BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penulisan
Pemanasan global telah di kenal luas oleh hampir semua masyarakat di belahan dunia manapun. Walaupu demikian fenomena pemanasan global ini belum
dapat di mengerti dengan baik oleh banyak pihak dalam masyarakat itu karena tingkat ketidakperdulian yang sangat tinggi dan keegoisan orang-orang yang memiliki
kepentingan pribadi dalam mencapai keuntungan dengan atau tanpa sadar melakukan pencemaran lingkungan yang kemudian menjadi salah satu akibat terjadinya
pemanasan global. Pemanasan global tidak terjadi secara seketika, tetapi berangsur- angsur. Namun kemudian, dampak dari tindakan-tindakan pemicu pemanasan global
yang dialakukan jauh sebelum hari ini sudah dapat kita rasakan sekarang. Dahulu, semua perubahan iklim berjalan secara alami. Ketika revolusi industri
baru dimulai sekitar tahun 1850 kebutuhan energi untuk menjalankan mesin terus meningkat dari waktu ke waktu. Sebagian besar energi untuk penerangan dan
pemanasan rumah, datang dari bahan bakar seperti batubara dan minyak bumi atau lebih dikenal dengan nama bahan bakar fosil karena telah terjadi dari pembusukan
fosil mahluk hidup. Pembakaran bahan bakar inilah yang kemudian melepaskan gas rumah kaca ke atmosfir.
Universitas Sumatera Utara
Pengamatan selama 157 tahun terakhir menunjukan bahwa suhu permukaan bumi mengalami peningkatan sebesar 0,05
˚Cdecade. Selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam 0.18
˚Cdecade. Intergovernmental panel on climate change menyimpulkan bahwa sebagian besar disebabkan oleh meningkatnya
konsentrasi gas –gas runah kaca akibat aktivitas manusia melalui efek rumah kaca. Kesimpulan dasar ini telah dikemukakan setidaknya oleh 30 badan ilmiah akademik,
termasuk semua akademi sains nasional dari negara-negara G8. Konsentrasi salah satu gas rumah kaca GRK penting yaitu CO
2
di atmosfer baru 290 ppmvpart per million by volume, saat ini tlah mencapai sekitar 350 ppmv.
Jika pola konsumsi, gaya hidup dan pertumbuhan penduduk tidak berubah, 100 tahun yang akan datang konsentrasi CO
2
Seperti juga penyumbang emisi yang lain, sumber utamanya adalah manusia dan agrikultural. Kombinasi ketiga komponen utama tersebut menjadi penyumbang
terbesar pada pemanasan global. Kontribusi antropogenik pada aerosol sulfat, karbon organik, karbon hitam, nitrat and debu memberikan efek mendinginkan, tetapi
efeknya masih tidak dominan dibanding terjadinya pemanasan, disamping ketidakpastian perhitungan yang masih sangat besar. Demikian juga dengan
perubahan ozon troposper akibat proses kimia pembentukan ozon nitrogen oksida, diperkirakan akan meningkat menjadi 580 ppmv
atau dua kali lipat dari zaman pra-industri. Akibatnya kemudian suhu bumi akan meningkat 4,5
˚C dengan dampak berbagai sektor kehidupan manusia yang luar biasa besarnya.
Universitas Sumatera Utara
karbon monoksida dan hidrokarbon berkontribusi pada pemanasan global. Kemampuan pemantulan cahaya Matahari albedo, akibat perubahan permukaan
Bumi dan deposisi aerosol karbon hitam dari salju, mengakibatkan perubahan yang bervariasi, dari pendinginan sampai pemanasan. Perubahan dari pancaran sinar
Matahari solar irradiance tidaklah memberi kontribusi yang besar pada pemanasan global.
Dampak yang kemudian sudah kita bisa rasakan sekarang yang terbukti terjadi di berbagai belahan dunia :
1.
Merebaknya penyakit Bluetongue di dataran Eropa antara tahun 1998-2005. Penyakit ini telah membunuh lebih dari 1.5 juta ekor
domba dan menyebabkan periode ini sebagai periode wabah bluetongue terlama dan terbesar dalamsejarah Eropa. Lima
serotipe virus bluetongue diketahui telah menginvasiEropa pada periode ini. Kasus wabah bluetongue ini terjadi di beberapanegara
atau wilayah yang sebelumnya dilaporkan sama sekali tidak pernah terdapat kasus Culicoides-borne arboviral disease, seperti Turki,
dataran Yunani, Bulgaria, beberapa negara Balkan, dataran Italia, Sicily dan Sardinia, Corsica, kepulauan Balearic, dan Tunisia.
Kejadian ini sekarang dihubungkan dengan kejadian pemanasan global di wilayah Eropa. Dari hasil penelitian yang dilakukan,
Universitas Sumatera Utara
terindikasi bahwa penyebaran dramatis dari vektor Culicoides imicola ke wilayah yang tidak pernah mengalami infeksi
bluetongue sebelumnya atau transimisi virus bluetongue oleh vektor baru, C. Obsoletus dan C. pulicaris, hanya terjadi di area-
area yang secara nyata mengalami pemanasan suhu. Hal ini menunjukkan bahwa adanya hubungan langsung antara
kemunculan bluetongue di Eropa dengan global warming.
2.
Adanya keterlibatan global warming terhadap punahnya 67 dari sekitar 110 spesies katak Atelopus sp. dari pegunungan Costa Rica
akibat infeksi fungi patogen Batrachochytrium dendrobatidis sekitar 20 tahun lalu. Atelopus sp merupakan spesies katak
endemis di wilayah tropis benua Amerika. Analisa hubungan periode kepunahan terhadap perubahan level permukaan laut dan
suhu udara menunjukkan bahwa pemanasan global telah menyebabkan suhu lingkungan pada sebagian besar pegunungan-
pegunungan di wilayah Amerika Selatan dan Tengah bergerak mendekati suhu optimum pertumbuhan fungi pathogen B.
dendrobatidis sehingga menyebabkan wabah dan mengakibatkan punahnya sebagian spesies Atelopus sp.
3.
Meningkatnya frekuensi dan intensitas banjir disebabkan oleh terjadinya pola hujan yang acak dan musim hujan yang pendek
Universitas Sumatera Utara
sementara curah hujan sangat tinggi kejadian ekstrim. Kemungkinan lainnya adalah akibat terjadinya efek backwater dari
wilayah pesisir ke darat. Frekuensi dan intensitas banjir diprediksikan terjadi 9 kali lebih besar pada dekade mendatang
dimana 80 peningkatan banjir tersebut terjadi di Asia Selatan dan Tenggara termasuk Indonesia dengan luas genangan banjir
mencapai 2 juta mil persegi.
1
4.
Di Amerika Latin hutan tropis di bagian timur Amazon dan bagian selatan serta Meksiko tengah diprediksi aka berubah
menjadi savana. Sebagian daerah bagian timur laut Brazil serta sebagian besar Meksiko tengah dan utara akan menjadi lebih
kering arid disebabkan oleh kombinasi antara perubahan iklim dan manajemen lahan oleh manusia. Pada 2050, 50 dari lahan
pertanian diperkirakan akan perlahan berubah menjadi gurun dan mengalami salinitasi.
Peningkatan volume air pada kawasan pesisir akan memberikan efek akumulatif apabila
kenaikan muka air laut serta peningkatan frekuensi dan intensitas hujan terjadi dalam kurun waktu yang bersamaan.
1
Brit ain’s Met eorological Office Novem ber 1999 dalam ht t p: www.ecobridge.or g.ht m
Universitas Sumatera Utara
Indonesia yang dikenal dengan Negara yang memiliki dua per tiga hutan di dunia yang juga dikenal baik dengan nama jantung dunia. karena banyaknya hutan
yang di miliki Indonesia yang membuat dunia dapat bernafas. Seperti kita ketahui dalam isu pemanasan global, peran hutan sebagai paru-paru dunia semakin diakui
keberadaannya. Hutan menjadi bagian penting dalam sebuah siklus yang dipercaya dapat mengurangi tingkat pemanasan global. Hutan menjadi tameng terakhir umat
manusia untuk berlindung dari dampak yang mengerikan pemanasan global tersebut. Ironisnya, meskipun semua orang setuju akan peran penting kawasan hutan,
namun masih banyak sekali kasus eksploitasi hutan dengan berbagai dalih kepentingan yang terjadi di Indonesia. Tingkat penggundulan hutan di Indonesia
mencapai lebih dari 50 kilometer persegi setiap harinya baik akibat pembukaan lahan oleh penduduk lokal, aktivitas penambangan oleh perusahaan tambang, maupun
penebangan kayu oleh pemegang HPH dan penebangan liar. Pembabatan hutan pastinya akan memperparah pemanasan global yang pada akhirnya akan
mengakibatkan pencairan es di kutub dan mengakibatkan perubahan iklim yang sangat ekstrim.
Banyak Negara yang kemudian mencari jalan keluar untuk mengatasi persoalan global ini dengan melalui prosedur Perserikatan bangsa-bangsa. Isu utama
yang harus ditangani adalah bagaimana agr sistem iklim bumi tidak terganggu dan terus memburuk. Para wakil pemerintahan berbagai Negara kemudian membentuk
panel untuk membentuk pembicaraan-pembicaraan awal tentang isu ini. Setelah
Universitas Sumatera Utara
melalui proses yang panjang, dalam suatu konfrensi yang diadakan di Kyoto yang kemudian menghasilkan suatu konsensus yang berupa keputusan untuk mengadopsi
suatu protokol yang merupakan dasar bagi Negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca gabungan mereka paling sedikit 5 persen dari tingkat emisi
tahun 1990 menjelang periode 2008-2012. komitmen yang yang mengikat secara hukum ini akan akan mengembalikan tendensi peningkatan secara emisi yang secara
historis dimulai dari Negara-negara maju. Sedangkan Negara berkembang tidak memiliki kewajiban atau komitmen dalam menurunkan emisinya.
Berdasarkan hal itu, menjadi alasan penulis untuk membahas materi skripsi
ini dengan judu l : “PEMANASAN GLOBAL DI INDONESIA DI TINJAU DARI PROTOKOL KYOTO”.
B. Perumusan Masalah