Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

(1)

1

Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Kata Pengantar

Dengan segenap kerendahan hati, kami mengucapkan syukur kepada Tuhan YME atas terselesaikannya penyusunan makalah Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5 (TW3-16). Kelompok negara maju mengalami perkembangan yang menggembirakan dengan AS mencatatkan pertumbuhan yang cukup signifikan, diikuti perbaikan di Jepang, Inggris dan Kawasan Euro. Pertumbuhan ekonomi negara berkembang cukup impresif, ditopang oleh stabilnya pertumbuhan Tiongkok dan India, serta akselerasi PDB Viet Nam dan Malaysia. Namun di sisi lain, PDB Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura tumbuh melambat.

Sejumlah peristiwa di tataran global cukup mengguncang dunia. Setelah dikejutkan oleh keputusan rakyat Inggris yang ingin melepaskan diri dari Uni Eropa, dunia kembali tersentak oleh terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil pemilu yang diluar ekspektasi pasar, segera menimbulkan gejolak di pasar keuangan dan memicu aksi flight to quality. Spekulasi mengenai timing kenaikan Fed Fund Rate juga menyebabkan pasar bergejolak. Dinamika global dan risiko yang membayanginya menjadi pokok bahasan fora kerja sama internasional. Berbagai kesepakatan telah diraih untuk memitigasi risiko rambatannya. Respons kebijakan yang dilakukan secara terkoordinir antar otoritas lintas negara merupakan salah satu solusi yang disepakati.


(2)

2

Perkembangan Ekonomi Global dan ASEAN-5

Daftar Isi

KATA PENGANTAR i

DAFTAR ISI ii

BAB I PENDAHULUAN Surviving the challenges 3

BAB II PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL 2.1 Perkembangan Ekonomi Global 7

2.2 Perkembangan Negara Maju 10

2.3 Perkembangan Negara Berkembang 13

2.4 Outlook Ekonomi Global 2016-2017 17

BAB III ASEAN-5 3.1 Pertumbuhan Ekonomi ASEAN-5 20

BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan 29

DAFTAR PUSTAKA 31


(3)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 SURVIVING THE CHALLENGES

Ekonomi global berhasil tumbuh membaik pada TW3-16 didorong oleh perbaikan pertumbuhan di negara maju dan berkembang. Kinerja ini menjadi lebih berarti karena dicapai di tengah munculnya berbagai negative shocks yang menghambat pemulihan global. Dunia dikejutkan oleh hasil referendum Inggris yang dimenangkan kubu Brexit, sehingga berimbas mengguncang pasar keuangan global di awal TW3-16. Pasar keuangan global juga menjadi semakin volatile akibat berlanjutnya ketidakpastian timing kenaikan Fed Fund Rate (FFR) berikutnya. Sementara itu, hasil pemilihan Presiden AS yang dimenangkan Donald Trump juga sempat menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Selain berdampak negatif terhadap pasar keuangan, berbagai isu tersebut meningkatkan ketidakpastian arah perkembangan ekonomi global ke depan sehingga memengaruhi aktivitas ekonomi secara keseluruhan.

Perbaikan kinerja ekonomi global di TW3-16 didukung oleh peningkatan konsumsi yang diikut oleh perbaikan moderat net ekspor. Perbaikan aktivitas konsumsi terbantu oleh kebijakan moneter yang cenderung akomodatif di sejumlah negara. Peningkatan konsumsi sedikit memperbaiki kinerja ekspor-impor di banyak negara, namun belum cukup kuat untuk menggerakkan produksi dan investasi. Peningkatan konsumsi juga belum cukup kuat meningkatkan inflasi yang masih berada di level rendah, meskipun menunjukkan sedikit peningkatan di negara maju.

Negara maju memperoleh momentum penguatan ekonomi, setelah melambat dalam empat triwulan terakhir. AS, Inggris dan Jepang membukukan pertumbuhan PDB yang cukup signifikan, sementara PDB Kawasan Euro relatif stabil. Perbaikan ekonomi AS disertai dengan inflasi yang terakselerasi dan sektor tenaga kerja yang mulai pulih. Namun pertumbuhan ekonomi AS belum sepenuhnya didukung oleh faktor fundamental. Peningkatan net ekspor dipengaruhi oleh kendala produksi di negara pesaing dagang sehingga bersifat temporer. Sedangkan investasi lebih disumbang oleh meningkatnya inventories.

Ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan, meskipun secara umum masih lemah. Pertumbuhan dimotori oleh kinerja net ekspor yang mendorong produksi domestik.


(4)

Kendati demikian, masyarakat masih menahan konsumsi karena berhati-hati dengan prospek ekonomi ke depan. Terlebih dengan tingkat upah yang tidak meningkat signifikan sekalipun pasar tenaga kerja semakin ketat. Pendapatan luar negeri dari perusahaan-perusahaan Jepang juga menurun akibat lesunya perekonomian global dan apresiasi yen. Dengan perkembangan tersebut, inflasi masih terus menurun dan mengalami deflasi, meskipun kebijakan moneter BOJ semakin akomodatif.

Pertumbuhan PDB Kawasan Euro TW3-16 tumbuh stabil di angka 1,6%, dengan inflasi yang terakselerasi. Sebagaimana di kawasan lain, peningkatan inflasi dipicu oleh kenaikan harga minyak, dan masih jauh di bawah target. Kondisi ini mendasari kebijakan moneter ECB untuk tetap akomodatif dan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset (quantitative easing).

Negara berkembang kembali tumbuh impresif pada TW3-16, ditopang oleh stabilitas Tiongkok dan India, serta akselerasi Vietnam dan Malaysia. Pertumbuhan Tiongkok yang stabil bersumber dari konsumsi dan investasi yang solid, didorong oleh investasi pemerintah. Perkembangan sektor jasa yang semakin dominan mengindikasikan bahwa proses rebalancing terus berlanjut. Inflasi kembali meningkat namun masih relatif rendah dan terkendali sehingga kebijakan moneter tetap akomodatif. Sementara fiskal cenderung ekspansif untuk menstimulasi sektor konstruksi dan restrukturisasi NPL.

India diperkirakan tumbuh impresif pada triwulan ini, didorong konsumsi akibat kenaikan gaji pegawai negeri sipil (PNS) dan musim perayaan keagamaan. Namun demikian, investasi belum bergerak searah dengan konsumsi, karena persediaan yang masih cukup besar. Net ekspor berkontribusi positif pada pertumbuhan melalui penurunan defisit perdagangan. Inflasi menurun signifikan karena berakhirnya musim kemarau sehingga memperbaiki harga dan pasokan makanan. RBI menerapkan kebijakan moneter akomodatif yang bersinergi dengan ekspansi fiskal untuk mendorong ekonomi. Di lain sisi, pemerintah berusaha terus melakukan reformasi struktural dan memperbaiki iklim investasi melalui program “Make in India”.

Pertumbuhan ekonomi negara ASEAN beragam dengan kecenderungan melambat, namun tetap berada pada angka pertumbuhan yang relatif tinggi. PDB Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura tumbuh melambat, karena melemahnya konsumsi (Indonesia dan Thailand) dan net ekspor (Filipina dan Singapura). Sebaliknya PDB Malaysia dan Vietnam tumbuh meningkat, didorong perbaikan investasi dan net ekspor. Kebijakan moneter negara


(5)

ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku bunga kebijakan (7 days reverse repo) pada September dan Oktober 2016. Negara ASEAN lain mempertahankan suku bunga kebijakan yang telah berada di level rendah.

Kinerja ekonomi global yang sedikit membaik menghadapi tantangan yang tidak ringan, diantaranya keputusan Brexit, terpilihya Donald Trump sebagai presiden AS, dan ekspektasi kenaikan FFR. Berbagai peristiwa tersebut yang juga diiringi dengan meningkatnya risiko geopolitik menjadi perhatian fora kerja sama internasional. Upaya memperkuat resiliensi kawasan terus dilanjutkan untuk mengantisipasi spillover negative global. Gubernur Bank Sentral EMEAP menegaskan bahwa komunikasi dan kerja sama antar otoritas lintas negara sangat penting untuk memperkuat stabilitas global. IMF dan G20, memberikan rekomendasi dan komitmen bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas sistem keuangan global, termasuk upaya meningkatkan peran perdagangan dalam membantu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi global.

Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed, dimana harga minyak relatif stabil, komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung menurun. Harga minyak bertahan pada kisaran USD48 per barel (minyak jenis Brent), setelah meningkat cukup signifikan di TW2-16. Kegagalan pengendalian produksi oleh OPEC dan non-OPEC menahan tren kenaikan harga minyak. Sebaliknya, harga komoditas tambang cenderung masih terus meningkat, terutama copper, alumunium dan zinc. Sementara itu, harga komoditas pertanian bergerak bervariasi, dengan harga gandum dan beras cenderung menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi meningkat. Dengan perkembangan tersebut ekonomi global sepanjang 2016 diperkirakan tumbuh 3,1% perkiraan IMF dalam WEO Oktober 2016 atau sama dengan pertumbuhan pada 2015. Meskipun stagnan, ekonomi global berpotensi untuk tumbuh lebih tinggi mengingat berlanjutnya perbaikan di sektor ketenagakerjaan –penurunan angka pengangguran dan kenaikan upah– yang meningkatkan daya beli. Kendati demikian, perbaikan daya beli diperkirakan belum sepenuhnya terefleksi pada konsumsi dan investasi (barang modal), mengingat banyak masyarakat yang memilih menabung (berjaga-jaga) menghadapi prospek ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.


(6)

Lebih lanjut, ekonomi global pada 2017 diperkirakan dapat tumbuh mencapai 3,4% (IMF–WEO Juli 2016 dan WEO Oktober 2016). Peningkatan tersebut didorong baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Di kelompok negara maju, pertumbuhan dimotori oleh AS, Jepang dan Kanada. Sementara pertumbuhan di Kawasan Euro dan Inggris diperkirakan melambat akibat realisasi proses Brexit. Pertumbuhan negara berkembang akan lebih merata sejalan dengan ekspektasi perbaikan harga komoditas. Tiongkok diproyeksikan tumbuh melambat dalam program rebalancing, sedangkan India tumbuh stabil di level yang tinggi.

Beberapa faktor risiko perlu mendapat perhatian karena dapat menahan pemulihan global (downside risks). Beberapa diantaranya adalah (i) risiko politik –berlanjutnya tekanan disintegrasi Uni Eropa dan implementasi janji kampanye Donald Trump yang dapat menekan kinerja ekonomi global; (ii) proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi secara smooth (hard Brexit); serta faktor risiko lama seperti (iii) kenaikan FFR dan (iv) rebalancing ekonomi.


(7)

BAB II

Perkembangan Ekonomi Global

2.1 PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL

Kinerja global setidaknya membaik pada TW3-16, terlepas dari berbagai permasalahan yang justru semakin banyak dan semakin berat. Ekonomi global di TW3 tumbuh 3,16% yoy, meningkat dari 3,05% pada triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan terjadi cukup merata, baik di negara maju maupun di negara berkembang (Grafik 1.1). Membaiknya pertumbuhan pada umumnya didorong oleh konsumsi yang cenderung meningkat -termasuk konsumsi produk

impor- yang selanjutnya diikuti oleh perbaikan perdagangan (ekspor dan impor).

% yoy 4,00

3,50 3,48 3,41 3,34 3,39 3,37 3,26

3,50 3,06 3,12 3,16

3,00 3,05

2,50

2,

44

2,

38

2,00 2,73 2,72 2,63 2,55 2,38 2,31 2,48 2,45 2,52

1,50

1,00

0,50 0,77 0,76 0,78 0,79 0,95 0,99 0,88 0,75 0,65 0,60 0,65

0,00

TW1 TW2 TW3 TW4 TW1 TW2 TW3 TW4 TW1 TW2 TW3*

2014 2015 2016

Kontribusi Negara Maju Kontribusi Negara Berkembang PDB Dunia Sumber: Bloomberg, Consensus Forecast Okt-16

Grafik 1.1 Pertumbuhan Global (Komposit)

Grafik 1.2 Pertumbuhan Individu Negara TW2 VS TW3 Grafik 1.4 PMI Manufaktur

Grafik 1.3. Pertumbuhan Penjualan Ritel Grafik 1.5 Pertumbuhan Ekspor Global (komposit)


(8)

Namun demikian, peningkatan konsumsi tersebut relatif masih sangat terbatas sehingga belum cukup signifikan meningkatkan perdagangan, aktivitasb produksi dan inflasi. Peningkatan konsumsi terutama terjadi di negara berkembang, sementara konsumsi di negara maju masih tertahan oleh berbagai permasalahan (seperti masalah Brexit di Inggris dan Kawasan Euro, serta pemilihan presiden di AS) yang menjadikan keyakinan konsumen menurun (Grafik 1.3). Konsumsi yang meningkat juga mendorong peningkatan ekspor dan impor secara lebih merata, baik di negara berkembang, maupun di negara maju. Meskipun ekspor-impor cenderung membaik, namun peningkatan ekspor dan impor masih terbatas dan secara keseluruhan masih belum setinggi tahun sebelumnya (Grafik 1.5 dan 1.6). Permintaan yang meningkat tersebut pada gilirannya menggerakkan aktivitas produksi (Grafik 1.4).

Grafik 1.6 Pertumbuhan Impor Global (Komposit) Grafik 1.7 Inflasi Global (Komposit)

Permintaan domestik yang meningkat belum diikuti oleh konsumsi yang relatif masih bergerak stabil. Namun, sebenarnya terjadi pergerakan inflasi yang berbeda antara negara maju dan negara berkembang (Grafik 1.7). Di negara maju, konsumsi yang sedikit melambat justru diikuti oleh peningkatan inflasi. Namun peningkatan inflasi tersebut lebih banyak didorong oleh harga energi yang masih meningkat. Sebaliknya, inflasi di negara berkembang cenderung menurun meskipun permintaan domestik (konsumsi) meningkat. Inflasi yang bergerak menurun lebih disebabkan oleh turunnya harga barang pangan (volatile food) sejalan dengan pasokan bahan pangan yang kembali membaik dengan kondisi cuaca yang lebih kondusif. Peningkatan inflasi di negara maju yang dikompensasi oleh penurunan inflasi di negara berkembang menjadikan inflasi dunia relatif stabil. Selain itu, level inflasi tersebut secara umum juga masih rendah dan masih di bawah target inflasi masing-masing negara. Sejalan dengan kinerja ekonomi yang sedikit membaik dan pergerakan inflasi yang masih terkendali, kebijakan moneter global secara umum tetap bias akomodatif untuk terus mendorong aktivitas ekonomi dan inflasi.


(9)

Terlepas dari kinerjanya yang kembali membaik, ekonomi global dihadapkan pada tantangan dan permasalahan yang semakin berat. Beberapa diantaranya adalah hasil referendum di Inggris yang secara tidak terduga dimenangkan oleh kubu Brexit (Juni 2016), krisis pengungsi di Kawasan Euro, ketidakpastian kenaikan Fed Fund Rate, dan yang terakhir hasil pemilihan presiden di AS yang secara tidak terduga dimenangkan oleh Donald Trump. Berbagai permasalahan tersebut dalam jangka pendek menjadikan pasar keuangan global semakin volatile. Aliran modal ke negara berkembang yang semakin meningkat dalam beberapa waktu terakhir juga semakin sensitif terhadap sentimen negatif yang muncul di pasar keuangan. Sentimen negatif tersebut dapat memicu terjadinya aliran modal keluar (sudden capital reversal), yang selanjutnya mengakibatkan jatuhnya harga aset keuangan dan nilai tukar mata uang domestik. Selain itu, isu Brexit dan ketidakpastian arah kebijakan presiden baru AS juga berdampak negatif pada aktivitas ekonomi, termasuk memengaruhi perilaku konsumen yang menjadi lebih menahan konsumsi karena ketidakpastian prospek ekonomi ke depan.

Lebih jauh lagi, dampak Brexit dan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS diperkirakan juga akan berdampak pada jangka menengah-panjang mengingat kedua faktor tersebut berpotensi memengaruhi atau bahkan mengubah tatanan perekonomian global – terutama dalam hal perdagangan dunia. Brexit memaksa Inggris untuk menjalin perjanjian kerjasama perdagangan (ekonomi) baru dengan berbagai negara sehingga berpotensi mengubah pola perdagangan Inggris, tidak hanya dengan Kawasan Euro namun juga dengan dunia. Sementara itu, Presiden AS terpilih, Donald Trump, diperkirakan akan menjadikan AS lebih protektif, terutama terhadap Tiongkok dan Mexico – sesuai janji kampanye Trump untuk mengenakan tarif tinggi pada produk Tiongkok dan menekan imigran dari Mexico. Namun, dampak proteksionisme Trump dapat memengaruhi pola perdagangan dunia mengingat AS dan Tiongkok merupakan pelaku utama dalam perdagangan dunia.


(10)

2.2 PERKEMBANGAN NEGARA MAJU

Kelompok negara maju

menunjukkan perkembangan yang menggembirakan dengan kinerja ekonomi yang mulai membaik dan kembali tumbuh meningkat di TW3-16 setelah dalam 4 triwulan sebelumnya (TW3-15 s/d TW2-16) terus melambat. Peningkatan pertumbuhan negara maju didorong oleh AS, Jepang dan Inggris yang pertumbuhannya meningkat cukup signifikan. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Kawasan Euro relatif stabil di TW3-16 (sama dengan triwulan sebelumnya), dan tidak lagi terus melambat sebagaimana terjadi pada TW1 dan TW2 (Grafik 1.8).

Di antara negara-negara maju, AS menunjukkan kinerja yang paling solid dimana pertumbuhan meningkat dan inflasi telah (rebound) kembali pada tren peningkatan.


(11)

Perkembangan yang membaik juga ditunjukkan oleh sektor tenaga kerja dimana angka pengangguran telah mencapai level yang rendah dan stabil dan upah mulai menunjukkan tren yang terus meningkat. Namun demikian, ekonomi AS belum sepenuhnya pulih dari krisis dan masih terdapat beberapa weak spots, seperti investasi modal tetap (Gross Fixed Capital Formation) yang masih rendah, ketersediaan tenaga kerja (Labor Participation Rate) yang menurun, dan peningkatan employment yang lebih banyak didorong oleh part-time jobs.

Pertumbuhan PDB STW-16 meningkat mencapai 1,5%1 yoy –dari 1,3% di TW2- yang didorong oleh perbaikan investasi dan net ekspor. Meski meningkat, pertumbuhan PDB tersebut juga menunjukkan bahwa perbaikan kinerja ekonomi tersebut belum sepenuhnya didukung oleh fundamental ekonomi yang membaik. Peningkatan net ekspor lebih disebabkan oleh kinerja ekspor yang membaik karena kendala produksi yang terjadi di negara pesaing ekspor AS. Sementara itu, perbaikan investasi lebih banyak disumbang oleh kenaikan inventories, dan bukan didukung oleh investasi barang modal yang meningkatkan kapasitas produksi perekonomian. Di satu sisi, peningkatan inventories dapat mengindikasikan aktivitas produksi yang meningkat untuk merespons peningkatan permintaan, sehingga pada gilirannya berkontribusi positif terhadap Angka estimasi awal (first estimate) PDB AS oleh biro statistik dan angka tersebut biasanya direvisi beberapa kali sebelum diperoleh angka aktual.

PDB. Di sisi lain, peningkatan inventories justru menunjukkan konsumsi yang lemah dimana persediaan barang yang belum terjual meningkat. Dalam kasus ini yang terjadi adalah kemungkinan yang kedua. Hal ini ditunjukkan oleh pertumbuhan konsumsi yang melambat di tengah aktivitas produksi yang juga melambat.

Komponen PDB lainnya yaitu konsumsi dan pengeluaran pemerintah justru tumbuh melambat. Konsumsi yang memiliki kontribusi terbesar terhadap PDB tumbuh 2,6%, sedikit melambat dari tumbuh 2,7% pada TW2-16. Melambatnya pertumbuhan konsumsi sejalan dengan penurunan pertumbuhan penjualan ritel dan menurunnya keyakinan konsumen antara lain disebabkan ketidakpastian prospek ekonomi AS, termasuk ketidakpastian pasca pemilihan presiden AS. Sementara itu, pengeluaran pemerintah tumbuh melambat menjadi 0,3% (dari 0,7%), padahal defisit keuangan pemerintah (fiskal) mengalami peningkatan mencapai -3,1% dari PDB (dari -2,5% di TW2-16).


(12)

Konsumsi yang melambat dan permintaan eksternal masih lemah berdampak pada penurunan aktivitas produksi produksi industri tumbuh melambat, namun keyakinan bisnis (ISM/PMI ) bervariasi. Sementara itu, tekanan inflasi cenderung bergerak naik, meskipun konsumsi melambat, akibat harga minyak dan komoditas global yang sedikit meningkat pada beberapa waktu terakhir.

Dengan perkembangan indikator ekonomi yang belum cukup stabil membaik dan memburuk secara silih berganti The Fed mempertahankan Fed Fund Rate (FFR) tetap dalam kisaran 0,25% - 0,50%. The Fed juga memerhatikan vulnerabilitas pasar keuangan global yang cenderung memburuk -pasca Brexit- sehingga memutuskan untuk mempertahankan FFR. Namun, the Fed diperkirakan akan menaikan FFR pada Desember 2016.

Selain AS, kinerja ekonomi yang cukup solid juga ditunjukkan oleh perekonomian inggris meskipun negara ini sedang menghadapi ketidakpastian pasca referendum yang dimenangkan kubu Brexit. PDB Inggris pada TW3-16 tumbuh meningkat mencapai 2,3% (dari 2,1% pada TW2-16) yang didukung secara lebih merata oleh konsumsi, investasi dan net ekspor. Konsumsi yang meningkat didorong oleh perbaikan angka pengangguran. Pada saat yang sama pelemahan pound sterling -termasuk pasca referendum Brexit-mendorong ekspor dan menekan impor sehingga net ekspor membaik. Selanjutnya, peningkatan permintaan domestik dan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi dan investasi.

Permintaan domestik yang meningkat juga berdampak pada kenaikan inflasi yang meningkat dua kali lipat sepanjang TW3-16. Inflasi Inggris meningkat dari 0,5% di Juni 2016 menjadi 1,0% di September 2016. Namun demikian, peningkatan inflasi tidak mencegah

Bank of England yang melonggarkan kebijakan moneternya dengan menurunkan suku bunga kebijakan dan meningkatkan injeksi likuiditas ke perekonomian pasca referendum Brexit melalui program pembelian aset (quantitative easing). Berbeda dengan kebijakan moneter yang ekspansif, kebijakan fiskal Inggris tetap bersifat konsolidatif untuk menekan defisit fiskal. Sejauh ini konsolidasi fiskal yang dilakukan telah berhasil menurunkan defisit fiskal dari -10,2% PDB pasca GFC 2008 menjadi -3,9% pada TW2-16.


(13)

Kinerja ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan secara gradual, meskipun kondisinya secara umum masih lemah. PDB Jepang pada TW3-16 kembali tumbuh meningkat mencapai 0,9%, setelah pada triwulan sebelumnya mulai rebound dan tumbuh 0,6%. Peningkatan pertumbuhan PDB tersebut disumbang oleh perbaikan net ekspor dimana kinerja ekspor membaik lebih cepat dibanding impor sehingga berkontribusi meningkatkan pertumbuhan, Sementara itu, konsumsi dan investasi relatif masih lemah. Konsumsi yang masih lemah disebabkan oleh masyarakat yang lebih berhati-hati dalam pengeluarannya akibat prospek ekonomi yang belum membaik dan menurunnya pendapatan dari luar negeri sebagaimana tercermin pada penurunan pertumbuhan Gross National Income (GNI). Penurunan pendapatan luar negeri tersebut semakin terasa signifikan akibat tren apresiasi yen terhadap US dollar dan mata uang mitra dagang.

Di sisi produksi, perbaikan ekspor mendorong peningkatan aktivitas produksi, meskipun peningkatannya masih sangat terbatas. Produksi industri sedikit meningkat, sejalan dengan sentimen bisnis yang masih bias ekspansif. Sejalan dengan peningkatan produksi, sektor ketenagakerjaan cenderung masih ketat dimana angka pengangguran telah berada di level yang rendah dan rasio lowongan kerja terhadap pencari kerja yang masih meningkat. Namun demikian, peningkatan upah masih terbatas akibat kondisi bisnis yang secara umum masih lesu.

Kondisi ekonomi Jepang yang masih lemah tercermin pada perkembangan harga yang masih mengalami deflasi. Pada September 2016 tercatat deflasi sebesar -0,5% yoy, sedikit memburuk dibanding posisi Juni 2016 yang terdeflasi -0,4%. Kondisi ekonomi yang lemah dan tingkat inflasi yang semakin menjauh dari target mendorong Bank of Japan untuk menerapkan kebijakan moneter yang semakin agresif, termasuk dengan menerapkan framework kebijakan moneter baru, yaitu yield control, dengan menetapkan yield obligasi pemerintah 10 tahun sebesar 0%.

Berbeda dengan AS, Inggris dan Jepang, pertumbuhan PDB Kawasan Euro stagnan di level 1,6% seperti pada triwulan sebelumnya. Konsumsi dan keyakinan konsumen masih melemah yang disebabkan oleh pengangguran yang masih tinggi, masalah pengungsi dan keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang menjadikan prospek ekonomi semakin suram. Konsumsi yang lemah juga diikuti oleh pelemahan aktivitas produksi sepanjang TW3-16. Di


(14)

sisi lain, aktivitas perdagangan terus membaik dimana ekspor mulai tumbuh positif dan kontraksi impor semakin menyempit.

Di tengah konsumsi yang masih lemah, inflasi justru meningkat cukup signifikan. Inflasi merayap naik dari 0,1% yoy pada Juni 2016 menjadi 0,5% pada Oktober 2016. Sebagaimana di berbagai negara lain, peningkatan inflasi didorong oleh harga minyak yang cenderung meningkat dalam beberapa waktu terakhir. Meski meningkat, level inflasi tersebut masih jauh di bawah target sehingga ECB tetap mempertahankan kebijakan moneter yang akomodatif. ECB bahkan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset (quantitative easing).

2.3 PERKEMBANGAN NEGARA BERKEMBANG

Kelompok negara berkembang kembali tumbuh meningkat pada TW3-16. Peningkatan pertumbuhan antara lain ditopang oleh Tiongkok yang tumbuh stabil serta India dan beberapa negara ASEAN (Vietnam dan Malaysia) yang tumbuh meningkat (Grafik 1.9). Perbaikan kinerja ekonomi tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi dan net ekspor.

Pertumbuhan PDB Tiongkok pada TW3-16 bertahan di level 6,7%, sama dengan triwulan sebelumnya. Konsumsi relatif membaik dimana penjualan ritel cenderung tumbuh meningkat sepanjang TW3. Selain itu, kontribusi investasi relatif stabil, terutama berkat dukungan investasi

Grafik 1.9 Pertumbuhan Ekonomi Negara Berkembang

publik yang masih cukup tinggi. Di sisi lain, ekspor dan impor masih menurun, namun ekspor menurun lebih tajam dibanding impor, sehingga diperkirakan berdampak menekan


(15)

pertumbuhan PDB. Secara sektoral, sektor tersier (jasa) terus tumbuh meningkat sementara sektor sekunder (manufaktur) tumbuh relatif stabil. Perkembangan tersebut secara tidak langsung mengindikasikan bahwa proses rebalancing ekonomi masih terus berlangsung.

Sejalan dengan konsumsi yang membaik, tekanan inflasi juga kembali meningkat mencapai 2,1% pada Oktober 2016, dari sebesar 1,9% pada Juni 2016. Angka inflasi tersebut relatif masih rendah dan terkendali, sehingga PBOC tetap menerapkan kebijakan moneter yang cenderung akomodatif. Di sisi fiskal, pemerintah tetap memberikan stimulus melalui berbagai proyek konstruksi, serta pengeluaran untuk restrukturisasi NPL bank. Operasi tersebut menjadikan defisit fiskal meningkat.

Terlepas dari pertumbuhan ekonomi yang stabil, perekonomian Tiongkok masih menghadapi beberapa tantangan yang cukup mengganggu kinerja ekonomi. Beberapa permasalahan dimaksud antara lain adalah pelemahan kinerja korporasi di tengah posisi utang yang sudah cukup tinggi sehingga mulai mendorong kenaikan NPL, munculnya kembali indikasi bubble di sektor properti dan berlanjutnya aliran modal keluar. Permasalahan tersebut selain mengganggu berjalannya aktivitas ekonomi, juga menyerap resources yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi, misalnya restrukturisasi NPL yang menyerap sebagian anggaran pemerintah.

Kinerja ekonomi India menunjukkan indikasi perbaikan sehingga PDB pada TW3-16 diperkirakan akan kembali meningkat mencapai 7,4%, dari tumbuh 7,1% pada triwulan sebelumnya. Peningkatan pertumbuhan tersebut didorong oleh peningkatan konsumsi yang didukung oleh kenaikan gaji pegawai negeri sipil. Selain itu, peningkatan konsumsi juga dipengaruhi faktor musiman perayaan hari besar keagamaan. Namun demikian, peningkatan konsumsi masih belum diikuti oleh aktivitas produksi yang meningkat. Hal ini diperkirakan karena inventory yang masih mencukupi untuk memenuhi permintaan konsumen. Sentimen bisnis juga masih membaik sebagaimana ditunjukkan oleh Purchasing Manager Index yang terus meningkat.

Faktor lain yang mendorong pertumbuhan adalah net ekspor yang diperkirakan juga membaik. Ekspor dan impor terus membaik, meskipun masih mengalami kontraksi dibanding tahun sebelumnya. Ekspor terus membaik dimana kontraksinya terus menurun dan bahkan


(16)

mulai tumbuh positif pada akhir TW3-16. Sementara itu, impor juga menunjukkan kinerja yang terus membaik sehingga kontraksinya juga terus menyempit.

DI tengah aktivitas ekonomi yang kembali meningkat, laju inflasi justru mengalami penurunan. Inflasi menurun cukup signifikan dari 5,8% di akhir TW2-16 menjadi 4,3% di akhir TW3. Perkembangan inflasi India tersebut berbeda dengan tren inflasi dunia yang cenderung meningkat sepanjang TW3. Hal ini disebabkan oleh berakhirnya musim kemarau sehingga produksi pertanian kembali normal dan harga produk makanan (volatile food) menurun cukup signifikan.

Tekanan inflasi yang menurun memberikan ruang untuk pelonggaran kebijakan moneter. Hal ini dimanfaatkan oleh RBI untuk menurunkan suku bunga kebijakan pada MPC meeting Oktober 2016. Di sisi keuangan pemerintah, defisit fiskal diperkirakan akan melebar dengan ditingkatkannya gaji PNS namun defisit diperkirakan tidak akan melebihi 3,5% dari PDB untuk tahun fiskal 2016/2017. Pada saat yang sama pemerintah melanjutkan berbagai reformasi yang ditujukan untuk memperbaiki iklim investasi dalam rangka menarik lebih banyak investasi asing. Upaya ini sejalan dengan program jangka menengah-panjang yang dikenal dengan Make in India’.

Pertumbuhan ekonomi negara ASEAN bervariasi namun dengan kecenderungan melambat di TW3-16. PDB Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura tumbuh melambat, yang pada umumnya disebabkan oleh melemahnya konsumsi (Indonesia dan Thailand) dan net ekspor (Filipina dan Singapura). Meskipun tumbuh melambat, laju pertumbuhan PDB negara ASEAN tersebut pada umumnya masih berada pada level yang tinggi yang menunjukkan masih cukup kuatnya fundamental ekonomi negara-negara tersebut. Sementara itu, PDB Malaysia dan Vietnam mengalami peningkatan pertumbuhan yang didorong oleh peningkatan investasi dan net ekspor.

Tekanan inflasi di negara ASEAN secara umum masih terkendali dan masih di bawah target inflasi masing-masing negara, meskipun menunjukkan tren yang meningkat. Tren inflasi yang meningkat menunjukkan kondisi ekonomi yang masih cukup baik, di samping juga didorong oleh kenaikan harga minyak dan komoditas global. Singapura masih mengalami deflasi yang menunjukkan masih lemahnya permintaan domestik. Singapura yang perekonomiannya bergantung pada sektor eksternal (ekspor barang dan jasa) sangat terpukul


(17)

dengan terus melemahnya perekonomian dunia yang diikuti dengan turunnya volume perdagangan.

Dengan kinerja ekonomi yang sedikit melambat dan laju inflasi yang relatif rendah, kebijakan moneter negara ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku bunga kebijakan (7 days reverse repo) pada September dan Oktober 2016 (masing-masing 25 bps menjadi 4,75%). Sementara itu, negara ASEAN lain mempertahankan suku bunga kebijakan yang telah berada pada level yang rendah.

Perkembangan ekonomi global yang sedikit membaik juga diwarnai oleh munculnya beberapa events yang menjadi tantangan dalam memulihkan dan mendorong kinerja ekonomi global. Events dimaksud adalah referendum2 di Inggris yang hasilnya dimenangkan oleh kubu Brexit sehingga Inggris akan keluar dari Uni Eropa, ketidakpastian timing kenaikan Fed Fund Rate berikutnya dan pemilihan presiden di AS yang dimenangkan oleh Donald Trump yang berpotensi memengaruhi perekonomian global. Events tersebut berdampak mengguncang pasar keuangan global, terutama di negara berkembang yang mengalami sudden capital reversal yang diikuti oleh jatuhnya harga aset dan nilai tukar. Investor global pada umumnya melepas investasinya, baik di saham, obligasi korporasi, maupun obligasi pemerintah. Selanjutnya investor menarik keluar investasinya dari negara berkembang dan dialihkan ke safe haven assets. Akibatnya, harga aset keuangan di negara berkembang jatuh dan disertai dengan melemahnya mata uang domestik. Terkait referendum di Inggris yang secara mengejutkan dimenangkan oleh kubu yang pro keluar dari Uni Eropa (Brexit) membuat pelaku pasar melakukan pengalihan asetnya ke aset yang lebih aman (flight to safety), namun dampaknya lebih dirasakan di UK dan negara-negara Eropa. Sementara itu, terpilihnya Donald Trump sebagai presiden AS juga mengejutkan pasar sehingga berdampak sangat besar pada gejolak pasar keuangan serta imbasnya lebih luas dan merata, termasuk ke negara berkembang di kawasan Asia.

Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed dimana harga minyak relatif stabil, harga komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung menurun. Harga minyak cenderung bergerak stabil di sekitar USD48 per barrel (minyak jenis Brent), setelah meningkat cukup signifikan di TW2-16. Ketidakberhasilan upaya pengendalian produksi oleh OPEC dan non-OPEC menjadikan tren kenaikan harga minyak tertahan. Berbeda dengan minyak, harga komoditas tambang cenderung masih terus


(18)

meningkat. Beberapa komoditas tambang yang mengalami kenaikan harga adalah copper, aluminium dan zinc.

Sementara itu, harga komoditas pertanian bergerak sangat bervariasi. Harga gandum dan beras cenderung menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi meningkat.

2.4 OUTLOOK EKONOMI GLOBAL 2016-2017

Dengan kinerja ekonomi global yang cenderung stagnan dalam periode TW1 s/d TW3-16, ekonomi global sepanjang 16 diperkirakan hanya tumbuh 3,1% -perkiraan IMF dalam WEO Oktober 2016- atau sama dengan pertumbuhan pada 2015. Meskipun stagnan, ekonomi global memiliki potensi untuk tumbuh lebih tinggi mengingat terus berlanjutnya perbaikan employment -penurunan angka pengangguran dan kenaikan upah- sehingga daya beli relatif membaik. Namun, perbaikan daya beli tersebut belum sepenuhnya terimplementasi pada peningkatan konsumsi dan investasi (barang modal), mengingat konsumen lebih memilih menabung atau investasi pada aset keuangan dan properti untuk berjaga-jaga menghadapi prospek ekonomi yang masih penuh ketidakpastian.


(19)

Tabel 1.1 Outlook Ekonomi Global

% yoy

World Economic Perubahan dari OECD Perubahan dari

Outlook WEO Juli 2016 OECD Jun-16

2016 2017 2016 2017 2016 2017 2016 2017

Dunia 3,1 3,4 0,0 0,0 2,9 3,2 -0,1 -0,1

Aes 1,6 1,8 -0,2 0,0 - - -

-Dunia (PDB PPP) - - -

-Amerika Serikat 1,6 2,2 -0,6 -0,3 1,4 2,1 -0,4 -0,1 Kawasan Euro 1,7 1,5 0,1 0,1 1,5 1,4 -0,1 -0,3

Jerman 1,7 1,4 0,1 0,2 1,8 1,5 0,2 -0,2

Perancis 1,3 1,3 -0,2 0,1 1,3 1,3 -0,1 -0,2

Italia 0,8 0,9 -0,1 -0,1 0,8 0,8 -0,2 -0,6

Spanyol 3,1 2,2 0,5 0,1 - - -

-Inggris 1,8 1,1 0,1 -0,2 1,8 1,0 0,1 -1,0

Jepang 0,5 0,6 0,2 0,5 0,6 0,7 -0,1 0,3

EMDEs 4,2 4,6 0,1 0,0 - - -

-Brazil -3,3 0,5 0,0 0,0 -3,3 -0,3 1,0 1,4

Russia -0,8 1,1 0,4 0,1 - - -

-Tiongkok 6,6 6,2 0,0 0,0 6,5 6,2 0,0 0,0

India* 7,6 7,6 0,2 0,2 7,4 7,5 0,0 0,0

Indonesia 4,9 5,3 - - -

-Malaysia 4,3 4,6 - - -

-Filipina 6,4 6,7 - - -

-Singapura 1,7 2,2 - - -

-Thailand 3,2 3,3 - - -

-Viet Nam 6,1 6,2 - - -

-Sumber: IMF-WEO Oktober 2016, OECD Economic Outlook and Interim Global Economic Assessment September 2016 Ket: *) Fiscal years starting in April

Ekonomi global pada 2017 diperkirakan dapat tumbuh meningkat mencapai 3,4% (IMF – WEO Juli 2016 dan WEO Oktober 2016). Peningkatan pertumbuhan akan didorong baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Di kelompok negara maju, peningkatan pertumbuhan diperkirakan akan terjadi di AS, Jepang dan Kanada. Sementara pertumbuhan di Kawasan Euro dan Inggris diperkirakan melambat yang disebabkan dimulainya proses pemisahan Inggris dari Uni Eropa. Di sisi lain, pertumbuhan di kelompok negara berkembang diperkirakan meningkat secara lebih merata, termasuk negara-negara eksportir komoditas sejalan dengan ekspektasi terus membaiknya harga komoditas. Tiongkok diperkirakan akan tumbuh melambat sejalan dengan rebalancing ekonominya yang masih terus berlangsung, sementara India tumbuh stabil di level yang tinggi.

Namun demikian, terdapat beberapa faktor risIko yang dapat menjadikan pertumbuhan ekonomi global lebih rendah dari perkiraan tersebut (downside risks). Beberapa faktor risiko dimaksud adalah (i) risiko politik yang cenderung meningkat -termasuk berlanjutnya tekanan terhadap integrasi Uni Eropa, keluarnya Skotlandia dan Inggris Raya, serta implementasi janji kampanye Donald Trump, (ii) proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi secara smooth (hard Brexit), serta faktor risiko lama yang masih tetap ada, yaitu (iii) kenaikan FFR dan (iv) rebalancing ekonomi Tiongkok yang menyebabkan pertumbuhan turun lebih tajam dibanding perkiraan.


(20)

Terkait risiko proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa, IMF dalam WEO Juli 2016 mengestimasi dampaknya pada perekonomian global dalam dua skenario, yaitu Downside Scenario dan Severe Scenario. Pada Downside Scenario diasumsikan bahwa keluarnya UK dari Uni Eropa mengakibatkan likuiditas global menjadi lebih ketat dan keyakinan konsumen/ bisnis sedikit menurun, sehingga berdampak pada penurunan konsumsi dan investasi. Hal ini berdampak pada penurunan pertumbuhan global menjadi 2,9% di 2016 dan 3,1% di 2017. Penurunan terutama terjadi di kelompok negara maju, terutama Inggris dan Uni Eropa yang terdampak langsung. Sementara itu, negara berkembang terkena dampaknya secara lebih terbatas.

Pada Severe Scenario terjadi gejolak yang lebih besar di pasar keuangan (financial stress) sehingga likuiditas menjadi sangat ketat dan berpengaruh pada penurunan keyakinan konsumen dan keyakinan bisnis secara lebih signifikan. Akibatnya, konsumsi dan investasi menurun tajam dan ekonomi global hanya tumbuh sebesar 2,8% di 2016 dan 2017.

Terkait risiko politik di AS dimana Presiden Donald Trump akan menjadikan AS lebih protektif dengan stimulus fiskal yang lebih agresif, ekonomi AS diperkirakan dapat tumbuh jauh lebih tinggi dari perkiraan (2,2% di 2017). Pengeluaran infrastruktur yang lebih besar diperkirakan akan menyerap lebih banyak tenaga kerja dan meningkatkan upah yang pada gilirannya meningkatkan daya beli dan konsumsi masyarakat. Kebijakan memotong pajak diperkirakan dapat memperkuat sisi pasokan dan mendorong aktivitas bisnis, terutama untuk merespons peningkatan permintaan domestik. Di sisi lain, kebijakan perdagangan yang lebih protektif akan menekan net ekspor, sehingga lebih mendorong pertumbuhan.

Meskipun kebijakan dimaksud di atas memberikan benefit bagi perekonomian AS, kebijakan yang lebih protektif tersebut berpotensi mengurangi positive spillover ke negara mitra dagang dan ekonomi global, sehingga dampaknya pada pertumbuhan ekonomi global menjadi lebih terbatas. Selain itu, kebijakan proteksionisme tersebut diperkirakan dapat mengun dang retaliasi dari negara-negara yang merasa dirugikan. Hal ini dapat berdampak pada pola perdagangan yang lebih protektif sehingga akan semakin menekan volume perdagangan dunia, menimbulkan inefisiensi dan pada akhirnya berdampak negatif pada pertumbuhan ekonomi global. Terlepas berbagai potensi dampaknya, implementasi janji kampanye Presiden Trump masih tetap penuh dengan ketidakpastian -di samping beberapa kebijakan diperkirakan tidak applicable- sehingga dunia masih harus menunggu hingga Presiden Trump dilantik dan mengumumkan kebijakan-kebijakannya.


(21)

BAB III

ASEAN-5

3.1 PERTUMBUHAN EKONOMI ASEAN-5

Pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 pada TW3-16 bergerak variatif. Perbaikan kinerja ekonomi terjadi di Filipina, Vietnam, dan Malaysia yang ditopang oleh aktivitas konsumsi domestik. Berbeda dengan negara peers, ekonomi Thailand dan Singapura pada triwulan ketiga 2016 semakin melambat. Pelemahan permintaan global dan sejumlah faktor domestik menjadi penghalang tercapainya level pertumbuhan yang lebih tinggi di kedua negara tersebut. Bahkan, pertumbuhan ekonomi Singapura mencatatkan performa terburuk sejak 2009.

Perbedaan performa ekonomi di ASEAN-5 juga terefleksi pada laju inflasi yang bervariasi. Rata-rata indeks harga konsumen Viet Nam dan Filipina pada triwulan laporan terakselerasi sebagai dampak kenaikan harga pangan, dan uang pangkal sekolah. Di sisi lain, Malaysia dan Thailand justru mengalami penurunan indeks harga konsumen yang semakin menjauhi target. Sementara Singapura masih berjuang untuk keluar dari zona deflasi di tengah berlanjutnya perlambatan harga rumah.

Kondisi ekonomi kawasan yang resilien di tengah ketidakpastian pemulihan ekonomi global, menjadi pertimbangan bagi IMF untuk meyakini perbaikan ekonomi ASEAN ke depan. Kendati demikian, sejumlah risiko masih membayangi outlook perekonomian kawasan. Risiko eksternal berpotensi muncul dari perlambatan ekonomi negara mitra dagang utama seperti Tiongkok dan EU, tren penurunan harga komoditas dunia, serta rencana kenaikan suku bunga the Fed pada akhir 2016. Faktor risiko semakin bertambah dengan terjadinya Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam pilpres AS yang meningkatkan ketidakpastian di pasar keuangan regional. Kebijakan Trump di sektor perdagangan yang mengarah pada proteksionisme berpotensi menahan ekspor negara kawasan ASEAN-5. Sementara itu, dari sisi domestik faktor risiko bersifat idiosinkratik, antara lain instabilitas politik, konsolidasi fiskal, serta meningkatnya utang swasta dan kredit macet.

Di tengah pemulihan ekonomi global yang belum sesuai harapan, perekonomian ASEAN-5 pada triwulan ketiga 2016 menunjukkan pergerakan yang beragam. Filipina, Vietnam serta Malaysia menjadi negara yang mencatatkan perbaikan pertumbuhan ekonomi. Filipina melanjutkan pertumbuhan ekonominya yang solid pada TW3-16 mencapai 7,1% yoy,


(22)

naik tipis dari triwulan sebelumnya (7,0%). Angka ini bahkan melebihi ekspektasi para pelaku pasar (6,7%). Kondisi ini ditopang oleh aktivitas konsumsi rumah tangga yang stabil dengan tumbuh 6,4%, di tengah tingginya arus pengiriman uang dari tenaga kerja Filipina di luar negeri (remitansi). Di samping itu, pertumbuhan yang stabil juga didorong pengeluaran pemerintah (sebesar 17,4% pada TW3-16 dan TW2-16) sejalan dengan dimulainya realisasi pembangunan multi-years proyek infrastruktur senilai USD160 miliar.

Perekonomian Vietnam tumbuh impresif mencapai 6,4% pada TW3-16, lebih tinggi dari 5,8% pada triwulan sebelumnya. Perbaikan terjadi secara merata pada seluruh sektor dengan pertumbuhan tertinggi dicatatkan oleh sektor industri dan konstruksi TW2-16 yang mencapai 7,5% (dari 7,1% pada TW2-16). Sementara sektor pertanian berhasil keluar dari zona kontraksi, dan tumbuh 0,7% (dari -0,2% pada triwulan sebelumnya) setelah berakhirnya masa kekeringan57 yang melanda Viet Nam pada awal 2016. Meski pertumbuhan relatif meningkat, rata-rata pertumbuhan ekonomi Viet Nam selama tiga triwulan hanya mencapai 5,9% dan masih jauh dari target pemerintah (6,7% yoy).

PDB Malaysia pada TW3-16 tumbuh menguat mencapai 4,3%, dari 4,0% pada triwulan sebelumnya dan melebihi ekspektasi pasar (4,0%). Kinerja perekonomian khususnya ditopang oleh konsumsi domestik yang tetap solid dengan pertumbuhan mencapai 6,4%, dari 6,3% pada TW2-16, seiring kenaikan upah minimum per 1 Juli 201658. Ekspansi konsumsi domestik disertai dengan perlambatan aktivitas impor berhasil mengompensasi perlambatan yang terjadi pada pengeluaran pemerintah, ekspor maupun aktivitas investasi.

Di sisi lain, perekonomian Singapura melemah tajam menjadi hanya 0,6% yoy, dari 2,0% pada TW2-16. Angka pertumbuhan tersebut lebih lambat dari ekspektasi pasar (1,7%) dan jauh di bawah rata-rata historikal jangka panjang (10 tahun) yang mencapai 5,2%. Pelemahan ekonomi yang terjadi semakin menguatkan pandangan banyak pihak bahwa perlambatan ekonomi dunia serta pelemahan harga minyak berdampak cukup signifikan bagi ekonomi Singapura. Secara sektoral, industri jasa yang menyumbang sekitar 60% PDB mengalami kontraksi hingga 0,1% pada TW3-16, dari 1,2% di TW2-16 sebagai imbas melambatnya penjualan ritel. Kinerja industri jasa menjadi yang terburuk sejak global financial crisis. Sementara itu, jatuhnya permintaan alat transportasi, biomedis, dan beberapa peralatan lainnya mengakibatkan kontraksi pada sektor manufaktur hingga ke level 1,1%, dari 1,4% di TW2-16.


(23)

Kinerja ekonomi Thailand tumbuh melambat ke level 3,2% pada TW3-16, dari 3,5% pada triwulan lalu, dan di bawah ekspektasi pasar (3,3%). Strategi front loading yang dilakukan pemerintah ‘negeri gajah putih’ mengakibatkan anggaran pemerintah pada akhir 2016 menipis dan berkurangnya pengeluaran pemerintah pada TW3-16 hingga ke level kontraksi -5,8% pada TW3-16, dari tumbuh 1,5% pada triwulan sebelumnya. Di samping itu, perlambatan juga terjadi pada aktivitas konsumsi rumah tangga serta investasi swasta di tengah instabilitas politik.

Grafik 1.98 PDB ASEAN-5 Grafik 1.99 Penjualan Ritel ASEAN-5

Permintaan yang belum solid, baik dari domestik maupun eksternal menyebabkan aktivitas konsumsi di kawasan ASEAN-5 tumbuh terbatas. Rata-rata penjualan ritel Thailand dan Singapura masing-masing turun ke level 3,2% dan 0,8% pada TW3-1660, dibandingkan triwulan sebelumnya yang mencapai 4,8% dan 2,6%. Pelemahan yang terjadi di Thailand disebabkan oleh kontraksi penjualan pada kelompok durable goods (seperti hardware dan perabot rumah tangga). Sementara di Singapura, penurunan terjadi pada sebagian besar kelompok barang (pakaian, perabot rumah tangga hingga obat-obatan) di tengah lesunya perekonomian dalam negeri dan peningkatan angka pengangguran.

Sementara itu, Vietnam masih menorehkan pertumbuhan ritel yang impresif sebesar 9,3% yoy pada TW3-16, meskipun sedikit melambat dibandingkan triwulan kedua 2016 (9,4%). Namun, pertumbuhan ini terindikasi semu dan lebih dipengaruhi faktor kenaikan harga. Apabila faktor harga dikecualikan, General Statistic Office melihat tren penurunan pertumbuhan penjualan akibat sentimen negatif masyarakat di tengah fluktuasi harga energi, biaya kesehatan serta pendidikan.


(24)

Performa terburuk ditunjukkan oleh Malaysia pada TW3-16, dengan penurunan penjualan kendaraan indikator konsumsi domestik terpangkas hingga -11,8% dari -6,5% pada triwulan sebelumnya. Kondisi ini disebabkan penurunan drastis pada Juli 2016 hingga -27,6% yoy yang terpengaruh faktor musiman. Hari Raya Idul Fitri yang bergeser menjadi minggu pertama Juli 2016 (dari minggu ketiga Juli 2015) telah menggeser pola konsumsi masyarakat. Di samping itu, penurunan terpengaruh minimnya launching kendaraan model baru sepanjang periode Agustus-September 2016.

Berbeda dengan negara peers, Filipina menjadi satu-satunya negara yang mengalami ekspansi penjualan ritel. Realisasi pertumbuhan penjualan ritel pada TW3-16 mencapai 2,2%, naik tipis dari 2,1% pada triwulan kedua 2016. Permintaan domestik yang solid di tengah perbaikan pada sektor tenaga kerja telah memperbaiki penjualan ritel di Filipina. Institute of Grocery Distribution (IGD) memproyeksikan penjualan ritel (khususnya di pasar swalayan) akan semakin menguat dan tumbuh mencapai 10% yoy pada tahun 2020.

Merespons permintaan yang belum solid, aktivitas produksi ASEAN-5 pada triwulan ketiga 2016 cenderung bergerak melemah. Produksi industri di Thailand menurun cukup drastis hingga terkontraksi -0,4% dari tumbuh 1,7% pada TW2-16. Permintaan global yang masih lesu, khususnya dari negara tujuan ekspor Thailand (Jepang dan Eropa), serta sentimen bisnis yang buruk di tengah instabilitas politik menjadi penyebab dibalik perlambatan produksi. Kondisi ini turut dikonfirmasi oleh penurunan rata-rata utilisasi kapasitas dan sentimen bisnis yang tertahan masing-masing ke level 64 dan 49 pada TW3-16, dari 64,5 dan 50 pada triwulan kedua 2016. Perlambatan turut dialami oleh Singapura. Pelaku bisnis cenderung berhati-hati dan menahan ekspansi usaha, terutama oil services companies merespons harga minyak yang relatif masih rendah. Akibatnya, aktivitas produksi Singapura pada TW3-16 tertahan pada level 1,3% pada TW3-16, dari 1,4% pada triwulan sebelumnya.

Tren penurunan produksi juga terjadi di Vietnam, yang tumbuh melambat ke level 7,3% pada TW3-16, dari 7,7% pada triwulan sebelumnya. Harga komoditas yang masih rendah di tengah biaya produksi yang justru semakin tinggi64 memicu penurunan produksi khususnya pada sektor pertambangan. Kondisi ini dikonfirmasi oleh perusahaan tambang terbesar di Vietnam (Vinacomin) yang memangkas proyeksi produksinya pada 2016 menjadi 36,5 juta ton, dari yang telah ditargetkan pada awal tahun (39 juta ton).


(25)

Di sisi lain, aktivitas produksi Malaysia mengalami akselerasi mencapai 4,1% dari 3,7% pada triwulan kedua 2016. Perbaikan ditengarai dipengaruhi oleh harga komoditas minyak mentah dan gas alam yang mengalami rebound, serta meningkatnya output pada subsektor barang elektronik, obat-obatan dan plastik. Pertumbuhan pesat juga ditunjukkan oleh Filipina yang berhasil mencapai 6,8% dari 5,0% pada TW2-16. Aktivitas produksi terdorong implementasi berbagai proyek infrastruktur (baik dari sektor publik maupun swasta) dan berdampak pada meningkatnya output kelompok capital goods, khususnya peralatan transportasi serta mesin. Utilisasi kapasitas di Filipina turut terdorong naik ke level 83,5% dari 83,4% pada triwulan kedua 2016.

Grafik 1.100 Produksi Industri

Laju inflasi kawasan ASEAN-5 juga bergerak variatif. Rata-rata indeks harga konsumen TW3-16 Viet Nam, dan Filipina secara berturut-turut membaik ke level 2,8% dan 2,0%, masing-masing dari 2,2% dan 1,5% pada TW2-16. Kenaikan uang pangkal sekolah seiring dimulainya tahun ajaran baru, yang diikuti dengan lonjakan harga kelompok makanan dan energi menjadi pendorong kenaikan indeks harga konsumen di Vietnam. Sementara peningkatan laju inflasi di Filipina lebih dipengaruhi oleh tren kenaikan harga pangan, pelemahan nilai tukar serta low base effect dari kelompok nonmakanan.

Dinamika yang berbeda ditunjukkan oleh Thailand dan Malaysia, dengan pergerakan indeks harga yang justru menurun pada triwulan ketiga tahun 2016. Pergerakan harga di Thailand melambat ke level 0,26% (dari 0,30% TW2-16) sementara Malaysia turun ke level 1,37% (dari 1,9% TW2-16). Tren penurunan harga di Thailand dipengaruhi oleh deflasi harga perumahan yang terus berlanjut serta melambatnya harga kelompok makanan. Sementara penurunan harga di Malaysia terjadi pada hampir semua kelompok barang akibat base effect yang cukup tinggi pada tahun lalu pasca pemberlakuan GST.


(26)

Singapura menjadi satu-satunya negara di kawasan ASEAN yang masih berjuang untuk keluar dari zona deflasi 65 di tengah jatuhnya harga sektor perumahan. Meskipun masih deflasi, indeks harga konsumen Singapura cenderung membaik menjadi rata-rata -0,4%, dari -0,9% pada triwulan kedua 2016. Perbaikan ini terjadi akibat akselerasi harga kelompok makanan serta rebound harga minyak dunia yang mendorong kenaikan harga transportasi. Dengan perkembangan yang demikian, secara umum pergerakan inflasi di ASEAN masih berada di bawah target otoritas moneter masing-masing negara66.

Dinamika perekonomian global yang kian kompleks dan dinilai dapat berimbas pada perekonomian domestik menjadi pertimbangan bagi otoritas moneter di kawasan untuk mempertahankan stance kebijakan moneter yang akomodatif. Bank sentral Malaysia (BNM) mempertahankan suku bunga kebijakan sebesar 3,0%, Bank of Thailand (1,5%), Bank Sentral Filipina (3%), dan Bank Sentral Vietnam (6,5%). Kebijakan ini dipandang sebagai langkah yang tepat untuk mendorong aktivitas ekonomi domestik dengan tetap mempertahankan stabilitas harga di tengah kondisi ekonomi global yang masih lesu, perkembangan pasar keuangan global yang dibayangi ketidakpastian, dan harga komoditas yang masih rendah. Kebijakan moneter akomodatif juga didukung oleh sikap kehati-hatian otoritas moneter ASEAN di tengah berbagai peristiwa di level global67 yang berpotensi memberikan spillover negatif, khususnya bagi pasar keuangan regional.

Grafik 1.101 Inflasi

Otoritas monneter singapura, Monetary Authority of Singapore/MAS) juga mempertahankan stance kebijakannya selama triwulan laporan. Pada Monetary Policy Committee (MPC) meeting 14 Oktober 2016, MAS kembali mengafirmasi kebijakan moneternya dengan stance netral melalui penetapan policy band perubahan NEER (Nominal Effective Exchange Rate) SGD pada 0%. Kebijakan tersebut bertujuan untuk menggerakan


(27)

roda perekonomian domestik di tengah arus modal yang mendorong apresiasi SGD dan dapat berdampak pada daya saing ekspor. MAS juga meyakini bahwa kebijakan moneter dengan stance netral tersebut sesuai dengan kondisi perekonomian domestik yang termoderasi dan inflasi inti pada jangka menengah yang diperkirakan masih rendah. Lebih jauh lagi, MAS juga menyatakan bahwa kebijakan moneter dengan stance netral akan dipertahankan untuk periode yang lebih lama jika diperlukan untuk menjamin stabilitas harga pada jangka menengah.

Grafik 1.102 Suku Bunga Kebijakan Grafik 1.103 Kebijakan Moneter Singapura

Pencapaian perekonomian ASEAN-5 yang terhitung cukup robust dengan dukungan kebijakan moneter dan fiskal yang akomodatif menjadi alasan yang kuat bagi IMF untuk meyakini outlook pertumbuhan ekonomi ASEAN-5 tetap kuat. Dalam WEO Oktober 2016, IMF memperkirakan ekonomi ASEAN-5 akan tetap tumbuh tinggi di tengah faktor ketidakpastian eksternal yang meningkat. IMF merevisi ke atas pertumbuhan ekonomi 2016 Filipina dan Thailand. Filipina diprediksi dapat tumbuh sebesar 6,4% yoy pada 2016 (dari 6,0% pada proyeksi Juli 2016) dan meningkat ke 6,7% pada 2017. Pertumbuhan diperkirakan ditopang oleh konsumsi domestik yang semakin tinggi dan belanja pemerintah yang meningkat. Sementara perekonomian Thailand diperkirakan tumbuh sebesar 3,2% pada 2016 (dari 3,0% pada proyeksi Juli 2016) dan 3,3% pada 2017, didukung oleh pulihnya konsumsi swasta dan sektor pariwisata. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Singapura dan Vietnam dipertahankan masing-masing sebesar 1,7% dan 6,1% di 2016, tidak berubah dari proyeksi Juli 2016. Berbeda dengan keempat negara peers, pertumbuhan ekonomi Malaysia 2016 direvisi ke bawah menjadi 4,3% (dari 4,4%) setelah mempertimbangkan risiko utang swasta yang tinggi dan tren harga komoditas yang berimbas pada rendahnya penerimaan ekspor. Senada dengan IMF, otoritas moneter ASEAN-5 dan CF juga meyakini bahwa ekonomi masing-masing negara di kawasan masih on-track (Tabel Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi).


(28)

% yoy

Negara IMF-WEO Oktober 2016 CF Oktober 2016 Bank Sentral 2016 2017 2016 2017 2016 2017

Malaysia 4,3 4,6 4,1 4,3 4,0 - 4,5 n.a. Filipina 6,4 6,7 6,5 6,1 6,0 - 7,0 6,5 - 7,5

Singapura 1,7 2,2 1,7 1,8 1,0 n.a.

Thailand 3,2 3,3 3,2 3,3 3,2 3,3

Vietnam 6,1 6,2 6,1 6,5 6,3 - 6,5 6,7

Tabel 1.12 Proyeksi Inflasi

% yoy

Negara IMF-WEO Oktober Bank Sentral 2016 2017 2016 2017 Target

Malaysia 2,1 3,0 2,0 - 3,0 n.a. 3,0

Filipina 2,0 3,5 1,7 3,0 2,0 - 4,0

Singapura*) 0,8 1,4 1,0 1,0 - 2,0 n.a.

Thailand 0,3 1,6 0,3 2,0 1,0 - 4,0

Vietnam 2,0 3,6 4,0 4,0 5,0

IMF juga menilai bahwa inflasi di kawasan ASEAN-5 masih berada pada level yang rendah pada 2016. IMF mempertahankan proyeksi inflasi Filipina, Singapura, dan Vietnam. Pergerakan harga dinilai masih akan rendah, sejalan dengan tren harga komoditas dunia. Inflasi di Filipina, Singapura, dan Vietnam diperkirakan mencapai 2,0%, 0,8%, dan 2,0%, tidak berubah dari proyeksi sebelumnya. Sementara itu, outlook inflasi Malaysia pada 2016 dikoreksi menjadi 2,1% akibat masih rendahnya harga komoditas serta high base effect pasca pemberlakuan GST di 2015. Inflasi Thailand diperkirakan tumbuh 0,3% pada 2016 (dari 0,2% di proyeksi Juli), dengan mempertimbangkan faktor kekeringan dan instabilitas politik yang dapat mengganggu sisi penawaran. Pergerakan harga di kawasan secara umum diproyeksikan meningkat pada 2017 seiring dengan meredanya tren penurunan harga komoditas dunia.

Perekonomian ASEAN masih menghadapi beberapa downside risks. Secara umum, risiko eksternal bagi ASEAN berasal dari (i) perlambatan ekonomi mitra dagang, khususnya Tiongkok dan beberapa negara maju, yang akan berimbas pada penurunan kinerja ekspor negara di kawasan; (ii) ketidakpastian kondisi pasar keuangan global yang dapat menimbulkan efek spillover ke pasar keuangan regional sehingga memberikan tekanan pada nilai tukar; dan (iii) rendahnya harga komoditas dunia, khususnya minyak. Bagi negara net eksportir minyak mentah seperti Malaysia dan Vietnam, pelemahan harga minyak dunia dapat menahan laju pertumbuhan ekonomi ke depan melalui jalur pelemahan ekspor dan penurunan produksi.


(29)

Sedangkan bagi negara net importir minyak seperti Thailand dan Filipina, pelemahan harga minyak dapat mendorong pertumbuhan dan menekan laju inflasi. Perekonomian Singapura yang turut ditopang oleh industri perminyakan juga berpotensi mengalami penurunan.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS juga menimbulkan risiko. Kebijakan Trump di sektor perdagangan yang mengarah pada proteksionisme berpotensi menahan ekspor negara kawasan ASEAN-5. Kerjasama perdagangan dan investasi TPP (Trans-Pacific Partnership) juga berpotensi batal atau ditunda. Jika TPP dibatalkan, Vietnam, Singapura, dan Malaysia akan kehilangan potensi pasar yang cukup besar dari implementasi TPP terutama ke negara AS dan Jepang. Tekanan juga datang dari prospek kenaikan Fed Fund Rate yang diprediksi akan terjadi pada akhir 201669. Kenaikan FFR berpotensi mendorong pembalikan arus modal dari kawasan ke AS sehingga akan berimbas pada depresiasi nilai tukar dan meningkatnya kerentanan eksternal.

Beberapa risiko eksternal yang bersifat non-ekonomis juga masih membayangi prospek pertumbuhan ekonomi ASEAN. Tensi antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN khususnya Filipina meningkat pasca putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS PBB atas sengketa wilayah di Laut Cina Selatan70 pada Juli 2016. Hal itu berpotensi menjadi sumber risiko yang dapat memengaruhi kerjasama perdagangan dan investasi antara kedua negara tersebut. Tensi geopolitik semakin tereskalasi setelah Pemerintah Tiongkok secara resmi menyatakan penolakan atas hasil putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS tersebut.

Risiko juga datang dari dalam negeri dan cenderung bersifat unik. Kerentanan dari sektor rumah tangga Malaysia akibat peningkatan utang masih menjadi risiko yang membayangi prospek pertumbuhan negeri jiran tersebut. Selain itu, risiko juga berasal dari proses hukum yang tengah berlangsung mengenai kasus pencucian uang di perusahaan investasi milik pemerintah 1 Malaysia Development Berhad (1MDB). Kasus pencucian uang tersebut diduga melibatkan beberapa oknum Pemerintah Malaysia sehingga menimbulkan instabilitas kondisi politik domestik. Situasi politik domestik yang belum stabil juga masih membayangi outlook perbaikan perekonomian Thailand. Di Vietnam, masalah kredit macet, restrukturisasi BUMN, dan tingginya utang publik menjadi faktor yang dikhawatirkan dapat berimbas negatif pada pertumbuhan ekonomi ke depan.


(30)

BAB IV

KESIMPULAN

Ekonomi global pada TW3-16 kembali menunjukkan perbaikan kinerja dimana pertumbuhan output kembali meningkat. Peningkatan pertumbuhan tersebut disumbang oleh negara maju -termasuk AS dan Jepang- dan negara berkembang. Membaiknya perekonomian pada umumnya didukung oleh peningkatan konsumsi yang diikuti dengan membaiknya net ekspor di beberapa negara. Indikasi membaiknya perekonomian juga ditunjukkan oleh kecenderungan inflasi yang bergerak meningkat -meskipun sebagian peningkatan tersebut juga disebabkan oleh harga energi yang relatif lebih tinggi. Meski meningkat, level inflasi di berbagai negara pada umumnya masih jauh di bawah target inflasi masing-masing negara tersebut.

Satu hal yang menjadikan peningkatan kinerja ekonomi global lebih berarti adalah peningkatan pertumbuhan tetap dapat terjadi di tengah meningkatnya tantangan yang dihadapi perekonomian global. Di awal TW3-16 ekonomi global dikejutkan oleh Brexit yang sempat mengguncang pasar keuangan global. Tantangan lain yang juga berdampak besar pada ekonomi global adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil pemilihan ini cukup mengejutkan pasar mengingat hasil survei oleh berbagai lembaga sebelum pelaksanaan pemilihan umum (8 November 2016) menunjukkan keunggulan tipis Hillary Clinton atas Donald Trump. Hal ini memicu reaksi pelaku pasar untuk melakukan penyesuaian portfolio secara cukup signifikan sehingga pasar keuangan global bergejolak, terutama di negara berkembang. Diantara kedua event tersebut, pasar juga sempat beberapa kali bergejolak yang dipicu oleh ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.

Di pasar komoditas global, harga komoditas menunjukkan perkembangan yang sangat bervariasi, namun dengan kecenderungan meningkat. Harga minyak relatif bergerak stabil setelah meningkat di TW2-16. Harga komoditas tambang masih terus meningkat bahkan dengan peningkatan yang cukup signifikan. Sementara itu, harga komoditas pertanian

bervariasi dimana beberapa komoditas -seperti minyak sawit dan kopi- meningkat, namun

beberapa komoditas lainnya -seperti gandum dan beras- menurun. Kecenderungan harga komoditas yang meningkat memberikan dampak positif bagi negara produsen dan eksportir komoditas.


(31)

Di tengah tantangan ekonomi global yang semakin meningkat, kebijakan moneter di berbagai negara tetap bias akomodatif, termasuk BOE yang semakin akomodatif untuk menetralisir dampak Brexit. Sejalan dengan pelonggaran oleh BOE, ECB juga tetap akomodatif dan memperpanjang masa implementasi program pembelian aset. BOJ juga semakin akomodatif dan menerapkan mekanisme operasi moneter baru dengan target yield obligasi pemerintah. Di sisi lain, the Fed masih mencari timing yang tepat untuk kembali menaikkan Fed Fund Rate. Kenaikan FFR berikutnya diperkirakan akan dilakukan pada Desember 2016. Dengan demikian, dikotomi kebijakan moneter negara maju kembali mengemuka dan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan negara berkembang.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, outlook pertumbuhan ekonomi global di 2016 diperkirakan sebesar 3,1% di 2016, sama dengan pertumbuhan 2015. Selanjutnya, pada 2017 pertumbuhan berpotensi meningkat mencapai 3,4%, apabila proses Brexit terjadi secara smooth dan kebijakan AS di bawah Presiden Trump tidak memicu gejolak atau pelemahan ekonomi global. Selain proses Brexit dan implementasi janji kampanye Presiden Trump, ekonomi global juga menghadapi downside risks lain, yaitu meningkatnya tekanan terhadap integritas Uni Eropa, dampak rebalancing pada pelemahan ekonomi Tiongkok yang lebih dalam, dan kenaikan FFR selanjutnya.


(32)

Daftar Pustaka

Alessandria, G., Kaboski, J., & Midrigan, V. (2010). The Great Trade Collapse of 2008–09: An Inventory Adjustment? IMF Economic Review.

Armelius, H., Belfrage, C.-J., & Stenbacka, H. (2014). The Mystery of the Missing World Trade Growth after the Global Financial Crisis. Sveriges Riksbank Economic Review

2014:3 .

Baker, S., Bloom, N., & Davis, S. (2016). Measuring Economic Policy Uncertainty.

Brander, J., & Krugman, P. (1983). A ‘reciprocal dumping’ model of international trade.

Journalof International Economics 15 (3–4), 313–321 .

Bussière, M., Pérez-Barreiro, E., Straub, R., & Taglioni, D. (2010). Protectionist Responses to the Crisis. Global Trend and Implication. ECB Occational Paper Series No 110 . Constatinescu et al. (2015). The Global Trade Slowdown: Cyclical or Structural. IMF

WorkingPaper No15/6 .

Gaulier, G., Santoni, G., Taglioni , D., & Zignago, S. (2013). Market Shares in the Wake of Global Crisis: the Quarterly Export Competitiveness Database. Banque de France

WorkingPaper No.427 .

Georgiadis, G., & Gräb, J. (2013). Growth, real Exchange Rates and Trade Protectionism Since the Financial Crisis. ECB Working Paper 1618 .

IMF. (2016). Global Financial Stability Report (GFSR): Fostering Stability in a Low-Growth, Low-Rate Era. 2.

Irwin, D. (2002). Long-Run Trends In World Trade and Income. World Trade Review 1(1) . Kyle, B., & Staiger, R. W. (2003). Protection and the Business Cycle. Advances in Economic

Analysis and Policy .

Ludema, Madya, & Mishara. (2015). Information and Legislative Bargaining: The Political Economy of U.S. Tariff Suspensions.

Novy, D. (2012). Gravity Redux: Measuring International Trade Costs with Panel Data.”.

Economic Inquiry 51 (1): 101–121 .

Novy, D., & Taylor, A. (2014). Uncertainty and the Great Trade Collapse: New evidence.

CEPR .

Taglioni, D., & Zavacka, V. (2013). Innocent Bystanders: How Foreign Uncertainty Shocks Harm Exporters. ECB Working Paper No. 1530 .


(33)

Daftar Singkatan

AMRO

ASEAN+3 Macroeconomic Research Office

APP

Asset Purchase Programme

ASEAN

Association of South East Asian Nations

ASEAN5

Negara ASEAN yang terdiri dari Vietnam,

Malaysia, Singapura, Thailand,

Filipina

BIS

Bank for International Settlements

BNM

Bank Negara Malaysia

BOE

Bank of England

BOJ

Bank of Japan

BOT

Bank of Thailand

BSP

Bangko Sentral ng Pilipinas

BUMN

Badan Usaha Milik Negara

CA

Current Account

CF

Consensus Forecast

CMIM

Chiang Mai Initiative Multilateralization

CNH

Chinese Yuan (Offshore)

CNY

Chinese Yuan/Renminbi

CPI

Consumer Price Index

CSPP

Corporate Sector Purchase Programme

ECB

European Central Bank

EMEAP

Executives Meeting of East Asia Pacific Central

Banks

ETFs

Exchange-Traded Funds

EU

European Union

FAI

Fixed Asset Investment

FDI

Foreign Direct Investment

FFR

Fed Fund Rate

FOMC

Federal Open Market Committee

FTA

Free Trade Area

G20

Group-20 yang terdiri dari Argentina, Australia,

Brazil, Kanada, China,

Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang,

Meksiko, Rusia, Arab

Saudi, Afrika Selatan, Korea, Turki, Inggris, Amerika

Serikat dan Uni Eropa

GBP

Great Britain Poundsterling

GFC

Global Financial Crisis


(34)

GFSN

Global Financial Safety Net

GST

Goods and Services Tax

GVCs

Global Value Chains

GWM

Giro Wajib Minimum

IMF

International Monetary Fund

IO

International Organization

JGB

Japanese Government Bond

JPY

Japanese Yen

KPR

Kredit Pemilikan Rumah

MAS

Monetary Authority of Singapore

MPC

Monetary Policy Committee

NPL

Non Performing Loans

MPM

Monetary Policy Meeting

OECD

Organisation for Economic Co-operation and Development

OPR

Overnight Policy Rate

PBOC

People’s Bank of China

PDB

Produk Domestik Bruto

PMI

Purchasing Manager Index

PPI

Producer Price Index

QQE

Quantitative and Qualitative Easing

RBI

Reserve Bank of India

RFA

Regional Financial Arrangement

RMB

Renmimbi

ROI

Return on Investment

SBV

State Bank of Vietnam

SDR

Special Drawing Rights

SGD

Singapore Dollar

TW

Triwulan

USD

US Dollar

WEO

World Economic Outlook

WTI

Western Texas Intermediate


(1)

Sedangkan bagi negara net importir minyak seperti Thailand dan Filipina, pelemahan harga minyak dapat mendorong pertumbuhan dan menekan laju inflasi. Perekonomian Singapura yang turut ditopang oleh industri perminyakan juga berpotensi mengalami penurunan.

Terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS juga menimbulkan risiko. Kebijakan Trump di sektor perdagangan yang mengarah pada proteksionisme berpotensi menahan ekspor negara kawasan ASEAN-5. Kerjasama perdagangan dan investasi TPP (Trans-Pacific Partnership) juga berpotensi batal atau ditunda. Jika TPP dibatalkan, Vietnam, Singapura, dan Malaysia akan kehilangan potensi pasar yang cukup besar dari implementasi TPP terutama ke negara AS dan Jepang. Tekanan juga datang dari prospek kenaikan Fed Fund Rate yang diprediksi akan terjadi pada akhir 201669. Kenaikan FFR berpotensi mendorong pembalikan arus modal dari kawasan ke AS sehingga akan berimbas pada depresiasi nilai tukar dan meningkatnya kerentanan eksternal.

Beberapa risiko eksternal yang bersifat non-ekonomis juga masih membayangi prospek pertumbuhan ekonomi ASEAN. Tensi antara Tiongkok dan beberapa negara ASEAN khususnya Filipina meningkat pasca putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS PBB atas sengketa wilayah di Laut Cina Selatan70 pada Juli 2016. Hal itu berpotensi menjadi sumber risiko yang dapat memengaruhi kerjasama perdagangan dan investasi antara kedua negara tersebut. Tensi geopolitik semakin tereskalasi setelah Pemerintah Tiongkok secara resmi menyatakan penolakan atas hasil putusan Mahkamah Arbitrase UNCLOS tersebut.

Risiko juga datang dari dalam negeri dan cenderung bersifat unik. Kerentanan dari sektor rumah tangga Malaysia akibat peningkatan utang masih menjadi risiko yang membayangi prospek pertumbuhan negeri jiran tersebut. Selain itu, risiko juga berasal dari proses hukum yang tengah berlangsung mengenai kasus pencucian uang di perusahaan investasi milik pemerintah 1 Malaysia Development Berhad (1MDB). Kasus pencucian uang tersebut diduga melibatkan beberapa oknum Pemerintah Malaysia sehingga menimbulkan instabilitas kondisi politik domestik. Situasi politik domestik yang belum stabil juga masih membayangi outlook perbaikan perekonomian Thailand. Di Vietnam, masalah kredit macet, restrukturisasi BUMN, dan tingginya utang publik menjadi faktor yang dikhawatirkan dapat berimbas negatif pada pertumbuhan ekonomi ke depan.


(2)

BAB IV

KESIMPULAN

Ekonomi global pada TW3-16 kembali menunjukkan perbaikan kinerja dimana pertumbuhan output kembali meningkat. Peningkatan pertumbuhan tersebut disumbang oleh negara maju -termasuk AS dan Jepang- dan negara berkembang. Membaiknya perekonomian pada umumnya didukung oleh peningkatan konsumsi yang diikuti dengan membaiknya net ekspor di beberapa negara. Indikasi membaiknya perekonomian juga ditunjukkan oleh kecenderungan inflasi yang bergerak meningkat -meskipun sebagian peningkatan tersebut juga disebabkan oleh harga energi yang relatif lebih tinggi. Meski meningkat, level inflasi di berbagai negara pada umumnya masih jauh di bawah target inflasi masing-masing negara tersebut.

Satu hal yang menjadikan peningkatan kinerja ekonomi global lebih berarti adalah peningkatan pertumbuhan tetap dapat terjadi di tengah meningkatnya tantangan yang dihadapi perekonomian global. Di awal TW3-16 ekonomi global dikejutkan oleh Brexit yang sempat mengguncang pasar keuangan global. Tantangan lain yang juga berdampak besar pada ekonomi global adalah terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS. Hasil pemilihan ini cukup mengejutkan pasar mengingat hasil survei oleh berbagai lembaga sebelum pelaksanaan pemilihan umum (8 November 2016) menunjukkan keunggulan tipis Hillary Clinton atas Donald Trump. Hal ini memicu reaksi pelaku pasar untuk melakukan penyesuaian portfolio secara cukup signifikan sehingga pasar keuangan global bergejolak, terutama di negara berkembang. Diantara kedua event tersebut, pasar juga sempat beberapa kali bergejolak yang dipicu oleh ekspektasi kenaikan Fed Fund Rate.

Di pasar komoditas global, harga komoditas menunjukkan perkembangan yang sangat bervariasi, namun dengan kecenderungan meningkat. Harga minyak relatif bergerak stabil setelah meningkat di TW2-16. Harga komoditas tambang masih terus meningkat bahkan dengan peningkatan yang cukup signifikan. Sementara itu, harga komoditas pertanian bervariasi dimana beberapa komoditas -seperti minyak sawit dan kopi- meningkat, namun beberapa komoditas lainnya -seperti gandum dan beras- menurun. Kecenderungan harga komoditas yang meningkat memberikan dampak positif bagi negara produsen dan eksportir komoditas.


(3)

Di tengah tantangan ekonomi global yang semakin meningkat, kebijakan moneter di berbagai negara tetap bias akomodatif, termasuk BOE yang semakin akomodatif untuk menetralisir dampak Brexit. Sejalan dengan pelonggaran oleh BOE, ECB juga tetap akomodatif dan memperpanjang masa implementasi program pembelian aset. BOJ juga semakin akomodatif dan menerapkan mekanisme operasi moneter baru dengan target yield obligasi pemerintah. Di sisi lain, the Fed masih mencari timing yang tepat untuk kembali menaikkan Fed Fund Rate. Kenaikan FFR berikutnya diperkirakan akan dilakukan pada Desember 2016. Dengan demikian, dikotomi kebijakan moneter negara maju kembali mengemuka dan berpotensi menimbulkan gejolak di pasar keuangan negara berkembang.

Dengan berbagai perkembangan tersebut, outlook pertumbuhan ekonomi global di 2016 diperkirakan sebesar 3,1% di 2016, sama dengan pertumbuhan 2015. Selanjutnya, pada 2017 pertumbuhan berpotensi meningkat mencapai 3,4%, apabila proses Brexit terjadi secara smooth dan kebijakan AS di bawah Presiden Trump tidak memicu gejolak atau pelemahan ekonomi global. Selain proses Brexit dan implementasi janji kampanye Presiden Trump, ekonomi global juga menghadapi downside risks lain, yaitu meningkatnya tekanan terhadap integritas Uni Eropa, dampak rebalancing pada pelemahan ekonomi Tiongkok yang lebih dalam, dan kenaikan FFR selanjutnya.


(4)

Daftar Pustaka

Alessandria, G., Kaboski, J., & Midrigan, V. (2010). The Great Trade Collapse of 2008–09: An Inventory Adjustment? IMF Economic Review.

Armelius, H., Belfrage, C.-J., & Stenbacka, H. (2014). The Mystery of the Missing World Trade Growth after the Global Financial Crisis. Sveriges Riksbank Economic Review 2014:3 .

Baker, S., Bloom, N., & Davis, S. (2016). Measuring Economic Policy Uncertainty.

Brander, J., & Krugman, P. (1983). A ‘reciprocal dumping’ model of international trade.

Journalof International Economics 15 (3–4), 313–321 .

Bussière, M., Pérez-Barreiro, E., Straub, R., & Taglioni, D. (2010). Protectionist Responses to the Crisis. Global Trend and Implication. ECB Occational Paper Series No 110 . Constatinescu et al. (2015). The Global Trade Slowdown: Cyclical or Structural. IMF

WorkingPaper No15/6 .

Gaulier, G., Santoni, G., Taglioni , D., & Zignago, S. (2013). Market Shares in the Wake of Global Crisis: the Quarterly Export Competitiveness Database. Banque de France WorkingPaper No.427 .

Georgiadis, G., & Gräb, J. (2013). Growth, real Exchange Rates and Trade Protectionism Since the Financial Crisis. ECB Working Paper 1618 .

IMF. (2016). Global Financial Stability Report (GFSR): Fostering Stability in a Low-Growth, Low-Rate Era. 2.

Irwin, D. (2002). Long-Run Trends In World Trade and Income. World Trade Review 1(1) . Kyle, B., & Staiger, R. W. (2003). Protection and the Business Cycle. Advances in Economic

Analysis and Policy .

Ludema, Madya, & Mishara. (2015). Information and Legislative Bargaining: The Political Economy of U.S. Tariff Suspensions.

Novy, D. (2012). Gravity Redux: Measuring International Trade Costs with Panel Data.”.

Economic Inquiry 51 (1): 101–121 .

Novy, D., & Taylor, A. (2014). Uncertainty and the Great Trade Collapse: New evidence.

CEPR .

Taglioni, D., & Zavacka, V. (2013). Innocent Bystanders: How Foreign Uncertainty Shocks Harm Exporters. ECB Working Paper No. 1530 .


(5)

Daftar Singkatan

AMRO

ASEAN+3 Macroeconomic Research Office

APP

Asset Purchase Programme

ASEAN

Association of South East Asian Nations

ASEAN5

Negara ASEAN yang terdiri dari Vietnam,

Malaysia, Singapura, Thailand,

Filipina

BIS

Bank for International Settlements

BNM

Bank Negara Malaysia

BOE

Bank of England

BOJ

Bank of Japan

BOT

Bank of Thailand

BSP

Bangko Sentral ng Pilipinas

BUMN

Badan Usaha Milik Negara

CA

Current Account

CF

Consensus Forecast

CMIM

Chiang Mai Initiative Multilateralization

CNH

Chinese Yuan (Offshore)

CNY

Chinese Yuan/Renminbi

CPI

Consumer Price Index

CSPP

Corporate Sector Purchase Programme

ECB

European Central Bank

EMEAP

Executives Meeting of East Asia Pacific Central

Banks

ETFs

Exchange-Traded Funds

EU

European Union

FAI

Fixed Asset Investment

FDI

Foreign Direct Investment

FFR

Fed Fund Rate

FOMC

Federal Open Market Committee

FTA

Free Trade Area

G20

Group-20 yang terdiri dari Argentina, Australia,

Brazil, Kanada, China,

Perancis, Jerman, India, Indonesia, Italia, Jepang,

Meksiko, Rusia, Arab

Saudi, Afrika Selatan, Korea, Turki, Inggris, Amerika

Serikat dan Uni Eropa

GBP

Great Britain Poundsterling

GFC

Global Financial Crisis


(6)

GFSN

Global Financial Safety Net

GST

Goods and Services Tax

GVCs

Global Value Chains

GWM

Giro Wajib Minimum

IMF

International Monetary Fund

IO

International Organization

JGB

Japanese Government Bond

JPY

Japanese Yen

KPR

Kredit Pemilikan Rumah

MAS

Monetary Authority of Singapore

MPC

Monetary Policy Committee

NPL

Non Performing Loans

MPM

Monetary Policy Meeting

OECD

Organisation for Economic Co-operation and Development

OPR

Overnight Policy Rate

PBOC

People’s Bank of China

PDB

Produk Domestik Bruto

PMI

Purchasing Manager Index

PPI

Producer Price Index

QQE

Quantitative and Qualitative Easing

RBI

Reserve Bank of India

RFA

Regional Financial Arrangement

RMB

Renmimbi

ROI

Return on Investment

SBV

State Bank of Vietnam

SDR

Special Drawing Rights

SGD

Singapore Dollar

TW

Triwulan

USD

US Dollar

WEO

World Economic Outlook

WTI

Western Texas Intermediate