Bidang PKDRT Andi Syamsu Alam: Sosok Yang Bernas, Relijius, Dan Pasrah Total

mana disebutkan dalam Undang- Undang Nomor tahun . Peruba- han kata ini memberi makna bahwa jika negara dan masyarakat memberi kepercayaan maka pengadilan agama dapat ditambah kewenangannya di bidang tertentu di luar perkara per- data yang selama ini sudah menjadi kewenangannya. Perkembangan hukum dan tuntu- tan masyarakat dewasa ini membuka ruang untuk adanya beberapa potensi perluasan kewenangan yang ke depan bisa menjadi kewenangan absolut peradilan agama. Urgensi perluasan kewenangan peradilan agama dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama, dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang peradilan agama secara paripurna. Penggunaan frasa tertentu dalam undang-undang pera dilan agama secara implisit menandakan bahwa ada kewenangan lain yang merupakan bagian tak ter- pisahkan dari kompetensi peradilan agama. Kedua, kesadaran masyara- kat Muslim semakin tinggi dalam melaksanakan hukum agamanya secara menyeluruh. Sehingga menun- tut keluwesan dan keluasan caku- pan kewenangan peradilan agama agar tidak terjadi kesenjangan antara problem sosial dengan hukum yang berlaku. Beberapa potensi perkara yang bisa menjadi kewenangan peradi- lan agama adalah ihwal penghapu- san kekerasan dalam rumah tangga PKDRT , kewenangan menyelesaikan perbuatan melawan hukum PM , kewenangan penyelesaian sengketa produk halal dan kewena ngan di bidang pidana dalam perkawinan ber- dasarkan hukum slam.

1. Bidang PKDRT

Kasus perceraian baik itu gugat cerai maupun cerai talak di lingkungan peradilan agama banyak didasarkan pada alasan kekerasan dalam rumah tangga KDRT . KDRT tersebut jika menjadi fakta hukum yang terbukti dalam proses pembuktian maka KDRT itu hanya sekadar fakta hukum untuk alasan perceraian, tidak sampai pada tindakan penghukuman terhadap pelakunya, karena pengadilan agama hanya berwenang diwilayah perdata agama, bukan pidana. Ranah tindakan pidana KDRT, se suai Undang-Undang Nomor Tahun tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKDRT , korban atau keluarganya harus melaporkan tindakan terse- but ke kepolisian dan korban bisa mendapatkan perlindungan khu- sus dari aparat dan kemudian kasus pidana KDRT akan diperiksa di penga- dilan negeri. Pemisahan penanganan perdata perceraian dan pidana KDRT di atas dalam praktek akan membutuh- kan waktu yang lama dan panjang serta bisa berakibat buruk bagi kor- ban KDRT. Tidak sedikit kemudian korban hanya memilih menyelesaikan perkara perceraian saja dan tidak melanjutkan ke pidananya yang pada akhirnya pelaku KDRT terbebas dari sanksi pidana. Menurut Amran Suadi, akim Agung MA R, dalam seminar nasi- onal yang diselenggarakan PPM Pengadilan Tinggi Agama Surabaya menegaskan bahwa ada dua solusi alternatif sebagai tawaran untuk menjadikan pengadi- lan agama agar lebih berperan dalam penyelesaian tindak KDRT. Solusi pertama adalah perlu dibentuk peradilan koneksitas antara pengadilan agama dengan pengadilan negeri sehingga dapat menyelesaikan perkara cerai dan KDRT secara simultan. Dalam kasus cerai dengan alasan KDRT bisa dilakukan peradilan koneksitas antara pengadilan agama dan pengadilan umum bersama- sama dalam perkara perceraian, di sini sengketa perceraian dan pidana KDRT diputus bersamaan dalam satu perkara. Sedikit berbeda dengan usulan Amran, jika kita merujuk ke praktek MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 5 | Des 2014 20 yang terjadi di pengadilan Australia, di sana dikenal aturan cross-vesting jurisdiction . Cross-vesting adalah aturan yang memungkinkan satu pengadilan mengadili secara utuh satu perkara meskipun salah satu dari bagian perkara itu sebenarnya merupakan kewenangan pengadilan yang lain Etihne Mills dan Marlene Ejeber, : . Mekanisme cross-vesting yang digunakan untuk mengatasi konflik kewenangan ini sangat membantu masyarakat pencari keadilan karena dapat mengurangi biaya berperkara, mereduksi ketidaknyamanan para pihak serta memenuhi asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan Belinda Fehlberg dan Juliet Behrens, : . Kedepan mungkin juga perlu dikaji apakah memungkinkan jika peradilan agama juga berwenang memeriksa perkara pidana KDRT dan cerai secara bersamaan. Solusi kedua, menurutnya dengan menggunakan pendekatan restorative justice yakni dengan memberikan kompensasi ganti rugi kepada si korban KDRT atau dalam hukum slam dikenal istilah diyat. Diyat atau ganti rugi tersebut dilakukan bersamaan dalam perkara perceraian. Bagaimanapun penyelesaian seng- keta KDRT perlu dilakukan secara lebih humanis ketimbang pendeka- tan legal fomal. Terlebih jika di antara keduanya telah memperoleh anak keturunan. Proses komulasi penyele- saian sengketa perceraian dan KDRT seperti di atas lebih bisa memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan hukum dan sesuai dengan asas ber- perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta berperspektif pene gakan AM dan gender.

2. Perbuatan Melawan Hukum PMH