SURVIVING THE CHALLENGES PENUTUP 4.1 Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN

1.1 SURVIVING THE CHALLENGES

Ekonomi global berhasil tumbuh membaik pada TW3-16 didorong oleh perbaikan pertumbuhan di negara maju dan berkembang. Kinerja ini menjadi lebih berarti karena dicapai di tengah munculnya berbagai negative shocks yang menghambat pemulihan global. Dunia dikejutkan oleh hasil referendum Inggris yang dimenangkan kubu Brexit, sehingga berimbas mengguncang pasar keuangan global di awal TW3-16. Pasar keuangan global juga menjadi semakin volatile akibat berlanjutnya ketidakpastian timing kenaikan Fed Fund Rate FFR berikutnya. Sementara itu, hasil pemilihan Presiden AS yang dimenangkan Donald Trump juga sempat menimbulkan gejolak di pasar keuangan. Selain berdampak negatif terhadap pasar keuangan, berbagai isu tersebut meningkatkan ketidakpastian arah perkembangan ekonomi global ke depan sehingga memengaruhi aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Perbaikan kinerja ekonomi global di TW3-16 didukung oleh peningkatan konsumsi yang diikut oleh perbaikan moderat net ekspor. Perbaikan aktivitas konsumsi terbantu oleh kebijakan moneter yang cenderung akomodatif di sejumlah negara. Peningkatan konsumsi sedikit memperbaiki kinerja ekspor-impor di banyak negara, namun belum cukup kuat untuk menggerakkan produksi dan investasi. Peningkatan konsumsi juga belum cukup kuat meningkatkan inflasi yang masih berada di level rendah, meskipun menunjukkan sedikit peningkatan di negara maju. Negara maju memperoleh momentum penguatan ekonomi, setelah melambat dalam empat triwulan terakhir. AS, Inggris dan Jepang membukukan pertumbuhan PDB yang cukup signifikan, sementara PDB Kawasan Euro relatif stabil. Perbaikan ekonomi AS disertai dengan inflasi yang terakselerasi dan sektor tenaga kerja yang mulai pulih. Namun pertumbuhan ekonomi AS belum sepenuhnya didukung oleh faktor fundamental. Peningkatan net ekspor dipengaruhi oleh kendala produksi di negara pesaing dagang sehingga bersifat temporer. Sedangkan investasi lebih disumbang oleh meningkatnya inventories. Ekonomi Jepang juga terus menunjukkan perbaikan, meskipun secara umum masih lemah. Pertumbuhan dimotori oleh kinerja net ekspor yang mendorong produksi domestik. Kendati demikian, masyarakat masih menahan konsumsi karena berhati-hati dengan prospek ekonomi ke depan. Terlebih dengan tingkat upah yang tidak meningkat signifikan sekalipun pasar tenaga kerja semakin ketat. Pendapatan luar negeri dari perusahaan-perusahaan Jepang juga menurun akibat lesunya perekonomian global dan apresiasi yen. Dengan perkembangan tersebut, inflasi masih terus menurun dan mengalami deflasi, meskipun kebijakan moneter BOJ semakin akomodatif. Pertumbuhan PDB Kawasan Euro TW3-16 tumbuh stabil di angka 1,6, dengan inflasi yang terakselerasi. Sebagaimana di kawasan lain, peningkatan inflasi dipicu oleh kenaikan harga minyak, dan masih jauh di bawah target. Kondisi ini mendasari kebijakan moneter ECB untuk tetap akomodatif dan memperpanjang periode implementasi program pembelian aset quantitative easing. Negara berkembang kembali tumbuh impresif pada TW3-16, ditopang oleh stabilitas Tiongkok dan India, serta akselerasi Vietnam dan Malaysia. Pertumbuhan Tiongkok yang stabil bersumber dari konsumsi dan investasi yang solid, didorong oleh investasi pemerintah. Perkembangan sektor jasa yang semakin dominan mengindikasikan bahwa proses rebalancing terus berlanjut. Inflasi kembali meningkat namun masih relatif rendah dan terkendali sehingga kebijakan moneter tetap akomodatif. Sementara fiskal cenderung ekspansif untuk menstimulasi sektor konstruksi dan restrukturisasi NPL. India diperkirakan tumbuh impresif pada triwulan ini, didorong konsumsi akibat kenaikan gaji pegawai negeri sipil PNS dan musim perayaan keagamaan. Namun demikian, investasi belum bergerak searah dengan konsumsi, karena persediaan yang masih cukup besar. Net ekspor berkontribusi positif pada pertumbuhan melalui penurunan defisit perdagangan. Inflasi menurun signifikan karena berakhirnya musim kemarau sehingga memperbaiki harga dan pasokan makanan. RBI menerapkan kebijakan moneter akomodatif yang bersinergi dengan ekspansi fiskal untuk mendorong ekonomi. Di lain sisi, pemerintah berusaha terus melakukan reformasi struktural dan memperbaiki iklim investasi melalui program “Make in India”. Pertumbuhan ekonomi negara ASEAN beragam dengan kecenderungan melambat, namun tetap berada pada angka pertumbuhan yang relatif tinggi. PDB Indonesia, Thailand, Filipina dan Singapura tumbuh melambat, karena melemahnya konsumsi Indonesia dan Thailand dan net ekspor Filipina dan Singapura. Sebaliknya PDB Malaysia dan Vietnam tumbuh meningkat, didorong perbaikan investasi dan net ekspor. Kebijakan moneter negara ASEAN cenderung tetap akomodatif. Indonesia menurunkan suku bunga kebijakan 7 days reverse repo pada September dan Oktober 2016. Negara ASEAN lain mempertahankan suku bunga kebijakan yang telah berada di level rendah. Kinerja ekonomi global yang sedikit membaik menghadapi tantangan yang tidak ringan, diantaranya keputusan Brexit, terpilihya Donald Trump sebagai presiden AS, dan ekspektasi kenaikan FFR. Berbagai peristiwa tersebut yang juga diiringi dengan meningkatnya risiko geopolitik menjadi perhatian fora kerja sama internasional. Upaya memperkuat resiliensi kawasan terus dilanjutkan untuk mengantisipasi spillover negative global. Gubernur Bank Sentral EMEAP menegaskan bahwa komunikasi dan kerja sama antar otoritas lintas negara sangat penting untuk memperkuat stabilitas global. IMF dan G20, memberikan rekomendasi dan komitmen bersama untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan stabilitas sistem keuangan global, termasuk upaya meningkatkan peran perdagangan dalam membantu meningkatkan produktivitas dan pertumbuhan ekonomi global. Perkembangan di pasar komoditas relatif mixed, dimana harga minyak relatif stabil, komoditas tambang cenderung meningkat dan komoditas pertanian cenderung menurun. Harga minyak bertahan pada kisaran USD48 per barel minyak jenis Brent, setelah meningkat cukup signifikan di TW2-16. Kegagalan pengendalian produksi oleh OPEC dan non-OPEC menahan tren kenaikan harga minyak. Sebaliknya, harga komoditas tambang cenderung masih terus meningkat, terutama copper, alumunium dan zinc. Sementara itu, harga komoditas pertanian bergerak bervariasi, dengan harga gandum dan beras cenderung menurun, sementara harga minyak sawit dan kopi meningkat. Dengan perkembangan tersebut ekonomi global sepanjang 2016 diperkirakan tumbuh 3,1 perkiraan IMF dalam WEO Oktober 2016 atau sama dengan pertumbuhan pada 2015. Meskipun stagnan, ekonomi global berpotensi untuk tumbuh lebih tinggi mengingat berlanjutnya perbaikan di sektor ketenagakerjaan –penurunan angka pengangguran dan kenaikan upah– yang meningkatkan daya beli. Kendati demikian, perbaikan daya beli diperkirakan belum sepenuhnya terefleksi pada konsumsi dan investasi barang modal, mengingat banyak masyarakat yang memilih menabung berjaga-jaga menghadapi prospek ekonomi yang masih penuh ketidakpastian. Lebih lanjut, ekonomi global pada 2017 diperkirakan dapat tumbuh mencapai 3,4 IMF–WEO Juli 2016 dan WEO Oktober 2016. Peningkatan tersebut didorong baik oleh negara maju maupun negara berkembang. Di kelompok negara maju, pertumbuhan dimotori oleh AS, Jepang dan Kanada. Sementara pertumbuhan di Kawasan Euro dan Inggris diperkirakan melambat akibat realisasi proses Brexit. Pertumbuhan negara berkembang akan lebih merata sejalan dengan ekspektasi perbaikan harga komoditas. Tiongkok diproyeksikan tumbuh melambat dalam program rebalancing, sedangkan India tumbuh stabil di level yang tinggi. Beberapa faktor risiko perlu mendapat perhatian karena dapat menahan pemulihan global downside risks. Beberapa diantaranya adalah i risiko politik –berlanjutnya tekanan disintegrasi Uni Eropa dan implementasi janji kampanye Donald Trump yang dapat menekan kinerja ekonomi global; ii proses keluarnya Inggris dari Uni Eropa yang tidak terjadi secara smooth hard Brexit; serta faktor risiko lama seperti iii kenaikan FFR dan iv rebalancing ekonomi. BAB II Perkembangan Ekonomi Global

2.1 PERKEMBANGAN EKONOMI GLOBAL