Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit

(1)

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU

(Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT

TEDI YUNANTO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(2)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Januari 2010

Tedi Yunanto


(3)

ABSTRACT

TEDI YUNANTO. Field Test Of Meranti Balau Timber Tracking (Shorea laevis Ridl.) With Microsatellite Marker. Under the direction of ISKANDAR Z. SIREGAR, and ULFAH J. SIREGAR.

Forestry activities which start from planting stock procurement to logging cannot be freed from criminal activities to gain big profit in very short time. A very clear example occur in the territory of West Kalimantan and Central Kalimantan province where illegal logging practice are rampant and illegal trading is easily practiced by people. In these regions, meranti wood (Shorea laevis) for example flows easily to neighboring countries without being accompanied by valid documents. Plant materials used in this study were sampled in the form of wood discs and pieces (n=160 samples) collected in logging site, log yard (TPK), industry belong to forest concession (IUPHHK), and wood with unclear identity which are taken from Sunda Kelapa port, Jakarta. Experiments to track meranti timber were therefore carried out with objectives: i) to test cross species amplification of S. leprosula and S. curtisii

primer to S. laevis, ii) to infer the origin of timber including its flow in forest concession and industry, and iii) to determine the DNA matching between logging area and log yard. This study was performed using cross-species amplification of other Shorea microsatellites identified from previous experiment. Based on nuclear genetic database of previous study from bangkirai leaves, result showed unclear bangkirai timber from Jakarta was clustered with “X” forest concession (IUPHHK) in Central Borneo Province. In Indonesia, particularly in Borneo Island, Central Borneo has the largest forest area among the other provinces. Results of timber tracking test based on three polymorphic loci for matching wood in a logged area and a log yard of a concession holder showed high level of allelic structure conformity (70%). Based on the results of this study, the molecular tool may be used in the near future to strengthen the exisiting system of Chain of Custody (CoC).


(4)

RINGKASAN

TEDI YUNANTO. Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit. Dibimbing oleh ISKANDAR Z. SIREGAR dan ULFAH J. SIREGAR.

Kejahatan kehutanan (forestry crimes) merupakan salah satu isu panas (burning issue) yang terjadi di banyak negara berkembang dan dapat bersifat trans-nasional. Kegiatan kehutanan mulai dari pengadaan benih hingga penebangan tidak terlepas dari tindakan kriminal demi mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Contoh yang sangat jelas terjadi di w ilayah Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah dimana praktek penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) terjadi dengan mudahnya, dimana kayu meranti (Shorea spp.) mengalir dengan mudahnya ke negara tetangga yang dalam prosesnya bahkan dilengkapi dengan surat-surat keterangan yang sah.

Selama ini metode pembuktian yang akurat dan tidak dapat dimanipulasi dengan menggunakan sumber informasi Deoxiribosa Nucleid Acid (DNA) kayu telah dikembangkan oleh Tim Peneliti di Fakultas Kehutanan IPB dalam kerangka kerjasama internasional sejak tahun 2003-2005. Akan tetapi teknologi ini belum pernah diujicobakan untuk mendeteksi kayu-kayu dengan asal-usul tidak jelas tersebut, khususnya jenis kayu meranti yang merupakan kayu dominan dari hutan alam di Indonesia.

Secara umum tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui aplikasi penanda molekuler untuk lacak balak pada kayu, sedangkan secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk: i) Menseleksi primer yang digunakan pada jenis Shorea leprosula dan Shorea curtisii pada jenis Shorea laevis dengan cara cross species amplification, ii) Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan (similiarity) DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK), dan iii) Menguji kecocokan antara DNA kayu tunggak dengan DNA kayu di TPK (“apple to apple test”). Penelitian dilakukan di dua Izin Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) yang ada di Pulau Kalimantan, yaitu IUPHHK PT. “X” (bukan nama sebenarnya) di Propinsi Kalimantan Tengah dan IUPHHK PT. “Y” (bukan nama sebenarnya) di Propinsi Kalimantan Barat, sedangkan kayu yang asal-usulnya tidak jelas diambil di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta. Penelitian dilakukan di Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dengan menggunakan penanda mikrosatelit.


(5)

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak semua primer hasil cross species amplification menunjukkan pola pita yang polimorfik pada DNA kayu jenis Shorea laevis, hanya ada tiga primer yaitu primer SleE01 dan SleE07 dari jenis Shorea leprosula, serta primer Shc04 dari jenis Shorea curtisii. Primer Shc04 dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan kayu tunggak dengan kayu TPK pada jenis S. laevis, karena primer tersebut memperlihatkan kesamaan nilai frekuensi alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK.

Hasil pendugaan asal-usul kayu yang tidak jelas berdasarkan database

nuklear daun menunjukkan bahwa kayu tersebut setidaknya berasal dari PT. “X” yang berlokasi di Provinsi Kalim antan Tengah, dimana daerah tersebut merupakan kawasan yang masih memiliki hutan yang cukup luas. Selain itu berdasarkan uji kesamaan (similiarity) terhadap kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK menunjukkan bahwa kedua IUPHHK tersebut menebang dan menggunakan kayu dari areal konsesinya sendiri, hal ini terlihat dari dendrogram yang mengelompok untuk masing-masing IUPHHK.

Berdasarkan uji kesesuaian genotipe (conformity) dan uji chi square,

hasil uji lapang lacak balak kayu tunggak dan TPK dengan nomor pohon yang sama di IUPHHK PT. “Y” menunjukkan bahwa secara umum struktur genotipik kayu tunggak dengan struktur genotipik kayu di TPK adalah sama.


(6)

©Hak cipta milik IPB tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(7)

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU

(Shorea laevis Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT

TEDI YUNANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(8)

(9)

Judul Tesis : Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit Nama Mahasiswa : Tedi Yunanto

Nomor Pokok : E451070031 Program Studi : Silvikultur Tropika

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc Ketua

Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr. Ulfah J. Siregar, M.Agr yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), ASEAN-Korea Environmental Cooperation Project

(AKECOP), dan Hibah Penelitian Unggulan IPB (PUI) dengan Nomor Kontrak: 45/I3.24.4/SPK/BG-PSN/2009 kepada Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan-rekan di Ruang Analisis Genetika, Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur yang telah mendukung dalam hal diskusi pada kegiatan laboratorium untuk menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2010


(11)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Karawang tanggal 28 Mei 1983 dari ayah bernama Tarmuja Tarwat dan ibu bernama Anoh. Penulis merupakan anak ketiga dari empat bersaudara.

Pada tahun 1989 penulis masuk di Sekolah Dasar Negeri Majasari, Kecamatan Cibogo, Kabupaten Subang. Tahun 1995 penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar dan melanjutkan pendidikan di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) Negeri 1 Cibogo, Subang sampai tahun 1998. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Umum (SMU) Negeri 1 Subang pada tahun 1998 sampai tahun 2001. Tahun 2001 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI).

Sejak tahun 2006 penulis menjadi asisten peneliti di Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Penulis pada tahun 2006 pernah mengikuti Training and Workshop on Forest Biodiversity Conservation and Management of Forest Genetics Resources di Kualalumpur, Malaysia, serta Student Exchange ke Universitas Kasetsart, Bangkok, Thailand pada tahun 2009. Pada tahun 2007 penulis mendapatkan beasiswa (BPPS) dari Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) melalui Institut Pertanian Bogor untuk melanjutkan studi pascasarjana di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor dengan mengambil Program Studi Silvikultur Tropika.


(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL... xiv

DAFTAR GAMBAR... xv

DAFTAR LAMPIRAN... xvi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Shorea laevis Ridl. ... 4

Penanda Diagnostik untuk Jenis Shorea spp... 6

Teknik Ekstraksi DNA dari Kayu ... 7

Sertifikasi Lacak Balak pada Kayu ... 9

Illegal Logging sebagai suatu Bentuk Kejahatan Hutan... 11

Tata Usaha Kayu di IUPHHK ... 17

Mikrosatelit ... 20

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian... 22

Bahan dan Alat Penelitian ... 23

Metode Penelitian ... 25

Analisis Mikrosatelit ... 27

Analisis Data ... 31

HASIL DAN PEMBAHASAN Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer ... 32

Pendugaan Kayu dengan Asal-usul Tidak Jelas ... 34

Uji Similiarity Sampel Kayu dari Kedua IUPHHK ... 36

Uji Lapang Lacak Balak Apple to Apple di IUPHHK PT. ”Y” ... 37

Aplikasi Teknologi DNA untuk Lacak Balak pada Kayu... 39

SIMPULAN DAN SARAN Simpulan... 41

Saran ... 41

DAFTAR PUSTAKA ... 42

LAMPIRAN ... 48


(13)

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis ...22

2 Koordinat lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis ...22

3 Bahan dan alat teknik mikrosatelit ...23

4 Primer spesifik pada jenis Shorea leprosula...28

5 Primer spesifik pada jenis Shorea curtisii......28

6 Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis ...34

7 Hasil uji chi square kayu di IUPHHK di PT. “X” ...37

8 Kesesuaian genotipe kayu tunggak dengan kayu TPK...38


(14)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 a dan b foto pohon Shorea laevis ... 5

2 Penanda diagnostik S.parvifolia dari Berau dengan teknik AFLP ... 6

3 Penanda diagnostik S. parvifolia dari SBK dengan teknik AFLP ... 7

4 Hasil ekstraksi DNA dari kayu Shorea ... 8

5 Hasil amplifikasi cpDNA dengan primer ccmp ... 9

6 Bagan alir Penatausahaan Hasil Hutan di IUPHHK ...19

7 Peta pengambilan sampel kayu S. laevis ...23

8 a=penebangan;b=TPK;c=industri;dan d=kayu asal-usul tidak jelas ...24

9 Bagan prosedur teknik mikrosatelit ...25

10 Cara skoring DNA mikrosatelit ...31

11 Pola pita DNA hasil ekstraksi dan isolasi dari kayu S. laevis ...32

12 Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA ...33

13 DNA electropherogram hasil analisis mikrosatelit a). Primer Sle01; b). Primer Sle07; dan c). Primer Shc04 ...34

14 Dendrogram asal-usul kayu tidak jelas ...35

15 Dendrogram uji similiarity ...36


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman 1 Foto alat-alat penelitian ...48 2 Hasil skoring analisis mikrosatelit beserta profil


(16)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kejahatan kehutanan merupakan salah satu isu panas yang terjadi di banyak negara berkembang. Kegiatan kehutanan mulai dari pengadaan benih hingga penebangan tidak terlepas dari tindakan kriminal demi mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu singkat. Penggunaan bibit yang tidak bermutu, akan tetapi diklaim bermutu karena ada “surat keterangan” bahwa benih tersebut diperoleh dari sumber benih tersertifikasi dapat saja terjadi. Benih dari sumber benih tersebut mungkin saja dicampur selama perjalanan dengan benih yang tidak bermutu untuk meningkatkan volume penjualan. Hal ini sangat dimungkinkan pada program Gerakan Rehabilitasi Hutan (GERHAN), dimana jutaan bibit diadakan oleh pihak ketiga, tetapi kegiatan pengawasan kurang dilengkapi dengan metode pembuktian yang akurat. Contoh lain yang sangat nyata juga terjadi pada praktek penebangan liar (illegal logging) dan perdagangan liar (illegal trading) atau penyelundupan kayu (timber smuggling), dimana kayu yang sebenarnya berasal dari daerah “X” diakui oleh pemiliknya berasal dari daerah “Y”, dimana Surat Keterangan Sah Hasil Hutan (SKSHH) dikeluarkan oleh petugas berwenang di daerah “Y” tersebut. Masalah penebangan liar dan perdagangan ilegal kini telah diketahui secara luas, dan telah mencapai tingkat yang sangat mengkhawatirkan (Hidayati et al. 2006).

Pasar kayu dunia saat ini semakin ketat menerapkan kebijakan produk kayu yang berasal dari hutan yang dikelola dengan baik atau lestari dan sumber yang legal. Hal ini membuat produk kehutanan Indonesia mau tidak mau harus dipersiapkan ke arah sertifikasi. Setelah proses sertifikasi hutan dilakukan, perusahaan pengguna hasil hutan juga perlu mendapat penjaminan bahwa produk yang diproses adalah produk yang menggunakan materi dasar kayu yang diambil dari hutan yang telah mendapat sertifikat. Untuk mendapat jaminan tersebut maka ada proses sertifikasi chain of custody/CoC (lacak balak). Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik (Vogt et al. 2000). Berbagai metode pembuktian asal-usul kayu pun telah banyak digunakan, seperti metode labeling manual


(17)

(stiker), anatomi, hingga teknologi terbaru, yaitu menggunakan barcode (Dykstra

et al. 2002).

Secara biologis bagian tanaman (daun, kayu, dan benih) merupakan tempat menyimpan informasi berupa materi genetik (Deoxiribosa Nucleid Acid; DNA). Secara teori, pola DNA jenis Shorea (Meranti) di pulau Sumatera akan berbeda dengan DNA di Pulau Kalimantan. Di dalam Pulau Kalimantan juga mungkin saja terjadi perbedaan pola DNA (haplotype) terutama DNA yang tersimpan di kloroplas maupun DNA keseluruhan. Secara khusus, DNA kloroplas (cpDNA) diketahui bersifat konservatif, sehingga pada suatu lokasi akan sulit ditemui perbedaan-perbedaannya. Ide penggunaan DNA kloroplas serta DNA lainnya yang ada di inti sel sebagai penanda atau penjejak asal-usul bahan tanaman atau kayu baru-baru ini dilontarkan oleh berbagai ahli genetika dalam rangka penyelidikan asal-usul bahan tanaman atau kayu. Penggunaan teknologi genetik merupakan metode baru yang dapat dikembangkan dan diterapkan untuk kegiatan sertifikasi lacak balak dan pembuktian kasus kejahatan hutan seperti penebangan ilegal. Penanda genetik bersifat internal dan melekat di dasar kayu sehingga sulit untuk dimanipulasi. Menurut Eckert (1997), diacu dalam Kholik (2008), teknologi genetik melalui analisis molekuler DNA terbukti akurat mengungkap berbagai kasus kejahatan, meskipun relatif mahal dan memerlukan waktu yang cukup lama.

Shorea laevis atau bangkirai merupakan salah satu jenis kayu komersial yang ada di Indonesia. Kayu bangkirai di daerah Kalimantan dipakai sebagai kayu pertukangan pengganti kayu ulin (Eusideroxylon zwageri), karena kayu ulin sudah semakin jarang ditemukan di hutan alam. Jenis S. laevis secara umum masih jarang diteliti baik dari segi populasi genetika maupun sumberdaya genetiknya.

Salah satu metode penanda genetik yang dapat diaplikasikan untuk analisis DNA adalah mikrosatelit. Mikrosatelit telah diidentifikasi pada DNA plastid (DNA kloroplas dan DNA mitokondria) dan juga pada DNA inti tanaman. Mikrosatelit inti bersifat ko-dominan dengan polimorfisme yang tinggi yang dapat digunakan untuk studi aliran gen dan sistem perkawinan. Banyak penelitian yang telah dilakukan dengan menggunakan lokus mikrosatelit seperti studi Quantitaiv e Trait Locus (QTL), variasi genetik, aliran gen, dan sistem perkawinan beberapa genus pohon tropika,


(18)

meliputi Eucalyptus spp, Shorea spp, dan jenis-jenis Dipterocarpaceae lainnya (Finkeldey 2005). Penggunaan metode mikrosatelit untuk analisis variasi genetik dapat digunakan sebagai dasar untuk menduga nilai diferensiasi genetik dimana nilai ini merupakan dasar untuk dapat membedakan populasi yang satu dengan populasi lainnya (lacak balak).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini secara umum adalah untuk mengetahui aplikasi penanda molekuler untuk lacak balak pada kayu, sedangkan secara khusus tujuan dari penelitian ini adalah untuk:

a. Menseleksi primer yang digunakan pada jenis Shorea leprosula dan

Shorea curtisii pada jenis Shorea laevis dengan cara cross species amplification.

b. Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri masing-masing IUPHHK. c. Menguji kecocokan antara DNA kayu tunggak dengan DNA kayu di TPK

(apple to apple test).

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian yang diharapkan dari penelitian ini adalah justifikasi ilmiah penggunaan metode penanda molekuler untuk lacak balak kayu dengan asal-usul tidak jelas di lapangan dan penunjang kegiatan sertifikasi produk hutan lestari kayu-kayu komersial di Indonesia.


(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Shorea laevis Ridl.

Shorea laevis Riddl. merupakan salah satu jenis yang termasuk kedalam famili Dipterocarpaceae. Jenis S. laevis banyak memiliki nama daerah diantaranya adalah: kumus (Brunei dan Sarawak), selangan batu kumus (Sabah), penyau (Kalimantan Barat), bangkirai lampong, bangkirai tanduk, gelam, merenting, tenggelam, menpelam (Kalimantan Timur), benuas, dan bangkirai layang (Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah). Ciri-ciri diagnostik utama jenis ini adalah: tajuk berwarna hijau agak kelabu, daun berbentuk bundar telur sampai bentuk sabit dengan pangkal agak tidak simetris, bila mengering berwarna coklat agak kelabu di bagian atas dan keputih-putihan di bagian bawah dengan bulu-bulu sangat kecil pada pohon dewasa, selain itu jenis ini memiliki pertulangan sekunder hampir tidak terangkat.

Pohon memiliki tinggi sekitar 20-60 m, batang bebas cabang 10-35 m, diameter batang 130 cm, dan banir mencapai tinggi lima m (Gambar 1). Batang berwarna kuning kemerah-merahan dan mengeluarkan damar berwarna kuning kalau sudah kering. Bunga berbentuk kecil dan kuncup bulat. Buah bertangkai pendek dan kecil dengan panjang buah kira-kira satu cm. Daun berukuran 12 x 6 cm, tipis, dan permukaan bawah daun tidak berbulu.

Material kayu dari Semenanjung Malaysia memiliki kurai yang jelas tetapi sifat ini tampaknya jarang dijumpai di Pulau Kalimantan. Kayu mempunyai berat jenis 0,99, kelas awet I, dan dipergunakan untuk tiang-tiang bangunan, papan serta perahu (Prawira et al. 1973).

S. laevis secara umum menyebar di Semenanjung Myanmar dan Thailand, Semenanjung Malaysia, Sumatera, Aceh, dan Pulau Kalimantan. Jenis ini juga tersebar luas dan sering dijumpai dan bahkan berkelompok pada tanah-tanah tipis di punggung bukit di hutan Dipterocarpaceae perbukitan, khususnya pada ketinggian 200-1000 m, tetapi kadang lebih rendah antara 5-375 meter diatas permukaan laut (mdpl) dan adakalanya terpencar di sisi-sisi bukit.


(20)

(a)

(b)


(21)

Penanda Diagnostik untuk Jenis Shorea spp.

Sejak tahun 2005, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor melakukan kegiatan penelitian bersama dengan Universitas Goettingen, Jerman melalui riset “Shorea Project” untuk menduga variasi genetik berbagai jenis

Shorea spp. di Indonesia, khususnya yang ada di Pulau Sumatra dan Kalimantan. Hasil penelitian mampu mengidentifikasi beberapa pola DNA spesifik melalui penanda genetik Polymerase Chain Reaction-Restriction Fraghment Length Polymorphism (PCR-RFLP) DNA kloroplas maupun Amplified Fraghment Length Polymorphism (AFLP) DNA total. Contoh penanda diagnostik yang telah diidentifikasi adalah untuk jenis S. parvifolia dari Berau dan IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma (Gambar 2 dan 3).

Gambar 2 Penanda diagnostik S. parvifolia dari Berau dengan teknik AFLP (Cao

et al. 2006)

S. parvifolia (SB

)

S. parvifolia (NS)

S. parvifolia (BB)

S. parvifolia (BB)

S. parvifolia (AS)

S. parvifolia (PS) S. parvifolia (TS)


(22)

Gambar 3 Penanda diagnostik S. parvifolia dari IUPHHK PT. Sari Bumi Kusuma dengan teknik AFLP (Cao et al. 2006)

Teknik Ekstraksi DNA dari Kayu

Secara umum keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi serta masing-masing parameter tersebut mempunyai beberapa ukuran (Siregar 2000; Finkeldey 2005). Menurut Hamrick dan Godt (1996), pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dan perbedaan variasi genetik yang terjadi antara populas i hanya sedikit. Hal ini benar jika yang dianalisis adalah uni-parental DNA. Khusus pada maternal DNA seperti DNA inti, ditemukan variasi yang besar antar populasi, region dan provenan. Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana dengan menggunakan metode anatomi kayu masih sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya. Akan tetapi, hal ini memerlukan “pra-kondisi” yaitu metode yang tepat untuk mengekstrak DNA dari kayu atau produk olahannya.

S. parvifolia (NS)

S. parvifolia (SB)

S. parvifolia (SB)

S. parvifolia (AS)

S. parvifolia (BB)

S. parvifolia (PS)


(23)

Ekstraksi DNA dari kayu sudah berhasil dilakukan, dan sudah secara rutin digunakan (Deguilloux et al. 2002), termasuk esktraksi DNA dari jaringan berkayu lainnya seperti kulit biji yang keras (Godoy dan Jordano 2001). Jika DNA kayu berhasil diekstrak, maka dengan metode PCR (Polymerase Chain Reaction) bagian-bagian tertentu dari DNA dapat selanjutnya diamplifikasi atau diperbanyak hingga cukup untuk keperluan analisis variasi genetik, khususnya untuk mengetahui diferensiasi genetik antar populasi. Diferensiasi genetik ini akan dijadikan dasar untuk menganalisis asal-usul kayu atau produk kayu.

Selain itu, melalui berbagai modifikasi beberapa teknik ekstraksi DNA dari kayu, Tim peneliti gabungan Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor dan Univeristas Goettingen, Jerman telah berhasil mengisolasi dan mengamplifikasi DNA dari contoh kayu baik untuk jenis jati maupun jenis Shorea

spp. Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008). Contoh hasil isolasi dan amplifikasi DNA disajikan pada Gambar 4 dan 5.


(24)

Gambar 5 Hasil amplifikasi cpDNA dengan menggunakan primer ccmp (Rachmayanti et al. 2006)

Sertifikasi Lacak Balak pada Kayu

Proses sertifikasi lacak balak merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh pihak ketiga untuk mengeluarkan suatu pernyataan bahwa suatu hasil hutan, dalam hal ini kayu, telah diproduksi dari hutan yang dikelola secara lestari. Kegiatan lacak balak merupakan salah satu komponen sistem sertifikasi yang kritis karena menjadi penghubung antara unit manajemen hutan atau unit usaha kehutanan sebagai produsen dan masyarakat sebagai konsumen hasil hutan (LEI 2003a). Proses sertifikasi lacak balak merupakan salah satu kegiatan utama sertifikasi ekolabel untuk memantau aliran kayu dari hutan ke pabrik (Voght et al.

2000, diacu dalam Kholik 2008).

Menurut LEI (2003b), ekolabel berasal dari kata eco yang berarti lingkungan hidup dan label yang berarti suatu tanda pada produk yang membedakannya dari produk lain. Pada lingkup kegiatan kehutanan, kegiatan

ecolabelling merupakan suatu cara untuk memberikan informasi kepada konsumen mengenai produk kayu yang dipasarkan dalam bentuk sertifikat atau ekolabel yang menunjukkan bahwa kayu tersebut berasal atau dihasilkan dari suatu hutan yang dikelola secara lestari (Sarijanto 1995). Dalam penerapannya, kegiatan ekolabel memerlukan adanya kesiapan perangkat yang meliputi standar


(25)

dan pedoman pelaksanaan (manual), institusi (kelembagaan) dan mekanisme kerja, serta penilai (assesor).

Ekolabel yang dapat dipercaya diberikan melalui proses sertifikasi oleh pihak ketiga yang independent untuk menilai bahwa suatu produk tersebut diproduksi dengan mengindahkan kaidah-kaidah pelestarian lingkungan hidup. Dalam penerapan ekolabel, setidaknya ada lima jaminan yang perlu digunakan sebagai landasan pelabelan produk kayu (Abidin 1995), yaitu:

1. Kepastian ditaatinya jatah tebang hutan lestari.

2. Kepastian pulihnya tegakan secara alami atau dengan bantuan permudaan alam atau buatan.

3. Kepastian terpeliharanya keanekaragaman hayati. 4. Kepastian terpeliharanya kualitas air, tanah, dan udara.

5. Kepastian terpeliharanya peri kehidupan dan budaya masyarakat setempat.

Manfaat sertifikasi yang secara langsung dapat dirasakan adalah kemudahan dalam melakukan promosi dan bertambahnya apresiasi para importir dan pembeli terhadap perusahaan. Sertifikasi ekolabel juga memberi manfaat positif bagi manajemen internal perusahaan berupa meningkatnya efisiensi manajemen akibat dari penataan sistem produksi yang lebih baik, sesuai dengan kriteria dan indikator sertifikasi ekolabel (LEI 2003c). Bagi konsumen yang peduli terhadap lingkungan hidup, kegiatan ekolabel merupakan sebuah garansi yang menunjukkan bahwa produk yang mendapatkan label sudah memenuhi kriteria peduli lingkungan (Ahmad et al. 1993, diacu dalam Sarijanto 1995).

Berdasarkan hasil penelitian di Amerika pada tahun 1993 terhadap 12.000 konsumen dengan pendapatan lebih besar dari US$ 50,000 per tahun menunjukkan apabila ada ekolabel, 68% diantaranya bersedia membayar lebih besar dari harga furniture yang biasa ditawarkan dan sisanya tidak bersedia. Dari 68% konsumen tersebut, 26% bersedia membayar 1-5% lebih tinggi, 33% bersedia membayar 6–10% lebih tinggi, dan sisanya 8% bersedia membayar 11– 15% lebih tinggi. Sementara itu, penelitian di Inggris pada tahun 1991 tidak disebutkan jumlah respondennya, 33% konsumen bersedia membayar 13% lebih tinggi daripada harga yang biasa berlaku (Fahutan IPB 1995).


(26)

Sebagai suatu komponen utama dari sertifikasi ekolabel, sertifikasi lacak balak pada prinsipnya dilakukan terhadap dua hal (LEI 2003a), yaitu:

a. Kejelasan sistem pergerakan hasil hutan. b. Kinerja sistem pergerakan hasil hutan.

Dalam perjalanannya (aliran kayu), hasil hutan baik secara sendiri-sendiri maupun dalam susunan sortimen mengalami mutasi (perubahan bentuk, ukuran, jumlah, kualitas, tanda dan penampilan). Lokasi mutasi disebut sebagai simpul pergerakan dan dapat terbagi ke dalam tiga rute (LEI 2003a), yaitu: i) rute I, yaitu simpul-simpul yang berada pada rentang jarak dari hutan ke pembeli pertama atau industri pengolah hasil hutan hulu, ii) rute II, yaitu simpul-simpul yang berada di dalam industri, dan iii) rute III, yaitu simpul-simpul yang berada pada rentang jarak antara industri ke pembeli akhir atau ke kapal.

Faktor kunci yang diperlukan dalam sistem lacak balak adalah cara-cara praktis untuk memeriksa legalitas kayu. Adapun prinsip yang dipakai dalam penilaian lacak balak adalah penilaian satu langkah ke belakang (one step backward), yaitu hanya menilai sumber hasil hutan pada satu simpul sebelumnya sudah tersertifikasi atau belum. Jika satu simpul sebelumnya belum tersertifikasi, lacak balak perlu dilanjutkan pada simpul sebelumnya lagi dan seterusnya sampai diperoleh rantai tak terputus yang menerangkan bahwa asal hasil hutan adalah dari pengelolaan hutan produksi lestari. Dengan kata lain, sertifikat Chain of Custody

(CoC) hanya dapat diberikan pada industri atau pedagang yang mendapatkan sumber kayunya dari pengelola hutan yang telah mempunyai sertifikat ekolabel atau dari sumber yang legal dan traceable (dapat dilacak asalnya) (LEI 2003a).

Ilegal Logging sebagai Suatu Bentuk Kejahatan Hutan

Permasalahan illegal logging sesungguhnya merupakan suatu hal yang sangat kompleks, karena tidak hanya terkait dengan aspek penegakan hukum atau yuridis, akan tetapi juga terkait aspek ekonomis, sosiologis dan kultur atau budaya. Ketergantungan beberapa masyarakat lokal di sekitar hutan telah dimanfaatkan oleh para cukong atau pemodal untuk melakukan kegiatan atau praktek illegal logging dengan berbagai macam modus operandinya baik yang


(27)

dilakukan oleh orang atau badan usaha yang memiliki ijin ataupun mereka yang tidak memiliki ijin pemanfaatan hasil hutan kayu atau persekongkolan jahat yang dilakukan oleh orang yang memiliki ijin dan pelaku illegal logging.

Illegal logging didefinisikan sebagai suatu tindakan menebang kayu dengan melanggar peraturan kehutanan yang berlaku. Tindakan ini adalah sebuah kejahatan yang mencakup kegiatan menebang kayu di areal yang dilindungi, area konservasi dan taman nasional serta menebang kayu tanpa ijin yang tepat di hutan-hutan produksi. Permintaan yang besar dari industri kayu lokal maupun luar negeri, khususnya Negara Malaysia dan Negara Singapura, telah mendorong aktifitas kriminal tersebut (Rukmana 2004, diacu dalam Setiono & Husain 2005). Semakin banyaknya sumber kayu ilegal dari Indonesia untuk mendukung permintaan perdagangan kayu dunia menjadi ancaman terbesar terhadap hutan Indonesia (CIFOR 2008).

Menurut Departemen Kehutanan, jumlah kayu ilegal yang diselundupkan keluar dari Indonesia pada kurun waktu tahun 2001-2003 adalah sekitar 9 juta m3 dan kemudian diproses menjadi produk-produk kayu dan dikonsumsi oleh negara-negara maju. Perkiraan nilai dari perdagangan kayu ilegal tersebut adalah US 2.16 miliar dollar. Sekitar 90% dari keuntungan pembalakan liar di Indonesia berakhir direkening bank di tempat lain, terutama di Singapura, Malaysia, dan Hongkong (Setiono & Husain 2005). Berdasarkan data Perum Perhutani Unit III Jawa Barat-Banten, pencurian dan penjarahan hutan dari tahun 1977-1999 dan hingga saat ini mengalami peningkatan. Intensitas pencurian dan penjarahan hutan pada tahun 1977 mencapai 180% yang kemudian meningkat menjadi 600% pada tahun 1998 (Kodra & Rais 2004).

Faktor yang Mendorong Terjadinya Illegal Logging

Kegiatan illegal logging didorong oleh faktor-faktor sebagai berikut (Anonim 2009):

1.Krisis Ekonomi

Krisis ekonomi yang berkepanjangan yang melanda Indonesia secara langsung atau tidak langsung memicu masyarakat golongan ekonomi lemah yang tinggal di sekitar hutan untuk mencari peluang yang dapat dijadikan mata


(28)

pencahariannya, antara lain beralih profesi menjadi buruh tebang liar. Hal ini semakin intensif terjadi manakala para cukong atau pemodal mempekerjakan masyarakat pendatang sebagai buruh tebang liar.

2. Kondisi Geografis

Secara geografis Negara Indonesia terdiri dari kumpulan daratan berupa kepulauan dan masing masing pulau dihubungkan dengan perairan laut atau sungai yang berbatasan langsung dengan Malaysia dan lautan Samudra sebagai lautan bebas pelayaran internasional dari dan ke satu Negara ke Negara lain. Kondisi tersebut memberikan peluang kepada pelaku illegal logging untuk melakukan penebangan liar dan hasil dari penebangan liar tersebut diselundupkan ke Negara Malaysia, Vietnam, China, Taiwan, dan beberapa Negara Eropa lainnya baik melalui jalur darat maupun melalui jalur air (sungai dan laut).

3. Kebijakan Pemerintah Daerah (Otonomi Daerah)

Kebijakan Pemerintah Daerah dalam menentukan Rancangan Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) yang belum sesuai dengan penetapan kawasan hutan oleh Pemerintah Pusat, sebagai contoh yaitu mengenai izin usaha pembukaan lahan perkebunan yang tidak memperhatikan peraturan tentang penatausahaan hasil hutan. Pembukaan lahan yang di arealnya terdapat potensi hasil hutan kayu yang tidak dimanfaatkan secara benar yaitu dengan cara menebang habis kayunya, akan tetapi tidak dimanfaatkan melalui penatausahaan hasil hutan yang benar, mengakibatkan kayu tersebut dimanfaatkan oleh masyarakat setempat untuk dijual kepada pihak lain (penadah). Selain kebijakan di atas, hal lain yang juga menjadi sangat penting adalah mengenai kebijakan Pemerintah Daerah tentang pemberian ijin industri terhadap pengolahan hasil hutan kayu (sawmill) yang semestinya ijin tersebut adalah ijin usaha industri primer hasil hutan kayu dari Dinas Kehutanan Propinsi, sehingga akan lebih mudah dalam pengawasan kegiatan operasionalnya berdasarkan kepada penatausahaan hasil hutan yang benar.

4. Harga Kayu Hasil Tebangan Liar Lebih Murah

Harga kayu illegal lebih murah dibandingkan dengan harga kayu legal, karena kayu illegal tidak membayar Dana Reboisasi (DR) dan Provisi Sumber


(29)

Daya Hutan (PSDH) sehingga harga jualnya menjadi lebih murah. Akibatnya para pengusaha kayu legal sering kalah bersaing dengan para pengusaha kayu illegal, sehingga banyak pengusaha kayu legal yang berubah haluan menjadi pengusaha kayu illegal.

5. Lemahnya Pengawasan

Masalah-masalah yang berkaitan dengan illegal logging yaitu masih lemahnya pengawasan atas pelaksanaan wewenang dan tanggung jawab yang telah diberikan oleh peraturan perundang-undangan dengan berbagai kebijakan sebagai pelaksanaan undang-undang yang bersifat teknis menyangkut penatausahaan, proses dan prosedur tata kelola, serta industrialisasi dibidang kehutanan atau perkayuan di Indonesia. Hal tersebut mendorong terjadinya kegiatan illegal logging.

6. Belum Sinerginya Sesama Penegak Hukum

Belum sinerginya sesama penegak hukum antara penegak hukum dengan Departemen Kehutanan dalam rangka upaya penertiban proses dan prosedur tata pengelolaan, penatausahaan, dan upaya meningkatkan industrialiassi dibidang kehutanan yang berpedoman pada demokratisasi serta berpegang pada konsep kelestarian alam dan lingkungan hidup menyebabkan maraknya praktek illegal logging.

7. Belum Tersedianya Sumber Daya Manusia yang Ahli Secara Proporsional dari Tingkat Pusat Dan Daerah

Belum tersedianya Sumber Daya Manusia yang ahli secara proporsional dari tingkat pusat dan daerah, serta belum tersedianya data sentral sebagai dasar bukti permulaan yang cukup atas penerbitan ijin-ijin yang diberikan kepada perorangan maupun korporasi tentang penatausahaan dan industrialisasi kehutanan serta data-data teknis lainnya yang diperlukan sebagai dasar dalam rangka penegakan hukum menyebabkan terjadinya praktek illegal logging.


(30)

Modus Operandi Illegal Logging

Praktek illegal logging memiliki berbagai macam modus operandi, diantaranya adalah (Anonim 2009):

1. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pihak yang Memiliki Ijin

Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang memiliki ijin adalah:

a. Melakukan penebangan di luar areal dari ijin yang diberikan.

b. Melakukan penebangan di radius yang dilarang (di pinggir sungai, danau dan waduk).

c. Melakukan penebangan kayu dari arealnya namun untuk menghindari pembayaran PSDH/DR terhadap kayu-kayu tersebut dilengkapi dengan dokumen SKSKB di cap rakyat, sehingga seolah-olah kayu tersebut berasal dari hutan hak.

d. Melakukan manipulasi laporan hasil produksi (LHP) kayu bulat menjadi kayu bulat kecil, sehingga terjadi selisih pembayaran DR/PSDH-nya. e. Menyalahgunakan dokumen legalitas kayu, dimana hasil hutan kayu alam

(meranti, bangkirai, dan keruing) dilengkapi dengan dokumen (Faktur Kayu Bulat, FA-KB) dari hutan tanaman industri (sengon dan sungkai).

2. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pihak yang Tidak Memiliki Ijin

Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pihak yang tidak memiliki ijin adalah:

a. Melakukan penebangan tanpa memiliki ijin (penebangan liar) dengan memanfaatkan masyarakat setempat dan menggunakan alat berat tanpa ijin. b. Kayu hasil tebangan masyarakat dilengkapi dengan dokumen Surat Keterangan

Sah Kayu Bulat (SKSKB) dicap rakyat. c. Memanfaatkan risalah lelang.

d. Kayu olahan illegal menggunakan dokumen IUPHHK yang sudah tidak aktif atau tidak beroperasi.


(31)

3. Modus Operandi yang Dilakukan Oleh Pelaku

Praktek illegal logging yang dilakukan oleh pelaku adalah: a. Cukong, pemilik modal, dan penguasa atau pejabat. b. Masyarakat setempat dan pendatang.

c. Pemilik pabrik moulding atau sawmil.

d. Pemegang izin IUPHHK yang bertindak sebagai pencuri atau penadah. e. Oknum aparat pemerintah.

f. Pengusaha asing.

Hambatan dalam Penanganan Kasus Illegal Logging

Hambatan yang dihadapi pada saat penanganan kasus illegal logging

adalah (Anonim 2009):

1. Komponen Criminal Justice System masih terjadi perbedaan interpretasi terhadap pasal-pasal di dalam UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, sehingga sering terjadi dan penuntasan kasusnya menjadi bertele-tele dan tidak jelas , sehingga hal ini menjadikan proses penyidikan yang kurang efektif. 2. Luasnya wilayah di Indonesia tidak sebanding dengan jumlah petugas,

sehingga tidak seluruh hutan dapat dilakukan pengawasan secara maksimal. 3. Banyak masyarakat yang hidup di sekitar hutan yang mata pencahariannya

hanya bergantung pada kegiatan penebangan kayu di hutan, baik secara legal maupun illegal.

4. Penyidikan kasus illegal logging membutuhkan dana yang relatif besar, misalnya biaya untuk pengamanan barang bukti, biaya sewa tempat untuk penyimpanan barang bukti, biaya buruh bongkar dan biaya transportasi atau akomodasi ke Tempat Kejadian Perkara (TKP).

5. Dalam pengangkutan kayu bulat atau kayu olahan biasanya dilengkapi dengan dokumen SKSHH (FAKB/FAKO) yang lengkap secara administrasi, sehingga untuk membuktikan kayu tersebut bukan berasal dari hasil penebangan yang sah perlu dilakukan lacak balak. Hal ini pelaksanaannya sangat rumit dan memerlukan waktu relatif lama.


(32)

Tata Usaha Kayu di IUPHHK

Tata Usaha Kayu atau Penatausahaan Hasil Hutan (PUHH) adalah kegiatan yang meliputi penatausahaan tentang perencanaan produksi, pemanenan atau penebangan, penandaan, pengukuran dan pengujian, pengangkutan dan penimbunan, serta pengolahan dan pelaporan. PUHH dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum dan pedoman kepada semua pihak yang melakukan usaha atau kegiatan dibidang kehutanan, sehingga PUHH berjalan dengan tertib dan lancar, serta kelestarian hutan, pendapatan negara, dan pemanfaatan hasil hutan secara optimal dapat tercapai. Pemegang IUPHHK yang akan melakukan penebangan atau pemanenan wajib melaksanakan timber cruising yang akan menghasilkan Laporan Hasil Cruising (LHC) dan rekapitulasinya, yang kemudian harus dilaporkan kepada Kepala Dinas Provinsi dengan tembusan Kepala Dinas Kabupaten atau Kota.

Berdasarkan LHC Hutan Alam tersebut, pemegang IUPHHK menyusun dan mengusulkan Rencana Kerja Tahunan (RKT) kepada Kepala Dinas Provinsi untuk mendapatkan penilaian dan pengesahan, sehingga perusahaan dapat melakukan pemanenan atas hasil hutan kayu. Setelah melakukan pemanenan dan pembagian batang di Tempat Penimbunan Kayu (TPn), perusahaan wajib memberikan nomor pada setiap batang serta melakukan pengukuran atau pengujian sesuai prosedur yang berlaku, sesuai dengan nomor pohon dalam LHC. Pengukuran atau pengujian diatas bertujuan untuk mengetahui jenis, ukuran atau dimensi setiap batang kayu meliputi ukuran diameter ujung dan pangkal, panjang dan volumenya.

Penandaan pada batang berupa pemberian nomor batang, nomor petak tebangan, diameter rata-rata, panjang dan jenis kayu yang dilakukan dengan menerakan pahatan atau tanda yang tidak mudah hilang pada kedua bontos. Setiap pohon yang sudah ditebang, tunggaknya wajib diberi tanda yang tidak mudah hilang atau dengan cara menoreh dengan alat pahat berupa nomor pohon sesuai hasil cruising, jenis pohon, tanggal tebang, nomor petak kerja tebangan atau blok kerja tebangan tahunan dan RKT. Apabila satu pohon dipotong menjadi beberapa bagian, maka penomoran bagian batang sesuai nomor pohon ditambah dengan huruf A, B, C, dan seterusnya dimulai pada potongan bagian pangkal. Bila


(33)

potongan tersebut dipotong kembali, maka penomorannya ditambahkan huruf a dibelakang huruf A (misal 100Aa, 100 Ab, dst.). Data hasil pengukuran selanjutnya dicatat setiap hari ke dalam Buku Ukur Kayu Bulat (BUKB) oleh petugas perusahaan. Kayu bulat yang telah dicatat kemudian ditimbun pada tempat yang terpisah dengan kayu bulat yang telah disahkan.

Berdasarkan buku ukur tersebut dibuat Laporan Hasil Penebangan Kayu Bulat (LHP-KB) dan rekapitulasinya oleh petugas pembuat LHP setiap satu periode (15 hari) sehingga sekurang-kurangnya 2 kali dalam satu bulan (pertengahan dan akhir bulan) dan dilakukan di TPn Hutan. LHP-KB dibuat menurut masing-masing blok kerja tebangan, sehingga apabila dalam satu tahun terdapat lebih dari satu blok kerja tebangan, maka LHP-KB dibuat untuk masing-masing blok kerja tebangan yang dibuat secara terpisah.

Surat Keterangan Sah Kayu Bulat (SKSKB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh pejabat yang berwenang, dipergunakan dalam pengangkutan, penguasaan atau pemilikan hasil hutan berupa kayu bulat yang diangkut secara langsung dari areal ijin yang sah pada hutan alam negara dan telah melalui proses verifikasi legalitas, termasuk telah dilunasi Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) dan atau Dana Reboisasi (DR). Pejabat Pemeriksa Penerimaan Kayu Bulat (P3KB) adalah Pegawai Kehutanan yang memiliki kualifikasi Pengawas Penguji Hasil Hutan dan diangkat serta diberi wewenang untuk melakukan pemeriksaan atas kayu bulat yang diterima industri primer hasil hutan, TPK antara, atau pelabuhan umum.

Faktur Angkutan Kayu Bulat (FA-KB) adalah dokumen angkutan yang diterbitkan oleh penerbit FA-KB yang merupakan petugas perusahaan, dipergunakan dalam pengangkutan hasil hutan berupa kayu bulat atau kayu bulat kecil (diameter <30 cm) yang berasal dari perizinan yang sah pada hutan alam negara atau hutan tanaman dikawasan hutan produksi, dan untuk pengangkutan lanjutan kayu bulat atau kayu bulat kecil yang berasal dari kawasan hutan negara yang berada di luar kawasan. Berikut bagan kerja dan arus dokumen PUHH pada IUPHHK (Gambar 6).


(34)

Gambar 6 Bagan alir Penatausahaan Hasil Hutan di IUPHHK (Hidayat 2009) LHC Buku Ukur SKSKB Pelaporan FA-KB LHP Angkutan tahap I Laporan Bulanan Angkutan tahap II -Surat pengantar -Laporan mutasi KB

-Laporan penggunaan blanko LHP -Daftar realisasi panjang jalan angkutan

-Daftar realisasi produksi -Daftar realisasi luas tebangan -Laporan grade KB

-Laporan penerimaan, penggunaan dan persediaan blanko SKSKB -Laporan penerimaan, penggunaan dan persediaan blanko FAKB -Rekapitulasi LHP Neraca KB SKSKB asal Kayu Bulat -Laporan penebangan yang sudah

disyahkan

-Bukti stor PSDH/ DR kayu yang akan diangkut

-Daftar KB

-Permohonan penerbitan SKSKB -LKMB harian

-Buku Ukur

-Laporan hasil penebangan -Rekapitulasi LHP -Peta kerja

-Berita acara pemeriksaan -Daftar pemeriksan KB -Rekapitulasi hasil pemeriksaan -Permohonan pengesahan LHP -Bukti stor PSDH/ DR

-ULHP untuk penerbitan SPP PSDH/ DR/dana hibah

-Bukti stor PSDH/ DR/dana hibah -Surat pengantar LHP -KB -Laporan pengembangan eksploitasi -Rekapitulasi LHP -KB

Laporan hasil pengukuran di lapangan Laporan Hasil Cruising


(35)

Mikrosatelit

DNA mikrosatelit merupakan rangkaian pola nukleotida antara dua sampai enam pasang basa yang berulang secara berurutan. Mikrosatelit biasa digunakan sebagai penanda genetik untuk menguji kemurnian galur, studi filogenetik, lokus pengendali sifat kuantitatif, dan forensik (Ottewell et al. 2005; Novelli et al. 2006; Craft et al. 2007). DNA mikrosatelit diamplifikasi menggunakan teknik PCR dengan sepasang primer mikrosatelit. Hasil PCR dideteksi menggunakan teknik elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE) yang dilanjutkan dengan pewarnaan perak nitrat.

Mikrosatelit mempunyai karakteristik sebagai berikut: i) tingkat polimorfisme yang tinggi, ii) bersifat ko-dominan, dan iii) diwariskan mengikuti hukum Mendel. Bila satu primer yang spesifik telah didesain, maka lokus Simple Sequence Repeat (SSR) dapat diamplifikasi dari sedikit contoh DNA dengan PCR (Ujino et al. 1998, diacu dalam Zulfahmi 2007). Mikrosatelit telah diaplikasikan untuk beberapa penelitian, diantaranya adalah: i) identifikasi forensik, ii) diagnosis dan identifikasi penyakit, iii) studi populasi genetik dan efek leher botol (bottlenecks effect,), dan iv) konservasi biologi untuk mengamati perubahan dalam populasi, pengaruh fragmentasi dan interaksi populasi yang berbeda, serta untuk identifikasi populasi yang baru terbentuk.

Ada beberapa permasalahan dalam penggunaan penanda mikrosatelit. Permasalahan ini dapat dikelompokkan kedalam teknis praktis dan data. Permasalahan teknis praktis meliputi: i) pemilihan primer untuk mikrosatelit, banyak jenis primer yang telah didesain untuk analisis mikrosatelit pada tanaman, akan tetapi primer-primer itu perlu discreening dan dioptimasi sebelum diaplikasikan pada jenis tanaman tertentu, karena setiap tanaman mempunyai karakteristik spesifik yang berbeda satu sama lain, ii) slippage selama proses amplifikasi, termopolimerase dapat mengakibatkan slip sehingga menghasilkan produk yang berbeda dalam ukurannya, dan iii) ukuran produk amplifikasi berbeda dari ukuran produk sebenarnya. Ketidakakuratan dalam identifikasi alel mungkin juga disebabkan oleh enzim Taq polimerase yang menyebabkan penambahan nukleotida adenosin sampai ujung 3’.


(36)

Homoplasi merupakan salah satu permasalahan pada data. Homoplasi didefinisikan sebagai dua alel dalam keadaan sama, tetapi tidak sama secara keturunan. Homoplasi mungkin menyebabkan masalah dalam analisis studi genetika populasi, dimana dapat mempengaruhi pengukuran keragaman genetika, aliran gen, jarak genetika, ukuran neighbourhood, metode penetapan, dan analisis filogenetika (Estoup et al. 2002).


(37)

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan selama 8 bulan, yaitu dari bulan Juni 2009 – Januari 2010. Pengambilan contoh kayu dilakukan pada kayu tunggak, kayu di Tempat Pengumpulan Kayu (TPK), kayu dengan asal-usul tidak jelas, serta kayu dari industri jenis Shorea laevis dari dua IUPHHK, yaitu IUPHHK PT. “X” (nama sebenarnya tidak disebutkan dalam tesis ini untuk menghindari “conflict of interest”)), Kabupaten Kotawaringin Timur, propinsi Kalimantan Tengah dan IUPHHK PT. “Y” (nama sebenarnya tidak disebutkan dalam tesis ini), Kabupaten Ketapang, propinsi Kalimantan Barat, serta untuk pengambilan kayu dengan asal-usul tidak jelas dilakukan di Pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta (Tabel 1). Posisi geografis tempat pengambilan kayu disajikan pada Tabel 2 dan Gambar 7. Analisis DNA Mikrosatelit dilakukan di Ruang Analisis Genetik, Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Tabel 1 Lokasi pengambilan sampel kayu Shorea laevis

No. Lokasi

Jumlah contoh Jumlah Total Kayu Tunggak Kayu di TPK Kayu di Industri Kayu dengan asal-usul tidak jelas*

1 IUPHHK PT. “X” 20 20 20

40 160

2 IUPHHK PT. “Y” 20 20 20

* Keterangan: diambil di pelabuhan Sunda Kelapa, Jakarta

Tabel 2 Koordinat lokasi pengambilan sampel kayu S. laevis

No Lokasi Propinsi Perkiraan Lokasi Ketinggian

Tempat (m dpl)

Longitude Latitude

1 TPK PT. “X” Kalimantan

Tengah 112'03'13,7" E 01'40'58,3"S 135 2 Penebangan PT. “X” Kalimantan

Tengah 112'03'13,7" E 01'40'58,3"S 135 3 Industri PT. “X” Jawa Tengah 110'18'20,1" E 06'55'53,3"S 18

4 TPK PT. “Y” Kalimantan Barat 110'49'54,2" E 01'31'07,2"S 432

5 Penebangan PT. “Y” Kalimantan Barat 110'49'12,8" E 01'30'49,3"S 305

6 Industri PT. “Y” Kalimantan Barat 109'57'56,2" E 01'47'55,7"S 13

7 Kayu asal-usul tidak

jelas Jakarta 106°50' E 6°11' S 8


(38)

Gambar 7 Peta pengambilan sampel kayu S. laevis (google 2010)

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan tanaman yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa kayu dari tebangan, TPK, industri, dan kayu dengan asal-usul tidak jelas (Gambar 8). Sedangkan bahan dan alat yang digunakan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 3, sedangkan foto alat-alat penelitian disajikan pada Lampiran 1.

Tabel 3 Bahan dan alat teknik mikrosatelit

Analisis

Tahapan Pekerjaan

Ekstraksi PCR Visualisasi DNA Analisis

Data

Mikrosatelit

Alat: sarung tangan karet, gunting, tube

1.5 ml, spidol permanen, mortar, pestel, mikropipet,

tips, rak tube, vortex, mesin sentrifugasi,

waterbath, freezer,

desikator. Bahan:buffer

ekstrak, PVP 2%,

chloroform IAA,

isopropanol dingin, NaCl, etanol 95%,

buffer TE.

Alat:tube 0,2 ml, spidol permanen, alat tulis, mikro pipet, tips, mesin sentrifugasi, mesin PCR PTC-100. Bahan: DNA,

aquabidest, H2O,

sepasang primer mikrosatelit, Taq polymerase.

Alat: mikropipet,

tips, mesin sentrifugasi, bak elektroforesis, cetakan agar,

erlenmeyer, sarung

tangan,

UVtransilluminator,

alat foto DNA. Bahan:agarose, poliakrilamid, buffer TAE 1x, TBE 1x, blue juice

10x, DNA marker, EtBr, perak nitrat

Alat: komputer, softwere POPGENE versi 1.31, NTSYS versi 2.0., dan Microsoft excel

IUPHHK PT. “Y”

IUPHHK PT. “X”

Sunda Kelapa, Jakarta


(39)

(a) (Foto: Yunanto 2009)

(b) (Foto: Yunanto 2009)

(c) (Foto: Yunanto 2009)

(d) (Foto: Yunanto 2009)


(40)

Metode Penelitian Prosedur Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode mikrosatelit. Secara umum diagram alur penelitian dengan menggunakan metode mikrosatelit dapat dilihat pada Gambar 9.

Gambar 9 Bagan prosedur teknik mikrosatelit NTSys

Popgene Chi Square

Interpretasi dan analisis data PCR primer terbaik

Elektroforesis poliakrilamid Tidak

Pemotretan hasil amplifikasi Pewarnaan perak nitrat (staining)

Elektroforesis poliakrilamid PCR seleksi primer

Pewarnaan perak nitrat (staining) Pewarnaan EtBr (staining)

Elektroforesis agar 1% Tidak

Contoh uji kayu


(41)

Ruang Lingkup Penelitian

Metode utama yang digunakan dalam penelitian ini adalah penanda mikrosatelit (Weising and Gardner 1999). Secara umum dalam penelitian ini dipecah menjadi tiga sub-penelitian, yaitu:

Sub- penelitian 1: Cross species amplification(Seleksi primer)

Penelitian ini mengujicobakan primer untuk jenis Shorea leprosula dan jenis Shorea curtisii pada DNA jenis Shorea laevis. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan primer yang menghasilkan pola pita polimorfik dari kedua jenis primer tersebut.

Sub- penelitian 2: Menduga asal-usul kayu yang tidak jelas serta menguji kesamaan DNA antara kayu tebangan, TPK, dan kayu industri masing- masing IUPHHK

Penelitian ini dilakukan untuk mengujicoba pendugaan asal-usul kayu yang tidak jelas dengan menggunakan database genetik hasil analisis mikrosatelit pada nuklear daun hasil penelitian sebelumnya (Siregar et al. 2009). Jumlah sampel yang diujicobakan adalah ± 40 sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui asal-usul kayu tersebut.

Selain itu, pada penelitian ini juga dilakukan analisis mikrosatelit sampel kayu dari tebangan, TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh kedua IUPHHK. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah: i) kayu tebangan = 20 sampel, ii) kayu TPK = 20 sampel, dan iii) kayu indsutri = 20 sampel untuk masing-masing IUPHHK. Jumlah total sampel yang digunakan adalah 120 sampel. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kesamaan DNA kayu baik kayu tebangan, kayu TPK, dan kayu industri yang digunakan oleh masing-masing IUPHHK.

Sub- penelitian 3: “Uji apple to apple” kayu tunggak dengan kayu TPK

Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis sampel kayu tunggak dari pohon yang ada di area tebangan dengan sampel kayu yang ada di TPK, dimana kedua pohon tersebut memiliki nomor pohon yang sama. Jumlah sampel yang digunakan pada penelitian ini adalah: i) kayu tebangan = 20 sampel dan ii) kayu TPK = 20 sampel yang hanya akan diambil dari salah satu IUPHHK sehingga jumlah total sampel yang digunakan adalah 40 sampel. Penelitian ini bertujuan


(42)

untuk mengetahui kecocokan DNA kayu antara pohon yang ada di area penebangan dengan pohon yang ada di TPK.

Analisis Mikrosatelit

Analisis DNA pada kayu Shorea laevis dilakukan dengan menggunakan metode mikrosatelit. Secara umum metode mikrosatelit terdiri dari dua tahapan, yaitu Ekstraksi DNA dan analisis mikrosatelit.

Ekstraksi DNA

Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu jenis Shorea laevis dilakukan dengan menggunakan metode CTAB (Cetyl Trimethyl Ammonium Bromide) hasil penelitian Siregar et al. (2008) yang telah dimodifikasi. Sampel kayu (± 2 gr) digerus dengan menggunakan nitrogen cair atau buffer ekstrak di dalam pestel yang bersih. Hasil gerusan selanjutnya dipindahkan ke dalam tube 1,5 mL, lalu ditambahkan 500-700 µl larutan buffer ekstrak (campuran Tris-HCl, EDTA, NaCl, CTAB, dan Air) dan 100 µ l PVP 2%. Selanjutnya dilakukan proses inkubasi di dalam waterbath selama 45-60 menit pada suhu 65oC. Untuk mengikat DNA ditambahkan kloroform 500 µ l dan fenol 10 µ l, selanjutnya campuran tersebut dikocok agar menjadi homogen. Selanjutnya ditambahkan isopropanol dingin 500 µ l dan NaCl 300 µ l, lalu disimpan dalam freezer selama 45-60 menit untuk mendapatkan pelet DNA. Kegiatan selanjutnya adalah proses pencucian DNA dengan menambahkan etanol 100% sebanyak 300 µ l, lalu disentrifugasi pada kecepatan 13.000 rpm selama dua menit. Pelet DNA disimpan di dalam desikator selama ± 15 menit dan setelah itu ditambahkan larutan buffer TE 20 mikroliter, lalu divortek, dan selanjutnya disentrifugasi kembali.

Mikrosatelit

Prinsip proses PCR adalah suatu siklus berjangka pendek (30-60 detik) dengan tiga perubahan suhu yang berubah secara cepat. Reaksi PCR mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan 15 µ l volume larutan yang terdiri dari H20 2,5 µ l,

primer forward dan primer reverse masing-masing 1,5 µ l, Go Taq Green Master Mix Kit (Promega) 7,5 µl, dan 2 µ l genomik DNA. Amplifikasi DNA dilakukan


(43)

dengan menggunakan mesin PTC-100 Progammable Thermal Cycler (MJ Research, Massachussetts, USA). Proses mikrosatelit dilakukan dengan menggunakan lima primer spesifik yang telah digunakan untuk jenis Shorea leprosula (Tabel 4) dan lima primer spesifik yang telah digunakan pada jenis

Shorea curtisii (Tabel 5). Pengaturan suhu pada mesin PTC-100 untuk reaksi mikrosatelit adalah: i) pra-denaturasi pada suhu 950C selama 2 menit, ii) denaturasi pada suhu 950C selama 1 menit, iii) annealing pada suhu 45-560C selama 2 menit, dan iv) ekstensi pada suhu 720C selama 2 menit. Proses ini dilakukan atau diulang sebanyak 35 siklus.

Tabel 4 Primer spesifik pada jenis Shorea leprosula (Ng 2008)

No. Locus Repeat PCR Primer (5’ to 3’) PCR Product Length

Annealing Temp (0

C) 1. SleE01 (AT)12 F:TCGTACTGATAATCGG

R:GTTTATAGGCTGATAATATGATTTA

179-188 45 2. SleE02 (AGC)9 F:GGAGGAGAGAAACGAAG

R:GTTTGAGGTAGTGAATAACGAGC

142-160 45 3. SleE05 (TA)9 F:ACTAATAATGCTTGTGGTAAT

R:GTTTGTAACTAACCTCTAATGCCT

175-191 45 4. SleE07 (GAA)7 F:AGAAGAATATGGGTACGACTG

R:GTTTGAATCAACTGGCACCTCTAT

175-190 45 5. SleE08 (AT)12 F:GGCTTCCTTTATATCCAATTT

R:GTTTGAGTTGGCTGCATATGA

177-197 45

Tabel 5 Primer spesifik pada jenis Shorea curtisii (Ujino et al. 1998)

No. Locus Repeat PCR Primer (5’ to 3’) PCR Product Length

Annealing Temp (0C) 1. Shc01 (CT)8CT (CA),CTCA F:GCTAT TGGCA AGGAT GTTCA

R:CTTAT GAGAT CAATT TGACAG

152 56 2. Shc02 (CT)2CA(CT)5 F:CACGC TTTCC CAATC TG

R:TCAAGA GCAGA ATCCA G

149 54 3. Shc03 (CT)8 F:TTGAA GGGAA GGCTA TG

R:CTTCT CAACT ACCTT ACC

124 54 4. Shc04 (CT)16 F:ATGAG TAACA AGTGA TGAG

R:TATTG ACGTG GAATC TG

96 52 5. Shc07 (CT)8CA(CT)5CACCC(CTCA)3C

T (CA)16

F:ATGTC CATGT TTGAG TG R:CATGG ACATA AGTGG AG

169 54

Uji Kualitas dan Kuantitas DNA

Untuk menguji kualitas DNA hasil ekstraksi dari kayu dilakukan elektroforesis dengan menggunakan gel agarose konsentrasi 1% (w/v) dengan menggunakan buffer TAE 1x. Campuran agar 1% tersebut dipanaskan di dalam

microwave untuk selanjutnya dituangkan ke dalam cetakan dan ditunggu sampai padat, kemudian disimpan di dalam bak elektroforesis yang berisi buffer TAE.


(44)

Setelah agar padat, 3 µ l Blue Juice 10x dan 4 µ l DNA dicampurkan dan dimasukkan ke dalam lubang-lubang cetakan agar. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan aliran listrik dengan tegangan 100 volt sekitar 30 menit. Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan pewarnaan dengan larutan Ethidium Bromida (EtBr) dengan konsentrasi 1% (v/v), dan selanjutnya pita DNA hasil isolasi dilihat dengan menggunakan alat UV transilluminator.

Untuk menguji kualitas DNA hasil PCR mikrosatelit, dilakukan elektroforesis dengan menggunakan gel poliakrilamid hasil campuran dari larutan akrilamid, TEMED dan Ammonium persulfat (APS). Campuran gel poliakrilamid dipanaskan, dan untuk selanjutnya gel diinjeksikan ke dalam cetakan berupa 2 kaca yang direkatkan dengan bahan perekat yang berisi sisir untuk membuat lubang elektroforesis. Buffer yang digunakan untuk kegiatan elektroforesis adalah buffer TBE 1x. Elektroforesis dilakukan dengan menggunakan aliran listrik sebesar 120 W selama 1-3 jam. Untuk melihat hasil elektroforesis dilakukan pewarnaan menggunakan larutan perak nitrat dengan menggunakan shaker selama 30 menit. Selanjutnya pita DNA hasil PCR mikrosatelit dilihat dan didokumentasikan dengan menggunakan alat kamera digital.

Pembuatan Gel Poliakrilamid

Pembuatan gel poliakrilamid terdiri dari beberapa tahapan, yaitu:

1. Pencucian Piringan Kaca

Pir ingan kaca kecil dicuci dengan 5 ml etanol menggunakan paper towel/tissue. Kemudian kaca dikeringkan selama dua menit dan diulang kembali. Kaca tersebut kemudian diberi perlakuan dengan menggunakan 15 µl ? -methacryloxy-propyltrimethoxyselane (Bind Silane, M-6514, Sigma) dalam 4 ml etanol dan 1,25 ml asam asetat. Kemudian sisanya dibersihkan dengan tissue yang dilembabkan dengan etanol. Pir ingan kaca besar dicuci dengan 5 ml etanol menggunakan tissue kemudian dikeringkan selama dua menit, dan diulangi kembali.

2. Pembuatan Larutan Akrilamid

Pembuatan gel akrilamid dibuat dengan mencampur TBE 10X dengan 500 µl ammonium persulfat, Bisacrilamid, dan 50 µl TEMED (sigma). Larutan gel


(45)

diletakkan pada lempengan gel (ketebalan 1,5 mm), selanjutnya gel didiamkan untuk berpolimerisasi selama 30 menit.

3. Loading Sample

Hasil amplifikasi kemudian didenaturasi selama 2 menit pada suhu 92-95oC di dalam thermocycler dan disimpan di lemari es sebelum diaplikasikan ke gel. Kegiatan elektroforesis dilakukan pada 350 V, 40 mA, 80 W selama 75 menit setelah pre-run gel selama 30-60 menit Buffer yang digunakan untuk running atau elektroforesis adalah buffer TBE 1x yang mengandung 18 mM Triz-HCl, 8,9 mM asam borat dan 2 mM Na2EDTA.

4. Metode Pewarnaan

Metode pewarnaan yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan pada hasil penelitian Benbouza et al. 2006 yang dimodifikasi. Metode ini meliputi beberapa langkah atau tahapan. Setelah dilakukan elektroforesis, gel dicuci dalam 1000 ml air larutan (900 ml aquades, 100 ml etanol 95%, dan 50 µ Asam asetat) dingin selama lima menit. Tahap selanjutnya adalah mencuci gel dengan melakukan perendaman selama enam sampai tujuh menit pada suhu ruangan (22-24 oC) dalam 1000 ml larutan. Impregnasi dengan perak nitrat (1000 ml aquades, 1,5 g perak nitrat, dan 1,5 ml formaldehid 37%) dilakukan pada ruangan dengan kondisi cahaya penuh.

Tahap selanjutnya adalah gel development yaitu dengan menggunakan larutan campuran dari 1000 ml aquades, 1,5% NaOH, dan 3 ml formaldehid 37% sampai pita nampak pada intensitas rendah (tiga sampai lima menit). Jika intensitas yang diharapkan telah nampak pada intensitas rendah (tiga sampai lima menit), maka selanjutnya gel diimpregnasi dalam larutan akhir 1000 ml aquades, 10% etanol, dan 0,5% asam asetat selama dua menit. Semua tahapan tersebut dilakukan dalam kontainer plastik. Kemudian lembaran gel selanjutnya digerakkan dalam shaker selama proses pewarnaan. Semua larutan disiapkan dengan menggunakan air ultra pure atau aquades. Gel selanjutnya dikeringkan pada suhu ruangan dan pita DNA akan secara langsung terlihat dengan bantuan


(46)

Analisis Data

Hasil dari kegiatan mikrosatelit pada kayu difoto dan dianalisis dengan melakukan skoring pola pita yang muncul (Gambar 10). Hasil interpretasi foto kemudian dianalisis dengan menggunakan software POPGENE 32 Versi 1.31 dan NTSYS Ver 2.0 (Rohlf 1998). Pengujian “apple to apple” (lacak balak) pada pohon yang sama antara kayu tunggak dengan kayu TPK dilakukan dengan membandingkan struktur genotipik kayu tunggak dengan kayu di TPK dengan uji chi kuadrat (chi square) dan uji kesesuaian genotipe. Chi-kuadrat adalah uji nyata (goodness of fit) apakah data yang diperoleh benar menyimpang dari nisbah yang diharapkan dan tidak secara kebetulan (Crowder 1986).

Perhitungan chi-kuadrat dilakukan dengan rumus (Crowder 1986): ?² = (o - e)2

e

dimana : ?² = Nilai chi-kuadrat.

o = Jumlah genotipeyang diamati (observed). e = Jumlah genotipeyang diharapkan (expected).

Perhitungan chi kuadrat dilakukan dengan Microsoft excel sehingga diperoleh ?²hitung yang kemudian dicocokkan dengan ?²tabel pada selang

kepercayaan 95 %. Adapun hipotesis yang diuji adalah:

H0: Struktur genotipik contoh uji kayu di tunggak sama dengan contoh uji

kayu di TPK.

H1: Struktur genotipik contoh uji kayu di tunggak tidak sama dengan contoh uji

kayu di TPK.

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 L-1

Lokus Individu

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

L-1 12 12 12 22 12 11 12 11 22 11 12


(47)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Ekstraksi DNA dan Seleksi Primer Ekstraksi DNA

Hasil dari kegiatan ekstraksi DNA menentukan langkah selanjutnya untuk tahapan PCR. Pada tahapan ekstraksi dilakukan uji kualitas dan kuantitas DNA untuk dapat menentukan perbandingan pengenceran DNA yang akan dipakai sebagai salah satu bahan pada tahap selanjutnya, yaitu tahapan PCR.

Pola pita yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi kayu jenis Shorea laevis

memperlihatkan pola pita yang cukup murni tidak terdapat bahan-bahan kontaminan (Gambar 11). Hal ini diduga oleh karena pita DNA genomik yang didapatkan dari kegiatan ekstraksi dari kayu adalah pita-pita dengan rantai yang pendek yang sudah terpotong-potong yang disebabkan oleh umur sel yang sudah tua, berbeda dengan hasil ekstraksi dari daun yang biasanya masih terdapat kotoran atau kontaminan. Menurut Qiagen (2001), hasil ekstraksi yang kotor ini masih mengandung phenol yang tinggi, chloroform, dan alkohol. Selain itu, hasil yang kotor tersebut masih mengandung kontaminasi protein, polisakarida, dan RNA.

Gambar 11 Pola pita DNA yang sangat tipis hasil dari ekstraksi kayu S. laevis

Untuk dapat melakukan analisis PCR diperlukan DNA dengan tingkat kemurnian dan berat molekul yang tinggi, akan tetapi ekstraksi DNA dari jaringan tanaman dengan tingkat kemurnian yang tinggi seringkali sulit diperoleh. Metode


(48)

80x

40x

20x

10x pemurnian yang tepat seringkali dibutuhkan terutama menyangkut kualitas DNA yang tinggi. Salah satu cara yang dapat digunakan untuk mendapatkan DNA hasil ekstraksi yang cukup murni adalah dengan melakukan proses pengenceran DNA (Kholik 2008; Tohirin 2009; Qalbi 2009).

Secara visual, pita DNA yang tebal (kotor) memerlukan perbandingan pengenceran yang lebih besar yaitu 100x (99 µl aquabidest: 1 µ l DNA). Pengenceran selanjutnya mengikuti tingkatan ketebalan pita DNA. Pita DNA yang paling tipis menggunakan perbandingan pengenceran 10x (9 µl aquabidest: 1 µ l DNA), karena kualitas DNA-nya termasuk bagus (tidak terlalu kotor) (Gambar 12).

Gambar 12 Contoh besarnya pengenceran hasil ekstraksi DNA (Siregar et al. 2008)

Setiap sampel DNA mempunyai perlakuan pengenceran yang berbeda-beda, tergantung dari kualitas DNA-nya. Pengenceran ini dimaksudkan agar pada tahap PCR primer dapat menempel pada pita DNA sehingga dapat teramplifikasi.

Seleksi Primer MikrosatelitMelalui Cross Species Amplification

Primer yang digunakan untuk kegiatan teknik mikrosatelit pada penelitian ini menggunakan primer dari hasil seleksi 10 primer spesifik untuk nuklear, yaitu lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea leprosula dan lima primer yang diujicobakan pada jenis Shorea curtisii. Untuk analisis nuklear pada kayu, dari 10 primer spesifik terdapat tiga primer yang memperlihatkan pola pita polimorfik, yaitu Sle E01, SleE07, dan Shc04 (Tabel 6). Perbedaan pola pita hasil amplifikasi pada suatu jenis dengan primer yang sama disebabkan oleh ukuran fragmen yang


(49)

berbeda-beda pada setiap jenis. Proses cross species amplification untuk kedua jenis primer tersebut juga sudah pernah berhasil dilakukan pada jenis Shorea robusta (Pandey and Geburek 2009). Contoh DNA electropherogram hasil mikrosatelit untuk ketiga primer disajikan pada Gambar 13. Hasil skoring pola pita ketiga primer pada semua sampel kayu disajikan pada Lampiran 2.

Tabel 6 Hasil cross species amplification pada jenis S. laevis

Primer Hasil Amplifikasi Awal (bp)

Hasil Amplifikasi pada S. laevis (bp)

Keterangan

Shc01 152 140-170 Monomorfik

Shc02 149 160-190 Monomorfik

Shc03 124 160-190 Monomorfik

Shc04 96 60-80 Polimorfik

Shc07 169 180-210 Monomorfik

SleE01 179-188 150-200 Polimorfik

SleE02 142-160 150-200 Monomorfik

SleE05 175-191 150-200 Monomorfik

SleE07 175-190 190-210 Polimorfik

SleE08 177-197 200-220 Monomorfik

Gambar 13 DNA electropherogram hasil analisis mikrosatelit a). primer SleE01, b). SleE07, dan c). Shc04

Pendugaan Kayu dengan Asal-usul Tidak Jelas

Penelitian ini menggunakan bahan berupa kayu dengan asal-usul yang tidak jelas. Berdasarkan dendrogram (Gambar 14) dapat dikatakan bahwa kayu tersebut berasal dari IUPHHK PT. “X” atau setidaknya berasal dari propinsi

a c

b

200 bp

100 bp 150 bp


(50)

Kalimantan Tengah. Kayu dengan asal-usul tidak jelas tersebut memiliki struktur genetik yang sama dengan IUPHHK PT. “X” (90% struktur genetik mirip). Struktur genetik suatu populasi dipengaruhi oleh faktor evolusi, khususnya penyebaran benih dan aliran gen (Degen et al. 2001; Hardy et al. 2006). Selain itu, salah satu daerah di Kalimantan yang masih banyak terdapat kayu adalah dari propinsi Kalimantan Tengah.

Dendrogram asal usul kayu tidak jelas tersebut dibuat melalui perbandingan dengan database DNA nuklear jenis S. laevis dari daun hasil penelitian terdahulu (Siregar et al. 2009). Berdasarkan penelitian tersebut secara umum nilai parameter genetik jenis Shorea laevis (He = 0,4443) lebih kecil bila dibandingkan dengan jenis-jenis Shorea lainnya yang juga dianalisis dengan menggunakan metode mikrosatelit (S. cordifolia, He= 0,723, Stacy et al. 2001; S. curtisii, He= 0,622 Ujino et al. 1998; S. leprosula, He= 0,686 Lee et al. 2004).

Hutan tropis adalah hutan yang memiliki keragaman yang tinggi, akan tetapi jumlah setiap jenisnya rendah (Finkeldey 2005). Jenis yang dijumpai dalam kerapatan yang rendah di hutan tropis kurang bervariasi dibandingkan dengan jenis-jenis yang dijumpai dalam populasi dengan kerapatan yang tinggi. Keragaman genetik merupakan landasan bagi pemulia untuk memulai suatu kegiatan perbaikan tanaman. Besarnya keragaman genetik dapat menjadi dasar untuk menduga keberhasilan perbaikan genetik didalam program pemuliaan.


(51)

Uji Kesamaan (Similiarity) Sampel Kayu dari Kedua IUPHHK

Penelitian ini dilakukan dengan cara menganalisis kayu tebangan, TPK, dan kayu industri pada kedua IUPHHK, yaitu IUPHHK PT. “Y” dan IUPHHK PT. “X”. Berdasarkan dendrogram (Gambar 15) dapat dikatakan bahwa penggunaan teknologi molekuler dengan menggunakan analisis mikrosatelit dapat digunakan untuk menguji kesamaan (similiarity) sampel kayu. Hal ini dapat dilihat pada dendrogram dimana sampel kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK baik PT. “Y” maupun PT. “X” berada dalam satu kelompok yang sama.

Berdasarkan uji chi square (a=0,05; X2 Tabel= 3,841), secara umum kayu tebangan, kayu TPK, dan kayu industri di IUPHHK PT. “X” adalah sama. Akan tetapi, ada beberapa genotipe dan alel yang berbeda baik kayu TPK maupun kayu industri dengan genotipe atau alel kayu di tebangan (Tabel 7). Hal ini mungkin akibat peristiwa Wahlund-Effect yang disebabkan oleh kegiatan swapping kayu,

switching kayu, mixturing kayu, dan ukuran populasi sampel yang tidak mewakili seluruh populasi IUPHHK PT. “X” (Caver et al. 2005; Certisource 2009).

Gambar 15 Dendrogram uji kesamaan (Similiarity) Populasi PT. “X”


(52)

Tabel 7 Hasil uji chi square kayu di IUPHHK di PT. “X”

Lokus Genotipe

Jumlah Genotipe X2 (a=0,05) Tebangan-

TPK

X2 (a=0,05) Tebangan-Industri

Tebangan TPK Industri

1

11 12 17 17 2,08ns 2,08ns

12 4 1 1 2,25ns 2,25ns

13 1 2 2 1,00ns 1,00ns

22 2 0 0 2,00ns 2,00ns

23 1 0 0 1,00ns 1,00ns

2

11 9 2 0 5,44** 9,00***

13 4 12 2 16,00*** 1,00ns

22 7 3 1 2,29ns 5,14**

3 11 1 4 7 9,00*** 36,00***

13 19 15 9 0,84ns 5,26**

Keterangan: ns= non significant; **= significant pada selang kepercayaan 95%; ***= sangat significant pada a= 0,05 Uji Lapang Lacak Balak “Apple to Apple Test” di IUPHHK PT. “Y”

Berdasarkan uji lapang lacak balak pada kayu tunggak dan kayu TPK yang diambil berdasarkan nomor pohon yang sama, dapat dikatakan bahwa secara umum sistem pelabelan kayu pada IUPHHK PT. “Y” berjalan dengan baik, hal ini dapat dilihat dari persentase kecocokan genotipe antara kayu tunggak dengan kayu TPK adalah 70% (Tabel 8). Dari 20 sampel yang diujicobakan, terdapat 14 sampel yang menunjukkan kecocokan DNA kayu tunggak dengan kayu TPK. Nilai perbedaan genotipe sebesar 30% kemungkinan disebabkan oleh kesalahan dalam pelabelan (miss-labeling). Minimum 60% persentase kesesuaian antara pita/genotipe di tunggak dengan di TPK yang mengindikasikan bahwa kayu di tunggak sama dengan kayu di TPK (Certisource 2009).

Berdasarkan grafik frekuensi alel, secara umum struktur alelik di tunggak sama dengan struktur alelik di TPK (Gambar 16). Pada gambar grafik dapat dikatakan bahwa lokus dua dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan DNA kayu tunggak dengan kayu di TPK, khususnya untuk jenis S. laevis. Hal ini dapat terlihat dari nilai frekuensi yang sama untuk semua alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK. Sebaliknya, lokus tiga dapat dijadikan

marker untuk mengetahui ketidakcocokan DNA kayu tunggak dengan kayu di TPK jenis S. laevis. Hal ini dapat terlihat dari nilai frekuensi yang berbeda untuk semua alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK.


(53)

Tabel 8 Kesesuaian genotipe kayu tunggak dengan kayu TPK

No. Sampel

Genotipe Tunggak Genotipe TPK

Kesesuaian Genotipe Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3 Lokus 1 Lokus 2 Lokus 3

1 12 13 13 12 13 11 No

2 12 13 13 12 13 13 Yes

3 11 13 13 12 13 13 No

4 12 13 13 12 13 13 Yes

5 12 13 13 12 13 13 Yes

6 12 13 13 12 13 13 Yes

7 12 13 11 12 13 13 No

8 13 13 12 12 13 13 No

9 11 13 13 13 13 13 No

10 11 13 13 11 13 13 Yes

11 12 13 13 12 13 13 Yes

12 11 13 13 11 13 13 Yes

13 12 13 13 12 13 13 Yes

14 12 13 23 12 13 13 No

15 12 13 13 12 13 13 Yes

16 12 13 13 12 13 13 Yes

17 12 13 13 12 13 13 Yes

18 12 13 13 12 13 13 Yes

19 12 13 13 12 13 13 Yes

20 12 13 13 12 13 13 Yes

Gambar 16 Frekuensi alel kayu tunggak dan kayu TPK Alel 1

Alel 2

Alel 3 Alel 1

Alel 2

Alel 3 Alel 1

Alel 2 Alel 3


(54)

Selain itu, berdasarkan uji chi square (a=0,05; X2 Tabel= 3,841) jumlah genotipe baik di tunggak maupun di TPK, secara umum kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. “Y” yang dilakukan pengujian “apple to apple“ adalah sama. Hasil uji chi square genotipe kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. “Y” disajikan pada Tabel 9.

Tabel 9 Chi square test kayu tunggak dan kayu TPK di IUPHHK PT. “Y”

Lokus Genotipe

Jumlah Genotipe X2

(a=0,05)

Tebangan-TPK

Tebangan TPK

1

11 4 2 1,0000ns

12 15 17 0,2667ns

13 1 1 0,0000ns

2 13 20 20 0,0000ns

3

11 1 1 0,0000ns

12 1 0 1,0000ns

13 17 19 0,2353ns

23 1 0 1,0000ns

Keterangan: ns= non significant

Aplikasi Teknologi DNA untuk Lacak Balak pada Kayu

Secara biologis selain daun, benih dan kambium, kayu juga menyimpan materi genetik berupa DNA. Informasi genetik pada tanaman kehutanan tersebar pada tiga genom yaitu inti sel (nuklear), mitokondria dan kloroplas. DNA kloroplas telah digunakan untuk studi filogenetik pada beberapa tanaman, seperti pada Dipterocarpaceae (Kamiya et al. 2005), serta studi ekologi dan sejarah evolusi tanaman (Heuertz et al. 2004). Baru-baru ini DNA kloroplas juga telah digunakan sebagai alat identifikasi dan forensik kayu (asal daerah kayu) untuk mendukung kegiatan sertifikasi kayu (Deguilloux et al. 2004). Penanda mikrosatelit juga telah digunakan untuk lacak balak pada jenis kayu ramin (Smulders et al. 2008).

Berdasarkan hasil penelitian, DNA kayu Shorea laevis dapat diekstraksi dan diamplifikasi dengan penanda mikrosatelit. Kegiatan ekstraksi DNA dari kayu sebelumnya sudah berhasil dilakukan (Deguilloux et al. 2002), selain dari kayu, kegiatan esktraksi DNA pada kulit biji yang keras juga sudah berhasil dilakukan (Godoy and Jordano 2001). Jika DNA kayu berhasil diekstraksi, maka dengan metode PCR bagian-bagian tertentu DNA dapat selanjutnya diamplifikasi hingga


(55)

cukup untuk keperluan analisis variasi genetik. Banyak penelitian yang menggunakan DNA kayu untuk lacak balak kayu (Degen and Fladung 2007; Finkeldey et al. 2007; Lowe 2007).

Hasil proses amplifikasi dengan menggunakan primer nuklear mikrosatelit pada kayu Shorea laevis tidak semua menunjukkan pola pita yang polimorfik, hanya tiga primer yang menghasilkan pola pita polimorfik. Penanda genetik yang baik adalah memiliki sifat polimorfik, multialel, bersifat ko-dominan, non-epistatik, netral, dan tidak sensitif terhadap pengaruh lingkungan (de Vienne 2003). Penanda molekuler merupakan suatu metode yang relatif baru dan potensial digunakan untuk menganalisa keragaman genetik suatu organisme (Suryanto 2003).

Menurut Siregar (2000), keragaman genetik dibagi menjadi keragaman di dalam populasi dan antar populasi dan masing-masing mempunyai beberapa ukuran. Pada umumnya sebagian besar variasi genetik tersimpan di dalam populasi dan perbedaan antara populasi hanya sedikit (Hamrick dan Godt 1996). Hasil-hasil penelitian terbaru memperlihatkan bahwa penggunaan penanda genetik ini sangat efektif untuk membedakan jenis-jenis yang berkerabat atau hibrid, dimana metode anatomi kayu sangat sulit untuk membedakannya. Jika perbedaan pola variasi genetik antar populasi telah diketahui, maka secara teoritis kayu juga dapat dibedakan asal-usulnya. Pengembangan metode penanda genetika molekuler untuk lacak balak pada kayu jati sebelumnya telah berhasil dilakukan untuk memverifikasi aliran kayu jati pada Perhutani (Siregar et al. 2008). Selain itu, penelusuran asal-usul kayu juga dapat dilakukan dengan menggunakan analisis kimia kayu, isotop, dan anatomi kayu (Abe and Fujii 2007; Boner et al.


(56)

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Kesimpulan dari penelitian ini adalah:

1. Tidak semua primer hasil cross species amplification menunjukkan pola pita yang polimorfik pada DNA kayu jenis Shorea laevis, hanya ada tiga primer yaitu primer SleE01 dan SleE07 dari jenis Shorea leprosula, serta primer Shc04 dari jenis Shorea curtisii.

2. Hasil pendugaan asal-asal usul kayu yang tidak jelas berdasarkan database

nuklear daun menunjukkan bahwa kayu tersebut setidaknya berasal dari PT. “X” yang berlokasi di propinsi Kalimantan Tengah, dimana daerah tersebut merupakan kawasan yang masih memiliki hutan yang cukup luas.

3. Berdasarkan uji kesamaan (similiarity) terhadap kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK menunjukkan bahwa kedua IUPHHK tersebut menebang dan menggunakan kayu dari aeral konsesinya sendiri, hal ini terlihat dari dendrogram yang mengelompok untuk masing-masing IUPHHK.

4. Berdasarkan uji kesesuaian genotipe (conformity) dan uji chi square, hasil uji lapang lacak balak kayu tunggak dan TPK dengan nomor pohon yang sama di IUPHHK PT. “Y” menunjukkan bahwa secara umum struktur genotipik kayu tunggak dengan struktur genotipik kayu di TPK adalah sama.

Saran

Saran yang dapat diberikan berdasarkan hasil penelitian ini adalah:

1. Penyusunan database genetik jenis Shorea laevis untuk seluruh pulau di Indonesia dengan menggunakan primer yang lebih banyak lagi.

2. Pengujian lacak balak kayu dari jenis S. laevis yang berasal dari wilayah yang berbeda (misalnya Sumatera dan Sulawesi).


(1)

Hasil penelitian menunjukan bahwa tidak semua primer hasil cross species amplification menunjukkan pola pita yang polimorfik pada DNA kayu jenis Shorea laevis, hanya ada tiga primer yaitu primer SleE01 dan SleE07 dari jenis Shorea leprosula, serta primer Shc04 dari jenis Shorea curtisii. Primer Shc04 dapat digunakan sebagai marker untuk mengetahui kecocokan kayu tunggak dengan kayu TPK pada jenis S. laevis, karena primer tersebut memperlihatkan kesamaan nilai frekuensi alel antara kayu tunggak dengan kayu TPK.

Hasil pendugaan asal-usul kayu yang tidak jelas berdasarkan database nuklear daun menunjukkan bahwa kayu tersebut setidaknya berasal dari PT. “X” yang berlokasi di Provinsi Kalim antan Tengah, dimana daerah tersebut merupakan kawasan yang masih memiliki hutan yang cukup luas. Selain itu berdasarkan uji kesamaan (similiarity) terhadap kayu tebangan, TPK, dan industri masing-masing IUPHHK menunjukkan bahwa kedua IUPHHK tersebut menebang dan menggunakan kayu dari areal konsesinya sendiri, hal ini terlihat dari dendrogram yang mengelompok untuk masing-masing IUPHHK.

Berdasarkan uji kesesuaian genotipe (conformity) dan uji chi square, hasil uji lapang lacak balak kayu tunggak dan TPK dengan nomor pohon yang sama di IUPHHK PT. “Y” menunjukkan bahwa secara umum struktur genotipik kayu tunggak dengan struktur genotipik kayu di TPK adalah sama.


(2)

©Hak cipta milik IPB tahun 2010 Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB.


(3)

UJI LAPANG LACAK BALAK KAYU MERANTI BALAU

(

Shorea laevis

Ridl.) DENGAN PENANDA MIKROSATELIT

TEDI YUNANTO

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada

Program Studi Silvikultur Tropika

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010


(4)

(5)

Judul Tesis : Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit Nama Mahasiswa : Tedi Yunanto

Nomor Pokok : E451070031 Program Studi : Silvikultur Tropika

Disetujui Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc Ketua

Dr. Ir. Ulfah J. Siregar, M.Agr Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Silvikultur Tropika

Prof. Dr. Ir. I.G.K. Tapa Darma, MS

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS


(6)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini ialah Uji Lapang Lacak Balak Kayu Meranti Balau (Shorea laevis Ridl.) dengan Penanda Mikrosatelit.

Penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya terutama kepada Pembimbing, yaitu Dr. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc dan Dr. Ulfah J. Siregar, M.Agr yang telah banyak memberikan bimbingan dan saran selama penulis menempuh studi S2. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS selaku Penguji Luar Komisi yang telah banyak memberikan koreksi dan arahan untuk perbaikan tesis.

Terima kasih yang sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan Beasiswa Pendidikan Pascasarjana (BPPS), ASEAN-Korea Environmental Cooperation Project (AKECOP), dan Hibah Penelitian Unggulan IPB (PUI) dengan Nomor Kontrak: 45/I3.24.4/SPK/BG-PSN/2009 kepada Dr. Ir. Iskandar Z. Siregar, M.For.Sc. Penulis juga mengucapkan banyak terimakasih kepada rekan-rekan di Ruang Analisis Genetika, Bagian Silvikultur, Departemen Silvikultur yang telah mendukung dalam hal diskusi pada kegiatan laboratorium untuk menyelesaikan studi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada bapak, ibu, dan seluruh keluarga atas doa dan kasih sayangnya. Tidak lupa kepada rekan-rekan yang tidak dapat saya sebutkan satu persatu, penulis mengucapkan banyak terima kasih atas bantuan dan kebersamaannya.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kritik dan saran sangat diharapkan. Penulis berharap semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi pembaca.

Bogor, Januari 2010