mana disebutkan dalam Undang- Undang Nomor tahun
. Peruba- han kata ini memberi makna bahwa
jika negara dan masyarakat memberi kepercayaan maka pengadilan agama
dapat ditambah kewenangannya di bidang tertentu di luar perkara per-
data yang selama ini sudah menjadi kewenangannya.
Perkembangan hukum dan tuntu- tan masyarakat dewasa ini membuka
ruang untuk adanya beberapa potensi perluasan kewenangan yang ke depan
bisa menjadi kewenangan absolut peradilan agama. Urgensi perluasan
kewenangan peradilan agama dapat dilihat dari dua pendekatan. Pertama,
dalam rangka melaksanakan amanat undang-undang peradilan agama
secara paripurna. Penggunaan frasa
tertentu dalam undang-undang pera dilan agama secara implisit
menandakan bahwa ada kewenangan lain yang merupakan bagian tak ter-
pisahkan dari kompetensi peradilan agama. Kedua, kesadaran masyara-
kat Muslim semakin tinggi dalam melaksanakan hukum agamanya
secara menyeluruh. Sehingga menun- tut keluwesan dan keluasan caku-
pan kewenangan peradilan agama agar tidak terjadi kesenjangan antara
problem sosial dengan hukum yang berlaku.
Beberapa potensi perkara yang bisa menjadi kewenangan peradi-
lan agama adalah ihwal penghapu- san kekerasan dalam rumah tangga
PKDRT , kewenangan menyelesaikan perbuatan melawan hukum PM ,
kewenangan penyelesaian sengketa produk halal dan kewena ngan di
bidang pidana dalam perkawinan ber- dasarkan hukum slam.
1. Bidang PKDRT
Kasus perceraian baik itu gugat cerai maupun cerai talak di lingkungan
peradilan agama banyak didasarkan pada alasan kekerasan dalam rumah
tangga KDRT . KDRT tersebut jika menjadi fakta hukum yang terbukti
dalam proses pembuktian maka KDRT itu hanya sekadar fakta hukum untuk
alasan perceraian, tidak sampai pada tindakan penghukuman terhadap
pelakunya, karena pengadilan agama hanya berwenang diwilayah perdata
agama, bukan pidana.
Ranah tindakan pidana KDRT, se suai Undang-Undang Nomor
Tahun tentang Penghapusan
Kekerasan Dalam Rumah Tangga PKDRT , korban atau keluarganya
harus melaporkan tindakan terse- but ke kepolisian dan korban bisa
mendapatkan perlindungan khu- sus dari aparat dan kemudian kasus
pidana KDRT akan diperiksa di penga- dilan negeri.
Pemisahan penanganan perdata perceraian dan pidana KDRT di
atas dalam praktek akan membutuh- kan waktu yang lama dan panjang
serta bisa berakibat buruk bagi kor- ban KDRT. Tidak sedikit kemudian
korban hanya memilih menyelesaikan perkara perceraian saja dan tidak
melanjutkan ke pidananya yang pada akhirnya pelaku KDRT terbebas dari
sanksi pidana.
Menurut Amran Suadi, akim Agung MA R, dalam seminar nasi-
onal yang diselenggarakan PPM Pengadilan Tinggi Agama Surabaya
menegaskan bahwa ada dua solusi alternatif sebagai
tawaran untuk menjadikan pengadi- lan agama agar lebih berperan dalam
penyelesaian tindak KDRT.
Solusi pertama adalah perlu dibentuk peradilan koneksitas antara
pengadilan agama dengan pengadilan negeri sehingga dapat menyelesaikan
perkara cerai dan KDRT secara simultan. Dalam kasus cerai dengan
alasan KDRT bisa dilakukan peradilan koneksitas antara pengadilan agama
dan pengadilan umum bersama- sama dalam perkara perceraian, di
sini sengketa perceraian dan pidana KDRT diputus bersamaan dalam satu
perkara.
Sedikit berbeda dengan usulan Amran, jika kita merujuk ke praktek
MAJALAH PERADILAN AGAMA Edisi 5 | Des 2014
20
yang terjadi di pengadilan Australia, di sana dikenal aturan cross-vesting
jurisdiction . Cross-vesting adalah
aturan yang memungkinkan satu pengadilan mengadili secara utuh
satu perkara meskipun salah satu dari bagian perkara itu sebenarnya
merupakan kewenangan pengadilan yang lain Etihne Mills dan Marlene
Ejeber,
: .
Mekanisme cross-vesting yang digunakan untuk mengatasi konflik
kewenangan ini sangat membantu masyarakat pencari keadilan karena
dapat mengurangi biaya berperkara, mereduksi ketidaknyamanan para
pihak serta memenuhi asas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan
Belinda Fehlberg dan Juliet Behrens, :
. Kedepan mungkin juga perlu dikaji apakah memungkinkan
jika peradilan agama juga berwenang memeriksa perkara pidana KDRT dan
cerai secara bersamaan.
Solusi kedua, menurutnya dengan menggunakan pendekatan restorative
justice yakni dengan memberikan
kompensasi ganti rugi kepada si korban KDRT atau dalam hukum
slam dikenal istilah diyat. Diyat atau ganti rugi tersebut dilakukan
bersamaan dalam perkara perceraian.
Bagaimanapun penyelesaian seng- keta KDRT perlu dilakukan secara
lebih humanis ketimbang pendeka- tan legal fomal. Terlebih jika di antara
keduanya telah memperoleh anak keturunan. Proses komulasi penyele-
saian sengketa perceraian dan KDRT seperti di atas lebih bisa memenuhi
rasa keadilan dan kemanfaatan hukum dan sesuai dengan asas ber-
perkara secara cepat, sederhana, dan biaya ringan, serta berperspektif
pene gakan AM dan gender.
2. Perbuatan Melawan Hukum PMH