PERKEMBANGAN NEGARA MAJU PENUTUP 4.1 Kesimpulan

2.2 PERKEMBANGAN NEGARA MAJU

Kelompok negara maju menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan kinerja ekonomi yang mulai membaik dan kembali tumbuh meningkat di TW3-16 setelah dalam 4 triwulan sebelumnya TW3-15 sd TW2-16 terus melambat. Peningkatan pertumbuhan negara maju didorong oleh AS, Jepang dan Inggris yang pertumbuhannya meningkat cukup signifikan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Kawasan Euro relatif stabil di TW3-16 sama dengan triwulan sebelumnya, dan tidak lagi terus melambat sebagaimana terjadi pada TW1 dan TW2 Grafik 1.8. Di antara negara-negara maju, AS menunjukkan kinerja yang paling solid dimana pertumbuhan meningkat dan inflasi telah rebound kembali pada tren peningkatan. Grafik 1.8 Pertumbuhan Ekonomi Negara Maju Perkembangan yang membaik juga ditunjukkan oleh sektor tenaga kerja dimana angka pengangguran telah mencapai level yang rendah dan stabil dan upah mulai menunjukkan tren yang terus meningkat. Namun demikian, ekonomi AS belum sepenuhnya pulih dari krisis dan masih terdapat beberapa weak spots, seperti investasi modal tetap Gross Fixed Capital Formation yang masih rendah, ketersediaan tenaga kerja Labor Participation Rate yang menurun, dan peningkatan employment yang lebih banyak didorong oleh part-time jobs. Pertumbuhan PDB STW-16 meningkat mencapai 1,51 yoy –dari 1,3 di TW2- yang didorong oleh perbaikan investasi dan net ekspor. Meski meningkat, pertumbuhan PDB tersebut juga menunjukkan bahwa perbaikan kinerja ekonomi tersebut belum sepenuhnya didukung oleh fundamental ekonomi yang membaik. Peningkatan net ekspor lebih disebabkan oleh kinerja ekspor yang membaik karena kendala produksi yang terjadi di negara pesaing ekspor AS. Sementara itu, perbaikan investasi lebih banyak disumbang oleh kenaikan inventories, dan bukan didukung oleh investasi barang modal yang meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Di satu sisi, peningkatan inventories dapat mengindikasikan aktivitas produksi yang meningkat untuk merespons peningkatan permintaan, sehingga pada gilirannya berkontribusi positif terhadap Angka estimasi awal first estimate PDB AS oleh biro statistik dan angka tersebut biasanya direvisi beberapa kali sebelum diperoleh angka aktual. PDB. Di sisi lain, peningkatan inventories justru menunjukkan konsumsi yang lemah dimana persediaan barang yang belum terjual meningkat. Dalam kasus ini yang terjadi adalah kemungkinan yang kedua. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi yang melambat di tengah aktivitas produksi yang juga melambat. Komponen PDB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah justru tumbuh melambat. Konsumsi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB tumbuh 2,6, sedikit melambat dari tumbuh 2,7 pada TW2-16. Melambatnya pertumbuhan konsumsi sejalan dengan penurunan pertumbuhan penjualan ritel dan menurunnya keyakinan konsumen antara lain disebabkan ketidakpastian prospek ekonomi AS, termasuk ketidakpastian pasca pemilihan presiden AS. Sementara itu, pengeluaran pemerintah tumbuh melambat menjadi 0,3 dari 0,7, padahal defisit keuangan pemerintah fiskal mengalami peningkatan mencapai -3,1 dari PDB dari -2,5 di TW2-16. Konsumsi yang melambat dan permintaan eksternal masih lemah berdampak pada penurunan aktivitas produksi produksi industri tumbuh melambat, namun keyakinan bisnis ISMPMI bervariasi. Sementara itu, tekanan inflasi cenderung bergerak naik, meskipun konsumsi melambat, akibat harga minyak dan komoditas global yang sedikit meningkat pada beberapa waktu terakhir. Dengan perkembangan indikator ekonomi yang belum cukup stabil membaik dan memburuk secara silih berganti The Fed mempertahankan Fed Fund Rate FFR tetap dalam kisaran 0,25 - 0,50. The Fed juga memerhatikan vulnerabilitas pasar keuangan global yang cenderung memburuk -pasca Brexit- sehingga memutuskan untuk mempertahankan FFR. Namun, the Fed diperkirakan akan menaikan FFR pada Desember 2016. Selain AS, kinerja ekonomi yang cukup solid juga ditunjukkan oleh perekonomian inggris meskipun negara ini sedang menghadapi ketidakpastian pasca referendum yang dimenangkan kubu Brexit. PDB Inggris pada TW3-16 tumbuh meningkat mencapai 2,3 dari 2,1 pada TW2-16 yang didukung secara lebih merata oleh konsumsi, investasi dan net ekspor. Konsumsi yang meningkat didorong oleh perbaikan angka pengangguran. Pada saat yang sama pelemahan pound sterling -termasuk pasca referendum Brexit-mendorong ekspor dan menekan impor sehingga net ekspor membaik. Selanjutnya, peningkatan permintaan domestik dan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi dan investasi. Permintaan domestik yang meningkat juga berdampak pada kenaikan inflasi yang meningkat dua kali lipat sepanjang TW3-16. Inflasi Inggris meningkat dari 0,5 di Juni 2016 menjadi 1,0 di September 2016. Namun demikian, peningkatan inflasi tidak mencegah Bank of England yang melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga kebijakan dan meningkatkan injeksi likuiditas ke perekonomian pasca referendum Brexit melalui program pembelian aset quantitative easing. Berbeda dengan kebijakan moneter yang ekspansif, kebijakan fiskal Inggris tetap bersifat konsolidatif untuk menekan defisit fiskal. Sejauh ini konsolidasi fiskal yang dilakukan telah berhasil menurunkan defisit fiskal dari -10,2 PDB pasca GFC 2008 menjadi -3,9 pada TW2-16. Kinerja ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan secara gradual, meskipun kondisinya secara umum masih lemah. PDB Jepang pada TW3-16 kembali tumbuh meningkat mencapai 0,9, setelah pada triwulan sebelumnya mulai rebound dan tumbuh 0,6. Peningkatan pertumbuhan PDB tersebut disumbang oleh perbaikan net ekspor dimana kinerja ekspor membaik lebih cepat dibanding impor sehingga berkontribusi meningkatkan pertumbuhan, Sementara itu, konsumsi dan investasi relatif masih lemah. Konsumsi yang masih lemah disebabkan oleh masyarakat yang lebih berhati-hati dalam pengeluarannya akibat prospek ekonomi yang belum membaik dan menurunnya pendapatan dari luar negeri sebagaimana tercermin pada penurunan pertumbuhan Gross National Income GNI. Penurunan pendapatan luar negeri tersebut semakin terasa signifikan akibat tren apresiasi yen terhadap US dollar dan mata uang mitra dagang. Di sisi produksi, perbaikan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi, meskipun peningkatannya masih sangat terbatas. Produksi industri sedikit meningkat, sejalan dengan sentimen bisnis yang masih bias ekspansif. Sejalan dengan peningkatan produksi, sektor ketenagakerjaan cenderung masih ketat dimana angka pengangguran telah berada di level yang rendah dan rasio lowongan kerja terhadap pencari kerja yang masih meningkat. Namun demikian, peningkatan upah masih terbatas akibat kondisi bisnis yang secara umum masih lesu. Kondisi ekonomi Jepang yang masih lemah tercermin pada perkembangan harga yang masih mengalami deflasi. Pada September 2016 tercatat deflasi sebesar -0,5 yoy, sedikit memburuk dibanding posisi Juni 2016 yang terdeflasi -0,4. Kondisi ekonomi yang lemah dan tingkat inflasi yang semakin menjauh dari target mendorong Bank of Japan untuk menerapkan kebijakan moneter yang semakin agresif, termasuk dengan menerapkan framework kebijakan moneter baru, yaitu yield control, dengan menetapkan yield obligasi pemerintah 10 tahun sebesar 0. Berbeda dengan AS, Inggris dan Jepang, pertumbuhan PDB Kawasan Euro stagnan di level 1,6 seperti pada triwulan sebelumnya. Konsumsi dan keyakinan konsumen masih melemah yang disebabkan oleh pengangguran yang masih tinggi, masalah pengungsi dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menjadikan prospek ekonomi semakin suram. Konsumsi yang lemah juga diikuti oleh pelemahan aktivitas produksi sepanjang TW3-16. Di sisi lain, aktivitas perdagangan terus membaik dimana ekspor mulai tumbuh positif dan kontraksi impor semakin menyempit. Di tengah konsumsi yang masih lemah, inflasi justru meningkat cukup signifikan. Inflasi merayap naik dari 0,1 yoy pada Juni 2016 menjadi 0,5 pada Oktober 2016. Sebagaimana di berbagai negara lain, peningkatan inflasi didorong oleh harga minyak yang cenderung meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Meski meningkat, level inflasi tersebut masih jauh di bawah target sehingga ECB tetap mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. ECB bahkan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset quantitative easing.

2.3 PERKEMBANGAN NEGARA BERKEMBANG