Tinjauan Tentang Perjanjian Kerja

62 1 Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu perusahaan milik sendiri; 2 Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang secar berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya; 3 Orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang berada di Indonesia mewakili perusahaan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan b yang berkedudukan di luar wilayah Indonesia. Dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja No. KEP.100MEN2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu tersebut ternyata sama dengan pengertian pengusaha dalam pasal 1 angka 5 Undang-undang nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Dari pengertian di atas jelaslah bahwa pengertian pengusaha menunjukkan pada orangnya sedangkan perusahaan menunjuk pada bentuk usaha atau orangnya. Jadi bisa dikatakan bahwa istilah pengusaha adalah yang paling tepat dan pantas digunakan karena memberikan gambaran adanya hak dan kewajiban yang seimbang antara pihak yang saling berkait, sehingga tercipta hubungan kerja yang tepat.

2. Tinjauan Tentang Perjanjian Kerja

a Pengertian Perjanjian Kerja Perjanjian kerja yang dalam bahasa belanda disebut Arbeidsoverenkoms mempunyai beberapa pengertian. Pasal 1601 a KUHPerdata memberikan pengertian sebagai berikut : ”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu si buruh mengikatkan dirinya untuk dibawah perintah pihak yang lain, si majikan untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan menerima upah”. Menurut Imam Soepomo yang ditulis oleh Lalu Husni 2003 : 54 berpendapat bahwa perjanjian kerja adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu buruh, mengikatkan diri untuk bekerja dengan 63 menerima upah dari pihak kedua yakni majikan, dan majikan mengikatkan diri untuk mempekerjakan buruh dengan bayaran upah. Menurut Koko Kosidin 1999 : 6 perjanjian kerja adalah: Perjanjian antara seorang buruh dengan seorang majikan, perjanjian mana ditandai oleh ciri-ciri : adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan adanya suatu hubungan yang diperatas yang dalam bahasa Belanda disebut dienstverhoeding, yaitu suatu yang berdasarkan mana pihak yang satu majikan berhak memberikan perintah yang harus ditaati pihak lain. Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, pasal 1 angka 14 memberikan pengertian, yaitu : ”Perjanjian kerja adalah suatu perjanjian antara pekerja buruh dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja hak dan kewajiban kedua belah pihak”. b Unsur-unsur dalam Perjanjian Kerja Ada beberapa unsur perjanjian kerja, yaitu : 1 Adanya unsur work atau pekerjaan. Dalam suatu perjanjian kerja harus ada pekerjaan yang diperjanjikan obyek perjanjian, pekerjaan tersebut haruslah dilakukan sendiri oleh pekerja, hanya dengan seijin majikan dapat menyuruh orang lain. Hal ini dijelaskan dalam KUH- Perdata Pasal 1603a yang berbunyi : “Buruh wajib melakukan sendiri pekerjaannya, hanya dengan seijin majikan ia dapat menyuruh orang ketiga menggantikannya”. Sifat pekerjaan yang dilakukan oleh pekerja itu sangat pribadi karena bersangkutan dengan keterampilan keahliannya, maka menurut hukum jika pekerja meninggal dunia maka perjanjian kerja tersebut putus demi hukum. 2 Adanya unsur perintah Manifestasi dari pekerjaan yang diberikan kepada pekerja oleh pengusaha adalah pekerja yang bersangkutan harus tunduk pada perintah pengusaha untuk melakukan pekerjaan yang sesuai dengan yang diperjanjikan. Disinilah perbedaan 64 hubungan kerja dengan hubungan lainnya, misalnya hubungan antara dokter dengan pasien, pengacara dengan klien. Hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja karena dokter, pengacara tidak tunduk pada perintah pasien atau klien. 3 Adanya upah Upah memegang peranan penting dalam hubungan kerja perjanjian kerja, bahkan dapat dikatakan bahwa tujuan utama seorang pekerja bekerja pada pengusaha adalah memperoleh upah. Sehingga jika tidak ada unsur upah, maka suatu hubungan tersebut bukan merupakan hubungan kerja Lalu Husni, 2003 : 57 . 4 Adanya waktu tertentu Artinya waktu tertentu disini bahwa dalam melakukan hubungan kerja tersebut haruslah disesuaikan dengan waktu yang telah ditentukan dalam perjanjian kerja atau dalam peraturan perundang-undangan. Koko Kosidin, 1999 : 13. c Bentuk Perjanjian Kerja Bentuk perjanjian kerja pada dasarnya bebas, artinya perjanjian kerja tersebut dapat dibuat secara tertulis maupun lisan. Dalam pasal 51 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan menyebutkan bahwa : “Perjanjian kerja dapat dibuat dalam bentuk lisan dan atau tertulis”. Namun akan lebih baik apabila perjanjian dibuat secara tertulis. Hanya saja, jika perjanjian dibuat secara tertulis, maka semua biaya akata dan lain-lain biaya tambahan harus ditanggung oleh majikan. Hal ini sesuai dengan pasal 1601 huruf d KUH Perdata. Pada dasarnya bentuk tertulis menjamin kepastian hukum dan kewajiban para pihak, sehingga jika terjadi perselisihan akan sangat membantu proses pembuktian. Tetapi pada prakteknya, masih banyak perusahaan yang belum membuat perjanjian kerja secara tertulis, hal ini disebabkan karena kebiasaan ataupun karena adanya kepercayaan. 65 d Syarat sahnya perjanjian kerja Dalam Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar : 1 Kesepakatan kedua belah pihak 2 Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum 3 Adanya pekerjaan yang diperjanjikan 4 Pekerjaan yang diperjanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku Lalu Husni, 2003 : 57 . Kesepakatan kedua belah pihak yang lazim disebut kesepakatan bagi yang mengikatkan dirinya maksudnya bahwa pihak- pihak yang mengadakan perjanjian kerja harus setuju atau sepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan. Apa yang dikehendaki pihak yang satu dikehendaki pihak yang lain. Pihak pekerja menerima pekerjaan yang ditawarkan, dan pihak penggusaha menerima pekerja tersebut untuk dipekerjakan. Keempat syarat tersebut bersifat kumulatif artinya harus dipenuhi semuanya baru dapat dikatakan bahwa perjanjian tersebut sah. Syarat kemauan bebas kedua belah pihak dan kemampuan atau kecakapan kedua belah pihak dalam membuat perjanjian dalam membuat perjanjian dalam hukum perdata disebut sebagai syarat subyektif karena menyangkut mengenai orang yang membuat perjanjian, sedangkan syarat adanya pekerjaan yang diperjanjikan dan pekerjaan yang diperjanjikan harus halal disebut sebagai syarat obyektif karena menyangkut obyek perjanjian. Jika syarat obyektif tidak dipenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum artinya dari semula perjanjian tersebut dianggap tidak pernah ada. Jika yang tidak dipenuhi syarat subyektif, maka akibat hukum dari perjanjian tersebut dapat dibatalkan, pihak-pihak yang tidak memberikan persetujuan secara tidak bebas, demikian juga oleh 66 orang tua wali atau pengampu bagi orang yang tidak cakap membuat perjanjian dapat meminta pembatalan perjanjian itu kepada hakim. Dengan demikian perjanjian tersebut mempunyai kekuatan hukum selama belum dibatalkan oleh hakim Lalu Husni, 2003 : 59. e Jenis Perjanjian Kerja Ada 2 jenis perjanjian kerja, yaitu : 1 Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomer : KEP.100MENVI2004 tentang Ketentuan Pelaksanaan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, telah disesuaikan dengan perkembangan dan teknologi dewasa ini Perjanjian kerja untuk waktu tertentu harus dibuat secara tertulis dan menggunakan bahasa Indonesia dan huruf latin, serta harus memenuhi syarat-syarat, antara lain : 1 Harus mempunyai jangka waktu tertentu; 2 Adanya suatu pekerjaan yang selesai dalam waktu tertentu; 3 Tidak mempunyai syarat masa percobaan. Zaeni Asyhadie,2007 : 56 Dalam pasal 59 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Perjanjian kerja untuk waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaannya akan selesai dalam waktu tertentu, yaitu : a Pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; b Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun; c Pekerjaan yang bersifat musiman; atau d Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan. Zaeni Asyhadie,2007 : 56 67 Pengusaha yang bermaksud memperpanjang perjanjian kerja waktu tertentu tersebut, paling lama 7 tujuh hari sebelum perjanjian kerja waktu tertentu berakhir telah memberitahukan maksudnya secara tertilis kepada pekerjaburuh yang bersangkutan. Hal ini sesuai dengan pasal 59 ayat 5 UU Nomor 13 tahun 2003. 2 Perjanjian Kerja Untuk Waktu Tidak Tertentu. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu di sini adalah suatu jenis perjanjian kerja yang umum dijumpai dalam suatu perusahaan, yang tidak memiliki jangka waktu berlakunya. Dengan demikian, perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu berlaku terus, sampai : 1 pihak pekerjaburuh memasuki usia pensiun 55 tahun; 2 pihak pekerjaburuh diputuskan hubungan kerjanya karena melakukan kesalahan; 3 pekerjaburuh meninggal dunia; dan 4 adanya putusan pengadilan yang menyatakan pekerjaburuh telah melakukan tindak pidana sehingga perjanjian kerja tidak bisa dilanjutkan. Zaeni Asyhadie,2007 : 57 Dengan demikian yang dinamakan perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu adalah perjanjian kerja di mana waktu berlakunya tidak ditentukan baik dalam perjanjian, Undang-undang ataupun dalam kebiasaan. Perjanjian kerja untuk waktu tidak tertentu dibuat secara tidak tertentu dan dapat mensyaratkan adanya masa percobaan kerja selama-lamanya 3 bulan dan upahnya tidak boleh di bawah UMR yang telah ditetapkan Menteri Tenaga Kerja. Mengenai berakhirnya perjanjian ini, adalah para pihak berhak untuk mengakhiri dengan pemberitahuan penghentian. f Berakhirnya Perjanjian Kerja 68 Dalam pasal 61 ayat 1 UU Nomor 13 tahun 2003 Perjanjian kerja berakhir apabila : 1 Pekerja meninggal dunia; Perjanjian kerja berakhir apabila pekerja meninggal dunia, maka dengan sendirinya ahli warisnya berhak mendapat hak-haknya, sesuai dengan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau hak-hak yang telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau kesepakatan kerja bersama. 2 Berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja; Bila perjanjian kerja telah ditentukan jangka waktunya maka perjanjian kerja tersebut berakhir dengan sendirinya. 3 Adanya putusan pengadilan danatau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; Perjanjian kerja yang diputus oleh pengadilan ini biasanya antara pekerja dengan pengusaha ada masalah atau perselisihan yang tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan, sehingga perjanjian kerja tersebut diputus oleh pengadilan. 4 Adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja. Keadaan atau kejadian tertentu yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja seperti bencana alam, kerusuhan sosial, atau gangguan keamanan.

3. Tinjauan Tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu