MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind

11

F. KAJIAN PUSTAKA

Sebelum penelitian ini dilakukan, dibutuhkan untuk menilik berbagai hasil penelitian sebelumnya yang terkait dengan tema yang sama. Hal ini dimaksudkan agar secara kritis penelitian ini bisa berkorelasi dengan hasil kajian yang sudah ada. Adapun beberapa pustaka yang akan penulis kaji antara lain adalah bu₂u ber₁udul MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind karya Yando Zakaria, Emilianus Ola Kleden dan Y.L. Franky 2011; buku ber₁udul Adat Dalam Politik Indonesia yang diedit oleh Jamie S. Davidson, David Henley dan Sandra Moniaga 2010, dan; artikel Tania Li 2000 yang berjudul Articulating Indigenous Identity in Indonesia: Resource Politic and the Tribal Slot .

1. MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind

5 Sejak dijalankannya program MIFEE di Merauke, buku MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind ini adalah buku pertama yang diterbitkan dan membahas dinamika permasalahan MIFEE dari hasil kajian lapangan. Penelitian ini adalah program dari sebuah LSM bernama Pusaka dari Jakarta. Buku yang ditulis oleh Yando Zakaria dkk. itu menjelaskan bahwa MIFEE lahir melalui serangkaian proses kebijakan nasional yang didukung oleh ide dan ambisi Bupati Gebze untuk menjadikan MIFEE sebagai lumbung pangan nasional. Melebihi ide itu bahkan Presiden Yudhoyono menjadikan MIFEE 5 Zakaria, R. Yando, Emilianus Ola Kleden, Y.L. Franky, 2011, MIFEE Tak Terjangkau Angan Malind. Jakarta: Yayasan PUSAKA. 12 sebagai pusat produksi pangan dan energi berskala besar dan modern yang berorientasi mencukupi pangan domestik dan meningkatkan devisa melalui ekspor. Apakah MIFEE layak sebagai justifikasi kesejahteraan rakyat? Menurut Zakaria dkk., secara komponensial MIFEE diperkirakan akan menimbulkan sejumlah dampak negatif di berbagai aspek kehidupan. Pertama, dibutuhkan evolusi berabad-abad dari moda produksi berburu meramu menjadi moda produksi bertani. Dengan pola kehidupan berburu meramu bagaimana orang Malind bisa memasuki moda produksi baru yang akan dibawa oleh MIFEE, justru yang akan terjadi adalah ketersingkiran orang Papua asli OPA yang akan semakin mempertegas jarak antara mereka dan pendatang. Selain itu, penghancuran situs-situs penting yang menjadi pelabuhan spiritualitas orang Malind akan menyebabkan mereka semakin terperosok pada mentalitas negatif sehingga terus menerima stigma sebagai pemalas dan pemabuk. Beragam reaksi menolak bermunculan setelah MIFEE dikenal publik. Di Merauke berdiri SORPATOM Solidaritas Rakyat Papua Tolak MIFEE. Di Jakarta juga terjalin suatu forum komunikasi yang mengkritik MIFEE. Sementara, masyarakat di 7 kampung di Merauke juga telah bermusyawarah dan menyatakan akan menolak MIFEE, juga belasan kampung lain menyatakan hal yang sama. Di bagian penutup Zakaria dkk. menyampaikan bahwa pihak luar telah secara sadar atau tidak memanfaatkan kelemahan orang Malind dan PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 13 Papua pada umumnya. Kelemahan itu terletak pada pola hidup berburu dan meramu yang bersifat ekstraktif atau cepat dapat dan mudah, karena masih melimpahnya kekayaan alam. Akibatnya kemudahan baru ditawarkan untuk mendapat kemewahan seperti motor, handphone, dll. Kehidupan kota yang disimbolisasi oleh fasilitas material ini menjadi pukauan yang dipermudah ketika mereka mau melepaskan tanah: mau motor, lepaskan tanah. Kelemahan lain adalah soal keabsahan transaksi. Tanda tangan mereka didapat dengan mudah oleh perusahaan karena tanda tangan ditukar uang. Mereka tidak memerlukan keabsahan, tapi perusahaan yang membutuhkannya. Akibatnya, menuntut ulang bisa terjadi. Untuk mencegah itu, maka perusahaan menemukan keabsahan ala Malind, yakni dengan upacara potong babi. Dengan demikian, yang diuntungkan dari semua proses itu lagi-lagi adalah perusahaan. Zakaria dkk. menutup dengan satu saran bahwa yang dibutuhkan oleh orang Papua di pedesaan adalah suatu affirmative action yang melindungi mereka, bukan menggiring mereka untuk ikut pada budaya modern. Dari ringkasan tersebut terlihat bahwa Zakaria dkk. cenderung lebih menfokuskan perhatian mereka pada sistem kerja MIFEE beserta berbagai konsep dan prakteknya, sehingga pembahasan mengenai masyarakat Marind. Hal itu tidak bisa dihindari karena merupakan konsekuensi dari judul yang dipakai, sehingga yang menjadi fokus kajian adalah MIFEE sebagai sebuah program, dan tidak begitu banyak membicarakan resistensi masyarakat Marind secara lebih mendalam. Namun kekurangan tersebut juga bisa jadi PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI 14 telah terkandung secara paradigmatik sedari awal ketika di bagian penutup pembaca akan menjumpai Zakaria dkk. memposisikan Marind sebagai masyarakat yang lemah dan butuh dilindungi. Dengan kata lain, hingga penutup bukunya Zakaria dkk masih memposisikan Marind sebagai masyarakat yang powerless.

2. Adat Dalam Politik Indonesia