakan perpaduan antara respon yang subjektif dari peserta didik dengan analisis yang objektif yang dilakukan.

5) Strategi Sinektik (Model Gordon) Strategi ini dikombinasikan unsur-unsur yang berbeda dan nyata. Strategi tersebut dikembangkan oleh Gordon. Ada tiga langkah dalam metode sintetik ini, yaitu (1) analogi langsung (direct analogy), memerlukan penjajagan problem yang dihayati setelah membaca atau menonton drama secara pararel; (2) analogi personal merupakan hasil dari analogi langsung yang harus dicatat, dianalisis secara personal. Dalam hal ini peserta didik akan mengidentifikasi masalah yang dibahas. Peserta didik harus mencoba berpikir dan merasa, bagaimanakah seandainya dia itu penulis drama tersebut; (3) konflik kempaan merupakan hasil dari analisis personal yang akan mempertahankan dua sudut pandangan yang berbeda. Dengan konflik kempaan juga akan ditemukan pengertian atau wawasan baru.

6) Bermain Peran Strategi pembelajaran teks drama dengan bermaian peran ini sebetulnya termasuk strategi yang sangat sederhana. Peran dapat diambil dari kehidupan sehari-hari. Sebagaimana dikutip Waluyo (2003:189), Shafel menyebutkan adanya sembilan langkah dalam role playing, yaitu (1) memotivasi kelompok, (2) memilih peran (casting), (3) menyiapkan pengamat, (4) menyiapkan tahap-tahap peran, (5) pemeranan (pentas di depan kelas), (6) diskusi dan evaluasi I (spontanitas), (7) pemeranan (pentas ulang), (8) diskusi dan evaluasi (pemecahan masalah, dan (9) membagi pengalaman

commit to user

dapat dicapai aspek perasaan, sikap, nilai, persepsi, keterampilan pemecahan masalah, dan pemahaman terhadap pokok permasalahan.

7) Simulasi Dalam pembelajaran drama, strategi simulasi merupakan strategi yang digunakan untuk memberikan kemungkinan kepada peserta didik agar dapat menguasai suatu keterampilan melalui latihan dalam situasi tiruan. Prinsip-prinsip simulasi adalah: (1) harus ada tujuan kegiatan artinya keterampilan berbahasa apa yang harus dikuasai; (2) peserta didik dibagi dalam kelompok-kelompok dengan tugas melakukan simulasi (sama atau beda); (3) penentuan topik dan peran disesuaikan dengan kemampuan bahasa, tingkat sekolah, dan situasi; (4) di samping tujuan pokok, diarahkan tujuan lain baik kognitif, afektif, maupun psikomotorik; (5) berikan petunjuk tentang peran, situasi, dan pembagian tugas-tugas (Waluyo, 2003:191).

b. Strategi Pembelajaran Drama Pentas Dalam hal pementasan drama, guru dapat berperan sebagai sutradara, akan tetapi dapat sebagai pengaruh. Dalam hal ini guru dibantu oleh pekerja teater yang bertugas melatih aktor/aktris dan memimpin pementasan. Pementasan drama ini dalam pelaksanaanya dapat diselenggarakan di kelas sebagai bagian dari pengajaran bahasa dan dapat juga sebagai kegiatan ekstrakurikuler berteater.

1) Pementasan Drama di Kelas Pementasan drama di kelas dalam kaitannya dengan pelajaran bahasa Indonesia aspek sastra, dapat berupa pementasan satu naskah drama oleh satu kelompok, atau dapat juga beberapa kelompok yang dibentuk dari sebagian atau seluruh peserta didik di kelas. Pada waktu pementasan setiap kelompok mendapat giliran untuk berpentas, tentu saja dengan naskah drama yang berdurasi pendek. Hal ini dikarenakan dalam pengajaran drama di kelas, alokasi waktu di dalam kelas pun hanya sedikit. Setelah melakukan pementasan, sisa waktu yang tersedia digunakan untuk berdiskusi.

commit to user

kelas. Hal tersebut dikarenakan ruang kelas tidak sepenuhnya mendukung dalam sebuah pementasan. Aula merupakan salah satu tempat yang ideal untuk melaksanakan sebuah pementasan. Aula sendiri sudah dirancang untuk sebuah pertunjukan, apabila pementasan dilakukan di dalam ruang kelas tentu akan menggangu kelas yang berada di sekitar kelas tersebut.

2) Teknik Pembinaan Apresiasi Drama Pembinaan yang dimaksudkan yaitu membina hal yang sudah terlaksana supaya lebih baik dan dapat juga berarti membuat yang belum ada. Sulitnya naskah drama dan belum tentu guru bahasa Indonesia mempunyai kemampuan menyutradarai drama, yang menjadikan pembelajaran drama kurang memuaskan.

Tanpa pembacaan naskah sendiri oleh peserta didik dan menonton pertunjukan drama sendiri, maka pembinaan sulit dilaksanakan. Pembinaan dapat dilakukan berupa (1) pembinaan dan pengembangan apresiasi drama. Dalam pembinaan ini guru dan peserta didik harus dilengkapi dengan bahan yang serasi untuk kelompok-kelompok yang diajarkan dan menguasai teknik mengajarkan drama dengan baik, serta dapat menyesuaikan teknik dan bahan jika diperlukan. Buku-buku atau naskah-naskah drama yang cukup diberikan oleh guru yang mencintai drama diharapkan apresiasi peserta didik akan berangsur-angsur dapat berkembang; (2) aktivitas kelas dan kelompok, guru harus sering-sering membacakan drama dengan nyaring untuk memberi contoh dan sekaligus memperjelas watak pelaku. Pemutaran recorder atau video juga sangat bermanfaat sebagai sarana dalam memberi contoh drama yang baik.

Setelah berbagai teknik dijelaskan, perlu pula dipaparkan mengenai beberapa hal yang harus diperhatikan berkenaan dengan pemilihan bahan naskah drama. Naskah drama yang akan diajarkan oleh guru, harus memenuhi kriteria sebagai berikut.

commit to user

(2) Tingkat kesulitan bahasanya sesuai tingkat kemapuan bahasa peserta didik

yang akan menggunkannya. Apabila bahasanya terlalu sulit, maka apresiasi tidak mungkin baik.

(3) Bahasanya sedapat mungkin digunakan bahasa yang standar, kecuali kalau

cerita memang memasalahkan penggunaan dialek. Penggunaan dialek sedikit mungkin tidaklah begitu jelek, tetapi jika dapat dihindarkan sebaik mungkin dihindari saja.

(4) Isinya tidak bertentangan dengan haluan negara. (5) Naskah hendaknya mempunyai ciri, yaitu adanya masalah yang jelas, tema

atau tujuan yang jelas, perwatakan peranan, adanya penggunaan kejutan yang tepat, bertolak dari gagasan murni penulis, dan menggunkan bahasa yang baik.

Selanjutnya, seperti halnya dalam setiap pembelajaran mata pelajaran dan materi apapun ada kegiatan akhir yang berupa evaluasi atau penilaian (assesment). Evaluasi atau penilaian drama dilaksanakan pada akhir proses pembelajaran. Evaluasi merupakan faktor yang sangat penting dalam mengetahui apakah peserta didik benar-benar telah memahami bahan yang telah diajarkan guru atau belum. Dalam penilaian berbasis kelas, jenis penilaian yang harus dibuat oleh guru meliputi, penilaian kinerja, penilaian sikap, penilaian proyek, penilaian produk, penialain portofolio, dan penilaian diri (Suwandi 2008:81-100). Semua jenis tes di atas harus dilaksanakan oleh guru agar guru dapat melaksanakan evaluasi pembelajaran.

Moody (dalam Waluyo, 2003: 177) mengatakan bahwa penilaian dalam pembelajaran drama meliputi empat tingkatan, yaitu: (1) tingkatan informasi (pengetahuan); (2) tingkatan konsep (pemahaman); (3) tingkatan perspektif (cara pemikiran pengarang dan pembaca); (4) tingkatan apresiasi (penghargaan karya sastra dan pemahaman jalan pikiran pengarang). Tingkatan yang dicapai dalam evaluasi pembelajaran drama tingkat Sekolah Menengah Atas sampai pada tingkatan konsep (pemahaman). Oleh karena itu, evaluasi yang dilakukan adalah dengan tes tertulis dan diskusi mengenai unsur-unsur drama yang telah terkandung dalam suatu pementasan.

commit to user

kesastraan terdiri dari dua pendekatan, yaitu tingkatan taksonomi Bloom seperti tes kebahasaan dan yang kedua adalah tingkatan tes apresiasi kesastraan berdasarkan pengkategorian Moody dengan modifikasi seperlunya. Penilaian bermain peran dalam pembelajaran drama menggunakan tingkatan tes apresiasi kesastraan berdasarkan taksonomi Bloom yang berupa penilaian ranah psikomotorik. Ranah psikomotorik adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan aktivitas otot, fisik, atau gerakan-gerakan anggota badan. Keluaran hasil belajar yang bersifat psikomotoris adalah keterampilan-keterampilan gerak tertentu yang diperoleh setelah mengalami peristiwa belajar. Penilaian hasil belajar psikomotoris juga harus dilakukan dengan alat tes yang berupa tes perbuatan.

a. Penilaian dengan Tes Tes merupakan suatu bentuk pemberian tugas atau pertanyaan yang harus dikerjakan oleh peserta didik yang sedang dites. Jawaban yang diberikan peserta didik terhadap pertanyaan-pertanyaan itu dianggap sebagai informasi terpercaya yang mencerminkan kemampuannya. Informasi tersebut dinyatakan sebagai masukan yang penting untuk mempertimbangkan peserta didik (Suwandi, 2008:49).

Suwandi (2008:54) memaparkan pada umunya tes dipergunakan untuk mengukur tingkat keberhasilan peserta didik dalam mencapai tujuan dalam pembelajaran. Tingkat keberhasilan peserta didik dimaksudkan juga tingkat kemampuan peserta didik yang diperoleh setelah mengikuti kegiatan pembelajaran tersebut.

Bentuk tes dapat berupa tes esai dan tes objektif. Tes esai adalah suatu bentuk pertanyaan yang menuntut jawaban peserta didik dalam bentuk uraian dengan menggunakan bahasa sendiri. Tes ini menuntut peserta didik untuk berpikir tentang dan mempergunakan apa yang diketahui yang berkenaan dengan pertanyaan yang harus dijawab. Tes bentuk esai memberikan kebebasan kepada peserta didik untuk menyusun dan mengemukakan jawaban sendiri dalam lingkup yang secara relatif dibatasi.

commit to user

yaitu disebut juga sebagai tes jawaban singkat (short answer test). Jawaban terhadap tes objektif bersifat pasti, hanya ada satu kemungkinan jawaban yang benar. Jenis tes objektif yang banyak dipergunakan orang ádalah tes jawaban benar-salah (trae-false), pilihan ganda (multipli choice), isian (complection), dan penjodohan (maching) (Suwandi, 2008: 58-59).

Untuk mencari nilai setiap peserta didik menggunakan teknik penilaian yang dikembangkan oleh FSI (Foreign Service Institute) sebagai berikut:

1) Nilai setiap unsur yang dinilai dalam berbicara berkisar antara 1 sampai dengan 5. Nilai 5 berarti baik sekali, nilai 4 berarti baik, nilai 3 berarti sedang, nilai 2 berarti kurang, nilai 1 berarti kurang sekali.

2) Jumlah skor atau total nilai diperoleh dari menjumlahkan nilai setiap unsur penilaian yang diperoleh peserta didik.

3) Nilai akhir peserta didik diperoleh dengan menggunakan rumus:

Total nilai

skor ideal (100) = nilai Skor maksimum (25)

b. Penilaian Sikap Suwandi (2008:89-90) memaparkan bahwa sikap bermula dari perasaan yang terkait dengan kecenderungan seseorang dalam merespon sesuatu atau objek. Sikap juga suatu ekspresi dari nilai-nilai atau pandangan hidup yang dimiliki oleh seseorang. Secara umum, objek sikap yang perlu dinilai dalam proses pembelajaran adalah sebagai berikut.

1) Sikap terhadap materi pelajaran.

2) Sikap terhadap guru atau pengajar.

3) Sikap terhadap proses pembelajaran.

4) Sikap berkaitan dengan nilai atau norma yang berhubungan dengan suatu materi pelajaran. Penilain sikap dapat dilakukan dengan beberapa cara atau teknik. Teknik-teknik tersebut antara lain.

commit to user

Perilaku seseorang pada umunya menunjukan kecenderungan seseorang dalam sesuatu hal. Guru dapat melakukan observasi terhadap peserta didik yang dibinanya. Hasil pengamatan dapat dijadikan sebagai umpan balik dalam pembinaan.

2) Pertanyaan Langsung Menanyakan secara langsung atau wawancara tentang sikap seseorang berkaitan dengan suatu hal. Jawaban atau reaksi yang diberikan dapat dipahami sikap peserta didik terhadap objek sikap.

3) Laporan Pribadi Penggunaan teknik ini peserta didik diminta membuat ulasan yang berisi pandangan atau tanggapan tentang suatu masalah, keadaan, atau hal yang menjadi objek sikap. Menurut Suwandi (2008: 94) dalam penilaian sikap dapat menggunakan format penilaian sebagai berikut.

No Nama Peserta didik

Aspek yang Dinilai

Skor Nilai

antusias terhapadap

drama

memperhatikan guru pada saat pembahasan drama

Keaktifan dalam pada saat pembelajaran apresiasi drama

Keaktifan dalam berlatih peran

(Tabel 2.1. Format penilaian Pribadi)

Catatan:

a. Kolom perilaku diisi dengan angka yang sesuai dengan kriteria berikut.

1 = sangat kurang

5 = amat baik

b. Nilai merupakan jumlah skor-skor tiap indikator perilaku.

commit to user

Nilai 18-20 berarti amat baik Nilai 14-17 berarti baik Nilai 10-13 berarti sedang Nilai 6-9 berarti kurang Nilai 0-5 berarti sangat kurang

4) Penilaian Proyek Penilaian proyek merupakan kegiatan penilai terhadap tugas yang harus diselesaikan dalam periode/waktu tertentu. Tugas tersebut berupa suatu investigasi sejak dari perencanaan, pengumpulan data, pengorganisasian, pengolahan, dan penyajian data. Dalam penilaian proyek setidaknya ada tiga hal perlu dipertimbangkan, yaitu:

a) Kemampuan pengelolaan.

b) Relevansi, yaitu kesesuaian dengan mata pelajaran.

c) Keaslian, proyek yang dilakukan oleh peserta didik merupakan hasil karyanya, (Suwandi, 2008: 95-98). Penilaian proyek dilakukan mulai dari perencanaan, proses kegiatan, sampai hasil akhir. Dalam penilaian proyek dapat menggunkan format penilaian sebagai berikut.

No

Aspek

Skor (1-5)

1 Perencanaan:

a. Persiapan

b. Rumusan naskah drama

2 Pelaksanaan:

a. Sistematika pelaksanan

b. Keakuratan dengan waktu pengerjaan

c. Kerja sama dan kekompakan tim

d. Penggunaan alat pendukung

3 Laporan Proyek:

a. Performans

b. Kualitas hasil

Jumlah

(Tabel 2.2. Format Penilaian Proyek)

commit to user

evaluasi dapat diketahui keberhasilan seseorang dalam pembelajaran dan dari hasil yang diperoleh akan membuat seseorang lebih termotivasi untuk belajar. Evaluasi pembelajaran apresiasi drama tentu harus dapat mengukur tujuan pembelajaran apresiasi drama, yakni apresiasi peserta didik terhadap drama bukan semata tentang pengetahuan peserta didik terhadap drama.